45 V. DAMPAK SUBSIDI PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PADI SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ADOPSI PUPUK ORGANIK DI PROVINSI LAMPUNG 5.1 Karakteristik Petani Responden Penelitian dilakukan di Kabupaten Lampung Utara dan Kabupaten Lampung Timur dengan responden sebanyak 60 responden. Berikut ini akan disajikan karakteristik petani responden. Pemaparan karakteristik ini diharapkan dapat menggambarkan kondisi sosial ekonomi petani dan keragaan usahatani padi di Kabupaten Lampung Utara dan Kabupaten Lampung Timur. Karakteristik responden petani padi di Provinsi Lampung dijelaskan dalam Tabel 5.1 dengan usia termuda 26 tahun dan tertua 68 tahun dengan rata-rata 44 tahun. Sebanyak 28,33 persen atau 17 orang petani yang berusia 25 39 tahun. Mayoritas petani responden berusia antara 40 54 tahun atau sebanyak 51,67 persen sehingga karakteristik petani responden petani padi di Provinsi Lampung tergolong usia produktif. Ditinjau dari segi umur, petani dengan umur lebih tua memiliki pengalaman usahatani yang lebih banyak sehingga semakin baik dalam mengelola usahataninya. Disisi lain semakin tua semakin menurun kemampuan fisiknya sehingga semakin memerlukan bantuan tenaga kerja baik dalam keluarga maupun dari luar keluarga (Suratiyah, 2009). Faktor usia juga mampu mengukur kepekaan petani untuk mengadopsi teknologi baru, dimana petani muda lebih cepat menerima inovasi baru dan lebih berani menanggung resiko daripada petani tua (Yuliarmi, 2006).
46 Tabel 5.1 Karakteristik Responden Petani Padi di Provinsi Lampung Umur Karakteristik Jumlah (orang) Presentase 25 39 tahun 17 28,33 40 54 tahun 31 51,67 55 68 tahun 12 20,00 Rata-rata Umur (Tahun) 44 Lama Pendidikan Tidak Tamat SD 2 3,33 Tamat SD 22 36,67 Tamat SLTP 14 23,33 Tamat SLTA 19 31,67 Perguruan Tinggi 3 5,00 Rata-rata Lama Pendidikan (Tahun) 9 Lama Usahatani 1 15 Tahun 20 33,33 16 30 Tahun 30 50,00 31 45 Tahun 8 13,34 Lainnya 2 3,33 Rata-rata Lama Pengalaman Usahatani (Tahun) 21 Sumber : Data (diolah) Tingkat pendidikan turut berkontribusi dalam pengadopsian teknologi baru, menurut Yuliarmi (2006) semakin tinggi tingkat pendidikan petani maka semakin respon dalam menggunakan input-input baru seperti pupuk organik. Tingkat pendidikan mayoritas responden adalah tamat SD dengan jumlah responden sebanyak 22 responden. Hanya 3 orang responden memiliki jenjang
47 pendidikan tertinggi yaitu Diploma dan S1. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik petani responden tidak berpendidikan tinggi sehingga pengetahuan mereka terbatas. Pendidikan non-formal akan membuka cakrawala petani, menambah keterampilan dan pengalaman petani dalam mengelola usahataninya (Suratiyah, 2009). Penyuluhan dari berbagai instansi khususnya dinas pertanian dianggap sebagai cara terbaik dalam sosialisasi penggunaan pupuk organik dengan pemupukan berimbang sehingga dapat menunjang keberhasilan usahatani padi yang dilaksanakan. Pada umumnya responden melakukan usahatani cukup lama yaitu 16-30 tahun dengan presentase sebesar 50 persen. Petani responden yang baru melakukan ushatani 1-15 tahun sebanyak 20 petani responden. Selain itu, responden yang melakukan usahatani lebih dari 30 tahun sebanyak 8 orang yaitu 13,34 persen. Artinya sebagian besar responden petani padi provinsi Lampung memiliki pengalaman usahatani yang cukup lama. Tabel 5.2 Karakteristik Lahan Responden Petani Padi Provinsi Lampung Luas Lahan Milik Sewa Sakap Total Rata-rata (%) Rata-Rata (%) Rata-rata (%) (%) < 0,5 ha 0.3 6.67 - - 0.125 1.7 8.30 0,5-1 ha 0.6 41.67 - - - - 41.70 > 1 ha 1.1 48.33 1.5 1.7 - - 50.00 Total (%) 96.67 1.7 1.7 100.0 Rata-rata jumlah persil (unit) 1.2 Sumber : Data (diolah) Status lahan responden (Tabel 5.2) umumnya memiliki lahannya sendiri, yaitu sebesar 96,67 persen atau sebanyak 58 orang. Rata-rata kepemilikan lahan
48 responden yaitu 1,1 ha. Responden yang menyewa lahan untuk bertani hanya 1 orang dengan luas lahan sebesar 1,5 ha. Petani responden yang melakukan usahatani bersakap hanya 1 orang dengan luas lahan 0,125 ha. Semakin luas lahan milik petani akan mempengaruhi tingkat pengadopsian pupuk organik. 5.2 Dampak Subsidi Pupuk Organik terhadap Produksi dan Pendapatan Padi Perhitungan usahatani padi bertujuan untuk mengetahui rata-rata produksi serta pendapatan petani padi responden di Provinsi Lampung. Perhitungan usahatani dilakukan atas dasar biaya tunai dan atas dasar biaya total. Perhitungan atas dasar biaya tunai sesuai dengan biaya yang dikeluarkan petani, karena program BLP Organik memberikan secara cuma-cuma benih, pupuk NPK, pupuk organik granul (POG) dan pupuk organik cair (POC) sehingga harga pada 4 komponen tersebut bernilai 0. Berbeda dengan perhitungan atas dasar biaya total yang memasukkan harga untuk ke-4 komponen didapat dari harga yang berlaku dipasaran pada saat Program BLP Organik di Provinsi Lampung dilaksanakan. Penambahan jumlah tenaga kerja dalam keluarga dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besarkah biaya yang seharusnya petani keluarkan dalam 1 masa tanam. Jumlah tenaga kerja dalam keluarga dimasukkan pada perhitungan atas dasar biaya total. Pada umumnya petani tidak pernah membayar jasa anggota keluarganya, sehingga harga yang ditetapkan untuk komponen ini berasal dari harga rata-rata tenaga kerja manusia di Provinsi Lampung. Produksi dan pendapatan petani meningkat cukup tinggi dari rata-rata 4,8 ton per ha menjadi 5,9 ton per ha. Ditambah dengan peningkatan harga gabah dari Rp 2.390,17 menjadi Rp 2.620,1 maka nilai produksi juga meningkat dari Rp 11,5
49 juta per ha menjadi Rp 15,4 juta per ha. Hal tersebut berarti dengan mengadopsi pupuk organik dapat meningkatkan pendapatan petani sekitar 25,38 persen. Struktur biaya produksi padi di Provinsi Lampung memiliki perbedaan dari sebelum dan sesudah adanya Program BLP Organik. Berdasarkan perhitungan atas dasar biaya tunai (Lampiran 3), terdapat peningkatan rata-rata total biaya yaitu tenaga kerja manusia, tenaga kerja mesin, pestisida dan obatobatan serta biaya lain-lain. Rata-rata total biaya tenaga kerja manusia yang membantu proses produksi setelah adanya BLP Organik yaitu Rp 2.113.050,20 meningkat 28,27 persen dibanding sebelum menerima BLP Organik. Rata-rata total biaya untuk tenaga kerja mesin sebelum program BLP Organik sebesar Rp 471.277,78 sedangkan setelah program BLP Organik meningkat hingga 33,75 persen menjadi Rp 711.385,25. Rata-rata total biaya untuk komponen pestisida dan obat-obatan merupakan biaya yang termurah baik sebelum maupun sesudah menggunakan BLP Organik walaupun terjadi peningkatan. Peningkatan biaya pada tiap-tiap komponen tersebut dikarenakan adanya peningkatan dari harga masing-masing komponen. Penurunan rata-rata biaya atas dasar biaya tunai terjadi di beberapa komponen usahatani yaitu komponen benih, pupuk dan tenaga kerja hewan. Penurunan rata-rata biaya benih dan pupuk karena adanya program BLBU dan BLP yang memberikan secara gratis benih unggul, pupuk NPK dan pupuk organik. Penurunan rata-rata biaya pupuk sebesar 63,77 persen. Rata-rata total biaya tenaga kerja hewan mengalami penurunan sebesar Rp 83.068,78 atau 19,14 persen.
50 Perhitungan usahatani padi atas dasar biaya total (Lampiran 4) hanya memiliki sedikit perbedaan dengan perhitungan atas dasar biaya tunai. Pada dasarnya perhitungan tenaga kerja dalam keluarga yang dihitung dalam biaya total dimaksudkan untuk mengetahui secara keseluruhan pengeluaran atau biaya yang dikeluarkan petani. Harga pada tenaga kerja dalam keluarga bukan merupakan harga sebenarnya, karena petani tidak pernah memberi gaji kepada keluarga yang turut membantu proses produksi. Harga tenaga kerja dalam keluarga didapat dari asumsi bahwa rata-rata harga tenaga kerja manusia sama dengan harga untuk tenaga kerja dalam keluarga. Sehingga dilakukan rata-rata dari seluruh harga tenaga kerja manusia. Maka harga tersebutlah yang diambil untuk menjadi harga tenaga kerja dalam keluarga. Penurunan rata-rata total biaya hanya dialami oleh biaya benih sebesar 34 persen dan tenaga kerja hewan sebesar 19,31 persen. Penurunan rata-rata total biaya tersebut karena pada dasarnya terjadi penurunan harga benih dan tenaga kerja hewan di Provinsi Lampung. Sebaliknya, peningkatan rata-rata total biaya terjadi di sebagian besar rata-rata total biaya yaitu biaya tenaga kerja manusia (28,26 persen), tenaga kerja dalam keluarga (8,03 persen), tenaga kerja mesin (33,75), pupuk dan obat-obatan (3,25 persen) serta biaya lain-lain (16,36 persen). Peningkatan rata-rata total biaya yang terjadi ternyata tidak mempengaruhi rata-rata total pendapatan yang diterima oleh petani karena pendapatan petani tetap mengalami peningkatan. Seperti hasil dari perhitungan atas dasar biaya total keuntungan petani padi sebelum dan sesudah meningkat 29,16 persen dari Rp. 6.489.336,79 menjadi Rp. 9.160.233,70. Atas dasar biaya tunai keuntungan yang
51 didapat lebih tinggi yaitu 35,62 persen dari Rp 6.567.359,92 menjadi Rp 10.200.269,60. Perhitungan untuk menganalisis efisiensi usahatani yaitu rasio R/C dan rasio B/C. Hasil perhitungan rasio R/C atas dasar biaya tunai mengalami peningkatan dari 2,34 sebelum menggunakan pupuk organik menjadi 2,98 setelah petani mengadopsi pupuk organik. Nilai rasio B/C pun mengalami peningkatan dari 1,34 menjadi 1,98. Perhitungan atas dasar biaya total menunjukkan peningkatan rasio R/C dari 2,31 menjadi 2,48 dan peningkatan rasio B/C dari 1,31 menjadi 1,48. Tabel 5.3 Hasil Uji Beda Produksi, Total Biaya, Pendapatan dan Pendapatan Bersih Setelah dan Sesudah Penggunaan Pupuk Organik Variabel Mean t-statistik Probability Produksi Total Biaya Pendapatan Pendapatan Bersih Q 0 = 4794,06 Q 1 = 5861,17 Q 0 = 4342551,45 Q 1 = 4786153,92 Q 0 = 11458594,44 Q 1 = 15356961,11 Q 0 = 7016021,32 Q 1 = 10570858,38-6,018 0,000-3,364 0,001-8,520 0,000-6,648 0,000 Sumber : Data (diolah) Perhitungan lanjut untuk menunjukkan perbedaan dari sebelum program BLP Organik dengan sesudah program BLP Organik dilakukan uji beda mean. Pada Tabel 5.3 terlihat bahwa variabel produksi, total biaya, pendapatan serta pendapatan bersih memiliki nilai mean yang berbeda dan nilai probability lebih
52 kecil dari taraf nyata 1 persen. Secara statistik terdapat perbedaan produksi, total biaya, pendapatan dan pendapatan bersih dari sebelum adanya program BLP Organik dengan sesudah program BLP Organik. Pengaplikasian pupuk organik pada lahan petani responden di Provinsi Lampung mampu meningkatkan produksi serta pendapatan petani padi. 5.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Adopsi Teknologi Pupuk Organik Pupuk organik merupakan pupuk yang memiliki kelebihan, selain dapat meningkatkan pendapatan petani melalui peningkatan produktivitas juga dapat mengembalikan unsur hara tanah yang hilang akibat penggunaan pupuk anorganik secara berlebih. Petani responden yang pernah menggunakan pupuk organik sebelum adanya program BLP Organik sebanyak 33. Petani yang belum pernah mengadopsi pupuk organik beralasan bahwa harga pupuk organik lebih mahal dan masih belum merasa perlu menggunakan pupuk organik. Bantuan langsung pupuk organik bertujuan untuk tiga tujuan utama yaitu meningkatkan kesadaran petani tentang penggunaan dan manfaat pupuk organik, meringankan beban petani dalam pengadaan pupuk organik serta meningkatkan produktivitas tanaman bahan makanan utama seperti padi. Ketiga tujuan tersebut bermuara pada kemandirian petani dalam membangun ketahanan pangan nasional jangka panjang dan peningkatan pendapatan petani (PSP3, 2010). Pada prakteknya program BLP Organik memiliki hambatan yg dirasakan langsung oleh sebagian besar petani responden yaitu volume paket yang tidak memadai dan lambannya proses pendistribusian BLP Organik dari distributor hingga ke tangan petani.
53 Manfaat yang dihasilkan akibat pengadopsian pupuk organik bukan hanya membuat tanaman lebih subur ternyata responden menyatakan manfaat lainnya seperti tanaman lebih tahan hama, tanah lebih gembur dan banyak berkembang cacing tanah. Hanya sebagian kecil dari petani yang tidak merasakan manfaat dari pengadopsian pupuk organik, hal tersebut karena petani responden kurang puas dengan produksi yang didapat setelah pengadopsian pupuk organik. Analisis mengenai faktor-faktor penentu adopsi teknologi pupuk organik menggunakan model logit. Model logit menggunakan panel dari 60 responden sehingga didapat n tiap variabelnya sebanyak 120 unit. Hasil model logit disusun dan diuji menggunakan bantuan aplikasi SPSS 18. Tabel 5.4 Hasil Pendugaan Parameter Model Logit Observasi Prediksi Percentage Correct Tidak adopsi pupuk organik 36 61,1 Adopsi pupuk organik 84 92,9 Overall Percentage 83,3 Sumber : Data (diolah) Hasil pendugaan parameter (Tabel 5.3) menyatakan model dapat mengklasifikasikan responden yang tidak mengadopsi pupuk organik dengan benar sebesar 61,1 persen. Sebesar 92,9 persen responden yang mengadopsi pupuk organik mampu diklasifikasikan oleh model. Secara keseluruhan, model mampu mengklasifikasikan responden baik yang adopsi maupun tidak adopsi pupuk organik dengan benar sebesar 83,3 persen. Nilai Chi-Square yang didapat dari Hosmer and Lemeshow Test sebesar 12,410 dengan P-Value 0,134 > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa model logit secara keseluruhan dapat
54 menjelaskan atau memprediksi keputusan petani dalam mengadopsi pupuk organik. Tabel 5.5 Hasil Pendugaan Model Logit untuk Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adopsi Teknologi Pupuk Organik No Variabel Parameter Odds P-value dugaan Ratio 1 Konstanta -1,457 0,276 0,233 2 Luas Lahan 1,950 0,078* 7,027 3 Lama Usahatani -0,039 0,168 0,962 4 Umur Petani Responden 0,026 0,391 1,026 5 Jumlah Persil Lahan -1,307 0,042* 0,271 6 Total Biaya 0,001 0,013* 1,001 7 Dummy historis -22,450 0,999 0,000 Sumber : Data (diolah) Keterangan : Taraf nyata α 5% (*) Hasil pendugaan model logit untuk faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi pupuk organik memperlihatkan tiga variabel yang signifikan pada taraf nyata 5% yaitu variabel luas lahan, jumlah persil lahan dan total biaya. Pemilihan taraf nyata 5% karena pada taraf tersebut ketiga variabel memiliki nilai berbeda dengan nol. Variabel luas lahan memiliki nilai odds ratio sebesar 7,027 artinya petani yang memiliki luas lahan lebih luas memiliki peluang untuk mengadopsi pupuk organik 7,027 kali lebih besar daripada petani dengan luas lahan yang lebih sempit. Koefisien variabel luas lahan bertanda positif sehingga semakin luas lahan responden maka peluang responden mengadopsi pupuk organik semakin besar. Hal tersebut sejalan dengan interpretasi dari odds ratio yang dihasilkan model logit. Semakin luas lahan juga menunjukkan petani memiliki kapital untuk
55 pengadopsian pupuk organik. Selain itu luas lahan milik petani mampu menunjukkan perilaku petani dalam hal pengambilan resiko untuk tingkat pengadopsian pupuk organik. Semakin luasnya lahan maka petani akan membagi resiko sehingga petani tidak ragu untuk mencoba hal baru seperti pengadopsian pupuk organik. Data pada penelitian ini menunjukkan rata-rata luas lahan responden yang mengadopsi pupuk organik (0,93 ha) lebih besar dibandingkan rata-rata luas lahan responden yang tidak mengadopsi pupuk organik (0,59 ha). Hasil tersebut sejalan dengan hasil yang didapat dari penelitian Yuliarmi (2009) untuk pengadopsian teknologi pupuk berimbang dimana petani yang mengadopsi pemupukan berimbang memiliki rata-rata luas lahan lebih luas dibanding petani yang tidak mengadopsi pemupukan berimbang. Variabel jumlah persil lahan memiliki nilai odds ratio 0,271 berarti semakin banyak jumlah persil lahan yang dimiliki petani maka peluang untuk mengadopsi pupuk organik sebesar 0,271 kali lebih kecil dibanding petani dengan jumlah persil lahan yang sedikit. Koefisien variabel jumlah persil lahan bertanda negatif yang memilki arti bahwa semakin banyak jumlah persil lahan yang dimiliki petani responden maka akan semakin kecil peluang pengadopsian pupuk organik. Pernyataan tersebut didorong dengan pemikiran semakin banyak jumlah persil lahan maka semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk pendistribusian serta pengaplikasian pupuk organik. Sesuai dengan data yang didapat dari petani responden Provinsi Lampung bahwa rata-rata jumlah persil lahan responden yang mengadopsi pupuk organik hanya 1 sehingga besar kemungkinan petani responden untuk mengadopsi pupuk organik.
56 Variabel terakhir adalah total biaya dengan nilai odds ratio 1,001. Dari hasil odds ratio yang didapat memiliki arti bahwa total biaya tidak terlalu berpengaruh terhadap peluang penggunaan pupuk organik. Berarti petani dengan total biaya tinggi tidak berbeda dengan petani bertotal biaya rendah dalam hal peluang pengadopsian pupuk organik. Hal tersebut sejalan dengan hasil analisis usahatani yang diperhitungkan walaupun total biaya meningkat sebesar 19,81 persen (atas dasar biaya total) namun penggunaan pupuk organik juga meningkat dari 400 kg/ha menjadi 533 kg/ha. Kendala tingginya biaya bukanlah menjadi faktor yang mempengaruhi tingkat pengadopsian pupuk organik karena petani yang menyatakan peningkatan produksi dirasakan oleh 16,67 persen dan 21,67 persen petani merasakan terjadi peningkatan kesuburan tanah dan tanaman padi.