KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. yang melimpah. Sumber daya alam nantinya dapat digunakan sebagai pendukung

IV. GAMBARAN UMUM. Pulau Jawa merupakan salah satu bagian dari lima pulau besar di

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar

Antar Kerja Antar Lokal (AKAL)

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KABUPATEN ACEH UTARA. Katalog BPS : BADAN PUSAT STATISTIK

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

BERITA RESMI STATISTIK

BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

Mengurangi Kemiskinan Melalui Keterbukaan dan Kerjasama Penyediaan Data

BAB IV GAMBARAN UMUM

PENDAHULUAN Latar Belakang

GAMBARAN UMUM KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PROVINSI RIAU

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1

Antar Kerja Antar Daerah (AKAD)

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA Keadaan Geografis dan Kependudukan

I. PENDAHULUAN. setiap negara, terutama di negara-negara berkembang. Negara terbelakang atau

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB I KONDISI MAKRO PEMBANGUNAN JAWA BARAT

Kalimantan Tengah. Jembatan Kahayan

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan kemakmuran masyarakat yaitu melalui pengembangan. masalah sosial kemasyarakatan seperti pengangguran dan kemiskinan.

Keadaan Ketenagakerjaan Maluku Utara Agustus 2017

Identifikasi Desa Dalam Kawasan Hutan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR 2014

BAB I PENDAHULUAN. hasil berupa suatu karya yang berupa ide maupun tenaga (jasa). Menurut Dinas. kualitas kerja yang baik dan mampu memajukan negara.

V. GAMBARAN UMUM. Kota Bogor mempunyai luas wilayah km 2 atau 0.27 persen dari

Boleh dikutip dengan mencantumkan sumbernya

Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik

IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis dan Iklim

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kabupaten Kulon Progo merupakan salah satu dari lima daerah otonom di

Pekerjaan Umum. B u k u I n d u k KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM. bis-pu 2011

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

SITUASI KETENAGAKERJAAN INDONESIA *) FEBRUARI 2005

DINAMIKA PEREKONOMIAN LAMPUNG

DATA STATISTIK TENTANG PERKAWINAN DI INDONESIA

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1

DAFTAR ISI. Tabel SD-1 Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama Tabel SD-2 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status... 1

KEADAAN KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA SEPTEMBER, 2014

PENDAHULUAN Latar Belakang

A. Keadaan Geografis Dan Topografi

BAB IV GAMBARAN UMUM. A. Gambaran Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat. provinsi NTB mencapai ,15 km 2.

BAB III TEKANAN TERHADAP LINGKUNGAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang

KATA PENGANTAR. Identifikasi Desa di Dalam dan di Sekitar Kawasan Hutan 2009

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI

IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA BARAT FEBRUARI 2015

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI

Laporan ini disusun untuk memberikan gambaran umum tentang ketenagakerjaan pertanian, rumah tangga pertanian dan kondisi pengelolaan lahan pertanian.

BAB IV GAMBARAN UMUM. 15 Lintang Selatan dan antara Bujur Timur dan dilalui oleh

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI

DATA STATISTIK TENTANG PERKAWINAN DI INDONESIA

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG AGUSTUS 2017

Kalimantan Selatan. Pasar Terapung Muara Kuin

TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA PADA AGUSTUS 2009 SEBESAR 6,00 PERSEN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BAB IV GAMBARAN UMUM. Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara


Profile Perempuan Indonesia

Katalog BPS : BADAN PUSAT STATISTIK KOTA PALANGKA RAYA

LAMPIRAN DATA INDONESIA

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur


IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan :

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dihadapi oleh semua negara di dunia. Amerika Serikat yang tergolong sebagai

Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Kalimantan Tengah Agustus 2017

DAFTAR TABEL. Tabel 2.1 Luas Wilayah Menurut Kecamatan dan Desa/Kelurahan... 17

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA AGUSTUS 2012

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2016

Sulawesi Tenggara. Tugu Persatuan

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

BAB IV GAMBARAN UMUM

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

BAB I PENDAHULUAN. miskin mulai dari awal peradaban hingga sekarang ini. Kemiskinan

TIPOLOGI WILAYAH HASIL PENDATAAN POTENSI DESA (PODES) 2014

KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1

PROFIL PEMBANGUNAN JAMBI

STATISTIK DAERAH KECAMATAN JEKAN RAYA 2013


PROFIL PEMBANGUNAN BANTEN

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi:

49 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Kondisi Geografis dan Administratif Pulau Jawa merupakan salah satu dari lima pulau besar di Indonesia, yang terletak di bagian Selatan Nusantara yang dikenal sebagai negara maritim. Sebagai bagian dari negara maritim, Pulau Jawa dikelilingi oleh berbagai perairan, baik samudera, laut maupun selat. Secara geografis, letak Pulau Jawa berbatasan langsung dengan Laut Jawa di sebelah Utara, Selat Bali di sebelah Timur, Samudra Hindia di sebelah Selatan, sedangkan di sebelah Barat berbatasan dengan Selat Sunda, sebagaimana disajikan pada Gambar 4.1 berikut ini. Sumber: Peta Administrasi Podes (BPS) Gambar 4.1. Letak Pulau Jawa dalam Wilayah Nusantara Pulau Jawa membentang dari Barat ke Timur sepanjang 1.050 km dengan luas 129.438,28 km 2 (berdasarkan Peraturan Dalam Negeri No.6 Tahun 2008 tanggal 31 Januari 2008) atau sekitar 6.77% dari total luas wilayah Indonesia. Secara administrasi sampai dengan akhir tahun 2007, Jawa tercatat memiliki 6 provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I.Yogyakarta (DIY), Jawa Timur, dan Banten, yang meliputi 116 kabupaten/kota (84 kabupaten dan 32 kota). Ditinjau dari segi luas wilayahnya, Jawa Timur menempati urutan pertama (terluas) di Pulau Jawa dibandingkan kelima provinsi yang lain, sedangkan DKI Jakarta ada di urutan terakhir (rincian luas wilayah dan pembagian daerah administrasi masing-masing provinsi di Pulau Jawa dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut).

50 Tabel 4.1. Luas Wilayah dan Pembagian Daerah Administrasi Masing-masing di Pulau Jawa Tahun 2007 Luas Wilayah 1 (km 2 ) Persen Luas (%) Jumlah Kab 1 Jumlah Kota 1 Jumlah Kecamatan 2 Jumlah Desa 2 DKI Jakarta 664.01 0.03 1 5 44 267 Jawa Barat 35,377.76 1.85 17 9 602 5,832 Jawa Tengah 32,800.69 1.72 29 6 568 8,573 D.I.Yogyakarta 3,133.15 0.16 4 1 78 438 Jawa Timur 47,799.75 2.50 29 9 657 8,505 Banten 9,662.92 0.51 4 2 152 1,504 Jawa 129,438.28 6.77 84 32 2,101 25,119 Indonesia 1,910,931.32 100.00 370 95 6,131 73,408 Sumber: Statistik Indonesia (2008). Keterangan: 1 Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.6 Tahun 2008 pada tanggal 31 Januari 2008. 2 Berdasarkan Laporan BPS sampai dengan 31 Desember 2007. Kondisi Kependudukan dan Ketenagakerjaan Kependudukan Penduduk merupakan salah satu modal dasar dalam pelaksanaan pembangunan. Berdasarkan data BPS, dapat diketahui bahwa jumlah penduduk yang mendiami Pulau Jawa tahun 2008 diperkirakan mencapai lebih dari 130 juta jiwa, sebagaimana disajikan pada Tabel 4.2 berikut ini. Tabel 4.2. Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk pada Masingmasing di Pulau Jawa Tahun 2000-2008 Jumlah Penduduk (Ribu Jiwa) 2000 1 2005 2 2007 3 2008 3 Rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk Tahun 2000-2008 (%) DKI Jakarta 8,361.0 8,892.3 9,064.6 9,146.2 1.13 Jawa Barat 35,724.0 39,150.6 40,329.1 40,918.3 1.71 Jawa Tengah 31,223.0 31,873.5 32,380.3 32,626.4 0.55 D.I.Yogyakarta 3,121.1 3,365.5 3,434.5 3,468.5 1.33 Jawa Timur 34,766.0 36,481.8 36,895.6 37,094.8 0.81 Banten 8,098.1 9,071.1 9,423.4 9,602.4 2.15 Jawa 121,293.2 128,834.8 131,527.5 132,856.6 1.14 Indonesia 205,132.0 219,852.0 225,642.0 228,523.3 1.38 Sumber: Statistik Indonesia (2008). Keterangan: 1 Hasil Sensus Penduduk (SP) 2000. 2 Hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2005. 3 Hasil Proyeksi Penduduk, diolah dari hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2005.

51 Selama ini sebagian besar penduduk Indonesia masih terpusat di Pulau Jawa. Jumlah penduduk di Pulau Jawa begitu besar dan terus bertambah setiap tahunnya, namun tidak diimbangi dengan pemerataan penyebaran penduduk. Data tahun 2008 menunjukkan bahwa Pulau Jawa dengan luas yang hanya mencapai 6.77% dari total luas daratan Nusantara, dihuni sekitar 58% dari total penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut, 17.91% penduduk tinggal di Jawa Barat, 14.28% di Jawa Tengah, dan 16.23% di Jawa Timur. Besarnya jumlah penduduk di Pulau Jawa menyebabkan kepadatan penduduk pulau tersebut menjadi sangat tinggi, yaitu 938 jiwa/km 2 (tahun 2000) dan menjadi 1,027 jiwa/km 2 di tahun 2008 (lihat Tabel 4.3 berikut). Tabel 4.3. Distribusi Persentase Penduduk dan Kepadatan Penduduk Masingmasing di Pulau Jawa Tahun 2000-2008 Persentase Penduduk* (%) Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) 2000 1 2005 2 2007 3 2008 3 2000 1 2005 2 2007 3 2008 3 DKI Jakarta 4.08 4.04 4.02 4.00 11,294 12,012 12,245 12,355 Jawa Barat 17.42 17.81 17.87 17.91 967 1,060 1,092 1,108 Jawa Tengah 15.22 14.50 14.35 14.28 952 972 987 995 D.I.Yogyakarta 1.52 1.53 1.52 1.52 996 1,074 1,096 1,107 Jawa Timur 16.95 16.59 16.35 16.23 745 781 790 794 Banten 3.95 4.13 4.18 4.20 898 1,006 1,045 1,065 Jawa 59.13 58.60 58.29 58.14 938 996 1,017 1,027 Indonesia 100.00 100.00 100.00 100.00 110 118 121 123 Sumber: Statistik Indonesia (2008). Keterangan: * Persentase penduduk terhadap total jumlah penduduk nasional. 1 Hasil Sensus Penduduk (SP) 2000. 2 Hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2005. 3 Hasil Proyeksi Penduduk, diolah dari hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2005. Dari data yang disajikan pada Tabel 4.3. di atas, dapat dilihat bahwa DKI Jakarta merupakan provinsi di Pulau Jawa dengan tingkat kepadatan penduduk yang paling tinggi, yaitu mencapai 12,355 jiwa/km 2 pada tahun 2008. Berdasarkan data persentase penduduk (sebagaimana disajikan pada Tabel 4.3), dapat diketahui bahwa dari tahun 2000 hingga 2008 proporsi penduduk di DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur terhadap jumlah penduduk nasional secara konsisten mengalami penurunan, sementara di Jawa Barat dan Banten secara konsisten mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa di Pulau Jawa dari tahun ke tahun terjadi pemusatan sebaran penduduk ke wilayah Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi) sebagai wilayah

52 penyangga Jakarta yang notabene masuk ke dalam wilayah administrasi Jawa Barat dan Banten. Sedangkan proporsi penduduk DIY relatif tetap (terhadap total penduduk nasional) pada selang waktu tersebut (tahun 2000-2008). Sementara apabila dilihat proporsi jumlah penduduk Pulau Jawa terhadap jumlah penduduk nasional, maka proporsi penduduk Pulau Jawa sedikit mengalami penurunan. Kecenderungan ini tentunya cukup baik untuk mendorong keberimbangan sebaran jumlah penduduk secara nasional. Namun untuk wilayah Bodetabek justru terus terjadi pemusatan sehingga proporsi penduduk Jawa Barat dan Banten semakin meningkat. Ketenagakerjaan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Tenaga kerja adalah modal bagi geraknya roda pembangunan. Jumlah dan komposisi tenaga kerja akan terus mengalami perubahan seiring dengan berlangsungnya proses demografi. Pada kondisi Agustus 2007, di Indonesia terdapat 164,12 juta penduduk usia kerja dimana sekitar 60.67% dari mereka berada di Pulau Jawa. Bagian dari tenaga kerja yang aktif dalam kegiatan ekonomi disebut angkatan kerja. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) merupakan ukuran yang menggambarkan jumlah angkatan kerja untuk setiap 100 penduduk usia kerja (15+). TPAK di Pulau Jawa pada bulan Agustus 2007 sebesar 66.12%, yang berarti telah mengalami peningkatan sebesar 0.71% dibandingkan dengan kondisi bulan Agustus 2006 yang besarnya 65.65%. Peningkatan TPAK ini antara lain disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi nasional yang semakin membaik, sehingga memberikan pengaruh terhadap faktor-faktor produksi di Indonesia. Secara langsung naik turunnya faktor produksi ini akan memberikan dampak terhadap tinggi rendahnya faktor permintaan dan penawaran tenaga kerja. Sementara itu, hasil Sakernas (Survei Angkatan Kerja Nasional) Februari 2008 menunjukkan bahwa TPAK di Pulau Jawa kembali meningkat dari kondisi tahun 2007, yakni sebesar 67.23% (Tabel 4.4). Sementara itu, ditinjau dari besarnya tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4.4, dapat diketahui bahwa TPT di Pulau Jawa terkonsentrasi di tiga provinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten. Ketiganya memiliki tingkat pengangguran terbuka di atas nilai rataan Pulau Jawa

53 bahkan nasional. Hal ini menunjukkan bahwa aglomerasi ekonomi di Kawasan Jabodetabek yang notabene mewakili ketiga provinsi tersebut mulai diwarnai oleh masalah pengangguran. Hal ini tentunya tidak terlepas dari fenomena migrasi ke kota yang terjadi secara berlebihan, dimana sebagian besar penduduk yang bermigrasi tersebut didominasi oleh tenaga kerja yang tidak terdidik dan tidak terlatih (unskilled labour). Akibatnya, banyak angkatan kerja yang tidak dapat tertampung, sehingga masalah pengangguran kian berkembang di ketiga provinsi tersebut. Tabel 4.4. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) dan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Masing-masing di Pulau Jawa Tahun 2006-2008 TPT (%) TPAK (%) 2006 2007 2008 2006 2007 2008 Feb Agust Feb Agust Feb Feb Agust Feb Agust Feb DKI 14.3 11.4 13.3 12.6 11.1 62.7 64.9 61.0 65.0 65.9 Jabar 14.5 14.6 14.5 13.1 12.3 61.8 61.4 60.7 62.5 61.9 Jateng 8.2 8.0 8.1 7.7 7.1 71.1 68.6 71.2 70.2 71.5 DIY 6.3 6.3 6.1 6.1 6.0 70.3 69.2 71.7 68.6 70.0 Jatim 7.7 8.2 7.5 6.8 6.2 68.9 67.4 67.7 69.0 69.7 Banten 16.3 18.9 16.1 15.8 14.2 61.4 62.4 61.7 61.6 64.4 Jawa 11.2 11.2 10.9 10.3 9.5 66.0 65.7 65.7 66.1 67.2 Indonesia 10.5 10.3 9.8 9.1 8.5 66.7 66.2 66.6 67.0 67.3 Sumber: Statistik Indonesia (2008). Keterangan: Diolah dari hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas). Kondisi Sosial Pendidikan Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat keberhasilan pembangunan di suatu negara adalah tersedianya cukup sumberdaya manusia yang berkualitas. Ukuran yang biasa digunakan untuk menilai kualitas sumberdaya manusia diantaranya adalah angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan angka partisipasi sekolah. Angka melek huruf penduduk berumur 15 tahun (baik untuk laki-laki maupun perempuan) di Pulau Jawa sudah cukup baik. Meskipun demikian, angka melek huruf terbesar masih terdapat di 3 provinsi di wilayah Barat yaitu Jakarta, Jawa Barat dan Banten (sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4.5). Hal ini bukan hanya menunjukkan bahwa sarana dan prasarana pendidikan pada ketiga provinsi tersebut cukup baik, namun juga mengindikasikan bahwa banyak tenaga terdidik yang bermigrasi dan menetap di ketiga provinsi tersebut. Karena itu, untuk meningkatkan angka melek huruf di

54 provinsi lainnya, maka selain perlu meningkatkan penyediaan sarana prasarana pendidikan (baik dari segi kuantitas maupun kualitas), hal lain yang perlu dilakukan adalah terus membuka peluang agar kesempatan untuk bekerja dan berusaha semakin luas. Tabel 4.5. Angka Melek Huruf Penduduk Berusia 15 Tahun ke Atas Menurut dan Jenis Kelamin di Pulau Jawa Tahun 2005 dan 2006 ( %) Angka Melek Huruf (%) 2005 2006 Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan DKI Jakarta 99.3 97.4 99.1 97.4 Jawa Barat 96.9 92.3 97.0 92.8 Jawa Tengah 92.3 82.6 92.7 83.9 DI Yogyakarta 92.5 81.2 92.3 80.7 Jawa Timur 91.5 80.5 92.1 82.4 Banten 97.5 93.7 97.0 92.9 Jawa 95.0 88.0 95.4 88.4 Indonesia 92.8 88.3 93.1 89.7 Sumber: BPS (2007). Berdasarkan informasi yang diperoleh dari BPS (2007) juga dapat diketahui data rata-rata lamanya penduduk bersekolah di tiap-tiap wilayah. Pada kasus Pulau Jawa, penduduk di beberapa provinsi tahun 2005 dan 2006 memiliki rata-rata lama sekolah yang berada di atas rataan nasional, yaitu DKI Jakarta, DIY, dan Banten (Tabel 4.6). Tabel 4.6. Rata-rata Lama Sekolah Menurut dan Jenis Kelamin di Pulau Jawa Tahun 2005 dan 2006 (dalam tahun) Rata-rata Lama Sekolah (tahun) 2005 2006 Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan DKI Jakarta 10.4 9.3 10.7 9.6 Jawa Barat 7.8 6.8 7.9 7.0 Jawa Tengah 7.2 6.1 7.4 6.3 DI Yogyakarta 9.0 7.7 9.4 7.7 Jawa Timur 7.3 6.1 7.5 6.3 Banten 8.5 7.5 8.3 7.3 Jawa 8.4 7.3 8.5 7.4 Indonesia 7.8 6.8 7.9 7.0 Sumber: BPS (2007). Rata-rata lama sekolah penduduk di Jawa Barat sama dengan rataan nasional, sedangkan dua provinsi lainnya (Jawa Tengah dan Jawa Timur) justru lebih rendah dari rataan nasional. Dari ketiga provinsi di Pulau Jawa dengan

55 nilai di atas rataan nasional, DKI Jakarta merupakan provinsi dengan nilai rata-rata lama sekolah yang tertinggi, meskipun besarnya hanya mencapai 10.4 (tahun 2005) dan 10.7 (tahun 2006). Nilai ini menunjukkan bahwa rata-rata penduduk di Jakarta berpendidikan setingkat SLTA, sedangkan di provinsi lainnya (kecuali di DIY), penduduknya rata-rata berpendidikan setingkat SLTP. Dengan fakta tersebut, sebenarnya tingkat pendidikan masyarakat di Indonesia khususnya Pulau Jawa relatif masih rendah, meskipun bila dibandingkan dengan pulau yang lain, Jawa masih lebih unggul. Kapasitas SDM merupakan salah satu kunci pembangunan, sehingga hal ini menjadi tantangan yang harus dijawab melalui proses pembangunan wilayah di Pulau Jawa. DKI Jakarta dan DIY memiliki nilai rata-rata lama sekolah yang lebih baik karena keduanya mempunyai sarana dan prasarana pendidikan yang cukup memadai. Selanjutnya ditinjau dari angka partisipasi sekolah berdasarkan kelompok umur 1 menunjukkan bahwa kondisi partisipasi sekolah penduduk di Pulau Jawa memiliki kemiripan karakteristik. Pada kelompok umur 7-12 tahun dan 13-15 tahun angka partisipasi sekolah cukup baik (pendidikan setingkat SD dan SLTP) dan selanjutnya besarnya persentase angka tersebut semakin menurun secara signifikan pada kelompok umur 16-18 tahun dan 19-24 tahun (pendidikan setingkat SLTA dan Perguruan Tinggi). Angka partisipasi sekolah yang paling baik terdapat di DIY, yang ditunjukkan dengan nilai persentasenya yang paling tinggi dibandingkan kelima provinsi lainnya di Pulau Jawa (pada semua kelompok umur), sebagaimana yang disajikan pada Tabel 4.7. Tabel 4.7. Angka Partisipasi Sekolah Menurut Kelompok Usia Sekolah di Masing-masing di Pulau Jawa (dalam %) Angka Partisipasi Sekolah (%) 7-12 tahun 13-15 tahun 16-18 tahun 19-24 tahun DKI Jakarta 98.46 90.76 60.26 15.84 Jawa Barat 97.64 79.70 45.62 8.88 Jawa Tengah 98.47 83.41 51.31 9.26 D.I.Yogyakarta 99.35 90.55 71.18 39.71 Jawa Timur 98.22 85.99 56.79 10.28 Banten 97.36 80.35 48.65 10.36 Jawa 98.25 85.13 55.64 15.72 Sumber: BPS (2007). 1 Merujuk pada jenjang pendidikan maka penduduk usia sekolah biasanya dikelompokkan ke dalam empat (4) kelompok umur, yaitu 7-12 tahun (SD), 13-15 tahun (SLTP), 16-18 tahun (SLTA) dan 19-24 tahun (Perguruan Tinggi).

56 Tingginya angka partisipasi sekolah di DIY sudah dapat diduga karena memang kebanyakan orang datang ke wilayah tersebut untuk menempuh pendidikan, terutama pendidikan menengah dan tinggi (selain juga untuk tujuan wisata). Sementara itu, kondisi belum optimalnya angka partisipasi sekolah di beberapa provinsi lain di Pulau Jawa menuntut adanya perbaikan, sehingga kapasitas dan kualitas SDM di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa semakin meningkat. Kesehatan Pembangunan bidang kesehatan meliputi seluruh siklus atau tahapan kehidupan manusia. Bila pembangunan kesehatan berhasil dengan baik maka secara langsung atau tidak langsung akan terjadi peningkatan kesejahteraan rakyat. Pentingnya pembangunan bidang kesehatan ini paling tidak tercermin dari deklarasi Millenium Development Goals (MDGs) dimana lebih dari sepertiga indikatornya menyangkut bidang kesehatan. Berdasarkan informasi dari dokumen Proyeksi Penduduk Indonesia tahun 2000-2025, angka kematian bayi di Pulau Jawa secara umum masih berada di bawah rataan nasional. Namun demikian, ada dua provinsi yang memiliki nilai di atas rataan nasional, yaitu Jawa Barat dan Banten (Tabel 4.8). Tabel 4.8. Angka Kematian Bayi dan Angka Harapan Hidup pada Masingmasing di Pulau Jawa Tahun 2005 dan 2006 Angka Kematian Bayi Angka Harapan Hidup 2000 2005 2005 2006 DKI Jakarta 18 14 72.5 72.6 Jawa Barat 42 33 67.2 67.4 Jawa Tengah 33 25 70.6 70.8 DI Yogyakarta 18 14 72.9 73.0 Jawa Timur 37 29 68.5 68.6 Banten 50 39 64.0 64.3 Jawa 33 26 69.3 69.5 Indonesia 41 32 68.1 68.5 Sumber: BPS (2007). Dari data Tabel 4.8 di atas terlihat bahwa dominannya aktivitas ekonomi dan memusatnya penduduk di Kawasan Jabodetabek telah diwarnai dengan permasalahan-permasalahan kependudukan seperti angka kematian bayi yang tinggi. Hal inilah yang menjadi salah satu indikasi bahwa telah terjadi urbanisasi

57 secara berlebihan di Kawasan Jabodetabek sehingga tingginya aktivitas ekonomi di satu sisi diikuti oleh semakin menurunnya kesejahteraan di sisi yang lain. Berdasarkan dokumen yang sama, angka harapan hidup di Pulau Jawa secara umum berada di atas nilai rataan nasional. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa di Jawa Barat dan Banten angka harapan hidupnya lebih rendah daripada nilai rataan nasional (Tabel 4.8). Indikator lain terkait bidang kesehatan yang dihasilkan dari Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) adalah persentase penduduk yang mempunyai keluhan kesehatan selama sebulan. Dari Tabel 4.9, dapat diketahui bahwa secara umum hampir setiap tahun (tahun 2002-2007) besarnya persentase penduduk yang mempunyai keluhan kesehatan masih berada di atas nilai rataan nasional. Dari data tersebut juga dapat dilihat bahwa dari tahun ke tahun, besarnya persentase penduduk yang mempunyai keluhan kesehatan di Pulau Jawa cenderung meningkat, meskipun pada tahun 2003 dan 2005 angka ini mengalami penurunan. Tabel 4.9. Persentase Penduduk yang Mempunyai Keluhan Kesehatan Selama Sebulan yang Lalu di Masing-masing di Pulau Jawa Tahun 2002 hingga 2007 (dalam %) Persentase Penduduk yang Mempunyai Keluhan Kesehatan Selama Sebulan yang Lalu (%) 2002 2003 2004 2005 2006 2007 DKI Jakarta 28.91 27.61 29.90 25.29 31.38 32.16 Jawa Barat 24.71 22.93 24.14 24.36 25.91 28.89 Jawa Tengah 30.98 29.30 29.38 27.06 27.91 28.49 D.I.Yogyakarta 1 34.54 34.25 37.81 32.73 44.39 38.41 Jawa Timur 29.50 27.12 30.65 29.11 29.40 30.12 Banten 22.07 17.17 20.08 19.45 25.40 29.53 Jawa 28.45 26.40 28.66 26.33 30.73 31.27 Indonesia 26.25 24.41 26.51 26.68 28.15 30.90 Sumber: Statistik Indonesia (2008); Diolah dari hasil Susenas. Keterangan: 1 DIY tahun 2006 dihitung tanpa Kabupaten Bantul. Sanitasi dan Sarana Permukiman Kondisi sanitasi dan isu-isu permukiman juga merupakan indikator yang dapat mengindikasikan tingkat kesejahteraan masyarakat. Ditinjau dari besarnya persentase rumah tangga berdasarkan kategori sumber air yang digunakan untuk minum, maka dapat dilihat bahwa rumah tangga pada semua provinsi di Pulau Jawa (kecuali DKI Jakarta) sebagian besar menggunakan sumber air minum yang berasal dari sumur yang terlindungi. Sementara untuk rumah tangga

58 di DKI Jakarta, sebagian besar menggunakan air minum yang berasal dari ledeng, pompa dan air dalam kemasan (Tabel 4.10). Hal tersebut disebabkan karena kesulitan ditemuinya sumber-sumber mata air bersih dari sumur-sumur yang ada di wilayah tersebut dan tingginya tingkat pencemaran air karena limbah, serta bahan pencemar lainnya. Tabel 4.10. Persentase Rumah Tangga Berdasarkan Sumber Air Minum yang Digunakan pada Masing-masing di Pulau Jawa Tahun 2007 Ledeng Persentase Rumah Tangga Berdasarkan Sumber Air Minum (%) Pompa Air dalam kemasan Sumur terlindungi Sumur tak terlindungi Mata air terlindungi Mata air tak terlindungi Lainnya DKI Jakarta 34.26 32.16 31.26 1.06 0.29 0.03 0.06 0.88 Jawa Barat 11.38 28.63 6.89 28.04 8.65 8.65 7.03 0.73 Jawa Tengah 14.71 14.94 2.47 42.40 7.60 11.84 4.30 1.74 DI Yogyakarta 10.24 8.86 12.24 55.56 6.12 2.03 1.75 3.20 Jawa Timur 16.36 22.17 6.93 33.46 6.40 9.94 3.47 1.27 Banten 9.22 34.81 16.61 20.28 7.21 3.22 3.76 4.89 Jawa 16.03 23.60 12.73 30.13 6.05 5.95 3.40 2.12 Indonesia 16.19 17.62 7.18 30.07 10.32 7.86 4.77 2.57 Sumber: Statistik Indonesia (2008); Diolah dari hasil Susenas. Indikator lain terkait sarana permukiman yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan sosial masyarakat adalah besarnya persentase rumah tangga menurut sumber penerangan yang digunakan (Tabel 4.11). Sebagaimana data yang disajikan pada Tabel 4.11, dapat diketahui bahwa hampir seluruh rumah tangga di semua provinsi di Pulau Jawa menggunakan listrik dari PLN (Perusahaan Listrik Negara) sebagai sumber penerangan (dengan persentase di atas 90%). Tabel 4.11. Persentase Rumah Tangga di Masing-masing di Pulau Jawa Berdasarkan Sumber Penerangan yang Digunakan Tahun 2007 (%) Persentase Rumah Tangga Berdasarkan Sumber Penerangan (%) Listrik PLN Listrik Non PLN Petromak/ aladin Pelita/sentir/ obor Lainnya Jumlah DKI Jakarta 99.16 0.52 0.19 0.11 0.02 100.00 Jawa Barat 97.16 0.61 0.40 1.64 0.19 100.00 Jawa Tengah 97.29 0.47 0.23 1.83 0.18 100.00 DI Yogyakarta 98.50 0.03 0.07 1.36 0.04 100.00 Jawa Timur 96.58 0.52 0.74 1.86 0.30 100.00 Banten 92.69 0.49 0.72 5.70 0.40 100.00 Jawa 96.90 0.44 0.39 2.08 0.19 100.00 Indonesia 88.37 3.10 1.23 6.72 0.58 100.00 Sumber: Statistik Indonesia (2008); Diolah dari hasil Susenas.

59 Ditinjau dari besarnya persentase rumah tangga berdasarkan fasilitas tempat buang air besar yang dimiliki (sebagaimana data yang disajikan pada Tabel 4.12), dapat diketahui bahwa sebagian besar rumah tangga di seluruh provinsi di Pulau Jawa rata-rata telah memiliki jamban sendiri untuk buang air besar (dengan persentase di atas 50%). Namun demikian, dari keenam provinsi yang ada di Pulau Jawa, masih terdapat 3 provinsi dimana besarnya persentase rumah tangga yang tidak memiliki jamban/fasilitas buang air besar masih cukup tinggi, bahkan di atas nilai rataan nasional. Ketiga provinsi tersebut adalah Banten, Jawa Timur, dan Jawa Tengah (dengan nilai persentase masing-masing secara berurutan dari nilai persentase yang tertinggi hingga terendah yaitu sebesar 32.21%, 25.75% dan 25.32%). Terkait dengan besarnya persentase rumah tangga berdasarkan kepemilikan jamban sebagai fasilitas untuk buang air besar, maka dari seluruh provinsi yang ada di Pulau Jawa, kondisi di DKI Jakarta tergolong yang paling baik. Sebab, lebih dari 70% rumah tangga di provinsi tersebut telah memiliki jamban sendiri, sekitar 20% rumah tangga memiliki jamban bersama, 6% rumah tangga masih menggunakan jamban umum, sedangkan rumah tangga yang tidak memiliki jamban sama sekali jumlahnya hanya 0.65% (jauh lebih kecil dibandingkan dengan besarnya persentase pada kelima provinsi yang lain). Tabel 4.12. Persentase Rumah Tangga di Masing-masing di Pulau Jawa Berdasarkan Fasilitas Buang Air Besar Tahun 2007 (dalam %) Jamban Sendiri Persentase Rumah Tangga Berdasarkan Fasilitas Buang Air Besar (%) Jamban Bersama Jamban Umum Tidak ada Jumlah DKI Jakarta 73.40 19.65 6.30 0.65 100.00 Jawa Barat 61.96 12.78 8.67 16.59 100.00 Jawa Tengah 58.65 12.52 3.51 25.32 100.00 DI Yogyakarta 64.59 27.03 0.67 7.71 100.00 Jawa Timur 57.16 15.26 1.83 25.75 100.00 Banten 53.23 12.54 2.02 32.21 100.00 Jawa 61.50 16.63 3.83 18.04 100.00 Indonesia 59.86 12.95 4.33 22.86 100.00 Sumber: Statistik Indonesia (2008); Diolah dari hasil Susenas. Dari data persentase rumah tangga berdasarkan bahan bakar yang digunakan untuk memasak (Tabel 4.13), maka dapat diketahui bahwa secara umum kondisi rumah tangga di seluruh provinsi di Pulau Jawa relatif lebih baik dibandingkan dengan rumah tangga pada provinsi lain di luar Jawa. Dari Tabel

60 4.13 dapat dilihat bahwa di DKI Jakarta sebagian besar rumah tangganya menggunakan minyak tanah dan gas/elpiji sebagai bahan bakar utama untuk memasak, dengan persentase berturut-turut adalah 57.9% dan 34.2%. Sedangkan beberapa jenis bahan bakar yang lain juga digunakan pada wilayah tersebut, meskipun dengan persentase yang relatif kecil. Sementara itu, di beberapa provinsi yang lain, seperti Jawa Tengah, Jawa Timur dan DIY, sebagian besar rumah tangganya masih menggunakan kayu sebagai bahan bakar utama untuk memasak, dengan persentase masing-masing adalah 62.33%, 56.43%, dan 50.06%. Sedangkan bahan bakar utama yang digunakan sebagian besar rumah tangga di Jawa Barat dan Banten untuk memasak adalah minyak tanah. Tabel 4.13. Persentase Rumah Tangga di Masing-masing di Pulau Jawa Berdasarkan Bahan Bakar Utama yang Digunakan untuk Memasak Tahun 2007 (dalam %) Listrik Persentase Rumah Tangga Berdasarkan Bahan Bakar Utama Yang Digunakan untuk Memasak (%) Gas/elpiji Minyak tanah Arang/ briket Kayu Lainnya Jumlah DKI Jakarta 4.07 34.20 57.90 0.20 0.27 3.36 100.00 Jawa Barat 2.24 11.56 48.74 0.31 36.66 0.49 100.00 Jawa Tengah 1.41 8.90 26.25 0.42 62.33 0.69 100.00 DI Yogyakarta 2.54 16.70 23.25 0.51 50.07 6.93 100.00 Jawa Timur 1.51 6.83 34.08 0.32 56.44 0.82 100.00 Banten 2.47 16.52 45.46 0.31 34.37 0.87 100.00 Jawa 2.37 15.79 39.28 0.35 40.02 2.19 100.00 Indonesia 1.86 10.57 36.57 0.79 49.38 0.83 100.00 Sumber: Statistik Indonesia (2008); Diolah dari hasil Susenas. Kondisi Ekonomi Pengeluaran per Kapita Dalam menggambarkan kondisi ekonomi di suatu wilayah, pengeluaran per kapita seringkali dijadikan sebagai salah satu indikator tingkat kesejahteraan masyarakat yang dapat mencerminkan besarnya pendapatan (income) maupun personal income. Pengeluaran per kapita dapat dirinci menjadi 2 (dua), yaitu pengeluaran untuk konsumsi bahan makanan dan pengeluaran untuk konsumsi bahan bukan makanan. Pengeluaran per kapita penduduk untuk mengkonsumsi bahan makanan dan bukan makanan diasumsikan sebagai biaya yang dikeluarkan

61 untuk mengkonsumsi berbagai produk baik pertanian, perikanan, kehutanan, perkebunan, penggunaan area terbangun dan pemanfaatan sumber-sumber energi. Berdasarkan data Susenas tahun 2007, dapat diketahui bahwa DKI Jakarta merupakan provinsi dengan tingkat pengeluaran per kapita tertinggi dengan rasio pengeluaran bahan makanan/bukan makanan paling rendah, yaitu 0.55. (Tabel 4.14). Rasio pengeluaran per kapita untuk bahan makanan/bukan makanan dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Salah satu indikator dari tingkat kesejahteraan masyarakat adalah apabila pengeluaran untuk konsumsi bukan makanan lebih tinggi dibandingkan konsumsi terhadap bahan makanan, sehingga rasio pengeluaran untuk bahan makanan/bukan makanan relatif kecil. Di antara keenam provinsi di Pulau Jawa, hanya terdapat dua provinsi yang rasio pengeluaran untuk konsumsi bahan makanan/bukan makanan-nya berada di bawah rata-rata Pulau Jawa, yaitu DKI Jakarta dan DIY, sedangkan keempat provinsi yang lain (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Banten) memiliki nilai rasio yang cukup tinggi. Tabel 4.14. Pengeluaran Rata-rata per Kapita Sebulan di Masing-masing di Pulau Jawa (dalam Rupiah) Tahun 2007 Pengeluaran Rata-rata per Kapita (Rp/bulan) Bahan Makanan Bukan Makanan Jumlah Rasio Bahan Makanan/Bukan Makanan DKI Jakarta 272,821 500,586 773,407 0.55 Jawa Barat 180,512 186,750 367,263 0.97 Jawa Tengah 140,609 140,756 281,365 1.00 DI Yogyakarta 163,292 227,348 390,639 0.72 Jawa Timur 143,502 151,834 295,336 0.95 Banten 196,907 234,190 431,097 0.84 Jawa 182,941 240,244 423,185 0.76 Indonesia 174,025 179,396 353,421 0.97 Sumber: Susenas (2007). Data Susenas menunjukkan bahwa tingkat pengeluaran rata-rata per kapita di Pulau Jawa mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kondisi ini dapat dikaitkan dengan tekanan penduduk di Pulau Jawa yang mendorong terjadinya peningkatan atas permintaan terhadap bahan makanan dan bukan makanan, sehingga lebih lanjut berdampak pada kenaikan harga barang-barang tersebut. Oleh karena itu, biaya yang dikeluarkan untuk mengkonsumsi barang-barang tersebut juga akan semakin meningkat (Tabel 4.15). Di Pulau Jawa, besarnya konsumsi untuk bahan makanan dari tahun ke tahun cenderung semakin menurun.

62 Tabel 4.15. Jumlah Total dan Persentase Pengeluaran Rata-rata per Kapita Sebulan untuk Konsumsi Makanan di Pulau Jawa Menurut Tahun 2002, 2005 dan 2007 Pengeluaran Rata-Rata Per Kapita Sebulan (Rp/bulan) (untuk Konsumsi Makanan dan Bukan Makanan) Konsumsi Makanan 2002 2005 2007 2002 2005 2007 DKI Jakarta 481,585 658,764 773,407 40.53 37.72 35.28 Jawa Barat 209,078 296,283 367,263 59.16 50.42 49.15 Jawa Tengah 172,686 228,602 281,365 59.31 52.61 49.97 DI. Yogyakarta 231,885 367,297 390,639 50.41 40.13 41.8 Jawa Timur 186,665 253,183 295,336 57.87 50.75 48.59 Banten 260,237 343,538 431,097 56.62 48.98 45.68 Jawa 257,023 357,945 423,185 53.98 46.77 45.08 Indonesia 206,336 286,741 353,421 58.47 51.37 49.24 Sumber: Susenas (2007). Kemiskinan Secara absolut penduduk miskin di Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa. Lebih dari separuh penduduk miskin di Indonesia berdomisili di pulau tersebut. Pada tahun 2007 jumlah penduduk miskin di Pulau Jawa sebesar 21.10 juta jiwa (56.77% dari total penduduk miskin di Indonesia) dan pada tahun 2008 sebesar 19.98 juta jiwa (57.15%). Jumlah penduduk miskin di Pulau Jawa secara umum terkonsentrasi di tiga provinsi yang memiliki wilayah yang luas yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat (berdasarkan urutan dari yang jumlahnya tertinggi), sebagaimana data yang disajikan pada Tabel 4.16). Tabel 4.16. Jumlah Penduduk Miskin Perkotaan dan Perdesaan pada Masingmasing di Pulau Jawa Tahun 2007 dan 2008 (ribu jiwa) Perkotaan Perdesaan Perkotaan+Perdesaan 2007 2008 2007 2008 2007 2008 DKI Jakarta 405.7 379.6 - - 405.7 379.6 Jawa Barat 2,654.6 2,617.4 2,803.3 2,705.0 5,457.9 5,322.4 Jawa Tengah 2,687.3 2,556.5 3,869.9 3,633.1 6,557.2 6,189.6 D.I.Yogyakarta 335.3 324.2 298.2 292.1 633.5 616.3 Jawa Timur 2,575.7 2,310.6 4,579.6 4,340.6 7,155.3 6,651.2 Banten 399.4 371.0 486.8 445.7 886.2 816.7 Jawa 9,058.0 8,559.3 12,037.8 11,416.5 21,095.8 19,975.8 Indonesia 13,559.3 12,768.5 23,609.0 22,194.8 37,168.3 34,963.3 Sumber: Statistik Indonesia, BPS (2008). Diolah dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).

63 Tabel 4.16 menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Jawa Barat relatif berimbang antara wilayah perdesaan dan perkotaan, sementara di Jawa Tengah dan Jawa Timur kemiskinan lebih terkonsentrasi di wilayah perdesaan. Fenomena tersebut memperlihatkan bahwa kemiskinan di Pulau Jawa tidak hanya memusat di wilayah perdesaan tetapi juga makin banyak dijumpai di wilayah perkotaan. Kondisi demikian mengindikasikan dua hal yaitu: (1) pertumbuhan ekonomi dan banyaknya pendatang telah memarjinalkan penduduk lokal kawasan perkotaan dan/atau (2) terjadi pergerakan kaum miskin ke wilayahwilayah perkotaan sebagai akibat minimnya kesempatan kerja dan kesempatan berusaha di wilayah perdesaan. Berdasarkan data persentase penduduk di bawah garis kemiskinan 2 pada masing-masing provinsi di Pulau Jawa tahun 2005-2008, dapat diketahui bahwa tiga peringkat teratas berturut-turut ditempati oleh Jawa Tengah, Jawa Timur dan DIY (Tabel 4.17). Tabel 4.17. Persentase Penduduk Miskin Masing-masing di Pulau Jawa Tahun 2005, 2006, 2007 dan 2008 (dalam %) Persentase Penduduk Miskin (%) 2005 2006 2007 2008 DKI Jakarta 3.61 4.57 4.61 4.29 Jawa Barat 13.06 14.49 13.55 13.01 Jawa Tengah 20.49 22.19 20.43 19.23 D.I.Yogyakarta 18.95 19.15 18.99 18.32 Jawa Timur 19.95 21.09 19.98 18.51 Banten 8.86 9.79 9.07 8.15 Jawa 14.15 15.21 14.44 13.59 Indonesia 16.69 17.75 16.58 15.42 Sumber: Statistik Indonesia, BPS (2008). Diolah dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Sementara itu berdasarkan data jumlah rumah tangga penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) tahun 2005, dapat diketahui bahwa persentase jumlah penduduk Pulau Jawa yang menerima BLT terhadap jumlah penerima BLT nasional sekitar 54.71%. Hal ini menunjukkan bahwa Pulau Jawa merupakan wilayah kantong kemiskinan yang relatif dominan di Indonesia. Artinya dengan 2 Konsep garis kemiskinan yang digunakan mengacu pada kebutuhan minimum 2100 kalori per kapita per hari ditambah dengan kebutuhan minimum non makanan yang merupakan kebutuhan dasar untuk papan, sandang, sekolah, transportasi serta kebutuhan rumah tangga dan individu yang mendasar lainnya. Besarnya nilai pengeluaran (dalam rupiah) untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan non makanan tersebut disebut garis kemiskinan. Yang disebut penduduk miskin adalah penduduk yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum.

64 menyelesaikan permasalahan kemiskinan di Pulau Jawa, maka tingkat kemiskinan di level nasional akan menurun lebih dari setengahnya. Selanjutnya dari data yang disajikan pada Tabel 4.18, dapat diketahui bahwa konsentrasi penerima BLT baik dalam kategori sangat miskin, miskin maupun potensial miskin terkonsentrasi di tiga provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Tabel 4.18. Jumlah Rumah Tangga Penerima BLT Menurut Klasifikasi Kemiskinan Per di Pulau Jawa Tahun 2005 Sangat Miskin Miskin Potensial Miskin KK % KK % KK % DKI Jakarta 23,651 1.06 70,316 3.16 66,513 2.99 Jawa Barat 615,875 6.29 1,065,439 10.89 1,223,903 12.50 Jawa Tengah 348,893 4.38 1,544,513 19.38 1,277,795 16.04 D.I.Yogyakarta 39,439 4.69 130,079 15.46 105,592 12.55 Jawa Timur 518,468 5.68 1,763,373 19.33 955,039 10.47 Banten 108,106 4.77 219,497 9.68 374,446 16.51 Jawa 1,654,432 5.14 4,793,217 14.88 4,003,288 12.43 Indonesia 3,894,314 7.23 8,236,989 15.28 6,969,602 12.93 Sumber: BPS (2007). Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa kantong-kantong kemiskinan di Pulau Jawa terdapat di tiga provinsi yang notabene memiliki wilayah yang cukup luas, yaitu Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Namun, khusus untuk DIY, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinannya tinggi karena garis kemiskinannya menempati peringkat kedua setelah DKI Jakarta, sementara kondisi masyarakatnya tidak terlalu berbeda dengan Jawa Tengah. Nilai garis kemiskinan pada masing-masing provinsi di Pulau Jawa dapat dilihat pada Tabel 4.19 berikut ini. Tabel 4.19. Garis Kemiskinan Masing-masing di Pulau Jawa Tahun 2006-2007 (Rp/kapita/bulan) Garis Kemiskinan (Rp/kapita/bulan) 2006 2007 DKI Jakarta 295,267 266,874 Jawa Barat 185,702 165,734 Jawa Tengah 176,859 154,111 D.I.Yogyakarta 190,693 184,965 Jawa Timur 172,060 153,145 Banten 185,866 169,485 Sumber: Statistik Indonesia, BPS (2008). Diolah dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).

65 Dari data yang disajikan pada Tabel 4.19 di atas, dapat diamati bahwa garis kemiskinan pada seluruh provinsi di Pulau Jawa mengalami penurunan dari tahun 2006 hingga 2007. Namun, urutan provinsi dengan garis kemiskinan tertinggi sampai yang terendah tidak berubah, yaitu berturut-turut adalah DKI Jakarta, DIY, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Luas Lahan Sawah Penggunaan Lahan Lahan-lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian, khususnya pertanian tanaman pangan (terutama sawah) banyak terdapat di Pulau Jawa. Sebagai daerah yang subur, Pulau Jawa memegang peranan yang sangat penting, yaitu sebagai sentra produksi padi sawah nasional. Berdasarkan data BPS (2008), luas sawah di Pulau Jawa tahun 2006 sebesar 3.2 juta hektar (atau sekitar 41% dari total luas lahan sawah di Indonesia). Tabel 4.20 berikut ini menyajikan data luas lahan sawah di masing-masing provinsi di Pulau Jawa tahun 2006 yang dirinci berdasarkan jenis pengairannya. Tabel 4.20. Luas Lahan Sawah di Masing-masing di Pulau Jawa Menurut Jenis Pengairannya Tahun 2006 (ha) Irigasi Teknis Luas Lahan Sawah Menurut Jenis Pengairannya Tahun 2006 (ha) Irigasi 1/2 Teknis Irigasi Sederhana Tadah Hujan Pasang Surut Lainnya Jumlah DKI Jakarta 510 782 582 370 - - 2,244 Jawa Barat 376,718 119,407 250,525 168,998 13 2,064 917,725 Jawa Tengah 382,569 120,113 188,227 274,325 638 1,936 967,808 DI Yogyakarta 18,493 22,630 6,742 9,305-18 57,188 Jawa Timur 641,001 110,435 109,866 232,397 8 2,370 1,096,077 Banten 51,908 18,217 46,030 78,237-112 194,504 Jawa 1,471,199 391,584 601,972 763,632 659 6,500 3,235,546 Luar Jawa 714,683 598,861 974,262 1,324,990 656,887 380,649 4,650,332 Indonesia 2,185,882 990,445 1,576,234 2,088,622 657,546 387,149 7,885,878 Sumber: Statistik Indonesia (2008). Keterangan: Diolah dari Hasil Survei Pertanian Tanaman Pangan dan Ubinan. Luas Kawasan Hutan Ditinjau dari kondisi fisik wilayah dan geografisnya, Jawa merupakan pulau yang juga dianugerahi potensi dan kekayaan sumberdaya hutan. Meskipun potensi kehutanan terbesar banyak disumbangkan oleh wilayah-wilayah yang berada di luar Jawa (luas hutan terbesar didominasi oleh Pulau Kalimantan,

66 Papua, Sumatera, dan Sulawesi). Berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Kehutanan (2008), luas kawasan hutan di Indonesia tahun 2006 adalah 137 juta ha, dimana dari luasan tersebut kawasan hutan yang ada di Pulau Jawa hanya seluas 3.3 juta ha. Tabel 4.21 berikut ini menyajikan data luas kawasan hutan di masing-masing provinsi di Pulau Jawa tahun 2006 yang dirinci berdasarkan jenisnya. Tabel 4.21. Luas Kawasan Hutan di Masing-masing di Pulau Jawa Tahun 2006 (ribu ha) Kawasan Lindung Hutan Lindung Luas Kawasan Hutan dan Perairan Tahun 2006 (ribu ha) Suaka Alam Hutan Produksi Terbatas Kawasan Budidaya Hutan Produksi Tetap Hutan Buru Hutan Produksi yang dapat dikonversi DKI Jakarta - 108 - - - - 108 Jawa Barat 291 120 190 203 12-816 Jawa Tengah 84 127 184 362 - - 757 DI Yogyakarta 2 1-14 - - 17 Jawa Timur 316 230-811 - - 1,357 Banten 12 164 49 27 - - 252 Jawa 705 750 423 1,417 12-3,307 Indonesia 31,603 23,304 22,501 36,648 233 22,796 137,085 Sumber: Statistik Indonesia (2008) berdasarkan data Departemen Kehutanan. Total Tabel 4.22 berikut menyajikan data laju deforestasi rata-rata per tahun periode 2005-2009 pada masing-masing provinsi di Pulau Jawa. Dari Tabel 4.22 dapat diketahui bahwa laju deforestasi terbesar di Pulau Jawa terdapat di Jawa Timur, dengan besar laju rata-rata adalah 389,527 ha/tahun. Sedangkan dua urutan berikutnya ditempati oleh Jawa Tengah dan Jawa Barat, masingmasing sebesar 175,202 ha/tahun dan 159,927 ha/tahun. Tabel 4.22. Laju Deforestasi Rata-rata Periode Tahun 2005-2009 (ha/tahun) Laju Deforestasi Rata-rata (ha/tahun) KPA/KSA HL HP HPT HPK APL Total DKI Jakarta 22.5 20.0 2.5 - - 22.5 67.5 Jawa Barat 24,657.5 41,167.5 25,222.5 21,495.0-47,385.0 159,927.5 Jawa Tengah 672.5 11,775.0 82,760.0 17,062.5-62,932.5 175,202.5 DI Yogyakarta 82.5 310.0 2,195.0 - - 6,350.0 8,937.5 Jawa Timur 47,842.5 75,065.0 161,862.5 - - 104,757.5 389,527.5 Banten 15,410.0 4,552.5 2,597.5 7,822.5-8,867.5 39,250.0 Sumber: Departemen Kehutanan (2009).

67 Luas Lahan Kritis Tingginya tekanan kependudukan dan aktivitas pemanfaatan ruang di Pulau Jawa yang cenderung dilakukan secara tidak berkelanjutan telah menyebabkan berbagai bentuk degradasi lahan dan meluasnya lahan kritis. Dari data Departemen Kehutanan yang berhasil dihimpun oleh BPS (2008) dapat diketahui bahwa luas lahan kritis di Indonesia sampai dengan tahun 2006 mencapai 77 juta ha, sedangkan di Pulau Jawa luasnya sekitar 3 juta ha atau sekitar 23% dari total luas wilayahnya (Tabel 4.23). Di antara seluruh provinsi di Pulau Jawa, Jawa Timur merupakan provinsi yang mempunyai luasan lahan kritis yang paling besar, yaitu sekitar 1.8 juta ha. Tabel 4.23. Luas dan Penyebaran Lahan Kritis di Masing-masing di Pulau Jawa sampai dengan Tahun 2006 (ribu ha) Luas dan Penyebaran Lahan Kritis (ribu ha) Sangat Kritis Kritis Agak Kritis Jumlah DKI Jakarta - - - - Jawa Barat 248 141 19 408 Jawa Tengah 686 233 28 947 DI Yogyakarta 94 44 1 139 Jawa Timur 1,009 534 247 1,790 Banten 67 52 90 209 Jawa 2,104 1,004 385 3,493 Indonesia 47,613 23,306 6,888 77,807 Sumber: Statistik Indonesia, BPS (2008), berdasarkan data Departemen Kehutanan. Bencana Jawa merupakan salah satu pulau utama di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki kondisi geografis, geologis, hidrometeorologis/klimatologis dan biologis yang secara alamiah rentan terhadap kejadian bencana. Selain kejadian gempa bumi, isu bencana terpenting yang seringkali terjadi di Pulau Jawa adalah bencana-bencana anthropogenik (bencana yang terutama disebabkan oleh faktor manusia), seperti misalnya bencana banjir dan tanah longsor. Dari Gambar 4.2 (a) dan (b) berikut dapat diketahui bahwa persentase kejadian bencana di Pulau Jawa mengalami trend yang terus meningkat dari tahun ke tahun.

68 100.00 40.00 Pers en (% ) 90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 2000 2006 Persen (%) 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 2000 2006 20.00 10.00 0.00 SU M AT ER A J AW A-BALI ALIM AN T AN SU LAW ESI N U SA T EN G G AR A M ALU KU PAPU A N ASIO N AL 5.00 0.00 SUMATERA JAWA-BALI KALIMANTAN SULAWESI NUSA TENGGARA MALUKU PAPUA NASIONAL (a) Gambar 4.2. (a) Persentase Kejadian Bencana Banjir per Pulau (2000 dan 2006), dan (b) Persentase Kejadian Bencana Tanah Longsor per Pulau (2000 dan 2006) (b) Sumber: Kajian Tata Lingkungan Pulau Jawa (2007). Gambar 4.3. Peta Sebaran Spasial Desa-desa di Pulau Jawa yang Mengalami Kejadian Bencana Banjir Tahun 2005-2006 Gambar 4.3 di atas menyajikan secara spasial desa-desa di Pulau Jawa yang mengalami kejadian bencana banjir. Dari Gambar 4.3 dapat dilihat bahwa hampir sebagian besar desa di Pulau Jawa mengalami kejadian banjir di tahun 2005-2006 dengan pola yang menyebar. Sedangkan kejadian bencana tanah longsor yang juga menjadi isu strategis dalam penurunan daya dukung lingkungan Pulau Jawa juga mengalami peningkatan dari tahun 2000 hingga 2006. Hal ini dapat dilihat dari besarnya persentase jumlah desa yang mengalami bencana tersebut sebagaimana disajikan pada Tabel 4.24.

69 Tabel 4.24. Desa yang Mengalami Bencana Tanah Longsor per di Pulau Jawa Tahun 2000 dan 2006 % desa yang Jumlah desa (total) mengalami 2000 2006 2000 2006 DKI Jakarta 265 267 0 0 Jawa Barat 7,222 5,808 21.4 69.2 Jawa Tengah 8,543 8,564 18.4 52.4 D.I.Yogyakarta 438 438 39.4 52.4 Jawa Timur 8,457 8,477 8.6 34.1 Banten - 1,482-19.3 JAWA 24,925 25,036 16.1 47.6 Sumber: Data Podes 2000 dan 2006. Tabel 4.24 menunjukkan bahwa persentase desa yang mengalami kejadian bencana tanah longsor pada seluruh provinsi di Pulau Jawa memiliki kecenderungan semakin meningkat dari tahun 2000-2006, dimana persentase tertinggi terjadi di Jawa Barat, yaitu meningkat dari 21.4% (tahun 2000) menjadi 69.2% (tahun 2006). Sebaran desa yang mengalami kejadian bencana tanah longsor di Pulau Jawa tahun 2005-2006 disajikan pada Gambar 4.4. Sumber: Kajian Tata Lingkungan Pulau Jawa (2007). Gambar 4.4. Peta Sebaran Spasial Desa-desa di Pulau Jawa yang Mengalami Kejadian Bencana Tanah Longsor Tahun 2005-2006 Dari Gambar 4.4 dapat diamati bahwa secara spasial desa-desa yang mengalami kejadian bencana tanah longsor pada tahun 2005-2006 sebagian besar terdapat di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DIY.