PENGARUH PROSES FRAKSINASI PATI SAGU TERHADAP KARAKTERISTIK FRAKSI AMILOSANYA ABSTRACT

dokumen-dokumen yang mirip
Key words: fractionation, sago starch, amylose fraction, functional properties

Kadar protein (%) = (ml H 2 SO 4 ml blanko) x N x x 6.25 x 100 % bobot awal sampel (g) Keterangan : N = Normalitas H 2 SO 4

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

METODE PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g)

FRAKSINASI DAN ASETILASI PATI SAGU (Metroxylon sagu Rottb.) SERTA APLIKASI PRODUKNYA SEBAGAI BAHAN CAMPURAN PLASTIK SINTETIK INDAH YULIASIH F

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT

III. METODOLOGI PENELITIAN

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 7 Desain peralatan penelitian

Kadar air % a b x 100% Keterangan : a = bobot awal contoh (gram) b = bobot akhir contoh (gram) w1 w2 w. Kadar abu

METODOLOGI PENELITIAN

Bab III Bahan dan Metode

LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS. A.1. Pengujian Daya Serap Air (Water Absorption Index) (Ganjyal et al., 2006; Shimelis el al., 2006)

PRODUKSI CASSAVA SOUR STARCH DENGAN VARIASI MEDIA STARTER BAKTERI ASAM LAKTAT DAN LAMA FERMENTASI

III. METODOLOGI. 1. Analisis Kualitatif Natrium Benzoat (AOAC B 1999) Persiapan Sampel

Lampiran 1. Penentuan kadar ADF (Acid Detergent Fiber) (Apriyantono et al., 1989)

I PENDAHULUAN. diantaranya adalah umbi-umbian. Pemanfaatan umbi-umbian di Indonesia belum

ANALISIS. Analisis Zat Gizi Teti Estiasih

Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Tepung Empulur Sagu

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku b. Bahan kimia 2. Alat B. METODE PENELITIAN 1. Pembuatan Biodiesel

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 3. Bahan baku dengan mutu pro analisis yang berasal dari Merck (kloroform,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam pembuatan dan analisis kualitas keju cottage digunakan peralatan

4. Total Soluble Carbohydrate (Metode Phenol-AsamSulfat)

DATA PENGAMATAN. Volume titran ( ml ) ,5 0,4 0,5 6

LAMPIRAN. Lampiran 1. Sertifikat analisis kalium diklofenak

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan

Isolation and Characterization of Rice Bran Protein Using NaOH Solution

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai bulan November 2009

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph

Diagram Sifat-sifat Pati

Lampiran 1. Analisis Kadar Pati Dengan Metode Luff Schroll (AOAC, 1995)

III. METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

METODE PENGUJIAN. 1. Kadar Oksalat (SNI, 1992)

Lampiran 1. Tatacara karakterisasi limbah tanaman jagung

MATERI DAN METODE. Daging Domba Daging domba yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging domba bagian otot Longissimus thoracis et lumborum.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah

BAB III METODE PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan

Pati ubi kayu (tapioka)

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Tahapan Penelitian

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

TUGAS AKHIR RISKA FITRIAWATI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KOMPUTER UNIVERSITAS BAKRIE JAKARTA 2016

III. METODOLOGI PENELITIAN. Universitas Muhammadiyah Malang mulai bulan April 2014 sampai Januari 2015.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. DESKRIPSI KEGIATAN MAGANG

METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. mengujikan L. plantarum dan L. fermentum terhadap silase rumput Kalanjana.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. furnace, desikator, timbangan analitik, oven, spektronik UV, cawan, alat

BAB III MATERI DAN METODE. Kimia dan Gizi Pangan, Departemen Pertanian, Fakultas Peternakan dan

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu 1. Analisis Kadar Air (AOAC, 1995)

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dimulai dari bulan April 2010 sampai dengan bulan Januari

III. METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian, Pilot. Plant, dan Laboratorium Analisis Politeknik Negeri Lampung.

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

Lampiran 1. Prosedur Analisis

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia dan Laboratorium Instrumentasi

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

METODOLOGI PENELITIAN

3 Metodologi Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Alur penelitian ini seperti ditunjukkan pada diagram alir di bawah ini:

sampel pati diratakan diatas cawan aluminium. Alat moisture balance ditutup dan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Enzim α-amilase dari Bacillus Subtilis ITBCCB148 diperoleh dengan

BAB III METODE PENELITIAN. Pada penelitian ini digunakan berbagai jenis alat antara lain berbagai

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68.

METODOLOGI PENELITIAN

Lampiran 1. Prosedur analisis

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Januari Februari 2014.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Riset dan Standarisasi Industri Bandar

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juni 2014 bertempat di

III. METODE PENELITIAN

SIFAT FUNGSIONAL DAN SIFAT PASTA PATI SAGU BANGKA [FUNCTIONAL AND PASTA PROPERTIES OF BANGKA SAGO STARCH] MERYNDA INDRIYANI SYAFUTRI *)

BAB III METODE PENELITIAN

LAMPIRAN. Lampiran 1. Sertifikat analisis bahan baku (kalium diklofenak)

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai Agustus 2013 di Laboratorium

7 HIDROLISIS ENZIMATIS DAN ASAM-GELOMBANG MIKRO BAMBU BETUNG SETELAH KOMBINASI PRA-PERLAKUAN SECARA BIOLOGIS- GELOMBANG MIKRO

I. PERANAN AIR DI DALAM BAHAN PANGAN. terjadi jika suatu bahan pangan mengalami pengurangan atau penambahan kadar air. Perubahan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Agustus 2013 di

3 METODOLOGI PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI )

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Pada bab ini akan diuraikan mengenai metode penelitian yang telah

PENGARUH WAKTU PENGUKUSAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG KACANG MERAH HASIL PENYANGRAIAN SKRIPSI OLEH: NOVITA KRISTANTI

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Mei 2015 sampai bulan Oktober 2015

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-November Penelitian ini

Transkripsi:

I. Yuliasih, T. T. Irawadi, I. Sailah, H. Pranamuda, K. Setyowati dan T. C. Sunarti PENGARUH PROSES FRAKSINASI PATI SAGU TERHADAP KARAKTERISTIK FRAKSI AMILOSANYA Indah Yuliasih 1, Tun Tedja Irawadi 2, Illah Sailah 3, Hardaning Pranamuda 4, Krisnani Setyowati 3 dan Titi Candra Sunarti 3 1 Mahasiswa S3 Program Studi Teknologi Indutri Pertanian, SPs - IPB 2 Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB 3 Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Jakarta 4 Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB ABSTRACT The objective of this research is to analyse the effect of the starch suspension temperature and the 1- butanol volume as complexing agent to the characteristic of amylose of sago starch fraction. In the fractionation process, the yield of amylose fraction increased in line with the increasing of starch suspension temperature and increasing of 1-butanol volume as complexing agent. The different condition of fractionation process produced amylose fraction which was different in molecular weight distribution (fraction-1 and fraction-2). The functional properties of amylose fraction with fraction-2 dominant (solubility, swelling power and freeze-thaw stability) are relatively lower compared to the amylose fraction with fraction-1 dominant. On the other hand the clarity and oil retention capacity (ORC) value are relatively higher. Key words : fractionation, sago starch, amylose fraction, functional properties PENDAHULUAN Fraksinasi merupakan proses pemisahan fraksi yang terkandung dalam suatu larutan atau suspensi yang mempunyai karateristik berbeda. Pati, secara umum terdiri dari dua fraksi, yaitu fraksi amilosa dan fraksi amilopektin. Struktur molekul fraksi amilosa linier dan teratur, sedangkan fraksi amilopektin bercabang dan tidak teratur. Pemisahan kedua fraksi tersebut dilakukan untuk memanfaatkan sifatsifat yang terkandung dalam fraksi sehingga penggunaannya dapat diperluas. Salah satu alternatif proses fraksinasi adalah dengan menggunakan air panas (hot-water soluble/ HWS) untuk merubah struktur dan fungsi granula pati (Banks dan Greenwood, 197 di dalam Mizukami et al., 1999). Secara prinsip mekanisme proses fraksinasi pati dilakukan dengan menggunakan air panas. Adanya air dan energi panas yang cukup, menyebabkan granula pati alami mengalami pembengkakan, yang selanjutnya granula pati pecah. Pecahnya granula pati menyebabkan fraksi amilosa pati leaching. Kondisi tersebut sangat memungkinkan terjadinya pembentukan kompleks. Penambahan butanol menyebabkan fraksi amilosa membentuk kompleks dengan butanol (kompleks amilosabutanol) dan mengendap secara tiba-tiba. Proses pemisahan fraksi-fraksi pati sangat ditentukan oleh jenis pelarut dan senyawa pengompleks yang digunakan. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan gambaran karakteristik fraksi amilosa pati sagu hasil fraksinasi pada kondisi proses yang berbeda. BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan adalah pati sagu Jabar. Bahan kimia untuk untuk proses fraksinasi adalah gas nitrogen, butanol, etanol, eter dan CaCl2. Bahan kimia untuk analisa kromatografi digunakan gel Sepharose-CL 6B, sedangkan untuk analisa karakterisasi fraksi amilosa digunakan larutan iod, minyak goreng dan air aquades. Peralatan yang digunakan untuk fraksinasi antara lain labu leher tiga, tabung gas nitrogen, sentrifuse, cawan petri dan inkubator. Peralatan untuk analisa kromatografi yaitu kolom kromatografi dengan panjang 6 cm, diameter 1, cm dilengkapi dengan fraction collector, sedangkan alat-alat untuk karakterisasi antara lain kertas saring, cawan porselin, erlenmeyer, tabung reaksi, cawan petri, gelas ukur, gelas piala, tabung reaksi, termometer, pipet volumetrik, spektrofotometer, timbangan kasar, timbangan analitik, hot plate, magnetic stirer, vacuum filter, freezer, penangas air, sentrifuse dan inkubator Metodologi Karakterisasi Pati Sagu Karakterisasi pati sagu yang dilakukan meliputi mutu (kadar air, serat kasar, abu, gula pereduksi, total asam, ph, total coliform dan sifat lolos saringan 8 mesh), sifat fisiko kimia dan fungsional pati sagu (kadar lemak, protein, pati, amilosa dan amilopektin, bentuk dan ukuran granula J. Tek. Ind. Pert. Vol. 17(1),29-36 29

Pengaruh Proses Fraksinasi Pati Sagu Terhadap... rata-rata, warna, kelarutan dan swelling power pada 7 C, kejernihan pasta pati 1 %, freeze-thaw stability, oil retention capacity/orc). Fraksinasi Pati Sagu Proses fraksinasi pati sagu dilakukan dengan memodifikasi metode Mizukami et al. (1999). Diagram alir proses fraksinasi pati sagu disajikan pada Gambar 1. Untuk menentukan kondisi proses fraksinasi terbaik dilakukan analisis sebaran bobot molekul pati sagu dan fraksi amilosanya dengan Gel Permeation Chromatography (GPC), rendemen dan sifat fungsionalnya, yang meliputi kelarutan dan swelling power pada suhu 7 C, freeze-thaw stability, kejernihan pasta, water retention capacity (WRC) dan oil retention capacity (ORC). Analisis Sebaran Bobot Molekul dengan Gel Permeation Chromatography (GPC) Gelatinisasi Pati (Sunarti at al., 1) Seanyak mg contoh ditambah, ml aquades dan,7 ml NaOH 1 N, selanjutnya ditempatkan dalam lemari pendingin selama semalam. Kemudian dilakukan penambahan,3 ml aquades, dinetralisasi dengan,7 ml HCl 1 M dan ditambah dengan,1 ml NaN 3 3 %. nilai negatif (-) atau dengan kata lain tidak ada coliform di dalamnya. Tabel 1. Karakteristik pati sagu Standar Mutu Persyaratan Hasil Pengamatan Kadar Air (%) Maks 13 1) 14,8 Kadar Abu (% bk) Maks, 1), Kadar Serat Kasar (% bk) Maks,1 1) 1,6 ph 4, 6, 2) 4,14 Total Asam (ml NaOH.1N/g bahan) Maks 4 1) 1,7 Kadar Gula Pereduksi (ppm) - 3,71 Total coliform (APM/g) Maks 1) negatif Lolos saringan 8 mesh (%) 1) 47,7 1) SNI 1-3729-199 2) SIRIM Standard MS 47 : 1992 Aquades (1 liter) Pati (1 g) Suspensi Pati Penyimpanan T ruang, t = menit Pemanasan (8, 9, 9 C), t = 6 menit Setrifugasi Analisis Kromatografi Lima ml larutan pati dan fraksi amilosa tergelatinisasi dimasukkan ke dalam kolom kromatografi. Kolom berukuran panjang 6 cm dan diameter 1, cm, yang berisi gel Sepharose CL-6B. Sampel dielusi dengan fase gerak larutan NaCl mm mengandung NaN 3,1 %. Sampel hasil elusi ditampung dalam fraction collector sebanyak 2, ml dan dianalisa total karbohidratnya (metode fenol asam sulfat). Fraksi larut dalam air panas Inkubasi T = C, t = 24 jam Setrifugasi 1-Butanol (8,3; ; 12, %) Fraksi residu HASIL DAN PEMBAHASAN Supernatan (SAP) Endapan (SAM) Karakteristik Pati Sagu Hasil analisis mutu pati sagu secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1. Pada umumnya, pengolahan pati sagu kering dilakukan oleh pengrajin dengan menggunakan peralatan yang sederhana. Proses pengeringan dibawah matahari merupakan salah satu tahapan proses pengolahan pati sagu yang sangat menentukan mutunya. Selama proses pengolahannya, penggunaan air dalam proses ekstraksi dan proses pengeringan merupakan tahapan proses yang sangat menentukan ada tidaknya coliform dalam pati sagu. Pati sagu yang dianalisis dalam penelitian ini menunjukkan Fraksi Amilopektin Pencucian dengan etanol Pencucian dengan eter Pengeringan dengan CaCl 2 Fraksi Amilosa Gambar 1. Diagram alir proses fraksinasi pati (modifikasi metode Mizukami et al., 1999) J. Tek. Ind. Pert. Vol. 17(1), 29-36

I. Yuliasih, T. T. Irawadi, I. Sailah, H. Pranamuda, K. Setyowati dan T. C. Sunarti Pada Tabel 2, disajikan hasil analisis sifat fisiko kimia dan fungsional pati sagu. Pati sagu memiliki sifat-sifat yang menguntungkan. Kandungan lemak dan proteinnya relatif kecil (< %). Kadar pati dan amilosanya relatif tinggi (98,12 dan 26,19 %). Kecerahan warna bubuk pati sagu relatif tinggi (nilai L > 9 %) dan tingkat kejernihan pasta 1 % juga relatif tinggi (> % T). Namun, beberapa sifat fungsional pati sagu menunjukkan kelemahan. Tingkat kelarutan dan swelling power pada suhu 7 C yang relatif tinggi (> % dan mendekati %), menunjukkan sifat hidrofilik yang dimiliki pati sagu. Nilai freeze-thaw stability relatif rendah yang ditunjukkan dengan tingginya nilai % sineresis (> 9 %), mengindikasikan pati sagu mudah teretrogradasi. Demikian pula dengan nilai oil retention capacity (ORC) yang relatif rendah (6,67 %), menunjukkan pati sagu kurang bersifat hidrofobik. Tabel 2. Sifat fisiko kimia dan fungsional pati sagu Sifat Fisikokimia & Fungsional Hasil Pengamatan Kadar lemak (% bk),1 Kadar protein (% bk) 1,82 Kadar pati (% bk) 98,12 Kadar amilosa (%) 26,19 Kadar amilopektin (%) 73,81 Ukuran ganula rata-rata (μm) 7,1 Warna : Nilai L 91,31 o Hue 72,13 Chroma 42,22 Kelarutan pada 7 C (%) 32,68 Swelling power pada 7 C (%) 49,23 Kejernihan pasta 1 % (% T) 76, Freeze-thaw stability (% sineresis) 91,67 Oil Retention Capacity (ORC) (%) 6,67 Analisis Sebaran Bobot Molekul Pati Sagu Analisis kromatografi gel pati sagu sebelum fraksinasi digunakan sebagai pembanding dan dasar penentuan jumlah fraksi eluent yang ditampung. Analisis kromatografi gel, khususnya Gel Permeation Chromatography (GPC) telah banyak digunakan untuk mengetahui sebaran bobot molekul yang terdapat dalam polimer pati. Menurut Adnan (1997), GPC memisahkan campuran senyawa berdasarkan bobot molekulnya, terutama untuk senyawa-senyawa yang memiliki bobot molekul besar. Kemampuan pemisahan dari gel yang digunakan harus mempunyai rentang yang sangat luas. Gel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Sepharose CL-6B, yang mempunyai kemampuan untuk memisahkan molekul polisakarida pada rentang bobot molekul. 1... Senyawa yang mempunyai bobot molekul tinggi akan keluar lebih cepat daripada senyawa yang mempunyai bobot molekul rendah. Amilopektin mempunyai bobot molekul lebih tinggi dibandingkan dengan amilosa, sehingga amilopektin akan keluar lebih cepat dibandingkan dengan amilosa. Pada Gambar 2, disajikan hasil analisis kromatografi gel penyusun pati sagu Jabar. Fraksi dengan bobot molekul tinggi terdeteksi pada fraksi ke 6, dengan puncak pada fraksi ke 8. Sebaran fraksi 1 ini diperkirakan adalah fraksi amilopektin, karena mempunyai sebaran bobot molekul yang relatif lebih sempit, yaitu pada enam fraksi saja. Selain itu, luas area yang dilingkupi fraksi tersebut merupakan bagian terluas dari luas area keseluruhan grafik, yang menandakan jumlah amilopektin yang terdapat dalam sampel pati sagu. Sedangkan, fraksi amilosa mempunyai sebaran bobot molekul yang sangat luas. Fraksi amilosa dengan bobot molekul tertinggi diperkirakan keluar dan terakumulasi dengan fraksi amilopektin yang mempunyai bobot molekul rendah (fraksi ke 8 11). Fraksi amilosa dengan bobot molekul rendah terdeteksi sampai fraksi ke 23. Sebaran fraksi 2 ini diperkirakan fraksi amilosa. % Total Karbohidrat 1 Amilopektin Amilosa (Fraksi 1) (Fraksi 2) 1 2 3 4 6 7 8 9 11 12 13 14 1 16 17 18 19 21 22 23 24 Fraksi ke Gambar 2. Kurva GPC pati sagu Jabar Proses Fraksinasi Pati Sagu Proses fraksinasi pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan air panas, mengingat air panas merupakan pelarut terbaik. Pati larut dalam air panas, kelarutannya meningkat seiring dengan meningkatnya suhu air panas yang digunakan sebagai pelarut. Penggunaan air panas yang merupakan bagian awal dalam proses fraksinasi pati ini adalah untuk merubah struktur dan fungsi granula pati. Adanya air sebagai pelarut dan energi panas yang cukup, menyebabkan granula pati mengalami pembengkakan sampai pada titik maksimum dimana granula pati mampu menyerap air. Pengadukan dilakukan untuk mempercepat proses penyerapan air oleh granula. Selanjutnya granula pati pecah. Pecahnya granula pati menyebabkan fraksi amilosa luruh (leaching). Menurut Whistler et al. (1984), persentase amylose leached selama pemanasan pati J. Tek. Ind. Pert. Vol. 17(1),29-36 31

Pengaruh Proses Fraksinasi Pati Sagu Terhadap... meningkat dengan meningkatnya suhu pemanasan. Peningkatan persentase amylose leached terbesar pada suhu di atas 8 C. Lai et al. (4) menambahkan bahwa pengadukan selama pemanasan suspensi pati akan mempercepat penyerapan air oleh granula, mempersingkat waktu pembengkakan dan luruhnya amilosa dari granula. Fraksi amilosa merupakan fraksi yang larut dalam air panas. Untuk memisahkan fraksi amilosa dari fraksi amilopektin, ditambahkan larutan butanol dalam fraksi yang larut dalam air panas, kemudian diinkubasi pada suhu C selama 24 jam. Inkubasi selama 24 jam dilakukan untuk memberikan waktu terhadap larutan butanol membentuk amilosabutanol kompleks, sehingga fraksi amilosa terpisah dari fraksi amilopektin. Penggunaan suhu C selama waktu inkubasi ditujukan agar amilosa yang mengendap akibat terkompleks oleh larutan butanol tidak mengalami retrogradasi oleh suhu luar. Pemurnian amilosa dilakukan melalui proses pencucian dengan ethanol berlebih sampai tidak terdapat sisa butanol pada endapan fraksi amilosa. Setelah itu ditambahkan eter dan dikeringkan dengan bantuan absorben CaCl 2. Pengeringan dilakukan dalam desikator tertutup agar fraksi amilosa terhindar dari oksidasi. Apabila proses pengeringan fraksi amilosa dilakukan di udara terbuka, akan terjadi retrogradasi, dimana fraksi amilosa mengeras dan tidak dapat dihancurkan menjadi bubuk. Hasil penelitian pendahuluan dapat dilihat pada Tabel 3. Rendemen fraksi amilosa hasil fraksinasi pati sagu Jabar sangat dipengaruhi oleh suhu pemanasan suspensi pati dan konsentrasi larutan butanol sebagai senyawa pengompleks. Tabel 3. Rendemen fraksi amilosa pati sagu hasil fraksinasi pada suhu pemanasan suspensi pati dansentarsi larutan butanol yang berbeda Suhu Pemanasan Suspensi Pati (ºC) Perlakuan Konsentrasi Larutan Butanol (%) Rendemen Fraksi Amilosa (%) 8 16,36 19,3 9 32,17 Peningkatan suhu pemanasan suspensi pati dari 8ºC menjadi 9ºC pada konsentrasi butanol % dapat meningkatkan rendemen fraksi amilosa hasil fraksinasi dari 16,36 % menjadi 32,17 %. Hal ini disebabkan karena peningkatan suhu pemanasan suspensi pati menjadi 9ºC, mengakibatkan granula pati pecah secara sempurna yang ditandai dengan menurunnya viskositas pati sagu. Peningkatan konsentrasi larutan butanol sebagai senyawa pengompleks dari % menjadi % pada suhu pemanasan suspensi pati 8ºC, dapat meningkatkan rendemen fraksi amilosa hasil fraksinasi dari 16,36 % menjadi 19,3 %. Hal ini diduga kerena peningkatan konsentrasi larutan butanol dapat meningkatkan kemampuannya membentuk kompleks dengan fraksi amilosa. Kondisi proses fraksinasi yang menghasilkan rendemen fraksi amilosa tertinggi adalah pada suhu pemanasan suspensi pati 9ºC dan konsentrasi larutan butanol %. Untuk meningkatkan rendemen fraksi amilosa hasil fraksinasi pati sagu, pada penelitian ini dilakukan modifikasi suhu pemanasan suspensi pati (8, 9 dan 9ºC) dan konsentrasi larutan butanol (8,3; dan 12, %) yang dilakukan secara bertahap. Pengaruh Suhu Pemanasan Suspensi Pati Pada tahap ini, dilakukan modifikasi suhu pemanasan suspensi pati dalam proses fraksinasi, sedangkan kondisi proses lainnya sama dengan proses fraksinasi metode Mizukami et al. (1999). Suhu pemanasan suspensi pati yang diujikan adalah 8, 9 dan 9 C, karena pada suhu tersebut pati sagu Jabar telah mengalami penurunan viskositas. Penurunan viskositas ini dikarenakan oleh granula pati yang telah mengalami gelatinisasi dan pembengkakan maksimum akibat pemanasan suspensi pati, pecah dan meluruhkan amilosa dari granula pati menjadi fraksi yang larut dalam air panas. Pada Gambar 3, disajikan grafik pengaruh suhu pemanasan suspensi pati terhadap rendemen fraksi amilosa pati sagu hasil fraksinasi. Peningkatan suhu pemanasan suspensi pati dari 8 C menjadi 9 C dapat meningkatkan rendemen fraksi amilosa dari 24,16 % menjadi 34,64 %. Peningkatan suhu pemanasan suspensi pati lebih lanjut (sampai suhu 9 C) menurunkan rendeman fraksi amilosa menjadi 29,96 %. Hal ini diduga karena pemanasan sangat berpengaruh terhadap proses peluruhan amilosa dari granula pati. Pemanasan pada suhu tinggi mengakibatkan lebih banyak amilosa yang luruh ke dalam suspensi pati, tetapi juga akan mengakibatkan depolimerisasi molekul pati dan mengurangi pembentukan kompleks amilosa-butanol. Fraksinasi dengan suhu pemanasan suspensi pati yang berbeda menghasilkan fraksi amilosa dengan sebaran bobot molekul yang berbeda. Jika diamati lebih lanjut, sifat fungsional fraksi amilosa hasil fraksinasi lebih ditentukan oleh sebaran bobot molekul penyusunnya. Sebaran bobot molekul fraksi amilosa terdiri dari sebaran bobot molekul fraksi 1 dan fraksi 2. Perbandingan sebaran bobot molekul inilah yang sangat menentukan sifat fungsional fraksi amilosa. Hasil analisis kromatografi gel fraksi amilosa hasil fraksinasi dengan suhu pemanasan yang berbeda disajikan pada Gambar 4. 32 J. Tek. Ind. Pert. Vol. 17(1), 29-36

I. Yuliasih, T. T. Irawadi, I. Sailah, H. Pranamuda, K. Setyowati dan T. C. Sunarti Rendemen (%) 3 1 8 9 9 Suhu Pemanasan Suspensi Pati ( o C) Gambar 3. Histogram pengaruh suhu pemanasan suspensi pati terhadap rendemen fraksi amilosa pati sagu % Total Karbohidrat 1 (Fraksi 1) (Fraksi 2) 1 2 3 4 6 7 8 9 11 12 13 14 1 16 17 18 19 21 22 23 24 - Fraksi ke- Fraksi Amilosa Suhu 8 C, Butanol % Fraksi Amilosa Suhu 9 C, Butanol % Fraksi Amilosa Suhu 9 C, Butanol % Pati Sagu Gambar 4. Kurva GPC fraksi amilosa pati sagu pada perlakuan suhu pemanasan suspensi pati yang berbeda Gambar 4, menunjukkan bahwa suhu pemanasan suspensi pati 8 C, menghasilkan fraksi amilosa dengan perbandingan sebaran bobot molekul fraksi 1 lebih tinggi dibandingkan suhu pemanasan 9 dan 9 C. Hal ini ditunjukkan oleh tingginya persen total karbohidrat pada fraksi ke 8 dan 9 dibandingkan dengan fraksi yang sama pada suhu pemanasan 9 dan 9 C. Untuk suhu pemanasan suspensi pati 9 C, menghasilkan fraksi amilosa dengan sebaran bobot molekul fraksi 2 relatif dominan. Sedangkan, fraksi amilosa yang dihasilkan dari suhu pemanasan suspensi pati 9 C menunjukkan perbandingan sebaran bobot molekul fraksi 1 dan 2 relatif sama. Pada suhu pemanasan suspensi pati 8 C, fraksi amilosa yang keluar dari granula pati memiliki sebaran bobot molekul fraksi 1 lebih tinggi dibandingkan dengan sebaran bobot molekul fraksi 2. Peningkatan suhu pemanasan suspensi pati (9 dan 9 C) selain mengeluarkan fraksi amilosa dari granula pati lebih optimal, secara simultan juga terjadi depolimerisasi fraksi amilosa dengan bobot molekul tinggi menjadi bobot molekul rendah. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya persen total karbohidrat pada fraksi ke 11 dan 12 dibandingkan dengan fraksi yang sama pada suhu pemanasan 8 C. Pada Gambar, disajikan hasil analisis sifat fungsional fraksi amilosa hasil fraksinasi pada suhu pemanasan suspensi pati yang berbeda. Berdasarkan pembahasan sebelumnya, keterkaitan pola sebaran bobot molekul fraksi amilosa dan sifat fungsionalnya sangat jelas. Fraksi amilosa yang memiliki sebaran bobot molekul fraksi1 menunjukkan sifat kelarutan dan sweling power lebih tinggi, dibandingkan dengan fraksi amilosa yang dominan memiliki sebaran bobot molekul fraksi 2. Hal ini menunjukkan bahwa fraksi amilosa yang memiliki sebaran bobot molekul 1 mempunyai kemampuan mengembang lebih besar dibandingkan dengan fraksi amilosa yang dominan memiliki sebaran bobot molekul fraksi 2. Sebaliknya, fraksi amilosa yang dominan memiliki sebaran bobot molekul fraksi 2 menunjukkan tingkat kejernihan yang lebih tinggi (6,8 % T). 8 7 6-8 9 9 Suhu pemanasan suspensi pati ( o C) Swelling Power (%) Kelarutan (%) Freeze-thaw Stability (% Sy neresis) Kejernihan (%T) ORC (%) Gambar. Pengaruh suhu pemanasan suspensi pati ( o C) terhadap sifat fungsional fraksi amilosa pati sagu Selain itu, sebaran bobot molekul fraksi amilosa juga mempengaruhi sifat fungsional lainnya, seperti sifat retrogradasi, oil retention capacity (ORC) dan water retention capacity (WRC). Sifat retrogradasi fraksi amilosa ditentukan berdasarkan nilai frezee-thaw stability yang dinyatakan dalam % sineresis. Hasil analisis menunjukkan bahwa fraksi amilosa yang dominan memiliki sebaran bobot molekul fraksi 2, nilai % sineresis-nya relatif tinggi (7 % sineresis) dibandingkan dengan fraksi amilosa yang memiliki sebaran bobot molekul fraksi 1 (< 6 % sineresis). Hal ini menunjukkan bahwa fraksi amilosa yang dominan memiliki sebaran bobot molekul 2, mempunyai sifat frezee-thaw stabitily relatif rendah atau dengan kata lain sifat retrogradasinya relatif tinggi. Kemampuan fraksi amilosa menyerap minyak dinyatakan dengan nilai ORC. Hasil analisis menunjukkan fraksi amilosa yang dominan memiliki sebaran bobot molekul fraksi 2, nilai ORC-nya relatif tinggi (8,33 %) dibandingkan dengan fraksi amilosa yang memiliki sebaran bobot molekul fraksi 1 (< 7,33 %). Kemampuan ini menunjukkan bahwa J. Tek. Ind. Pert. Vol. 17(1),29-36 33

Pengaruh Proses Fraksinasi Pati Sagu Terhadap... fraksi amilosa yang dominan memiliki sebaran bobot molekul fraksi 2 mempunyai kecenderungan relatif lebih tinggi membentuk kompleks dengan minyak atau senyawa non polar, sehingga lebih bersifat hidrofobik. Kemampuan fraksi amilosa menyerap air dianalisis berdasarkan nilai % WRC. Pada Gambar 6, disajikan grafik hubungan suhu pemanasan terhadap nilai % WRC fraksi amilosa hasil fraksinasi dengan suhu pemanasan suspensi pati yang berbeda. Kemampuan fraksi amilosa menyerap air selama pemanasan menunjukkan pola yang sama, dimana peningkatan suhu pemanasan menyebabkan peningkatan nilai % WRC. Jika dikaitkan dengan sebaran bobot molekulnya, fraksi amilosa yang dominan memiliki sebaran bobot molekul fraksi 2, nilai WRC-nya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan fraksi amilosa yang memiliki sebaran bobot molekul fraksi 1. Hal ini menunjukkan bahwa fraksi amilosa yang dominan memiliki sebaran bobot molekul fraksi 2 cenderung menyerap air lebih tinggi. WRC(%) 6 6 6 7 7 8 8 9 9 Suhu (oc) 8 C 9 C 9 C Gambar 6. Grafik hubungan suhu pemanasan ( o C) terhadap nilai water retention capacity (% WRC) fraksi amilosa pati sagu pada perlakuan suhu pemanasan suspensi pati yang berbeda Pengaruh Konsetrasi Butanol Pada tahap ini, dilakukan modifikasi konsentrasi butanol yang digunakan sebagai senyawa pengompleks pada suhu pemanasan suspensi pati 9 C. Konsentrasi butanol yang ditambahkan adalah 8,3;, dan 12, %. Dalam proses fraksinasi pati sagu metode Mizukami et al. (1999), larutan butanol digunakan sebagai senyawa pengompleks. Pembentukan kompleks amilosa dengan butanol sangat mempengaruhi kemurnian fraksi amilosa, karena selektivitas pembentukan kompleks menyebabkan perbedaan bobot yang cukup besar antara bobot molekul amilopektin dengan kompleks amilosabutanol. Peningkatan selektivitas pembentukan kompleks dapat dilakukan dengan penambahan dan pencucian butanol beberapa kali. Pada Gambar 7, disajikan grafik pengaruh konsentrasi butanol terhadap rendemen fraksi amilosa hasil fraksinasi. Peningkatan konsentrasi butanol dapat meningkatkan rendemen fraksi amilosa hasil fraksinasi. Hal ini terjadi karena adanya butanol yang berlebih dapat mengkompleks amilosa dan melarutkan amilopektin, sehingga kompleks amilosa-butanol dapat terpisah dengan amilopektin dalam bentuk endapan. Rendemen (%) 4 3 1 8,3, 12, Konsentasi Butanol (%) Gambar 7. Histogram pengaruh konsetrasi butanol (%) terhadap rendemen fraksi amilosa pati sagu Analisis kromatografi gel terhadap fraksi amilosa hasil fraksinasi dilakukan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi butanol yang digunakan sebagai senyawa peng-kompleks terhadap sebaran bobot molekulnya. Hasil analisis menunjukkan pola yang unik (Gambar 8). Konsentrasi butanol 8,3 % menghasilkan fraksi amilosa dengan sebaran bobot molekul fraksi 1. Peningkatan konsentrasi butanol sampai % menyebabkan pergeseran sebaran bobot molekul fraksi amilosa dari sebaran bobot molekul fraksi 1 ke sebaran bobot molekul fraksi 2. Peningkatan konsentrasi butanol lebih lanjut (sampai 12, %) menghasilkan fraksi amilosa dengan sebaran bobot molekul fraksi 1 yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan penambahan konsentrasi butanol 8,3 dan %. % Total Karbohidrat 1 (Frkasi 1) (Fraksi 2) 1 2 3 4 6 7 8 9 1112131411617181921 2223 24 - Fraksi ke- Fraksi Amilosa Suhu 9 C, Butanol 12, % Fraksi Amilosa Suhu 9 C, Butanol % Fraksi Amilosa Suhu 9 C, Butanol 8,3 % Pati Sagu Gambar 8. Kurva GPC fraksi amilosa pati sagu pada perlakuan konsetrasi butanol (%) yang berbeda Berdasarkan Gambar 8, dapat diduga bahwa 34 J. Tek. Ind. Pert. Vol. 17(1), 29-36

I. Yuliasih, T. T. Irawadi, I. Sailah, H. Pranamuda, K. Setyowati dan T. C. Sunarti butanol sebagai senyawa pengompleks efektif membentuk kompleks dengan amilosa yang memiliki sebaran bobot molekul fraksi 1. Terjadinya depolimerisasi atau hidrolisis fraksi amilosa sebaran bobot molekul fraksi 1 menjadi sebaran bobot molekul fraksi 2 selama proses fraksinasi juga mengurangi pembentukan kompleks amilosa-butanol. Ketidakmampuan butanol membentuk kompleks dengan fraksi amilosa yang memiliki sebaran bobot molekul fraksi 2 dapat dilihat dengan sedikitnya persentase karbohidrat yang muncul di atas fraksi ke 11. Pada Gambar 8, juga dapat dilihat bahwa luas area sebaran bobot molekul fraksi amilosa hasil fraksinasi dengan konsentrasi butanol yang berbeda relatif sama, dimana sebaran bobot molekul fraksi 1 dominan. Persamaan ini, menyebabkan beberapa sifat fungsional hasil fraksinasi, seperti swelling power, frezee-thaw stability, dan oil retention capacity (ORC) relatif sama. Nilai rata-rata sifat fungsional (untuk tiga perlakuan konsentrasi butanol yang diujikan) berturut-turut swelling power (36,7 %), frezee-thaw stability (69 % sineresis), dan oil retention capacity (8,1 %). Hasil anilisis sifat fungsional fraksi amilosa hasil fraksinasi dengan perlakuan konsentrasi butanol yang berbeda disajikan pada Gambar 9. 8 7 6-8,3, 12, Volume butanol (%) Swelling Power (%) Kelarutan (%) Freeze-thaw Stability (% Sy neresis) Kejernihan (%T) ORC (%) Gambar 9. Pengaruh konsetrasi butanol (%) terhadap sifat fungsional fraksi amilosa pati sagu Namun demikian, sifat fungsional fraksi amilosa hasil fraksinasi, seperti tingkat kelarutan dan kejernihan menunjukkan perbedaan. Fraksi amilosa yang memiliki sebaran bobot molekul fraksi 1 relatif lebih banyak daripada sebaran bobot molekul fraksi 2-nya, menunjukkan sifat kelarutan yang lebih tinggi (> %). Sebaliknya, fraski amilosa yang memiliki sebaran bobot molekul fraksi 2 menunjukkan sifat kejernihan yang relatif lebih tinggi (> 6 % T) dibandingkan dengan fraksi amilosa yang dominan memiliki sebaran bobot molekul fraksi 1. Kemampuan fraksi amilosa menyerap air dianalisis berdasarkan nilai % WRC. Pada Gambar, disajikan grafik hubungan suhu pemanasan terhadap nilai % WRC fraksi amilosa hasil fraksinasi dengan konsentrasi butanol yang berbeda. Kemampuan fraksi amilosa menyerap air selama pemanasan menunjukkan pola yang sama, dimana peningkatan suhu pemanasan menyebabkan peningkatan nilai % WRC. Jika dikaitkan dengan sebaran bobot molekulnya, dimana luas area sebaran bobot molekul fraksi amilosa hasil fraksinasi dengan konsentrasi butanol yang berbeda relatif sama (sebaran bobot molekul fraksi 1 dominan), nilai WRC-nya relatif sama. Hal ini menunjukkan bahwa fraksi amilosa yang dominan memiliki sebaran bobot molekul fraksi 1 cenderung menyerap air lebih sedikit. WRC (%) 4 3 6 7 7 8 8 9 9 Suhu (C) 12,% % 8,3% Gambar. Grafik hubungan suhu pemanasan ( o C) terhadap nilai water retention capacity (% WRC) fraksi amilosa pati sagu pada perlakuan konsetrasi butanol (%) yang berbeda KESIMPULAN Peningkatan suhu pemanasan suapesi pati dan konsetrasi butanol dapat meningkatkan rendemen fraksi amilosa yang dihasilkan. Kondisi proses fraksinasi yang berbeda menghasilkan fraksi amilosa dengan sebaran bobot molekul yang berbeda. Sebaran bobot molekul fraksi amilosa sangat menentukan sifat fungsionalnya. Fraksi amilosa dengan sebaran bobot molekul fraksi 2 menunjukkan sifat fungional, seperti kelarutan, swelling power dan freeze-thaw stability relatif lebih rendah dibandingkan dengan fraksi amilosa dengan sebaran bobot molekul fraksi 1. Sebaliknya, kejernihan dan nilai ORC-nya relatif lebih tinggi. DAFTAR PUSTAKA Adnan, M. 1997. Teknik Kromatografi untuk Analisis Bahan Makanan. Andi Offset, Yogyakarta. Banks, W. dan C. T. Greenwood 197. Starch and Its Components. Edinburgh : University Press J. Tek. Ind. Pert. Vol. 17(1),29-36 3

Pengaruh Proses Fraksinasi Pati Sagu Terhadap... pp. -8. Di dalam Mizukami, H., Y. Takeda dan S. Hizukuri. The Structure of The Hot- Water Soluble Components in The Starch Granules of New Japanese Rice Cultivars. Carbohydrate Polymers 38 : 329-33. Lai, L.N., A.A. Karim, M.H. Norziah dan CC. Seow. 4. Effects of Na 2 CO 3 and NaOH on Pasting Properties of Selected Native Cereal Starches. J. of Food. Sci. 69 (4) : 249 6. Mizukami, H., Y. Takeda dan S. Hizukuri. The Structure of The Hot-Water Soluble Components in The Starch Granules of New Japanese Rice Cultivars. Carbohydrate Polymers 38 : 329-33. SIRIM. 1992. Malaysian Standard. MS 47 : Specification for Edible Sago Starch (1 st Revision) Standards & Industrial Research Institute of Malaysia. Sunarti, T.C., T. Nunome, N. Yoshio dan M. Hisamatsu. 1. Study on Outer Chains from Amylopectin between Immobilized and Free Debranching Enzymes. J. Appl. Glycosci. 48.(1) : 1-. Whistler, R.L., J.N. BeMiller dan E.F. Paschall (ed). 1984. Starch : Chemistry and Technology. Academic Press Inc., New York. 36 J. Tek. Ind. Pert. Vol. 17(1), 29-36