BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Chronic Myelogenous Leukemia (CML) merupakan suatu keganasan hematologi yang berupa kelainan klonal dari sel hematopoietik, dan mempunyai karakteristik jumlah leukosit yang sangat meningkat dalam darah (Pasternak, Hochhaus, Schultheis, & Hehlmann, 1998). Ciri lain CML adalah imaturitas sel-sel granulosit dan basophil, anemia, trombositosis dan splenomegali (Liesveld, Szych, Iqbal, Siebert, & Asmus, 2007). Secara umum, leukemia merupakan keganasan yang sering dijumpai, tetapi hanya merupakan sebagian kecil dari kanker secara keseluruhan. Beberapa data epidemiologi menunjukkan bahwa insidensi leukemia di negara barat adalah 13/100.000 penduduk/tahun. Leukemia merupakan 2,8% dari seluruh kasus kanker, dan belum ada angka pasti mengenai insidensi leukemia di Indonesia. Insidensi Acute Myeloid Leukemia (AML) kira-kira 2-3/100.000 penduduk, dan AML lebih sering di temukan pada usia dewasa (85%) dari pada anak-anak (15%). 1
2 Insidensi Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL) sebesar 2-3/100.000 penduduk, dan lebih sering di temukan pada usia dewasa (83%) daripada anak-anak (18%). Chronic Myelogenous Leukemia (CML) merupakan 15-20% kasus dari leukemia dan merupakan leukemia kronik yang paling sering dijumpai di Indonesia (Handayani & Sulistyo, 2008). Resiko terjadinya CML meningkat seiring usia. Usia rerata pasien saat terdiagnosis adalah 65 tahun, dan hanya 10-15% yang berusia kurang dari 50 tahun. Angka insidensi di negara Barat sebesar 3/100.000 per tahun. Pada populasi geriatrik, insidensi di atas usia 70 tahun sekitar 50/100.000 per tahun. Perbandingan risiko relatif pada pria tua terhadap perempuan tua adalah 2,8:1. Kebanyakan pasien memiliki ras Kaukasia dan berpendapatan menengah (Sudoyo, 2010). Chronic Myelogenous Leukemia (CML) mempunyai 3 fase penyakit yang penting, yaitu fase kronis, fase akselerasi dan fase krisis blast. Fase kronis ditandai dengan adanya jumlah sel granulosit dan trombosit hampir mendekati normal, dan secara umum pasien terlihat asimtomatik. Fase akselerasi adalah fase dimana penyakit lebih agresif. Pada fase ini pasien
3 merasa mudah lelah, kehilangan berat badan, berkeringat pada malam hari, dan terkadang terdapat nyeri tulang. Hepatosplenomegali muncul dan bertambah buruk yang ditandai dengan rasa yang tidak nyaman pada perut yang progresif. Pada pemeriksaan darah akan banyak didapatkan proliferasi prekursor myeloid dan trombosit. Pada fase krisis blas, seiring dengan perjalanan penyakit jumlah sel blas di sumsum tulang dan darah perifer terus meningkat. Manifestasi fase ini adalah anemia yang semakin memburuk, thrombositopenia dan hilangnya sel granulosit matur yang signifikan sehingga dapat mengakibatkan penderita mempunyai risiko infeksi (Hillman, Ault, Leporrier, & Rinder, 2011). Diagnosis umum CML secara hematologi ditentukan dengan adanya leukositosis dan sel myeloid imatur pada darah perifer. Pada fase stabil, angka leukosit yang ditemukan lebih dari 50 x 10 9 /L darah. Pada fase kronis, ditemukan banyak sel myeloid pada apusan darah tepi, mulai dari sel blas sampai neutrofil. Beberapa pasien juga menunjukkan adanya basofilia, eosinofilia, thrombositosis dengan anisositosis trombosit, biasanya jumlah trombosit lebih dari 1000 x 10 9 /L. Pemeriksaan sumsum tulang pada pasien CML menunjukkan adanya hiperplasia sel myeloid yang sangat signifikan.
4 Megakariosit meningkat dan dapat membentuk klaster yang sangat terlihat pada spesimen biopsi. Selain itu, nampak adanya hipoplasia eritroid yang disebabkan karena peningkatan rasio myeloid dan eritroid (Kantarjian & Cortes, 2014). Kejadian CML mempunyai keterkaitan dengan translokasi kromosom 9 dan 22 yang menghasilkan kromosom Philadelphia (Kromosom Ph). Translokasi kromosom 9 dan 22 menyebabkan terjadinya penggabungan antara gen BCR dan ABL yang kemudian menjadi gen fusi BCR-ABL yang mengkode beberapa protein fusi yang memiliki aktivitas tirosin kinase yang tinggi. Gen fusi BCR-ABL mempunyai ukuran bervariasi, tergantung tipe breakpoint gen BCR (Pasternak et al., 1998). Secara garis besar, saat ini dikenal 3 breakpoint cluster region (BCR), yaitu BCR mayor (M-BCR), minor (m-bcr) dan mikro (µ-bcr). Berdasarkan 3 macam pengelompokkan tersebut dikenal 7 macam tipe breakpoint pada gen fusi BCR-ABL, yaitu mayor b3a2, mayor b2a2, minor e1a2, mikro e19a2, rare type e1a3, rare type e13a3 dan rare type e12a1 (Quintás-Cardama & Cortes, 2009).
5 Lebih dari 95% pasien CML dengan kromosom Ph(+) mempunyai tipe breakpoint M-BCR (mayor). Kadang-kadang juga ditemukan tipe kombinasi antara mayor b3a2 dan mayor b2a2, namun kedua tipe breakpoint tersebut mengkode protein sebesar 210 kd (Goh et al., 2006). Gen fusi BCR-ABL tipe minor mengkode protein sebesar 190 kd dan tipe mikro mengkode protein dengan ukuran 230 kd (Pasternak et al., 1998). Seringkali breakpoint yang tidak umum pada ABL menyebabkan terjadinya transkrip yang jarang (rare type). Tipe rare type merupakan transkrip BCR-ABL yang menunjukkan gabungan yang berbeda, dan biasanya terlibat dalam splicing antara semua ekson, insersi sekuen pendek atau genomic breakpoint dengan ekson-ekson. Namun demikian, analisis mutan BCR-ABL menunjukkan bahwa domain ABL SH2 yang dikode oleh ekson a3 dan a4 diperlukan untuk transformasi (Goh et al., 2006). Oleh karena itu, gabungan BCR-ABL yang kehilangan ekson tersebut akan menyebabkan CML. Secara klinis diindikasikan bahwa tipe gen fusi BCR-ABL mempunyai kaitan dengan kejadian CML dan hasil pengobatan (Goh et al., 2006). Tiga macam protein yang dikode oleh onkogen BCR- ABL adalah P190, P210, dan P230 BCR-ABL. Ketiga protein tersebut mempunyai perbedaan aktivitas leukemogenik,
6 terutama pada aktivitas enzim tirosin kinase (Li, Ilaria, Million, Daley, & Etten, 1999). Ekspresi protein yang berbeda menyebabkan perbedaan manifestasi klinis dan prognosis. Tipe breakpoint minor BCR-ABL yang menghasilkan protein sebesar 190 kda adalah tipe CML yang jarang terjadi dan ditandai dengan adanya monositosis yang signifikan dengan rasio neutrofil dan monosit yang rendah (Ohsaka, Shiina, Kobayashi, Kudo, & Kawaguchi, 2002). Chronic Myelogenous Leukemia (CML) dengan tipe breakpoint mikro BCR-ABL (µ-bcr) yaitu e19a2 mengkode protein sebesar 230 kda (p230) dan mempunyai gejala klinis yang ringan, kecuali jika terdapat abnormalitas kromosomal yang lain, yang biasa disebut sebagai CML neutrofilik (Oshikawa, Kurosu, Arai, Murakami, & Miura, 2010). Fenotip yang disebabkan oleh protein P230 adalah granulositosis ringan, angka platelet yang tinggi, infiltrasi megakariosit pada beberapa organ dan perjalanan penyakit yang lebih panjang jika dibandingkan CML dengan ekspresi protein P210 atau CML dengan tipe breakpoint mayor (Inokuchi et al., 2003). Berdasarkan penelitian dalam 25 tahun terakhir ini, terapi untuk CML dilakukan dengan mentarget aktivitas tirosin kinase, yaitu dengan menggunakan
7 inhibitor tirosin kinase. Terapi ini dilakukan tanpa membedakan tipe breakpoint-nya. Hanya pasien CML yang terbukti memiliki gen fusi BCR-ABL yang akan diterapi dengan inhibitor tirosin kinase, sehingga deteksi gen BCR-ABL atau kromosom Ph merupakan keharusan Data mengenai transkrip gen fusi BCR-ABL dan tipe breakpoint-nya pada pasien CML belum ada, baik di Indonesia pada umumnya maupun di Yogyakarta khususnya belum ada. Tim CML Fakultas Kedokteran UGM-RSUP Dr. Sardjito telah melakukan analisis tipe fragmentasi pada 200 sampel dengan metode PCR multipleks atau gabungan PCR multipleks dan nested. Berdasarkan pemeriksaan tersebut ditemukan sebanyak 60,5% (121/200) sampel mempunyai tipe mayor b3a2, 15% (30/200) sampel mempunyai tipe mayor b2a2, 2,5% (5/200) diduga mempunyai tipe minor, 4% (8/200) diduga mempunyai tipe mikro dan sebanyak 11 fragmen berukuran 500 bp, 6 fragmen berukuran 600-700 bp, 6 sampel mempunyai band yang bervariasi serta 13 sampel memberikan hasil negatif. Dengan demikian, pada pasien CML dengan BCR- ABL positif di Yogyakarta, ditemukan tipe mayor b3a2 sebanyak 64,7% (121/187), tipe mayor b2a2 16%(30/187), diduga mempunyai tipe minor 2,7%(5/187), diduga
8 mempunyai tipe mikro 4,3% (8/187) dan tipe yang belum diketahui sebanyak 12,3% (23/187). Selama ini kontrol positif yang digunakan adalah cell line K562 yang membawa sekuen gen fusi BCR-ABL tipe breakpoint mayor b3a2 (Goh et al., 2006). Penentuan tipe mikro dan minor sejauh ini dilakukan berdasarkan ukuran pita fragmen gen fusi BCR-ABL. Saat ini belum ada kontrol yang dapat digunakan untuk mengkonfirmasi tipe minor dan mikro. Oleh karena itu, perlu dilakukan konfirmasi terhadap fragmen yang diduga mempunyai tipe minor dan mikro agar meningkatkan ketepatan deteksi BCR-ABL pada pasien. I.2. Perumusan Masalah Pemeriksaan gen fusi BCR-ABL pada 200 pasien CML di RSUP Dr. Sardjito menunjukkan 13 sampel pasien diduga mempunyai tipe breakpoint minor (n=5) dan mikro (n=8). Selama ini, kontrol yang digunakanan hanya kontrol untuk tipe breakpoint mayor b3a2 yaitu cell line K562, sehingga penentuan tipe breakpoint minor dan mikro hanya dilakukan berdasarkan perkiraan ukuran pita fragmen gen fusi BCR-ABL yang didapatkan yaitu pada ukuran 429 bp dengan PCR multipleks untuk minor dan
9 1167 bp dengan PCR multipleks dan 923 bp dengan PCR nested untuk mikro. Hal ini menimbulkan pertanyaan: 1) Apakah fragmen pada ukuran 429 bp dengan PCR multipleks adalah benar tipe breakpoint minor? 2) Apakah fragmen pada ukuran 1167 bp dengan PCR multipleks dan 923 bp dengan PCR nested adalah benar tipe breakpoint mikro? I.3. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menentukan fragmen tipe breakpoint minor dan mikro gen fusi BCR-ABL pada CML. 2. Tujuan khusus Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk melakukan konfirmasi pada sampel yang diduga memiliki tipe breakpoint minor dan mikro, dan jika terbukti dilanjutkan dengan analisis sekuen dari fragmen tersebut.
10 I.4. Manfaat Penelitian 1. Klinis Penelitian ini memberikan manfaat untuk diagnosis pasien yaitu dengan mendapatkan metode yang tepat untuk diagnosis CML dan menentukan tipe breakpoint. Jika pada penelitian ini sampel terbukti mempunyai tipe breakpoint minor dan mikro, maka sampel tersebut bisa digunakan sebagai standar untuk menentukan tipe breakpoint sampel selanjutnya. 2. Ilmu Pengetahuan Jika terbukti sampel penelitian adalah tipe breakpoint minor dan mikro, penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai tipe-tipe yang ada di Indonesia khususnya tipe minor dan mikro. Jika 13 fragmen yang ditemukan terbukti sebagai tipe minor dan mikro dilanjutkan dengan analisis sekuen, penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai sekuen gen fusi BCR-ABL tipe minor dan mikro yang ada di Indonesia.
11 I.5. Keaslian Penelitian 1. Penelitian dengan judul Identifikasi Secara Sitogenetik Philadelphia Chromosome pada penderita Chronic Myeloid Leukemia (CML) dilakukan oleh Yahwadiah Siregar. Metode yang dilakukan adalah kultur dan pewarnaan G-banding pada sel yang terinfeksi CML. Sampel penelitian yang digunakan adalah darah yang berasal dari pasien RS HAM, RS Swasta dan praktek dokter. Hasil penelitian tersebut didapatkan Penemuan karyotypingterhadap CML yang umumnya (>85%) menemukan translokasi kromosom 9 dengan 22, tetapi pada hasil penelitian ini ditemukan translokasi antara kromosom 9 dan kromosom 21 dan untuk kasus lain dijumpai monosomi pada kromosom 16 disamping delesi sebagian kecil lengan q di kromosom 3 nya. Penelitian tersebut mengidentifikasi kromosom BCR-ABL dengan menggunakan metode karyotyping, sedangkan penelitian yang dilakukan adalah mengidentifikasi kromosom BCR-ABL dengan menggunakan metode PCR. 2. Penelitian dengan judul Profile of BCR-ABL Transcript Levels Based on Sokal Prognostic Score in Chronic Myeloid Leukemia Patients Treated with
12 Imatinib dilakukan oleh Ami Ashariati et al. Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional yang dilakukan di Instalasi Rawat Jalan Hematologi, RSU Dr. Soetomo Surabaya, pada semua pasien CML fase kronis, sejak Juni 2008 hingga Juni 2012. Hasil penelitian didapatkan kadar transkrip BCR-ABL tidak terdeteksi (molekuler respons lengkap) pada 7(70%), 8(66,7%), dan 9(50%) berturut-turut pada kelompok subjek risiko Sokal rendah-, sedang-, dan tinggi (p=0,417) setelah 18 bulan terapi imatinib. Tidak ada perbedaan kadar transkrip BCR-ABL antara subkelompok skor prognostik sokal pada pasien CML fase kronik yang diterapi dengan imatinib. Penelitian tersebut meneliti tentang respon terapi pada pasien CML, sedangkan penelitian ini adalah melakukan konfirmasi tipe breakpoint sampel BCR-ABL.