BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sumber daya manusia yang kompetitif akan terlahir dari dunia pendidikan yang bermutu. Rendahnya mutu pendidikan akan menjadi masalah besar bagi suatu bangsa, karena tidak akan bisa melahirkan generasi penerus yang kompeten dan berkualitas untuk memajukan bangsanya. Menyadari hal itu, kualitas pendidikan akan sangat mempengaruhi kualitas suatu bangsa. Sekolah sebagai institusi pendidikan formal memiliki peran dan tanggung jawab yang besar terhadap kualitas pendidikan secara umum. Keberlangsungan roda organisasi sekolah dalam mempertahankan eksistensinya pada zaman yang serba kompetitif ini akan sangat tergantung pada anggota organisasi sekolah tersebut. Guru adalah salah satu komponen anggota organisasi yang ada di sekolah yang menjadi ujung tombak keberlangsungan pendidikan di sekolah. Komitmen guru terhadap organisasi sekolah merupakan hal yang sangat penting yang juga harus dimiliki semua anggota organisasi. Guru yang memiliki komitmen yang tinggi dapat mengerahkan lebih banyak upaya untuk kemajuan sekolah dan lebih mungkin untuk tetap mengajar di sekolah (Collie, Shapka & Perry, 2011). 1
Menurut Meyer & Allen (1990, 1991), komitmen terhadap organisasi dapat dibedakan dalam tiga jenis, masing-masing komitmen tersebut memiliki tingkat atau derajat yang berbeda. Ketiga jenis komitmen terhadap organisasi tersebut adalah: (1) Continuance commitment (komitmen kontinuan/rasional), berarti komitmen berdasarkan persepsi anggota tentang kerugian yang akan dihadapinya jika meninggalkan organisasi yaitu seorang anggota tetap bertahan atau meninggalkan organisasi berdasarkan pertimbangan untung rugi yang diperolehnya; (2) Normative Commitment (komitmen normatif) merupakan komitmen yang meliputi perasaan-perasaan individu tentang kewajiban dan tanggungjawab yang harus diberikan kepada organisasi, sehingga individu tetap tinggal di organisasi karena merasa wajib untuk loyal terhadap organisasi; (3) Affective Commitment (komitmen afektif) berkaitan dengan emosional, identifikasi dan keterlibatan individu di dalam suatu organisasi, anggota yang mempunyai komitmen ini mempunyai keterikatan emosional terhadap organisasi yang tercermin melalui keterlibatan dan perasaan senang serta menikmati peranannya dalam organisasi. Greenberg & Baron (2003) menjelaskan bahwa perilaku yang ditimbulkan masing-masing tipe komitmen adalah berbeda. Setiap guru memiliki dasar dan tingkah laku yang berbeda berdasarkan komitmen terhadap organisasi yang dimilikinya. Guru yang memiliki komitmen dengan dasar afektif memiliki tingkah laku berbeda dengan guru yang berdasarkan komitmen kontinuan. Guru dengan komitmen afektif 2
benar-benar ingin menjadi guru di sekolah yang bersangkutan sehingga memiliki keinginan untuk menggunakan usaha optimal demi tercapainya tujuan sekolah. Guru dengan komitmen kontinuan cenderung melakukan tugasnya dikarenakan menghindari kerugian finansial dan kerugian lain, sehingga hanya melakukan usaha yang tidak optimal. Rhoades, Eisenberger & Armeli (2001) menambahkan bahwa individu dengan komitmen afektif terhadap organisasi akan memperlihatkan kinerja yang tinggi pula. SMKN 1 Tasikmalaya adalah salah satu sekolah yang sudah cukup lama berdiri dan telah menghasilkan banyak lulusan. Berdasarkan hasil perbincangan dengan tiga orang guru yang mengajar di sekolah tersebut, penulis mendapatkan beberapa informasi mengenai komitmen guru. Diantaranya adalah sebagian guru datang terlambat, tidak semangat, datang ke sekolah hanya untuk memenuhi kewajiban saja, guru tidak mempunyai kepedulian terhadap kesulitan siswa dalam menerima materi apalagi kepedulian terhadap masalah sesama guru dan sekolah pada umumnya. Mereka juga tidak mau terlibat pada kegiatan lain selain mengajar di kelas. Selain itu, ada juga sebagian guru PNS yang perhatiannya terbagi karena mempunyai tugas mengajar lain di sekolah swasta. Bagi yang tidak memiliki jabatan di sekolah (wakil kepala sekolah, ketua program Keahlian, pustakawan, kepala lab dll) mungkin tidak begitu menjadi masalah karena tidak mengganggu proses belajar mengajar. Akan tetapi diantara guru yang dimaksud, ada yang memiliki jabatan di sekolah, tidak hanya di sekolah 3
negeri sebagai sekolah induk, namun juga di sekolah swasta sehingga tugas pokoknya sebagai guru menjadi terbengkalai. Fakta di atas menunjukkan bahwa guru masih kurang optimal dalam bekerja. Kurangnya kesediaan guru untuk bekerja secara optimal mengindikasikan kurangnya komitmen afektif pada organisasi. Padahal jika komitmen organisasional menurun akan sulit bagi organisasi untuk berkembang. Komitmen organisasional merupakan salah satu aktivitas dasar serta salah satu tujuan utama dalam upaya organisasi untuk mempertahankan eksistensi mereka (Yavuz, 2010). Berdasarkan hasil wawancara terungkap juga beberapa hal yang berkaitan dengan masalah leadership. Kepala sekolah dalam beberapa masalah tertentu kurang bisa memahami situasi yang terjadi dan terkesan membiarkan keadaan tersebut tanpa ada upaya serius untuk memperbaikinya. Sebagai contoh dalam sebuah rapat diputuskan pembentukan panitia untuk melaksanakan kegiatan tertentu. Panitia tersebut tidak mampu melaksanakan tugas sebagaimana mestinya. Kepala sekolah ternyata tidak peka terhadap situasi yang terjadi meskipun telah diberi tahu oleh sebagian guru. Padahal akan ada implikasi yang negatif jika pelaksanaan kegiatan tersebut gagal dilaksanakan. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang ditunjukkan oleh pemimpin tidak sejalan dengan konsep servant leadership. Digambarkan oleh Spears (2002) sebagaimana yang dikutip oleh Handoyo (2010:132) sebagai berikut : 4
Di dalam konsep servant leadership melayani adalah hal yang utama dan mendorong hubungan yang baik dengan mengembangkan atmosfer dignity dan respect, membangun komunitas dan kerja tim, dan mendengarkan rekan dan karyawan. Hal ini juga tidak sesuai dengan dimensi Wisdom sebagai salah satu dimensi dari servant leadearship yang menggambarkan pemimpin seharusnya mudah untuk menangkap tanda-tanda di lingkungannya, sehingga memahami situasi dan implikasi dari situasi tersebut (Handoyo, 2010). Di SMK ada istilah prakerin (praktek kerja industri) dan ujikom (uji kompetensi). Pada saat pelaksanaan prakerin dan ujikom tersebut, semua siswa dari semua program studi dibebankan biaya yang sama. Namun salah satu program studi melaksanakan prakerin dengan perkiraan biaya yang sangat besar dibanding dengan program studi lainnya. Indikasinya adalah mereka bisa melaksanakan prakerin di luar negeri dan menyewa tempat pelaksanaan ujikom dengan biaya yang sangat tinggi. Padahal jika dihitung dengan jumlah uang yang dibebankan pada siswa, bisa dipastikan tidak akan mencukupi pelaksanaan prakerin dan ujikom tersebut. Ada kecemburuan dan rasa ketidakadilan bagi program studi lainnya. Promosi guru untuk menjabat salah satu jabatan di sekolah pun menjadi salah satu hal yang harus dibenahi, hal ini terungkap bahwa sebagian guru-guru merasa ada ketidakadilan dalam menentukan siapa yang layak menjabat salah satu jabatan di sekolah. Pemilihan ini tidak berdasarkan kompetensi dan kontribusi guru terhadap sekolah melainkan 5
atas dasar keinginan kepala sekolah memilih seseorang yang dilegitimasi oleh keputusan rapat. Padahal rapat tersebut digagas dan diatur untuk mewujudkan keinginannya dalam memilih seseorang. Hal inilah yang menyebabkan guru memiliki persepsi bahwa sekolah menerapkan keputusan yang tidak adil bagi mereka. Damayanti & Suhariadi (2002:3) berpendapat bahwa : Salah satu nilai yang dianggap penting dalam suatu organisasi yaitu keadilan yang pada proses selanjutnya disebut sebagai keadilan organisasi yang menekankan bagaimana reward, insentif, pekerjaan, dan juga sanksi dalam suatu lembaga (organisasi) dialokasikan secara adil dan proporsional berdasarkan karakteristik sosial demografis yang ada. Berbagai macam tindakan dan keputusan yang dihasilkan dalam suatu organisasi akhirnya akan menimbulkan persepsi karyawan tentang adil atau tidaknya keputusan atau tindakan tersebut Berdasarkan informasi yang telah dipaparkan, penulis menyimpulkan ada beberapa permasalahan yang terjadi di SMKN 1 Tasikmalaya khususnya berkaitan dengan komitmen, kepemimpinan dan keadilan organisasi. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan studi empiris di SMKN 1 Tasikmalaya untuk menemukan apakah servant leadership, keadilan distributif dan keadilan prosedural berpengaruh pada komitmen afektif guru SMKN 1 Tasikmalaya. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, terdapat berbagai persoalan mengenai kepemimpinan dan persepsi guru terhadap keadilan di sekolah sehingga mengakibatkan komitmen guru terhadap sekolah menjadi berkurang. Telah banyak penelitian yang 6
membahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen di perusahaan-perusahaan. Namun penulis belum mendapatkan hasil penelitian sejenis yang dilakukan di institusi sekolah. Mempelajari perilaku karyawan dalam organisasi adalah hal yang sangat penting, seperti halnya mempelajari komitmen karyawan yang berdampak pada kesetiaan karyawan untuk tetap bertahan dalam organisasi (Hasmarini & Yuniawan, 2008). Begitupun juga dalam institusi pendidikan, mempelajari komitmen guru terhadap sekolah adalah hal penting karena dari komitmen tersebut akan berdampak pada sikap guru terhadap sekolah. Bentuk komitmen terhadap organisasi terdiri dari tiga bentuk yaitu, komitmen normatif, komitmen kontinuan dan komitmen afektif. Untuk lebih memahami fenomena komitmen organisasional yang lebih baik, maka pada penelitian ini menggunakan salah satu jenis komitmen organisasional yaitu komitmen afektif. Salah satu hal yang muncul dalam latar belakang masalah di atas adalah masalah kepemimpinan. Jika kepala sekolah bisa menjadi pemimpin yang melayani bagi para guru, maka seharusnya komitmen guru akan meningkat. Sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Wei & Desa (2013) yang mengungkapkan bahwa seluruh dimensi servant leadership berhubungan positif pada komitmen afektif. Persepsi guru mengenai keadilan juga muncul menjadi salah satu permasalahan yang dianggap menyebabkan rendahnya komitmen afektif guru. Penelitian yang dilakukan oleh Malik & Naeem (2011) menyebutkan 7
bahwa keadilan distributif (distributive justice) dan keadilan prosedural (procedural justice) berpengaruh pada komitmen organisasional. 1.3. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, maka pertanyaan penelitian pada tesis ini adalah sebagai berikut : 1. Apakah servant leadership berpengaruh positif pada komitmen afektif guru SMKN 1 Tasimalaya? 2. Apakah keadilan prosedural berpengaruh positif pada komitmen afektif guru SMKN 1 Tasimalaya? 3. Apakah keadilan distributif berpengaruh positif pada komitmen afektif guru SMKN 1 Tasikmalaya? 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian pada SMKN 1 Tasikmalaya adalah untuk menguji dan menganalisis : 1. Pengaruh servant leadership pada komitmen afektif guru SMKN 1 Tasimalaya 2. Pengaruh keadilan distributif pada komitmen afektif guru SMKN 1 Tasimalaya? 3. Pengaruh keadilan prosedural pada komitmen afektif guru SMKN 1 Tasikmalaya 8
1.5. Manfaat Penelitian Manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah : 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi SMKN 1 Tasimalaya dalam upaya menjaga dan meningkatkan komitmen afektif guru. 2. Hasil penelitian ini diharapkan semakin memperkaya amatan dalam bidang perilaku warga organisasi terutama yang berkaitan dengan komitmen afektif, servant leadership, keadilan distributif dan keadilan prosedural di institusi pendidikan. 1.6. Batasan Panelitian Penelitian ini fokus terhadap pengaruh servant leadership, keadilan distributif dan keadilan prosedural pada komitmen afektif guru SMKN 1 Tasikmalaya, meskipun terdapat variabel-variabel lain yang dapat berpengaruh terhadap komitmen. Variabel komitmen organisasional dibatasi hanya pada komitmen afektif saja dikarenakan penulis ingin lebih fokus dalam memahami fenomena komitmen organisasional dengan lebih baik sesuai dengan informasi awal yang penulis dapatkan dari hasil wawancara yang menunjukkan adanya permasalahan komitmen afektif pada guru-guru. Alasan lainnya adalah karena guru di SMKN 1 Tasikmalaya didominasi oleh guru PNS yang harus tetap bekerja pada sekolah yang telah ditunjuk sesuai surat keputusan dari pejabat yang berwenang sampai dimutasikan ke sekolah lain. Hal ini akan membuat guru PNS cenderung berusaha tetap 9
bertahan di sekolah yang ditunjuk meskipun ada keinginan untuk keluar. Apabila guru sudah tidak merasa tidak nyaman bekerja dan ada keinginan untuk pindah ke sekolah lain, namun mereka tidak memiliki kuasa untuk pindah sampai mereka dipindahkan oleh pejabat yang berwenang, maka hal tersebut kemungkinan akan diwujudkan dalam sikap dan kinerja yang tidak baik. Sikap dan kinerja yang tidak baik inilah yang bisa terdeteksi sebagai indikator komitmen afektif. Selain itu menurut Rifai (2005) dalam Hasmarini & Yuniawan (2008:100) Karena bentuk komitmen ini berdasar pada pendekatan psikologi dan emosional, komitmen afekif lebih tepat dihubungkan dengan keadilan, kepuasan, dan organizational citizenship behavior (OCB). Keadilan adalah salah satu varabel yang digunakan dalam penelitian ini. Variabel keadilan organisasional memiliki 3 dimensi yaitu, (1) keadilan prosedural yang mengacu pada proses yang digunakan dalam pembuatan keputusan. (2) Keadilan distributif yang mengacu pada imbalan yang dialokasikan diantara karyawan. (3) keadilan interaksional yang mengacu pada hubungan antar pribadi dalam penentuan keluaran organisasi (Greenberg & Baron, 2003). Penelitian ini hanya menggunakan dua dimensi saja yaitu keadilan prosedural dan keadilan distributif. Penelitian yang dilakukan oleh Pareke (2003) dalam hasmarini & Yuniawan (2008) menyatakan bahwa keadilan distributif secara signifikan mempengaruhi komitmen afektif namun tidak untuk keadilan prosedural, Sedangkan menurut penelitian Ramamoorthy dan Flood (2004) baik keadilan 10
prosedural dan keadilan distributif mempengaruhi komitmen afektif. Perbedaan hasil penelitian inilah yang menarik untuk diteliti dalam penelitian ini. Alasan lainnya adalah fakta-fakta nyata di lapangan menunjukkaan terjadinya permasalahan keadilan distributif dan keadilan prosedural di sekolah yang diteliti. Perhitungan variabel bebas dan variabel terikat dalam penelitian ini didasarkan pada persepsi dari masing-masing responden. 1.7. Sistematika Penulisan Tesis ini terdiri dari lima bab, yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, metode penelitian, hasil penelitian dan pembahasan, serta simpulan dan saran. Bab I membahas mengenai latar belakang, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. Bab II membahas mengenai teori-teori yang berkaitan dengan komitmen organisasional termasuk pengertian, komponen-komponen dan faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen organisasional, pada bab ini juga dibahas tentang servant leadership yang terdiri dari pengertian, karakteristik dan komponen-komponen servant leadership. Bab ini juga membahas keadilan organisasional yang meliputi pengertian dan komponenkomponennya. Selanjutnya akan dibahas juga pengaruh servant leadership pada komitmen afektif dan pengaruh keadilan distributif dan keadilan 11
prosedural pada komitmen afektif. Terakhir pada ini ditutup dengan mengemukakan hipotesis penelitian. Bab III menjelaskan tentang metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini. Diantaranya memberikan penjelasan perihal desain penelitian, lokasi penelitian, definisi operasional variabel dan pengukurannya, populasi dan sampel, instrumen penelitian, metode pengumpulan data dan metode analisis data. Bab IV membahas gambaran umum sekolah, data karakteristik responden, uji validitas dan reliabilitas, statistik deskriptif, uji hipotesis dan pembahasan. Bab V berisi simpulan, keterbatasan, implikasi dan saran-saran. 12