BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pertumbuhan jumlah dan kebutuhan hidup manusia sejalan dengan perkembangan teknologi modern yang begitu cepat membuat jumlah aktifitas dan cara manusia tersebut beraktifitas dalam memenuhi kebutuhan hidup menjadi semakin kompleks. Hal tersebut berlaku baik sebagai individu, sebagai badan hukum, sebagai kumpulan individu maupun sebagai komunitas masyarakat tertentu, dan sebagai suatu bangsa ataupun sebagai bagian dari masyarakat dunia. Sejalan dengan itu, pertumbuhan aktifitas dan kompleksitas hubungan hukum antar manusia sebagai pribadi pendukung hak yang juga terus berkembang dari zaman ke zaman membuat pengertian perdagangan tidak dapat di pahami lagi dalam pengertian aktifitas jual-beli semata. Perdagangan sebagai gambaran awal hubungan komersial antar manusia terus tumbuh dan berkembang. Hubungan tersebut tidak hanya melibatkan pembeli dan penjual, tetapi juga melibatkan pelaku atau subjek-subjek lainnya. Semua itu merupakan pelaksanaan upaya pemenuhan kebutuhan secara langsung maupun tidak langsung dari masingmasing pelaku. Hukum yang antara lain merupakan rangkaian peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain baik disadari ataupun tidak di 1
sadari telah hadir dan turut mencampuri urusan antara pribadi-pribadi manusia tersebut, dari manusia itu lahir hingga manusia tersebut meninggal. 1 Modernisasi dan perkembangan teknologi yang menjadi salah satu pendorong dari semakin merapatnya bentuk-bentuk kerja sama antar negara. Hal tersebut membuat upaya-upaya untuk menciptakan kesamaan pandang, kesamaan gerak dan pemahaman terhadap hukum-hukum yang mengatur aktifitas bisnis warga di masing-masing negara. Semakin minimnya perbedaan-perbedaan pemahaman dan pelaksanaan prinsip-prinsip keadilan dan kepastian hukum di masing-masing negara akan membuat semakin meningkatnya kepastian hukum dalam aktivitas-aktivitas ataupun transaksi-transaksi bisnis internasional yang dapat dipastikan akan membutuhkan pengaturan dalam bentuk perjanjian yang tidak mudah. Perjanjian memegang peranan yang penting dalam sebuah perkembangan hukum, baik hukum yang digunakan antar negara ataupun hukum yang mengatur hubungan dan aktifitas komersial. Hukum perjanjian dan asas asas dalam hukum perjanjian secara langsung ataupun tidak langsung akan turut mempengaruhi terhadap penyusunan perjanjian-perjanjian antara pihak-pihak yang terkait. Sama halnya dengan pengaturan mengenai bahasa Indonesia dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 mengenai Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan yang masih terus menyisakan tanda tanya besar dalam benak para praktisi hukum dan kalangan dunia usaha termasuk investor asing. Salah satu 1 L.J. Van Apeldorn. Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan ke-29, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1996), hal. 6. 2
pertimbangan dikeluarkannya Undang-Undang tersebut adalah bahwa bendera, bahasa dan lambang negara serta lagu kebangsaaan merupakan sarana pemersatu, identitas dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara. Selama ini pro dan kontra menyeruak terutama terkait dengan ketentuan yang mengatur penggunaan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia dalam Undang-Undang ini bersinggungan dengan penyusunan perjanjian. Dalam kehidupan sehari-hari penyusunan perjanjian banyak ditangani praktisi hukum. Keterkaitan ini menimbulkan implikasi besar terhadap perkembangan dunia perjanjian di Indonesia. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 memang tidak menyebutkan sanksi terhadap pelanggaran kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian. Akan tetapi, banyak kekhawatiran muncul terutama terkait dengan ancaman pembatalan terhadap kontrak-kontrak yang dibuat dengan tidak menggunakan bahasa Indonesia yang melibatkan pihak asing dan menggunakan hukum Indonesia sebagai pilihan hukumnya pada saat Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2009 ini berlaku. Sebenarnya bila kita membaca secara seksama bunyi ketentuan pasal 31 ayat (1), secara tersirat menyebutkan bahwa terhadap perjanjian yang melibatkan pihak asing, pembentuk undang-undang memberikan kedudukan yang equal terhadap kewajiban penggunaan bahasa. Bukan hanya mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia, tetapi juga bisa ditulis dalam bahasa nasional pihak asing dan/atau bahasa Inggris. Namun jika kita amati lebih lanjut, pihak pembuat Undang-Undang menggunakan frasa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam perjanjian sehingga harus diinterpretasikan lebih luas dari 3
frasa ditulis juga sehingga kata wajib digunakan harus diartikan bukan hanya ditulis tetapi juga ditafsirkan sehingga jelas bahwa tidak dapat dilakukan pemilihan bahasa mana yang berlaku selain bahasa Indonesia. Permasalahan ini seperti yang terjadi dalam sebuah Loan Agreement tertanggal 23 April 2010 yang mengatur PT. Bangun Karya Pratama Lestari memperoleh pinjaman dana dari Nine AM Ltd. sejumlah US$ 4.422.000,-. Perjanjian tersebut dibuat dan tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, para pihak membuat akta perjanjian jaminan fidusia atas benda sebagai jaminan utang tertanggal 27 April 2010, benda yang dijaminkan adalah enam unit Truck Caterpillar Model 775F Off Highway dengan nomor seri masing-masing berturut-turut: DLS 00916, DLS 00931, DLS 00932, DLS 00933, DLS 00934, dan DLS 00982. Mekanisme pelunasan pembayaran pinjaman tersebut adalah 48 kali angsuran bulanan sebesar US$ 148.500 per bulan dan bunga akhir US$ 1.800.000 yang wajib dibayar pada tanggal pembayaran akhir angsuran pinjaman. Setelah berjalan selama dua tahun, PT. Bangun Karya Pratama Lestari mengajukan gugatan karena menurutnya perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat formil. Perjanjian tersebut dinilai melanggar Pasal 31 ayat (1) Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Masalahnya adalah kontrak tersebut dibuat hanya dalam bahasa Inggris, tanpa ada bahasa Indonesia, padahal Pasal 31 ayat (1) Undang- Undang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan tersebut telah mengatur dengan tegas bahwa bahasa yang wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi 4
pemerintah, lembaga swasta, atau perseorangan warga negara Indonesia adalah bahasa Indonesia. Dalam gugatan, PT. Bangun Karya Pratama Lestari meminta pengadilan untuk menyatakan kontrak tersebut batal demi hukum atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat. Gugatan ini dikabulkan majelis hakim yang dalam putusannya menyatakan perjanjian tersebut memang bertentangan dengan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, undang-undang tersebut dengan tegas mengatur bahasa Indonesia adalah bahasa yang wajib digunakan dalam sebuah perjanjian. Selain itu majelis hakim juga memerintahkan PT. Bangun Karya Pratama Lestari untuk mengembalikan semua pinjaman yang telah diberikan Nine AM Ltd karena telah membayar US$ 3.506.460,- ditambah deposit US$ 800.000,-, majelis meminta PT. Bangun Karya Pratama Lestari mengembalikan sisa uang ke Nine AM Ltd sebesar US$ 115.540,-. Atas putusan ini, Nine AM tidak puas dan bersikukuh berpandangan Undang-Undang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan tidak mengatur sanksi berupa pembatalan atas suatu perjanjian yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia sehingga pihak Nine AM Ltd pun terus melakukan upaya hukum banding dan kasasi. 5
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, dapat dikemukakan permasalahan dalam tesis ini sebagai berikut: 1. Apa yang membuat Majelis Hakim memutuskan bahwa Putusan Nomor: 451/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar mengenai Loan Agreement antara PT. Bangun Karya Pratama Lestari dengan Nine AM Ltd mengandung kausa yang tidak halal dikarenakan tidak menggunakan Bahasa Indonesia? 2. Tantangan apa yang dihadapi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 apabila perjanjian sudah terlanjur dibuat dengan bahasa Inggris? C. TUJUAN PENELITIAN Dalam penulisan ini, penulis memiliki dua tujuan, yaitu: 1. Tujuan Objektif a. Untuk mengetahui apakah pertimbangan Majelis Hakim dalam memutus perkara Nomor: 451/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar tentang pembatalan Loan Agreement atas dasar kausa tidak halal sudah tepat dan sesuai dengan aturan mengenai kausa halal atau tidak. b. Untuk mengetahui tantangan apa yang dihadapi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 apabila perjanjian sudah terlanjur dibuat dengan bahasa Inggris. 6
2. Tujuan Subjektif a. Untuk memperoleh data konkrit berkaitan dengan obyek yang diteliti guna menyusun tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar MH pada Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada; dan b. Untuk menambah ilmu pengetahuan mengenai kewajiban penggunaan bahasa Indonesia pada setiap perjanjian sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009. D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Akademis Untuk memenuhi persyaratan meraih gelar S2 pada Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 2. Manfaat Teoritis Memberikan kontribusi bagi pengembangan hukum perdata di Indonesia, khususnya yang berhubungan dengan kewajiban penggunaan bahasa Indonesia pada setiap perjanjian setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009. 3. Manfaat Praktis Diharapkan karya tulis ini dapat memberikan masukan bagi semua pihak yang akan menyusun perjanjian atau kontrak yang menggunakan bahasa 7
asing setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. E. KEASLIAN PENELITIAN Berdasarkan pengetahuan dan hasil penelusuran yang dilakukan penulis terhadap data kepustakaan pada Perpustakaan FH UGM, Perpustakaan tesis UGM, dan terhadap penulisan maupun penulisan karya ilmiah, hingga kini penulis belum menemukan permasalahan yang sama dengan penulisan ini. Oleh karena itu, penulis menyatakan bahwa tesis ini merupakan karya orisinil penulis dan karenanya dapat dipertanggungjawabkan secara akademik, namun demikian seandainya pernah dilakukan penelitian yang menitikberatkan pada kewajiban penggunaan bahasa Indonesia setelah berlakunya Undang-Undang Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2009 maka penulis mengharapkan penelitian ini adalah melengkapi. 8