HASIL DAN PEMBAHASAN Polimorfisme RAPD dan Mikrosatelit Penelitian ini menggunakan primer dari Operon Technology, dimana dari 10 primer acak yang diseleksi, primer yang menghasilkan pita amplifikasi yang bervariasi pada metode RAPD adalah primer OPO-09, OPO-10, OPY-13, OPY-09 dan OPY-14 seperti terlihat pada Gambar 6. K14 14.1 14.2 14.3 15 15.1 M P9.4 9.5 9.6 10 10.111 11.1 11.2 1000 bp 300 bp 100 bp 1000 bp 800 bp 500 bp (a) P8.4 9 9.1 9.2 9.3 9.4 9.5 9.6 10 (b) K4 4.1 4.2 4.3 4.4 5 5.1 5.2 1000 bp 1000 bp 300 bp 300 bp (c) K2 2.1 2.2 3 3.1 3.2 3.3 4 (d) 1000bp 300 bp (e) Gambar 6. Profil pita DNA dengan primer OPO 09, OPO 10, OPY 13, OPY 9 dan OPO 14 Keterangan: (a) Primer OPO 9, (b) Primer OPO 10, (c) Primer OPY 13, (d) Primer OPY 9, (e) Primer OPO 14, M=Marker; P= induk Manokwari, K= induk Kebar; angka digit satu=induk, angka digit dua=anakan 20
Skoring yang dilakukan terhadap pita-pita DNA hasil elektroforesis menunjukkan adanya perbedaan jumlah lokus untuk masing-masing primer. Pada primer OPO 09 ditemukan 10 lokus polimorfik, sedang untuk primer OPO 10 ditemukan 13 lokus dan untuk primer OPY 13, OPY 9 dan OPO 14 ditemukan 15 lokus polimorfik dengan panjang 200 bp hingga 1500 bp. Pengujian polimorfik DNA dengan metode mikrosatelit menggunakan dua pasang primer yang dari hasil penelitian terdahulu (Eurlings dan Gravendeel, 2006). Dalam penelitian ini primer yang diuji adalah dua pasang primer mikrosatelit yakni 14 PA 17F; 14 PA 17R dan 6 PA 18F; 6 PA 18R-FAM, yang menghasilkan pita polimorfik yang lebih spesifik, yakni dua lokus dan empat alel dengan panjang alel berkisar dari 257 bp hingga 300 bp seperti disajikan pada Gambar 7. 1500 M P1 1.1 1.2 2 2.1 2.2 M K3.3 4 4.1 4.2 4.3 4.4 1500 300 200 100 200 100 ( a) (b) Gambar 7. Profil hasil elektroforesis untuk primer 6 PA 18 F dan 6PA 18 R-FAM (a) dan 14 PA 17 F dan 14 PA 17 R Keterangan : P= induk Manokwari, K= induk Kebar; angka digit satu=induk, angka digit dua=anakan Resolusi dari setiap pita DNA hasil amplifikasi dalam penelitian ini tidak selalu terlihat dengan jelas. Hal ini tergantung pada jumlah fragmen yang diamplifikasi yang terdapat pada tanaman. Makin banyak fragmen DNA yang teramplifikasi pada genom tanaman maka resolusi pita DNA yang dihasilkan akan semakin jelas. Pada genom tanaman lebih kurang 90% dari DNA genom merupakan urutan berulang (Weising et al. 1995). Disamping itu adanya kompetisi tempat penempelan primer pada genom menyebabkan salah satu fragmen akan diamplifikasi dalam jumlah yang banyak dan fragmen lainnya sedikit. Hasil amplifikasi DNA dengan menggunakan primer yang sama pada individu dalam satu populasi yang sama tidak semuanya memiliki intensitas, jumlah dan ukuran pita yang sama. Perbedaan jumlah dan ukuran pita DNA yang dihasilkan oleh 21
setiap primer menggambarkan kompleksitas genom tanaman (Grattapalia et al. 1992). Karena pita DNA merupakan hasil berpasangannya nukleotida primer dengan nukleotida genom tanaman, maka semakin banyak primer yang digunakan akan semakin terwakili bagian-bagian genom dan tergambar keadaan genom tanaman yang sesungguhnya. Perbedaan hasil intensitas ini pada umumnya disebabkan karena 1) makin banyak fragmen DNA yang diamplifikasi pada tanaman, maka intensitas pita DNA yang dihasilkan makin tegas, 2) adanya kompetisi tempat penempelan primer pada DNA genom yang menyebabkan salah satu fragmen akan diamplifikasi dalam jumlah banyak dan fragmen lainnya sedikit, 3) kemurnian dan konsentrasi cetakan DNA akan mempengaruhi efisiensi amplifikasi. DNA yang memiliki tingkat kontaminasi yang tinggi dari senyawa-senyawa seperti polisakarida dan fenolik seringkali menghasilkan fenotipe penanda RAPD yang tidak jelas. Secara teoritis polimorfisme yang dideteksi berdasarkan RAPD merupakan hasil dari beberapa kejadian diantaranya 1) insersi DNA berukuran besar pada fragmen diantara sepasang situs penempelan primer yang mengakibatkan jarak amplifikasi terlalu besar sehingga fragmen tersebut hilang atau tidak teramplifikasi, 2) delesi pada bagian genom yang membawa satu atau dua situs penempelan primer sehingga mengakibatkan hilangnya fragmen, 3) subtitusi nukleotida yang mengubah homologi antara primer dengan DNA genom sehingga menyebabkan hilangnya fragmen atau mengubah ukuran fragmen, 4) insersi atau delesi fragmen kecil DNA yang dapat mengubah ukuran fragmen yang diamplifikasikan. Keragaman Genetik Gyrinops verstegii Berdasarkan RAPD Keragaman Dalam Populasi Data keragaman genetik populasi Gyrinops verstegii ditunjukkan oleh beberapa nilai parameter variabilitas genetik. Parameter variabilitas genetik yang diukur adalah jumlah alel yang diamati (na), jumlah alel yang efektif (ne), persen lokus polimorfik (PLP) dan heterozigositas harapan (H e ). Jumlah lokus polimorfik dalam analisis keragaman genetik sangat menentukan tingkat keragaman suatu populasi. Data yang diperoleh dari hasil skoring pita DNA dengan metode RAPD diolah dengan 22
menggunakan software POPGENE versi 3.2 dan diperoleh nilai-nilai variabilitas genetik (Tabel 7). Tabel 7. Variabilitas genetik dalam populasi Gyrinops verstegii Populasi N PPL na ne H e Induk Manokwari 11 73,53 1,7353 1,4077 0,2357 Anakan Manokwari 34 86,76 1,8676 1,4700 0,2744 Induk Kebar 20 92,65 1,9265 1,4952 0,2944 Anakan Kebar 49 94,12 1,9412 1,4778 0,2839 Keterangan: PPL= Percentage of Polymorphic Loci ; na = Observed number of alleles ; ne = Effective number of alleles; H e = Nei s (1973) gene diversity Seperti terlihat pada Tabel 7 keragaman genetik populasi induk Gyrinops verstegii yang berasal dari daerah Kebar memiliki nilai H e yang tinggi yakni sebesar 0,2944 dengan persen polimorfik sebesar 92,65%, sedang H e populasi anakan daerah Kebar sebesar 0,2839 dengan persen polimorfik lokus sebesar 94,12%. Nilai heterozigositas yang teramati dari penelitian ini dapat dikatakan tinggi. Beberapa hasil penelitian terhadap tanaman kehutanan yang lain juga menunjukkan nilai variasi genetik yang tinggi. Azwin (2007) melakukan penelitian dengan teknik RAPD pada species gaharu yang berbeda (Aquilaria mallaciensis Lamk) yang menunjukkan nilai heterozigositas (H e ) sebesar 0,2454. Hamrick et al. (1992) melakukan pengamatan terhadap nilai heterozigositas tumbuhan berkayu di hutan tropis, mendapatkan nilai H e sebesar 0,149. Bahkan Siregar (2004) melakukan penelitian terhadap jenis Pinus merkusii di Indonesia, memperoleh nilai H e yang cukup tinggi untuk populasi Aceh, sebesar 0,361. Menurut Namkoong et al. (1996), salah satu indikator genetik dalam praktek manajemen hutan yang lestari adalah besarnya keragaman genetik. Keragaman genetik yang besar sangat mempengaruhi kemampuan suatu jenis untuk beradaptasi. Individu atau populasi dengan keragaman genetik yang sempit akan rentan terhadap kondisi lingkungan yang heterogen. Pada dasarnya kemampuan suatu jenis pohon hutan untuk beradaptasi pada berbagai kondisi lingkungan sangat tergantung pada keragaman genetik dan multiplisitas individual pohon dalam populasi. Keragaman genetik suatu jenis dapat diduga melalui nilai heterozigositas harapan pada keseimbangan hukum HARDY- 23
WEINBERG (H e ) yang merupakan hasil survei genetik pada lokus-lokus yang polimorfik. Keragaman Genetik Antar Populasi Peubah lain yang digunakan untuk mencirikan variasi genetik antar populasi adalah jarak genetik. Jarak genetik mengukur perbedaan struktur genetik antar dua populasi pada suatu lokus gen tertentu. Pebedaan genetik dari dua atau lebih populasi pada umumnya dianalisis dengan sebuah matrik dimana elemen-elemennya berupa jarak genetik dan pasangan kombinasi dari masing-masing populasi (Finkeldey 2005). Data mengenai jarak genetik dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Jarak Genetik Gyrinops verstegii Manokwari dan Kebar Manokwari Anakan Manokwari Kebar Anakan Kebar Manokwari 0.0000 Anakan Manokwari 0.0309 0.0000 Kebar 0.0805 0.0932 0.0000 Anakan Kebar 0.0964 0.1024 0.0282 0.0000 Berdasarkan data jarak genetik diatas terlihat bahwa jarak genetik antara populasi induk Kebar dan anakan Kebar sangat dekat yakni 0,0282 dibandingkan jarak genetik antara populasi Manokwari dengan anakan Manokwari, dengan jarak genetik 0,0309. Sedang untuk nilai jarak genetik antar kedua adalah sebesar 0,0805 dan jarak genetik antara populasi anakan sebesar 0,1024. Nilai jarak genetik pada Tabel 7 ini kemudian diolah berdasarkan metode pemasangan kelompok aritmatika tidak berbobot (Unweighted Pair-Grouping Method with Aritmatic Averaging, UPGMA) dengan menggunakan software NTSYS versi 2.02 maka diperoleh dendogram seperti terlihat pada Gambar 8. Pada dendogram ini dapat terlihat hubungan kekerabatan serta pola pengelompokkan populasi berdasarkan jarak genetik yang dimiliki oleh Gyrinops verstegii Papua. 24
Gambar 8. Dendogram Jarak Genetik Antar Populasi Gyrinops verstegii berdasar UPMA (Keterangan: Mkw_tetua = Pohon Induk Manokwari; Mkw_anakan = Anakan Manokwari; Kbr_tetua= Pohon induk Kebar; Kbr_anakan = Anakan Kebar) Hasil analisis jarak genetik dan dendrogram di atas menunjukkan pengelompokkan populasi yang sangat jelas menurut wilayah tempat tumbuh masingmasing populasi. Pengelompokan ini terdiri dari dua kelompok, dimana tanaman inang dan anakan membentuk kelompok sesuai lokasi tempat tumbuhnya. Jarak genetik antar kedua kelompok ini berdasarkan dendogram diatas, mengindikasikan bahwa hubungan kekerabatan kedua populasi ini cukup jauh bahkan terpisah dan terisolasi. Dengan demikian dapat diduga bahwa antara kedua populasi tidak terjadi aliran gen. Hal ini diperkuat dengan hasil pengamatan yang menunjukkan bahwa anakan dari masingmasing populasi tidak ada yang mirip dengan induk tanaman dari populasi lain. Selain itu waktu pembungaan dari kedua populasi berbeda, sehingga tidak memungkinkan terjadinya aliran gen. Aliran gen yang rendah dapat menyebabkan terbentuknya sub populasi yang kecil dan sistim reproduksinya dapat terisolasi, dan menyebabkan variasi genetik menurun (Finkeldey 2005). Namun berdasarkan data variasi genetik diatas dengan menggunakan metode penandaan RAPD terlihat bahwa nilai keragaman genetik dari masing-masing populasi cukup besar walaupun jarak genetik antar populasi besar. 25
Sumber Keragaman Genetik Gyrinops verstegii Berdasarkan Mikrosatelit Untuk menelaah lebih dalam mengenai penyebab terjadinya keragaman genetik yang cukup besar dari masing-masing populasi dilakukan uji lanjutan yang lebih spesifik dengan menggunakan metode mikrosatelit. Skoring yang dilakukan terhadap hasil elektroforesis, selanjutnya dianalisis dengan menggunakan software Arlequin dari Schneider et al. (2000) untuk sumber keragaman pada populasi yang diteliti. Hasil perhitungan software ini berbentuk tabel AMOVA seperti disajikan dalam Tabel 8. Tabel 8. Hasil Perhitungan AMOVA Sumber db Jumlah Komponen Persentase Indeks Nilai P keragaman Kuadrat ragam ragam Fiksasi Antar group 1 5,638 0,0375 4,66 Fct = 0,0466 0,3196 ns Antar populasi dengan group 2 2,501 0,0141 1,74 Fsc = 0,0183 0,0528 ns Antar individu dalam populasi 110 67,944-0,1363-16,92 Fis = -0,1808 1,0000 ns Antar individu 114 101,500 0,8903 110,52 Fit = -0,1062 1,0000 ns Total 227 177,583 0,8056 Keterangan: db : derajat bebas, korelasi random pairs allel didapat dari nilai relatif dengan seluruh populasi (Fct), Korelasi random, pairs allel didapat dari nilai relatif populasi dengan seluruh group (Fsc), korelasi random pairs didapat dari nilai relatif populasi (Fis), tidak berbeda nyata (ns). Hasil perhitungan sidik ragam molekuler (AMOVA) menunjukkan semua komponen sumber keragaman tidak berbeda nyata, baik persentase ragam antar group (4,66), keragaman antar populasi dengan grup (1,74), keragaman antar individu dalam populasi (-16,92) serta keragaman antar individu (110,52). Namun persentase ragam terbesar dalam penelitian ini disumbangkan oleh keragaman antar individu yakni sebesar 110,52 dari total seluruh ragam. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman yang terjadi antar populasi lebih disebabkan karena adanya variasi genetik antar individu. Nilai negatif yang teramati pada level antar individu dalam populasi, tidak menyumbangkan ragam pada total ragam. Fenomena ini dimungkinkan karena adanya excess heterosigot yang disebabkan oleh adanya perkawinan silang (outcrossing). Selain itu, kecilnya nilai keragaman yang bersumber dari keragaman antar grup maupun keragaman antar populasi dengan grup, diduga peluang terjadinya aliran gen sangat kecil. 26
Hal ini mendukung hasil analisis jarak genetik antar populasi dengan metode RAPD, dimana jarak antar populasi induk dan tanaman sangat dekat dibanding jarak genetik antara kedua grup (Manokwari Kebar). Implikasi Genetik Terhadap Sistim Silvikultur Berdasarkan hasil penelitian ini, maka strategi konservasi yang sebaiknya dilakukan adalah mengkonservasi individu dalam populasi. Hal ini perlu menjadi pertimbangan mengingat keragaman genetik terbesar ada dalam individu pohon didalam populasi, sehingga konsentrasi pengumpulan materi genetik perlu mempertimbangkan jumlah pohon yang banyak dalam suatu populasi untuk dikonservasi. Secara umum konservasi genetik dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu secara in-situ dan ex-situ. In-situ berarti melestarikan pohon dan tegakan pada sebaran alamnya, sedangkan ex-situ adalah melindungi gene atau gene complexes pada kondisi buatan atau setidaknya di luar kondisi alaminya (gene bank), bilamana materi konservasi genetik yang dibangun berbentuk koleksi klon yang ada di lapangan. Program konservasi sumberdaya genetik dianggap berhasil apabila informasi genetik dapat dipreservasi untuk jangka waktu tertentu. Tujuan utama program konservasi sumberdaya genetik Gyrinops verstegii bukan mempreservasi rangkaian nukleotida DNA saja, tetapi juga untuk membangun populasi yang dapat beradaptasi dengan lingkungan dan perubahan lingkungan yang paling umum. Oleh sebab itu dalam mengkonservasi tanaman Gyrinops verstegii, perlu dipertimbangkan aspek tujuan konservasi itu sendiri apakah untuk tujuan mempertahankan hasil produksi ataukah untuk tujuan pelestarian keragaman genetik tanaman. Informasi tentang besarnya tingkat keragaman genetik, belum dapat menjelaskan hubungannya dengan parameter-parameter kuantitatif seperti diameter batang, tinggi pohon, lebar tajuk dan sebagainya. Oleh sebab itu, untuk dapat menyusun strategi konservasi yang menyeluruh perlu dilakukan pengamatan terhadap aspek pertumbuhan, sistim perkawinan dan lain-lain. 27