BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Untuk memenuhi salah satu asumsi dalam uji data time series dan uji

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Akar Unit (Unit Root Test) bahwa setiap data time series yang akan dianalisis akan menimbulkan spurious

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Uji Stasioneritas Data

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. dikumpulkan dari berbagai sumber yaitu Badan Pusat Statistik (BPS), Food and

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. atas, data stasioner dibutuhkan untuk mempengaruhi hasil pengujian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kestasioneran data diperlukan pada tahap awal data time series

HASIL DAN PEMBAHASAN. metode Vector Auto Regression (VAR) dan dilanjutkan dengan metode Vector

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Unit Root Test Augmented Dickey Fuller (ADF-Test)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. langkah yang penting sebelum mengolah data lebih lanjut. Data time series yang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN. Untuk membatasi ruang lingkup permasalahan maka yang dijadikan objek

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN

Penjualan Pasokan Penjualan Pasokan Penjualan Pasokan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Uji Pra Estimasi Uji Akar Unit (Unit Root Test) Pada penerapan analisis regresi linier, asumsi-asumsi dasar yang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. time series. Data time series umumnya tidak stasioner karena mengandung unit

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. stasioner dari setiap masing-masing variabel, baik itu variabel independent

III. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series

BAB 4 PEMBAHASAN. 51 Universitas Indonesia. Keterangan : Semua signifikan dalam level 1%

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

METODE PENELITIAN. terdiri dari data pinjaman luar negeri, pengeluaran pemerintah, penerimaan pajak,

METODE PENELITIAN. merupakan data time series dari bulan Januari 2002 sampai Desember Data

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. waktu (time series) dari tahun 1986 sampai Data tersebut diperoleh dari

BAB IV HASIL PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. tahun 1980 hingga kuartal keempat tahun Tabel 3.1 Variabel, Notasi, dan Sumber Data

METODE PENELITIAN. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian Respon PDB terhadap shock

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN. Untuk membatasi ruang lingkup permasalahan yang dijadikan objek

III. METODE PENELITIAN. Bentuk data berupa data time series dengan frekuensi bulanan dari Januari 2000

III. METODE PENELITIAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. maupun variabel dependent. Persamaan regresi dengan variabel-variabel yang

BAB III METODE PENELITIAN. sekunder yang akan digunakan ialah data deret waktu bulanan (time series) dari bulan

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. mengandung akar-akar unit atau tidak. Data yang tidak mengandung akar unit

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Laju Inflasi di Indonesia. masih menunjukkan fluktuasi seperti pada Gambar 4.1. Rata-rata inflasi tahun

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

INTEGRASI SPASIAL PADA PASAR MINYAK GORENG DI INDONESIA

III. METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. Exchange Rate Rp/US$ ER WDI Tax Revenue Milyar Rupiah TR WDI Net Export US Dollar NE WDI

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. analisis yang berupa angka-angka sehingga dapat diukur dan dihitung dengan

III. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder berupa time series

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV. Hasil dan Pembahasan. 1. Analisis Deskriptif Saham Sektor Pertanian. dipisahkan dari sektor pertanian dan perkebunan, karena sektor-sektor ini

BAB III METODE PENELITIAN. Jawa Tengah diproxykan melalui penyaluran pembiayaan, BI Rate, inflasi

III. METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. mengalami fluktuasi antar waktu. Data tersebut mengindikasikan adanya

BAB III METODE PENELITIAN

V. SPESIFIKASI MODEL DAN HUBUNGAN CONTEMPORANEOUS

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dan kuantitatif. Penelitian kualitatif adalah

INTEGRASI PASAR CPO DUNIA DAN DOMESTIK

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Dinamika Perbankan Syariah di Jawa Tengah

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V ANALISIS HASIL PENELITIAN

1 analisis regresi dengan pendekatan VECM

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini

BAB III METODE PENELITIAN. Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data sekunder berupa data

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Indonesia dan variabel independen, yaitu defisit transaksi berjalan dan inflasi.

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN. perubahan sehingga harus diolah terlebih dahulu. Pengolahan data dilakukan dengan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Perkembangan M1 dan M2

APLIKASI MODEL VAR DAN VECM DALAM EKONOMI

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN. penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang telah dikumpulkan oleh pihak

METODE PENELITIAN. Pada penelitian ini jenis data yang digunakan adalah data sekunder.data ini

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Langkah awal yang perlu dilakukan dalam data time series adalah uji stasioner,

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN

Analisis Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Jalur Kredit dan Jalur Harga Aset di Indonesia Pendekatan VECM (Periode 2005: :12)

3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran

BAB III METODE PENELITIAN. kegunaan tertentu. Cara ilmiah berarti kegiatan penelitian itu didasarkan pada

III. METODE PENELITIAN. series. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah BI rate, suku bunga

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. menguji data yang bersifat time series agar terhindar dari spurious regression. Jika nilai t-

BAB V HASIL ESTIMASI DAN ANALISA

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB III DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN

BAB 4 ANALISIS ARAH KEBIJAKAN FISKAL DI INDONESIA

METODE PENELITIAN. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah PDB, Ekspor, dan

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. yang dapat diperoleh dari pasar uang atau bisa juga dari pasar valas.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perdagangan internasional merupakan kegiatan pertukaran barang dan jasa

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. pertumbuhan produksi pertanian tidak sebesar laju permintaan pangan. Tabel 1.1

KAUSALITAS INFLASI DAN KURS DI INDONESIA Mirza Winanda 1, Chenny Seftarita 2* Abstract

STUDI KAUSALITAS GRANGER ANTARA NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP USD DAN AUD MENGGUNAKAN ANALISIS VAR

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder menurut runtun

Transkripsi:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Deskriptif 4.1.1 Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Produksi padi Indonesia meskipun mengalami fluktuasi namun masih menunjukkan pertumbuhan yang meyakinkan yaitu rata-rata 2,52 persen per tahun selama kurun waktu tahun 1981-2010 sementara luas panen pada periode yang sama pertumbuhannya lebih lambat yaitu rata-rata 1,27 persen per tahun (Gambar 4.1). Pertumbuhan produksi padi yang signifikan terjadi pada periode 1981-1985 dan pada tahun 1984 Indonesia berhasil mencapai swasembada beras untuk pertama kalinya. Mulai tahun 1970-an pemerintah Indonesia mengadopsi sistem revolusi hijau melalui program Intensifikasi Khusus (INSUS) dan berhasil meningkatkan produksi padi. Produksi, 000 Ton 65000 55000 45000 35000 25000 15000 5000 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Tahun 65000 55000 45000 35000 25000 15000 5000 Luas Panen, 000 Ha Produksi Luas Panen Sumber: BPS dan Kementan, 1981-2010. (Diolah). Gambar 4.1: Produksi dan Luas Panen Padi di Indonesia, 1981-2010

40 Produksi padi merupakan hasil perkalian antara luas panen dan produktivitas tanaman padi. Pertumbuhan produktivitas memegang peranan yang lebih penting dibandingkan pertambahan luas panen. Gambar 4.2 menunjukkan perkembangan produktivitas padi dari 3,5 ton per hektar pada tahun 1981 meningkat hingga 5 ton per hektar pada tahun 2010, peningkatan produktivitas ini mampu mendorong peningkatan produksi padi pada saat luas panen relatif stagnan.. Secara rata-rata produktivitas padi di Indonesia tumbuh 1,27 persen per tahun selama periode 1981-2010. Penurunan produktivitas yang signifikan terjadi pada tahun 1998 saat Indonesia dilanda kekeringan akibat El-Nino dan La-Nina, yang mengakibatkan gagal panen di beberapa wilayah. Produktivitas padi Indonesia saat ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata dunia yaitu 4,3ton/Ha, akan tetapi jika dibandingkan produktivitas sawah irigasi sebesar 12,5ton/Ha maka Indonesia masih dapat meningkatkan produktivitas padi terutama pada lahan sawah irigasi (FAO, 2011). 5.5 5.0 Ton/Ha 4.5 4.0 3.5 3.0 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Tahun Sumber: BPS dan Kementan, 1981-2010. (Diolah). Gambar 4.2: Produktivitas Padi di Indonesia, 1981-2010

41 4.1.2 Perkembangan Produksi, Konsumsi dan Impor Beras Indonesia Rata-rata produksi beras di Indonesia tahun 1980-2010 adalah 31,1 juta ton/tahun dan menunjukkan trend meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 2,51 persen per tahun. Dari Gambar 4.3 tampak bahwa peningkatan yang cukup tinggi terjadi pada tahun 1992 dan 2009. Penurunan produksi yang signifikan terjadi pada tahun 1997 dimana pada periode tersebut Indonesia menghadapi banyak bencana alam dan krisis ekonomi yang mengakibatkan pemerintah mencabut subsidi untuk komoditi input pertanian seperti pupuk dan bibit. 000 Ton 45000.0 40000.0 35000.0 30000.0 25000.0 20000.0 15000.0 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Produksi Beras Tahun Konsumsi Beras Sumber: BPS dan Kementan, 1980-2010. (Diolah). Gambar 4.3: Produksi dan Konsumsi Beras Indonesia, 1980-2010 Konsumsi beras dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan. Rata-rata konsumsi beras pada periode 1980-2010 adalah 32 juta ton/tahun dengan rata-rata pertumbuhan 0,59 persen per tahun. Secara rata-rata produksi beras lebih rendah dibandingkan konsumsinya. Dari Gambar 4.3 tampak bahwa produksi beras lebih tinggi dari konsumsi atau surplus produksi hanya terjadi pada periode 1980-1986. Pada

42 periode selanjutnya Indonesia hampir selalu mengalami defisit produksi beras kecuali pada tahun 1989, 1992, 2007 dan 2008. Kesenjangan antara produksi dan konsumsi ini menjadi dasar bagi Menteri Perdagangan untuk melakukan impor beras. Gambar 4.4 menunjukkan impor beras serta selisih antara produksi dan konsumsi beras tahun 1980-2010. Impor beras seharusnya sama dengan defisit produksi, semakin tinggi defisit maka semakin tinggi pula volume beras yang diimpor akan tetapi realisasi impor beras tidak selalu sejalan dengan surplus atau defisit produksi beras yang terjadi pada tahun tersebut. Ketika impor tidak dapat memenuhi defisit produksi yang terjadi dapat memicu kenaikan harga beras di pasar domestik. 6000 4000 2000 000 Ton 0 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010-2000 -4000-6000 Tahun Selisih Produksi dan Konsumsi Impor Beras Sumber: BPS, Kementan dan FAO, 1980-2010. (Diolah). Gambar 4.4: Impor serta Selisih Produksi dan Konsumsi Beras Indonesia, 1980-2010

43 Volume beras yang diimpor oleh Indonesia sepanjang periode 1980-2010 berfluktuasi dari tahun ke tahun, namun secara rata-rata mengalami kenaikan 160 persen per tahun. Impor beras tertinggi terjadi tahun 1999 yaitu sebesar 4,7 juta ton, pada akhir tahun 1998 kebijakan liberalisasi pasar beras mulai berlaku efektif di Indonesia. Periode tahun 1985-1988 merupakan periode impor beras terendah yaitu rata-rata 37,3 ribu ton per tahun dimana pada tahun 1984 Indonesia berhasil mencapai swasembada beras. Impor beras Indonesia terutama berasal dari Thailand, Vietnam dan Amerika Serikat (AS). Volume impor beras menurut negara asal ditunjukkan dalam Tabel 4.1. Tabel 4.1: Impor Beras Indonesia Menurut Negara Asal Tahun 2005-2009 (Ton) Tahun Negara 2005 2006 2007 2008 2009 (1) (2) (3) (4) (5) (6) Thailand 126,408.90 157,983.30 363,640.10 157,007.30 221,372.60 Vietnam 44,772.50 272,832.70 1,022,834.60 125,070.50 0,970.50 AS 2,184.20 801.00 821.70 1,411.20 1,323.40 India 327.00 720.60 3,571.80 289.50 473.10 Pakistan - 904.30 4,603.60 751.30 501.50 Cina 1.30 100.00 901.40 3,341.70 5,167.60 Lainnya 15,922.70 4,766.60 10,473.80 1,817.90 664.50 Jumlah 189,616.60 438,108.50 1,406,847.00 289,689.40 250,473.20 Sumber: BPS, 2010 4.1.3 Perkembangan Harga dan Impor Beras di Indonesia Pemerintah berusaha menjaga stabilitas harga beras untuk menjaga daya beli masyarakat. Harga beras tahun 1980-1997 cenderung stabil dengan kenaikan rata-rata 11,81 persen per tahun. Lonjakan harga beras di pasar dalam negeri terjadi pada tahun 1998, pada tahun ini Indonesia mengalami puncak krisis ekonomi dan politik yang membuat harga beras meningkat hingga 98,7 persen.

44 Kenaikan yang cukup signifikan juga terjadi pada tahun 2006-2007 yang dipicu oleh kenaikan harga beras dunia, pada periode ini harga beras naik sebesar 30,72 persen. Kebijakan impor beras merupakan salah satu cara untuk menjaga stabilitas harga beras. Kenaikan harga beras dalam negeri menjadi sinyal adanya excess demand sehingga perlu dilakukan impor untuk menambah supply dan mencegah kenaikan harga. Gambar 4.5 menunjukkan perkembangan impor beras dan harga beras di pasar domestik. Pada tahun 1999 dan 2002 kenaikan impor beras diikuti oleh penurunan harga eceran beras di pasar domestik pada tahun berikutnya. Pada tahun 2007 terjadi peningkatan impor beras sebesar 208 persen yang dimaksudkan untuk mengatasi kenaikan harga di pasar domestik, akan tetapi kenaikan harga pangan dunia pada tahun yang sama membuat kebijakan menambah supply beras melalui impor tidak efektif untuk menurunkan harga. Ribu Ton, Rupiah/Kg 9000.00 8000.00 7000.00 6000.00 5000.00 4000.00 3000.00 2000.00 1000.00 0.00 1980 1982 1984 1986 1988 Impor Beras (000 Ton) 1990 1992 1994 1996 Tahun 1998 2000 2002 2004 2006 Harga Rata-rata Eceran Beras (Rp/Kg) Sumber: FAO, 1980-2010. (Diolah). Gambar 4.5: Volume Impor dan Harga Rata-rata Eceran Beras di Indonesia, 1980-2010 2008 2010

45 Gambar 4.6 menunjukkan perkembangan harga gabah kering giling (GKG) di tingkat petani dan harga beras di tingkat konsumen tahun 1989-2010. Sebelum pemerintah menerapkan kebijakan liberalisasi pasar beras rata-rata selisih harga gabah dan harga beras adalah Rp 535,-. Setelah liberalisasi pasar beras mulai diberlakukan efektif pada tahun 1998 kesenjangan antara harga gabah di tingkat petani dan harga beras di tingkat konsumen terus meningkat. Data terakhir pada tahun 2010 menunjukkan harga beras di tingkat konsumen lebih mahal 2,3 kali dibandingkan rata-rata harga gabah pada tahun yang sama. Kondisi ini menunjukkan ketidakberpihakan kebijakan pemerintah kepada petani. Petani menerima harga yang murah atas produksi padi mereka sementara petani di Indonesia sebagian besar merupakan net-buyer beras sehingga harga beras yang mahal akan menurunkan daya beli dan meningkatkan kemiskinan. Rp/Kg 9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Tahun Harga GKG Harga Beras Sumber: BPS dan FAO, 1989-2010. (Diolah). Gambar 4.6: Harga Rata-rata Gabah kering Giling (GKG) dan Eceran Beras di Indonesia, 1980-2010

46 Hasil penghitungan Indeks Spesialisasi Produksi (ISP) menunjukkan bahwa untuk komoditi beras Indonesia sejak tahun 1994 merupakan net-importir beras yang berarti lebih banyak mengimpor daripada mengekspor beras. Sebagai net-importir harga beras dalam negeri dipengaruhi oleh harga beras di pasar internasional. Gambar 4.7 menunjukkan harga beras di pasar domestik cenderung mengikuti harga beras di pasar internasional, namun pergerakan harga beras domestik tampak lebih fluktuatif. Setelah kenaikan harga pangan dunia pada tahun 2007-2008 harga beras dunia kembali menurun pada tahun 2009 namun harga beras di pasar domestik justru terus meningkat. Kesenjangan antara harga beras di pasar domestik dan pasar internasional dapat menjadi pendorong terus meningkatnya impor beras. 1800.00 1600.00 1400.00 1200.00 US $/Kg 1000.00 800.00 600.00 400.00 200.00 0.00 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Tahun Harga Beras Dunia Harga Beras Indonesia Sumber: World Bank dan BPS, 1999-2010. (Diolah). Gambar 4.7: Harga Rata-rata Eceran Beras Dunia dan Indonesia, 1999-2010

47 Gambar 4.8 menunjukkan perbandingan harga beras di pasar domestik dan harga ekspor beras negara-negara eksportir beras utama di Indonesia tahun 2000-2009. Pada tahun 2000-2005 harga beras Vietnam merupakan yang tertinggi dibandingkan harga beras di Indonesia, Thailand, Cina, Amerika Serikat dan Vietnam. Pada tahun 2006 harga eceran beras di pasar dalam negeri mengalami kenaikan dan hingga tahun 2010 harga beras di pasar dalam negeri lebih tinggi dibandingkan harga ekspor negara-negara tersebut, hal ini menunjukkan lemahnya daya saing Indonesia dibandingkan produsen-produsen beras dunia. USD/Kg 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun Cina Thailand AS Vietnam Indonesia Sumber: BPS dan UN, 2010. (Diolah). Gambar 4.8: Harga Beras Indonesia, Cina, Thailand, Amerika Serikat dan Vietnam, 2000-2009 4.1.4 Rasio Ketergantungan Impor Beras Rasio ketergantungan impor beras mengukur proporsi impor beras terhadap persediaan beras dalam negeri yaitu produksi dikurangi ekspor ditambah

48 impor. Hasil penghitungan rasio ketergantungan impor beras menunjukkan fluktuasi sepanjang tahun 1980-2010 dengan rata-rata 2,69 persen per tahun. Hal ini berarti rata-rata setiap tahun 2,69 persen persediaan beras dalam negeri dipenuhi dari impor. Meskipun produksi beras terus meningkat namun ketergantungan terhadap impor tidak menunjukkan penurunan, hal ini mengindikasikan bahwa produksi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi. 14.00 12.00 10.00 Persen 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Tahun Sumber: FAO dan BPS, 1980-2010. (Diolah). Gambar 4.9: Rasio Ketergantungan Impor Beras di Indonesia, 1980-2010 4.1.5 Jumlah Penduduk dan Persediaan Beras Nasional Jumlah penduduk merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi permintaan agregat termasuk permintaan beras. Peningkatan jumlah penduduk akan meningkatkan permintaan beras sebagai bahan pangan pokok. Idealnya, pertumbuhan persediaan beras harus mampu mengimbangi laju pertumbuhan penduduk. Dari Gambar 4.9 tampak bahwa jumlah penduduk terus meningkat

49 sepanjang tahun sementara pertumbuhan persediaan beras relatif stagnan. Jumlah penduduk pada tahun 2010 meningkat 59,04 persen dibandingkan tahun 1980 sementara pada periode yang sama persediaan beras nasional hanya tumbuh sebesar 55,44 persen. Sepanjang periode 1980-2010 produksi beras meningkat sebesar 66,3 persen lebih besar dibandingkan peningkatan jumlah penduduk. Kebijakan ekspor-impor yang kurang tepat mengakibatkan persediaan beras nasional justru tidak dapat mengimbangi pertumbuhan jumlah penduduk pada periode tersebut. Jumlah Penduduk 240000 220000 200000 180000 160000 140000 120000 100000 45000.00 40000.00 35000.00 30000.00 25000.00 20000.00 Persediaan Beras Tahun Jumlah Penduduk (000 Jiwa) Persediaan Beras (000 Ton) Sumber: FAO, 1980-2010. (Diolah). Gambar 4.10: Jumlah Penduduk dan Persediaan Beras Indonesia, 1980-2010 4.2 Hasil Uji Asumsi Sebelum melakukan analisis lebih lanjut dengan VECM perlu dilakukan pengujian asumsi-asumsi yang meliputi uji stasioneritas data dengan uji akar unit, uji lag optimum, uji stabilitas VAR dan uji kointegrasi. Pengujian-pengujian ini

50 penting karena dalam model multivariate time series kebanyakan data yang digunakan mengandung akar unit sehingga akan membuat hasil estimasi menjadi semu dan tidak valid (Gujarati 2006). 4.2.1 Hasil Uji Stasioneritas Data a. Hasil uji stasioneritas data dengan ADF Test pada tingkat level Metode yang digunakan untuk menguji stasioneritas data adalah ADF Test. Jika nilai t-statistik hasil ADF Test lebih kecil dari nilai kritis tabel MacKinnon pada taraf nyata α=10 persen maka dapat diambil kesimpulan data tersebut stasioner. Pada tabel 4.3 ditampilkan nilai t-statistik ADF Test dan nilai kritis tabel MacKinnon yang menunjukkan bahwa tidak semua data stasioner pada level. Oleh karena itu pengujian akar unit perlu dilanjutkan pada tingkat first difference. Tabel 4.2: Hasil ADF Test untuk Data pada Tingkat Level Augmented Dickey- Fuller test statistic Test critical values Variabel (Level) Hasil t-statistic Prob.* 1% level 5% level 10% level LNQM -3.6859 0.0073-3.5713-2.9224-2.5992 Stasioner LNPRICE -3.8825 0.0042-3.5713-2.9224-2.5992 Stasioner LNRPROD -5.0764 0.0001-3.5713-2.9224-2.5992 Stasioner IM -3.1400 0.0305-3.5812-2.9266-2.6014 Stasioner Tidak DUMMY -0.5340 0.8753-3.5713-2.9224-2.5992 Stasioner LNPDB -0.4201 0.8974-3.5713-2.9224-2.5992 Tidak Stasioner POP -1.4703 0.5395-3.5812-2.9266-2.6014 Tidak Stasioner LNRER -1.1981 0.6681-3.5713-2.9224-2.5992 Tidak Stasioner *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Sumber: Output hasil pengolahan dengan EViews 6.0

51 b. Hasil uji stasioneritas data dengan ADF Test pada tingkat first difference Hasil pengujian stasioneritas data dengan menggunakan ADF Test pada first difference menunjukkan bahwa semua data stasioner pada taraf nyata α=10 persen. Ditunjukkan pada Tabel 4.4 nilai t-statistik ADF test untuk semua data lebih besar dari nilai kritis tabel MacKinnon pada taraf nyata α=10 persen. Karena data tidak stasioner pada tingkat level tetapi stasioner pada first difference maka selanjutnya perlu dilakukan uji kointegrasi untuk menentukan analaisis yang akan digunakan lebih lanjut. Jika hasil pengujian menunjukkan tidak terdapat kointegrasi maka analisis lanjutan yang dilakukan adalah analisis VAR sementara bila terdapat kointegrasi maka analisis lanjutan yang dilakukan adalah VECM. Tabel 4.3: Hasil ADF Test untuk Data pada Tingkat First Difference Augmented Dickey-Fuller test Test critical values Variabel statistic Hasil (First Difference) t-statistic Prob.* 1% level 5% level 10% level LNQM -8.677 0.0000-3.5777-2.9252-2.6007 Stasioner LNPRICE -6.5097 0.0000-3.5777-2.9252-2.6007 Stasioner LNRPROD -8.9221 0.0000-3.5744-2.9238-2.5999 Stasioner IM -4.1997 0.0018-3.5812-2.9266-2.6014 Stasioner DUMMY -6.9282 0.0000-3.5744-2.9238-2.5999 Stasioner LNPDB -4.7772 0.0003-3.5744-2.9238-2.5999 Stasioner POP -2.7632 0.0715-3.5812-2.9266-2.6014 Stasioner LNRER -6.3288 0.0000-3.5744-2.9238-2.5999 Stasioner *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Sumber: Output hasil pengolahan dengan EViews 6.0

52 4.2.2 Hasil Uji Lag Optimum Penentuan lag optimum sangat penting dalam analisis VAR maupun VECM karena panjang lag dari variabel endogen dalam sistem persamaan akan digunakan sebagai variabel eksogen. Pengujian lag optimum juga berguna untuk mengatasi masalah autokorelasi yang biasanya muncul dalam analisis data time series. Penetapan lag optimum menggunakan nilai dari Likelihood Ratio, Final Prediction Error, Akaike Information Criterion (AIC), Schwartz Information Criterion (SIC) dan Hannan Quin Criterion (HQ). Panjang lag optimum yang digunakan adalah lag yang terpendek. Hasil dari pengujian menunjukkan panjang lag optimum yang digunakan adalah lag ketiga. Tabel 4.4: Hasil Uji Lag Optimum Lag LogL LR FPE AIC SC HQ (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 0-156.6809 NA 1.78e-07 7.1600 7.4780 7.2791 1 229.5075 621.2595 1.53e-13-6.8481-3.9859-5.7759 2 388.3497 200.2793 3.18e-15-10.9717-5.5653-8.9464 3 513.3916 114.1687* 4.77e-16-13.6257-5.6751-10.647 4 659.2223 82.42602 9.16e-17* -17.1835* -6.6887* -13.252* Keterangan: * menunjukkan lag terpilih berdasarkan kriteria LR : sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE : Final prediction error AIC : Akaike information criterion SC : Schwarz information criterion HQ : Hannan-Quinn information criterion Sumber : Output hasil pengolahan dengan EViews 6.0 4.2.3 Hasil Uji Stabilitas VAR Pengujian stabilitas VAR menggunakan roots characteristic polynomial, suatu sistem VAR dikatakan stabil jika roots-nya memiliki modulus lebih kecil

53 dari satu (Lukepohl dalam Eviews 6 Users Guide 2007). Pada lampiran 1 ditunjukkan bahwa persamaan VAR memiliki nilai modulus kurang dari satu sehingga dapat disimpulkan bahwa model VAR yang dibentuk sudah stabil. 4.2.4 Hasil Uji Kointegrasi Konsep kointegrasi dikemukakan oleh Engel dan Granger (1987) dalam Enders (2004) sebagai fenomena kombinasi linier dari dua atau lebih variabel yang tidak stasioner akan menjadi stasioner. Kombinasi linier ini disebut dengan persamaan kointegrasi dan dapat diinterprestasikan sebagai hubungan keseimbangan jangka panjang diantara variabel. Pengujian kointegrasi dilakukan dengan pengujian Johansen Cointegration. Terdapat lima asumsi deterministik trend dalam uji kointegrasi, untuk menentukan pilihan trend yang digunakan bias dilihat dari hasil summary pada pilihan lag optimal. Pemilihan asumsi didasarkan pada hasil criteria Akaike Information dan Schwartz dan dipilih salah satu. Hasil uji kointegrasi pada summary model menunjukkan adanya kointegrasi pada model keempat yaitu model linier dengan intersep dan trend (Lampiran 2). Hal ini berarti secara multivariate terjadi hubungan keseimbangan jangka panjang antar variabel dalam model. Hasil uji kointegrasi pada asumsi terpilih menunjukkan adanya tujuh rank kointegrasi yang ditunjukkan dengan nilai trace statistik yang lebih besar dari nilai kritis tabel MacKinnon-Haug-Michelis dengan taraf nyata 5 persen.

54 4.3 Hasil Estimasi Persamaan Jangka Panjang Hasil output estimasi VECM menunjukkan seluruh variabel memiliki pengaruh signifikan terhadap volume impor beras dalam jangka panjang. Hubungan jangka panjang antar variabel yang diteliti dapat dituliskan dalam bentuk persamaan linier sebagai berikut: LnQm = 1198,65+6,964623 LnRPrice 6,068460 LnRProd + 1,065394Im + 39,53399Dummy + 98,54116 LnPDB + 19,70047 Pop - 2,081291 LnRER Dalam jangka panjang kenaikan rasio harga beras dalam negeri terhadap harga beras dunia sebesar satu persen akan meningkatkan volume impor beras sebesar 6,96 persen. Rasio harga beras dalam negeri terhadap harga beras dunia menggambarkan kesenjangan antara harga beras di pasar dalam negeri dan pasar internasional. Sesuai dengan teori perdagangan internasional semakin besar kesenjangan harga antara pasar domestik dan internasional akan meningkatkan volume impor. Importir beras memperoleh keuntungan dari margin harga beras di pasar dunia dengan pasar dalam negeri, semakin besar margin harga berarti semakin besar pula keuntungan yang akan diperoleh importir sehingga volume beras yang diimpor akan meningkat. Hasil penelitian Azzis (2006) menyimpulkan bahwa harga beras impor berpengaruh negatif terhadap volume impor beras sementara harga beras dalam negeri berpengaruh positif. Kenaikan rasio produksi terhadap konsumsi sebesar satu persen dalam jangka panjang akan menurunkan volume impor beras sebesar 6,07 persen. Rasio produksi terhadap konsumsi beras menggambarkan kemampuan produksi beras dalam negeri dalam memenuhi kebutuhan konsumsi beras. Semakin besar nilai

55 rasio produksi terhadap konsumsi beras menunjukkan semakin besar surplus produksi atas konsumsi beras. Impor dilakukan ketika produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi permintaan untuk konsumsi, volume impor tergantung pada besarnya kelebihan permintaan (excess demand). Penelitian Nastiti (2007) dan Ruatiningrum (2011) juga memberikan hasil bahwa produksi dalam negeri berpengaruh negatif terhadap volume impor beras. Kenaikan rasio ketergantungan impor terhadap volume impor beras sebesar satu persen akan meningkatkan volume impor beras sebesar 1,06 persen dalam jangka panjang. Rasio ketergantungan impor beras menunjukkan besarnya ketergantungan penyediaan beras dalam negeri terhadap impor, semakin besar ketergantungan terhadap impor maka semakin besar pula volume beras yang diimpor. Liberalisasi perdagangan beras berpengaruh positif terhadap volume impor beras, hal ini berarti volume impor beras pada periode setelah diberlakukannya kebijakan liberalisasi perdagangan beras meningkat dibandingkan periode sebelum kebijakan tersebut berlaku. Kebijakan liberalisasi perdagangan berarti menurunkan berbagai hambatan perdagangan beras di Indonesia baik tarif maupun non tarif. Penghapusan berbagai hambatan perdagangan membuat harga barang impor lebih murah dibandingkan harga dengan tarif ataupun kuota sehingga volume impor meningkat. Penelitian Azzis (2006) menyimpulkan bahwa adanya tarif akan menurunkan volume impor beras. Sawit (2005) menyarankan kebijakan tarif rate quota (TRQ) sebagai opsi untuk melindungi industri beras di Indonesia.

56 Dalam jangka panjang kenaikan PDB sebesar satu persen akan meningkatkan volume impor beras sebesar 98,54 persen. Variabel PDB mewakili pendapatan yang diterima oleh seluruh penduduk. Pendapatan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi permintaan, peningkatan pendapatan akan meningkatkan jumlah permintaan. Penelitian Dutta dan Ahmed (2006) menyimpulkan bahwa PDB berpengaruh positif terhadap permintaan impor agregat. Pertumbuhan penduduk sebesar satu persen dalam jangka panjang akan meningkatkan volume impor beras sebesar 19,70 persen. Permintaan agregat merupakan jumlah dari seluruh permintaan individu sehingga semakin banyak jumlah penduduk akan meningkatkan permintaan. Penelitian Ruatiningrum (2011) menyimpulkan bahwa jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap impor beras. Dalam jangka panjang peningkatan nilai tukar riil sebesar satu persen akan meningkatkan volume impor beras sebesar 2,08 persen. Nilai tukar mempengaruhi harga impor beras, nilai tukar yang melemah menyebabkan harga impor menjadi relatif lebih mahal sehingga volume yang diimpor menjadi berkurang. 4.4 Analisis Impulse Response Function (IRF) IRF menunjukkan bagaimana respon dari setiap variabel endogen sepanjang waktu terhadap kejutan dari variabel itu sendiri dan variabel endogen lainnya. IRF digunakan untuk melihat pengaruh kontemporer dari sebuah variabel

57 dependen jika mendapatkan guncangan atau inovasi dari variabel independen sebesar satu standar deviasi. 4.4.1 Respon Volume Impor Beras terhadap Guncangan Volume Impor Beras Guncangan volume impor beras sebesar satu standar deviasi pada periode pertama akan meningkatkan volume impor beras sebesar 1,21 persen. Pada periode-periode berikutnya, respon volume impor beras masih positif namun nilainya semakin menurun. Respon volume impor beras terhadap guncangan ini mulai mencapai keseimbangan pada jangka panjangnya, yaitu pada periode kesepuluh dimana respon volume impor beras adalah sebesar 0,6 persen. 4.4.2 Respon Volume Impor Beras terhadap Guncangan Rasio Harga Beras Dalam Negeri terhadap Harga Beras Dunia Guncangan rasio harga beras dalam negeri terhadap harga beras dunia sebesar satu standar deviasi juga tidak langsung direspon oleh volume impor beras pada periode pertama. Respon positif mulai muncul pada periode kedua sebesar 0,17 persen. Respon positif terus berlangsung hingga akhir periode dan mencapai kesetimbangan pada periode ketigabelas dimana volume impor beras berfluktuasi sekitar 0,2 persen dari rata-ratanya. Hal ini sesuai dengan hasil persamaan jangka panjang dan teori keseimbangan parsial dalam perdagangan internasional bahwa semakin besar kesenjangan antara harga domestik dengan internasional maka volume impor juga semakin besar. 4.4.3 Respon Volume Impor Beras terhadap Guncangan Rasio Produksi terhadap Konsumsi Beras Dalam Negeri Guncangan rasio produksi terhadap konsumsi beras dalam negeri sebesar satu standar deviasi belum direspon oleh volume impor beras pada tahun pertama.

58 Pada tahun kedua dan ketiga guncangan rasio produksi terhadap konsumsi beras mulai direspon negatif oleh volume impor beras sebesar 0,22 persen dan 0,36 persen. Guncangan rasio produksi terhadap konsumsi beras terus menimbulkan fluktuasi terhadap volume impor beras dalam jangka panjang, hingga pada periode kesebelas volume impor beras baru menunjukkan keseimbangan dengan respon negatif sebesar 0,4 persen. Sesuai teori perdagangan internasional, semakin kecil excess demand yang terjadi maka volume impor juga semakin kecil. Hasil ini juga sesuai dengan hasil persamaan jangka panjang yang menunjukkan bahwa rasio produksi terhadap konsumsi beras berpengaruh negatif terhadap volume impor beras. 4.4.4 Respon Volume Impor Beras terhadap Guncangan Rasio Ketergantungan Impor Guncangan rasio ketergantungan impor beras sebesar satu standar deviasi belum direspon oleh volume impor beras pada periode pertama. Respon positif baru muncul pada periode ke dua kemudian pada periode ketiga respon berbalik arah menjadi negatif. Fluktuasi terus terjadi hingga periode keenambelas dan keseimbangan baru tercapai pada periode keduapuluh dengan respon sekitar 0,05 persen. Hal ini sejalan dengan hasil persamaan jangka panjang yang menunjukkan bahwa volume impor beras dan rasio ketergantungan impor memiliki hubungan positif. 4.4.5 Respon Volume Impor Beras terhadap Guncangan Kebijakan Liberalisasi Perdagangan Beras Respon volume impor beras terhadap guncangan kebijakan liberalisasi perdagangan beras baru muncul pada periode kedua sebesar 0,2 persen. Volume

59 impor beras dalam jangka panjang memperikan respon positif terhadap guncangan liberalisasi perdagangan beras. Dengan kebijakan liberalisasi perdagangan beras berarti hambatan dalam perdagangan internasional komoditi beras dikurangi. Sesuai dengan teori perdagangan internasional, dengan semakin berkurangnya hambatan perdagangan maka volume beras yang diimpor semakin besar. Hasil persamaan jangka panjang juga menunjukkan bahwa variabel liberalisasi perdagangan beras mempengaruhi volume impor beras dan memiliki hubungan positif. 4.4.6 Respon Volume Impor Beras terhadap Guncangan PDB Respon volume impor beras terhadap guncangan PDB sebesar satu standar deviasi belum tampak pada periode pertama. Mulai periode kedua muncul respon positif sebesar 0,17 persen. Respon positif pada jangka panjang semakin besar dan hingga akhir periode volume impor beras memberikan respon positif terhadap guncangan PDB. Hasil ini sesuai dengan hasil persamaan jangka panjang yang menunjukkan hubungan positif antara volume impor beras dan PDB. 4.4.7 Respon Volume Impor Beras terhadap Guncangan Pertumbuhan Penduduk Guncangan pertumbuhan penduduk sebesar satu standar deviasi belum direspon oleh volume impor beras pada periode pertama. Respon mulai muncul pada periode kedua sebesar 0,07 persen, respon terus menurun hingga periode kedelapan bahkan pada periode kesembilan respon berbalik arah menjadi negatif. Pada periode kesepuluh respon kembali positif hingga akhir periode. Keseimbangan tercapai pada periode kelimabelas dimana volume impor beras merespon positif guncangan pertumbuhan penduduk sebesar 0,02 persen. Hasil

60 persamaan jangka panjang juga menunjukkan hubungan positif antara pertumbuhan penduduk dan volume impor beras. 4.4.8 Respon Volume Impor Beras terhadap Guncangan Nilai Tukar Riil Guncangan nilai tukar riil sebesar satu standar deviasi belum direspon oleh volume impor beras pada periode pertama. Pada periode kedua dan ketiga volume impor beras memberikan respon positif sebesar 0,01 persen. Pada periode keempat respon berbalik arah menjadi negatif sebesar 0,16 persen. Hingga akhir periode guncangan nilai tukar riil direspon negatif oleh volume impor beras. Sesuai dengan hasil persamaan jangka panjang nilai tukar rupiah riil dan volume impor beras berhubungan negatif, depresiasi nilai tukar membuat harga beras impor menjadi relatif lebih mahal dan mengurangi volume beras yang diimpor. 4.5 Analisis Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD) Struktur dinamis antar variabel dalam VAR dapat dilihat melalui analisis Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD), pola dari FEVD ini mengindikasikan sifat dari kausalitas multivariat diantara variabel-variabel dalam model VAR. Pengurutan variabel dalam analisis FEVD ini didasarkan pada faktorisasi Cholesky. Berdasarkan hasil dekomposisi varians dapat diambil kesimpulan bahwa pada periode pertama fluktuasi impor beras disebabkan oleh guncangan impor beras itu sendiri sebesar 100 persen. Mulai periode ke dua peran impor beras meskipun masih dominan, namun mulai menurun dan peran varaibel-variabel lain mulai muncul. Variabel yang memiliki peran paling besar pada fluktuasi impor

61 beras adalah rasio produksi terhadap konsumsi beras dalam negeri yaitu sebesar 2,49 persen. Rasio harga beras dalam negeri terhadap harga beras dunia, kebijakan liberalisasi perdagangan beras, PDB dan rasio ketergantungan impor juga mulai memiliki peranan dalam menjelaskan fluktuasi impor beras pada tahun kedua secara berturut-turut sebesar 1,5 persen, 2,36 persen, 1,48 dan 1,39 persen. Variabel pertumbuhan penduduk dan nilai tukar rupiah hanya memberi peran kurang dari satu persen dalam menjelaskan variabilitas volume impor beras pada periode ke dua. Pada akhir periode, variabel yang dominan dalam menjelaskan fluktuasi impor beras adalah impor beras itu sendiri, rasio produksi terhadap konsumsi beras, rasio harga beras dalam negeri terhadap harga beras dunia, PDB dan kebijakan liberalisasi perdagangan beras. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1 2 3 4 5 6 LNQM LNRPRICE LNRPROD IM LNPDB DUMMY LNRER POP Sumber: Hasil pengolahan dengan EViews 6.0 Gambar 4.11: Dekomposisi Varians Volume Impor Beras