BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Epilepsi adalah kondisi neurologis yang ditandai dengan kekambuhan kejang berulang disebabkan oleh pelepasan sinkron berulang, abnormal, dan berlebihan dari neuron otak (Ikawati, 2011). Epilepsi merupakan salah satu masalah neurologis yang paling umum terjadi di seluruh dunia. WHO (2001) menyebutkan bahwa kejadian epilepsi di negara maju berkisar 50 per 100.000 penduduk, sedangkan di negara berkembang 100 per 100.000 ribu. Di Indonesia, prevalensi penderita epilepsi berkisar 0,5%-2%. Jadi, apabila penduduk Indonesia berjumlah sekitar 200 juta jiwa, maka kemungkinan penderita epilepsi sebanyak 1-4 juta jiwa (Anonim, 2006). Epilepsi dapat menyerang pada laki-laki ataupun perempuan. Secara umum diperkirakan ada 2,4 juta kasus baru setiap tahun, dan 50% kasus terjadi pada masa kanak-kanak atau remaja. Insiden tertinggi terjadi pada masa kanakkanak, kemudian menurun pada usia 15-65 tahun, dan naik lagi pada geriatrik (WHO, 2006). Hal ini juga didukung oleh kajian Purba (2008) dan Pinzon (2006) bahwa sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak dan insidensi epilepsi pada anak dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Menurut Lamsudin (1999) penderita epilepsi anak terbanyak pada golongan umur 1-6 tahun (46,5%), kemudian 6-10 tahun (29,1%), 10-18 tahun (16,28%) dan 0-1 tahun (8,14%). 1
Tingginya prevalensi epilepsi pada anak mengakibatkan makin banyak penggunan obat antiepilepsi, sehingga risiko timbulnya efek samping pun semakin besar (Nurmalasari, 2012). Oleh karena itu, pemilihan obat antiepilepsi (OAE) pada anak bukanlah hal yang mudah, karena anak termasuk dalam populasi yang bersifat khas dan bukan merupakan bentuk miniatur dari orang dewasa (US. Department of Health and Human Service, 1998). Banyak variabel yang harus dipertimbangkan antara lain profil farmakokinetika obat antiepilepsi pada anak (Glauser dkk., 2006). Salah satu obat antiepilepsi anak yang sering digunakan adalah asam valproat. Asam valproat bila digunakan dalam jangka panjang dapat menyebabkan hepatotoksik (Lacy dkk., 2009). Selain itu, asam valproat merupakan golongan obat yang memiliki indeks terapi sempit dengan kisar terapi 50-100 mg/l (Winter, 1994). Obat dengan indeks terapi sempit adalah obat yang memiliki rentang atau jarak antara dosis terapi dengan dosis toksik yang sempit, artinya dengan adanya peningkatan kadar sedikit saja dalam darah dapat memberikan peningkatan efek terapi yang signifikan, termasuk efek toksiknya (Wahyono, 2013). Sehingga perlu pengawasan pada kadar obat dalam plasma dan penyesuaian dosis untuk mencegah timbulnya efek toksik. Penggunaan asam valproat dalam jangka panjang memerlukan pemantauan kadar obat di dalam darah (Therapeutic Drug Monitoring). Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan dosis sehingga dapat mencegah timbulnya efek toksik. Pemantauan TDM di Indonesia belum dapat dilakukan karena mengingat biaya yang diperlukan relatif mahal. Oleh karena itu, pemantauan dapat dilakukan dengan meninjau secara farmakokinetika yaitu dengan menghitung perkiraan 2
kadar obat berdasarkan dosis terapi yang diberikan pada pasien. Sehingga, diperoleh gambaran bagaimana kadar obat dalam darah dan dihubungkan dengan hasil terapi yang diperoleh. Berdasarkan uraian tersebut, maka penggunaan antiepilepsi pada anak perlu mendapat perhatian khusus. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi dosis asam valproat yang digunakan pada pasien epilepsi anak di Bangsal Rawat Inap Anak RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta. 1. Perumusan Masalah Penelitian ini mengevaluasi dosis asam valproat dengan kisar terapi sempit pada pasien epilepsi anak di bangsal rawat inap anak RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, dengan permasalahan sebagai berikut: a. Bagaimana perkiraan kadar asam valproat dalam darah setelah pemberian dosis terapi pada pasien epilepsi anak? b. Bagaimana hasil terapi pada pasien epilepsi anak di bangsal rawat inap anak RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta jika dilihat dari durasi bebas kejang? 2. Keaslian penelitian Penelitian tentang asam valproat sudah banyak dilakukan, namun tentang perhitungan perkiraan kadar asam valproat pada pasien epilesi anak belum pernah dilakukan. Penelitian terkait yang pernah dilakukan di Indonesia atau di dunia, yaitu : a. Penelitian oleh Penry dkk. (1989) tentang monitoring penggunaan asam valproat jangka panjang pada 50 pasien Juvenile Myoclonic Epilepsy (JME) secara retrospektif dilaporkan bahwa terdapat 86% pasien bebas kejang 3
selama 1 tahun tetapi banyak kejadian kekambuhan dengan berbagai penyebab. b. Penelitian oleh Subash Vijaya Kumar dkk. (2011) yang berjudul Therapeutic Drug Monitoring of Valproic Acid in Pediatric Epileptic Patients menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara dosis harian dengan kadar terapetik di dalam darah, diperlukan monitoring fungsi hati dan BUN. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kadar asam valproat didalam darah dengan kontrol kejang. Pasien anak efektif menerima monoterapi asam valproat dengan kadar terapetik 16,55 84,20 mikrogram/ml. c. Penelitian oleh Mohsen Forooghipour dkk. (2009) yang berjudul Therapeutic Drug Monitoring of Valproic Acid in Patient with Monotherapy at Steady State menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang ditemukan antara konsentrasi asam valproat didalam plasma dengan efek terapetik. Oleh karena itu, studi ini menunjukkan bahwa TDM asam valproat diperlukan hanya untuk pasien yang non responsif terhadap pengobatan atau rentan terhadap efek samping dengan dosis standar. d. Penelitian oleh Mohanad Yasir Radeef dkk. (2012) yang berjudul Therapeutic Drug Monitoring and Evaluation of Therapeutic Effectiveness and Adverse Effects of Antiepileptic Drugs in Iraq Epileptic Patients. Peneliti menggunakan kajian retrospektif dan prospektif untuk mengevaluasi efektivitasan terapi karbamazepine, asam valproat, topiramite dan kombinasi obat antiepilepsi tersebut pada pasien berumur 1 45 tahun. Hasil dari penelitian tersebut adalah pada kelompok pasien retrospektif 90%, 75%, 60% 4
dan 45% bebas kejang setelah 3 bulan diberi karbamazepin, asam valproat, topiramite dan kombinasi terapi OAE. Sedangkan pada kelompok pasien prospektif 80% dan 100 % pasien bebas kejang setelah diberi karbamazepin dan asam valproat. e. Penelitian yang dilakukan oleh Herningtyas Nautika Lingga (2013) menunjukkan bahwa hasil terapi yang dinilai berdasarkan durasi bebas kejang pada kelompok pasien yang mendapatkan monoterapi asam valproat sebanyak 52,33% memberikan hasil terapi yang baik dan 47,67% memberikan hasil terapi yang tidak baik. Sedangkan pada kelompok pasien dengan terapi kombinasi 61,54% memberikan hasil terapi yang baik dan 38,46% memberikan hasil terapi yang tidak baik. 5
3. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa : a. Memberikan informasi pada pihak RSUP Dr. Sardjito Yoyakarta mengenai perkiraan kadar asam valproat dalam darah setelah pemberian dosis terapi, serta hasil terapi pada pasien epilepsi anak jika dilihat dari durasi bebas kejang. b. Menjadi salah satu acuan untuk melanjutkan penelitian farmasi klinik di bidang epilepsi anak. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk : 1. Mengetahui perkiraan kadar asam valproat dalam darah setelah pemberian dosis terapi pada pasien epilepsi anak di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. 2. Mengetahui hasil terapi pada pasien epilepsi anak di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta jika dilihat dari durasi bebas kejang. 6