BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia (Kementerian Kesehatan, 2008). Penyebabnya antara lain meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya faktor risiko, seperti faktorindividu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan ditempat kerja (Antariksa dkk., 2011). Penyakit Paru Obstruktif Kronik adalah suatu penyakit progresif yang ditandai dengan pembatasan aliran udara yang masuk terjadi secara ireversibel, sehingga udara tidak memenuhi kebutuhan organ tubuh. Pembatasan aliran udara terjadi karena respon inflamasi yang tidak normal pada paru-paru terhadap partikel asing maupun gas (Antariksa dkk., 2011). Pengobatan PPOK sangat tergantung pada beratnya penyakit.obat-obat diberikan bertujuan memperkecil atau menghilangkan keluhan dan gejala serta mencegah komplikasi.penyakit Paru Obstruktif Kronik dengan eksaserbasi akut yang ditandai dengan adanya sputum dan wheezing disebabkan oleh infeksi pada trachea-bronkiolus dan polusi udara, oleh karena itu perlu penggunaan antibiotika (Babar, 2003). 1

2 Salah satu karakteristik PPOK adalah kecendrungannya untuk eksaserbasi.eksaserbasi PPOK adalah perburukan kondisi penyakit yang bersifat akut dari kondisi sebelumnya yang stabil dan dengan variasi harian normal dan mengharuskan perubahan dalam pengobatan yang biasa diberikan pada pasien PPOK (Riyanto, 2006).Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi, kriteria PPOK eksaserbasi akut ditandai oleh meningkatnya jumlah dan konsistensi sputum dan bertambahnya gejala sesak napas.eksaserbasi pada pasien PPOK harus dapat dicegah dan ditangani secara maksimal karena dapat menurunkan fungsi faal paru dan kualitas hidup pasien (GOLD, 2010). Word Health Organization (WHO) menunjukkan tahun 1990 PPOK menempati urutan ke-6 sebagai penyebab utama kematian di dunia dan akan menempati urutan ke-3 setelah penyakit kardiovaskular dan kanker (WHO, 2002). Untuk penatalaksanaan PPOK bagi 16 juta orang di Amerika Serikat dibutuhkan biaya langsung sekitar 18 miliar US$ setahun dan biaya tak langsung sebesar 14 miliar US$ (Sulivan dkk., 2000). Diperkirakan jumlah pasien PPOK sedang hingga berat di Asia tahun 2006 mencapai 56,6 juta pasien dengan prevalens 6,3%. Angka prevalens di Cina berkisar 3,5-6,7%, dengan jumlah kasus mencapai 38,160 juta jiwa, di Jepang sebanyak 5,014 juta jiwa, dan Vietnam sebesar 2,068 juta jiwa. Di Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta pasien dengan prevalens 5,6%. Angka ini bisa meningkat dengan makin banyaknya jumlah perokok karena 90% 2

3 pasien PPOK adalah perokok atau mantan perokok ( WHO, 2002). Hasil survey penyakit tidak menular oleh Direktorat Jendral PPM dan PL di 5 rumah sakit propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatra Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma bronchial (33%), kanker paru (30%), dan lainnya (2%) (Kementerian Kesehatan, 2008). Rumah sakit Ibnu Sina Gresik merupakan rumah sakit tipe B non pendidikan serta rumah sakit rujukan milik Pemerintah Kabupaten Gresik. Penyakit Paru Obstruktif Kronik di Rumah Sakit Ibnu Sina Gresik termasuk dalam 10 besar penyakit rawat inap, berdasarkan data tahun 2014 yang diperoleh dari bagian rekam medik RSUD Ibnu Sina Gresik. Di tahun 2011 tercatat pasien yang dirawat inap karena PPOK sebanyak 106 pasien (66,9%) merupakan pasien pria dengan usia di atas 50 tahun. Ada peningkatan yang sangat tinggi dibanding tahun 2010 yang hanya tercatat sebanyak 90 pasien yang menderita PPOK dan di susul tahun tahun berikutnya di tahun peningkatan terus terjadi. Berdasarkan beberapa alasan tersebut, maka peneliti perlu untuk melakukan penelitian tentang penggunaan antibiotik pada penderita PPOK dengan standar pelayanan rumah sakit yang ada, kesesuaian dosis dengan literatur standar, serta menilai keberhasilan atau efektivitas antibiotik dengan melihat perubahan sputum, suhu dan keluhan sesak 3

4 Eksaserbasi akut pada PPOK adalah peristiwa di mana pada perjalanan penyakit terdapat perubahan dalam beratnya sesak, batuk dan produksi sputum yang melebihi variasi harian, memiliki onset akut, dan membutuhkan pengobatan yang berbeda dari obat-obatan yang biasa digunakan oleh pasien PPOK, 50% kejadian eksaserbasi akut disebabkan infeksi (GOLD, 2010). Infeksi bakteri menimbulkan perubahan jalan napas dan inflamasi sistemik yang menyebabkan peningkatan beratnya gejala PPOK. Respon inflamasi akan meningkatkan aktivitas enzim proteolitik yang jika berlanjut akan memperberat PPOK, menyebabkan cedera epitel jalan napas dan mengganggu mekanisme imun paru-paru, sehingga gangguan mekanisme imun selanjutnya dapat mempermudah terjadinya kolonisasi bakteri (Celli dkk., 2004). Antibiotika merupakan kelompok obat yang terbanyak digunakan khususnya dalam pengobatan di rumah sakit (Juwono dan Prayitno, 2003). Penggunaan antibiotika secara luas tanpa regimen dosis yang benar akan menimbulkan resistensi kuman, menyebabkan meningkatnya toksisitas dan efek amping obat, efektivitas obat menjadi rendah, dan biaya pelayanan kesehatan menjadi tinggi, sehingga merugikan penderita (Katzung dkk., 2011). Penggunaan antibiotik pada penderita PPOK dapat diberikan pada pasien yang memiliki satu dari dua gejala kardinal yaitu sesak napas yang bertambah atau jumlah sputum, penggunaan antibiotik dapat mengurangi mortalitas dan mengurangi angka kejadian pneumonia nosokomial (GOLD, 2010). 4

5 B. Perumusan Masalah Beberapa permasalahan yang memerlukan jawaban sehubungan dengan penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah rasionalitas penggunaan antibiotik penderita PPOK dirsud Ibnu Sina Gresik? 2. Bagaimanakah outcome dari penggunaan antibiotik yang sesuai dan yang tidak sesuai pada pasien penderita PPOK di RSUD Ibnu Sina Gresik berdasarkan Standar Pelayanan Medik? C. Manfaat Penelitian 1. Sebagai masukan bagi Rumah Sakit guna mengevaluasi Standar Pelayanan Medis PPOK yang ada guna meningkatkan therapeutic outcome. 2. Sebagai informasi dan memberikan gambaran tentang penggunaan antibiotik untuk terapi PPOK yang terjadi di RSUD Ibnu Sina Gresik. 3. Bagi praktisi farmasi RSUD Ibnu Sina Gresik, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan peran aktifnya dalam melakukan pemantauan dan evaluasi penggunaan obat, terutama obat antibiotik guna mengendalikan dan menurunkan potensi terjadinya resistensi. 5

6 D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang ingin dicapai sebagai berikut : 1. Mengetahui rasionalitas penggunaan antibiotik pada pasien penderita PPOK dirsud Ibnu Sina Gresik. 2. Untuk mengetahui outcome dari penggunaan antibiotik yang sesuai dan yang tidak sesuai pada pasien penderita PPOK dirsud Ibnu Sina Gresik berdasarkan Standar Pelayanan Medik. E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang evaluasi penggunaan antibiotik pada penderita PPOK belum pernah dilakukan, namun penelitian evaluasi antibiotik sudah pernah dilakukan. Beberapa penelitian mengenai evaluasi penggunaan antibiotik telah dilakukan antara lain : 1. Penelitian pernah dilakukan oleh Lestari, Asih P (2013) dengan judul evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia di RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta. Dari hasil penelitian menyimpulkan bahwa terapi antibiotik pada pasien pneumonia di rawat inap RSUD Dr. Sardjito Yogyakarta mengalami perbaikan klinis atau sembuh berdasarkan keterangan keluar rumah sakit sebanyak 72,4% 6

7 dan sebanyak 58,6% pasien pneumonia mendapatkan terapi sesuai standar terapi pneumonia. 2. Penelitian evaluasi antibiotik juga pernah dilakukan Rilawati F.D (2011), dalam penelitian dengan judul evaluasi penggunaan antibiotika pada pasien gangguan ginjal di rumah sakit PKU Muhamadiyah menyimpulkan bahwa terdapat 18,42% (14 pasien) tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien, dan atau tepat dosis, sebanyak 6,58% (5 pasien) yang tidak tepat indikasi, obat, pasien, dan atau dosis. 3. Penelitian yang menggunakan metode Gyssens pernah dilakukan oleh Rahayu (2013), dalam penelitian dengan judul evaluasi rasionalitas penggunaan antibiotik terhadap outcome pada pasien anak infeksi pneumonia di Rumah Sakit DR R.Soetrasno Rembang menyimpulkan bahwa penggunaan antibiotik untuk terapi yang diberikan pertama kali kepada pasien anak penderita penumonia di bangsal anak RS Dr.R.Soetrasno Rembang yang telah dievaluasi dengan metode Gyssens, diketahui sebanyak 49,7% penggunaannya rasional dan sebanyak 50,3% tidak rasional. Penggunaan antibiotik rasional memberikan outcome klinis (suhu, laju pernafasan, retraksi, angka leukosit dan neutofil segmen) yang lebih baik secara signifikan dibanding penggunaan antibiotik yang tidak rasional (p < 0,05). 4. Penelitian lain yang dilakukan oleh Brusse-Keizer dkk., (2009) dengan judul Relation of sputum colour to bacterial load in acute exacerbations of COPD menyimpulkan bahwa keberhasilan penggunaan antibiotik dapat dilihat dari perbedaan warna sputum dan perbedaan sputum dari purulen dan tidaknya. 7

8 Penelitian tentang evaluasi penatalaksanaan penggunaan antibiotik pada penderita penyakit paru obstruktif kronik di RSUD Ibnu Sina Gresik belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya.bila dibandingkan dengan penelitian lainnya penelitian ini berbeda dalam hal lokasi penelitian, subyek yang diteliti, metode yang digunakan dan analisa data dari hasil penelitian. 8