BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dijumpai di masyarakat, baik anak-anak, remaja, dewasa. maupun lanjut usia. Cedera kepala dapat dikaitkan

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera kepala merupakan kasus yang cukup banyak dijumpai di masyarakat, baik anak-anak, remaja, dewasa maupun lanjut usia. Cedera kepala dapat dikaitkan dengan begitu banyak faktor penyebab seperti kemajuan teknologi terutama pada bidang transportasi maupun pada tindak kekerasan. Pada populasi di bawah 45 tahun, cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi dan merupakan penyebab kematian nomor 4 dari seluruh populasi. Di seluruh dunia, setiap tahunnya terjadi lebih dari 2 juta orang yang mengalami cedera kepala, orang di antaranya meninggal dunia, dan lebih dari orang selamat akan mengalami kelumpuhan permanen maupun non permanen (Anonim cit Setyaningsih, 2004). Dari tahun berdasarkan laporan CDC rata-rata angka kematian penduduk akibat cedera kepala di Amerika Serikat per tahunnya adalah (Coronado 2011). Di Indonesia kasus cedera 1

2 2 kepala tertinggi diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas. Berdasarkan laporan kepolisian RI tahun 2009, terdapat sedikitnya kasus kecelakan lalu lintas yang terjadi dengan proporsi sekitar 70% adalah pengendara bermotor. Dari berbagai jenis cedera yang dapat terjadi akibat kecelakaan lalu lintas, kasus cedera kepala merupakan urutan pertama dibanding dengan cedera lainnya (Yusherman, 2008). Angka kejadian baru kasus cedera kepala di Amerika Serikat berkisar antara per penduduk per tahunnya, dengan kelompok korban tertinggi adalah populasi remaja sampai dewasa muda. Perbandingan kejadian cedera kepala antara laki-laki dan perempuan adalah 2-2,8 : 1, sebagian besar korban mengalami cedera kepala ringan (80%), cedera kepala sedang (10%) dan cedera kepala berat (10%) (Jagoda et al., 2006). Trauma kepala dapat mengakibatkan cedera kepala primer maupun sekunder. Cedera kepala primer merupakan akibat langsung dari benturan pada saat terjadi trauma, sedangkan cedera kepala sekunder merupakan proses yang terjadi setelah terjadi trauma, seperti

3 3 perdarahan otak dan hipoksia pada otak. Cedera kepala sekunder terjadi umumnya dalam jangka waktu 24 jam setelah trauma hingga 1 minggu pasca trauma. Akibat proses tersebut terjadi kerusakan pada tingkat yang terkecil yaitu sel (Lane, 2006). Epilepsi merupakan kelainan saraf kronis yang tersebar di seluruh dunia. Epilepsi dapat terjadi pada semua status gender dan pada semua umur. Epilepsi juga adalah salah satu dari banyak gejala tertunda yang muncul akibat kejadian cedera kepala, bahkan sekitar 5% dari seluruh penderita epilepsi memiliki riwayat cedera kepala (Fisher, 2013). Secara umum, angka kejadian baru epilepsi pasca cedera kepala cukup bervariasi, dengan jangka waktu setelah cedera kepala, rentang usia subjek yang diteliti, serta spektrum keparahan dari cedera kepala antara 4% sampai 53%. Sekitar 86% dari pasien yang mengalami kejang setelah kejadian cedera kepala, dalam jangka waktu kurang lebih 2 tahun ke depan, akan mengalami kejang keduanya. Faktor risiko munculnya kejang pada minggu pertama meliputi perdarahan intrakranial, terutama jenis perdarahan subdural, umur

4 4 relatif masih muda, adanya peningkatan keparahan cedera, dan riwayat konsumsi alkohol (Frey, 2003). Lebih dari 50 juta penduduk dunia menderita epilepsi berdasarkan survey terakhir yang dilakukan (World Health Organization, 2012). Di Jepang, sekitar kasus epilepsi yang didahului cedera kepala terjadi setiap tahunnya, dengan proporsi kurang lebih 15% dari pasien rawat inap akibat cedera kepala dan 2% dari pasien rawat jalan dengan cedera kepala (Skandsen, 2008). Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan Indonesia tahun 2006, penduduk yang menderita epilepsi di Indonesia sekitar 1,1 juta - 1,3 juta jiwa. Prevalensi kasus epilepsi pasca cedera kepala secara global cukup tinggi, serta kasus cedera kepala dan kasus epilepsi di Indonesia juga cukup banyak yang masuk ke bagian IRD RSUP Dr Sardjito mendorong untuk dilakukannya studi mengenai epilepsi pasca cedera kepala di RSUP Dr Sardjito.

5 5 B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut: Apakah terdapat hubungan antara tingkat keparahan cedera kepala dengan kejadian epilepsi pasca cedera kepala di RSUP Dr Sardjito? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui hubungan antara tingkat keparahan cedera kepala dengan munculnya epilepsi pasca cedera kepala di RSUP Dr Sardjito. 2. Mengetahui hubungan antara usia dan status gender subjek dengan munculnya epilepsi pasca cedera kepala di RSUP Dr Sardjito.

6 6 D. Keaslian Penelitian Tabel 1. Daftar Penelitian Yang Berhubungan No. Peneliti Judul Metode Alat Ukur 1 Varaamo Oqunrin Matsumoto Gilad Zhao et al., Gunawan 2014 Predictors of New- Onset Seizures: A 10-year follow-up of Head Trauma Subjects With and Without Traumatic Brain Injury Risk Factor for Epilepsy in Nigerians - A Cross-Sectional Case-Control Study Prevalence of Epileptic and Nonepileptic Events After Pediatric Traumatic Brain Injury Seizure after Very Mild Head or Spine Truma Clinical Epidemiology of Posttraumatic Epilepsy in A Group of Chinese Patients Hubungan Tingkat Keparahan Cedera Kepala dengan Kejadian Epilepsi Pasca Cedera Kepala Pada Pasien RSUP Dr Sardjito tahun 2012 Cross- Sectional Retrospe ctive and Prospect ive Prospect ive Retrospe ctive Cross- Sectional Hasil Kejang onset baru sebanyak 5,7% dari total subjek. - Odds Ratio trauma kepala terhadap munculnya epilepsi adalah 1,82. Empat puluh persen subjek mengalami epilepsi pasca trauma. Nol koma delapan belas persen subjek mengalami kejang. Lima persen subjek mengalami epilepsi pasca cedera kepala. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat keparahan cedera kepala dengan kejadian epilepsi pasca cedera kepala

7 7 E. Manfaat Penelitian 1. Bagi dunia pendidikan Menjadi salah satu sumber referensi bagi peneliti lain dalam melakukan penelitian mengenai cedera kepala dan epilepsi serta hubungan di antara keduanya dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. 2. Klinisi Dapat menjadi sumber informasi baru yang menyadarkan klinisi akan risiko munculnya epilepsi maupun gejala sisa lain pasca cedera kepala sehingga dapat memberikan penanganan yang lebih komprehensif kepada pasien cedera kepala yang ditangani. 3. Bagi peneliti Sebagai sarana untuk memperoleh ilmu dan pengalaman dalam melakukan penelitian mengenai cedera kepala dan epilepsi.