dokumen-dokumen yang mirip



INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR 2014

Boleh dikutip dengan mencantumkan sumbernya

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT PROVINSI PAPUA BARAT 2008 WELFARE INDICATORS OF PAPUA BARAT PROVINCE 2008

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR BUPATI KABUPATEN BANYUASIN... KATA PENGANTAR BAPPEDA KABUPATEN BANYUASIN... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

Indikator Sosial Kabupaten Pulau Morotai 2013

BADANPUSATSTATISTIKPROVINSILAMPUNG

KATALOG DALAM TERBITAN INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT TAHUN 2017

IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL PENDATAAN SUSENAS Jumlah (1) (2) (3) (4) Penduduk yang Mengalami keluhan Sakit. Angka Kesakitan 23,93 21,38 22,67

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT KABUPATEN PASER TAHUN : Bappeda Kabupaten Paser bekerjasama dengan. Badan Pusat Statistik Kabupaten Paser

Kata pengantar. Tanjungpinang, September 2014 Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau

KABUPATEN ACEH UTARA. Katalog BPS : BADAN PUSAT STATISTIK

BUKU SAKU DATA DAN INDIKATOR SOSIAL SUMATERA SELATAN

(Sakernas), Proyeksi Penduduk Indonesia, hasil Sensus Penduduk (SP), Pendataan Potensi Desa/Kelurahan, Survei Industri Mikro dan Kecil serta sumber


Katalog BPS:


KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

Profile Perempuan Indonesia

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT PANDEGLANG

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

4 GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR

PENYUSUNAN DATA SOSIAL EKONOMI DAERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2008

RANCANGAN RENCANA PELAKSANAAN RPJMD TAHUN KE-4


PENDAHULUAN Latar Belakang

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT K O T A K U P A N G /

DEMOGRAFI KOTA TASIKMALAYA

KERJASAMA BAPPEDA KABUPATEN SEMARANG BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN SEMARANG

madiunkota.bps.go.id

ANALISIS KESEJAHTERAAN RAKYAT KALIMANTAN TENGAH 2013


INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT PANDEGLANG

Data Sosial Ekonomi Kepulauan Riau 2012

Peraturan Daerah RPJMD Kabupaten Pulang Pisau Kata Pengantar Bupati Kabupaten Pulang Pisau

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT KABUPATEN GUNUNGKIDUL WELFARE INDICATORS OF GUNUNGKIDUL REGENCY 2015


KONDISI PEREMPUAN DAN ANAK DI INDONESIA, 2010

Kata pengantar. Tanjungpinang, Oktober 2013 Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau

STATISTIK GENDER 2011

KATA PENGANTAR. Surakarta, Desember KEPALA BAPPEDA KOTA SURAKARTA Selaku SEKRETARIS TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN KOTA SURAKARTA

KATA PENGANTAR. Salatiga, Oktober Tim Penyusun

Indikator Kesejahteraan Rakyat 2014

BERITA RESMI STATISTIK

terdapat di tingkat SD/Sederajat. lebih tinggi di luar Temanggung. 1) Angka Kematian Bayi waktu satu tahun per kelahiran hidup.

PERENCANAAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN BERBASIS-DATA MEMPERTAJAM INTERVENSI KEBIJAKAN

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT KALIMANTAN TENGAH 2011/2012


Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada tim penyusun, yang sudah bekerja. Jakarta, 2010 Kepala Pusat Data dan Informasi. dr.

BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT

Provinsi Papua Barat

Indikator Kesejahteraan Rakyat Kota Tual

BAB IV ANALISA DATA SEKUNDER DAN KARAKTERISTIK RUMAH TANGGA PROPINSI SUMATERA BARAT

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014

PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI DI INDONESIA 2013

RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 2012

KATA PENGANTAR. iii. Alfatah Sibua, S.Ag, M.Hum. Indikator Sosial Kabupaten Pulau Morotai 2015

terdapat di tingkat SD/Sederajat. lebih tinggi di luar Temanggung. waktu satu tahun per kelahiran hidup.

DAFTAR TABEL. Tabel 2.1 Luas Wilayah Menurut Kecamatan dan Desa/Kelurahan... 17


DAFTAR ISI. BAB II. GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH... II Aspek Geografi Dan Demografi... II-2

DAFTAR ISI. BAB IV Analisis isu-isu srategis Permasalahan Pembangunan Isu Strategis... 77

DAFTAR PARAMETER DASAR KEPENDUDUKAN TINGKAT NASIONAL, PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

Laporan Kinerja Pemerintah Kabupaten Bangka Barat Tahun 2014 DAFTAR ISI

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT KOTA PEKALONGAN TAHUN 2008

LAMPIRAN DATA INDONESIA

PROFIL PEMBANGUNAN PAPUA BARAT

INIJIKATDR RAKYAT. ~~QI!i. l~e~ejaht&raan. Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Pekalongan dengan Badan Pusat Statistik Kota Pekalongan

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Penajam Paser Utara merupakan. Kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Paser dan

Penilaian Pencapaian MDGs di Provinsi DIY Oleh Dyna Herlina Suwarto, SE, SIP

Ikhtisar Pencapaian MDGs Provinsi Kepulauan Riau Menurut Jumlah Indikator

Analisis Parameter Kependudukan menurut Kabupaten/Kota Oleh : Risma Mulia

Sekapur Sirih. Penutup


Publikasi Indikator Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Mamuju merupakan publikasi tahunan yang diterbitkan BPS Kabupaten Mamuju. Publikasi ini memuat

PROFIL KESEJAHTERAAN RAKYAT KOTA PALANGKA RAYA TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan pembangunan. Pembangunan pada dasarnya adalah suatu proses

Kalimantan Selatan. Pasar Terapung Muara Kuin

PENANGGULANGAN KEMISKINAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN


INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT KOTA KUPANG 2011

Lampiran Perjanjian Kinerja Tahun 2015 PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN GOWA

TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

STRUKTUR DATA BPS DAN PROSEDUR MENDAPATKAN DATA DI BPS Hady Suryono 8 Maret 2016

VISI PAPUA TAHUN

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN RAJA AMPAT

BAB II GAMBARAN UMUM KOTA BANDUNG

Mengurangi Kemiskinan Melalui Keterbukaan dan Kerjasama Penyediaan Data

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan Penulisan Sumber Data... 3

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN 2009

jayapurakota.bps.go.id

ii DATA DAN INDIKATOR GENDER di INDONESIA

KATA PENGANTAR. Profil Penduduk Lanjut Usia 2009

Kalimantan Tengah. Jembatan Kahayan

Transkripsi:

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT PROVINSI PAPUA BARAT 2010 WELFARE INDICATORS OF PAPUA BARAT PROVINCE 2010 ISSN : 2089-1652 No. Publikasi/Publication Number : 91522.1105 Katalog BPS/BPS Catalogue : 4102004.9100 Ukuran Buku/Book Size : 16,5 cm x 21 cm Jumlah Halaman/Total Pages : xx + 88 halaman /108 halaman Naskah/Manuscript : Bidang Statistik Sosial BPS Provinsi Papua Barat Gambar Kulit/Cover Design : Bidang Integrasi Pengolahan dan Diseminasi Statistik BPS Provinsi Papua Barat

Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, kami menyambut gembira penerbitan publikasi Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat 2010. Publikasi ini dapat diterbitkan atas kerja sama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Papua Barat dan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Papua Barat. K A TA S A M B U TA N K E P A L A B A P P E D A P R O V I N S I P A P U A B A R A T Data dan informasi yang disajikan dalam publikasi ini dapat dijadikan sebagai input bagi perencanaan pembangunan sekaligus mengukur dampak dari implementasi pembangunan sosial dan ekonomi yang telah dilaksanakan di Provinsi Papua Barat. Dengan demikian, publikasi ini dapat dimanfaatkan oleh stake holder untuk merancang program pembangunan dengan sasaran yang lebih terukur. Kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penerbitan publikasi ini saya ucapkan terima kasih. Manokwari, Juli 2011 BAPPEDA PROVINSI PAPUA BARAT Kepala, Drs. Ishak L. Hallatu i

ii

K A TA P E N G A N TA R K E P A L A B P S P R O V I N S I P A P U A B A R A T Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat 2010 merupakan publikasi tahunan yang diterbitkan BPS Provinsi Papua Barat. Publikasi ini merupakan terbitan ketiga yang menyajikan tingkat perkembangan kesejahteraan rakyat Provinsi Papua Barat. Perubahan taraf kesejahteraan dikaji menurut berbagai bidang yaitu kependudukan, kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, pola dan taraf konsumsi, perumahan, serta indikator sosial lainnya. Data yang digunakan bersumber dari BPS. Kecuali indikator ketenagakerjaan yang bersumber dari data hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), semua indikator bersumber dari hasil pengolahan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang telah dilaksanakan di Provinsi Papua Barat sejak tahun 2006. Kepada semua pihak yang secara aktif memberikan sumbangsih hingga terbitnya publikasi ini, kami sampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya. Akhirnya, kami mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan publikasi serupa di masa mendatang. Manokwari, Juli 2010 Kepala BPS Provinsi Papua Barat Ir. Tanda Sirait,MM iii

DA F TA R I S I KATA SAMBUTAN i KATA PENGANTAR iii DAFTAR ISI v DAFTAR TABEL vii DAFTAR GAMBAR ix DAFTAR TABEL LAMPIRAN xi TINJAUAN UMUM xiii I. KEPENDUDUKAN 1 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk 1 Persebaran dan Kepadatan Penduduk 4 Struktur Umur Penduduk 7 Fertilitas 9 II. KESEHATAN 11 Angka Harapan Hidup 11 Imunisasi dan ASI 15 Morbiditas 18 III. PENDIDIKAN 21 Penduduk Usia Sekolah 22 Jumlah Sarana dan Prasarana Pendidikan 23 Angka Partisipasi Sekolah (APS) 24 Angka Partisipasi Murni (APM) 27 v

Angka Putus Sekolah 30 Angka Melek Huruf Dan Rata Rata Lama Sekolah 31 Tingkat Pendidikan Yang Ditamatkan 33 IV. KETENAGAKERJAAN 35 Struktur Penduduk Usia Kerja 35 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja dan Pengangguran Terbuka 37 TPT Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan 40 Penduduk Bekerja Menurut Lapangan Usaha 41 Penduduk Bekerja Menurut Status Pekerjaan 43 Penduduk Bekerja Menurut Jam Kerja 44 V. TARAF DAN POLA KONSUMSI 45 Perembangan Kemiskinan di Papua Barat, 2009-2010 45 Garis Kemiskinan Maret 2009 - Maret 2010 48 Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan, 2009-2010 49 Perkembangan Tingkat Kesejahteraan 50 Perkembangan Distribusi Pendapatan 51 Konsumsi Rumah Tangga 53 VI. PERUMAHAN DAN LINGKUNGAN 55 Kualitas Perumahan 56 Air Bersih dan Sanitasi 57 Penerangan 59 vi

DA F TA R TA B E L Tabel 1.1 Struktur Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Rasio Ketergantungan di Provinsi Papua Barat Tahun 2005 2010 8 Tabel 2.1 Cakupan Layanan Imunisasi Pada Bayi Berumur 12 23 Bulan di Provinsi Papua Barat Tahun 2010 _ 16 Tabel 4.1 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Pengangguran Terbuka (TPT) di Provinsi Papua Barat, Tahun 2007-2010 37 Tabel 4.2 Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Tingkat Pendidikan Yang Ditamatkan di Provinsi Papua Barat, Tahun 2008-2010 39 Tabel 4.3 Persentase Penduduk 15 Tahun atau Lebih Yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Papua Barat, Tahun 2007-2010 41 Tabel 4.4 Persentase Penduduk 15 Tahun atau Lebih Yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan di Provinsi Papua Barat, Tahun 2008-2010 43 Tabel 4.5 Persentase Penduduk 15 Tahun atau Lebih Yang Bekerja Menurut Jam Kerja di Provinsi Papua Barat, Tahun 2008-2010 44 Tabel 5.1 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Papua Barat Menurut Daerah, 2006 2010 46 vii

Tabel 5.2 Pengeluaran Per Kapita Per Bulan di Provinsi Papua Barat, 2006 2010 50 Tabel 5.3 Ukuran Tingkat Pemerataan Pendapatan di Provinsi Papua Barat Menurut Bank Dunia dan Koefisien Gini, 2007 2010 53 Tabel 5.4 Pola Konsumsi Makanan dan Non Makanan Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat, 2008 2010 54 viii

DA F TA R G A M B A R Gambar 1.1 Perbandingan Penduduk Laki-laki dan Perempuan di Provinsi Papua Barat Hasil Sensus Penduduk Tahun 2010 2 Gambar 1.2 Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk Tahun 2010 3 Gambar 1.3 Persebaran Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2010 5 Gambar 1.4 Kepadatan Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2010 6 Gambar 1.5 Persentase Perempuan Menurut Umur Perkawinan Pertama Kurang dari 16 Tahun di Provinsi Papua Barat Tahun 2007 2010 9 Gambar 2.1 Angka Harapan Hidup Indonesia, Maluku dan Papua Tahun 2010 12 Gambar 2.2 Angka Harapan Hidup Indonesia, Papua Barat dan Kabupaten/Kota di Papua Barat Tahun 2009 13 Gambar 2.3 Penolong Kelahiran Balita di Papua Barat Tahun 2009 dan 2010 14 Gambar 2.4 Persentase Balita yang Mendapat ASI Ekslusif di Papua Barat Tahun 2010 18 Gambar 2.5 Angka Keskitan Penduduk Papua Barat Tahun 2008 2010 19 ix

Gambar 3.1 Jumlah Penduduk Usia Sekolah 0 24 Tahun Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2010 22 Gambar 3.2 Gambar 3.3 Gambar 3.4 Gambar 3.5 Gambar 3.6 Gambar 3.7 Gambar 3.8 Gambar 3.9 Angka Partisipasi Sekolah Penduduk 7 24 Tahun di Provinsi Papua Barat, Tahun 2008-2010 25 Angka Partisipasi Sekolah Penduduk 7 18 Tahun Menurut Jenis Kelamin di Provinsi Papua Barat, Tahun 2008 2010 26 Angka Partisipasi Murni Menurut Jenjang Pendidikan di Provinsi Papua Barat, Tahun 2008 2010 27 Angka Partisipasi Murni SMP/Sederajat di Provinsi Papua Barat Tahun 2010 29 Angka Partisipasi Murni di Provinsi Papua Barat Menurut Jenis Kelamin Tahun 2010 29 Angka Putus Sekolah Menurut Umur Sekolah di Provinsi Papua Barat, Tahun 2008-2010 30 Angka Melek Huruf Penduduk 15 Tahun atau Lebih di Provinsi Papua Barat Menurut Jenis Kelamin, Tahun 2008-2010 32 Rata-rata Lama Sekolah Penduduk 15 Tahun atau Lebih di Provinsi Papua Barat Menurut Jenis Kelamin, Tahun 2008-2010 33 Gambar 3.10 Tingkat Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan Penduduk 10 Tahun atau Lebih di Provinsi Papua Barat, Tahun 2010 34 Gambar 4.1 Gambar 5.1 Struktur Penduduk Usia Kerja di Provinsi Papua Barat Tahun 2010 36 Sebaran Penduduk Miskin di Papua Barat Tahun 2010 47 x

Gambar 6.1 Kondisi Perumahan Di Provinsi Papua Barat, Tahun 2008 2010 56 Gambar 6.2 Gambar 6.3 Gambar 6.4 Gambar 6.5 Gambar 7.1 Gambar 7.2 Persentase Rumah Tangga yang Mengakses Air Bersih di Provinsi Papua Barat Tahun 2008 2010 57 Persentase Rumah Tangga yang Mengakses Air Bersih Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2010 58 Persentase Rumah Tangga Menurut Kepemilikan Fasilitas BAB di Provinsi Papua Barat Tahun 2009 2010 59 Persentase Rumah Tangga Yang Menggunakan Penerangan Listrik PLN Di Provinsi Papua Barat, Tahun 2010 60 Persentase Rumah Tangga Yang Mengakses Pelayanan Kesehatan Gratis Di Provinsi Papua Barat, Tahun 2010 64 Persentase Penduduk Yang Mengakses Internet Di Provinsi Papua Barat, Tahun 2010 67 xi

xii

I (1) I (2) I (3) D A F TA R TA B E L L A M P I R A N Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Menurut Kabupaten/ Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2000 2010 70 Kepadatan Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2005 2010 71 Umur Perkawinaan Pertama Perempuan 10 Tahun Atau Lebih Menurut Kabupaten /Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2009 2010 72 II (1) Angka Harapan Hidup di Provinsi Papua Barat Tahun 2008 2010 73 II (2) Persentase Balita Menurut Penolong Kelahiran Terakhir dan Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2010 74 II (3) Angka Kesakitan Penduduk di Provinsi Papua Barat, 2008 2010 75 III (1) Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah Penduduk Berumur 15 Tahun atau Lebih di Provinsi Papua Barat, 2008 2010 76 III (2) Angka Partisipasi Sekolah di Provinsi Papua Barat, 2009 2010 77 III (3) Angka Partisipasi Murni di Provinsi Papua Barat, 2009 2010 78 V (1) Perkembangan Kemiskinan Menurut Kabupaten/Kota di Papua Barat Tahun 2009 dan 2010 79 xiii

V (2) Garis Kemiskinan di Papua Barat Tahun 2007 2010 80 V (3) Indeks Kedalaman (P1) dan Indeks Keparahan (P2) Kemiskinan di Papua Barat Tahun 2007 2010 81 V (4) Kemampuan Daya Beli Masyarakat di Papua Barat, 2008 2010 82 VI (1) Persentase Rumah Tangga Menurut Kondisi Perumahan di Papua Barat, 2008 2010 83 VI (2) Persentase Rumah Tangga yang Meangakses Air Minum Bersih dan Memiliki Jamban Sendiri di Papua Barat, 2009 2010 84 VI (3) Persentase Rumah Tangga Menurut Sumber Penerangan di Papua Barat, 2009 2010 85 VII (1) Akses Penduduk/Rumah Tangga Terhadap Program Penanggulangan Kemiskinan di Papua Barat Tahun 2010 86 VII (2) Persentase Rumah Tangga yang Mempunyai Alat Komunikasi Informasi dan Teknologi di Provinsi Papua Barat Tahun 2009 dan 2010 87 VII (3) Persentase Penduduk yang Mengakses Intenet di Provinsi Papua Barat Tahun 2010 88 xiv

Ruang Lingkup Tinjauan Umum Publikasi Indikator Kesejahteraan Rakyat (Inkesra) Provinsi Papua Barat 2010 menyajikan gambaran mengenai perkembangan kesejahteraan rakyat di Provinsi Papua Barat. Analisis yang disajikan menurut perbandingan kesejahteraan rakyat selama periode 2008 2010 dan juga antar wilayah. Publikasi ini menyajikan indikator-indikator input, proses, output dan dampak untuk memberikan gambaran tentang investasi dari berbagai program peningkatan kesejahteraan rakyat, proses dan manfaatnya pada tingkat penduduk dan rumah tangga serta dampaknya pada capaian taraf kesejahteraan masyarakat. Dimensi kesejahteraan rakyat sangat luas dan kompleks. Karena itu, taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat diukur melalui aspek tertentu. Dalam publikasi ini, kesejahteraan rakyat diamati melalui berbagai aspek spesifik yaitu kependudukan, kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, pengeluaran konsumsi rumah tangga, perumahan dan aspek spesifik lainnya. Permasalahan kesejahteraan rakyat diukur baik dengan menggunakan indikator tunggal maupun indikator komposit xv

Perkembangan Tingkat Kesejahteraan Rakyat Perkembangan tingkat kesejahteraan rakyat di Provinsi Papua Barat selama periode 2006 hingga 2010 secara ringkas sebagai berikut: Di bidang kependudukan (demografis): Jumlah penduduk di Provinsi Papua Barat berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010 sebesar 760.422 jiwa terdiri dari 402.398 penduduk laki-laki dan 358.024 penduduk perempuan. Laju pertumbuhan penduduk selama tahun 2000 sampai dengan 2010 sebesar 3,71 persen per tahun. Sebaran penduduk Papua Barat tidak merata. Separuh penduduk Papua Barat terpusat di Kota Sorong dan Kabupaten Manokwari. Kepadatan penduduk tertinggi di Papua Barat di Kota Sorong dan terendah di Kabupaten Tambrauw. Dependency ratio, yaitu perbandingan penduduk usia produktif (15 64 tahun) dan penduduk usia tidak produktif (kurang dari 15 tahun dan lebih dari 64 tahun), masih cukup besar yaitu 55,77 (SP2010). Di bidang kesehatan: Angka Harapan Hidup (AHH) Provinsi Papua Barat tahun 2010 sebesar 69,80 tahun lebih rendah daripada AHH Indonesia yaitu 70,9 tahun. xvi

Angka harapan hidup tertinggi di Papua Barat pada tahun 2010 adalah di Kota Sorong yaitu 71,95 tahun. Tiga Kabupaten dengan AHH terendah adalah Kabupaten Maybrat (66,33 tahun), Kabupaten Raja Ampat (66,17 tahun) dan Kabupaten Tambrauw (66,15 tahun). Persentase penolong kelahiran oleh tenaga kesehatan mengalami peningkatan dari 54,78 persen pada tahun 2009 menjadi 71,50 persen pada tahun 2010. Cakupan imunisasi BCG, DPT, POLIO, CAMPAK, dan HEPATITIS B pada bayi 12 23 bulan di Provinsi Papua Barat tahun 2010 masing-masing sebesar 86,85 persen, 79,86 persen, 79,97 persen, 56,10 persen, dan 78,45 persen. Angka kesakitan penduduk Papua Barat menurun dari 19,62 persen pada tahun 2009 menjadi 19,50 persen pada tahun 2010. Di bidang pendidikan: Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, penduduk usia sekolah 7 12 tahun sebanyak 100.249 orang; 13 15 tahun sebanyak 42.886 orang; 16 18 tahun sebanyak 41.753 orang dan 19 24 tahun sebanyak 90.185 orang. Angka partisipasi sekolah (APS) tahun 2010 untuk APS 7 12 tahun sebesar 94,04 persen; APS 13 15 tahun sebesar 89,95 persen; APS 16 18 tahun sebesar 58,98 persen dan APS 19 24 tahun sebeesar 14,45 persen. xvii

Angka partisipasi murni tahun 2010 untuk APM SD sebesar 91,91 persen; APM SMP sebesar 49,65 persen; APM SMA sebesar 43,93 persen dan APM PT sebesar 10,77 persen. Tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan penduduk Papua Barat tahun 2010 sebagian besar masih rendah. Penduduk 12 tahun atau lebih yang tamat SD sebesar 26,74 persen sementara mereka yang menamatkan perguruan tinggi hanya 11,81 persen. Di bidang ketenagakerjaan: Jumlah penduduk usia kerja (15 tahun atau lebih) berdasarkan hasil Sakernas 2010 diestimasi mencapai 498.862. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) tahun 2010 sebesar 69,29 persen, lebih tinggi daripada TPAK tahun 2009 yaitu sebesar 68,52 persen. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) tahun 2010 sebesar 7,68 persen lebih tinggi dari TPT tahun 2009 yaitu sebesar 7,56 persen. Lebih dari separuh penduduk yang bekerja pada tahun 2010 terserap di sektor pertanian. Penduduk Papua Barat yang bekerja di sektor pertanian sebesar 54,04 persen, di sektor industri 11,27 persen dan di sektor jasa sebesar 34,69 persen. Dibanding tahun 2009, persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian berkurang sebaliknya di sektor jasa bertambah. xviii

Taraf dan Pola Konsumsi Jumlah dan persentase penduduk miskin di Papua Barat tahun 2010 sebesar 256.250 jiwa atau 34,88 persen. Persentase penduduk miskin tertinggi di Papua Barat pada tahun 2010 di Kabupaten Tambrauw (44,88 persen) dan terendah di Kota Sorong (14,03 persen). Rata-rata pengeluaran penduduk Papua Barat tahun 2010 sebesar 601.279 rupiah per kapita per bulan lebih besar daripada tahun 2009 yaitu sebesar 552.162 rupiah per kapita per bulan. Tingkat pemerataan pendapatan yang diukur dengan proxy pengeluaran pada tahun 2010 dengan menggunakan indeks gini ratio sebesar 0,37 yang bermakna ada ketimpangan pendapatan tetapi masih dalam status ketimpangan rendah. Di bidang perumahan Kondisi umum perumahan di Provinsi Papua Barat tahun 2010 sebagai berikut: 93,02 persen berlantai bukan tanah; 94,85 persen beratap layak (bukan berasal dari dedaunan); 56,68 persen berdinding permanen; dan 39,86 persen berlantai dengan luas kurang dari 10 meter per segi per kapita. Sebesar 53,11 persen rumah tangga di Papua Barat pada tahun 2010 telah mengakses air bersih untuk minum. Dibanding tahun 2009, persentase rumah tangga yang mengakses air bersih untuk minum meningkat. xix

Pada tahun 2010, persentase rumah tangga di Papua Barat yang menggunakan jamban sendiri untuk buang air besar (BAB) sebesar 61,07 persen, sedikit meningkat dari tahun 2009 (59,49 persen). Persentase rumah tangga yang menggunakan sumber penerangan listrik meningkat dari 68,98 persen pada tahun 2009 menjadi 82,17 persen pada tahun 2010. Sosial Lainnya Akses penduduk terhadap program penanggulangan kemiskinan di Papua Barat tahun 2010 sebagai berikut: 33,63 persen mendapatkan layanan kesehatan gratis; 45,37 persen membeli beras miskin (raskin) dan 8,38 persen mengakses kredit untuk usaha. Penduduk Papua Barat yang menggunakan telepon selular (handphone) meningkat dari 54,09 persen pada tahun 2009 menjadi 67,76 persen pada tahun 2010. Seiring dengan pesatnya pengguna telepon selular, penduduk Papua Barat yang mengakses internet pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 6,28 persen dan 74,68 persen di antaranya mengakses internet melalui telepon selular. xx

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT PROVINSI PAPUA BARAT 2010 K e p e n d u d u k a n K e s e h a t a n P e n d i d i k a n K e t e n a g a k e r j a a n T a r a f d a n P o l a K o n s u m s i R u m a h T a n g g a P e r u m a h a n d a n L i n g k u n g a n S o s i a l L a i n n y a

Tahun 2010 adalah momentum yang tepat untuk menata data kependudukan di Provinsi Papua Barat. Provinsi Papua Barat untuk pertama kalinya menyelenggarakan Sensus Penduduk (SP2010) sejak provinsi ini terbentuk secara definitif tahun 2006. Dengan tersedianya data SP2010 maka perencanaan pembangunan di Papua Barat akan lebih tepat sasaran. Apapun bentuk pembangunan pada akhirnya akan bermuara pada penduduk sebagai objek dan subjek pembangunan itu sendiri. Pembahasan kependudukan pada bab ini mencakup beberapa indikator penting kependudukan. Indikator penting kependudukan dimaksud antara lain jumlah dan laju pertumbuhan penduduk, struktur penduduk, persebaran dan kepadatan penduduk. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Bab 1 Kependudukan Berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010, penduduk Provinsi Papua Barat tercatat sebanyak 760.422 jiwa. Jumlah penduduk tersebut terdiri dari 402.398 laki-laki dan 358,024 perempuan. Rasio jenis kelamin 112,4 laki-laki per 100 perempuan. Dengan kata lain, di Provinsi Papua Barat lebih 1

Gambar 1.1: Perbandingan Penduduk Laki-laki dan Perempuan di Provinsi Papua Barat Hasil Sensus Penduduk Tahun 2010 banyak penduduk laki-laki daripada penduduk perempuan. Ilustrasi perbandingan penduduk laki-laki dan perempuan di Provinsi Papua Barat dapat dilihat pada Gambar 1.1. Di sisi lain, jumlah penduduk Indonesia hasil SP2010 telah mencapai 237,641,326 jiwa. Proporsi penduduk Provinsi Papua Barat hanya 0,32 persen dari total penduduk nasional. Provinsi Papua Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk paling sedikit di Indonesia (Gambar 1.2). Meskipun arus migrasi cukup deras dalam lima tahun terakhir namun, penduduk Provinsi Papua Barat pada awal pembentukannya memang sangat kecil yang berasal dari tiga kabupaten induk yaitu Kabupaten Manokwari, Kabupaten Fakfak dan Kabupaten Sorong dengan total penduduk pada tahun 2000 hanya 529.689 jiwa. Dalam kurun waktu 10 tahun, penduduk Provinsi Papua Barat tumbuh cukup pesat. Rata-rata pertumbuhan penduduk selama tahun 2000 2010 mencapai 3,71 persen per tahun. 2

Gambar 1.2: Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk Tahun 2010 Penduduk Indonesia 500000-1214061 1214062-2226730 2226731-3300966 3300967-4438166 4438167-6084660 6084661-10967886 10967887-44000000 P A P U A B A R A T 3

Pertumbuhan penduduk dipengaruhi oleh lima proses: fertilitas, mortalitas, perkawinan, migrasi, dan mobilitas sosial (Bogue 1969: 1-2). Dari kelima proses tersebut, migrasi dan mobilitas sosial merupakan dua faktor dominan yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk di Provinsi Papua Barat. Pemekaran kabupaten induk yaitu Kabupaten Manokwari menjadi Kabupaten Manokwari, Kabupaten Teluk Wondama, dan Kabupaten Teluk Bintuni; Kabupaten Sorong menjadi Kabupaten Sorong, Kota Sorong (Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2000), Kabupaten Sorong Selatan dan Kabupaten Raja Ampat; dan Kabupaten Fakfak menjadi Kabupaten Fakfak dan Kabupaten Kaimana (Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2006) menjadi faktor penarik yang sangat kuat bagi kaum migran. Pada tahun 2010, terdapat 10 kabupaten dan satu kota di Provinsi Papua Barat dengan tambahan dua kabupaten baru yaitu Kabupaten Tambrauw dan Kabupaten Maybrat. Persebaran dan Kepadatan Penduduk Penduduk Provinsi Papua Barat tersebar tidak merata. Berdasarkan SP2010, separuh penduduk Provinsi Papua Barat berdomisili di Kota Sorong dan Kabupaten Manokwari. Kota Sorong merupakan pintu masuk ke Tanah Papua sekaligus menjadi pusat perekonomian di Provinsi Papua Barat dan Kabupaten Manokwari merupakan pusat pemerintahan sebagai ibu kota Provinsi Papua Barat. Separuh penduduk yang lain tersebar tidak merata di sembilan kabupaten lainnya dengan persentase kurang dari 10 persen. Sebaran penduduk yang tidak merata tersebut berdampak pada kepadatan penduduk yang juga tidak merata. Kota 4

Gambar 1.3 Persebaran Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2010 Kab. Kaimana Kab. 6% Fakfak 9% Kota Sorong 25% Kab. Maybrat 4% Kab. Tambrauw 1% Kab. Raja Ampat 6% Kab. Teluk Wondama 3% Kab. Teluk Bintuni 7% Kab. Manokwari 25% Kab. Sorong 9% Kab. Sorong Selatan 5% Sorong dengan luas wilayah sebesar 297.58 Km 2 atau 0,30 persen dari luas Papua Barat dihuni oleh 190.625 jiwa. Sebaliknya, Kabupaten Teluk Bintuni dengan luas 20857.25 Km2 atau 21,00 persen dari luas Papua Barat dihuni oleh 52.422 jiwa. Kepadatan penduduk di Provinsi Papua Barat tujuh hingga delapan jiwa per Km 2 dan Kota Sorong adalah wilayah paling padat penduduk di mana setiap Km 2 dihuni oleh 640 jiwa. Sebaran dan kepadatan penduduk yang tidak merata merupakan problema kependudukan di Indonesia. Sebagai pembanding, kepulauan Maluku dan Papua yang luasnya hampir empat kali luas pulau Jawa hanya dihuni oleh 2,60 persen dari total penduduk Indonesia. Sebaliknya, pulau Jawa dihuni oleh lebih dari separuh penduduk Indonesia (57,48 persen). 5

RAJA AMPAT 5.45 KOTA SORONG 640.59 Kepadatan Penduduk 0.95-2.84 2.84-6.69 6.69-9.99 9.99-14.49 14.49-640.59 9.06 SORONG 14.49 MANOKWARI TELUK BINTUNI 2.51 FAKFAK 6.06 Gambar 1.4 Kepadatan Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2010 0.95 MAYBRAT 9.99 6.69 SORONG SELATAN TAMBRAUW Selama masa pemerintahan orde baru, berkembang dua sifat pemerintahan yaitu sentralistik dan otokratik. Kedua sifat pemerintahan orde baru ini berdampak pada pembangunan yang cenderung terpusat di Pulau Jawa dan Bali. Christaller (1933) mengemukakan bahwa secara geografis, pertumbuhan ekonomi yang terpusat menyebabkan berbagai macam usaha tertarik untuk melakukan kegiatan ekonomi di tempat tersebut dan masyarakat senang datang untuk memanfaatkan fasilitas yang ada. Hal inilah yang menjelaskan mengapa penduduk di Indonesia umumnya dan di Papua Barat khususnya memusat di wilayah tertentu. 2.84 3.83 TELUK WONDAMA KAIMANA 6

Struktur Umur Penduduk Struktur penduduk memberikan gambaran bagaimana komposisi penduduk yang ada di Papua Barat menurut kelompok umur, jenis kelamin dan kombinasi antara kelompok umur dan jenis kelamin. Struktur penduduk menurut kelompok umur menginformasikan berapa sumberdaya manusia produktif dan yang tidak produktif yang ada di Provinsi Papua Barat. Selain itu, informasi ini juga sangat penting bagi pemerintah sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan publik karena pelayanan kebutuhan penduduk sangat bervariasi menurut umur. Bagi pelaku usaha, informasi struktur umur penduduk sangat bermanfaat untuk segmentasi pasar. Dampak keberhasilan pengendalian penduduk tercermin dari perubahan struktur umur penduduk yang terlihat dari berkurangnya proporsi penduduk usia tidak produktif khususnya 0 14 tahun. Di sisi lain, proporsi penduduk usia produktif bertambah. Akibatnya, angka beban ketergantungan penduduk usia tidak produktif terhadap penduduk usia produktif berkurang. Data proyeksi penduduk 2005 2015 memperkirakan terjadi penurunan komposisi penduduk 0 14 tahun. Hal ini tampak dari Tabel 1.1 yang menunjukkan bahwa proporsi penduduk 0 14 tahun berkurang dari 33,33 persen pada tahun 2005 menjadi 31,08 persen pada tahun 2009. Tetapi, data SP2010 mematahkan temuan sebelumnya. Disinyalir, selama periode 2000 sampai dengan 2010 terjadi perubahan pola fertilitas di mana Angka Fertilitas Total (TFR) hasil SP2010 untuk Provinsi Papua Barat masih cukup tinggi yaitu 2,65 per 1.000 perempuan usia reproduktif. Di sisi lain, angka kematian turun 7

akibat dari membaiknya derajat kesehatan masyarakat. Akibatnya, proporsi penduduk 0 14 tahun masih cukup besar. Tingginya proporsi penduduk 0 14 tahun mengakibatkan tingginya angka beban ketergantungan (dependency ratio). Tabel 1.1 memperlihatkan angka beban ketergantungan di Provinsi Papua Barat pada tahun 2010 masih cukup tinggi yaitu 55,77 persen. Artinya, di antara 100 penduduk usia produktif berumur 15 64 tahun, menanggung 55 sampai dengan 56 penduduk yang tidak produktif. Hingga tahun 2010, penduduk usia tidak produktif masih didominasi oleh kelompok anak-anak (0 14 tahun). Konsekuensinya adalah pendapatan dari penduduk usia produktif terserap pada pemenuhan kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan anak-anak. Tabel 1.1 Struktur Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Rasio Ketergantungan di Provinsi Papua Barat Tahun 2005 2010 Tahun 0-14 15-64 65 + Rasio Ketergantungan (1) (2) (3) (4) (5) 2005 33,33 65,31 1,35 53,11 2006 32,73 65,76 1,51 52,07 2007 32,00 66,49 1,51 50,39 2008 31,53 67,03 1,44 49,19 2009 31,08 67,39 1,53 48,40 2010* 34.16 64.20 1.65 55,77 Sumber: BPS (2007), Proyeksi Penduduk Indonesia Per Provinsi Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin * SP2010 8

Fertilitas Salah satu sosialisasi Keluarga Berencana (KB) yang saat ini gencar dilakukan adalah menyadarkan kaum perempuan agar menunda usia nikah. Perkawinan yang terlalu dini berdampak buruk bagi kesehatan reproduksi perempuan, menghilangkan kesempatan memperoleh pendidikan tinggi, dan berpotensi meningkatkan angka fertilitas. Perempuan yang menikah di usia remaja misalnya akan berada pada fase reproduksi aktif yang lebih lama di bandingkan perempuan yang menikah di usia dewasa. Kampanye penundaan usia nikah sangat tepat dilakukan karena tren perkawinan dini meningkat selama tahun 2007 2010. Persentase perempuan yang menikah sebelum berusia 16 tahun pada tahun 2007 sebanyak 6,09 persen meningkat menjadi 6,73 persen pada tahun 2008 dan meningkat lagi menjadi 7,85 persen pada tahun 2010. 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 6.09 6.73 8.02 7.85 2007 2008 2009 2010 Gambar 1.5 Persentase Perempuan Menurut Umur Perkawinan Pertama Kurang dari 16 Tahun di Provinsi Papua Barat Tahun 2007 2010 9

10

Kesehatan merupakan satu dari sebelas prioritas pembangunan nasional 2010 2014. Penitikberatan pembangunan bidang kesehatan melalui pendekatan preventif, tidak hanya kuratif, melalui peningkatan kesehatan masyarakat dan lingkungan. Pada tahun 2014, angka harapan hidup di tingkat nasional ditargetkan meningkat menjadi 72,0 tahun; pemberian imunisasi dasar kepada 90 persen balita; penyediaan akses sumber air bersih menjangkau 67 persen penduduk dan akses terhadap saitasi dasar berkualitas menjangkau 75 persen penduduk; penurunan tingkat kematian ibu saat melahirkan menjadi 118 per 100.000 kelahiran serta kematian bayi menjadi 24 per 1.000 kelahiran (Peraturan Presiden RI No. 5 Tahun 2010 Tentang RPJMN Tahun 2010 2014). Angka Harapan Hidup Bab 2 Kesehatan Secara umum, angka harapan hidup dari penduduk di Indonesia bagian timur lebih rendah daripada angka harapan hidup nasional. Angka harapan hidup Indonesia pada tahun 2010 mencapai 70,9 tahun sementara di Indonesia wilayah timur kurang dari itu (Gambar 2.1). Di Papua Barat sendiri, 11

70.9 69.2 Maluku Utara 69.6 69.8 70.0 Maluku Papua Barat Papua Indonesia Gambar 2.1 Angka Harapan Hidup Indonesia, Maluku dan Papua Tahun 2010 angka harapan hidup pada tahun 2010 mencapai 69,8 tahun. Singkat kata, derajat kesehatan masyarakat di Indonesia bagian timur, termasuk Papua Barat, lebih rendah dari derajat kesehatan masyarakat di tingkat nasional. Meskipun angka harapan hidup pada tingkat provinsi lebih rendah dari nasional bukan berarti berlaku juga di tingkat kabupaten/kota. Kota Sorong adalah satu-satunya wilayah di Tanah Papua dengan angka harapan hidup melebihi angka harapan hidup nasional. Pada tahun 2009, angka harapan hidup Kota Sorong mencapai 71,53 tahun sementara angka harapan hidup Papua Barat dan Indonesia masing-masing 69,50 tahun dan 70,70 tahun. Gambar 2.2 menunjukkan ada disparitas capaian angka harapan hidup di Papua Barat. Angka harapan hidup tertinggi di Kota sorong (71,53 tahun) dan terendah di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Maybrat dan 12

Kabupaten Tambrauw. Perbedaan angka harapan hidup di tingkat kabupaten/kota di Papua Barat mengindikasikan perbedaan yang sangat nyata pada ketersediaan fasilitas kesehatan, akses pelayanan dasar di bidang kesehatan serta sarana dan prasarana kesehatan. Sebagai contoh, di Kota Sorong terdapat tujuh rumah sakit sementara di Kabupaten Raja Ampat hanya ada satu rumah sakit. Tidak ada rumah sakit di Kabupaten Maybrat dan Kabupaten Tambrauw (Kabupaten Dalam Angka 2010). Kota Sorong INDONESIA* Fak-Fak Kaimana PAPUA BARAT Teluk Bintuni Manokwari Sorong Teluk Wondama Sorong Selatan Maybrat Raja Ampat Tambrauw 66,66 66,33 66,17 66,15 68,21 68,00 67,85 67,51 68,51 69,65 70,70 70,52 71,95 62,00 64,00 66,00 68,00 70,00 72,00 74,00 Gambar 2.2 Angka Harapan Hidup Indonesa, Papua Barat dan Kabupaten/Kota di Papua Barat Tahun 2010 13

Di sisi lain, angka kematian bayi di Provinsi Papua Barat turun dari 32,7 kematian bayi per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007 menjadi 31,6 kematian per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2008 dan pada tahun 2009, angka kematian bayi di Papua Barat sebesar 30,5 kematian bayi per 100.000 kelahiran hidup. Meningkatnya angka harapan hidup dan menurunnya angka kematian bayi di Provinsi Papua Barat menunjukkan adanya perbaikan derajat kesehatan masyarakat. Meskipun demikian, angka kematian bayi di Provinsi Papua Barat masih tergolong tinggi. Karena angka kematian bayi berbanding terbalik dengan angka harapan hidup, maka setiap upaya penurunan angka kematian bayi akan berdampak nyata pada peningkatan angka harapan hidup. Upaya pencegahan kematian bayi dimulai sejak bayi berada dalam kandungan. Program antinatal care antara lain pemeriksaan minimal 4 kali selama 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 54.78 71.50 5.65 2.56 39.57 25.94 Tenaga Kesehatan Tenaga paramedis lain 2009 2010 Non Tenaga Kesehatan Gambar 2.3 Penolong Kelahiran Balita di Papua Barat Tahun 2009 dan 2010 14

masa kehamilan, peningkatan akses masyarakat terhadap pertolongan persalinan oleh tenaga medis, layanan imunisasi lengkap kepada bayi berumur 12 23 bulan. Informasi antinatal care yang dapat digali dari Susenas Kor adalah persentase pertolongan kelahiran oleh tenaga kesehatan (dokter dan bidan) dan imunisasi bayi berumur 12 23 bulan. Gambar 2.3 memperlihatkan persentase balita (0 59 bulan) menurut penolong kelahiran pada tahun 2009 dan 2010. Dibandingkan tahun 2009, persentase kelahiran yang ditolong tenaga kesehatan (dokter dan bidan) pada tahun 2010 mengalami peningkatan. Sebaliknya, persentase penolong kelahiran oleh tenaga paramedis lain (suster) dan non tenaga kesehatan seperti dukun, keluarga dan lainnya berkurang. Hal ini memberikan gambaran bahwa peran dokter dan bidan sebagai penolong kelahiran semakin meningkat. Meskipun persentase penolong kelahiran oleh tenaga kesehatan meningkat tetapi persentase pertolongan kelahiran oleh tenaga non kesehatan juga masih cukup besar. Satu dari empat peristiwa kelahiran di Papua Barat ditolong oleh non tenaga kesehatan. Di Kabupaten Raja Ampat sendiri, peristiwa kelahiran ditolong oleh dukun pada tahun 2009 mencapai 78,49 persen dan pada tahun 2010 berkurang separuhnya menjadi 39,29 persen. Tampak bahwa perbedaan ketersediaan fasilitas kesehatan juga berdampak pada perbedaan akses penolong kelahiran oleh tenaga kesehatan. Imunisasi dan ASI Imunisasi adalah pemberian vaksin untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu. Vaksin membantu tubuh untuk menghasilkan antibodi yang berfungsi melindungi dan 15

Tabel 2.1 Cakupan Layanan Imunisasi Pada Bayi Berumur 12 23 Bulan di Provinsi Papua Barat Tahun 2010 Kabupaten/Kota BCG DPT Polio Campak Hepatitis B (1) (2) (3) (4) (5) (6) Kab. Fakfak 95.41 90.54 93.12 55.01 97.71 Kab. Kaimana 97.91 96.13 95.81 75.32 97.91 Kab. Teluk Wondama 68.75 61.25 68.75 33.75 53.75 Kab. Teluk Bintuni 97.90 91.60 91.60 64.34 91.60 Kab. Manokwari 92.90 82.24 79.56 49.33 74.26 Kab. Sorong Selatan 72.19 71.59 79.01 60.49 74.06 Kab. Sorong 91.67 79.17 75.00 50.00 87.50 Kab. Raja Ampat 95.56 88.89 91.11 73.33 86.67 Kab. Tambrauw 78.95 71.05 76.32 44.74 71.05 Kab. Maybrat 95.65 95.65 95.65 78.26 69.57 Kota Sorong 77.78 70.83 69.44 54.17 72.22 Provinsi Papua Barat 86.85 79.86 79.97 56.10 78.45 Sumber: BPS, Susenas 2010 mencegah dari penyakit agar anak tetap sehat. Kementerian Kesehatan menetapkan bahwa imunisasi yang wajib diberikan kepada bayi berumur satu tahun adalah BCG, DPT, Polio, Campak, dan Hepatitis B. Waktu pemberiannya sudah ditetapkan secara bertahap. Imunisasi BCG diberikan satu kali pada anak usia 0-2 bulan. Demikian juga untuk imunisasi Polio dan Hepatitis B untuk pertama kali. Imunisasi DPT dan Polio diberikan secara bersamaan dan berulang pada usia 2, 3, atau 4 bulan dan pengulangannya 4 bulan 16

kemudian sebanyak 3 kali. Imunisasi campak diberikan sebanyak 2 kali. Pertama, pada saat anak berumur 9 bulan atau lebih, dan kedua diberikan pada usia 5-7 tahun. Pada kejadian luar biasa dapat diberikan pada usia 6 bulan dan diulangi 6 bulan kemudian. Tabel 2.1 menunjukkan cakupan layanan imunisasi pada anak berumur 12 23 bulan. Susenas 2010 mencatat persentase bayi 0 23 bulan yang telah mendapat imunisasi BCG mencapai 86,85 persen. Di sisi lain TBC masih menjadi penyakit yang banyak diderita penduduk Papua Barat. Ditemukan 114 suspek TBC di Papua Barat pada tahun 2009 (Kemenkes RI, Laporan Subdit TB Kemenkes 2000 2010). Berbeda dengan imunisasi BCG, capaian imunisasi campak masih sangat rendah. Hingga tahun 2010, capaian imunisasi campak baru 56.10 persen. Karena itu, wajar apabila pemerintah Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua masih menggalakkan pekan imunisasi Campak. Selain imunisasi, upaya meningkatkan ketahanan tubuh bayi adalah dengan pemberian Air Susu Ibu (ASI). Pemberian ASI pada anak balita merupakan pola asuh yang sangat dianjurkan. Bila kondisi kesehatan ibu setelah melahirkan baik, menyusui merupakan cara memberi makan yang paling ideal untuk 4-6 bulan pertama sejak dilahirkan tanpa memberikan makanan tambahan, karena ASI dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi. Bayi memperoleh ASI ekslusif apabila dalam enam bulan hanya diberikan ASI tanpa makanan tambahan. ASI ekslusif diyakini merupakan asupan terbaik bagi bayi yang tidak dapat digantikan oleh susu formula manapun. Keunggulan dan manfaat menyusui dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu: 17

aspek gizi, aspek imunologik, aspek psikologi, aspek kecerdasan, neurologis, ekonomis dan aspek penundaan kehamilan (http://www.f-buzz.com/2008/05/21/kelebihanair-susu-ibu-asi-dan-manfaat-menyusui/). Kab. Sorong Selatan Kab. Tambrauw Kab. Teluk Bintuni Kab. Kaimana Kab. Raja Ampat Kab. Teluk Wondama Kab. Maybrat Prov. Papua Barat Kota Sorong Kab. Sorong Kab. Manokwari Kab. Fakfa k 6,86 8,68 8,35 9,31 9,11 10,83 10,57 10,53 10,20 11,29 12,43 12,30 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00 Gambar 2.4 Persentase Balita yang Mendapat ASI Ekslusif di Papua Barat Tahun 2010 Gambar 2.4 menunjukkan pemberian ASI eksklusif kepada bayi di seluruh kabupaten/kota di Papua Barat. Tampak pemberian ASI eksklusif di Papua Barat terbilang rendah (kurang dari 10 persen). Kampanye ASI eksklusif masih harus terus digalakkan agar bayi mendapatkan asupan terbaik di masa awal pertumbuhannya. 18

21.96 19.62 19.5 2008 2009 2010 Angka Kesakitan Gambar 2.5 Angka Keskitan Penduduk Papua Barat Tahun 2008 2010 Morbiditas Daya tahan tubuh yang lemah mengakibatkan manusia mudah terserang penyakit. Salah satu i n d i k a t o r n y a a d a lah morbiditas atau angka kesakitan. Angka kesakitan menunjukkan persentase penduduk yang mengalami keluhan kesehatan dan mengakibatkan gangguan terhadap aktivitas seharihari seperti bekerja, sekolah atau mengerjakan pekerjaan rumah. Secara umum, angka kesakitan penduduk Papua Barat menurun dari 21,96 persen pada tahun 2008 menjadi 19,62 persen pada tahun 2009 dan 19,50 persen pada tahun 2010. Angka kesakitan terendah pada tahun 2010 di Kabupaten Fakfak sebesar 7,96 persen dan tertinggi di Kabupaten Tambrauw sebesar 47,38 persen (Lampiran II(3)). 19

Bab 3 Pendidikan Dalam RPJMN 2010 2014 disebutkan bahwa peningkatan akses, kualitas dan relevansi pendidikan menjadi salah satu prioritas pembangunan bidang sosial budaya dan kehidupan beragama. Sampai dengan akhir 2014, ada sembilan fokus pembangunan pendidikan yaitu: 1) peningkatan kualitas wajib belajar 9 tahun, 2) Peningkatan akses, kualitas, dan relevansi pendidikan menengah, 3) Peningkatan kualitas, relevansi, dan daya saing pendidikan tinggi, 4) Peningkatan profesionalisme dan pemerataan distribusi guru dan tenaga kependidikan, 5) Peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan non-formal, 6) Peningkatan minat dan budaya gemar membaca aksara, 7) Peningkatan akses dan kualitas pendidikan anak usia dini, 8) Peningkatan kualitas pendidikan agama dan keagamaan, dan 9) Pemantapan pelaksanaan sistem pendidikan nasional. Sasaran yang hendak diwujudkan adalah peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang ditandai dengan peningkatan ratarata lama sekolah dan penurunan angka buta huruf serta indikator lainnya di mana masing-masing target nasional pada tahun 2014 dapat dilihat pada Buku II Bab II RPJMN 2010-2014. 21

Tambrauw Teluk Wondama Maybrat Sorong Selatan Raja Ampat Kaimana Teluk Bintuni Fakfak Sorong Kota Sorong Manokwari 3.545 15.152 16.969 21.757 23.618 24.911 27.991 35.642 36.688 99.664 99.980 Penduduk Usia Sekolah Sistem pendidikan di Indonesia terdiri dari beberapa tingkatan. Mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD) bagi penduduk berusia 0 6 tahun, pendidikan dasar bagi penduduk usia 7 15 tahun, pendidikan menengah (16 18 tahun) dan pendidikan tinggi (19 24 tahun). Berdasarkan hasil SP2010, penduduk usia sekolah 0 24 tahun sebanyak 405.917 orang atau 53,38 persen dari jumlah penduduk Provinsi Papua Barat. Jumlah penduduk usia sekolah tersebut terdiri dari 210.908 laki-laki dan 195,009 perempuan. Jumlah penduduk 0 6 tahun sebanyak 130.844 orang, ini menjadi target Pendidikan Anak Usia Dini di Papua Barat. Sebanyak 275.073 sisanya merupakan target pendidikan formal yang terdiri dari 100.249 penduduk usia 7 12 tahun; 42.886 penduduk usia 13 15 tahun; 41.753 penduduk usia 16 18 tahun dan 90.185 penduduk usia 19 24 tahun. Hampir separuh penduduk usia sekolah tinggal di Kota Sorong dan Manokwari. Separuhnya lagi tersebar di 9 kabupaten lain dengan persentase kurang dari 10 persen. Penduduk usia sekolah terkecil di Kabupaten Tambrauw (3.545 orang). 140.000 120.000 100.000 80.000 60.000 40.000 20.000 0 Gambar 3.1 Jumlah Penduduk Usia Sekolah Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2010 22

Meskipun sedikit, tidak menjamin semua penduduk usia sekolah di Kabupaten Tambrauw dapat mengakses pendidikan karena keterbatasan fasilitas pendidikan akibat sebagian besar wilayahnya masih terisolir. Jumlah Sarana dan Prasarana Pendidikan Selain penduduk usia sekolah, input bagi penyelenggaraan pendidikan adalah sarana dan prasarana sekolah. Dibutuhkan gedung sekolah dan guru agar proses belajar mengajar berjalan. Permasalahan pendidikan di Tanah Papua kadangkala terkendala sarana dan prasarana pendidikan khususnya di daerah pedalaman. Terkadang ada gedung sekolahnya tetapi tidak ada gurunya. Akibatnya, aktivitas Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Usia Sekolah 5 24 Tahun, Jumlah Fasilitas Pendidikan dan Rasio Fasilitas Pendidikan Per 1.000 Penduduk di Provinsi Papua Barat Tahun 2010 Penduduk Fasilitas Pendidikan Rasio Fasdik per No Jumlah Jumlah 1000 penduduk Umur Tingkatan (orang) (unit) (1) (2) (3) (4) (5) (6) 1. 5-6 37.147 TK 377 10,15 2. 7-12 100.249 SD 1.140 11,37 3. 13-15 42.886 SMP 270 6,30 4. 16-18 41.753 SMA 172 4,12 5. 19-24 90.185 PT 40 0,44 Sumber: BPS, SP2010 dan Provinsi Papua Barat dalam Angka Tahun 2010. 23

belajar mengajar terhenti untuk sementara waktu. Hingga 2010, Provinsi Papua Barat memiliki 377 TK, 1.140 SD, 270 SMP, 120 SMA, 52 SMK dan 40 akademi/perguruan tinggi. Rasio jumlah sarana pendidikan per 1.000 penduduk usia sekolah yang bersesuaian menunjukkan bahwa semakin tinggi usia sekolah semakin kecil rasionya. Tabel 3.1 memperlihatkan bahwa peluang penduduk usia 13 24 tahun yang lulus SD untuk bersekolah pada jenjang yang lebih tinggi dibatasi oleh keterbatasan jumlah sarana pendidikan yang ada. Sebagai contoh, hanya ada dua atau tiga SMA/SMK per 1.000 penduduk usia 16 18 tahun. Untuk akademi/ perguruan tinggi, rasio jumlah akademi/perguruan tinggi per 1.000 penduduk usia 19 24 tahun kurang dari satu. Di sisi lain, sebaran jumlah sarana pendidikan di kabupaten/ kota di Provinsi Papua Barat tidak merata. Di ibu kota provinsi, Manokwari, telah ada 97 TK, 242 SD, 53 SMP, 25 SMA, 14 SMK, dan 15 Akademi/Perguruan Tinggi. Bandingkan dengan Kabupaten Tambrau, hanya ada satu TK, 25 SD, 6 SMP, satu SMA. Belum ada akademi/perguruan tinggi di Kabupaten Tambrauw. Lima dari 11 kabupaten/kota belum dilengkapi dengan keberasaan akademi/perguruan tinggi. Keterbatasan sarana pendidikan di Papua Barat akan berdampak pada rendahnya angka partisipasi sekolah khususnya pada usia kurang dari 7 tahun atau lebih dari 12 tahun. Angka Partisipasi Sekolah (APS) Indikator pendidikan untuk mengukur persentase penduduk usia sekolah yang masih bersekolah disebut angka partisipasi sekolah (APS). Indikator ini mencerminkan pemerataan akses 24

Gambar 3.2 Angka Partisipasi Sekolah Penduduk 7 24 Tahun di Provinsi Papua Barat, Tahun 2008-2010 120.00 100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00 93.18 93.35 94.04 88.75 88.59 89.95 57.53 57.95 58.98 12.25 12.72 14.45 2008 2009 2010 7-12 13-15 16-18 19-24 pendidikan dasar dan dipengaruhi oleh ketersediaan sarana sekolah. Berdasarkan Gambar 3.2, diperoleh bahwa pada tahun 2010 sebanyak 94,04 persen penduduk usia 7 12 tahun berstatus masih sekolah. Jumlah ini mengalami kenaikan sebesar 0,29 persen jika dibandingkan dengan tahun 2009. APS untuk penduduk usia 13 15 tahun, 16 18 tahun dan 19 24 tahun juga menunjukkan sedikit peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Meskipun demikian, APS penduduk usia 16 18 tahun kurang dari 60 persen dan APS penduduk usia 19 24 tahun tidak melebihi 15 persen. Rendahnya APS penduduk usia 16 24 tahun terkait ketersediaan sarana sekolah SMA, SMK atau sederajat dan akademi/perguruan tinggi masih sangat terbatas. Rasio penduduk usia 16 18 tahun dengan jumlah sekolah SMA/ 25

Gambar 3.3 Angka Partisipasi Sekolah Penduduk 7 18 Tahun Menurut Jenis Kelamin di Provinsi Papua Barat, Tahun 2008-2010 SMK di Papua Barat hanya 2,87 yang berarti per 1.000 penduduk usia 16 18 tahun dapat ditampung oleh dua atau tiga sekolah SMA/SMK. Di sisi lain, sekolah SMA/SMK yang ada masih terpusat di Kabupaten Manokwari, Kabupaten Sorong dan Kota Sorong. Jumlah sarana akademi/perguruan tinggi lebih sedikit lagi. Lima kabupaten di Papua Barat yaitu Kabupaten Kaimana, Kabupaten Teluk Wondama, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Tambrauw dan Kabupaten Maybrat bahkan belum memiliki perguruan tinggi. Itu sebabnya, sebagian orang tua lebih memilih untuk menyekolahkan/ menguliahkan anak-anaknya ke luar provinsi. Disparitas APS penduduk usia 7 15 tahun antar kabupaten/ kota di Provinsi Papua Barat pada tahun 2010 tidak berbeda 26

nyata. Perbedaan APS tampak nyata untuk penduduk usia 16 24 tahun. APS penduduk usia 7 12 tahun terendah di Kabupaten Teluk Wondama yaitu 84,31 persen sementara di kabupaten/kota lainnya rata-rata lebih dari 90 persen. APS penduduk usia 13 15, 16 18 dan 19 24 tahun selengkapnya dapat diamati pada Lampiran III (2). Perbedaan APS antar kabupaten/kota disebabkan oleh perbedaan ketersediaan sarana sekolah. Selain terdapat perbedaan antar wilayah, APS juga berbeda menurut jenis kelamin. Gambar 3.3 memperlihatkan bahwa pada kelompok umur 7 12 tahun, hampir tidak ada perbedaan partisipasi sekolah. Tetapi, pada kelompok umur 16 18 tahun, perbedaan partisipasi sekolah antara anak lakilaki dan perempuan tampak nyata. APS laki-laki pada Gambar 3.4 Angka Partisipasi Murni Menurut Jenjang Pendidikan di Provinsi Papua Barat, Tahun 2008-2010 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 90,71 91,25 91,91 48,92 49,03 49,65 43,61 43,55 43,93 6,06 6,25 7,36 2008 2009 2010 SD SMP SMA PT 27

kelompok umur 16 18 tahun lebih tinggi 8,38 poin daripada APS Perempuan pada kelompok umur yang sama. Angka Partisipasi Murni (APM) Berbeda dengan APS, angka partisipasi murni (APM) mengukur partisipasi sekolah dari penduduk usia sekolah sesuai dengan jenjang pendidikannya. Sebagai contoh, APM SD mengukur partisipasi sekolah penduduk usia 7 12 tahun yang masih bersekolah SD/sederajat, APM SMP mengukur partisipasi sekolah penduduk usia 13 15 tahun yang masih bersekolah SMP/sederajat, dan seterusnya. APM menurut jenjang pendidikan di Provinsi Papua Barat pada tahun 2008 hingga 2010 dapat diamati pada Gambar 3.4. Sekilas tampak bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan semakin rendah APM. Jika kita membandingkan APS sebagaimana tergambar pada Gambar 3.2 dan APM pada Gambar 3.4 maka selisih APS dan APM terbesar pada APS 13 15 tahun dan APM SMP/sederajat yaitu 40,30 persen. Hal ini menandakan bahwa partisipasi sekolah penduduk 13 15 tahun cukup tinggi tetapi tidak pada jenjang yang seharusnya. Fenomena ini disebabkan oleh keterlambatan anak bersekolah. Dikaitkan dengan target Pendidikan Untuk Semua-PUS (Education for All-EFA) di mana pada tahun 2015, semua anak mempunyai akses dan menyelesaikan pendidikan yang bermutu. Target nasional PUS adalah 100 persen APM pada pendidikan dasar dan menengah. Untuk capaian APM SD, Provinsi Papua Barat optimis dapat mencapai target nasional PUS tersebut hingga tahun 2015 tetapi tidak untuk APM SMP dan SMA. Target nasional PUS untuk APM SMP dan SMA akan tercapai jika dalam empat tahun dari sekarang terjadi 28

RAJA AMPAT ø 42. 0 0 APM SMP 30.61 30.61-42 42-47.62 47.62-48.98 48.98-57.97 KOTA SORONG ø 5 7. 9 7 SORONG ø 4 7. 6 2 ø 48. 9 8 ø 3 8. 7 8 ø 3 0. 6 1 SORONG SELATAN TAMBRAUW MAYBRAT ø 4 1. 5 1 ø 4 8. 7 4 FAKFAK ø 5 5. 3 4 TELUK BINTUNI MANOKWARI ø 3 9. 89 TELUK WONDAMA ø 5 6. 14 KAIMANA Gambar 3.5 Angka Partisipasi Murni SMP/Sederajat di Provinsi Papua Barat Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2010 100,00 80,00 60,00 40,00 20,00 0,00 93,37 90,15 50,06 49,10 51,59 35,81 7,24 7,48 L P L P L P L P SD SMP SMA PT Gambar 3.6 Angka Partisipasi Murni di Provinsi Papua Barat Menurut Jenis Kelamin Tahun 2010 29

perubahan radikal dalam hal penambahan gedung sekolah SMP dan SMA dan fasilitasnya serta penambahan guru yang tersebar hingga ke daerah terisolir sekalipun. Dengan demikian, peningkatan capaian APM SMP/sederajat dan SMA/sederajat menjadi isu strategis pembangunan pendidikan di Papua Barat. Gambar 3.5 memperlihatkan peta capaian APM SMP di tingkat kabupaten/kota. Selain capaian APM SMP/sederajat masih rendah, disparitas capaian antar wilayah juga cukup tinggi. Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Maybrat, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Teluk Bintuni, dan Kabupaten Raja Ampat adalah lima kabupaten dengan capaian APM SMP/sederajat kurang dari 45 persen. Sebaliknya, Kota Sorong, Kabupaten Manokwari, dan Kabupaten Teluk Wondama adalah tiga kabupaten dengan capaian IPM antara 48,98 persen hingga 57,97 persen. Gambar 3.6 selanjutnya menunjukkan perbedaan APM antara Gambar 3.7 Angka Putus Sekolah Menurut Umur Sekolah di Provinsi Papua Barat, Tahun 2008-2010 30 25 20 15 10 5 0 16.51 8.3 3.5 11.97 2.89 1.21 18.75 4.22 3.15 2008 2009 2010 7-12 13-15 16-18 30

anak laki-laki dan perempuan di jenjang pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi. Perbedaan APM di tingkat SD/sederajat dan SMP/sederajat tidak terlalu nyata tetapi perbedaan APM di tingkat SMA/sederajat tampak nyata. Rasio APM SMA laki-laki terhadap perempuan 1,44 poin. Singkat kata, APM SMA untuk laki-laki 1,44 kali lebih tinggi daripada perempuan. Angka Putus Sekolah Angka putus sekolah (APtS ) didefinisikan sebagai persentase siswa yang telah menamatkan jenjang pendidikan tertentu dan pernah melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi tetapi tidak berhasil menamatkannya. APtS ini merupakan indikator proses di samping APS dan APM. Berbeda dengan APS dan APM, semakin besar APtS semakin buruk kinerja pendidikan di suatu wilayah. Meski pencangan program wajib belajar 9 tahun sudah berjalan, namun angka putus sekolah di Papua Barat masih tergolong tinggi khususnya di rentan usia 16 18 tahun. Memang terjadi penurunan angka putus sekolah dari tahun 2008 ke tahun 2010 untuk anak pada usia 7 15 tahun (lihat Gambar 3.7) tetapi pada anak usia 16 18 tahun, tren angka putus sekolah menunjukkan kenaikan. Masih tingginya angka putus sekolah ini kemungkinan disebabkan oleh biaya pendidikan yang semakin mahal, ketiadaan guru di pedalaman ataupun karena jangkauan sekolah yang jauh sehingga membuat anak enggan pergi ke sekolah. Angka Melek Huruf Dan Rata Rata Lama Sekolah 31

Gambar 3.8 Angka Melek Huruf Penduduk 15 Tahun atau Lebih di Provinsi Papua Barat Menurut Jenis Kelamin, Tahun 2008-2010 Hingga tahun 2009, Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 68,58 dalam skala 0 100 dan menduduki peringkat ke-31 dari 33 provinsi yang dihitung IPM-nya. Sepertiga capaian IPM tersebut dibentuk oleh indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah dengan perbandingan 2:1. Gambar 3.8 menunjukkan bahwa, penduduk usia 15 tahun ke atas mengalami kenaikan angka melek huruf baik penduduk laki laki maupun perempuan. Meskipun demikian, persentase laki-laki yang melek huruf masih lebih tinggi daripada perempuan. Dengan kata lain, lebih banyak perempuan yang tidak dapat membaca dan menulis huruf latin daripada laki-laki. 32

Gambar 3.9 Rata-rata Lama Sekolah Penduduk 15 Tahun atau Lebih di Provinsi Papua Barat Menurut Jenis Kelamin, Tahun 2008-2010 Indikator keberhasilan di bidang pendidikan berikutnya adalah rata rata lama sekolah. Berdasarkan Gambar 3.9, rata rata lama sekolah penduduk Provinsi Papua Barat mengalami kenaikan (dari 7,67 tahun di tahun 2008 menjadi 8,01 tahun pada tahun 2009 dan 9,16 tahun pada tahun 2010 ). Rata rata lama sekolah penduduk laki laki meningkat dari 8,39 tahun pada tahun 2008 menjadi 9,63 tahun pada tahun di tahun 2010. Sebagaimana rata-rata lama sekolah penduduk laki-laki, rata-rata lama sekolah penduduk perempuan juga meningkat dari 6,92 tahun pada tahun 2008 menjadi 8,63 tahun pada tahun 2010. Ini menunjukkan bahwa penduduk laki-laki usia 15 tahun ke atas di Papua Barat rata rata telah melampaui 9 tahun wajib belajar tetapi tidak demikian untuk penduduk perempuan. Masih ada disparitas gender, dimana 33

Gambar 3.10 Tingkat Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan Penduduk 10 Tahun atau Lebih di Provinsi Papua Barat Tahun 2010 penduduk perempuan belum sepenuhnya memperoleh pendidikan yang setara dengan penduduk laki laki. Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Kualitas pendidikan masyarakat secara umum dapat dilihat dari tingkatan ijazah terakhir yang dicapai. Dalam kehidupan nyata, ukuran kualitas pendidikan seseorang paling mudah dilihat dari tingkat pendidikan yang ditamatkan. Gambar 3.10 memberikan gambaran tentang pencapaian pendidikan penduduk usia 10 tahun ke atas pada tahun 2010. Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang tidak 34

Pemerintah Indonesia menargetkan tingkat pengangguran terbuka pada akhir 2014 berkisar antara lima dan enam persen. Untuk Provinsi Papua Barat sendiri, tingkat pengangguran terbuka ditargetkan mencapai 5,1 5,6 persen pada tahun 2014. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah melakukan percepatan pertumbuhan ekonomi setidaknya tujuh persen pada 2010 2014 (Bappenas, 2010). Struktur Penduduk Usia Kerja 2010 Bab 4 Ketenagakerjaan Jumlah penduduk Provinsi Papua Barat berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010 tercatat 760.422 jiwa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 494.862 orang termasuk penduduk usia kerja yaitu penduduk berusia 15 tahun atau lebih. Jumlah penduduk usia kerja yang termasuk angkatan kerja sebesar 69,29 persen. Jumlah penduduk angkatan kerja yang bekerja sebesar 92,32 persen. Dengan kata lain, sekitar 7,68 persen penduduk angkatan kerja termasuk sebagai kelompok pengangguran terbuka. Struktur penduduk usia kerja selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 4.1. Uraian selanjutnya memaparkan beberapa indikator ketenagakerjaan mulai dari tingkat partisipasi angkatan kerja 35

Gambar 4.1 Struktur Penduduk Usia Kerja di Provinsi Papua Barat Tahun2010 Penduduk 2010 : 760.422 jiwa Penduduk Usia Kerja (15 +) 494.862 Angkatan Kerja: 342.888 Bekerja: 316.547 Pengangguran: 26.341 Penduduk Bukan Usia Kerja: 265.560 Bukan Angkatan Kerja: 151.974 Sekolah: 58.833 Mengurus Rumah Tangga: 76.603 Lainnya: 16.538

(TPAK), tingkat pengagguran terbuka (TPT) serta karakteristik penduduk yang bekerja. Karakteristik penduduk yang bekerja dibedakan menurut lapangan usaha, pendidikan dan waktu bekerja. Tabel 4.1 Daerah Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja dan Pengangguran Terbuka Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) adalah perbandingan jumlah penduduk usia kerja yang bekerja dan pengangguran dengan jumlah penduduk usia kerja (persen). Perkembangan TPAK selama tahun 2007 sampai dengan 2010 menunjukkan peningkatan. Selain itu, penduduk usia kerja yang masuk dalam pasar kerja sedikit berkurang. Hal ini ditunjukkan dengan sedikit tambahan penduduk angkatan kerja yang tidak terserap oleh dunia kerja. Jika ingin dibandingkan antara perkotaan dan perdesaan, TPAK perdesaan lebih besar dibandingkan TPAK perkotaan. Salah satu penyebabnya adalah akses pendidikan di pedesaan lebih sulit daripada di perkotaan. Akibatnya, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Provinsi Papua Barat, Tahun 2007-2010 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (Agustus) Tingkat Pengangguran Terbuka (Agustus) 2007 2008 2009 2010 2007 2008 2009 2010 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) Perkotaan 56,65 59,27 61,80 61,04 16,40 15,72 14,91 14,57 Perdesaan 71,36 72,06 71,49 73,49 6,76 4,72 4,75 4,77 Total 66,52 68,15 68,52 69,29 9,46 7,65 7.56 7,68 Sumber: BPS, Sakernas 2007 2010 37

penduduk usia sekolah di perkotaan lebih banyak tergolong sebagai penduduk bukan angkatan kerja. Selain itu, banyak perempuan di pedesaan tergolong sebagai pekerja meskipun dengan status pekerja keluarga atau pekerja tidak dibayar. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menggambarkan banyaknya angkatan kerja yang menganggur. Mereka yang tergolong pengangguran yaitu penduduk usia kerja yang tidak bekerja dan sedang mencari kerja atau mempersiapkan suatu usaha, dan mereka yang sementara belum mulai kerja walau sudah mendapat pekerjaan dan mereka yang tidak mencari kerja karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan. Semakin banyak angkatan kerja yang berstatus pengangguran, maka semakin tinggi TPT. Salama tahun 2007 hingga 2010 terlihat bahwa penurunan TPT tidak stabil. TPT tahun 2010 mencapai 7,68 persen, lebih tinggi dibandingkan TPT tahun 2009 yang mencapai 6,97 persen dan TPT pada tahun 2008 yang mencapai 7,65 persen tetapi lebih rendah dari tahun 2007 (9,46 persen). Jika dibandingkan antara perkotaan dan perdesaan terjadi perbedaan yang sangat signifikan di mana TPT perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan TPT Perdesaan. Wajar saja karena seperti dijelaskan di atas bahwa sektor pekerjaan di perdesaan sangat mudah dimasuki oleh karena di perdesaan angkatan kerja dapat dengan mudahnya bergabung dalam sektor-sektor subsisten seperti pertanian, kehutanan, perkebunan, perikanan dll yang tidak menuntut kualifikasi pendidikan tinggi. Tidak sama halnya dengan sektor sektor modern di perkotaan seperti industri, jasa-jasa dll yang menuntut kualifikasi pendidikan jauh lebih tinggi. TPT perdesaan pada tahun 2007 sebesar 6,76 persen menjadi 4,77 persen pada tahun 2010. Sedangkan TPT perkotaan 38

Tabel 4.2 Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Tingkat Pendidikan Yang Ditamatkan di Provinsi Papua Barat, Tahun 2008-2010 Pendidikan Tertinggi yang ditamatkan Perkotaan Perdesaan Kota + Desa 2008 2009 2010 2008 2009 2010 2008 2009 2010 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (8) (9) (10) TDK/BLM SEKOLAH 0,00 0,00 16,27 0,73 0,00 0,15 0,73 0,00 0,96 TDK/BLM TAMAT SD 9,45 10,55 4,28 1,40 2,38 3,20 2,59 3,08 3,44 SD 10,30 9,39 8,96 1,86 1,81 2,36 2,78 3,00 3,13 SLTP 11,60 13,09 5,76 4,29 4,87 4,47 6,16 7,02 4,86 SLTA UMUM/SMU 19,02 16,75 20,34 13,93 11,63 11,09 16,42 14,27 15,70 SLTA KEJURUAN/SMK 19,65 21,32 16,31 17,22 10,33 8,46 18,49 16,30 13,02 DIPLOMA I/II dan AKADEMI 16,27 10,15 20,33 10,35 4,76 13,59 13,63 7,21 17,27 UNIVERSITAS 16,44 13,03 18,17 8,00 7,25 16,14 12,90 10,90 17,31 Total 15,72 14,91 14,57 4,72 3,93 4,77 7,65 6,97 7,68 Sumber: BPS, Sakernas 2008 2010 39

turun dari 16,40 persen pada tahun 2007 menjadi 14,57 persen pada tahun 2010. TPT Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan Jika dilihat dari tingkat pendidikan angkatan kerja baik tingkat pendidikan rendah hingga yang paling tinggi tampak bahwa TPT pada tahun 2010 lebih tinggi daripada TPT pada tahun 2008. Apabila ingin membandingkan antar tingkat pendidikan per tahunnya, maka dapat dijelaskan semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin besar TPT. Pada tahun 2008, 2009 dan 2010 terbentuk pola yang serupa. Angkatan kerja dengan tingkat pendidikan rendah jauh lebih mudah terserap dalam lapangan pekerjaan daripada mereka yang berpendidikan tinggi. Bisa diamati pada tahun 2010, tercatat bahwa angkatan kerja yang berpendidikan SMP kebawah kurang dari lima persen yang tidak terserap dalam lapangan pekerjaan. Sebaliknya yang berpendidikan SMA ke atas yang tidak terserap dalam lapangan pekerjaan mencapai rata-rata lebih dari 10 persen. Contoh TPT SMA sebesar 15,70 persen, SMA kejuruan 13,02 persen, Diploma 17,27 persen, dan univeristas 17,31 persen. Lebih ekstrim lagi jika TPT pertingkat pendidikan dibandingkan antara wilayah perdesaan dan perkotaan. Semakin jelas bahwa daya serap lapangan pekerjaan terhadap angkatan kerja di perkotaan tidak sekuat di perdesaan. Angkatan kerja berpendidikan rendah (SD ke bawah) yang terserap di perdesaan nyaris tiga kali lebih banyak yang di perkotaan, sedangkan yang berpendidikan tinggi hanya berbanding sekitar 1 : 2. 40

Penduduk Bekerja Menurut Lapangan Usaha Gambaran ketenagakerjaan berdasarkan lapangan usaha/ sektor dari tahun 2007 2010 menjelaskan terjadinya pergeseran struktur pekerjaan di Papua Barat. Semakin lama sektor pertanian semakin menurun karena semakin Tabel 4.3 Persentase Penduduk 15 Tahun atau Lebih Yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Papua Barat, Tahun 2007-2010 Daerah Lapangan Usaha Pertanian Industri Jasa (1) (2) (3) (4) Perkotaan Perdesaan Kota + Desa 2007 15,63 15,84 68,52 2008 10,16 20,81 69,03 2009 11,95 17,95 70,10 2010 9,52 19,93 70,55 2007 79,85 6,11 14,04 2008 74,39 7,84 17,77 2009 70,43 9,64 19,94 2010 70,93 7,98 21,09 2007 63,14 8,62 28,24 2008 58,79 10,99 30,22 2009 55,68 11,73 32,59 2010 54,04 11,27 34,69 Sumber: BPS, Sakernas 2007 2010 41

ditinggalkan angkatan kerja yang lebih memilih sektor Industri (manufacture) dan Jasa-jasa (Services). Persentase angkatan kerja yang bekerja pada kedua sektor terakhir semakin meningkat dari tahun-ke tahun. Ciri-ciri terjadinya kotanisasi ketika sektor modern semakin diminati para pencari kerja. Selama pertanian terus menjadi sektor yang subsisten dengan tingkat pendapatan yang lebih rendah dibandingkan sektor lain maka pertanian akan semakin ditinggalkan. Mereka yang memasuki sektor ini adalah mereka yang tidak punya kesempatan masuk ke sektor industri dan jasa-jasa dan kalah bersaing dengan pencari kerja lain yang lebih berkualitas. Namun perlu diperhatikan juga bahwa separuh lebih penduduk yang bekerja berkecimpung di pertanian. Meskipun sumbangan pertanian terhadap perekonomian Papua Barat jauh lebih kecil dibandingkan Industri dan jasa-jasa, namun daya serapnya jauh lebih besar. Kecanggihan teknologi semakin lama semakin mengurangi porsi tenagakerja manusia sebagai faktor produksi dalam kegiatan industri dan akan semakin mengurangi kesempatan tenagakerja. Jasa-jasa menuntut keterampilan dan keahlian yang ditunjukkan oleh kualitas angkatan kerja yang akan menjegal kesempatan mereka yang mayoritas berpendidikan rendah. Sehingga lebih baik pemerintah memberi perhatian khusus kepada para pekerja sektor pertanian yang sangat melimpah dengan memberikan stimulus-stimulus penting yang mampu merangsang mereka dengan tujuan meningkatkan produktifitas. Tiap tahun, di perkotaan mayoritas sektor yang paling banyak menyerap angkatan kerja adalah sektor jasa-jasa (service) diikuti sektor industri dan terakhir pertanian dan sebaliknya di perdesaan pertanian merupakan yang paling banyak 42

menyerap angkatan diikuti jasa-jasa dan industri. Penduduk Bekerja Menurut Status Pekerjaan Yang lebih menarik lagi untuk dianalisa adalah status pekerjaan utama yang mengelompokkan pekerja ke dalam sektor informal atau fomal. Pekeja di sektor informal adalah penduduk yang bekerja dengan status pekerjaan sebagai berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar atau pekerja keluarga, pekerja bebas, atau pekerja keluarga. Pekerja di sektor formal adalah penduduk yang bekerja dengan status sebagai berusaha dibantu buruh tetap/buruh dibayar atau buruh/karyawan/pegawai. Secara umum telihat bahwa pekerja di Papua Barat lebih dominan bekerja di sektor informal. Persentase pekerja informal semakin menurun yaitu dari 71,62 persen pada tahun 2008 menjadi 67,39 persen pada tahun 2010. Sebaliknya pekerja formal meningkat dari 28,38 persen pada tahun 2008 menjadi 32,61 persen pada tahun 2010. Kecenderung yang menunjukkan bahwa para pencari kerja mencari pekerjaan formal seiiring dengan semakin terbukanya Tabel 4.4 Persentase Penduduk 15 Tahun atau Lebih Yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan di Provinsi Papua Barat, Tahun 2008-2010 Status Pekerjaan Perkotaan Perdesaan Kota + Desa 2008 2009 2010 2008 2009 2010 2008 2009 2010 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) Formal 57,59 68,97 64,69 19,01 21,96 20,44 28,38 33,82 32,61 Informal 42,41 31,03 35,31 80,99 78,04 79,56 71,62 66,18 67,39 Sumber: BPS, Sakernas 2008 2010 43

kesempatan memasuki sektor industri dan jasa. Apabila ingin melihat tipe daerahnya, ternyata di Papua Barat pekerjaan informal lebih banyak di perdesaan. Penyumbang besarnya sektor informal di perdesaan adalah banyak pekerja di sektor pertanian. Sebaliknya di daerah perkotaan, persentase pekerja sektor formal mendekati dua kali lebih besar daripada persentase pekerjaan informal. Pusat-pusat industri dan perusahaan yang bergerak di sektor terkonsentrasi di daerah perkotaan. Penduduk Bekerja Menurut Jam Kerja Informasi persentase pekerja berdasarkan jam kerja tersaji pada Tabel 4.5 di bawah. Persentase yag bekerja di bawah jam kerja normal terus meningkat dari 34,28 persen pada tahun 2008 menjadi 35,58 persen pada tahun 2010. Meskipun cukup banyak yang bekerja di bawah jam kerja normal, persentase pekerja yang bekerja dengan jam kerja normal masih lebih banyak dibandingkan yang bekerja di Tabel 4.5 Persentase Penduduk 15 Tahun atau Lebih Yang Bekerja Menurut Jam Kerja di Provinsi Papua Barat, Tahun 2008-2010 Jam Kerja Daerah Tempat < 15 jam < 35 jam Tinggal 2008 2009 2010 2008 2009 2010 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Perkotaan 3,44 3,97 6,03 18,23 19,91 20,51 Perdesaan 4,31 6,17 5,97 39,42 41,31 41,30 Perkotaan + Perdesaan Sumber: BPS, Sakernas 2008 2010 4,10 5,62 5,98 34,28 35,91 35,58 44

Bab 5 Taraf dan Pola Konsumsi Agenda pokok keempat pembangunan Papua Barat adalah penanggulangan kemiskinan. Penurunan persentase penduduk miskin dapat dimaknai adanya peningkatan tingkat pendapatan penduduk dan juga menunjukkan peningkatan tingkat kesejahteraannya. Yang menjadi permasalahan adalah apakah peningkatan tingkat pendapatan tersebut telah dinikmati oleh semua penduduk secara merata atau hanya dinikmati oleh segelintir penduduk dalam kategori beruntung. Pembahasan bab ini mengulas jawaban permasalahan tersebut dengan meneliti bagaimana taraf dan pola konsumsi sebagai proksi dari taraf dan pola pendapatan penduduk Papua Barat. Perkembangan Kemiskinan di Papua Barat, 2009-2010 Di tahun 2011, persentase penduduk miskin di Papua Barat ditargetkan turun menjadi 30 persen. Selama periode tahun 2006 2010, perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di Provinsi Papua Barat menunjukkan tren menurun. Jumlah penduduk miskin di Provinsi Papua Barat pada tahun 2009 sebanyak 256.840 jiwa (35,71 persen) turun menjadi 256.250 jiwa (34,88 persen) pada tahun 2010. 45

Selama periode 2009 2010, jumlah penduduk miskin turun 0,23 persen dan persentase penduduk miskin turun 0,83 poin. Tabel 5.1 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Papua Barat Menurut Daerah, 2006 2010 Tahun Jumlah Penduduk Miskin (000) Kota Desa Kota+ Desa Persentase Penduduk Miskin Kota Desa Kota+ Desa (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 2006 13,3 270,80 284,10 8,42 51,17 41,34 2007 11,0 255,80 266,80 7,14 48,82 39,31 2008 9,48 237,02 246,50 5,93 43,74 35,12 2009 8,55 248,29 256,84 5,22 44,71 35,71 2010 9,59 246,66 256,25 5,73 43,48 34,88 Penurunan angka kemiskinan Provinsi Papua Barat selama tahun 2009 2010 sejalan dengan penurunan angka kemiskinan di perdesaan. Jumlah penduduk miskin di perdesaan pada tahun 2009 tercatat 248.290 jiwa (44,71 persen) turun menjadi 246.660 jiwa (43,48 persen) pada tahun 2010. Penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin di perdesaan 0,66 persen dan 1,23 poin, lebih tinggi daripada penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin di Provinsi Papua Barat. Di sisi lain, jumlah dan persentase penduduk miskin di perkotaan selama tahun 2009 2010 naik. Jumlah penduduk miskin di perkotaan naik dari 8.550 jiwa (5,22 persen) pada tahun 2009 menjadi 9.590 jiwa pada tahun 2010 (5,73 persen). Kenaikan jumlah dan persentase penduduk miskin di perkotaan cukup besar yaitu 12,16 persen dan 0,51 poin. 46

# RAJA AMPAT Jika memperhatikan tren penurunan penduduk miskin di Papua Barat maka target 30 persen penduduk miskin pada tahun 2011 merupakan target yang optimistik. Dengan kerja keras yang nyata, pencapaian target tersebut adalah keraguan. Catatan: Persentase penduduk miskin Maret 2011 KOTA SORONG SORONG MAYBRAT P e r s e n t a s e P e n d u d u k M is k in 0-1 5 1 5.0 1-2 0 2 0.0 1-3 0 3 0.0 1-4 0 4 0.0 1-5 0 TAMBRAUW MANOKWARI TELUK BINTUNI SORONG SELATAN FAKFAK TELUK WONDAMA KAIMANA Gambar 5.1 Sebaran Penduduk Miskin di Papua Barat Tahun 2010. sebesar 31,92 persen. M a s a l a h l a i n d a r i penanggulangan kemiskinan di Papua Barat adalah perbedaan persentase penduduk miskin antar kabupaten kota yang terlalu besar. Gambar 5.1 di s a m p i n g m e m e t a k a n persentase penduduk miskin menurut kabupaten/kota di Papua Barat tahun 2010. Zona kuning menunjukkan persentase penduduk miskin kurang dari 15 persen. Zona merah menunjukkan keadaan sebaliknya. Tampak bahwa persentase penduduk miskin di Kabupaten Kaimana, Kabupaten Sorong Selatan, dan Kabupaten Raja Ampat kurang dari 20 persen meskipun dengan persentase lebih dari 20 persen. Persentase penduduk miskin di Kota Sorong kurang dari 15 persen. Memperhatikan Gambar 5.1, penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Teluk Wondama dan Kabupaten Teluk Bintuni serta dua kabupaten baru, Kabupaten Tambrau dan Maybrat, membutuhkan effort yang sangat besar. Keempat kabupaten ini terbilang cukup berat insiden kemiskinannya dengan 47

persentase penduduk miskin lebih dari 40 persen. Keempat wialyah ini terbilang cukup terisolir. Dampaknya pada tingginya biaya transportasi dalam pengadaan kebutuhan barang dan jasa yang berakibat pada tingkat kemahalan di keempat kabupaten tersebut tertinggi di Papua Barat. Garis Kemiskinan Maret 2009 - Maret 2010 Penduduk miskin didefinisikan sebagai penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Kenaikan garis kemiskinan yang tidak diikuti peningkatan kemampuan daya beli berpotensi meningkatkan angka kemiskinan. Garis kemiskinan Provinsi Papua Barat tahun 2010 sebesar 294.727 rupiah per kapita per bulan terdiri dari garis kemiskinan makanan sebesar 237.147 rupiah dan garis kemiskinan non makanan sebesar 57.580 rupiah. Kontribusi garis kemiskinan makanan terhadap garis kemiskinan 80,46 persen. Dibanding tahun 2009, garis kemiskinan Papua Barat tahun 2010 mengalami kenaikan sebesar 6,24 persen. Kenaikan garis kemiskinan pada tahun 2010 di perkotaan (4,74 persen) lebih rendah daripada kenaikan garis kemiskinan di perdesaan (6,74 persen). Sebagai pembanding, inflasi year on year pada Maret 2010 tercatat 3,31 persen sementara inflasi year on year (y-o-y) perdesaan tercatat sebesar 7,13 persen. Pada umumnya, inflasi kurang dari 5 persen tidak mengakibatkan pada kenaikan angka kemiskinan. Hal ini sejalan dengan penurunan angka kemiskinan Papua Barat dari tahun 2009 ke tahun 2010 sebesar 2,32 persen tetapi berlaku sebaliknya bagi kenaikan persentase penduduk miskin di perkotaan sebesar 9,77 persen dan penurunan 48

penduduk miskin di perdesaan sebesar 2,75 persen. Walaupun inflasi y-o-y Maret 2010 di Papua Barat hanya 3,31 persen tetapi pada Februari 2010 mengalami kenaikan angka pengangguran. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) Papua Barat pada Februari 2010 sebesar 7,77 persen lebih tinggi dari TPT Februari 2009 (7,73 persen). Kenaikan angka pengangguran Februari 2010 berdampak nyata pada penurunan daya beli masyarakat di perkotaan sehingga tidak mampu mengatasi kenaikan garis kemiskinan perkotaan 4,74 persen. Di sisi lain, meskipun garis kemiskinan perdesaan mengalami kenaikan sebesar 6,74 persen dan inflasi perdesaan mencapai 7,77 persen selama periode Maret 2009 Maret 2010 tetapi Nilai Tukar Petani (NTP) pada Maret 2010 tercatat 104,21. Artinya, indeks yang diterima lebih tinggi daripada indeks yang dibayarkan petani. NTP Subsektor Tanaman Hortikultura, Tanaman Perkebunan Rakyat, Peternakan, dan Perikanan masing-masing sebesar 110,21; 120,54; 112,76; dan 113,56. Hanya NTP Subsektor Tanaman Pangan yang nilai NTP-nya kurang dari 100 yaitu 89,19. Hal ini pertanda bahwa kenaikan pendapatan petani dinikmati oleh sebagian besar petani. Karena itu, kenaikan garis kemiskinan perdesaan masih dapat diimbangi oleh kenaikan pendapatan masyarakat perdesaan. Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan, 2009-2010 Meskipun angka kemiskinan di Papua Barat selama periode Maret 2009 Maret 2010 turun tetapi Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) naik. 49

Tahun Kenaikan nilai P1 dan P2 terjadi baik di perkotaan maupun di perdesaan (Lampiran V (3)). Kenaikan nilai P1 dan P2 dapat dimaknai kondisi kemiskinan di Papua Barat semakin dalam dan semakin parah. Untuk itu, pemerintah Provinsi Papua Barat sebaiknya memprioritaskan program-program pembangunan yang pro penduduk miskin (pro poor policy). Pengarusutamaan penanggulangan kemiskinan ditujukan untuk meningkatkan pendapatan penduduk miskin dan mengurangi pengeluaran penduduk miskin dalam hal kebutuhan dasar pendidikan dan kesehatan. Perkembangan Tingkat Kesejahteraan Selaras dengan penurunan penduduk miskin selama periode tahun 2006 2010, rata-rata pengeluaran perkapita penduduk dalam satu bulan meningkat. JIka pada tahun 2006, setiap penduduk mengeluarkan 322.396 rupiah untuk kebutuhan konsumsi makanan dan non makanan dalam satu bulan maka pada tahun 2009 meningkat menjadi 552.162 Tabel 5.2 Pengeluaran Per Kapita Per Bulan di Provinsi Papua Barat, 2006 2010 Pengeluaran Per Kapita Per Bulan Kenaikan Nominal Per Tahun (%) (1) (2) (3) 2006 322.396,90 2009 552.162,22 2010 601.279,39 Sumber: BPS, Susenas 2006 2010 23,76 8,90 rupiah dan pada tahun 2010 menjadi 601.279 rupiah atau mengalami peningkatan 8,90 persen dari tahun sebelumnya. P e n i n g k a t a n pengeluaran perkapita i n i d i p i c u o l e h p e n i n g k a t a n kemampuan daya beli masyarakat di samping kenaikan harga-harga. 50

RAJA AMPAT TAMBRAUW KOTA SORONG SORONG P e n g e l u a r a n P e r K a p i t a P e r B u l a n 3 0 0. 0 0 0-4 4 9. 9 9 9 4 5 0. 0 0 0-6 4 9. 9 9 9 6 5 0. 0 0 0-7 4 9. 9 9 9 7 5 0. 0 0 0-8 4 9. 9 9 9 8 5 0. 0 0 0-1. 0 0 0. 0 0 0 MAYBRAT TELUK BINTUNI SORONG SELATAN Gambar 5.2 Pengeluaran Per Kapita Per Bulan di Papua Barat Tahun 2010. Gambar 5.2 memperlihatkan pengeluaran per kapita per bulan di Kabupaten/Kota di Papua Barat Tahun 2010. Tampak bahwa rata-rata pengeluaran per kapita per bulan tertinggi di Kota Sorong. Rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di lima Kabupaten yaitu Kabupaten Teluk Wondama, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Sorong, Kabupaten Maybrat dan Kabupaten Tambrauw kurang dari 450.000 rupiah. Perkembangan Distribusi Pendapatan MANOKWARI FAKFAK TELUK WONDAMA KAIMANA Di samping meningkatkan tingkat pendapatan, penanggulangan kemiskinan juga perlu memperhatikan perkembangan distribusi pendapatan di antara strata ekonomi. Dua pendekatan yang dapat digunakan untuk 51

mengukur tingkat kemerataan pendapatan adalah Koefisien Gini dan Tingkat Kemerataan Menurut Bank Dunia. Koefisien Gini didasarkan pada kurva Lorenz, yaitu sebuah kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variabel tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform (seragam) yang mewakili persentase kumulatif penduduk. Nilai koefisien gini antara nol, untuk pemerataan sempurna dan satu, untuk ketimpangan parah. Bank Dunia mengelompokkan penduduk ke dalam tiga kelompok sesuai dengan besarnya pendapatan: 40% penduduk dengan pendapatan rendah, 40% penduduk dengan pendapatan menengah dan 20% penduduk dengan pendapatan tinggi. Ketimpangan pendapatan diukur dengan menghitung persentase jumlah pendapatan penduduk dari kelompok yang berpendapatan 40% terendah dibandingkan total pendapatan seluruh penduduk. Apabila persentasenya kurang dari 12 persen maka termasuk dalam kategori ketimpangan tinggi; antara 12 17 persen kategori ketimpangan sedang; dan lebih dari 17 persen kategori ketimpangan rendah. Tabel 5.3 menyajikan kedua ukuran ketimpangan pendapatan. Koefisien gini pada tahun 2007 sebesar 0,33 naik menjadi 0,35 pada tahun 2009 dan pada tahun 2010 menjadi 0,37. Meskipun terjadi kenaikan koefisien gini namun status ketimpangan pendapatan masih pada posisi di antara ketimpangan rendah. Dilihat dari tingkat kemerataan menurut Bank Dunia, Provinsi Papua Barat masih dalam kategori ketimpangan rendah. Proporsi pengeluaran dari kelompok penduduk 40 persen terbawah terhadap total pengeluaran seluruh penduduk masih di atas 17 persen baik selama periode 2007 2010. 52

Tabel 5.3 Ukuran Tingkat Pemerataan Pendapatan di Provinsi Papua Barat Menurut Bank Dunia dan Koefisien Gini, 2007 2010 Tahun Tingkat Kemerataan Menurut Bank Dunia 40 Persen Terbawah 40 Persen Menengah 20 Persen Teratas Gini Ratio (1) (2) (3) (4) (5) 2007 28.29 44.59 27.13 0.33 2008 29.61 43.09 27.30 0.36 2009 22.75 41.11 36.14 0.35 2010 19,14 37,70 43,15 0,37 Sumber: BPS, Susenas 2007 2010 Konsumsi Rumah Tangga Pola konsumsi rumah tangga memberikan gambaran dominasi pengeluaran rumah tangga. Apabila konsumsi rumah tangga didominasi untuk komoditi makanan maka rumah tangga tersebut memiliki sedikit bujet untuk pendidikan dan kesehatan. Besaran proporsi konsumsi makanan dapat digunakan untuk mengidentifikasi rumah tangga miskin (Koefisien Engel). Meskipun proporsi konsumsi rumah tangga terhadap komoditi makanan masih cukup dominan tetapi persentasenya menunjukkan penurunan selama tahun 2008 2009. Tabel 5.4 memperlihatkan pada tahun 2008 proporsi konsumsi makanan oleh penduduk Papua Barat mendekati 60 persen tetapi pada tahun 2009 persentasenya berkurang menjadi 55,84 persen. Di sisi lain, proporsi konsumsi non makanan 53

Tabel 5.4 Pola Konsumsi Makanan dan Non Makanan Menurut Kabupaten/ Kota di Provinsi Papua Barat, 2008 2010 Kabupaten/Kota Makanan Non Makanan 2008 2009 2010 2008 2009 2010 (1) (2) (3) (4) (5) Fakfak 65.34 65.70 55,81 34.66 34.30 44,19 Kaimana 61.11 63.96 59,80 38.89 36.04 40,20 Teluk Wondama 69.26 64.60 56,95 30.74 35.40 43,05 Teluk Bintuni 56.52 66.90 51,04 43.48 33.10 48,96 Manokwari 50.99 48.75 43,12 49.01 51.25 56,88 Sorong Selatan 66.94 67.26 42,41 33.06 32.74 57,59 Sorong 54.42 60.57 46,44 45.58 39.43 53,56 Raja Ampat 68.56 71.59 54,50 31.44 28.41 45,50 Tambrauw 64,23 35,77 Maybrat 52,71 47,29 Kota Sorong 53.49 51.09 46,10 46.51 48.91 53,90 Provinsi Papua Barat 58.79 55.84 47,67 41.21 44.07 52,33 Sumber: BPS, Susenas 2008 2010 meningkat dari 41,21 persen pada tahun 2008 menjadi 44,07 persen pada tahun 2009 dan pada tahun 2010 menjadi 52,33 persen. Peningkatan proporsi konsumsi non makanan ini berimbas pada peningkatan pengeluaran rumah tangga untuk biaya pendidikan dan kesehatan. Sebagian beban biaya pendidikan ini khususnya di tingkat SD dan SMP telah dibebaskan dengan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Demikian juga dengan biaya kesehatan, pengobatan di tingkat puskesmas telah digratiskan. 54

Bab 6 Perumahan dan Lingkungan Hak warga negara untuk bertempat tinggal telah diatur baik dalam UUD 1945 maupun undang undang. UUD 1945 Pasal 28H menyatakan, Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 Bab III Perumahan Pasal 5 selanjutnya menegaskan bahwa, Setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati, menikmati, atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat aman, serasi dan teratur. Dengan demikian, hak bertempat tinggal bagi warga negara sesungguhnya telah dinaungi payung hukum yang paling tinggi. Idealnya, negara wajib memenuhi hak warga negaranya untuk menempati, menikmati, atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat aman, serasi dan teratur. Namun, karena kecepatan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi belum dapat diimbangi oleh kemampuan penyediaan perumahan yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai maka belum semua penduduk memiliki rumah sendiri. Susenas 2010 menunjukkan hanya 63,67 persen rumah tangga yang menempati rumah sendiri. Sisanya yaitu 36,33 persen menempati rumah kontrak, sewa, rumah dinas 55

atau rumah bebas sewa. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Kualitas Perumahan Terjadi peningkatan persentase rumah tangga yang memiliki tempat tinggal yang layak huni di Provinsi Papua Barat. Berdasarkan empat indikator rumah layak huni pada tahun 2008 2010 menunjukkan adanya perbaikan kualitas perumahandi Provinsi Papua Barat. Persentase rumah tangga dengan lantai bukan tanah, atap layak, dan dinding permanen meningkat sebaliknya persentase rumah tangga dengan luas lantai per kapita kurang dari 10 m 2 menurun (Gambar 6.1). Gambar 6.1 Kondisi Perumahan Di Provinsi Papua Barat, Tahun 2008 20010 91.08 91.6 93.02 94.85 90.64 93.6 56.68 51.34 52.27 43.26 38.36 39.86 Lantai Bukan Tanah Atap Layak *) Dinding Permanen 2008 2009 '2010 Luas lantai per Kapita < 10 m2 Keterangan: * Tidak Beratap Dedaunan 56

Air Bersih dan Sanitasi Air bersih dan sanitasi yang sehat merupakan kebutuhan mendasar bagi semua makhluk. Dalam kehidupan sehari-hari kita membutuhkan air untuk minum, masak, cuci, atau mandi. Menurut Sunjaya (1999), manusia membutuhkan air bersih 5 liter per hari untuk minum; 25 30 liter per hari untuk mandi atau membersihkan diri; 25 30 liter per hari untuk mencuci pakaian dan peralatan; 4 6 liter per hari untuk menunjang pengoperasian dan pemeliharaan fasilitas sanitasi atau pembuangan kotoran. Total kebutuhan air bersih per orang per hari bisa mencapai 60 70 liter. Perkembangan akses penduduk di Provinsi Papua Barat terhadap air bersih selama tahun 2008 2010 menunjukkan peningkatan. Gambar 6.2 memperlihatkan adanya peningkatan konsumsi air bersih untuk minum dari 42,81 persen pada tahun 2008 menjadi 49,20 persen pada tahun Gambar 6.2 Persentase Rumah Tangga yang Mengakses Air Bersih Di Provinsi Papua Barat, Tahun 2008 2010 57

Gambar 6.3 Persentase Rumah Tangga yang Mengakses Air Bersih Menurut Kabupaten/Kota Di Provinsi Papua Barat, Tahun 2010 RAJA AMPAT KOTA SORONG SORONG Akses Air Bersih (%) 9.76-33.06 33.06-36.84 36.84-47.56 47.56-51.83 51.83-78.44 TAMBRAUW MAYBRAT SORONG SELATAN TELUK BINTUNI FAKFAK MANOKWARI KAIMANA TELUK WONDAMA 2009 dan 53,11 persen pada tahun 2010. Akses air bersih tertinggi pada tahun 2010 di Kota Sorong (78,44 persen) dan terendah di Kabupaten Maybrat (9,76 persen). Selain air bersih, kebutuhan mendasar lainnya adalah sanitasi yang sehat Sanitasi adalah perilaku disengaja dalam pembudayaan hidup bersih dengan maksud mencegah manusia bersentuhan langsung dengan kotoran dan bahan buangan berbahaya lainnya dengan harapan usaha ini akan menjaga dan meningkatkan kesehatan manusia. Gambar 6.4 menyajikan beberapa indikator yang berhubungan dengan masalah sanitasi. Tampak bahwa persentase rumah tangga yang memiliki jamban sendiri, 58

Gambar 6.4 Persentase Rumah Tangga Menurut Kepemilikan Fasilitas BAB Di Provinsi Papua Barat, Tahun 2009 2010 pembuangan akhir tinja, dan jenis kloset leher angsa selama tahun 2009 2010 meningkat. Sebaliknya, persentase rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas BAB pada periode yang sama mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan bahwa adanya peningkatan kualitas sanitasi lingkungan. Penerangan Kriteria selanjutnya yang digunakan dalam mengamati kondisi perumahan di Papua Barat adalah fasilitas penerangan. Penerangan menjadi sarana pendukung anggota rumah tangga dalam melakukan aktifitas sehari-hari di rumah. Pemakaian listrik sebagai sumber penerangan juga dapat menjadi indikasi besarnya akses rumah tangga terhadap informasi khususnya melalui media elektronik. Terjadi 59