BAB II LANDASAN TEORI. dari pembahasan komitmen organisasional dan work engagement terhadap job

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Organisasi yang efektif semakin menyadari bahwa faktor yang sangat

PENDAHULUAN. Employee engagement merupakan topik yang banyak dibicarakan. beberapa tahun terakhir. Penelitian dan aplikasi mengenai topik ini banyak

BAB 2 TINJAUAN REFERENSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. yang mendefinisikan work engagement adalah tingkat keterikatan fisik,

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Definisi Employee Engagement Definisi mengenai engagement saat ini masih belum jelas, istilah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Banyak penelitian yang menggunakan istilah engagement sebagai variabel

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. satunya adalah cabang Solo Raya dan Madiun Raya. Pada bulan April 2016

1 PENDAHULUAN Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. membutuhkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas. Human capital

BAB I PENDAHULUAN. segala kegiatan bisnis dan perekonomian, hal ini menyebabkan terjadinya

BAB II KAJIAN PUSTAKA. organisasi tersebut (Mathis & Jackson, 2006). Menurut Velnampy (2013)

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan pengelolaan sumber daya manusia telah ditandai pergeseran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berbagai pengaruh lingkungan seperti lingkungan psikologis, pengaruh sosial,

BAB I PENDAHULUAN. Fokus penelitian pada keluaran organisasi telah banyak dilakukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Iklim organisasi (atau disebut juga suasana organisasi) adalah. serangkaian lingkungan kerja di sekitar tempat kerja

BAB I PENDAHULUAN. sangatlah penting karena manusia merupakan penggerak utama dalam

tujuan organisasi sebagai satu kesatuan yang akan dicapainya.

BAB II LANDASAN TEORI. berbeda. Cara pertama diajukan oleh Mowday, Porter, dan Steers, 1982;

BAB I PENDAHULUAN. organisasi yang bernama Gallup pada tahun 1990-an. Menurut survei Global,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dirinya, masykarakat, bangsa dan negara (Undang-undang Sisdiknas RI

BAB 2 KAJIAN TEORETIS

BAB I PENDAHULUAN. dinamis, sehingga semua organisasi atau perusahaan yang bergerak di

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susan Setialestari, 2015

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Komitmen telah menunjukkan pengaruh yang kuat pada keinginan karyawan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS. Salah satu teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah traditional

BAB I PENDAHULUAN. menarik perhatian kalangan organisasi. Perputaran karyawan memiliki

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. karyawan dan organisasi yang berimplikasi terhadap keputusan untuk bertahan

BAB I PENDAHULUAN. pekerja berseragam atau karyawan dengan pangkat tertentu berlomba-lomba. cenderung loyal pada pekerjaannya atau keterikatan kerja.

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia (SDM) adalah pelaksanaan job analysis, perencanaan SDM,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah belum optimal.

BAB I PENDAHULUAN. rakyatnya, kualitas sumber daya manusia memegang peran yang cukup penting,

yang memiliki peran penting dalam perusahaan karena mereka akan berhubungan dengan para pelanggan. Dalam masyarakat, karyawan pemasaran sering kali

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Komitmen Organisasi. Komitmen organisasi menurut Allen dan Meyer (1990), adalah keadaan

BAB II LANDASAN TEORI. Komitmen karyawan terhadap organisasi merupakan suatu hubungan antara

BAB II LANDASAN TEORI. memiliki pengertian berbeda mengenai engagement (Albrecht, 2010).

HUBUNGAN ANTARA JOB CRAFTING DENGAN KETERIKATAN KERJA PADA KARYAWAN GENERASI Y DI KANTOR PUSAT PT. BANK BUKOPIN, TBK JAKARTA

BAB II LANDASAN TEORI. dan tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi

BAB I PENDAHULUAN. Dunia pendidikan sangat penting untuk menjamin perkembangan kelangsungan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pencapaian tujuan tersebut, perusahaan membutuhkan tenaga-tenaga

BAB II LANDASAN TEORI. sehingga banyak yang menyebut keterikatan kerja merupakan old wine in

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Era globalisasi mengalami pertumbuhan yang cukup pesat, perkembangan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Kahn (dalam May dkk, 2004) work engagement dalam. pekerjaan dikonsepsikan sebagai anggota organisasi yang melaksanakan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut berbentuk perusahaan. Perusahaan merupakan badan usaha yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II LANDASAN TEORI. Employee engagement merupakan rasa keterikatan secara emosional

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Harman et al. (2009) mengemukakan teori tradisional turnover ini menunjukkan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Hubungan employee engagement dan burnout pada karyawan divisi IT

BAB I PENDAHULUAN. daripada apakah mereka tinggal (Allen dan Meyer, 1990). Maksudnya

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi memaksa setiap organisasi berupaya menciptakan keunggulankeunggulan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kinerja. 1. Pengertian Kinerja. tujuan organisasi (Viswesvaran & Ones, 2000). McCloy et al. (1994)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. tidaknya hubungan antara variabel satu dengan variabel yang lainnya.

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Kinerja merupakan salah satu alat ukur dari keberhasilan sebuah

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Pesatnya perkembangan teknologi di era globalisasi ini mengharuskan setiap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya persaingan kompetensi antar individu menyebabkan banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Merriam Webster dalam (Zangaro, 2001), menyimpulkan definisi

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. karyawan memihak organisasi tertentu beserta tujuan-tujuannya dan adanya

Bab I. Pendahuluan. pengelolaan yang baik pula organisasi akan mendapatkan karyawan-karyawan

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Gaya Kepemimpinan Transaksional Definisi Gaya kepemimpinan Transaksional

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta pertumbuhan ekonomi dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. Bagian ini memuat landasan empiris mengenai variabel-variabel yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya rumah sakit merupakan sebuah organisasi yang menyediakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkebunan tercatat sebagai sektor yang memiliki kontribusi besar

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Lamba dan Choudary (2013) menyebutkan bahwa komitmen adalah

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan cita-cita Bangsa Indonesia, yakni mencerdaskan

BAB V PENUTUP. 1. Komitmen continuance memiliki pengaruh positif terhadap job. Mall Yogyakarta, dengan demikian Hipotesis 1 (H 1 ) terbukti.

Salah satu tantangan terbesar perusahaan dalam persaingan di pasar global. engaged menjadi sangat berharga dalam mendukung kinerja perusahaan karena

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS. kompetitif dengan mendorong sebuah lingkungan kerja yang positif (Robbins dan

Peran Kebermaknaan Kerja-Keluarga dan Keterikatan Kerja Dalam Memprediksi Intensi Keluar dari Organisasi. Intisari. Ayudia Indrawati IJK Sito Meiyanto

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan naiknya persaingan bisnis. Masing-masing perusahaan saling beradu

BAB I PENDAHULUAN. distributor barang, kreditor, karyawan, pemilik, serta pemerintah. Para pemangku

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Teori motivasi Vroom (1964) tentang cognitive of motivation menjelaskan mengapa

BAB II LANDASAN TEORI. Kahn (1990) mendefinisikan engagement sebagai hasrat karyawan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kepuasan kerja merupakan salah satu studi yang secara luas dipelajari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. menurut ukuran normatif. Menyadari akan hal tersebut, pemerintah sangat serius

BAB 1 PENDAHULUAN. ketidakpastian yang tinggi telah menuntut organisasi-organisasi modern untuk

untuk dapat terus mempertahankan kualitas kinerjanya. Perkembangan zaman juga menyebabkan persaingan antar perusahaan semakin ketat.

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan. Rumah Sakit sebagai tempat layanan kesehatan publik makin dituntut

BAB II KAJIAN PUSTAKA,KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. Adapun nilai tersebut adalah unik, tidak dapat ditiru dan tidak dapat digantikan

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan salah satu aset berharga yang dimiliki sebuah

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pernah dilakukan sebelumnya untuk semakin memperkuat kebenaran empiris

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. individualnya masing-masing (gaji, kepuasan kerja, dll) yang bekerjasama dalam

BAB I PENDAHULUAN. untuk menarik para wisatawan agar mau berkunjung. Hal ini penting dilakukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

9 BAB II LANDASAN TEORI Bab ini berisikan tentang teori-teori yang digunakan untuk mendukung dan menjelaskan variabel dalam penelitian. Pembahasan dalam bab ini dimulai dari pembahasan komitmen organisasional dan work engagement terhadap job embeddedness, kemudian keterkaitan antara ketiga variabel tersebut diuraikan dalam bagian berikutnya, akhirnya perumusan hipotesis dan kerangka pemikiran dari penelitian ini disajikan. 2.1 Job Embeddedness Job embeddedness dalam sebuah organisasi dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda-beda oleh sebuah organisasi yang satu dengan yang lainnya. Begitu pula dengan makna dari job embeddedness itu sendiri, makna dari job embeddedness juga dimaknai oleh organisasi secara berbeda antara organisasi yang satu dengan yang lainnya. Oleh karenanya peneliti mencoba menyajikan literatur penelitian dan landasan teori yang mendukung tentang job embeddedness. 2.1.1 Definisi Job Embededdnes Konsep job embeddedness pertama kali diangkat di atas permukaan dan sering digunakan referensi oleh beberapa peneliti adalah teori dari Mitchel. Job embeddedness merupakan salah satu perspektif baru yang mendorong karyawan tetap bertahan dalam organisasi (Mitchel., et al 2001). Terdapat dua ide penelitian

10 terkait yang dapat membantu menjelaskan inti dari job embeddedness, yaitu figur yang terikat dan teori medan (Lewin, 1951 dalam Mitchel., et al 2001). Berkembangnya job embeddedness pada seseorang pekerja dipengaruhi pada lingkungan yang telah terbentuk dalam dirinya sendiri maupun sekitarnya. Teori medan mengemukakan bahwa orang memiliki ruang hidup persepsi, di mana aspek kehidupan mereka terwakili dan terhubung dalam ruang lingkup kehidupan (Mitchel., et al 2001). Seorang karyawan bisa ada dalam ruang lingkup kehidupan yang sedikit atau banyak dan dekat atau jauh. Hal ini bukan berarti ruang lingkup kehidupan bersifat tetap, ruang lingkup kehidupan dapat dikembangkan oleh seseorang dalam kehidupannya, tetapi juga sebaliknya ruang lingkup hidup dapat macet dan tidak dapat digerakan oleh seseorang karena alasan maupun keadaan tertentu. Keberadaan dari ruang lingkup kehidupan dalam pekerjaan seseorang yang luas membuat seseorang terikat pada pekerjaannya. Job embeddedness dikembangkan untuk menangkap pandangan yang lebih komprehensif dari hubungan karyawan dengan atasan (Erich., et al 2009). Job embeddedness juga berbeda dari model tradisional karena ditujukan untuk retensi karyawan. Hal tersebut menunjukkan bahwa fokus utama adalah bagaimana membentuk seorang dalam sebuah organisasi. Job embeddedness berusaha membentuk keberadaan karyawan untuk menumbuhkan rasa keterikatan kerja dalam sebuah organisasi, job embeddedness bukan sebuah upaya untuk mengikat seseorang untuk dapat tetap bekerja dalam sebuah organisasi.

11 2.1.2 Aspek Penting Job Embeddedness Menurut Mitchel.,et al (2001) aspek penting dari job embeddedness dibagi menjadi 3 bagian, antara lain: 1. Seberapa jauh dan luas link yang dibentuk. 2. Sejauh mana pekerjaan dan komunitas karyawan mirip atau sesuai dengan aspek-aspek lain dalam ruang hidupnya. 3. Kemudahan link yang telah didapatkan oleh seseorang karyawan akan membuat karyawan sulit untuk meninggalkan pekerjaannya, terutama jika harus pindah ke kota atau rumah. Link, fit, dan sacrifice yang terkait dengan organisasi individu dan dengan komunitasnya. a. Link (Keterkaitan) Kehidupan sosial seorang pekerja sangat erat hubungannya dengan link. Link merupakan kehidupan sosial yang dibentuk karyawan baik dalam lingkungan organisasi maupun lingkungan tempat tinggalnya. Link ditandai sebagai koneksi formal atau informal antara seseorang dan lembaga atau orang lain (Mitchel., et al 2001). Dalam job embeddedness ditunjukkan hubungan yang menghubungkan antara karyawan dan keluarganya dalam hubungan sosial, psikologis, dan lingkungan fisik di mana ia tinggal. Semakin tinggi jumlah link yang dibentuk oleh seseorang, maka semakin terikat dengan pekerjaan dan organisasi. Prestholdt., et al (1987) menunjukkan bahwa ada tekanan normatif untuk tinggal di pekerjaan, yang berasal dari keluarga, anggota tim kerja, dan rekanrekan lain. Orang lain yang berada di sekeliling seorang pekerja, dalam hal ini

12 dapat mempengaruhi job embeddedness seseorang. Abelson (1987) juga menyatakan bahwa menjadi tua, menikah, memiliki kepemilikan lebih, dan memiliki anak yang memerlukan perawatan, semuanya itu membuat karyawan lebih mungkin menetap daripada meninggalkan pekerjaannya. Variabel-variabel tersebut secara langsung maupun tidak langsung telah mendorong tumbuhnya job embeddedness yang tinggi pada seorang karyawan. Abelson (1987) secara khusus menyebutkan bahwa hobi dan kegiatan keagamaan juga menjadi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi job embeddedness. Hal tersebut menunjukkan bahwa seseorang memiliki banyak link antara berbagai aspek kehidupan mereka. Link dapat seseorang bentuk dari berbagai segi aspek kehidupan, baik segi kehidupan pribadi, keluarga, keagamaan, sosial dan aspek-aspek kehidupan yang lain. Ketika seseorang telah membentuk link secara baik dan semakin luas maka hal tersebut menjadi pertimbangan seseorang untuk meninggalkan pekerjaan. b. Fit (Kesesuaian) Fit didefinisikan sebagai kenyamanan dan kecocokan yang dirasakan karyawan dengan organisasi dan lingkungannya (Mitchel., et al 2001). Berdasarkan teori yang telah berkembang, nilai-nilai karyawan pribadi, tujuan karier, dan rencana untuk masa depan harus sesuai dengan budaya organisasi yang lebih besar dan tuntutan pekerjaan langsungnya (pengetahuan pekerjaan, keterampilan, dan kemampuan). Selain itu, seseorang pekerja juga akan mempertimbangkan seberapa baik dia sesuai dengan masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Ketika seorang karyawan dapat menggali kenyamanan dan kecocokan

13 dirinya dengan lingkungan yang ada dalam organisasinya, maka hal tersebut mendorong dirinya untuk berkembang dengan baik dalam organisasinya, menjadi seseorang yang profesional dalam pekerjaannya. O'Reilly., et al (1991) menemukan bahwa "orang aneh" akan sedikit lebih cepat untuk diketahui keberadaannya dari pada "orang yang merasa cocok". Seseorang yang ada dalam keadaaan tidak cocok terhadap pekerjaan akan terdorong untuk melakukan tindakan yang aneh dibandingkan karyawan lainnya sehingga keberadaannya mudah dikenali. Berbeda dengan orang yang merasa cocok terhadap pekerjaannya, mereka sulit untuk diketahui karena reaksi dari kecocokan tidak nampak dalam tindakan pekerja secara jelas dan terbuka. Ketika seseorang masuk dalam sebuah organisasi yang miskin akan fit, memungkinan pekerja akan meninggalkan organisasi tersebut (Chatman, 1991). Dalam keadaan tidak mendapatkan kecocokan dengan organisasi, karyawan akan menjadi mengalami kesulitan untuk berkembang sehingga mereka akan lebih mudah mendapatkan dorongan kuat untuk meninggalkan organisasinya. Hal ini semakin ditegaskan oleh Cable dan Judge (1996) yang mengemukakan bahwa orang memilih pekerjaan atas dasar nilai kenyamanan, bahkan organisasi memakai nilai kenyamananannya untuk menarik orang bekerja pada organisasinya. Sebuah kenyamanan menjadi daya pikat pekerja untuk bertahan dalam sebuah organisasi. Fit juga mencakup dimensi komunitas yang tidak dapat dilepaskan bagi seorang karyawan, antara lain: fasilitas, dan budaya. Adanya kegiatan di luar (seperti memancing dan ski), iklim politik dan agama, dan kegiatan hiburan

14 (perguruan tinggi atau profesional olahraga, musik, teater) mendorong timbulnya fit pada pekerja. Semakin luas dimensi komunitas yang dapat didapatkan dan dikembangkan oleh seseorang pekerja baik dari dalam organisasi maupun lingkungan sekitar, maka mereka semakin merasakan kenyamanan terhadap pekerjaannya. c. Sacrifice (Pengorbanan) Seorang akan mengalami sebuah pengorbanan ketika meninggalkan sebuah pekerjaan, misalnya: ketika meninggalkan sebuah organisasi mereka mendapatkan kerugian pribadi seperti meninggalkan kolega, pekerjaan yang menarik, fasilitas-fasilitas yang sudah diberikan oleh perusahaan, dan lain sebagainya. Semakin banyak seorang karyawan menyerahkan apa yang sudah mereka dapatkan dan miliki ketika meninggalkan sebuah pekerjaan, maka hal itu membuat mereka semakin sulit untuk meninggalkan organisasinya (Shaw., et al. 1998). Seseorang pekerja mungkin mendapatkan gaji dan tunjangan yang sebanding yang dia peroleh pada saat ini, namun fasilitas, kolega, lingkungan pekerjaan belum tentu didapatkan. Semakin besar pengorbanan yang dikeluarkan oleh seorang pekerja ketika meninggalkan organisasinya saat ini maka semakin besar juga rasa job embeddedness. Pengorbanan hubungan sosial menjadi masalah yang harus diambil oleh pekerja jika harus pindah. Meninggalkan sebuah komunitas yang menarik dan aman dan di mana yang disukai atau dihormati akan sulit dilakukan oleh seorang pekerja. Komunitas yang sudah terbentuk dengan baik, dimana seorang pekerja merasakan nyaman sulit untuk ditinggalkan begitu saja. Tidak semua orang

15 mengubah pekerjaan dan meninggalkan rumah dan lingkungan sosialnya yang lama. Seseorang bisa tetap tinggal yang sama meskipun telah berpindah pekerjaan, namun hal tersebut juga membutuhkan pengorbanan, antara lain: berbagai kemudahan, seperti perjalanan yang mudah atau kemampuan untuk sampai ke rumah pada waktu tertentu karena waktu luang dapat hilang dengan mengubah pekerjaan. Hal ini setidaknya juga membawa pengaruh terhadap kehidupan seorang pekerja. 2.2 Komitmen Organisasional Penjelasan dan penelitian komitmen dalam sebuah organisasi berbedabeda antara yang satu dengan yang lain. Penelitian tentang komitmen organisasional telah dilakukan oleh berbagai peneliti dengan berbagai model komponen komitmen masing-masing. Dalam penulisan ini penjelasan tentang komitmen organisasional di dasarkan pada hasil penelitian komitmen organisasional oleh Meyer dan Allen. 2.2.1 Definisi Komitmen Organisasional Konsep komitmen organisasional telah menarik minat yang cukup besar dalam upaya untuk memahami dan menjelaskan intensitas dan stabilitas dedikasi karyawan terhadap organisasi. Konsep komitmen organisasional telah banyak diteliti dan dipaparkan oleh para pakar. Dalam konteks konsep komitmen ini, komitmen organisasi dianggap sebagai suatu sikap, yang berhubungan dengan pola pikir individu tentang organisasi (Allen & Meyer 1990).

16 Komitmen organisasional menunjukkan adanya keterikatan karyawan dengan sebuah organisasi (Porter, et al., 2003). Karyawan yang merasa menjadi bagian dari sebuah organisasi maka karyawan memiliki rasa komitmen yang tinggi, tetapi sebaliknya apabila karyawan tidak merasa menjadi bagian dari sebuah organisasi maka karyawan memiliki komitmen yang rendah. Penelitian tentang komitmen organisasional selama ini dominasi oleh Meyer dan Allen. Meyer., et al (2002) mengembangkan tiga model komponen komitmen yang mendominasi penelitian komitmen organisasional. Model tersebut mengusulkan bahwa komitmen organisasional yang dialami oleh karyawan sebagai tiga pola pikir simultan meliputi komitmen afektif, normatif, dan continuance. a. Komitmen Afektif Komitmen afektif mencerminkan komitmen berdasarkan ikatan emosional karyawan berkembang dengan organisasi terutama melalui pengalaman kerja yang positif (Jaros, 2007). Individu yang berdedikasi pada tingkat emosional biasanya tetap dengan organisasi karena mereka melihat hubungan kerja masing-masing selaras dengan tujuan dan nilai-nilai organisasi (Ferreira & Coetzee, 2013). Ketika pekerja merasa bahwa dalam pekerjaan mereka merasakan kemajuan, keuntungan maupun hal-hal positif, maka hal tersebut membuat seseorang membuat komitmen untuk selalu berada dalam organisasi tersebut. b. Komitmen Normatif Komitmen normatif mencerminkan komitmen berdasarkan kewajiban yang dirasakan terhadap organisasi, misalnya berakar pada norma-norma timbal balik (Jaros, 2007). Rasa tanggung jawab untuk melanjutkan pekerjaan dengan

17 organisasi tertentu dapat timbul dari dalam pekerja. Individu yang secara normatif berkomitmen tetap karena ide normatif diinternalisasi tanggung jawab etis (kewajiban moral) untuk tinggal (Ferreira & Coetzee, 2013). Pekerja dalam ini memiliki rasa tanggungjawab terhadap organisasi karena terdorong oleh karena kewajiban mereka yang telah ditentukan kepada organisasi. c. Komitmen Continuance Komitmen continuance mencerminkan komitmen berdasarkan pertimbangan biaya yang dirasakan, baik ekonomi dan sosial ketika meninggalkan organisasi (Jaros, 2007). Kesadaran akan biaya yang terkait dengan meninggalkan organisasi, membuat seseorang memiliki komitmen continuance yang tinggi untuk tetap tinggal dalam organisasi. Seseorang pekerja akan mempunyai kecenderungan untuk berpikir secara rasional ketika mereka akan meninggalkan pekerjaannya mereka dengan mempertimbangkan hal-hal apa saja yang akan dikorbankan. Semakin besar yang mereka korbankan maka hal tersebut membuat mereka sulit meninggalkan pekerjaan yang mereka miliki. Ketiga jenis komitmen ini tidak mutlak dimiliki oleh setiap karyawan. Setiap karyawan mempunyai jenis komitmennya masing-masing dan kadarnya juga berbeda-beda. Oleh karena itu, setiap karyawan memiliki perilaku dan komitmen yang berbeda-beda pula untuk mempertahankan pekerjaannya.

18 2.3 Work Engagement Work engagement menjadi bagian yang penting dalam pelaksanaan manajemen organisasi. Dalam setiap organisasi mendefinisikan work enggament secara berbeda-beda. Dalam hal ini peneliti akan memaparkan tentang work enggament sesuai dengan literatur landasan teori work enggament yang sudah dikembangkan oleh para ahli dan peneliti. 2.3.1 Definisi Work Engagement Work engagement pertama kali diangkat ke permukaan oleh peneliti Khan (1990). Secara khusus, Khan (1990) memfokuskan perhatiannya pada bagaimana sikap pekerja dalam menjalankan peran dan tugasnya, dan pekerja secara psikologis hadir dalam peran dan tugasnya dalam dunia kerja. Khan (1990) mendefiniskan work engagement, yakni sebagai sikap yang ditunjukkan oleh karyawan dalam sebuah organisasi dengan melibatkan secara keseluruhan, yaitu dengan melibatkan keadaan fisik, pikiran atau kognitif dan emosi. Work engagement disebabkan oleh beberapa hal seperti kepercayaan bahwa pekerjaan yang dikerjakannya memiliki makna dan kesesuaian antara nilai yang dianut oleh seorang karyawan, rekan kerja dan nilai yang dimiliki oleh organisasi. Konsep work engagement merupakan salah satu konsep teoritis organisasi yang telah muncul di bidang psikologi (Bakker., et al., 2008). Penelitian tentang work engagement berpuncak pembedaan pemikiran yang membedakan burnout dan work engagement (Maslach., et al 2001; Schaufeli., et al 2002). Secara

19 konsep umum work engagement adalah kebalikan diasumsikan burnout. Work engagement bertentangan dengan keadaan menderita kelelahan, dalam hal ini work engagement berarti karyawan terlibat memiliki rasa koneksi enerjik dan efektif dengan aktivitas pekerjaan dan mereka melihat diri mereka mampu menangani dengan baik tuntutan pekerjaan mereka (Schaufeli & Bakker, 2003). Dalam work engagement terdapat pemikiran yang mendefinisikan hubungan antara keterlibatan kerja dan burnout. Maslach dan Leiter (1997) mengasumsikan bahwa keterlibatan dan burnout merupakan kutub yang berlawanan. Burnout yang mewakili kutub negatif dan keterlibatan mewakili kutub positif. Maslach dan Leiter (1997) mendefinisikan burnout sebagai kelelahan, dan penurunan efisiensi profesional, oleh karena itu work engagement didefinisikan sebagai tindakan kerja yang ditandai dengan energi, keterlibatan dan bekerja secara profesional. Work engagement juga didefinisikan sebagai keadaan pemikiran positif seorang pekerja terhadap pekerjaannya yang ditandai dengan vigor (semangat), absorption (penyerapan) dan dedication (Schaufeli., et al 2003). Dalam hal ini work engagement tidak mengacu pada keadaan sesaat dan spesifik, tetapi mengacu pada keadaan afektif - kognitif yang lebih menekankan pada kegigihan dan berpikir meluas, tidak terfokus pada satu objek tertentu, peristiwa, individu dan perilaku. Keberadaan work engagement nampak dalam perjalanan organisasi dalam sebuah waktu yang relatif panjang dan mempunyai ciri yang stabil tidak timbul tenggelam pada suatu waktu. Ciri dari keberadaan work engagement ditandai dengan tiga dimensi : a) Vigor (semangat) berkaitan dengan tingginya tingkat energi dan ketahanan mental seorang pekerja saat melakukan pekerjaanya,

20 kemauan untuk menginvestasikan usaha dalam pekerjaan, dan ketekunan dalam menghadapi kesulitan. Semangat pekerja tidak muncul secara sementara, semangat timbul dari dalam diri pekerja dan bersifat berkesinambungan untuk berusaha memberikan kemampuannya secara maksimal. b) Dedication berkaitan dengan keterlibatan yang kuat seorang pekerja dalam pekerjaan, antusiasme, inspirasi, kebanggaan, dan tantangan. c) Absorption (penyerapan), dimana karyawan dapat menyatu dan melebur dengan pekerjaan, berkonsentrasi penuh dan fokus, mempunyai rasa bahagia dalam melakukan pekerjaan, karyawan merasakan waktu berlalu dengan cepat. Dalam work engagement dimensi semangat dan dedication mempunyai arti berlawanan langsung kelelahan dan sinisme. Vigor (semangat) berlawanan langsung dengan kelelahan dalam hal fisik, sedangkan dedication berlawanan langsung dengan sinisme dalam hal pola pikir. Work engagement ditandai dengan tingkat tingginya energi dan identifikasi yang kuat pada seorang pekerja, sedangkan burnout ditandai dengan rendahnya energi yang dikombinasikan pada seorang pekerja dengan pekerjaannya. Work engagement juga didefinisikan sebagai keyakinan, kognitif spesifik tentang hubungan seseorang dengan pekerjaan (Kanungo, 1982 di Kuhnel et al., 2009). Wee dan Thomas (2008) dalam Kuhnel., et al (2009) memandang work engagement sebagai sikap kerja yang relatif stabil dan adanya penilaian kognitif terhadap pekerjaan. Wujud dari work engagement terlihat dalam tindakan vigor (semangat), dedication, dan absorption (penyerapan) di tempat kerja yang dapat

21 berfluktuasi dari hari ke hari. Kahn (1990) juga menyatakan bahwa work engagement dapat dilihat secara fisik, emosional, dan psikologis yang nampak pada kondisi pekerja. 2.3.2 Komponen Work Engagement Keterlibatan kerja memerlukan dorongan positif pada psikilogis seorang pekerja dalam melakukan pekerjaanya yang ditandai dengan vigor (semangat), dan absorption (penyerapan), dedication (Schaufeli., et al 2002). Seperti yang ditunjukkan dalam definisi, work engagement memiliki tiga komponen utama, antara lain: 1. Vigor (Semangat) Semangat dalam hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar energi dan ketahanan mental saat sibuk dengan aktivitas kerja, kemauan untuk menginvestasikan tenaganya dalam pekerjaan dan menunjukkan ketekunan ketika menghadapi kesulitan. Dengan demikian, karyawan yang mempunyai semangat besar di tempat kerja sangat termotivasi oleh pekerjaannya dan cenderung untuk tetap gigih ketika menghadapi kesulitan. 2. Dedication Dedication ditandai dengan keterlibatan yang kuat dan kebanggaan dalam pekerjaan seseorang, adanya rasa antusiasme, tantangan dan kebanggaan terhadap pekerjaan.

22 3. Absorption (Penyerapan) Penyerapan dalam hal ini karyawan benar-benar fokus, melebur dan menyatu dalam pekerjaan, waktu berlalu dengan cepat dan seseorang akan mengalami kesulitan memisahkan dari aktivitas kerja (Schaufeli., et al 2002). 2.4 Pengaruh komitmen continuance dan work engagement terhadap job embeddedness Komitmen organisasional berkaitan erat dengan perkembangan organisasi. Adanya komitmen yang kuat dalam sebuah organisasi, menjadikan anggota organisasi tersebut mempunyai keinginan untuk tetap tinggal berada dalam organisasi. Hasil secara empiris menunjukkan bahwa komitmen memiliki hubungan yang konsisten, secara statistik signifikan, dan negatif dengan turnover (Jaros, 1997). Karyawan yang memiliki komitmen tinggi mempunyai rasa memiliki organisasi (Mitchell., et al 2001). Komitmen organisasional pada dasarnya terdiri dari tiga dimensi, yaitu: afektif, normatif, dan continuance. Komitmen afektif tumbuh dengan dasar keinginan seseorang untuk pekerjaan dan adanya keterikatan emosional dengan organisasi. Komitmen normatif, seseorang menetap karena pandangan positif para pekerja mempengaruhi perasaan tentang organisasi mereka. Seorang pekerja mungkin dapat tinggal dalam sebuah organisasi karena telah menemukan atau menciptakan kecocokan dalam organisasi mereka yang sesuai dengan kebutuhan dan bakat mereka. Namun, Cable dan Parsons (1999) dalam Mitchel., et al (2001) berpendapat bahwa kecocokan pekerja dalam seseorang terbentuk atas dasar ikatan emosional

23 karyawan dengan organisasi. Pernyataan tersebut memberikan sebuah kesimpulan bahwa job embeddedness tidak berkaitan dengan komitmen afektif. Komitmen normatif muncul dari rasa kewajiban yang berkembang pada seseorang. Orang tinggal dalam perusahaan karena mereka merasa mereka harus melakukan. Mitchel., et al (2001) berpendapat meskipun organisasi dapat meningkatkan rasa kewajiban kepada karyawan (misalnya, untuk rekan kerja), tetapi hal tersebut tidak dapat menumbuhkan job embeddedness dalam diri seorang karyawan. Komitmen normatif yang tumbuh ada dasar kewajiban, cenderung berkembang karena adanya tututan bukan karena kesadaran yang tumbuh dari pekerja. Hal ini yang membuat tidak adanya kaitan antara Job embeddedness dan komitmen normatif. Berbeda dengan dimensi komitmen continuance, komitmen continuance secara konseptual memiliki kesamaan dengan beberapa aspek yang cukup mirip konseptual untuk dimensi pengorbanan-organisasi. Allen dan Meyer (1990), mendefinisikan komitmen continuance sebagai besarnya jumlah investasi (sisi taruhan) individu atas apa yang dirasakan dan dibuat selama berada dalam sebuah pekerjaan. Sisi pertaruhan yang diungkapkan oleh Allen dan Meyer mencakup hal-hal seperti pekerjaan, persahabatan dan keluarga. Pekerjaan, persahabatan dan keluarga menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi seorang pekerja dalam mempertimbangkan diri untuk menetap ataupun melakukan perpindahan pekerjaan. Oleh karena itu, Allen dan Meyer (1990) mengukur komitmen continuance melalui item yang digunakan untuk menilai pengorbanan-organisasi. Salah satu item tersebut adalah sangat sulit bagi seseorang untuk meninggalkan

24 organisasi sekarang bahkan jika ia ingin, ketika pekerja tersebut merasa bahwa banyak hal yang dikorbankan saat meninggalkan pekerjaan. Namun, hasil penelitian yang dipaparkan oleh Allen dan Meyer berbeda dengan Mitchel., et al (2001). Mitchel., et al (2001) melihat bahwa dalam komitmen continuance terdapat dimensi pertaruhan yang berpengaruh terhadap job embeddedness sama halnya sebuah pengorbanan, tetapi ia berpendapat bahwa pengorbanan organisasi berbeda dengan komitmen continuance. Pertama, dalam mengukur pengorbanan organisasi, seharusnya terpisah dan berbeda karena komitmen continuance dan pengorbanan organisasi adalah sesuatu yang berbeda. Kedua, nilai entitas komitmen continuance dapat membuat orang merasa mereka harus menyerah jika mereka meninggalkan pekerjaan (misalnya, kebebasan, tunjangan pensiun, tunjangan, kompensasi, kesehatan, dan kesempatan promosi). Hal ini menunjukkan bahwa ukuran komitmen continuance lebih spesifik. Komitmen continuance mencerminkan pertimbangan biaya yang dirasakan, baik ekonomi dan sosial ketika meninggalkan organisasi menjadikan seseorang untuk mempunyai rasa untuk tetap tinggal dalam sebuah organisasi. Seseorang mengalami kesadaran untuk memperhitungkan apa yang harus mereka korbankan ketika meninggalkan pekerjaan. Hal ini berpengaruh pada job embeddedness, ketika komitmen continuance tumbuh dalam diri seseorang maka membuat orang tersebut tinggal dan menetap dalam sebuah perusahaan. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti mengajukan hipotesis pertama sebagai berikut :

25 H 1 : Komitmen continuance berpengaruh positif terhadap job embeddedness karyawan PT. Matahari Department Store, Tbk Malioboro Mall, Yogyakarta. Saks (2006) menunjukkan bahwa work engagement berhubungan dengan sikap individu dan perilaku. Karyawan yang terlibat cenderung lebih melekat pada organisasi mereka dan akan memiliki kecenderungan lebih rendah untuk meninggalkannya (Schaufeli & Bakker, 2004). Selain itu, pandangan ini juga didukung oleh beberapa peneliti yang menemukan bahwa work engagement berhubungan dengan keinginan berpindah (Du Plooy & Roodt, 2010). Rendahnya work engagement pada sebuah organisasi maupun perusahaan membuat pekerja mempunyai keinginan yang besar untuk melakukan perpindahan pekerjaan Ndayizifeyi., et al (2014), dan Jonathon (2008) telah menemukan bahwa dengan adanya work engagement yang tinggi pada setiap karyawan, salah satu faktor yang mendorong karyawan untuk tetap bertahan dalam organisasi sampai selesai masa tugasnya, bahkan seorang karyawan akan bekerja dengan pemikiran positif yang ditandai dengan adanya vigor (semangat), dedication, absorption (penyerapan). Hal tersebut menunjukkan bahwa karyawan telah memiliki work engagement dalam dirinya. Wee dan Thomas (2008) dalam Ndayizifeyi., et al (2014), karyawan yang telah memiliki work engagement yang tinggi dengan organisasinya, secara khusus terlihat karyawan memiliki kinerja yang tinggi, keadaan psikologi dan emosional yang relatif stabil terhadap pekerjaan yang dilakukannya.

26 Pandangan para ahli di atas memperlihatkan bahwa dengan adanya work engagement yang tinggi dalam sebuah perusahaan maka hal tersebut mendorong rasa pekerja untuk tetap bertahan dalam perusahaan. Dengan kata lain, work engagement yang positif mempunyai pengaruh yang positif pada job embeddedness. Semakin pekerja mendapatkan kesempatan dalam work engagement pada suatu perusahaan maka job embeddedness pekerja semakin tumbuh dan berkembang dengan baik. Pekerja semakin merasa sulit untuk meninggalkan perusahaan ketika mereka turut ambil bagian dalam work engagement. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti mengajukan hipotesis kedua sebagai berikut. H 2 : work engagement berpengaruh positif terhadap job embeddedness karyawan PT. Matahari Department Store, Tbk Malioboro Mall, Yogyakarta. Variabel Independen Komitmen Continuance + H 1 Variabel Dependen Job Embededdness Work Engagement BAB III + H 2 Gambar 2.1. Model Kerangka Penelitian