ANALISIS DAMPAK PENURUNAN TARIF IMPOR GULA TERHADAP DAYA SAING KOMODITI TEBU

dokumen-dokumen yang mirip
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

IV METODOLOGI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.5 Teknik Pengumpulan data Pembatasan Masalah Definisi Operasional Metode Analisis Data

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2

IV. METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik

ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan

III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. Gula adalah salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

BAB IV METODE PENELITIAN

VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI

PENDAHULUAN. unik yang berbeda dengan komoditi strategis lain seperti beras. Di satu sisi gula

DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP

sesuaian harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan. Apalagi saat ini,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Volume 12, Nomor 1, Hal ISSN Januari - Juni 2010

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK

KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

POLICY BRIEF DAYA SAING KOMODITAS PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DALAM KONTEKS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN. Dr. Adang Agustian

METODE PENELITIAN. A. Metode Dasar Penelitian

Objek akan menjadi suci apabila hati nurani mampu menghayati sebagai yang tersuci dan Sesuatu menjadi indah apabila matahati merasakan keindahan.

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

IV METODE PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS DAMPAK IMPOR GULA TERHADAP HARGA GULA DOMESTIK DAN INDUSTRI GULA INDONESIA. Oleh: AGUS TRI SURYA NAINGGOLAN A

ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo)

JURUSAN ILMU-ILMU SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR FANNYTA YUDHISTIRA A

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha Triwulan-I Tahun

KERANGKA PEMIKIRAN. berupa derasnya arus liberalisasi perdagangan, otonomi daerah serta makin

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN

BAB I PENDAHULUAN. sangat subur dan memiliki iklim yang baik untuk perkebunan tebu. Kepala Pusat

III. METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT OLEH: MARIA IRENE HUTABARAT A

IV. METODE PENELITIAN. Kelurahan Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Pemilihan lokasi

LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang. jagung per musim tanam yang, diukur dalam satuan ton.

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor Penting yang Memengaruhi Dayasaing Suatu Komoditas

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode

I. PENDAHULUAN. penting dalam perekonomian nasional. Ditinjau dari kontribusinya terhadap

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PRODUKSI GULA PADA PABRIK GULA DJATIROTO SKRIPSI

VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN FAKTOR LAINNYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PADA USAHATANI JAMBU BIJI

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun Komoditas

PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI UBI JALAR NASIONAL DALAM RANGKA RENCANA PROGRAM DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK. Oleh: NOVIE KRISHNA AJI A

I. PENDAHULUAN. Peran ekspor non migas sebagai penggerak roda perekonomian. komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup besar dalam

I. PENDAHULUAN. komoditas utama penghasil serat alam untuk bahan baku industri Tekstil dan

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan penelitian.

III. KERANGKA PEMIKIRAN

ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA INDUSTRI KECIL OLAHAN CARICA

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini

VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM

HUBUNGAN PENGUASAAN LAHAN SAWAH DENGAN PENDAPATAN USAHATANI PADI

I. PENDAHULUAN. penyumbang devisa, kakao (Theobroma cacao) juga merupakan salah satu

KAJIAN KEPUASAN PETANI TEBU RAKYAT TERHADAP PELAKSANAAN KEMITRAAN PABRIK GULA XYZ

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL.

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia

VII. ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PADA USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN Kerangka Skenario Perubahan Harga Input dan Output

BAB I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian memegang peran strategis dalam pembangunan

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang. melimpah dan dikenal dengan sebutan negara agraris, sehingga pertanian

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

I. PENDAHULUAN. pelestarian keseimbangan lingkungan. Namun pada masa yang akan datang,

Oleh : Apollonaris Ratu Daton A

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

Transkripsi:

ANALISIS DAMPAK PENURUNAN TARIF IMPOR GULA TERHADAP DAYA SAING KOMODITI TEBU (Studi Kasus : Petani Tebu di Wilayah Kerja Pabrik Gula Sindang Laut, Kabupaten Cirebon) SKRIPSI RIDY H34060285 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 i

RINGKASAN RIDY. Analisis Dampak Penurunan Tarif Impor Gula terhadap Daya Saing Komoditi Tebu (Studi Kasus : Petani Tebu di Wilayah Kerja Pabrik Gula Sindang Laut, Kabupaten Cirebon). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan HARIANTO). Secara kondisi geografis, ekologi, dan kesuburan lahan, Indonesia memiliki karateristik wilayah yang cocok untuk pengembangan perkebunan tebu. Walaupun tebu merupakan tanaman yang dapat tumbuh dengan baik di Indonesia, tetapi hingga saat ini produksi gula nasional masih belum cukup tersedia untuk masyarakat luas. Sampai saat ini Indonesia masih melakukan impor gula untuk memenuhi kebutuhan domestik. Dengan alasan tersebut, produksi tebu nasional seharusnya mendapat perhatian khusus bagi pemerintah mengingat permintaan masyarakat akan gula yang tinggi dan cenderung mengalami peningkatan. Gula kristal putih (white sugar) tergolong komoditas strategis yang dilindungi oleh pemerintah. Sebagai komoditas strategis, pemerintah banyak melakukan intervensi terhadap industri gula. Peran kebijakan pemerintah dalam hal perdagangan sangat dipengaruhi dinamika perkembangan perkebunan tebu dan industri gula di tengah kondisi perdagangan bebas dan persaingan dengan gula impor. Salah satu kebijakan pemerintah yang terbaru dan diduga dapat mempengaruhi daya saing komoditi tebu lokal adalah Peraturan Menteri Keuangan No.150/PMK.011/2009 tentang penurunan tarif bea masuk atas gula impor. Peraturan tersebut menunjukkan penurunan bea masuk gula menjadi Rp 400 per kilogram dari sebelumnya Rp 790 per kilogram. Peraturan tersebut menunjukkan adanya penurunan tarif impor gula dimana hal ini diduga dapat mengurangi daya saing komoditi tebu lokal. Untuk menganalisis dampak kebijakan pemerintah tersebut maka penelitian ini dilakukan di salah satu sentra perkebunan tebu di Indonesia tepatnya di Pabrik Gula Sindang Laut Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat. Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah (1) Menganalisis daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) komoditi tebu yang dihasilkan oleh petani tebu di lokasi penelitian, (2) Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing komoditas tebu di lokasi penelitian, dan (3) Menganalisis dampak penurunan tarif impor gula terhadap daya saing komoditi tebu yang dihasilkan oleh petani tebu di lokasi penelitian. Penelitian ini dilakukan pada petani tebu di wilayah kerja Pabrik Gula Sindang Laut Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) atas dasar pertimbangan bahwa Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra perkebunan tebu di Pulau Jawa dan Kabupaten Cirebon dipilih karena merupakan kabupaten dengan produksi terbesar di Jawa Barat, atau sekitar 39 persen produksi tebu Propinsi Jawa Barat berasal dari kabupaten ini. Di Kabupaten Cirebon terdapat tiga pabrik gula yaitu PG Sindang Laut, PG Tersana Baru, dan PG Karangsuwung. PG Sindang Laut dipilih karena PG Sindang Laut memiliki produktivitas kedua terbesar dan memiliki akses paling dekat dengan pusat Kota Cirebon. Adapun penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juni 2010. ii

Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder, baik kualitatif maupun kuantitatif. Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan adalah Policy Analysis Matrix (PAM) atau Matriks Analisis Kebijakan. Analisis sensitivitas juga digunakan untuk melihat perubahan daya saing jika terjadi perubahan tarif impor. Adapun dua skenario analisis sensitivitas yang dilakukan adalah (1) tarif impor ditetapkan Rp 790 per kilogram, dan (2) tarif impor ditetapkan sebesar Rp 1.200 per kilogram. Hasil analisis dengan menggunakan matriks PAM menunjukkan bahwa pengusahaan usahatani tebu untuk menghasilkan gula di lokasi penelitian memiliki daya saing secara finansial maupun ekonomi walaupun dalam kondisi tarif impor gula Rp 400 per kilogram. Hal ini ditandai dengan nilai keuntungan privat yang lebih besar dari nol yaitu Rp 2.017.611,52 per hektar dan nilai keuntungan sosial sebesar Rp 12.771.594,77 per hektar. Nilai PCR dn DRC yang lebih kecil dari satu yaitu 0,94 untuk PCR dan 0,67 untuk DRC juga menunjukkan bahwa usahatani tebu di lokasi penelitian memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Perbedaan antara keuntungan sosial dan keuntungan privat terutama disebabkan oleh harga bayangan gula yang didekati dengan harga gula impor yang lebih tinggi dari harga finansialnya. Hal ini terjadi karena tidak adanya kebijakan pemerintah yang bersifat mendorong daya saing gula lokal baik dari sisi kebijakan input maupun kebijakan output karena kebijakan yang ada saat ini tidak memberikan insentif bagi petani tebu. Adanya penurunan tarif impor gula menyebabkan berkurangnya daya saing komoditi tebu yang ditandai dengan meningkatnya nilai DRC yang mengindikasikan adanya penurunan nilai keunggulan komparatif. Sedangkan peningkatan nilai tarif impor sebesar Rp 1.200 per kilogram menghasilkan nilai DRC yang semakin kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa penetapan tarif impor sebesar Rp 1.200 per kilogram meningkatkan daya saing gula lokal yang akhirnya akan dapat meningkatkan produktivitas petani tebu dalam negeri, walaupun kebijakan pemerintah dalam kondisi ini belum efektif dalam melindungi petani tebu. Adapun saran yang dapat diberikan kepada pemerintah adalah agar menetapkan tarif impor yang sesuai untuk melindungi petani tebu dalam negeri. Nilai tarif impor sebesar Rp 1.200 per kilogram cukup meningkatkan keuntungan dan daya saing petani tebu sehingga layak untuk diterapkan dalam rangka pengembangan produksi gula nasional. iii

Judul Skripsi Nama NIM : Analisis Dampak Penurunan Tarif Impor Gula terhadap Daya Saing Komoditi Tebu (Studi Kasus : Petani Tebu di Wilayah Kerja Pabrik Gula Sindang Laut, Kabupaten Cirebon) : Ridy : H34060285 Menyetujui, Pembimbing Dr. Ir. Harianto, MS NIP.19581021 198501 1 001 Mengetahui Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002 Tanggal Lulus : iv

PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul Analisis Dampak Penurunan Tarif Impor Gula terhadap Daya Saing Komoditi Tebu (Studi Kasus : Petani Tebu di Wilayah Kerja Pabrik Gula Sindang Laut, Kabupaten Cirebon) adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Agustus 2010 Ridy H34060285 v

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Padang, Sumatera Barat pada tanggal 31 Januari!990. Penulis adalah anak ke dua dari enam besaudara dari pasangan Ayahanda Syafri M. dan Ibunda Fedriyantinova. Penulis menyelesaikan pendidikan di SD Baiturrahmah I Padang pada tahun 2000 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2003 di SLTP N. 2 Padang serta pendidikan menengah atas di SMA N. 10 Padang pada tahun 2006. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) tahun 2006. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi Asisten Praktikum Fisika (2007-2010), Asisten Mata Kuliah Sosologi Umum (2009-2010), dan Asisten Mata Kuliah Ekonomi Umum (2009) Tingkat Persiapan Bersama. Penulis juga tercatat sebagai Kepala Divisi Usaha Mandiri Sharia Economics Student Club (2007-2008), Kepada Departemen Olahraga dan Seni Himpunan Mahasiswa Peminat Agribisnis (2008-2009), staf Kementrian Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Eksekutif Mahasiswa KM Institut Pertanian Bogor, serta penulis juga aktif di berbagai kepanitiaan internal dan eksternal kampus. Penulis memperoleh beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA), beasiswa Bantuan Khusus Mahasiswa (BKM) dan beasiswa penelitian dari Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian, selama menempuh perkuliahan di IPB. vi

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat, rahmat serta karunia-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Dampak Penurunan Tarif Impor Gula terhadap Daya Saing Komoditi Tebu (Studi Kasus : Petani Tebu di Wilayah Kerja Pabrik Gula Sindang Laut, Kabupaten Cirebon) ini dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis daya saing serta dampak penurunan tarif impor gula terhadap daya saing komoditi tebu. Skripsi ini merupakan hasil penulisan terbaik yang pernah dibuat penulis karena penulis mencurahkan sebagian besar waktu dan kesungguhannya untuk menghasilkan tulisan ini. Penelitian ini dilakukan sebaik-baiknya guna mendapatkan hasil analisis yang berguna baik bagi penulis maupun pihak lainnya. Semoga skripsi ini dapat membawa manfaat bagi berbagai pihak yang membutuhkan seperti yang diharapkan penulis. Bogor, Agustus 2010 Penulis vii

UCAPAN TERIMA KASIH Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, arahan, dukungan dan doa dari banyak pihak yang akan penulis kenang dan syukuri. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Harianto, MS selaku dosen pembimbing yang telah sangat sabar dalam mengarahkan dan membimbing penulis. 2. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS selaku dosen penguji utama pada ujian sidang penulis yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini. 3. Arif Karyadi Uswandi, SP selaku dosen penguji dari wakil komisi pendidikan yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini. 4. Ir. Dwi Rachmina, Msi dan Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi, MS yang telah menjadi pembimbing akademik serta seluruh dosen dan staf Departemen Agribisnis. 5. Ayahanda tercinta Syafri M. dan Ibunda tercinta Fedriyantinova, serta kakak dan adik-adiku atas dukungan dan kepercayaan serta doa yang tiada henti. 6. Feryanto Wiliam Karo-karo, SP atas bantuan dan arahan yang telah diberikan. 7. Keluarga Bapak Suharto dan Ibu Imiyati atas bantuan dan dukunganya. 8. Keluarga besar pengurus, staff APTRI Jawa Barat, Puskopetra, DPC APTRI, Koperasi Sakarosa, serta para petani responden. 9. Kakak-kakak Agribisnis angkatan 42, teman-teman 43, adik-adik 44, dan 45. Suatu kehormatan karena bisa menjadi bagian dari keluarga besar agribisnis. 10.Tidak lupa rasa terima kasih juga kepada seluruh pihak yang tidak mungkin disebutkan satu-persatu atas bantuanya dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini. Bogor, Agustus 2010 Ridy viii

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Perumusan Masalah... 4 1.3 Tujuan Penelitian... 7 1.4 Manfaat Penelitian... 7 1.5 Ruang Lingkup Penelitian...... 8 II TINJAUAN PUSTAKA... 9 2.1 Harga Gula Domestik... 9 2.2 Tataniaga Gula... 10 2.3 Permintaan Gula Domestik... 10 2.4 Kebijakan Impor Gula Indonesia... 11 2.5 Penelitian Terdahulu... 12 III KERANGKA PEMIKIRAN... 17 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis... 17 3.1.1 Analisis Daya Saing... 17 3.1.2 Teori Perdagangan Internasional... 20 3.1.3 Kebijakan Tarif Impor... 21 3.1.4 Metode Penentuan Harga Bayangan... 23 3.1.4.1 Harga Bayangan Nilai Tukar... 25 3.1.4.2 Harga Bayangan Output... 26 3.1.4.3 Harga Bayangan Sarana Produksi dan Peralatan... 27 3.1.5 Policy Analysis Matrix (PAM)... 29 3.1.6 Analisis Sensitivitas... 30 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional... 30 IV METODE PENELITIAN... 33 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian... 33 4.2 Metode Penentuan Sampel... 33 4.3 Desain Penelitian... 34 4.4 Data dan Instrumensi... 34 4.5 Metode Pengumpulan Data... 34 4.6 Metode Pengolahan Data... 35 V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN... 44 5.1 Keadaan Wilayah Kabupaten Cirebon... 44 5.2. Keadaan Pabrik Gula... 45 5.3. Karateristik Responden... 46 5.3.1. Umur Responden... 46 5.3.2. Tingkat Pendidikan Formal... 46 xiii xiv xv ix

5.3.3. Pengalaman Usahatani Tebu... 47 5.3.4. Penguasaan Lahan... 47 VI HASIL DAN PEMBAHASAN... 50 6.1. Analisis Daya Saing... 50 6.1.1. Analisis Keunggulan Kompetitif... 52 6.1.2. Analisis Keunggulan Komparatif... 53 6.2. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah... 55 6.2.1. Kebijakan Output... 56 6.2.2. Kebijakan Input... 57 6.2.3. Kebijakan Input-Output... 59 6.3. Analisis Sensitivitas... 61 6.3.1.Analisis Sensitivitas untuk Melihat Perubahan Daya Saing Tebu Akibat Penurunan Tarif Impor Gula dari Rp 790/kg menjadi Rp 400/kg... 62 6.3.2 Analisis Sensitivitas Jika Tarif Impor Ditetapkan Rp 1.200/kg... 65 VII KESIMPULAN DAN SARAN... 68 7.1. Kesimpulan... 68 7.2. Saran... 69 DAFTAR PUSTAKA... 70 LAMPIRAN... 73 x

Nomor DAFTAR TABEL 1. Produksi, Luas Areal, dan Produktivitas Perkebunan Halaman Tebu Indonesia (2004-2008)... 2 2. Volume dan Nilai Impor Gula Pasir Indonesia... 2 3. Rekapitulasi Luas Areal dan Produksi Tanaman Perkebunan Propinsi Jawa Barat Tahun 2008... 4 4. Rekapitulasi Luas dan Produksi Perkebunan Tebu Propinsi Jawa Barat Menurut Kabupaten Tahun 2008... 5 5. Alokasi Biaya Input dan Output dalam Komponen Domestik dan Asing... 35 6. Matriks Analisis Kebijakan (PAM)... 36 7. Luas Lahan dan Produksi Tanaman Tebu Propinsi Jawa Barat... 45 8. Sebaran Responden Berdasarkan Kelompok Umur... 46 9. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan... 47 10. Sebaran Responden Berdasarkan Pengalaman Usahatani Tebu... 47 11. Sebaran Responden Berdasarkan Penguasaan Lahan... 48 12. Hasil Tabulasi PAM pada Kondisi Tarif Impor Rp 400/kg... 50 13. Indikator-indikator dari Analisis Matriks Kebijakan... 52 14. Tabel PAM untuk Kondisi Tarif Impor Rp 790/kg... 62 15. Indikator-indikator dari Analisis Matriks Kebijakan pada Kondisi Tarif Impor Rp 790/kg... 63 16. Tabel PAM untuk Kondisi Tarif Impor Rp 1.200/kg... 65 17. Indikator-indikator dari Analisis Matriks Kebijakan pada Kondisi Tarif Impor Rp 1.200/kg... 66 xi

Nomor DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Dampak Tarif Impor... 23 2. Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Dampak Penurunan Tarif Impor Gula terhadap Daya Saing Komoditi Tebu Lokal... 32 xii

Nomor DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Rekapitulasi Luas Lahan Perkebunan Tebu Wilayah Kerja PG Sindang Laut Tahun 2009... 73 2. Tabel Perhitungan Standart Convertion Factor (SCF) dan Shadow Price Exchange Rate (SER)... 75 3. Tabel Input-Output Fisik... 76 4. Tabel Budget Privat... 77 5. Tabel Budget Sosial pada Kondisi Tarif Impor Rp 400/kg... 78 6. Tabel Budget Sosial pada Kondisi Tarif Impor Rp 790/kg... 78 7. Tabel Budget Sosial pada Kondisi Tarif Impor Rp 1.200/kg... 79 8. Analisis Finansial dan Ekonomi pada Kondisi Tarif Impor Gula Rp 400/kg... 80 9. Analisis Finansial dan Ekonomi pada Kondisi Tarif Impor Gula Rp 790/kg... 81 10. Analisis Finansial dan Ekonomi pada Kondisi Tarif Impor Gula Rp 1.200/kg... 82 xiii

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan Indonesia sebagai komoditas khusus (special product) dalam forum perundingan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), bersama beras, jagung, dan kedelai. Dengan pertimbangan utama untuk memperkuat ketahanan pangan dan kualitas hidup di pedesaan, Indonesia berupaya meningkatkan produksi dalam negeri, termasuk mencanangkan target swasembada gula, yang sampai saat ini belum tercapai. Di dalam negeri, gula pasir (white sugar) merupakan salah satu dari sembilan bahan makanan pokok yang berfungsi sebagai sumber energi atau kalori bagi yang mengkonsumsinya. Di Indonesia gula pasir ini merupakan komoditas pangan strategis kedua setelah beras (Maria 2009). Masyarakat mengkonsumsi gula sebagai sumber kalori atau lebih utamanya sebagai pemanis maupun pengawet. Upaya untuk menjaga ketersediaan gula dalam negeri diwujudkan dalam salah satu program ketahanan pagan (revitalisasi pertanian). Ketahanan pangan pada tatanan nasional merupakan kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh peduduknya memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman, dan juga halal, yang didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya domestik. Secara kondisi geografis, ekologi, dan kesuburan lahan, Indonesia memiliki karateristik wilayah yang cocok untuk pengembangan perkebunan tebu. Walaupun tebu merupakan tanaman yang dapat tumbuh dengan baik di Indonesia, tetapi hingga saat ini produksi gula nasional masih belum cukup tersedia untuk masyarakat luas. Sampai saat ini Indonesia masih melakukan impor gula untuk memenuhi kebutuhan domestik. Dengan alasan tersebut, produksi tebu nasional seharusnya mendapat perhatian khusus bagi pemerintah mengingat permintaan masyarakat akan gula yang tinggi dan cenderung mengalami peningkatan. Tabel 1 memberikan gambaran mengenai perkembangan tanaman tebu di Indonesia. Secara umum, luas areal tanaman tebu terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2004, luas areal tanaman tebu di Indonesia adalah seluas 344.793 hektar. Dan pada tahun 2009, luas areal tanaman tebu terus naik hingga mencapai 1

443.832 hektar. Dengan demikian peningkatan luas areal lahan tanaman tebu pada tahun 2004 hingga 2009 adalah sebesar 28,7 persen. Peningkatan luas lahan perkebunan tebu di Indonesia diikuti dengan peningkatan produksi tebu dalam negeri. Pada tahun 2004, Indonesia mampu menghasilkan 2.051.644 ton. Dan pada tahun 2009 produksi tebu Indonesia mencapai 2.849.769 ton atau meningkat sebesar 38,9 persen dari tahun 2004. Tabel 1. Produksi, Luas Areal, dan Produktivitas Perkebunan Tebu Indonesia (2004-2008) Tahun Produksi Luas Areal Produtivitas (Ton) (Ha) (Ton/Ha) 2004 2.051.644 344.793 5,95 2005 2.241.742 381.786 5,87 2006 2.307.027 396.441 5,82 2007 2.623.786 427.799 6,13 2008 2.668.428 436.505 6,11 2009 2.849.769* 443.832* 6,42* Keterangan : * Angka Sementara Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan (2010) Peningkatan produksi tanaman tebu di Indonesia tidak sebanding dengan peningkatan produksi gula pasir (white sugar) untuk konsumsi di dalam negeri. Konsumsi gula nasional meningkat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk, pendapatan masyarakat, dan berkembangnya industri berbahan baku gula. Peningkatan konsumsi domestik tersebut belum dapat diimbangi dengan peningkatan produksi, sehingga untuk menutupi kekurangannya, pemerintah harus melakukan impor gula. Tabel 2. Volume dan Nilai Impor Gula Pasir Indonesia Tahun Volume (ton) Nilai (000 US$) 2004 1.119.790 262.813 2005 1.980.487 585.263 2006 1.405.942 537.130 2007 2.972.788 1.040.194 2008 983.944 352.385 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan (2009) 2

Pada tahun 2004, Indonesia mengekspor sekitar 1.119.790 ton gula pasir (white sugar) untuk memenuhi kebutuhan domestik dengan nilai ekspor mencapai 262.813 US$. Volume ekspor ini cenderung terus mengalami peningkatan hingga pada tahun 2007 volume ekspor gula pasir Indonesia mencapai 2.972.788 ton atau naik sebesar 15,47 persen dari tahun 2004 dengan nilai ekspor sebesar 1.040.194 US$. Pada tahun 2008 volume ekspor Indonesia mengalami penurunan yang signifikan, yaitu hanya sebesar 983.944 ton dengan nilai ekspor sebesar 352.385 US$. Penurunan volume ekspor ini disebabkan karena stok gula pada tahun sebelumnya yang masih tinggi serta meningkatnya produksi dan produktivitas perkebunan tebu dalam negeri. Sampai saat ini peran gula sebagai pemanis atau bahan baku dari industri dan rumah tangga belum tergantikan. Bahkan dengan meningkatnya jumlah penduduk, peningkatan pendapatan, dan meningkatnya industri yang berbahan baku gula, maka keberadaan gula memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan di dalam negeri. Namun beberapa faktor seperti masa tanam yang mencapai satu tahun, kebutuhan akan lahan yang luas, keberadaan pabrik gula, dan dibutuhkannya modal yang besar menyebabkan petani enggan untuk menanam tebu. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya memberikan perhatian yang besar terhadap pengembangan usahatani tebu domestik terutama terkait dengan pemberian insentif kepada petani. Dengan demikian, keberhasilan Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor gula bisa saja kembali terwujud. Sebagai salah satu komoditas strategis, pemerintah cukup banyak melakukan intrvensi terhadap komoditi gula. Salah satu bentuk intervesi pemerintah terhadap perdagangan gula adalah dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan No.150/PMK.011/2009 tentang penurunan tarif bea masuk atas impor gula. Peraturran tersebut menunjukkan penurunan tarif bea masuk gula pasir (white sugar) menjadi Rp 400 per kilogram dari sebelumnya Rp 790 per kilogram. Sebagai negara importir gula, perkembangan harga gula domestik sangat dipengaruhi oleh harga gula dunia. Dengan adanya penurunan tarif bea masuk impor gula akan menyebakan harga gula impor menjadi lebih murah dari harga sebelum tarif impor diturunkan. Selain itu, adanya penurunan tarif impor gula diduga dapat mengurangi daya saing komoditi tebu lokal yang sebagian besar 3

diolah menjadi gula kristal putih. Penurunan daya saing ini tentu saja mencerminkan penurunan terhadap potensi pengembangan perkebunan tebu. Diduga petani menjadi lebih enggan untuk menanam tebu karena menganggap keuntungan yang didapat akan menurun. Untuk menganalisis dampak kebijakan pemerintah tersebut maka penelitian ini dilakukan di salah satu sentra perkebunan tebu di Indonesia. 1.2. Perumusan Masalah Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (2009), sentra perkebunan tebu di Indonesia sebagian besar berada di Pulau Jawa dan Propinsi Lampung 1. Hampir sekitar 70 persen produksi tebu nasional di pasok dari Pulau Jawa. Salah satu sentra produksi tebu di Pulau Jawa adalah Propinsi Jawa Barat. Di propinsi ini tebu menjadi komoditi dengan produksi terbesar setelah teh dan kelapa. Menurut Dinas Perkebunan Jawa Barat pada tahun 2008 Propinsi Jawa Barat mampu menghasilkan 111.610 ton tebu dengan keberadaan luas lahan 23.420 hektar. Tabel 3. Rekapitulasi Luas Areal dan Produksi Tanaman Perkebunan Propinsi Jawa Barat Tahun 2008 Komoditas Luas (ha) Produksi (ton) PR PBS PBN PR PBS PBN Teh 52,63 21,23 26,08 29,91 30,40 113,88 Kelapa Dalam 175,11 662-146,66 207 146,86 Tebu 11,73-11,69 57,27-111.61 Kelapa sawit - 3,29 8,59-49,59 92,60 Karet 9,27 19,43 24,53 4,49 9,59 37,77 Keterangan : PR = Perkebunan Rakyat PBS = Perkebunan Besar Swasta PBN = Perkebunan Besar Negara Sumber : Dinas Perkebunan Jawa Barat (2009) Tabel 3 memperlihatkan bahwa sistem perkebunan tebu di Jawa barat secara umum terdiri dari dua sistem yaitu sistem Perkebunan Rakyat (PR) dan sistem Perkebunan Besar Negara (PBN), sedangkan Perkebunan Besar Swasta (PBS) tidak berkembang di propinsi ini. Dilihat dari segi luas areal dan jumlah produksi, Perkebunan Tebu Rakyat (PTR) di Jawa Barat memiliki luas lahan 11,73 ribu hektar dengan produksi 57,27 ribu ton, lebih besar sekitar 5 persen 2010] 1 Yogyo Susaptoyono. 2009. Lahan Tebu Naik 2010. www.jurnalnasional.com [26 Januari 4

dibandingkan dengan perkebunan negara yang mampu menghasilkan 54,34 ribu ton tebu. Perkebunan tebu di Jawa Barat tersebar dienam kabupaten yaitu kabupaten Cirebon, Subang, Majalengka, Indramayu, Kuningan, Garut, dan Sumedang. Kabupaten Cirebon merupakan kabupaten dengan produksi terbesar dengan tingkat produksi 43.544 ton dengan keberadaan luas lahan 8.681 hektar atau sekitar 39 persen produksi tebu Propinsi Jawa Barat berasal dari kabupaten ini. Tabel 4. Rekapitulasi Luas dan Produksi Perkebunan Tebu Propinsi Jawa Barat Menurut Kabupaten Tahun 2008 Perkebunan Perkebunan T otal Rakyat (PR) Negara (PBN) Kabupaten Luas (ha) Produksi Luas (ha) Produksi Luas (ha) Produksi (ton) (ton) (ton) Cirebon 8.681 43.544 - - 8.681 43.544 Subang 355 1.797 4.795 24.264 5.150 26.061 Majalengka 1.268 5.037 3.105 13.536 4.373 18.573 Indramayu 105 368 3.795 16.544 3.900 16.912 Kuningan 997 5.278 - - 997 5.278 Garut 165 500 - - 165 500 Sumedang 155 744 - - 155 744 Sumber : Dinas Perkebunan Jawa Barat (2009) Produksi dan konsumsi gula di Indonesia selama ini terpusat di Pulau Jawa. Pulau Jawa yang dihuni hampir 75 persen total penduduk Indonesia, diperkirakan menyumbang 80 persen total produksi gula nasional. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari keunggulan komperatif Pulau Jawa berkaitan dengan sifat tanah dan iklim yang relatif sesuai untuk pengembangan budidaya tebu. Keberadaan produksi gula terkonsentrasi di Pulau Jawa menghadapi ancaman dengan meningkatnya proses industrialisasi dan pertambahan penduduk (Santosa 2001). Menutut Santosa (2001) selama ini kendala yang dihadapi para petani tebu adalah rendahnya produktivitas tebu, diperlukannya biaya besar, serta waktu tunggu yang lama untuk memperoleh hasil sesuai diharapkan petani. Selain itu, persoalan berkaitan dengan persediaan modal usahatani sering membuat petani berada pada posisi lemah, baik saat melakukan usahatani maupun pascapanen. Di 5

samping itu, adanya kebijakan pemerintah yang mengurangi barier terhadap masuknya gula impor menjadi permasalahan tersendiri yang muncul dari segi offfarm bagi petani tebu. Pada akhir tahun 2009 terjadi kekurangan stok gula domestik. Menanggapi hal ini pemerintah memutuskan untuk melakukan impor gula kristal putih sebanyak 500.000 ton. Impor gula dilakukan pada bulan Februari hingga April 2010 dimana pada saat yang bersamaan terjadi lonjakkan harga gula dunia. Tingginya harga gula dunia pada saat impor gula dilakukan dikarenakan krisis gula yang menimpa India dan Brazil yang selama ini menjadi produsen gula dunia. Untuk mengurangi dampak tingginya harga gula impor pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui Peraturan Menteri Keuangan No.150/PMK. 011/2009 terkait dengan penurunan tarif bea masuk impor gula 2. Kebijakan penurunan tarif impor merupakan kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk melindungi konsumen dalam negeri dari tingginya harga gula nasional karena tingginya harga gula impor dan berkurangnya stok dalam negeri. Kurangnya stok gula domestik disebabkan karena musim giling tebu petani baru dimulai pada bulan Juni, sehingga untuk bulan Januari hingga Mei stok gula di dalam negeri rendah. Kebijakan yang bertujuan untuk melindungi konsumen tersebut diduga memiliki efek yang berlawanan terhadap daya saing gula domestik. Penurunan tarif impor diduga akan berpengaruh terhadap daya saing tebu petani dalam negeri. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis secara kuantitatif untuk mengetahui daya saing dan dampak penurunan tarif impor tersebut terhadap daya saing komoditi tebu lokal. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Cirebon tepatnya di wilayah kerja Pabrik Gula Sindang Laut yang merupakan salah satu sentra produksi tebu terbesar di Jawa Barat. Berdasarkan permasalahan di atas, maka perumusan masalah dalam kajian ini adalah : 1) Bagaimana daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) komoditi tebu yang dihasilkan oleh petani tebu di wilayah kerja Pabrik Gula Sindang Laut Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat? 2 Kevin Elfrianto. 22 Desember 2009. Penurunan Tarif Gula Diperpanjang : Pembentukan konsorsium agar harga tidak dipermainkan. Bisnis Indonesia[26 Januari 2010] 6

2) Bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing komoditas tebu di wilayah kerja Pabrik Gula Sindang Laut Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat? 3) Bagaimana dampak penurunan tarif impor gula terhadap daya saing komoditi tebu yang dihasilkan oleh petani tebu di wilayah kerja Pabrik Gula Sindang Laut Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat? 1.3. Tujuan Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1) Menganalisis daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) komoditi tebu yang dihasilkan oleh petani tebu di wilayah kerja Pabrik Gula Sindang Laut Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat. 2) Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing komoditi tebu di wilayah kerja Pabrik Gula Sindang Laut Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat. 3) Menganalisis dampak penurunan tarif impor gula terhadap daya saing komoditi tebu yang dihasilkan oleh petani tebu di wilayah kerja Pabrik Gula Sindang Laut Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat. 1.4. Manfaat Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1) Bagi penulis, penulisan skripsi ini diharapkan dapat menambah wawasan serta berguna untuk mengembangkan kemampuan menulis dalam menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap pengusahaan komoditi tertentu. 2) Tersedianya hasil kajian mengenai dampak penurunan tarif impor terhadap daya saing komoditi tebu. 3) Sebagai bahan masukan bagi pengambil kebijakan, instansi, dan lembaga terkait lainnya dalam merumuskan kebijakan daya saing komoditi diera globalisasi dan berbasis pada ekonomi lokal pada khususnya dan pemberdayaan masyarakat dan sumberdaya yang tersedia umumnya. 7

1.5. Ruang Lingkup Kajian ini, lebih difokuskan untuk mengukur tingkat daya saing komoditi tebu pada perkebunan tebu rakyat dan bukan pada perkebunan swasta dan perkebunan negara. Adapun yang menjadi batasan kajian ini adalah sebagai berikut : 1) Kajian ini difokuskan di wilayah kerja Pabrik Gula Sindang Laut Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat. 2) Pengukuran daya saing komoditi tebu hanya dilakukan pada level usahatani tebu untuk tanaman TRIS 1 dengan output akhir berupa gula kristal puih (white sugar). 3) Dilihat dari ruang lingkup, studi ini terbatas pada data yang tersedia dari berbagai aspek ekonomi pada usahatani tebu di lokasi penelitian. 8

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik Menurut Susila (2005), Indonesia merupakan negara kecil dalam perdagangan dunia dengan pangsa impor sebesar 3,57 persen dari impor gula dunia sehingga Indonesia pada dasarnya bersifat sebagai price taker. Kondisi ini menunjukan bahwa harga gula di tingkat enceran dipengaruhi oleh harga gula di pasar Internasional. Dengan kata lain, ketika terjadi guncangan pada sisi permintaan dan penawaran di pasar dunia maka akan mempengaruhi kondisi harga gula di dalam negeri. Oleh karena itu, lebih baik pasar gula di tingkat domestik tidak sepenuhnya dilepaskan pada mekanisme pasar Internasional. Hal ini untuk menjaga fluktuasi harga gula yang tajam di pasar domestik dengan berbagai kebijakan domestik yang dilakukan pemerintah. Namun kebijakan ini diharapkan tidak menimbulkan distorsi dalam pasar domestik yang berlebihan seperti terlalu besarnya perbedaan harga domestik dan harga internasional. Oleh karena itu, berbagai kebijakan domestik juga dapat mempengaruhi harga gula di pasar domestik. Menurut Hafsah (2002), penetapan harga gula yang dilakukan oleh pemerintah secara teoritis terdiri dari tiga pendekatan yaitu : 1. Hubungan antara harga input dengan harga output. Hubungan ini menunjukan bagaimana input seharusnya dialokasikan untuk mendapatkan tingkat produksi yang memberikan keuntungan yang maksimal. Hal ini menunjukkan bahwa harga output harus lebih besar daripada biaya produksi agar biaya produksi yang dihasilkan tidak mengalami kerugian dan petani dapat mengusahakan komoditi tersebut secara layak. 2. Hubungan antara produksi suatu komoditi tidak merugikan dibandingkan dengan mengusahakan alternatif komditi lain. Hubungan ini mengarah agar sumberdaya yang ada harus digunakan untuk memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan komparatif terbesar. Oleh karena itu, dengan mempengaruhi suatu harga komoditi terhadap 9

komoditi lain maka keseimbangan produksi antar komoditi dapat dipengaruhi. 3. Hubungan antar komoditi di pasar domestik dan pasar internasional. Hubungan ini mengambarkan tingkat efisiensi dalam memproduksi komoditi di dalam negeri dan sebagai kontrol agar harga komoditi tersebut tidak mahal dibandingkan dengan harga internasional. 2.2. Tataniaga Gula Adanya pengusahaan gula dengan sistem HGU (Hak Guna Usaha) dan sistem tebu rakyat menyebabkan gula yang dihasilkan terdiri dari gula milik pabrik gula dan gula milik petani. Pada akhir proses produksi gula, pada sistem tebu rakyat pola kemitraan dilakukan pembagian hasil gula, yaitu 66 persen milik petani dan 34 persen milik pabrik gula sebagai pihak pengelola. Pasca dihapuskannya monopoli Bulog, penjualan gula milik petani dan pabrik gula dilakukan dengan dua cara yaitu mekanisme lelang dan mekanisme jual lepas. Terdapat petani yang mendukung dan tidak mendukung dengan dibebaskannya sistem tataniaga atau pemasaran gula. Petani yang mempunyai lahan yang luas mendukung sistem tersebut karena mempunyai akses pasar yang luas sehingga tidak merasa kesulitan dalam menjual gulanya. Namun petani yang memiliki lahan yang sempit dan tidak memiliki akses pasar merasa kesulitan dalam menjual gulanya. Hal ini diperburuk apabila harga gula yang terjadi di pasar mengalami fluktuasi. 2.3. Permintaan Gula Domestik Konsumsi gula dibedakan menjadi dua yaitu konsumsi langsung dan konsumsi tidak langsung. Konsumsi langsung adalah konsumsi gula oleh rumah tangga. Konsumsi tidak langsung adalah konsumsi gula yang terkandung di dalam makanan dan minuman yang dihasilkan oleh industri pengolahan makanan dan minuman. Menurut Abidin (2000) meningkatnya konsumsi gula disebabkan oleh beberapa faktor : 1. Petumbuhan penduduk yang semakin meningkat menyebabkan konsumsi gula juga semakin meningkat baik yang dikonsumsi langsung maupun tidak langsung. 10

2. Perdagangan gula yang semakin meluas sejalan dengan penyebaran penduduk. Aktivitas perdagangan biasanya memerlukan sejumlah stok yang cukup untuk menjamin kelancaran aktivitas. Dengan semakin meluasnya pusat-pusat konsumen perkotaan, atau terbukanya daerahdaerah baru sebagai akibat perbaikan sistem transportasi maka permintaan gula untuk kepentingan perdagangan juga meningkat. 3. Berkembangnya industri makanan dan minuman yang menggunakan bahan baku gula. Semakin maju suatu negara, konsumsi gula secara tidak langsung cenderung terus meningkat. Persentase konsumsi tidak langsung tersebut di negara maju mencapai sekitar 60-70 persen seperti Uni Eropa. Bank Dunia mencatat bahwa tingkat konsumsi gula oleh industri makanan dan minuman di Indonesia diperkirakan hanya sekitar 21 persen dan konsumsi langsung oleh konsumen sebesar 79 persen. 2.4. Kebijakan Impor Gula Indonesia Saat ini Indonesia menjadi negara pengimpor gula walaupun pernah menjadi negara produsen gula nomor dua di dunia. Swasembada gula yang dicapai pada tahun 1984 ternyata tidak dapat dipertahankan. Pada tahun 1985 Indonesia kembai melakukan impor gula hingga sekarang. Dengan konsumsi gula dalam negeri yang besar, pemerintah terpaksa melakukan impor gula untuk memenuhinya. Pada tahun 1999 impor gula Indonesia mencapa 55 persen dari kebutuhan gula nasional yang jumlahnya mencapai 3,4 juta ton per tahun (Haryanto 1999). Berdirinya World Trade Organisation (WTO) dan Kesepakatan Uruguay atau General Agreement on Tariff and Trade (GATT) pada tahun 1994 menandakan dimulainya era perdagangan bebas dengan pengurangan secara bertahap berbagai bentuk hambatan tarif, non tarif, dan subsidi pertanian. Komiten Indonesia pada perundingan Uruguay Round mengandung tiga hal penting yaitu : 1. Keharusan Indonesia untuk membuka akses pasar terhadap gula impor sebesar 148.000 ton dengan bea masuk 60 persen. 2. Impor gula diatas jumlah tersebut dikenakan tarif sebesar 110 persen. 11

3. Bulog selaku State Trading Entreprise (STE) sesuai ketentuan GATT, tetap boleh berperan sebagai importir tunggal. Salah satu ketentuan yang harus dipenuhi yaitu Bulog harus mampu menjaga perbedaan harga domestik dan harga internasional tidak melebihi tarif yang diajukan sebesar 110 persen (Amang 1993). Krisis moneter pada tahun 1997 mempengaruhi perekonomian Indonesia termasuk industri gula. Melalui program pinjaman Internasional Monetary Fund (IMF), pemerintah melakukan kesepakatan dengan menandatangani Letter of Intent (LoI). IMF mensyaratkan tata niaga impor barang termasuk gula dibebaskan kepada mekanisme pasar. Untuk memenuhi kesepakatan tersebut pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan, antara lain : 1. SK Menperindag No.975/MPP/9/1998 : pemerintah membebaskan bea masuk gula dari 60 persen menjadi nol persen. 2. SK Menperindag No.505/MPP/kep/X/1998 : Impor gula dibebaskan kepada swasta tanpa bea masuk. 3. SK Menperindag No.364/MPP/kep/8/1999 : Impor gula hanya dilakukan oleh pabrik gula di Pulau Jawa untuk gula kasar dan gula putih untuk importir podusen. 4. SK Menperindag No.717/MPP/kep/12/1999 tanggal 28 Desember 1999 : Pencabutan tata niaga impor gula dimana pemerintah kembali mengenakan bea masuk impor gula sebesar 25 persen, berlaku sejak 1 Januari 2000. Berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah mendorong semakin besarnya jumlah gula impor ke Indonesia. 2.5. Penelitian Terdahulu Sunandar (2007) melakukan penelitian mengenai analisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap pengusahaan komoditas karet alam. Hasil pada matriks kebijakan pemerintah menunjukkan bahwa penguasaan karet alam di Sumatera Selatan mempunyai daya saing yang tercermin dari nilai Rasio Biaya Privat (Private Cost Ratio/PCR) dan keuntungan privat sebesar Rp 6.903,94 per kilogram. Nilai PCR yang kurang dari satu menunjukkan bahwa karet alam memiliki keunggulan kompetitif dan secara privat menguntungkan. Keunggulan 12

komparatif tercermin dari nilai Rasio Sumberdaya Domestik (Domestic Resources Ratio/DRC) yang kurang dari satu dan keuntungan sosial yang bernilai positif yaitu Rp 2.782,39 per kilogram. Dampak kebijakan pemerintah dalam bidang input pengusahaan karet alam di Sumatera Selatan ditunjukan oleh indikator Transfer Input (IT) dan Koefisisen Proteksi Input (Nominal Protection Coefisien on Tradable Input/NPCI). Berdasarkan nilai kedua indikator tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada penguasaan komoditas karet di Sumatera Selatan terdapat kebijakan pemerintah atau distorsi pasar pada input tradable. Kebijakan tersebut menguntungkan produsen karet dan merugikan produsen input tradable. Kebijakan output terlihat dari indikator Tranfer Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (Nominal Protection Coefisien on Output/NPCO). Hasil analisis menunjukkan bahwa harga output karet di pasar domestik lebih rendah dibandingkan harga yang berlaku di pasar internasional. Kebijakan input-output ditunjukkan oleh nilai Koefisien Proteksi Efektif (EPC), Tranfer Bersih (NT), Koefisien Keuntungan (PC), dan rasio subsidi produsen. Berdasarkan analisis dari nilai indikator yang dihasilkan dapat diketahui bahwa petani karet memperoleh sedikit manfaat subsidi sebagai akibat adanya kebijakan pemerintah yang kurang melindungi petani. Di samping itu, petani karet di Sumatera Selatan mendapatkan keuntungan lebih tinggi dengan adanya kebijakan pemerintah. Penelitian mengenai daya saing karet penting untuk dikaji sebagai tinjauan pustaka karena karet merupakan komoditas unggulan perkebunan Indonesia yang menyumbang devisa terbesar kedua dari subsektor perkebunan. Kondisi perkebunan Indonesia yang hampir sama mendasari asumsi bahwa daya saing tebu Indonesia sebagai komoditas perkebunan tidak akan jauh berbeda. Rahmiati (2007) menganalisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap pengusahaan manggis dengan sistem perkebunan pada CV Buah Asi di Kecamatan Sukamakmur Bogor. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengusahaan manggis dengan sistem perkebunan pada CV Buah Asi tidak memiliki daya saing. Hal ini tercermin dari nilai keuntungan privat dan ekonomi yang bernilai negatif. Salah satu penyebabnya adalah dari 2000 pohon manggis yang ada, hanya 10 persen saja yang telah berbuah. Oleh karena itu, biaya yang dikeluarkan lebih besar daripada penerimaannya. Indikator lain yang 13

mencerminkan pengusahaan manggis di lokasi penelitian tidak berdaya saing baik dari keuntungan komparatif maupun kompetitifnya adalah rasio biaya dan rasio biaya sumberdaya domestik. Hasil analisis mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah lebih meningkatkan efisiensi produsen dalam berproduksi manggis. Dampak kebijakan pemerintah terhadap input dianalisis dari indikator transfer input, transfer faktor, dan koefisien nominal proteksi input efektif. Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah atau distorsi pasar pada input tradable menguntungkan produsen manggis yang menggunakan input tersebut. Begitu pula dengan input domestik, tidak ada kebijakan pemerintah yang melindungi produsen input domestik. Kebijakan input dan output mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah dalam melindungi produsen manggis berjalan dengan efektif. Selain itu, kebijakan pemerintah yang ada menyebabkan produsen manggis membayar biaya produksi lebih rendah dari harga ekonominya. Penelitian yang dilakukan Anapu et al. (2003) yang diacu dalam Pearson et al. (2004) mengenai Dampak Kebijakan Tarif Impor Beras di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, membagi responden ke dalam tiga kelompok berdasarkan luas lahan. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa ketiga sistem usahatani yang menjadi fokus penelitian menerima keuntungan privat positif, yang sebagian besar disebabkan oleh kebijakan tarif impor. Keuntungan sosial menjadi negatif ketika biaya sosial lahan yang didefinisikan sebagai keuntungan sosial dari komoditas alternatif terbaiknya diperhitungkan. Hal ini bisa terjadi karena usahatani kacang tanah, memiliki keuntungan sosial yang lebih besar dari padi. Kabupaten Minahasa memiliki keunggulan komparatif dalam usahatani kacang tanah, dan kebijakan perberasan saat ini, yang dimaksudkan sebagai insentif bagi usahatani padi, mendistorsi sumberdaya sehingga jauh dari alokasi efisiennya. Selain itu Wiendiyati et al. (2002) yang diacu dalam Pearson et al. (2004) juga melakukan penelitian mengenai Dampak Kebijakan Tarif Impor dan Biaya Transportasi Antar Pulau terhadap Keuntungan Usahatani Kedelai di Kabupaten Ngada, Nusa Tengara Timur. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak intervensi pemerintah, yaitu berupa pemberlakuan tarif terhadap kedelai impor untuk merangsang produksi domestik. Analisis PAM menunjukkan bahwa 14

usahatani kedelai baik secara privat maupun sosial. Petani memiliki insentif yang tinggi untuk memproduksi kedelai, dan kedelai memiliki keunggulan kompetitif atas komoditas alternatifnya kacang merah. Kedelai juga menguntungkan secara sosial menunjukkan bahwa Kabupaten Ngada lebih memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi kedelai dibanding kacang merah. Selain itu, tingkat keuntungan yang positif menunjukkan bahwa penerapan tarif impor kedelai tidak diperlukan, dan hanya menciptakan distorsi bagi sektor pertanian. Koerdianto (2008) juga melakukan penelitian mengenai Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Sayuran Unggulan (Kasus Kecamatan Ciwidey Kabupaten Bandung dan Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat). Hasil analisis dengan menggunakan PAM menunjukkan bahwa usahatani tomat dan cabe merah di kedua tempat penelitian menguntungkan baik secara finansial maupun ekonomi. Dampak kebijakan output terhadap usahatani tomat dan cabe merah menyebabkan usahatani tomat dan cabe merah di kedua tempat penelitian menerima harga aktual output lebih kecil dari harga sosialnya. Hasil analisis terhadap kebijakan input menunjukan bahwa pemerintah memberikan subsidi atas input asing (tradable) dan domestik (nontradable), sehingga petani menerima harga aktual input tersebut lebih murah dari yang seharusnya dibayarkan jika tanpa adanya kebijakan. Secara umum kebijakan pemerintah terhadap input-output yang ada lebih menguntungkan usahatani kedua komoditas tersebut di Kecamatan Lembang. Persamaan penelitian ini dengan ketiga penelitian diatas adalah penggunaan Policy Analysis Matriks (PAM) untuk menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing komoditi. Perbedaannya terletak pada komoditi yang menjadi objek penelitian serta lokasi penelitian. Sedangkan penelitian mengenai daya saing tebu pernah dilakukan oleh Saptana et al. (2002) dengan judul Efisiensi dan Daya Saing Usahatani Tebu dan Tembakau di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Berdasarkan analisis dengan menggunakan Policy Analysis Matriks (PAM), diketahui biaya usahatani dan keuntungan menunjukkan bahwa usahatani tebu pada berbagai tipe irigasi dan sistem tanam memberikan keuntungan yang cukup memadai, namun masih lebih kecil dari keuntungan normal atau 20 persen dari biaya produksi. Kebijakan yang 15

terlalu protektif terhadap industri gula yang tidak dibarengi peningkatan efisiensi dan produktivitas di semua lini agribisnis dalam industri gula akan bersifat kontra produktif. Usahatani tebu baik di pedesaan contoh Kediri, Ngawi, dan Klaten tidak memiliki keunggulan komparatif dengan koefisien DRC yang lebih besar dari satu, namun masih memiliki keunggulan kompetitif yang ditunjukkan koefisien PCR yang lebih kecil dari satu. Namun keunggulan kompetitif yang dimiliki petani tebu lebih disebabkan oleh kebijakan yang cenderung protektif. Implikasinya adalah apabila tanaman tebu akan terus dikembangkan maka perlu adanya terobosan dalam menghasilkan varietas unggul bermutu, penggunaan pupuk berimbang, peningkatan efisiensi dalam industri pengolahan melalui manajemen standarisasi mutu, peningkatan efisiensi dalam distribusi melalui pengurangan berbagai distorsi yang ada serta melalui kebijakan pemerintah yang kondusif. Meskipun terdapat beberapa persamaan antara penelitian yang dilakukan oleh Saptana et al. (2002), tetapi penelitian ini lebih menekankan pada efek kebijakan penurunan tarif impor gula terhadap daya saing komoditi tebu. Berbedanya lokasi penelitian juga dapat memungkinkan perolehan hasil yang berbeda pula. 16

III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Analisis Daya Saing Dalam sistem perekonomian dunia yang semakin terbuka, faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan dunia (ekspor dan impor) dapat dilihat dari sisi permintaan dan penawaran (Bhagwati 1987; Krugman & Obstfeld 1991; Salvatore 1995, diacu dalam Malian 2003). Sisi permintaan menunjukan bahwa ekspor dipengaruhi oleh harga ekspor, nilai tukar riil, pendapatan negara importir, kebijakan deviasi, dan kebijakan perdagangan negara pesaing. Sementara dari sisi penawaran, ekspor dipengaruhi oleh harga ekspor, harga domestik, nilai tukar riil, kapasitas produksi, impor bahan baku, dan kebijakan deregulasi (Malian 2003). Disamping itu, perbedaaan sumberdaya, teknologi, dan efisiensi antara negara akan mempengaruhi biaya produksi dan daya saing suatu komoditi di pasar internasional. Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi sesuatu dengan biaya yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional kegiatan produksi tersebut menguntungkan (Simanjuntak 1992). Menurut Kadariah (1999), efisien atau tidaknya produksi suatu yang bersifat tradable tergantung pada daya saingnya di pasar dunia. Artinya apakah biaya produksi riil yang terdiri dari pemakaian sumber-sumber domestik cukup rendah sehingga harga jualnya dalam rupiah tidak melebihi tingkat harga batas yang relevan (border prices). Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan. Keuntungan dapat dilihat dari dua sisi yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sementara itu, efisiensi pengusahaan dapat dilihat dari dua indikator yaitu keunggulan komparatif dan keungulan kompetitif. Konsep daya saing yang menggunakan pendekatan keunggulan komparatif dan kompetitif digunakan untuk memberikan masukan dalam perencanaan dan pengembangan usahatani. Usahatani tebu dengan produk tebu sebagai komoditi komersial, dimana 17

keunggulan komparatif digunakan untuk menganalisis efisiensi dari sisi ekonomi sedangkan keunggulan kompetitif untuk menganalisis efisiensi dari sisi finansial. Konsep keunggulan komparatif seringkali digunakan untuk menerangkan spesialisasi suatu negara dalam memproduksi suatu barang dan jasa. Selain itu konsep ini juga digunakan untuk wilayah yang lebih kecil seperti kabupaten atau propinsi. Konsep ini pertama kali diterapkan oleh David Ricardo (1817) yang dikenal dengan nama hukum keunggulan komparatif (the law of comparative advantage) atau disebut juga model Ricardian. Dalam model ini disebutkan bahwa sekalipun suatu negara mengalami kerugian atau ketidakunggulan absolut dalam memproduksi sesuatu, jika dibandingkan dengan negara lain, namun perdagangan yang saling menguntungkan masih dapat berlangsung. Negara yang kurang efisien akan berspesialisasi dalam produksi dan mengekspor yang mempunyai keunggulan komparatif, maka negara tersebut sebaiknya mengimpor yang mempunyai kerugian absolute lebih besar. Berdasarkan inilah negara tersebut akan mengalami kerugian komparatif (Salvator 1994). Model Ricardian ini mengasumsikan bahwa tenaga kerja merupakan satusatunya faktor roduksi. Teori nilai tenaga kerja ini menyatakan bahwa nilai atau harga dari komoditi sama dengan atau dapat diperoleh dari jumah waktu tenaga kerja yang dipakai untuk memproduksi. Hal ini secara tidak langsung menyatakan bahwa (1) hanya tenaga kerjalah faktor produksi atau tenaga kerja digunakan dalam proporsi yang tetap sama dalam produksi semua, dan (2) tenaga kerja homogen. Teori nilai tenaga kerja ini merupakan satu-satunya faktor produksi, juga tidak digunakan dalam proporsi yang tetap sama dalam produksi semua, dan (2) tenaga kerja tidak homogen. Perbedaan dan perubahan pada sumberdaya yang dimiliki suatu negara atau daerah mengakibatkan keungguan komparatif secara dinamis akan mengalami perkembangan. Pearson et al. (2004) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi keunggulan komparatif, yaitu : 1) Perubahan dalam sumberdaya alam 2) Perubahan faktor-faktor biologi 3) Perubahan harga input 4) Perubahan teknologi 5) Biaya transportasi yang lebih murah dan efisien 18

Melihat faktor-fakor yang dapat mempengaruhi keunggulan komparatif di atas, maka sebenarnya keunggulan komparatif merupakan suatu hal yang tidak stabil dan dapat diciptakan. Keadaan ini mengacu pada kemampuan mengelola secara dinamis dari suatu wilayah yang mempunyai keterbatasan sumberdaya dengan dukungan tenaga kerja, modal, serta dari segi pengolahannya. Keunggulan kompetitif (competitive advantage) merupakan alat untuk mengukur daya saing suatu aktivitas berdasarkan pada kondisi perekonomian aktual. Adanya konsep keunggulan kompetitif didasarkan pada asumsi bahwa perekonomian yang tidak mengalami distorsi sama sekali sulit ditemukan di dunia nyata (Salvator 1994). Pada awalnya konsep keunggulan kompetitif dikembangkan oleh Porter pada tahun 1980 dengan bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan perdagangan internasional yang ada. Simatupang (1995) dalam Siregar (2009) menyebutkan, secara operasional keunggulan kompetitif dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk memasok barang dan jasa pada waktu, tempat, dan bentuk yang diinginkan konsumen, baik di pasar domestik maupun di pasar internasional, pada harga yang sama atau lebih baik dari yang ditawarkan pesaing, seraya memperoleh laba paling tidak sebesar ongkos penggunaan (opportunity cost) sumberdaya. Selanjutnya, agribisnis dan pembangunan pertanian yang berorientasi pada peningkatan produksi dengan harga serendah mungkin atau pembangunan pertanian yang berwawasan produk sudah tidak sesuai dengan keadaan pasar global saat ini. Untuk mengantisipasi keadaan pasar, usaha produksi petanian pada saat ini harus lebih berorientasi kepada konsumen atau lebih berwawasan menjual. Kondisi ini menyebabkan keunggulan kompetitif tidak saja ditentukan oleh keunggulan komparatif (menghasilkan barang lebih murah dari pesaing), tetapi juga ditentukan oleh kemampuan untuk memasok produk dengan atribut (karakter) yang sesuai dengan keinginan konsumen. Analisis keunggulan kompetitif merupakan alat untuk mengukur keuntungan privat (private profitability) atau kelayakan dari suatu aktivitas yang dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai tukar uang resmi yang berlaku. Dalam hal ini, suatu negara akan dapat bersaing di pasaran internasional jika negara tersebut memiliki keunggulan 19

kompetitif dalam menghasilkan suatu produk dengan asumsi adanya sistem pemasaran dari intervensi pemerintah. Kondisi ini mengakibatkan suatu negara yang tidak memiliki keunggulan komparatif ternyata memiliki keunggulan kompetitif. Sehingga pemerintah memberikan proteksi terhadap yang diproduksi pada aktivitas ekonomi tersebut, misalnya melalui jaminan harga, kemudian perizinan dan kemudahan fasilitas lainnya (Sudaryanto dan Simatupang 1993). Walaupun demikian konsep kenggulan kompetitif ini bukan merupakan suatu konsep yang sifatnya saling menggantikan terhadap keunggulan komparatif, akan tetapi merupakan suatu konsep yang sifatnya saling melengkapi. 3.1.2. Teori Perdagangan Internasional Menurut Salvator (1994), kegiatan perdagangan yang terjadi antar negara menunjukan bahwa negara-negara tersebut sudah memiliki sistem perekonomian yang terbuka. Perdagangan ini akibat adanya usaha untuk memaksimumkan kesejahteraan negara dan diharapkan dampak kesejahteraan tersebut dapat diterima oleh negara pengekspor dan negara pengimpor. Alasan utama yang menyebabkan negara-negara melakukan perdagangan internasional adalah : 1) Adanya perbedaan dalam pemilikan sumberdaya dan cara pengolahannya, sehingga negara-negara akan memperoleh keuntungan melalui suatu pengaturan dengan cara yang berbeda secara relatif terhadap perbedaan sumber daya tersebut. 2) Negara-negara yang melakukan perdagangan mempunyai tujuan untuk mencapai economic of scale dalam produksi, artinya suatu negara akan lebih efisien jika hanya menghasilkan sejumlah barang tertentu tetapi dengan skala yang lebih besar dibandingkan dengan jika memproduksi berbagai jenis-jenis barang. Seluruh alasan yang mendasari terjadinya perdagangan internasional bertitik tolak dari konsep keunggulan komparatif. Suatu negara akan mengekspor yang produksinya memerlukan faktor produksi yang secara relatif berlimpah. Dengan demikian perdagangan mendorong penggunaan sumberdaya ke dalam sektor-sektor yang mempunyai keunggulan komparatif. Banyak ahli berpendapat bahwa ekspor suatu komoditi terjadi karena adanya penawaran domestik yang 20

berlebih (excess supply), yang disebabkan harga relatif domestik di negara pengekspor lebih rendah dibandingkan dengan harga negara lain dan sebaliknya suatu negara akan melakukan impor suatu karena adanya permintaan domestik yang berlebih (excess demand) atau karena suatu negara tidak mampu memenuhi permintaan masyarakat terhadap produk terentu. 3.1.3. Kebijakan Tarif Impor Kebijakan diartikan sebagai tujuan dan metode yang digunakan pemerintah untuk mempengaruhi variabel ekonomi seperti harga, penerimaan nasional, nilai tukar, dan sebagainya. Kebijakan pemerintah ditetapkan dengan tujuan untuk meningkatkan ekspor atau sebagai usaha untuk melindungi produk dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk luar negeri. Kebijakan tersebut biasanya diberlakukan untuk input dan output yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara harga input dan harga output yang diminta produsen (harga privat) dengan harga yang sebenarnya terjadi jika dalam kondisi perdagangan bebas (harga sosial). Kebijakan yang ditetapkan pemerintah pada suatu komoditi terdiri dari dua bentuk yang berupa subsidi dan hambatan perdagangan. Kebijakan subsidi terdiri dari subsidi positif subsidi negatif (pajak), sedangkan hambatan perdagangan berupa tarif dan kuota (Salvator 1994). Menurut Salvator (1994) subsidi merupakan pembayaran dari atau untuk pemerintah. Pembayaran dari pemerintah disebut subsidi positif dan pembayaran untuk pemerintah disebut subsidi negatif (pajak). Subsidi bertujuan untuk melindungi konsumen dan produsen dengan menciptakan harga domestik agar berbeda dengan harga internasional. Kebijakan perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada impor atau ekspor sesuatu, yang berupa pajak dan kuota dengan maksud untuk menurunkan kuantitas barang yang diperdagangkan secara internasional (tradable goods) dan untuk menciptakan perbedaan harga di pasar internasional dengan harga di pasar domestik. Terdapat dua bentuk kebijakan perdagangan yaitu kebijakan ekspor dan kebijakan impor. Kebijakan ekspor ditujukan untuk melindungi konsumen dalam negeri melalui penetapan harga domestik yang lebih rendah dari harga dunia, yaitu dengan penetapan pajak ekspor baik per unit barang yang diekspor maupun secara keseluruhan. Kebijakan impor dilakukan untuk melindungi produsen dalam 21

negeri melalui penetapan harga pasar domestik yang lebih rendah dari harga pasar dunia, sehingga kebijakan yang dilakukan adalah berupa pengenaan tarif impor atau kuota impor. Menurut Paramatha et al. yang diacu dalam Dhiany (2008), penetapan kebijakan pertanian berpengaruh terhadap para pelaku ekonomi, seperti: 1) Kebijakan harga input akan berdampak pada petani 2) Kebijakan harga output akan berdampak pada petani, pedagang besar, dan pedagang eceran 3) Kebijakan produksi akan berdampak pada kuantitas output, input, dan harga input 4) Kebijakan konsumsi akan berdampak pada permintaan suatu komoditi 5) Kebijakan perdagangan akan berdampak pada ekspor bersih, impor bersih, dan neraca pembayaran 6) Kebijakan distribusi akan berdampak pada identifikasi surplus konsumen, surplus petani, dan biaya penyetor pajak 7) Kebijakan sosial akan berdampak pada identifikasi penerimaan dan pembuat kebijakan Tarif impor secara teori dapat meningkatkan harga barang domestik pada negara pengimpor. Akibatnya untuk produsen di negara pengimpor secara relatif akan mengalami kerugian sedangkan para produsen di negara pengimpor akan memperoleh keuntungan. Menurut Salvator (1994), dampak pemberlakuan tarif impor terhadap konsumsi (Consumtion Effect of The Tarif) yakni berkurangnya konsumsi domestik. Dampak pengenaan tarif terhadap produksi adalah peningkatan produk domestik khususnya terhadap komoditi yang semula lebih banyak diimpor. Dampak pengenaan tarif terhadap perdagangan yaitu turunnya impor akibat kenaikan harga di negara pengimpor. Jika P1 adalah harga barang sebelum diterapkannya tarif impor dan P2 adalah harga barang setelah diterapkannya tarif impor maka dampak-dampak akibat pemberlakuan tarif impor dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini. 22

Gambar 1. Dampak Tarif Impor Sumber : Monke and Pearson (1998) Pada Gambar 1, jika harga berada pada P1 maka tingkat konsumsi produk di negara pengimpor adalah sebesar Q4 dengan tingkat produksi domestik di negara tersebut adalah sebesar Q1. Artinya negara pengimpor akan mengimpor komoditi dari negara lain sebanyak Q4-Q1. Barang yang diimpor memiliki harga yang lebih rendah dari harga barang domestik akan menyebabkan barang domestik menjadi kalah bersaing dengan harga barang impor. Oleh karenanya salah satu langkah yang diambil oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan menetapkan tarif impor. Tarif impor akan menyebabkan harga barang impor menjadi meningkat hingga P2. Pada tingkat harga ini konsumsi dalam domestik akan mengalami penurunan menjadi Q3. Kenaikan harga ini juga akan menyebabkan produksi di dalam negeri negara pengimpor menjadi meningkat menjadi Q2 dan jumlah barang impor pun menurun menjadi Q3-Q2. Dengan demikian dampak pemberlakuan tarif impor terhadap konsumsi domestik bersifat negatif. Namun secara keseluruhan pemberlakuan tarif impor akan merugikan perdagangan karena akan ada biaya sosial yang hilang sebesar segitga ABF dan CDE. 3.1.4. Metode Penentuan Harga Bayangan Analisis keunggulan komparatif dalam konsep daya saing menggunakan harga bayangan, sedangkan analisis keunggulan kompetitif menggunakan harga 23