BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. standar dan ekspektasi individu tersebut (WHO, 1993). Pengukuran kualitas

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kehidupan manusia (Ramawati, 2011). Kemampuan merawat diri adalah suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sosialisasi merupakan suatu proses di dalam kehidupan seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang ringan sampai efek yang berat (Dickinson et al., 2007).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sakit dan dirawat di rumah sakit khususnya bagi anak-anak dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dikarenakan pada anak retardasi mental mengalami keterbatasan dalam

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa dapat dilakukan perorangan, lingkungan keluarga, lingkungan

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan disebutkan bahwa setiap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terhadap kualitas hidup anak, termasuk pada anak dengan Leukemia Limfoblastik

BAB I PENDAHULUAN. berkelanjutan terhadap golongan pelajar ini dapat menyebabkan pola tidur-bangun. berdampak negatif terhadap prestasi belajarnya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kebutuhan dasar manusia merupakan unsur-unsur yang dibutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Gangguan jiwa atau mental menurut DSM-IV-TR (Diagnostic and Stastistical

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEMANDIRIAN DALAM ACTIVITY of DAILY LIVING (ADL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Bp. J DENGAN GANGGUAN KONSEP DIRI: HARGA DIRI RENDAH DI RUANG SENA RUMAH SAKIT JIWA SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hasil survei Badan Pusat Statistik pada tahun 2010 menyatakan bahwa dari

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) di dalam satu atau lebih. fungsi yang penting dari manusia (Komarudin, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Wong (2009) Masa kanak-kanak awal yaitu pada usia 3 6 tahun

PENGARUH TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK SOSIALISASI (TAKS) TERHADAP TINGKAT DEPRESI DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. siklus kehidupan dengan respon psikososial yang maladaptif yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan anak dibawah lima tahun (Balita) merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan penyakit dengan angka kematian tinggi. Data Global

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Anak usia prasekolah adalah

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. jika seringkali pasien dan keluarganya menunjukkan sikap yang agak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sosial, kesehatan jiwa maupun persepsi kesehatan umum (Chan et al, 2006 cit

BAB I PENDAHULUAN. kematian nomor dua di dunia setelah penyakit jantung. Di tahun 2008, stroke dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kecemasan merupakan perasaan yang timbul akibat ketakutan, raguragu,

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai anak yang normal. Melihat anak anak balita tumbuh dan. akan merasa sedih. Salah satu gangguan pada masa kanak kanak yang

BAB I PENDAHULUAN. yang meliputi bidang ekonomi, teknologi, politik dan budaya serta bidang-bidang lain

BAB I PENDAHULUAN. tercatat paling pesat di dunia dalam kurun waktu Pada tahun 1980

BAB I PENDAHULUAN. adanya bahaya (Mulyono, 2008). Beberapa kasus kecemasan (5-42%),

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya angka harapan hidup penduduk adalah salah satu indikator

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. World Health Organitation (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya gangguan penyakit pada lansia. Salah satu gangguan psikologis

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan

BAB I PENDAHULUAN. perilaku, komunikasi dan interaksi sosial (Mardiyono, 2010). Autisme adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1. Latar belakang. Penyakit tidak menular (PTM) seperti penyakit jantung, stroke, kanker,

BAB I PENDAHULUAN. telah mewujudkan hasil yang positif di berbagai bidang, yaitu adanya. dan bertambah cenderung lebih cepat (Nugroho, 2000).

A. Latar belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. Retardasi mental adalah suatu gangguan yang heterogen yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. wanita dan penyebab kematian tertinggi pada wanita umur tahun (Bland,

BAB I PENDAHULUAN. perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah (Supartini, 2004). Hospitalisasi

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau sedikit dan fren = jiwa) atau tuna mental (Maramis, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan akhir-akhir

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengalami peningkatan, terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kehamilan merupakan hal yang diharapkan dari setiap pasangan suami istri.

BAB I PENDAHULUAN. karena adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana. tidak mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain,

BAB I PENDAHULUAN. belumlah lengkap tanpa seorang anak. Kehadiran anak yang sehat dan normal

BAB I PENDAHULUAN. Anak membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya dalam

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Setiap anak diharapkan tumbuh dan berkembang secara sehat, baik fisik,

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa pada manusia. Menurut World Health Organisation (WHO),

TERAPI BERMAIN : GAMES PENGARUHI TINGKAT ADAPTASI PSIKOLOGIS ANAK USIA SEKOLAH

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Usia toddler merupakan usia anak dimana dalam perjalanannya terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Kesehatan merupakan hal penting yang diinginkan. setiap manusia. Menurut World Health Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masalah kesehatan masyarakat di dunia maupun di Indonesia. Di dunia, 12%

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan dinamisnya kehidupan masyarakat. Masalah ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan di berbagai bidang khususnya di bidang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan seseorang yang memiliki rentang usia sejak anak dilahirkan

BAB I PENDAHULUAN. fisilogis organ tubuhnya (Wahyunita, 2010). Banyak kelainan atau penyakit

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masa bayi, lalu berkembang menjadi mandiri di akhir masa kanak-kanak, remaja,

BAB 1 PENDAHULUAN. sisiokultural. Dalam konsep stress-adaptasi penyebab perilaku maladaptif

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tidak lazim atau tidak sesuai dengan norma lingkungan dimana mereka berada.

BAB I PENDAHULUAN. orang tua. Anak bisa menjadi pengikat cinta kasih yang kuat bagi kedua orang

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. Keadaan ini sangat besar pengaruhnya terhadap kesehatan jiwa seseorang. yang berarti akan meningkatkan jumlah pasien gangguan jiwa.

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. utama dari penyakit degeneratif, kanker dan kecelakaan (Ruswati, 2010). Salah

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

BAB l PENDAHULUAN. peningkatan jumlah anak di Indonesia. Hal ini memberi konsekuensi

NASKAH PUBLIKASI. Disusun oleh : Diah Luki Yunita Sari J

BAB 1 PENDAHULUAN. Anak merupakan masa depan bangsa dan aset negara yang perlu mendapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ialah melihat usia harapan hidup penduduknya. Dari tahun ke tahun usia harapan

BAB I PENDAHULUAN. Orang tua merupakan sosok yang paling terdekat dengan anak. Baik Ibu

BAB I PENDAHULUAN. otak secara akut dan dapat menimbulkan kematian (World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang Undang No. 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa, mampu memberikan kontribusi pada komunitasnya.

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECEMASAN DENGAN KEMANDIRIAN PELAKSANAAN AKTIVITAS HARIAN PADA KLIEN SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah kesehatan jiwa tidak lagi hanya berupa gangguan jiwa yang berat

Jawa Barat, sebanyak 20,0% dan terendah di Provinsi Kepulauan Riau, sebesar 5,1% (Riskesdas, 2007). Prevalensi gangguan mental emosional di Provinsi

BAB I PENDAHULUAN. unipolar, penggunaan alkohol, gangguan obsesis kompulsif (Stuart & Laraia,

BAB I PENDAHULUAN. membangun manusia seutuhnya yang dapat dilakukan melalui berbagai. dimasa yang akan datang, maka anak perlu dipersiapkan agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. lain dan kelak dapat hidup secara mandiri merupakan keinginan setiap orangtua

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Kanker payudara merupakan jenis kanker yang paling banyak ditemui

BAB I PENDAHULUAN. kronis dimana tulang rawan sendi lutut mengalami degenerasi secara perlahan.

BAB I PENDAHULUAN. melainkan mengandung berbagai karakteristik yang positif yang. mencerminkan kedewasaan kepribadiannya. Menurut data WHO pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. dan kapan saja, yang dapat menimbulkan kerugian materiel dan imateriel bagi

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berfikir (cognitive),

BAB I PENDAHULUAN. melihat sisi positif sosok manusia. Pendiri psikologi positif, Seligman dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Remaja menurut Organisasi Kesegatan Dunia (WHO) adalah individu yang

BAB I PENDAHULUAN. faktor genetik yang menjadi potensi dasar dan faktor lingkungan yang. hambatan pada tahap selanjutnya (Soetjiningsih, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan dengan laki-laki, yaitu 10,67 juta orang (8,61 % dari seluruh penduduk

BAB I PENDAHULUAN. sehat jasmani dan rohani. Namun pada kenyataannya tidak semua anak lahir

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. lansia di Indonesia yang berusia 60 tahun ke atas sekitar 7,56%. Gorontalo

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kualitas hidup merupakan persepsi individu terhadap kedudukannya dalam sistem nilai dan budaya dimana dia tinggal yang berhubungan dengan tujuan, standar dan ekspektasi individu tersebut (WHO, 1993). Pengukuran kualitas hidup digunakan untuk meningkatkan kesehatan anak dan untuk menilai pelayanan kesehatan yang diberikan (Varni, Limbers & Burwinkle, 2007). Rendahnya kualitas hidup dapat menimbulkan berbagai masalah kehidupan, seperti menghambat pekerjaan, tidak dapat mempertahankan aktivitas sehari-hari, kurangnya kemandirian, dan berdampak pada kualitas hidup individu baik sekarang maupun di masa depan (Centers for Disease Control and Prevention, 2003). Beberapa populasi memiliki resiko kualitas hidup rendah, diantaranya orang yang memiliki penyakit kronis, orang dengan ketidakmampuan baik fisik maupun kognitif, salah satunya adalah anak reatrdasi mental (Gentile et al., 2013, Basgul, Uneri & Memik, 2011). Retardasi mental merupakan keadaan umum yang menetap dimana terdapat perbedaan perkembangan kognitif dan adaptif yang terjadi karena keabnormalan struktur maupun fungsi otak (Shea, 2006). Menurut data Riskesdas (2013) jumlah penduduk Indonesia yang mengalami disabilitas sebesar 8,3 persen dari total populasi. Dari jumlah tersebut, 6,2% diantaranya adalah anak usia 15-24 tahun. Proporsi penduduk Indonesia dengan disabilitas ringan sebesar 8,4 persen, 1

sedangkan WHO 2010 dalam Riskesdas (2013) melaporkan 42,4 persen penduduk mengalami disabilitas ringan. Prevalensi penduduk Indonesia dengan disabilitas sedang sampai sangat berat sebesar 11 persen, bervariasi dari yang tertinggi di Sulawesi Selatan (23,8%) dan yang terendah di Papua Barat (4,6%). Rerata skor diperoleh dari sistem skoring WHODAS 2 dan diketahui rerata skor penduduk Indonesia adalah 25,24. Rerata skor disabilitas tertinggi dimiliki penduduk di Gorontalo (31,85), sedangkan yang terendah berada di wilayah DI Yogyakarta (17,05). Rerata skor maksimal 100, semakin tinggi rerata skor mencerminkan semakin berat derajat disabilitas (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Retardasi mental berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan anak, keluarga, dan masyarakat serta masalah kesehatan dan sosial (Shea, 2006). Gangguan yang nampak berupa keterlambatan baik pada penerimaan maupun ekspresi bahasa (Johnson et al., 2006). Menurut Elbasan, Duzgun & Oskay (2013) adanya ketidakmampuan pada anak retardasi mental menyebabkan rendahnya aktivitas dan partisipasi anak yang berpengaruh terhadap kualitas hidup dan kesejahteraannya. Sumber yang sama menyebutkan bahwa ketidakamampuan pada anak menyebabkan ketidakadekuatan dalam berbagai area, seperti perawatan diri, kemampuan berbicara, komunikasi, belajar, bergerak, serta kemandirian dan keadekuatan finansial. Menurut beberapa penelitian di Indonesia, anak retardasi mental memiliki tingkat kemandirian sedang khususnya anak retardasi mental sedang, memiliki tingkat kematangan sosial yang rendah dan bergantung sepenuhnya pada pemenuhan aktivitas dasar khususnya pada pemenuhan BAK dan kontinen serta kemampuan sosialisasi yang tergolong sedang (Pratiwi, 2008, Wijayanti, 2007). Tingkat kematangan sosial yang rendah terjadi karena rendahnya penerimaan teman sebaya (Irawati 2002 cit. Pratiwi

2008). Hal tersebut dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup anak retardasi mental dan keluarga yang mencemaskan mengenai masa depan kesehatannya (Shea, 2006). Penelitian Basgul, Uneri & Memik (2011) menyebutkan bahwa kualitas hidup anak retardasi mental secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak normal pada semua aspek penilaian. Anak retardasi mental memiliki kesulitan pada aktivitas di dalam dan di luar ruangan, keadaan ini disebabkan karena adanya penurunan kualitas hidup dan kepuasan (Elbasan, Duzgun & Oskay, 2013). Kualitas hidup anak retardasi mental sebaiknya ditingkatkan, hal ini dilakukan agar nantinya anak dapat hidup mandiri dan tidak bergantung kepada orang lain. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk anak retardasi mental adalah terapi bermain. Bermain merupakan cara untuk memperoleh kesenangan dengan mengungkapkan konflik pada diri anak tanpa mempertimbangkan hasil akhir (Solikhah, 2011). Daya pikir anak terangsang untuk mendayagunakan aspek emosional, sosial, serta fisiknya melalui bermain. Anak-anak bermain dengan menggunakan seluruh emosi, perasaan, dam pikirannya sehingga memberikan kesenangan dan kepuasan bagi anak-anak yang terlibat (Adriana, 2011). Salah satu fungsi bermain adalah sebagai terapi. Bermain dapat membantu anak mencegah atau menyelesaikan kesulitan-kesulitan psikososial dan mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, melalui kebebasan eksplorasi dan ekspresi diri (Solikhah, 2011). Bermain dapat melibatkan teman sebaya. Teman sebaya yang memiliki ketertarikan yang sama, aktivitas, dan hubungan lain memiliki pengaruh pada kualitas hidup anak baik selama maupun setelah sekolah (Carter, Asmus & Moss, 2013). Ketrampilan sosial, komunikasi, akademik, dan fungsional dapat dikembangkan dengan adanya interaksi dan hubungan dengan teman sebaya (Carter et al., 2010). Hal tersebut meningkatkan apresiasi kekuatan dan keberagaman individu, adanya komitmen yang dalam mengenai pentingnya

inklusi dan keadilan sosial, meningkatkan pemahaman dan perilaku, meningkatkan harga diri dan memperkuat advokasi dan ketrampilan dukungan (Carter et al., 2011). Pencapaian kelompok dan personal menjadi sangat penting pada anak. Sukses merupakan hal yang penting dalam aktivitas fisik dan kognitif. Selain itu, sukses saat bermain juga dapat meningkatkan pembelajaran melalui perkembangan ketrampilan lebih tinggi yang diinginkan seperti inisiatif (Tanta et al., 2005). Bermain melibatkan sebaya dan pencapaian tujuan kelompok. Meskipun kegiatan soliter tidak bisa dihilangkan, aktivitas ini tertutup oleh permainan kelompok. Belajar berperan, berkolaborasi, dan bekerjasama untuk mencapai tujuan umum menjadi ukuran kesuksesan (Potter & Perry, 2005). Beberapa alasan di atas, menjadikan dasar bagi peneliti untuk menawarkan metode belajar yang baru yaitu peer play therapy. Sesuai dengan fungsi bermain dan adanya teman sebaya yang telah disebutkan, adanya kesuksesan bermain berkelompok diharapkan mampu meningkatkan kemampuan anak sehingga nantinya diharapkan akan tercapai kualitas hidup yang baik pada anak retardasi mental. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di SLB Negeri 1 Yogyakarta dan SLB Negeri 2 Yogyakarta diketahui bahwa kedua sekolah memiliki karakteristik yang hampir sama, dimana kedua sekolah berada di bawah supervisi Dinas Kota Yogyakarta, akreditasi sekolah A, kualitas pengajar tergolong baik, diberikannya program bina diri pada kedua sekolah serta belum dilaksanakannya peer play therapy pada sekolah luar biasa (SLB) tersebut (Data Primer, 2014). Menurut keterangan guru-guru kedua sekolah, anak sudah mampu melakukan perawatan diri tetapi masih perlu bantuan dari guru. Hal tersebut terjadi karena adanya keterbatasan kemampuan anak. Aspek sosial anak dalam hal kemampuan sosialisasi masih tergolong sedang. Selain itu aspek emosional anak masih rendah, hal tersebut ditandai dengan adanya siswa yang tidak masuk selama

berbulan-bulan akibat adanya rasa bosan dan kembali lagi ketika anak menginginkan hal tersebut (Data Primer, 2014). Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh peer play therapy terhadap kualitas hidup anak retardasi mental di kedua sekolah tersebut. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti dapat merumuskan masalah penelitian sebagai berikut Bagaimanakah pengaruh peer play therapy terhadap kualitas hidup anak retardasi mental di SLB Negeri 1 Yogyakarta dan SLB Negeri 2 Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian 1) Tujuan Umum Tujuan umum dalam penelitian ini adalah mengetahui pengaruh peer play therapy terhadap kualitas hidup anak retardasi mental di SLB Negeri 1 Yogyakarta dan SLB Negeri 2 Yogyakarta. 2) Tujuan Khusus Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah mengetahui gambaran kualitas hidup anak retardasi mental di SLB Negeri 1 Yogyakarta dan SLB Negeri 2 Yogyakarta sebelum dan setelah pemberian intervensi D. Manfaat Penelitian 1. Aspek teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai pengaruh peer play therapy terhadap kualitas hidup anak retardasi mental di SLB Negeri 1 Yogyakarta dan SLB Negeri 2 Yogyakarta. Penelitian ini diharapkan dapat

menjadi sumber bagi penelitian selanjutnya, serta menambah kajian tentang perawatan pada klien yang mengalami retardasi mental agar menjadi lebih mandiri dan dapat mencapai derajat kesehatan yang optimal. 2. Aspek praktis a. Bagi orang tua Orang tua yang memiliki anak retardasi mental dapat meningkatkan kualitas hidup anak melalui peer play therapy. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi orang tua bahwa peer play therapy diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup anak retardasi mental. b. Bagi lembaga pendidikan sekolah Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan informasi bagi SLB Negeri 1 Yogyakarta dan SLB Negeri 2 Yogyakarta dalam mengoptimalkan kualitas hidup anak asuh sehingga taraf kehidupannya menjadi lebih baik. c. Bagi profesi keperawatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi inovasi dalam dunia keperawatan sehingga mampu mengembangkan fungsi perawat dalam penatalaksanaan peningkatan kualitas hidup anak retardasi mental. d. Bagi peneliti Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar acuan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pengetahuan dan literatur yang ditelaah, penelitian mengenai pengaruh peer play therapy terhadap kualitas hidup anak retardasi mental di SLB Negeri 1

Yogyakarta dan SLB Negeri 2 Yogyakarta belum pernah dilakukan. Penelitian yang berhubungan dengan peer play, play therapy, kualitas hidup anak retardasi mental yang pernah dilakukan antara lain: 1. Basgul, Uneri & Memik (2011) melakukan penelitian yang berjudul Parents perception of the quality of life of children with intellectual disabilities. Penelitian ini betujuan untuk mengevaluasi kualitas hidup anak retardasi mental kelompok usia 5-18 tahun di Istanbul menggunakan form orangtua dan membandingkan dengan data yang diambil dari anak sehat. Metode yang digunakan adalah cross-sectional survey. Subyek penelitian adalah anak retardasi mental kelompok usia 5-18 tahun yang menerima pendidikan individual pada dua pusat pendidikan khusus berbeda di Istanbul, sekolah dasar luar biasa, dan yang berkunjung ke Rumah Sakit Jiwa Erenkoy untuk mengikuti pendidikan khusus. Instrumen yang digunakan untuk mengukur kualitas hidup adalah Pediatric Quality of Life Inventory TM 4.0 (PedsQLTM 4.0). Hasilnya, diagnosis retardasi mental sebelum usia 2 tahun merupakan faktor yang berpengaruh positif terhadap skor PedsQL. Diagnosa awal dan pendidikan sedini mungkin penting untuk meningkatkan kualitas hidup anak retardasi mental. Skor fungsi sekolah pada kelompok anak umur 13-18 tahun secara signifikan lebih tinggi dibandingkan kelompok usia 5-7 tahun. Persamaan dengan penelitian ini adalah instrumen yang digunakan untuk mengukur kualitas hidup yaitu PedsQL. Sedangkan perbedaannya adalah metode penelitian, pemberian intervensi, subjek penelitian, dan tempat penelitian. Metode penelitian yang akan peneliti gunakan adalah quasy experiment. dengan non equivalent control group pre-test dan post-test design pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Subjek penelitian adalah anak retardasi mental di SLB Negeri 1

Yogyakarta dan SLB Negeri 2 Yogyakarta. Kelompok intervensi diberikan perlakuan peer play therapy. 2. Li, Chung & Ho (2011) melakukan penelitian yang berjudul The effectiveness of therapeutic play, using virtual reality computer games, in promoting the psychological well-being of children hospitalised with cancer. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan terapi bermain menggunakan permainan virtual komputer untuk meminimalisir ansietas dan menurunkan gejala depresi pada anak Hong Kong Chinese dengan kanker yang dihospitalisasi. Metode yang digunakan adalah non-equivalent control group pretest post-test, between-subject design was employed. Subjek pada penelitian ini adalah anak Hong Kong Chinese usia 8-16 tahun yang berada pada bangsal pediatric oncology yang mendapatkan pengobatan kanker selama periode 14 bulan. Instrumen yang digunakan untuk mengetahui tingkat ansietas anak adalah form Chinese Version of the State Anxiety Scale for Children (CSAS-C) sedangkan untuk mengetahui gejala depresi pada anak menggunakan Center for Epidemiologic Studies Depression Scale for Children (CES-DC). Hasilnya, therapeutic play menggunakan permainan virtual komputer memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penurunan gejala depresif pada hari ke 7 sedangkan untuk tingkat ansietas kelompok kontrol dan intervensi tidak ada perbedaan yang bermakna pada hari ke 7. Persamaan dengan penelitian ini adalah metode penelitian yang digunakan. Sedangkan perbedaannya adalah variabel penelitian, pemberian intervensi, subjek penelitian, dan tempat penelitian. Variabel penelitian yang akan diteliti adalah kualitas hidup. Subjek penelitian adalah anak retardasi mental di SLB Negeri 1 Yogyakarta dan SLB Negeri 2 Yogyakarta. Kelompok intervensi diberikan perlakuan peer play therapy.

3. Solikhah (2011) melakukan penelitian yang berjudul Pengaruh therapeutic peer play terhadap kecemasan dan kemandirian anak usia sekolah selama hospitalisasi di rumah sakit wilayah Banyumas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh therapeutik peer play terhadap kecemasan dan kemandirian anak usia sekolah yang dirawat. Metode yang digunakan adalah quasy experiment, pre-test post-test control group design. Subjek pada penelitian ini adalah anak usia sekolah yang dirawat di Rumah Sakit Umum Banyumas dan Rumah Sakit Umum Margono Soekarjo Purwokerto. Instrumen yang digunakan untuk mengetahui tingkat kecemasan anak menggunakan ZSRAS (Zung Self rating Anxiety Scale) sedangkan untuk mengetahui tingkat kemandirian anak menggunakan FIM+FAM (Functional Independence Measure, Functional Assesment Measure. Hasilnya terdapat pengaruh yang signifikan terhadap kecemasan dan kemandirian anak. Persamaan dengan penelitian ini adalah diberikannya intervensi peer play therapy dan metode penelitian yang dilakukan. Sedangkan perbedaannya adalah variabel penelitian,metode penelitian, subjek penelitian, dan tempat penelitian. Variabel penelitian yang akan diteliti adalah kualitas hidup, sedangkan metode penelitian yang digunakan adalah quasy experiment dengan nonequivalent control group pre-test dan post-test design pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Subjek penelitian adalah anak retardasi mental di SLB Negeri 1 Yogyakarta dan SLB Negeri 2 Yogyakarta. Kelompok intervensi diberikan perlakuan peer play therapy. 4. Maimon (2011) melakukan penelitian yang berjudul Hubungan mengikuti kelompok bermain dan perkembangan anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan mengikuti kelompok bermain dengan pencapaian perkembangan anak. Metode yang digunakan yaitu cross

sectional. Subjek penelitian terdiri atas anak taman kanak-kanak yang baru satu bulan bersekolah. Instrumen yang digunakan adalah skrining perkembangan Denver II. Hasilnya, diperoleh anak yang mengikuti kelompok bermain memiliki pencapaian perkembangan yang lebih baik 3,2 kali dibandingkan anak uang tidak mengukuti kelompok bermain. Persamaan dengan penelitian ini adalah diberikannya peer play. Sedangkan perbedaannya adalah variabel penelitian, metode penelitian, pemberian intervensi, subjek penelitian, dan tempat penelitian. Variabel penelitian yang akan diteliti adalah kualitas hidup sedangkan metode penelitian yang digunakan adalah quasy experiment dengan non equivalent control group pre-test dan post-test design pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Subjek penelitian adalah anak retardasi mental di SLB Negeri 1 Yogyakarta dan SLB Negeri 2 Yogyakarta. Kelompok intervensi diberikan perlakuan peer play therapy.