BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang ringan sampai efek yang berat (Dickinson et al., 2007).

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Cerebral palsy atau CP adalah penyebab umum dari cacat fisik pada anak. Gangguan ini dapat menyebabkan kecacatan pada fungsi kognitif dan gerak dari yang ringan sampai efek yang berat (Dickinson et al., 2007). CP dapat memiliki dampak yang luar biasa pada kapasitas anak untuk melakukan kegiatan sehari-hari seperti kemampuan untuk berjalan atau berpakaian (McCarth et al., 2002). Anak CP menampakkan gejala kesulitan dalam hal motorik halus (menulis atau menggunakan gunting), masalah keseimbangan dan berjalan, atau mengenai gerakan involunter (tidak dapat mengontrol gerakan menulis atau selalu mengeluarkan air liur) dan jika sudah mencapai derajat berat akan mengakibatkan tidak mampu berjalan dan membutuhkan perawatan yang ekstensif dan jangka panjang (Saharso, 2006). Gangguan gerakan pada CP sering disertai dengan gangguan sensasi, persepsi, kognisi komunikasi, perilaku, terkadang disertai serangan epilepsi dan masalah muskuloskeletal sekunder (Rosenbaum, 2006). Anak CP termasuk salah satu jenis anak berkebutuhan khusus yang memiliki kelainan atau kecacatan karena kerusakan otak dan mengakibatkan berbagai gangguan seperti gangguan gerak, gangguan bicara, pendengaran, penglihatan, kecerdasan, sosial, emosi, dan gangguan perilaku (Wedati, 2010). Gangguan gerak kronis dan postur tubuh pada anak CP akan menyebabkan penurunan 1

2 fungsi, ketidakmampuan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari, masalah belajar dan kehidupan sosialnya (Engel et al., 2005). Anak CP juga mengalami berbagai macam masalah sosial dan emosional, seperti penolakan oleh teman, depresi, frustasi, cemas dan marah sehingga mempengarugi kualitas hidup anak CP (Viehweger et al., 2008). Masalah-masalah tersebut tentu saja mempengaruhi kualitas hidup anak CP (Lim-Yee dan Wong, 2009). Kualitas hidup anak CP merupakan hal yang kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor (Engel et al., 2005). Faktor seperti hambatan lingkungan, fungsi atau dampak keluarga, fungsi fisik, kesulitan perilaku, dan kesehatan umum secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup anak dengan disabilitas (Law et al., 2014). Dalam penelitian Russo, et al (2008) yang berjudul self esteem, self concept and quality of life in children with hemiplegic cerebral palsy menunjukkan hasil bahwa anak-anak CP memiliki harga diri, konsep diri, dan kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan dengan anak normal. Menurut Bulan (2009) hal yang dapat mengganggu kualitas hidup seseorang adalah timbulnya suatu penyakit pada proses maturasi fisik dan psikososial. Kualitas hidup yang baik bukan hanya dilihat dari sejahtera secara ekonomis, tetapi juga sejahtera secara psikologis dan sosial (Seviyana, 2009). Menurut Primardi dan Nurochman (2010) seseorang memiliki kualitas hidup yang baik jika dapat menjalankan fungsi dan perannya dalam kehidupan sehari-hari sesuai tahap perkembangannya. Penelitian Wilkins et al (2004) faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup anak diantaranya adalah gangguan tingkah laku 2

3 pada saat balita, keadaan kesehatan, gangguan psikologis ibu, dukungan sosial, kesehatan mental ibu, dukungan keluarga, dan pengasuhan orang tua. Penelitian yang dilakukan Gaskin (2005), menunjukkan bahwa orang dewasa dengan CP mengalami mood yang buruk, rendah diri, dan dukungan sosial yang rendah. Individu dengan CP memiliki harga diri dan rasa memiliki yang tinggi jika mereka diterima dan didukung oleh orang lain (Gaskin dan Morris, 2008). Menurut Shelly et al (2008) orang dengan disabilitas dapat memiliki kualitas hidup yang baik dengan pemahaman yang tepat tentang kecacatan dan dukungan sosial yang kuat. Sementara itu menurut penelitian lain yang dilakukan oleh Mc Manus et al (2008) melaporkan bahwa kualitas hidup anak CP dipengaruhi kesehatan fisik serta dukungan sosial dan teman sebaya. Dukungan sosial adalah bentuk tingkah laku yang menumbuhkan perasaan nyaman dan membuat individu percaya bahwa individu dihormati, dihargai, dicintai dan bahwa orang lain bersedia memberikan perhatian dan keamanan Orford cit Pratiwi (2011). Dalam aktivitas sehari-harinya anak CP perlu mendapat dukungan sosial dari lingkungan sekitarnya untuk menunjang perkembangan sosial dengan tujuan meningkatkan kualitas hidupnya. Dalam setiap perkembangan kehidupan manusia dukungan sosial memberikan peranan penting (Hanan, 2002). American Association on Intellectual and Developmental Disabilities (AAID) cit Nurlailiwangi et al (2011) mengatakan bahwa dukungan sosial penting untuk tahap perkembangan individu difabel, karena dukungan sosial dapat meningkatkan fungsi adaptif individu, membantunya mandiri, keterampilan bermasyarakat yang baik, dan meningkatkan kesehatan. Dukungan 3

4 sosial memiliki peran positif pada kesehatan dan kesejahteraan pada anak dengan penyakit kronis (Cheng et al., 2013) Supriyanto (2012) menyatakan bahwa peran orang tua merupakan bentuk dukungan sosial yang menentukan kesehatan dan perkembangan, baik secara fisik maupun psikologis bagi anak berkebutuhan khusus. Hal serupa juga dikemukakan oleh Heward cit Supriyanto (2012) menyatakan bahwa efektifitas berbagai program penanganan dan peningkatan kemampuan hidup anak berkebutuhan khusus akan sangat ditentukan oleh peran serta dan dukungan penuh dari keluarga khususnya orang tua, sebab keluarga adalah pihak yang mengenal dan memahami berbagai aspek dalam diri seseorang dengan jauh lebih baik daripada orang-orang yang lain. Menurut Quine, et al., dalam Mobarak, et al., (2000) dalam perkembangannya anak CP membutuhkan bimbingan dan bantuan dari orang tuanya. Hal serupa juga dikemukakan Engelica (2000) bahwa peranan orang tua sangat penting terutama dalam pertumbuhan dan perkembangan anak CP, karena bagi anak figur orang tua dianggap sebagai objek lekat secara emosional dan anak CP membutuhkan perhatian, kesabaran dan bimbingan yang ekstra dari orang tua. Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan Tarmidi dan Rambe (2010) mengatakan bahwa dukungan orang tua merupakan sistem dukungan sosial terpenting dibandingkan dengan sistem dukungan sosial lainnya, dukungan orang tua berhubungan dengan kesuksesan akademis remaja, gambaran diri yang positif, harga diri, percaya diri, motivasi dan kesehatan mental. 4

5 Jumlah anak CP secara global berkisar antara 1-1,5 per 1000 kelahiran hidup dengan insiden meningkat pada kelahiran prematur (Merlina et al., 2012). Sampai saat ini CP masih merupakan penyebab terbanyak kecacatan pada anak-anak (Gunarwati, 2007). Angka kejadian CP tampaknya masih tidak banyak berubah atau mungkin lebih meningkat sedikit selama 30 tahun terakhir (Saharso, 2006). Menurut Riskesdas tahun 2010, persentase anak usia bulan yang menderita CP di Indonesia mencapai 0,09%. Di Yogyakarta, angka kejadian CP belum dapat diketahui secara pasti. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di SLB Negeri 1 Bantul didapatkan data bahwa SLB Negeri 1 Bantul ini adalah salah satu SLB yang berada di kawasan Bantul yang salah satunya adalah mendidik anak dengan CP. SLB ini terbagi dalam beberapa jenjang yaitu mulai dari tingkat TK sampai tingkat SMA dengan jumlah siswa aktif sebanyak 70 siswa dan seluruh siswa menderita CP berat. Menurut pengamatan dan informasi yang didapat peneliti dari kepala bagian D (tuna daksa) SLB Negeri 1 Bantul rata-rata dukungan sosial dalam bentuk dukungan instrumental terhadap anak CP di SLB ini cenderung cukup baik, seperti berpartisipasi aktif dalam menjemput dan mengantarkan anak, ini terlihat dari data bahwa semua anak CP diantar dan dijemput oleh orang tua atau pengasuhnya, tetapi hanya 50% anak yang diikutsertakan dalam terapi oleh orang tuanya karna keterbatasan dalam biaya. Dari latar belakang tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan dukungan sosial orang tua dengan kualitas hidup anak CP di SLB Negeri 1 Bantul. 5

6 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah, adakah hubungan antara dukungan sosial orang tua dengan kualitas hidup anak CP di SLB N 1Bantul? 1. Tujuan Umum C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial orang tua dengan kualitas hidup anak CP di SLB N 1 Bantul. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui dukungan sosial orang tua pada anak CP di SLB N 1 Bantul. b. Mengetahui kualitas hidup anak CP di SLB N 1 Bantul D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberi manfaat: 1. Bagi Perawat Diharapkan dapat memberikan informasi tentang kualitas hidup anak dengan CP sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup dalam memberikan asuhan keperawatan. 6

7 2. Bagi Orang Tua dan Keluarga Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan memberikan informasi pada orang tua tentang pentingnya dukungan sosial pada anak CP, serta hubungannya dalam meningkatkan kualitas hidup. 3. Bagi Peneliti selanjutnya Menambah informasi ilmiah tentang hubungan dukungan sosial dengan kualitas hidup anak CP. E. Keaslian Penelitian Sejauh pengetahuan peneliti, penelitian tentang hubungan antara dukungan sosial orang tua dengan kualitas hidup anak CP belum pernah dilakukan. Namun ada beberapa penelitian yang telah dilakukan yang masih ada kaitannya dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti antara lain: 1. Pratiwi (2011) tentang Kualitas Hidup Anak Penderita cerebral palsy yang Menggunakan Kursi Roda di Wilayah Yogyakarta. Tujuan penelitian tersebut untuk mengetahui gambaran kualitas hidup anak cerebral palsy yang menggunakan kursi roda diwilayah Yogyakarta. Jenis penelitian ini adalah deskriptif. Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional dengan menggunakan metode kuantitatif. Lokasi penelitian ini dilakukan di tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Bantul, Sleman, dan Kotamadya. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 24 November 29 Desember 2010 yang melibatkan 37 orang terdekat dari anak cerebral palsy usia 3-18 tahun dengan teknik accidental sampling. Instrumen penelitian ini menggunakan kuesioner kualitas hidup anak 7

8 cerebral palsy yaitu Pediatric QOL Questionnaire-CP Module (PedsQL- CP Module) Version 3.0. Hasil penelitian yang didapatkan adalah tingkat kesulitan dalam subskala nyeri dan kelelahan memiliki skor yang lebih rendah dibandingkan dengan 5 subkala yang lain. Sedangkan tingkat kesulitan dalam aktivitas sehari-hari memiliki skor paling tinggi di antara semua subskala kualitas hidup. Berdasarkan penggunaan terapi atau tidak, terdapat perbedaan yang signifikan pada kualitas hidup dalam subskala gerak dan keseimbangan (p=0,042) serta aktivitas sehari-hari (p=0,043). Sedangkan berdasarkan waktu terdiagnosa cerebral palsy, terdapat perbedaan yang signifikan pada kualitas hidup dalam subskala aktivitas sehari-hari (p=0,012). Persamaannya dengan penelitian ini terletak pada salah satu variabel, salah satu instrumen. Sedangkan perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada responden dan tempat pengambilan data. 2. Wijayanti (2007) tentang Hubungan antara dukungan sosial anak retardasi mental dengan kemampuan sosialisasi di SLB Bhakti Kencana Krikilan Berbah Sleman. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian potong lintang (cross sectional) non eksperimental dengan metode analitik korelasi dan pendekatan kuantitatif. Subjek dalam penelitian ini adalah anak-anak di SLB Bhakti Kencana Krikilan yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yaitu sebanyak 47 orang. Metode dalam pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner dukungan sosial yang disusun berdasarkan teori House dan melakukan observasi kemampuan sosialisasi anak retardasi mental dengan menggunakan pedoman tes VSMS (Vineland Social Maturity Scale). Uji korelasi dengan 8

9 menggunakan Pearson Product Moment. Hasil penelitiannya adalah dari penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa dukungan sosial dengan kriteria baik sebanyak 7 orang (14,9%), kriteria cukup sebanyak 40 orang (85,1%), kemampuan sosialisasi anak dalam kriteria sedang sebanyak 44 orang (93,6%), dan rendah sebanyak 3 orang (6,4%). Hubungan antara dukungan sosial anak retardasi mental dengan kemampuan sosialisasi di SLB Bhakti Kencana Krikilan Berbah Sleman diperoleh p=0,001. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti terletak pada variabel bebas yaitu dukungan sosial dan rancangan penelitian yaitu cross-sectional. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada tempat dan subjek penelitian. Subjek penelitian pada penelitian Wijayanti adalah anak retardasi mental di SLB Bhakti Kencana Krikilan Berbah Sleman sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan subjek berupa anak CP di SLB N 1 Bantul. 3. Dwiningsih (2005) tentang Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Kemampuan Merawat Diri pada Siswa Penderita Cerebral Palsy Ringan di Sekolah Dasar Luar Biasa Yayasan Pembinaan Anak Cacat Semarang. Penelitian tersebut merupakan penelitian kuantitatif korelasional. Metode penelitian tersebut menggunakan dua metode pengumpulan data, yaitu pengumpulan data dengan skala psikologis dan wawancara. Penelitian tersebut merupakan penelitian populasi atau studi populasi, yaitu mengambil data dari semua anggota populasi tanpa ada pengambilan sampel. Metode analisis data yang digunakan adalah korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa ada hubungan antara dukungan sosial dengan kemandirian pada anak penderita CP 9

10 ringan di Yayasan Pembinaan Anak Cacat Semarang. Persamaannya dengan penelitian ini terletak pada salah satu variabel, salah satu instrumen, dan analisis data yang digunakan. Variabel bebas pada penelitian Dwiningsih yaitu dukungan sosial. Instrumen yang digunakan dalam penelitian Dwiningsih adalah kuesioner dukungan sosial dan analisis yang digunakan adalah korelasi Rank Spearman. Subjek penelitian pada penelitian Dwiningsih adalah siswa penderita CP ringan di Sekolah Dasar Luar Biasa Yayasan Pembinaan Anak Cacat Semarang sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan subjek berupa anak CP di SLB N 1 Bantul. 4. White-Koning et al, (2008) dalam penelitian yang berjudul Parent and Professional Report of the Quality of Life of Children with Cerebral Palsy and Associated Intellectual Impairment. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa skor rata-rata dari laporan orang tua terhadap kualitas hidup anak secara signifikan lebih besar dibandingkan dengan laporan dari para tenaga professional pada domain kesejahteraan sosial dan secara signifikan lebih rendah pada domain dukungan sosial. Frekuensi perbedaan rata-rata untuk seluruh domain adalah 62%. Tingkat stress yang tinggi berpengaruh negatif pada laporan orang tua terhadap kualitas hidup anak jika dibandingkan dengan laporan dari para tenaga profesi lebih rendah daripada skor pada orang tua. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah salah satu variabel yaitu kualitas hidup anak CP. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah subjek penelitian, lokasi penelitian dan instrumen yang digunakan. Subjek pada penelitian ini adalah orang tua anak dengan CP dan tenaga professional, 10

11 sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan hanya orang tua anak dengan CP. Lokasi penelitian ini adalah di sembilan wilayah di Eropa sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan di SLB N 1 Bantul. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah KIDSCREEN sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan menggunakan PedsQL TM CP Module Version