4 HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
Gambar 1. Diagram TS

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

ANALISIS POLA SEBARAN DAN PERKEMBANGAN AREA UPWELLING DI BAGIAN SELATAN SELAT MAKASSAR

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial. Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan

Kata kunci: Citra satelit, Ikan Pelagis, Klorofil, Suhu, Samudera Hindia.

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Rochmady Staf Pengajar STP - Wuna, Raha, ABSTRAK

BAB II LANDASAN TEORITIS

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP

5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

VARIABILITAS KONSENTRASI KLOROFIL-A DARI CITRA SATELIT SeaWiFS DI PERAIRAN PULAU MOYO, KABUPATEN SUMBAWA, NUSA TENGGARA BARAT

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

Tengah dan Selatan. Rata-rata SPL selama penelitian di Zona Utara yang pengaruh massa air laut Flores kecil diperoleh 30,61 0 C, Zona Tengah yang

Hubungan Upwelling dengan Jumlah Tangkapan Ikan Cakalang Pada Musim Timur Di Perairan Tamperan, Pacitan

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman Online di :

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS

Gbr1. Lokasi kejadian Banjir dan sebaran Pos Hujan di Kabupaten Sidrap

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan,

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

DI PERAIRAN SELAT BALI

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE)

DI PERAIRAN SELAT BALI

Propinsi Banten dan DKI Jakarta

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR

b) Bentuk Muara Sungai Cimandiri Tahun 2009

3 METODE PENELITIAN. Gambar 7. Peta Lokasi Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut

Identifikasi Lokasi Potensial Budidaya Tiram Mutiara Dengan Mengunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

KAJIAN DINAMIKA SUHU PERMUKAAN LAUT GLOBAL MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH MICROWAVE

PENGARUH PERUBAHAN DAN VARIABILITAS IKLIM TERHADAP DINAMIKA FISHING GROUND DI PESISIR SELATAN PULAU JAWA

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

UPDATE DASARIAN III MARET 2018

V. HASIL. clan di mulut utara Selat Bali berkisar

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

5. PEMBAHASAN 5.1 Sebaran Suhu Permukaan laut dan Klorofil-a di Laut Banda Secara Spasial dan Temporal

IV. PEMBAHASAN. 4.1 Neraca Air Lahan

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

VARIABILITAS SPASIAL DAN TEMPORAL SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KONSENTRASI KLOROFIL-a MENGGUNAKAN CITRA SATELIT AQUA MODIS DI PERAIRAN SUMATERA BARAT

BMKG PRESS RELEASE BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja...

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar

PENGANTAR. Bogor, September 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR. DEDI SUCAHYONO S, S.Si, M.Si NIP

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 2 (2013), Hal ISSN :

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III BAHAN DAN METODE

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN I APRIL 2017

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s

CH BULANAN. Gambar 3. Curah hujan bulanan selama percobaan lapang

Lombok Timur Dalam Data

Transkripsi:

23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan dengan baik pola sebaran SPL baik secara spasial maupun temporal. Analisis citra dilakukan pada beberapa hari yang terpilih dari setiap bulannya. 4.1.1 Pola Sebaran SPL Secara Spasial Berdasarkan hasil olahan citra satelit MODIS level 1 terlihat bahwa pola sebaran SPL secara spasial di Perairan Selat Makassar menunjukkan pola penyebaran yang berbeda. Namun, walaupun pola tiap bulannya berbeda tapi secara umum, variabilitas suhu di Perairan Selat Makassar tidak terlalu berbeda jauh atau nilai yang terlihat relatif homogen. Kisaran suhu yang terlihat berkisar antara 26-31ºC. Gambar 9. Pola sebaran SPL secara spasial pada Musim Barat tahun 2010

24 Secara spasial terlihat bahwa pola penyebaran SPL di bagian selatan Perairan Selat Makassar pada bulan Desember-Februari (Musim Barat) memperlihatkan penyebaran suhu yang relatif tinggi yaitu berada pada kisaran 29-31ºC. Kisaran suhu yang relatif tinggi ini masih terlihat pula pada periode bulan Maret-April (Musim Peralihan I). Gambar 10. Pola sebaran SPL secara spasial pada Musim Peralihan I tahun 2010 Memasuki awal periode musim timur yaitu bulan Mei mulai terlihat adanya gejala penurunan suhu di bagian selatan Selat Makassar. Penurunan ini pun semakin terlihat pada bulan Juni dan Juli yang mengindikasikan adanya gejala permulaan upwelling. Pada bulan Juli-Agustus fenomena ini semakin terlihat jelas dengan pola penyebaran suhu yang terstratifikasi dengan jelas secara horizontal di bagian selatan Selat Makassar (Gambar 11). Pada periode bulan September-Oktober (Musim Peralihan II) sebaran SPL menunjukkan bahwa indikasi adanya upwelling mulai melemah yang ditandai dengan menurunnya luasan daerah upwelling dan naiknya SPL di bagian selatan Selat Makassar jika dibandingkan dengan periode musim sebelumnya yaitu Musim Timur.

25 Gambar 11. Pola sebaran SPL secara spasial pada Musim Timur tahun 2010 Gambar 12. Pola sebaran SPL secara spasial pada Musim Peralihan II tahun 2010 Secara umum, fenomena upwelling pada musim timur dan peralihan II (Gambar 11 dan 12) menunjukkan adanya pola sebaran SPL secara spasial yang dimulai dari bagian selatan Pulau Sulawesi yang kemudian meluas hingga laut Laut Flores. Kisaran SPL menurun signikan 2 o C hingga mencapai 26.52 o C.

26 Illahude dan Gordon (1996) menyebutkan bahwa SPL di Selat Makassar selama musim timur lebih rendah dari pada musim barat. Pada musim barat SPL mengalami peningkatan sebesar 0.8 C mencapai nilai sekitar 29.4 C. Tingginya SPL pada musim barat merupakan bagian genangan hangat dari Samudera Pasifik yang tropis. Pada kedua musim (barat dan timur) SPL di ujung sebelah selatan Selat Makassar adalah lebih rendah dari pada yang utara. Kecenderungan SPL lebih dingin secara berlanjut masuk ke Laut Flores dan Laut Banda. Hal tersebut sesuai dengan penelitian ini, dimana terlihat bahwa pada bulan-bulan yang termasuk dalam musim timur (Juni-Agustus) yang disajikan pada Gambar 11 terlihat bahwa nilai SPL yang lebih rendah cenderung bergerak ke arah Laut Flores. 4.1.2 Pola Sebaran SPL Secara Temporal Nilai SPL pada periode bulan Mei-Agustus (musim timur) berkisar antara 26.5-31.2 o C. Kisaran suhu paling rendah yang mencapai hingga 26.5 o C tersebut ditemukan di bagian selatan Selat Makassar tepatnya di bagian selatan Pulau Sulawesi. Rendahnya kisaran nilai ini jika dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya menunjukkan adanya fenomena upwelling. Menurut Yahya (2000) bahwa sebaran SPL di Selat Makassar rata-rata berkisar antara 24-30.34 C, dengan suhu tertinggi ditemukan pada musim peralihan barat-timur, suhu perairan mengalami penurunan selama musim timur, kemudian meningkat kembali memasuki musim peralihan timur-barat. 100% 80% 60% 40% 20% 0% 28.28.4 27.5-27.9 27-27.4 26.5-26.9 100% 80% 60% 40% 20% 0% 28.28.4 27.5-27.9 27-27.4 26.5-26.9 Juni Juli Agustus September Oktober Juni Juli Agustus September Oktober (a) (b) Gambar 13. Persentase Tingkat Penyebaran SPL pada Beberapa Bulan Tahun (a) 2009 dan (b) 2010

27 Selanjutnya berdasarkan hasil analisis persentase tingkat penyebaran SPL terlihat bahwa secara umum, kejadian upwelling pada tahun 2009 dan 2010 dimulai pada bulan Juni yang terjadi di bagian selatan Selat Makassar dan mencapai puncaknya pada bulan Agustus. Bulan Agustus memperlihatkan fenomena meluasnya suhu permukaan laut dengan tingkat nilai yang rendah yang mengindikasikan semakin memuncak dan meluasnya daerah sebaran upwelling. 4.2. Pola Sebaran Klorofil-a Hasil olahan citra Modis level 1 untuk menganalisis pola sebaran konsentrasi klorofil-a menunjukkan hasil yang baik secara spasial dan temporal. Pemilihan data yang ditampilkan pada analisis ini sama dengan pemilihan data pada analisis pola penyebaran SPL yaitu dengan memilih perwakilan harian pada setiap bulan untuk mendapatkan gambaran yang baik tentang pola penyebaran klorofil di bagian selatan Selat Makassar. 4.2.1 Pola Sebaran Klorofil-a Secara Spasial Berdasarkan hasil olahan citra Modis level 1 diperoleh pola sebaran konsentrasi klorofil-a perairan Selat Makassar. Secara spasial, tingkat konsentrasi klorofil-a terlihat berbeda untuk setiap musim. Pada Musim Barat yaitu pada periode bulan November-Februari terlihat bahwa tingkat konsentrasi klorofil-a di perairan Selat Makassar rata-rata lebih rendah jika dibandingkan dengan musim lainnya. Namun tingkat konsentrasi yang relatif tinggi ditemui di daerah pesisir. Hal ini diduga karena adanya pengaruh masukan nutrien dari daratan yang disebabkan oleh tingkat curah hujan yang relatif tinggi pada musim ini sehingga memberikan kontribusi peningkatan konsentrasi klorofil-a di wilayah pesisir. Pada periode bulan April-Mei (Musim Peralihan I) pola sebaran konsentrasi klorofil-a secara spasial rata-rata sama dengan Musim Barat.

28 Gambar 14. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a secara spasial pada Musim Barat II tahun 2010 Gambar 15. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a secara spasial pada Musim Peralihan I Tahun 2010

29 Berdasarkan distribusi spasial konsentrasi klorofil-a pada periode Musim Timur yaitu terhitung sejak bulan Mei-Agustus terlihat bahwa pada awal Musim Timur di bulan Mei adanya tanda-tanda peningkatan konsentrasi klorofil-a di bagian permukaan wilayah selatan Selat Makassar belum terlihat. Konsentrasi klorofil-a meningkat dengan tingkat konsentrasi yang relatif tinggi mulai terlihat pada bulan Juni dan maksimum di periode bulan Agustus. Tingginya konsentrasi klorofil-a pada periode bulan di Musim Timur yang telah diawali dengan menurunnya SPL di kawasan ini menunjukkan terjadinya upwelling. Hal ini sesuai dengan Wyrtki (1961) dan Illahude (1978) yang menjelaskan bahwa upwelling pada daerah ini terjadi pada Musim Timur yaitu bulan Juni-Agustus. Pada awal Musim Peralihan II yaitu pada bulan September, pola penyebaran upwelling secara spasial masih terlihat jelas. Akhir Musim Peralihan II ini (Oktober) diperkirakan sebagai akhir dari fenomena upwelling, ini terlihat dari penampakan konsentrasi klorofil-a yang mulai menurun kembali di akhir Musim Peralihan II ini (Gambar 17). Adanya tingkat konsentrasi klorofil-a yang relatif tinggi pada Musim Timur dan Peralihan II ini disebabkan oleh meningkatnya unsur hara di bagian permukaan yang terbawa oleh fenomena upwelling dari lapisan dalam. Berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Wouthuyzen (2002) yang menjelaskan bahwa kandungan zat hara (fosfat, nitrat, dan klorofil-a) yang tinggi di lapisan permukaan Selat Makassar yang diindikasikan diakibatkan oleh upwelling masih ditemukan hingga musim peralihan II pasca Musim Timur. Tingkat konsentrasi klorofil yang ditemukan berada pada kisaran 0.16-1.41 mg/m 3. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini dimana tingkat konsentrasi klorofil-a yang relatif tinggi ditemukan di selatan Selat Makassar dengan kisaran nilai sebesar 0.8-1.2 mg/m 3 yang menunjukkan terjadinya fenomena upwelling. Pada bulan Juni terlihat bahwa pola sebaran konsentrasi klorofil yang relatif tinggi masih berada di sekitaran daerah pesisir khususnya bagian selatan Selat Makassar, sedangkan pada bulan Juli-Agustus pola penyebarannya mulai terlihat meluas ke arah barat daya pulau Sulawesi menuju Laut Flores.

30 Gambar 16. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a secara spasial pada Musim Timur tahun 2010 Gambar 17. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a secara spasial pada Musim Peralihan II Tahun 2010

31 4.2.2 Pola Sebaran Klorofil Secara Temporal Data klorofil-a dari satelit MODIS dipetakan pada bagian selatan Selat Makassar sehingga diperoleh pola sebaran konsentrasi klorofil-a periode Januari- Desember 2009 dan 2010. Tingkat konsentrasi klorofil-a yang ditemukan untuk keseluruhan bulan berada pada kisaran 0.76-1.38 mg/m 3. 100% 80% 60% 40% 20% 0% 1.15-1.2 1.0-1.15 0.9-1.0 0.8-0.9 100% 80% 60% 40% 20% 0% 1.15-1.2 1.0-1.15 0.9-1.0 0.8-0.9 Juni Juli Agustus September Juni Juli Agustus September (a) (b) Gambar 18. Persentase tingkat penyebaran klorofil-a pada beberapa bulan tahun (a) 2009 dan (b) 2010 Berdasarkan analisis persentase tingkat penyebaran klorofil-a secara temporal di bagian selatan Selat Makassar tahun 2009 dan 2010 terlihat bahwa peningkatan konsentrasi klorofil-a dimulai sejak bulan Juni dimana konsentrasi klorofil-a mulai naik pada kisaran 0.8-0.9 mg/m 3 yang kemudian memuncak pada bulan Agustus dengan konsentrasi klorofil-a di atas 1.0 mg/m 3. Adanya peningkatan konsentrasi klorofil-a ini terlihat jelas dengan meluasnya pola penyebaran di bagian selatan Selat Makassar. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan pola penyebaran yang terlihat di tahun 2009 dan ini menunjukkan bahwa ternyata fenomena upwelling terjadi setiap tahun pada Musim Timur dengan pola penyebaran yang hampir sama.

32 4.3 Fluktuasi Upwelling Berdasarkan hasil analisis pola penyebaran SPL dan klorofil-a untuk tahun 2009 dan 2010 diketahui bahwa terbentuknya SPL rata-rata dimulai pada bulan Juni. Menurunnya SPL ini diikuti kemudian dengan meningkatnya konsentrasi klorofil-a yang menyebar di perairan bagian selatan Selat Makassar. Terbentuknya SPL untuk tahun 2010 dimulai pada minggu kedua bulan Juni kemudian memuncak pada minggu kedua Agustus dan berakhir di minggu kedua bulan Oktober. Terbentuknya SPL di minggu kedua bulan Juni ini diikuti dengan meningkatnya konsentrasi klorofil-a pada minggu keempat bulan Juni yang kemudian memuncak pada minggu keempat bulan Agustus dan berakhir di minggu keempat bulan September. (a) (b) (c) Gambar 19. Fluktuasi Upwelling : (a) Awal, (b) Maksimal, (c) Akhir

33 Fenomena yang terjadi di tahun 2010 tidak jauh berbeda dengan yang ditemui di tahun 2009. Terbentuknya SPL di tahun 2009 dimulai pada minggu pertama bulan Juni yang kemudian memuncak di minggu kedua bulan Agustus dan berakhir di minggu ketiga bulan Oktober. Terbentuknya SPL di minggu pertama bulan Juni ini diikuti pula dengan meningkatnya konsentrasi klorofil-a pada minggu ketiga bulan Juni yang kemudian meningkat di minggu ketiga bulan Agustus dan berakhir pada minggu ketiga bulan September. Pada saat kejadian upwelling memuncak yaitu di bulan Agustus, pola penyebaran upwelling terlihat jelas mengarah ke arah barat daya Pulau Sulawesi. Menurut Rosyadi (2011), penyebaran ini menyebar ke barat daya Pulau Sulawesi sekitar 330 km. Secara lebih rinci, pola penyebaran ini kemudian dianalisis perkembangannya tiap bulan sejak terbentuk sampai berakhirnya SPL dan klorofil-a tersebut untuk mengetahui luasan penyebaran SPL dan klorofil-a yang kemudian diestimasi sebagai daerah penyebaran upwelling. Setelah dilakukan analisis pola penyebaran SPL dan klorofil secara bulanan untuk mengestimasi luasan daerah yang diindikasikan terjadi upwelling, selanjutnya dilakukan analisis pola penyebaran secara mingguan di bulan Agustus (Gambar 20 dan 21). Bulan Agustus menjadi bulan yang dipilih karena berdasarkan analisis variabilitas SPL dan klorofil-a baik secara spasial maupun temporal diketahui bahwa bulan Agustus merupakan bulan dimana tingkat penyebaran SPL dan klorofil-a memuncak. 25000 Suhu 35000 Klorofil-a 20000 15000 10000 5000 26.5-26.9 27-27.4 27.5-27.9 28.28.4 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0.8-0.9 0.9-1.0 1.0-1.15 1.15-1.2 0 I II III IV 0 I II III IV Gambar 20. Estimasi luasan penyebaran SPL dan klorofil-a mingguan bulan Agustus tahun 2009

34 25000 20000 15000 10000 5000 Suhu 26.5-26.9 27-27.4 27.5-27.9 28.28.4 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 Klorofil-a 0.8-0.9 0.9-1.0 1.0-1.15 1.15-1.2 0 I II III IV 0 I II III IV Gambar 21. Estimasi luasan penyebaran SPL dan klorofil-a mingguan bulan Agustus tahun 2010 Berdasarkan analisis pola penyebaran suhu dan klorofil-a terlihat bahwa memuncaknya fenomena upwelling untuk tahun 2009 yang terjadi di bulan Agustus dimulai pada minggu kedua, hal ini ditunjukkan dengan semakin menurunnya SPL pada minggu kedua yang kemudian diikuti dengan meningkatnya konsentrasi klorofil-a pada minggu ketiga. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan pola penyebaran suhu dan klorofil-a untuk tahun 2010. Fenomena upwelling mulai memuncak pada minggu kedua Agustus yang ditunjukkan dengan semakin menurunnya SPL yang diikuti dengan meningkatnya konsentasi klorofil-a di minggu keempat bulan Agustus. Gambar 22. Pola sebaran SPL dan klorofil-a bulan Agustus 2010

35 Pola penyebaran dan perkembangan area upwelling yang terjadi di bulan Agustus menunjukkan bahwa penurunan suhu diikuti dengan peningkatan konsentrasi klorofil-a. Menurut Valiela (1984), hal ini disebabkan karena fitoplankton pada suhu rendah dapat mempertahankan konsentrasi pigmenpigmen fotosintesis, enzim-enzim dan karbon yang besar. Ini dikarenakan lebih efisiennya fitoplankton menggunakan cahaya pada suhu rendah dan laju fotosintesis akan lebih tinggi bila sel-sel fitoplankton dapat menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Selain itu, perubahan laju penggandaan sel hanya pada suhu tinggi. Perubahan laju penggandaan sel hanya pada suhu yang tinggi karena tingginya suhu memudahkan terjadinya penyerapan nutrien oleh fitoplankton. Terjadinya penurunan SPL dan peningkatan konsentrasi klorofil-a diikuti dengan meluasnya daerah sebaran upwelling untuk tahun 2009 dan 2010. Meningkatnya total luasan daerah yang diindikasikan merupakan area upwelling untuk tahun 2009 tidak jauh berbeda dengan tahun 2010 dengan pola penyebaran mengarah ke arah barat daya dengan estimasi luasan mencapai sekitar ± 46000 km 2 (Gambar 22). 4.4 Faktor-faktor yang menunjukkan terjadinya Upwelling 4.4.1 Lapisan Termoklin Berdasarkan hasil analisis pada sebaran nilai SPL terlihat bahwa secara umum, kejadian upwelling pada tahun 2009 dan 2010 yang terjadi di bagian selatan perairan Selat Makassar dimulai pada bulan Juni dan mencapai puncaknya pada bulan Agustus. Minggu pertama bulan Agustus memperlihatkan fenomena meluasnya suhu permukaan laut dengan tingkat yang rendah yang mengindikasikan semakin memuncak dan meluasnya daerah sebaran upwelling. Indikasinya terjadinya upwelling pada periode Mei-Agustus (Musim Timur) didukung pula dengan berubahnya lapisan termoklin (Gambar 23). Data profil suhu menegak bagian selatan perairan selat Makassar menunjukkan bahwa lapisan termoklin pada Musim Barat dimulai pada kedalaman 42 m dengan penurunan suhu mulai dari 28 o C, sedangkan untuk Musim Timur data profil suhu pada lokasi upwelling menunjukkan bahwa lapisan termoklin di bagian selatan Selat Makassar dimulai pada kedalaman 17 m dengan

36 penurunan suhu mulai dari 27 o C dan titik non upwelling dimulai pada kedalaman 33 m dengan penurunan suhu mulai 28 o C. Berdasarkan hasil pengukuran ini terlihat bahwa lapisan termoklin mengalami perubahan atau kenaikan saat musim timur (Juni-Agustus) pada titik upwelling, hal ini secara langsung menunjukkan bahwa pada musim timur terjadi penaikan massa air yang menyebabkan berubahnya lapisan termoklin. Terjadinya penaikan massa air ini menunjukkan terjadinya upwelling di Selat Makassar dimana upwelling tersebut menyebabkan terangkatnya massa air dari lapisan dalam ke lapisan atas. (a) (b) Gambar 23. Profil suhu menegak (a) Bulan Desember (Musim Barat) (b) Bulan Agustus (Musim Timur) (Sumber:World Ocean Database, 2005)

37 4.4.2 Curah Hujan Data curah hujan yang dipilih adalah data curah hujan lokal untuk wilayah Makassar, Sulawesi Selatan. Makassar merupakan daerah yang dipilih karena wilayah ini merupakan wilayah yang paling dekat dengan lokasi yang diteliti dengan asumsi bahwa curah hujan daerah terdekat lebih besar mempengaruhi dibandingkan dengan daerah atau wilayah lain di sekitar Selat Makassar. Berdasarkan analisis data curah hujan untuk rata-rata setiap bulannya terlihat bahwa pada bulan Desember-Februari (Musim Barat) curah hujan (mm) berkisar antara 533-734 mm, bulan Maret-April (Musim Peralihan I) berkisar antara 235-391 mm, bulan Mei-Agustus (Musim Timur) berkisar antara 15-127 mm, dan bulan September-November (Musim Peralihan II) berkisar antara 32-273 mm. Pada umumnya jumlah curah hujan maksimum terjadi pada Musim Barat yaitu pada bulan Januari dan jumlah curah hujan minimum terjadi pada musim timur yaitu pada bulan Agustus (Gambar 24). Hal tersebut sesuai dengan Wyrtki (1961) bahwa adanya fluktuasi jumlah curah hujan bulanan diakibatkan karena adanya perbedaan pola angin yang terjadi di Indonesia. Pada Musim Barat, angin membawa banyak uap air karena angin berasal dari Samudera Pasifik sehingga menyebabkan curah hujan menjadi tinggi sedangkan pada Musim Timur angin membawa sedikit uap air karena angin berasal dari daratan Australia sehingga curah hujan menjadi rendah. Jumlah Total Rata-rata Curah Hujan (mm) Jumlah Rata-rata Hari Hujan 800 700 600 500 400 300 200 100 0 27 26 23 20 17 8 4 2 4 7 24 25 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept Okt Nov Des Gambar 24. Jumlah rata-rata curah hujan bulanan Stasiun Makassar

38 Hasil rata-rata curah hujan ini jika dibandingkan dengan tingkat konsentrasi klorofil-a, maka dapat dilihat bahwa jumlah curah hujan tidak mempengaruhi tingkat konsentrasi klorofil-a yang tersebar di bagian selatan Selat Makassar. Pada bulan Agustus meskipun curah hujan rendah namun tingkat konsentrasi klorofil-a tetap tinggi, ini secara langsung menunjukkan bahwa meningkatnya konsentrasi klorofil-a di bagian selatan Selat Makassar bukan dipengaruhi oleh masukan nutrien dari daratan tapi karena adanya fenomena upwelling. 4.5 Faktor yang mempengaruhi Upwelling Illahude (1970) menyatakan bahwa upwelling di bagian selatan Selat Makassar berlangsung selama Musim Timur (Juni-September). Fenomena upwelling tersebut disebabkan oleh dua faktor yaitu sirkulasi massa air dan arah angin. Untuk sirkulasi massa air, pada Musim Timur arus dari utara Selat Makassar bertemu dengan massa air yang datang dari Laut Flores di selatan Selat Makassar dan mengalir menuju Laut Jawa, sehingga terjadi kekosongan massa air di daerah selatan Selat Makassar. Kekosongan ini akan diisi oleh massa air di bawahnya yang memiliki suhu dan oksigen terlarut yang rendah serta nilai salinitas, fosfat, nitrat, dan silikat yang tinggi (Illahude, 1970, 1978; Wyrtki, 1961). Faktor kedua yang mempengaruhi upwelling selain sirkulasi massa air adalah angin. Angin terjadi karena adanya perbedaan tekanan udara yang merupakan hasil dari pengaruh ketidakseimbangan pemanasan sinar matahari terhadap tempat-tempat yang berada di permukaan bumi. Berdasarkan Brown et al. (2004) angin bertiup dari daerah yang memiliki tekanan tinggi menuju daerah yang bertekanan rendah. Pola pergerakan angin di Indonesia pada umumnya mengikuti pergerakan musim. Setiap musim memiliki arah pergerakan angin yang berbeda-beda. Pada bulan Desember-Februari (Musim Barat) pada tahun 2010 angin di selatan Selat Makassar dominan bergerak dari barat dan barat laut dengan kecepatan rata-rata 2.1 m/s dan maksimun 3.98 m/s. Pada bulan Maret-April

39 (Musim Peralihan I) pola pergerakan angin berasal dari utara (Maret) dan dari timur (April) dengan kecepatan rata-rata 2.08 m/s dan maksimum 3.5 m/s. Gambar 25. Pola Pergerakan Angin pada Bulan November-Februari 2010 Gambar 26. Pola Pergerakan Angin pada Bulan Maret-April 2010

40 Pola pergerakan angin pada bulan Mei-Agustus (Musim Timur) bergerak dari tenggara dengan kecepatan rata-rata lebih tinggi yaitu 4.23 m/s dan maksimum 6.41 m/s. Arah angin yang berasal dari tenggara pada musim timur ini yang kemudian didukung dengan pergerakan aliran massa air dari arah utara ke selatan Selat Makassar mengakibatkan Ekman Transport bergerak menuju barat daya (menjauhi pantai selatan Sulawesi). Hal ini mengakibatkan kekosongan massa air laut di permukaan dan diikuti dengan pengisian massa air laut dari kedalaman untuk mencapai keseimbangan permukaan air. Proses ini mengakibatkan terjadinya upwelling yang membawa unsur hara lebih banyak, salinitas lebih tinggi, dan suhu air laut lebih rendah. Pada Bulan September- November (Musim Peralihan II) terlihat bahwa pola pergerakan angin masih bergerak dari arah tenggara seperti yang terjadi pada bulan-bulan di periode Musim Timur. Gambar 27. Pola Pergerakan Angin pada Bulan Mei-Agustus 2010

41 Gambar 28. Pola Pergerakan Angin pada Bulan September-Oktober 2010 Selain pola pergerakan angin, kecepatan angin juga ikut mempengaruhi pola penyebaran upwelling pada bagian selatan Selat Makassar. Pola pergerakan angin terlihat mulai berubah sejak bulan April, namun perubahan ini tidak langsung diikuti dengan bergeraknya massa air di permukaan dan terangkatnya massa air dari bagian dalam ke bagian permukaan (Ekman Transport). Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan pada tingkat kecepatan angin. Gambar 29. Hubungan pola pergerakan angin dengan penurunan SPL dan peningkatan konsentrasi klorofil-a.

42 Pola pergerakan angin mulai berubah sejak bulan April namun tingkat kecepatan yang ada masih rendah yaitu 3.25 m/s seperti bulan sebelumnya sehingga belum cukup kuat untuk mendukung terjadinya Ekman Transport. Kecepatan angin mulai terlihat meningkat pada bulan Mei yaitu mencapai 6.39 m/s, kecepatan angin yang kuat di bulan Mei ini yang kemudian menyebabkan terdorongnya massa air di bagian permukaan yang kemudian diikuti dengan naiknya massa air dari bagian dalam hingga mencapai ke permukaan. Proses ini berlanjut secara terus menerus dan mulai nampak jelas fenomenanya di minggu kedua bulan Juni yang ditandai dengan penurunan SPL dan diikuti dengan peningkatan konsentrasi klorofil-a pada minggu keempat bulan Juni (Gambar 29).