BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB I PENDAHULUAN. bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1. manifestasi klinis tergantung pada organ target. Manifestasi klinis umum dari

BAB V PEMBAHASAN. anak kelas 1 di SD Negeri bertaraf Internasional dan SD Supriyadi sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi asma semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir ini terutama di

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB 1 PENDAHULUAN. immunoglobulin E sebagai respon terhadap alergen. Manifestasi yang dapat

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. Asma bronkial merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai pada anak

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

BAB I PENDAHULUAN. paru-paru. Penyakit ini paling sering diderita oleh anak. Asma memiliki gejala berupa

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu penyakit jalan nafas obstruktif intermitten,

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB I PENDAHULUAN. masih cenderung tinggi, menurut world health organization (WHO) yang bekerja

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba

DI RT 06 RW 02 DESA KUDU KELURAHAN BAKI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAKI I SUKOHARJO

BAB II LANDASAN TEORI. ke waktu karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta. pemahaman mengenai patologi, patofisiologi, imunologi, dan genetik

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai

BAB VI PEMBAHASAN. Pada penelitian ini didapatkan insiden terjadinya dermatitis atopik dalam 4 bulan pertama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi

BAB I PENDAHULUAN. Scottish Health Survey pada anak usia 2-15 tahun didapatkan persentasi anak lakilaki

BAB I PENDAHULUAN. Mekanisme alergi tersebut akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen

BAB 1 PENDAHULUAN. imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu,

HASIL DAN PEMBAHASAN. 7. Peubah rancangan tempat tidur (TMP_TDR) Tempat tidur (1) (2) Kasur 1 0 Lainnya 0 1 Busa 0 0. Deskripsi Rerponden

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. yang berbatas pada bagian superfisial kulit berupa bintul (wheal) yang

kekambuhan asma di Ruang Poli Paru RSUD Jombang.

BAB I PENDAHULUAN. Serangan asma merupakan salah satu penyebab rawat inap pada anak dirawat di

BAB I PENDAHULUAN. mengenai kematian akibat asma mengalami peningkatan dalam beberapa dekade

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. populasi masyarakat yang menderita alergi. Suatu survei yang dilakukan oleh World

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dermatitis atopik adalah penyakit kulit kronik, kambuhan, dan sangat gatal yang umumnya berkembang saat

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit. peradangan kulit kronik spesifik yang terjadi pada

FAKTOR YANG DIDUGA MENJADI RESIKO PADA ANAK DENGAN RINITIS ALERGI DI RSU DR. CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. fungsi barier epidermal, infiltrasi agen inflamasi, pruritus yang

BAB 1 PENDAHULUAN. usia anak. Anak menjadi kelompok yang rentan disebabkan masih. berpengaruh pada tumbuh kembang dari segi kejiwaan.

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi merupakan penyakit peradangan pada. sistem pernapasan yang disebabkan oleh reaksi alergi

BAB I PENDAHULUAN. Dermatitis atopik adalah penyakit kulit inflamasi yang khas,bersifat kronis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menjadi menyempit karena meningkatnya prevalensi di negara-negara berpendapatan

BAB I PENDAHULUAN. Reaksi alergi dapat menyerang beberapa organ dan pada setiap kelompok usia.

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari bahasa Yunani (yang berarti terengah-engah) dan pertama kali

BAB I PENDAHULUAN. memburuk menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang sering berubahubah. yang merugikan kesehatan, kususnya pada penderita asma.

BAB I PENDAHULUAN. asma di dunia membuat berbagai badan kesehatan internasional. baik, maka akan terjadi peningkatan kasus asma dimasa akan datang.

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.

BAB I PENDAHULUAN. mengi, sesak nafas, batuk-batuk, terutama malam menjelang dini hari. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Asma masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di. dunia dan merupakan penyakit kronis pada sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. karena berperan terhadap timbulnya reaksi alergi seperti asma, dermatitis kontak,

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bahan kimia atau iritan, iatrogenik, paparan di tempat kerja atau okupasional

PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang Permasalahan. Alergen adalah zat yang biasanya tidak berbahaya

@UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Alergi merupakan penyakit yang sering terjadi pada balita. Prevalensi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LAMPIRAN 1. Biaya Penelitian 1. Alergen / pemeriksaan Rp ,- 2. Transportasi Rp ,- 3. Fotokopi dll Rp

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupan manusia, kesehatan merupakan hal yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. dan paling banyak ditemui menyerang anak-anak maupun dewasa. Asma sendiri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengganggu aktivitas sosial (Bousquet, et.al, 2008). Sebagian besar penderita

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

PENDEKATAN KEDOKTERAN KELUARGA DALAM PENATALAKSANAAN TERKINI SERANGAN ASMA PADA ANAK

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Jalan, Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Salatiga. Jumlah seluruh

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. imun. Antibodi yang biasanya berperan dalam reaksi alergi adalah IgE ( IgEmediated

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. timbul yang disertai rasa gatal pada kulit. Kelainan ini terutama terjadi pada masa

PENGOBATAN DINI ANAK ATOPI

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang

- Asma pada Anak. Arwin AP Akib. Patogenesis

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan

BAB I PENDAHULUAN. umumnya. Seseorang bisa kehilangan nyawanya hanya karena serangan

BAB l PENDAHULUAN. disebut juga eksema atopik, prurigo besnier, neurodermatitis

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ASMA DAN PENDIDIKAN JASMANI OLAHRAGA DAN KESEHATAN (PENJASORKES) DI SEKOLAH. I Made Kusuma Wijaya

ABSTRAK GAMBARAN ALERGEN PASIEN RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. populasi dalam negara yang berbeda. Asma bronkial menyebabkan kehilangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran pernafasan obstruktif intermitten, reversible dimana

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. American Thoracic Society (ATS) dan European Respiratory Society (ERS)

BAB I PENDAHULUAN. dunia, diantaranya adalah COPD (Chonic Obstructive Pulmonary Disease)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dengan kisaran usia 5-14 tahun (Gerald dkk, 2004). Prevalens asma di Indonesia belum

Faktor-faktor Risiko Yang Berhubungan dengan Kejadian Asma Pada Anak Usia 1-5 Tahun di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya

Faktor Risiko dan Faktor Pencetus yang Mempengaruhi Kejadian Asma pada Anak di RSUP Dr. M. Djamil Padang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit asma merupakan kelainan yang sangat sering ditemukan dan diperkirakan 4-5% populasi penduduk di Amerika Serikat terjangkit oleh penyakit ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia dini. Sekitar separuh kasus timbul sebelum usia 10 tahun dan sepertiga kasus lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun. Pada usia anak-anak terdapat predisposisi laki-laki : perempuan = 2 : 1 yang kemudian menjadi sama pada usia 30 tahun (Isselbacher, 2000). Prevalensi asma pada anak-anak berkisar antara 1,4% hingga 11,4% (Santosa, 2008). Penelitian International Study of Asthma and Allergy in Childhood (ISAAC) fase I tahun 1996, prevalensi asma pada anak usia 13 hingga 14 tahun di Indonesia adalah sekitar 1,6%, sementara hasil survei prevalensi asma anak di Indonesia oleh Kartasasmita tahun 2002 untuk usia anak 13 hingga 14 tahun sebesar 5,2% (Kartasasmita, 2008). Penelitian prevalensi asma yang dilakukan pada siswa sekolah dasar (SD) di kotamadya Yogyakarta tahun 1990 oleh Naning, dengan menggunakan kuesioner ISAAC didapatkan prevalensi asma sebesar 4,8% (Naning et. al., 1991). Penelitian yang dilakukan oleh Sjaifurrochman pada bulan Mei 1998 s/d Mei 1999, yang dilakukan pada siswa sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) di kotamadya Yogyakarta dengan metode yang sama didapatkan prevalensi sebesar 10,55% (Sjaifurrochman and Sadjimin, 2000). Penelitian yang dilakukan oleh 1

2 Sundari pada siswa SLTP di kotamadya Yogyakarta tahun 1998, didapatkan prevalensi asma sebesar 10,9% (Sundari et. al., 1999). Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) tahun 2004 membuat definisi asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik timbul secara episodik, cenderung pada malam/dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktifitas fisik, serta mempunyai riwayat asma atau atopi lain dalam keluarga atau penderita sendiri (Nataprawira, 2008). Konsensus Internasional III membagi derajat penyakit asma anak berdasarkan keadaan klinis dan kebutuhan obat menjadi 3 yaitu, Asma episodik jarang yang meliputi 75% populasi anak asma, Asma episodik sering meliputi 20% populasi dan Asma persisten meliputi 5% populasi. Klasifikasi asma seperti ini juga dikemukakan oleh Martin dkk dari Melbourne asthma Study Group (Lenfant and Khaltaev, 2002). Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya serangan asma, kejadian asma, berat ringannya penyakit, serta kematian akibat penyakit asma. Beberapa faktor tersebut sudah disepakati oleh para ahli, sedangkan sebagian yang lain masih dalam penelitian. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah jenis kelamin, usia, sosio-ekonomi, alergen, infeksi, atopi, lingkungan dan lain-lain (Kartasasmita, 2008). Asma dibagi menjadi 2 golongan yaitu asma alergi/atopi dan nonalergi dengan gambaran patologi yang ditemukan tidak berbeda walaupun berbeda penyebabnya. Pada anak dan dewasa muda, asma dihubungkan dengan

3 manifestasi atopi melalui mekanisme imunologi yang tergantung pada IgE (Supriyatno and Wahyudin, 2008). Atopi adalah peningkatan sensitivitas sebagai hasil peningkatan antibodi IgE spesifik terhadap alergen lingkungan yang umum seperti tungau, serbuk sari atau bulu hewan. Pajanan ulang terhadap alergen secara bermakna akan meningkatkan prevalensi asma (Field and Gillis, 1997). Sembilan puluh persen penyandang asma anak dan 80% dewasa adalah atopi (Creticos, 2001). Asma alergi/atopi ditandai dengan infiltrasi eosinofil dan sel T helper 2 (Th- 2) ke mukosa bronkus, peningkatan antibodi IgE spesifik dalam sirkulasi, uji kulit positif dengan menggunakan alergen yang umum dan hipereaktivitas bronkus. Melalui Interleukin-4 (IL-4) dan IL-13, sel B akan distimulasi untuk menghasilkan IgE dan melalui IL-5 akan terjadi pertumbuhan, diferensiasi dan mobilisasi eosinofil ke saluran pernafasan pada pajanan ulang terhadap alergen. IL-13 berperan sebagai regulator respons inflamasi dengan menghambat aktivasi dan pelepasan sitokin inflamasi (Creticos, 2001; Humbert, 1999; Corry dan Kheradmand, 1999). Adanya atopi berhubungan dengan meningkatnya risiko asma persisten dan beratnya asma. Menurut laporan dari Inggris, pada anak usia 16 tahun dengan riwayat asma atau mengi, akan terjadi serangan mengi dua kali lipat lebih banyak jika anak pernah mengalami hay fever, rhinitis alergi atau eksema. Menurut Buffum dan Settipane, anak dengan eksema dan uji kulit positif menderita asma berat. Terdapat juga laporan bahwa anak dengan mengi persisten dalam kurun waktu 6 tahun pertama kehidupan mempunyai kadar IgE lebih tinggi daripada

4 anak yang tidak pernah mengalami mengi, pada usia 9 bulan. Beberapa laporan menunjukkan bahwa sensitisasi alergen inhalan, susu, telur, atau kacang pada tahun pertama kehidupan, merupakan prediktor timbulnya asma (Kartasasmita, 2008). Paparan alergen pada individu yang tersensitisasi, telah jelas akibatnya pada derajat penyakit asma, morbiditas asma dan penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan (Platts-Mills et. al., 2007). Paparan alergen inhalan pada individu yang tersensitisasi merupakan faktor risiko kekambuhan/ eksaserbasi asma, gejala asma persisten dan perubahan fungsi paru yang bermakna (Koshak, 2006). Semakin muda anak tersensitisasi alergen inhalan biasanya mempunyai gejala asma persisten pada masa remaja dan dewasa serta fungsi paru yang rendah daripada yang tidak tersensitisasi (Illi et. al., 2006). Alergen outdoor dan alergen indoor, keduanya mensensitisasi dan menyebabkan eksaserbasi asma alergi dan rhinokonjungtivitis. Sebagian besar alergen outdoor berasal dari serbuk pohon, rumput dan tembakau. Sebagian besar alergen indoor berasal dari tungau, jamur, kecoa, kucing, anjing dan bulu binatang yang lain (Arbes et. al., 2005). Ada 3 macam penanganan pasien dengan penyakit alergi, termasuk asma alergi. Penanganan ini termasuk penghindaran alergen inhalan, pengobatan untuk mengontrol gejala, dan imunoterapi alergen. Kualitas lingkungan dalam ruangan yang baik adalah penting, karena sebagian besar orang berada di dalam ruangan lebih dari 90% waktunya, dan lebih dari setengahnya berada di dalam rumah. Hal

5 ini penting dalam penghindaran paparan alergen pada pasien dengan alergi pada alergen indoor (Arbes et. al., 2005; Richardson et. al., 2005). Tungau debu rumah, kecoa, kucing dan anjing adalah alergen indoor yang umum ditemukan, yang berperan besar terhadap sensitisasi dan sebagai faktor pencetus asma pada anak di beberapa belahan dunia (Munir et. al., 1997; Koshak, 2006). Pengetahuan tentang sensitivitas alergen spesifik merupakan pedoman penting pada manajemen asma, penghindaran terhadap alergen, imunoterapi dan pengobatan alergi. Pedoman National Asthma Education and Prevention Program (NAEPP) terbaru merekomendasikan uji alergi untuk orang dengan asma persisten, dan setelah sensitivitas diketahui ditentukan penghindaran trigger (pencetus) dan pengurangan paparan alergen (William et. al., 2003). Uji tusuk kulit adalah salah satu jenis uji alergi sebagai alat diagnosis yang banyak digunakan untuk membuktikan adanya IgE spesifik yang terikat pada sel mastosit di kulit. Dibawah permukaan kulit terdapat sel mast yang di dalamnya didapatkan granula-granula yang berisi histamin. Sel mast ini juga memiliki reseptor yang berikatan dengan IgE. Ketika lengan IgE ini mengenali alergen (misalnya kecoa) maka sel mast terpicu untuk melepaskan granul-granulnya ke jaringan setempat, maka timbulah reaksi alergi karena histamin dan mediator lainnya yang dapat menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah akibatnya timbul kemerahan (flare) dan bentol (wheal) pada kulit tersebut (Lie, 2004).

6 B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa asma merupakan penyakit yang sering ditemukan pada anak. Penghindaran alergen merupakan salah satu penanganan alergi dan sebagian besar waktu anak berada dalam ruangan, sehingga penting untuk mengetahui hubungan antara sensitisasi alergen indoor dengan kekambuhan asma pada anak. C. Pertanyaan Penelitian Apakah sensitisasi alergen indoor berhubungan dengan kekambuhan asma pada anak? D. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui hubungan antara sensitisasi alergen indoor dengan kekambuhan asma pada anak.

7 E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang sensitisasi alergen indoor yang berhubungan dengan asma yang pernah dilakukan antara lain : 1. Surdu et. al., (2006) dengan judul : Childhood asthma and indoor allergens in Native Americans in New York. Penelitian ini bertujuan untuk mencari korelasi antara asma pada anak dengan faktor risiko potensial, terutama paparan alergen indoor pada populasi penduduk asli Amerika. Metode yang digunakan adalah case-control study. Dari data rekam medis St. Regis Mohawk Health Service dari kelompok anak umur 2-14 tahun, diambil 25 kasus dengan asma dan 25 kontrol yang dilakukan matching umur dan jenis kelamin. Paparan ditentukan berdasarkan wawancara dan pengukuran alergen tungau debu rumah dan kucing yang terdapat pada debu dalam rumah. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya hubungan positif antara asma dengan paparan alergen tungau debu rumah dan kucing tapi tidak bermakna secara statisitik. Penelitian ini mengidentifikasi beberapa faktor risiko potensial indoor maupun outdoor pada asma di pemukiman Mohawk, dimana penghindaran dari paparan akan menurunkan atau memperlambat perkembangan asma secara individual.

8 2. Leung et. al., (2002) dengan judul : Inhalant Allergens as Risk Factors for the Development and Severity of Mild-to-Moderate Asthma in Hongkong Chinese Children. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti alergen indoor yang dominan pada anak dengan asma di rumah sakit pendidikan di Hongkong dan untuk menentukan apakah ada hubungan antara sensitisasi alergen dengan beratnya asma pada masa yang akan datang. Metode yang digunakan adalah casecontrol study, dengan concecutive sampling, 173 pasien asma anak yang berkunjung ke spesialis anak umum dimasukkan dalam penelitian, 3 pasien dikeluarkan dari penelitian. Lima puluh tujuh subjek kontrol bukan pasien alergi dan bukan pasien imunologi digunakan sebagai pembanding. Penelitian ini menunjukkan bahwa 85% pasien asma anak mempunyai sensitisasi terhadap tungau debu rumah. Sensitisasi terhadap tungau debu rumah dan kucing sesuai dengan peningkatan konsentrasi IgE total di serum. Sensitisasi tungau debu rumah merupakan faktor risiko perkembangan asma selanjutnya. Beratnya asma berkorelasi bermakna dengan sensitisasi terhadap tungau debu rumah, hewan piaraan dan kecoa. Sebagai kesimpulan, alergen inhalan indoor adalah salah satu faktor risiko untuk perkembangan dan derajat asma ringan sampai sedang di anak-anak Cina di Hongkong. 3. Joo et. al., (2002) dengan judul : Atopy as a Risk Factor for Asthma Severity. Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara paparan dan sensitisasi terhadap alergen indoor dengan beratnya asma di populasi Suburban. Anak dengan asma diambil dari 4 praktek dokter anak di Baltimore.

9 Penelitian ini menggunakan metode cross-sectional study dengan subjek penelitian sebanyak 158 anak dengan asma, kemudian dilakukan uji tusuk kulit. Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan yang tidak bermakna antara paparan alergen atau sensitisasi terhadap alergen spesifik dengan beratnya asma, tetapi beratnya asma menunjukkan hubungan bermakna dengan derajat atopi. 4. Wong et. al., (2002) dengan judul : Individual Allergens as Risk Factors for Asthma and Bronchial Hiperresponsiveness in Chinese Children. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan hubungan antara sensitisasi alergen dengan perkembangan asma dan hiperesponsivitas bronkhus pada anak sekolah di 3 kota: Hongkong, Beijing dan Guangzhou. Penelitian berbasis komunitas dengan mengunakan sampel yang diambil secara acak pada anak sekolah umur 10 tahun di 3 kota tersebut di atas. Metode yang digunakan adalah cross-sectional study. Subjek diteliti dengan menggunakan kuesioner yang diisi oleh orang tua anak, kemudian dilakukan uji tusuk kulit dan uji provokasi bronkhus. Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan yang bermakna antara sensitisasi alergen tungau debu rumah dan kucing dengan wheezing dan hiperesponsivitas bronkhus. Untuk atopi didapatkan hasil Odds Ratio (OR)=2,53; 95% CI: 1,07-5,97.

10 Penelitian yang akan kami lakukan mempunyai perbedaan dalam hal: a. Variabel penelitian: variabel terikat yang diteliti adalah frekuensi kekambuhan asma. b. Waktu penelitian: penelitian ini dilakukan untuk memperbarui penelitian yang sudah ada. F. Manfaat penelitian 1. Bidang ilmu pengetahuan Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam ilmu pengetahuan dan dapat menambah wawasan tentang faktor risiko kekambuhan asma pada anak. 2. Bidang kemasyarakatan Pengetahuan tentang sensitisasi alergen indoor sebagai faktor risiko kekambuhan asma, diharapkan dapat menjadi masukan dalam penatalaksanaan asma terutama dalam pencegahan kekambuhan sehingga meningkatkan kualitas hidup penderita asma. 3.Bidang penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam penelitianpenelitian penyakit asma lainnya.