HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
Kuesioner Penelitian PENGETAHUAN GIZI IBU DAN PRAKTEK PELAKSANAAN INISIASI MENYUSUI DINI SERTA STATUS GIZI BATITA DI PERDESAAN DAN PERKOTAAN

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. n= z 2 1-α/2.p(1-p) d 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Batita Karakteristik Keluarga

METODE PENELITIAN. n = z 2 α/2.p(1-p) = (1,96) 2. 0,15 (1-0,15) = 48,9 49 d 2 0,1 2

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. penuh perjuangan bagi ibu yang menyusui dan bayinya (Roesli, 2003).

BAB I PENDAHULUAN. menyusu dalam 1 jam pertama kelahirannya (Roesli, 2008). Peran Millenium

demam tinggi, buah dada membengkak dan bernanah (abses) menyebabkan anak tidak boleh diberi ASI (Oswari 1986). Produksi ASI dipengaruhi konsumsi

METODE PENELITIAN. Sedep n = 93. Purbasari n = 90. Talun Santosa n = 69. Malabar n = 102. n = 87. Gambar 3 Teknik Penarikan Contoh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan zat gizi bagi bayi sampai usia dua tahun merupakan hal yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam peningkatan kualitas

TUTORIAL DAN PENDAMPINGAN ASI EKSKLUSIF SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN IMUN DAN KECERDASAN ANAK SEJAK DINI BAGI IBU-IBU PKK KECAMATAN BANDUNG TULUNGAGUNG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN Latar Belakang

67,3 54,5 43,6 32,7 1,8 0. Kategori umur orangtua contoh. Gambar 3 Sebaran umur orangtua contoh

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Teknik Penarikan Contoh

METODE. PAUD Cikal Mandiri. PAUD Dukuh. Gambar 2 Kerangka pemilihan contoh. Kls B 1 :25. Kls A:20. Kls B 2 :30. Kls B:25. Kls A:11

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dahulu Air Susu Ibu merupakan makanan yang terbaik untuk bayi, karena

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keikutsertaan PAUD

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan bayi akan zat gizi sangat tinggi untuk mempertahankan

BAB I PENDAHULUAN. Air Susu Ibu (ASI) sangat bermanfaat untuk imunitas, pertumbuhan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. dalam kandungan disertai dengan pemberian Air susu ibu (ASI) sejak usia

Artikel Pola Asuh Gizi Pada Bayi Anak Makalah Pengertian Contoh

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dan pertumbuhan, juga mengandung sel-sel darah putih, antibodi,

PENGARUH KONSELING GIZI PADA IBU KELUARGA MISKIN TERHADAP PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan ASI eksklusif atau pemberian ASI secara eksklusif adalah bayi

I. PENDAHULUAN. Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama dalam bidang

TINJAUAN PUSTAKA. B. PENILAIAN STATUS GIZI Ukuran ukuran tubuh antropometri merupakan refleksi darik pengaruh 4

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada rakyat jelata, bahkan dasar utama terletak pada kaum wanita, yaitu

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Untuk

METODOLOGI. n = 2 (σ 2 ) (Zα + Zβ) δ 2

BAB 1 PENDAHULUAN. Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif adalah pemberian ASI tanpa makanan dan

BAB I PENDAHULUAN. makanan dan minuman lain atau disebut dengan ASI Eksklusif dapat memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. 24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat,

BAB I PENDAHULUAN. satu-satunya makanan yang terbaik untuk bayi, karena memiliki. komposisi gizi yang paling lengkap untuk pertumbuhan dan

MENARA Ilmu Vol. X Jilid 2 No.70 September 2016

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi khususnya balita stunting dapat menghambat proses

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kesehatan termasuk dalam hal gizi. Hal ini terbukti dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Menyusui akan menjamin bayi tetap sehat dan memulai. kehidupannya dengan cara yang paling sehat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

METODE PENELITIAN Desain Penelitian Teknik Penarikan Contoh

BAB I PENDAHULUAN. protein, laktosa dan garam-garam organik yang disekresi oleh kedua belah

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENINGKATAN PEMBERIAN AIR SUSU IBU EKSKLUSIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, kesehatan yang

BAB I PENDAHULUAN. mendapat perhatian, karena merupakan kelompok yang rawan terhadap

BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN

METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Cara Pemilihan Contoh

Gambar 3 Hubungan ketahanan pangan rumahtangga, kondisi lingkungan, morbidity, konsumsi pangan dan status gizi Balita

KUESIONER FAKTOR-FAKTORYANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WALANTAKA TAHUN 2013

SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN (INFORMED CONSENT)

METODE PENELITIAN Desain, Waktu, dan Tempat Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh Jenis dan Cara Pengambilan Data

BAB 1 PENDAHULUAN. Colostrum merupakan bagian dari ASI yang penting untuk diberikan pada

BAB II TINJAUAN TEORITIS

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian. Air susu ibu (ASI) adalah cairan hasil sekresi kelenjar payudara ibu, yang

METODE PENELITIAN Waktu, Tempat, dan Desain Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

BAB I PENDAHULUAN. Menyusui merupakan cara alami memberi makan bayi. Sejak terjadinya pembuahan, tubuh ibu mempersiapkan diri untuk

KUESIONER PENELITIAN PERILAKU IBU YANG MEMILIKI BAYI DALAM PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KOTA MATSUM TAHUN 2015

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA CIHIDEUNG ILIR, KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR

BAB 1 PENDAHULUAN. ASI Ekslusif pada bayinya (Laksono, 2010). Di daerah pedesaan, pada

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal serta melindungi anak dari

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan kecerdasan anak. Pembentukan kecerdasan pada masa usia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. (usia tahun) berjumlah sekitar 43 juta jiwa atau 19,61 persen dari jumlah

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. obstetrik dan ginekologi di suatu wilayah adalah dengan melihat Angka

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Populasi dan Sampel Penelitian n = (zα² PQ) / d²

TINJAUAN PUSTAKA. ditentukan oleh ketersediaan zat gizi dalam jumlah cukup dan dalam. penyerapan, dan penggunaan zat-zat tersebut (Triaswulan, 2012)

TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Gizi Pada Balita

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Gambar 1 Hubungan pola asuh makan dan kesehatan dengan status gizi anak balita

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI HASIL PENELITIAN. Kesimpulan penelitian Manfaat Penyuluhan Gizi dalam Upaya Peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. penurunan tingkat kecerdasan. Pada bayi dan anak, kekurangan gizi akan menimbulkan

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP) ASI Ekslusif 6 Bulan

LEMBAR KESEDIAN dalam PENELITIAN

Jurnal Keperawatan, Volume XI, No. 2, Oktober 2015 ISSN HUBUNGAN INISIASI MENYUSU DINI (IMD) DENGAN WAKTU PENGELUARAN KOLOSTRUM

Lampiran 1 Tingkat ketahanan pangan di berbagai wilayah di Provinsi Jawa Tengah

PROFIL STATUS GIZI ANAK BATITA (DI BAWAH 3 TAHUN) DITINJAU DARI BERAT BADAN/TINGGI BADAN DI KELURAHAN PADANG BESI KOTA PADANG

BAB I PENDAHULUAN. The World Health Report Tahun 2005 dilaporkan Angka Kematian Bayi Baru

METODE PENELITIAN. n =

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tetapi pada masa ini anak balita merupakan kelompok yang rawan gizi. Hal ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Hasil penelitian multi-center yang dilakukan UNICEF menunjukkan bahwa MP-

BAB 1 PENDAHULUAN. antara konsumsi, penyerapan zat gizi, dan penggunaannya di dalam tubuh yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Letak Geografis Kelurahan Situgede merupakan salah satu kelurahan yang terletak di Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor yang menjadi salah satu lokasi penelitian mewakili daerah perkotaan. Kelurahan Situgede memiliki luas wilayah 232,47 Ha dan terdiri dari 33 RT dalam 10 RW. Secara geografis, Kelurahan Sitgede dibatasi oleh Kelurahan Bubulak di sebelah timur, Desa Cikarawang di sebelah barat, Kali Cisadane di sebelah utara, dan Kali Sindangbarang di sebelah selatan. Desa Sukajadi memiliki luas wilayah 304,139 Ha yang terbagi kedalam 3 Dusun, dan 32 RT dalam 11 RW. Secara geografis, Desa Situgede berbatasan dengan Desa Purwasari, Desa Petir, dan Desa Sukadami Kecamatan Dramaga disebelah utara, Desa Sukajaya disebelah timur, Gunung Salak disebelah selatan, dan Desa Gunung Malang Kecamatan Tenjolaya disebelah barat. Sosio Demografi Umur dan Jenis Kelamin. Jumlah penduduk Kelurahan Situgede adalah 7.941 jiwa yang terdiri dari 4.048 orang laki-laki dan 3.893 orang perempuan dengan 2.228 kepala keluarga. Jumlah penduduk paling banyak tersebar pada kelompok umur 20-29 tahun. Jumlah penduduk Desa Sukajadi adalah 7.828 jiwa yang terdiri dari 3.915 orang laki-laki dan 3.913 orang perempuan dengan 1.805 kepala keluarga. Jumlah penduduk paling besar tersebar pada kelompok umur 0-4 tahun. Pendidikan Penduduk. Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan pada Kelurahan Situgede yang terbanyak berada pada lulusan Sekolah Dasar atau sederajat, yaitu sebanyak 3.121 orang. Lulusan akademi dan perguruan tinggi mencapai 133 orang. Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan pada Desa Situgede yang terbanyak berada pada lulusan Sekolah Dasar atau sederajat, yaitu sebanyak 2.523 orang dan sebanyak 4.572 orang tidak tamat Sekolah Dasar atau sederajat. Pekerjaan Penduduk. Jumlah penduduk menurut mata pencaharian pada Kelurahan Situgede terbanyak bermata pencaharian sebagai buruh tani, yaitu sebanyak 1.134 orang. Jenis pekerjaan lain yang banyak ditekuni oleh

32 penduduk yaitu petani (357 orang), swasta/bumn/bumd (165 orang), wiraswasta/pedagang (137 orang) dan jasa (132 orang). Jumlah penduduk menurut mata pencaharian pada Desa Sukajadi terbanyak bermata pencaharian sebagai buruh tani, yaitu sebanyak 1.422 orang. Pekerjaan lain yang banyak ditekuni adalah pedagang (637 orang), pengrajin (629 orang) dan swasta (362 orang). Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana yang terdapat di Kelurahan Situgede terdiri dari : saran dan prasarana kesehatan berupa poliklinik (1 buah), praktek bidan (1 buah), balai pengobatan (2 buah), posyandu (11 buah). Sarana dan prasarana peribadatan berupa masjid (10 buah) dan mushola (9 buah). Sarana dan prasarana pendidikan umum negeri berupa sekolah dasar (5 buah) dan SMP (1 buah). Sarana dan prasarana pendidikan umum swasta berupa TK (3 buah), RA (7 buah), SMP (1 buah), dan MA (1 buah). Sarana dan prasarana pendidikan luar sekolah berupa PAUD (3 buah) dan kejar paket B (1 buah). Sarana dan prasarana yang terdapat di Desa Sukajadi terdiri dari : Sarana pendidikan umum berupa TK (1 buah), SD/MI (2 buah) dan SLTP (1 buah). Sarana pendidikan Islam, yaitu PAUD (4 buah), RA/TK Al-Qur an (1 buah), MTs (1 buah), Pondok Pesantren (2 buah), dan Majelis Taklim (11 buah). Sarana dan prasarana peribadatan yang ada berupa masjid (12 buah) dan mushola (32 buah). Sarana dan prasarana kesehatan dan tenaga medis yang melaksanakan praktek di desa, yaitu puskesmas (1 buah), posyandu (11 buah), bidan desa (1 orang), dukun beranak tak terlatih (3 orang), dan kader posyandu (33 orang). Menurut data laporan bulanan UPTD puskesmas Sindangbarang 2011, jumlah bayi lahir di Kelurahan Situgede hingga bulan Maret 2011 adalah 44 bayi, 43 diantaranya ditolong oleh bidan atau tenaga kesahatan dan 1 bayi ditolong oleh dukun beranak. Total balita yang diberikan ASI eksklusif hingga usia 6 bulan sebanyak 26 balita. Jumlah bayi lahir yang tercatat di UPTD Tamansari hingga bulan Maret 2011 adalah 30 bayi, 18 diantaranya ditolong dukun beranak dan 12 bayi ditolong oleh bidan atau tenaga kesehatan. Total pemberian ASI eksklusif hingga usia 6 bulan sebanyak 15 balita.

33 Karakteristik Batita Sebagian besar batita baik di perkotaan maupun perdesaan berjenis kelamin laki-laki dengan persentase sebesar 59,7% dan 40,3% berjenis kelamin perempuan. Di perkotaan sebesar 67,7% batita berjenis kelamin laki-laki dan 32,3% berjenis kelamin perempuan. Sedangkan di perdesaan persentase batita yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 51,6% dan perempuan sebesar 48,4%. Umur batita dari contoh penelitian berkisar antara 12-35 bulan. Rata-rata umur batita di perkotaan dan perdesaan adalah 23,5 bulan. Sebesar 58,1% batita di perkotaan berusia antara 24-35 bulan dan 41,9% batita berusia 12-23 bulan. Pada daerah perdesaan sebesar 48,4% batita berusia antara 24-35 bulan dan 51,6% batita berusia antara 12-23 bulan. Masa batita (bawah tiga tahun) merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang manusia. Pertumbuhan dan perkembangan di masa itu menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan masa yang berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang, karena itu sering disebut golden age atau masa keemasan (Sutomo & Anggraini 2010). Uji t yang dilakukan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata antara umur bayi di perkotaan dan perdesaan (p>0,05). Berat bayi lahir dikatan rendah jika berat badan lahir < 2500 gram. Ratarata berat bayi lahir di perkotaan dan perdesaan adalah 3200 gram. Sebesar 96,8% batita di perkotaan dan perdesaan memiliki berat badan lahir diatas 2500 gram dan 3,2% batita memiliki berat badan lahir kurang dari 2500 gram. Hasil uji t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata (p>0,05) antara berat bayi lahir di perkotaan dan perdesaan. Tidak adanya perbedaan antara berat bayi lahir dikedua lokasi diduga karena ibu dikedua daerah telah memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kehamilan dan dapat menjaga janinnya selama masa kehamilan Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin, umur, dan berat bayi lahir Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Umur (bulan) 12-23 24-35 Variabel 21 10 67,7 32,3 16 15 51,6 48,4 13 18 41,9 58,1 16 15 51,6 48,4 29 33 Rata-rata umur batita 24,8 22,2 23,5 37 25 59,7 40,3 46,8 53,2

34 Tabel 4 (Lanjutan) Berat bayi lahir < 2500 gram 2500 gram Variabel 1 30 3,2 96,8 1 30 3,2 96,8 2 60 Rata-rata berat badan lahir 2,9 2,9 2,9 Umur ibu Karakteristik Ibu 3,2 96,8 Sebaran umur ibu dikelompokkan menjadi empat, yaitu remaja (< 20 tahun), dewasa awal ( 20-40 tahun), dewasa tengah ( 41-65 tahun), dan dewasa akhir ( 65 tahun). Harlock (1998) menyatakan bahwa orang tua khususnya ibu yang terlalu muda (< 20 tahun) cenderung kurang mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang cukup dalam mengasuh anak dan lebih cenderung menjadikan ibu lebih memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya sehingga kulitas dan kuantitas pengasuhan anak kurang terpenuhi. Sebaliknya, pada ibu yang memiliki usia yang telah matang (dewasa) akan cenderung menerima perannya dengan sepenuh hati. Sebesar 96,8% umur ibu di perkotaan tergolong ke dalam dewasa awal (20-40 tahun) dan 3,2% tergolong ke dalam dewasa tengah (41-65 tahun). Sedangkan di perdesaan sebesar 3,2% umur ibu tergolong ke dalam remaja (< 20 tahun), 93,5% tergolong ke dalam dewasa awal (20-40 tahun), dan sebesar 3,2% tergolong ke dalam dewasa akhir (41-65 tahun). Rata-rata umur ibu di perkotaan sebesar 31 tahun sedangkan di perdesaan sebesar 28 tahun. Hasil uji t test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata (p>0,05) antara ibu di perkotaan dan perdesaan. Tabel 5 menunjukkan sebaran umur ibu. Tabel 5 Sebaran umur ibu Kategori umur Remaja (< 20) 0 0 1 3,2 1 1,6 Dewasa awal (20-40) 30 96,8 29 93,5 59 95,2 Dewasa tengah (41-65) 1 3,2 1 3,2 2 3,2 Rata-rata umur ibu ± SD 28,4 30,7 29,5 Pendidikan ibu Pendidikan ibu dibagi kedalam 6 kategori yaitu tidak tamat SD, tamat SD, tamat SMP, tamat SMA, Akademik/D1/D2/D3, Universitas/Sarjana. Secara keseluruhan pendidikan ibu di kedua daerah tergolong cukup baik. Sebesar

35 46,8% ibu tergolong tamatan SD, 29% tergolong tamatan SMP, 22,6% tergolong tamatan SMA dan 1,6% tergolong tamatan akademik. Tingkat pendidikan ibu di perkotaan lebih baik dibandingkan di perdesaan. Sebesar 29% ibu di perkotaan tergolong tamatan SD, 32,3% ibu tergolong tamatan SMP, 35,5% tergolong tamatan SMA dan sebesar 3,2% tergolong kedalam tamatan Akademik. Sedangkan di daerah perdesaan sebesar 64,5% ibu tergolong tamatan SD, 25,8% tergolong tamatan SMP, dan 9,7% tergolong tamatan SMA. Gunarsa dan Gunarsa (2000) menyatakan bahwa tingkat pendidikan orang tua baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi komunikasi antara orang tua dan anak di dalam lingkungan keluarga. Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan lebih mudah menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi (Atmarita & Fallah 2004). Hasil uji beda menunjukkan terdapat berbedaan nyata antara tingkat pendidikan di perkotaan dan perdesaan (p<0,05), dimana tingkat pendidikan ibu di perkotaan lebih baik dibandingkan di perdesaan. Hal ini diduga karena masih terbatasnya akses akan pendidikan di daerah tersebut serta serta tingkat ekonomi di perdesaan yang lebih rendah menyebabkan mereka lebih cenderung untuk bekerja dibandingkan bersekolah. Tabel 6 menunjukkan sebaran tingkat pendidikan ibu. Tabel 6 Sebaran tingkat pendidikan ibu Pendidikan ibu Tingkat pendidikan Perkotaan Perdesaan Total Tamat SD 9 29 20 64,5 29 46,8 Tamat SMP 10 32,3 8 25,8 18 29 Tamat SMA 11 35,5 3 9,7 14 22,6 Akademik/D1/D2/D3 1 3,2 0 0 1 1,6 Pekerjaan ibu Sebagian besar ibu baik di perkotaan maupun perdesaan merupakan ibu rumah tangga dengan persentase sebesar 93,5%, hanya 6,5% yang bekerja sebagai wiraswasta. Sebagian besar ibu di perkotaan (90,3%) dan perdesaan (96,8%) yang tidak bekerja. Persentase ibu yang bekerja di perkotaan lebih besar dibandingkan perdesaan. Sebesar 9,7% ibu di perkotaan bekerja sebagai wiraswasta. Tingginya persentase ibu yang tidak bekerja dikedua daerah diduga karena sebagian besar ibu memilih untuk merawat dan meluangkan waktu bagi

36 batitanya dengan memperhatikan perkembangan dan status gizi batitanya. Hal ini dapat memberikan dampak yang baik status gizi batita mereka. Mulyani (1990) menyatakan bahwa semakin bertambah luasnya lapangan kerja maka semakin mendorong banyaknya kaum wanita yang bekerja, terutama di sektor swasta. Di satu sisi, hal tersebut berdampak positif bagi pertambahan pendapatan, namun di sisi lain berdampak negatif terhadap pembinaan dan pemeliharaan anak. Perhatian terhadap pemberian makan anak menjadi kurang, sehingga cenderung dapat menyebabkan anak menderita kurang gizi, yang selanjutnya berpengaruh buruk terhadap tumbuh kembang dan perkembangan otak anak. Tabel 7 menunjukkan sebaran contoh menurut pekerjaan. Tabel 7 Sebaran contoh menurut pekerjaan Ibu Total Jenis pekerjaan Perkotaan Perdesaan Tidak bekerja 28 90,3 30 96,8 58 93,5 Wiraswasta 3 9,7 1 3,2 4 6,5 Besar Keluarga Karakteristik Keluarga Secara keseluruhan rata-rata jumlah anggota keluarga di perkotaan dan perdesaan adalah 5 orang. Sebesar 50% tergolong kedalam keluarga kecil ( 4 orang) dan sebesar 16% tergolong ke dalam keluarga besar ( 7 orang). Jumlah anggota keluarga terbesar yang dimiliki oleh contoh adalah 9 orang dan terkecil sebanyak 3 orang. Berdasarkan pada hasil penelitian sebesar 45,2% contoh di perkotaan tergolong kedalam keluarga kecil ( 4 orang), 35,3% tergolong kedalam keluarga sedang (5-6 orang) dan 19,4% tergolong kedalam keluarga besar ( 7 orang). Sedangkan di perdesaan persentase keluarga kecil ( 4 orang) memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan perkotaan, yaitu sebesar 54,8%. Sebanyak 32,3% dari contoh tergolong kedalam keluarga sedang (5-6 orang) dan 12,9% tergolong kedalam keluarga besar ( 7 orang). Masih rendahnya persentase keluarga kecil di perkotaan diduga karena kurangnya kesadaran warga akan pentingnya program KB yang dianjurkan oleh pemerintah. Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata antara besar keluarga di perkotaan maupun di perdesaan (p>0,05). Tabel 8 menunjukkan sebaran contoh menurut besar keluarga.

37 Tabel 8 Sebaran contoh menurut besar keluarga Besar keluarga (orang) Kecil( 4) 14 45,2 17 54,8 31 50 Sedang (5-6) 11 35,3 10 32,3 21 34 Besar ( 7 ) 6 19,4 4 12,9 10 16 Rata-rata (orang) 5 5 5 Pendapatan Keluarga Pendapatan keluarga dinyatakan dalam pendapatan/kapita/bulan. Pendapatan/kapita/bulan dibandingkan dengan garis kemiskinan Provinsi Jawa Barat tahun 2010 sehingga dapat digolongkan menjadi keluarga miskin (< Rp 198.772) dan tidak miskin ( 198.772). Berdasarkan pada penelitian secara keseluruhan rata-rata pendapatan/kapita/bulan keluarga contoh adalah Rp 249.598. Sebesar 56% keluarga contoh tergolong dalam keluarga tidak miskin dan sebesar 44% tergolong keluarga miskin. Rata-rata pendapatan/kapita/bulan keluarga di perkotaan lebih besar (Rp 284.884) dibandingkan perdesaan (Rp 214.312). Hasil uji t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata (p>0,05) antara pendapatan di perkotaan dan perdesaan. Berdasarkan garis kemiskinan, sebesar 41,9% keluarga contoh di perkotaan dan 45,2% di perdesaan termasuk kedalam keluarga miskin dan sebesar 58,1% keluarga contoh di perkotaan dan 54,8% keluarga contoh di perdesaan termasuk kedalam keluarga tidak miskin. Rendahnya pendapatan merupakan kendala yang menyebabkan orang tidak mampu membeli, memilih pangan yang bermutu gizi baik dan beragam. Nasoetion dan Riyadi (1994) menyatakan bahwa tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Pendapatan yang tinggi akan meningkatkan daya beli sehingga keluarga mampu membeli pangan dalam jumah yang diperlukan dan akhirnya berdampak positif terhadap status gizi. Tabel 9 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan pendapatan per kapita per bulan. Tabel 9 Sebaran contoh menurut pendapatan per kapita per bulan Pendapatan/kap/bulan Miskin 13 41,9 14 45,2 27 44 Tidak miskin 18 58,1 17 54,8 35 56 Rata-rata Rp/kap/bulan 284.884 214.312 249.598

38 Pengetahuan Inisiasi Menyusui Dini Ibu Pengetahuan inisiasi menyusui dini ibu dikategorikan menjadi tiga yaitu pengetahuan inisiasi menyusi dini ibu tergolong baik jika total nilai >80%, sedang jika total nilai antara 60%-80%, dan rendah jika total nilai <60%. Berdasarkan pada hasil penelitian pengetahuan inisiasi menyusui dini ibu di perkotaan dan perdesaan tergolong sedang dan tinggi dengan nilai terkecil adalah 9 dan terbesar 20. Sebesar 58,1% ibu di perkotaan memiliki pengetahuan IMD sedang, 38,7% memiliki pengetahuan IMD tinggi dan 3,2% memiliki pengetahuan IMD rendah. Di perdesaan sebesar 51,6% ibu memiliki pengetahuan IMD sedang, 35,5% memiliki pengetahuan IMD tinggi dan 12,9% memiliki pengetahuan IMD rendah. Tabel 10 menunjukkan sebaran pengetahuan inisiasi menyusui dini ibu Tabel 10 Sebaran pengetahuan inisiasi menyusui dini ibu Tingkat pengetahuan IMD ibu Rendah (<60%) 1 3,2 4 12,9 5 8,1 Sedang (60%-80%) 18 58,1 16 51,6 34 54,8 Tinggi ( 80%) 12 38,7 11 35,5 23 37,1 Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata antara pengetahuan inisiasi menyusui dini ibu di perkotaan dan perdesan (p>0.05). Pengetahuan inisiasi menyusui dini dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun informal. Banyaknya kegiatan penyuluhan yang dilakukan tenaga kesehatan merupakan salah satu hal yang dapat mempengaruhi tingkat pegetahuan inisiasi menyusui dini ibu. Pertanyaan tertutup yang digunakan untuk mengukur pengetahuan inisiasi menyusui dini sebanyak 20 pertanyaan yang terbagi kedalam enam kategori pertanyaan yaitu makanan sumber zat gizi, ASI eksklusif, definisi IMD, langkah-langkah IMD, manfaat IMD, dan faktor penghambat IMD. Setiap jawaban benar diberi nilai 1 dan jawaban salah diberi nilai 0, sehingga nilai maksimal yang akan diperoleh adalah 20 dan nilai minimal adalah 0. Pada hasil penelitian menunjukkan terdapat tiga pertanyaan yang hanya mampu di jawab benar oleh sedikit ibu baik di perkotaan maupun perdesaan yaitu pertanyaan mengenai berat badan lahir minimal untuk bayi, waktu yang tepat untuk melaksanakan IMD serta cara bayi dalam mencari puting susu ibu dalam pelaksanaan IMD, dan terdapat satu pertanyaan yang hanya mampu di jawab benar oleh sedikit ibu di perdesaan yaitu mengenai kelompok bahan

39 pangan protein nabati. Tabel 11 menunjukkan sebaran pertanyaan yang di jawab benar oleh ibu di perkotaan dan perdesaan. Tabel 11 Sebaran pertanyaan pengetahuan inisiasi menyusui dini yang dijawab benar oleh ibu diperkotaan dan perdesaan. No Pertanyaan Perkotaan Perdesaan n % n % 1 Kelompok bahan pangan protein hewani 31 100 28 90 2 Kelompok bahan pangan protein nabati 23 74 14 45 3 Pengertian ASI eksklusif 27 87 26 84 4 Pengertian MP ASI 31 100 26 84 5 Lama pemberian ASI eksklusif 31 100 25 81 6 Waktu pemberian ASI pertamakali 25 81 25 81 8 Pengertian kolostrum 31 100 26 84 9 Pengertian IMD 23 74 19 61 10 Waktu yang tepat untuk melaksanakan IMD 16 52 17 55 11 Istilah lain IMD 21 68 24 77 12 Langkah IMD setelah bayi dilahirkan 28 90 26 84 13 Cara bayi dalam mencari puting susu ibu dalam pelaksanaan IMD 11 35 14 45 14 Posisi bayi dalam melaksanakan IMD 23 74 22 71 15 Persalinan pendukung keberhasilan IMD 30 97 31 100 16 Lama pelaksanaan IMD 26 84 24 77 17 Tindakan bagi ibu dan bayi setelah melahirkan 24 77 25 81 18 Manfaat IMD bagi ibu 24 77 29 94 19 Manfaat IMD bagi bayi 29 94 26 84 20 Penghambat pelaksanaan IMD 26 84 21 68 Pertanyaan mengenai kelompok bahan pangan yang mengandung protein nabati dapat dijawab dengan benar oleh 74% ibu di perkotaan dan 45% ibu di perdesaan. Sebagian besar (55%) ibu di perdesaan yang tidak menjawab dengan benar menjawab daging, ikan, telur dan susu merupakan bahan pagan nabati. Hal ini diduga karena bahan pangan tersebut merupakan bahan pangan yang umum mereka ketahui dan merupakan bahan pangan yang banyak mengandung sumber protein, selain itu para ibu juga tidak dapat membedakan bahan makanan yang mengandung protein hewani dan protein nabati. Pertanyaan mengenai berat badan lahir minimal untuk bayi sehat tidak mampu dijawab dengan baik oleh ibu di perkotaan maupun di perdesaan. Hanya sebesar 23% ibu di perkotaan dan 35% ibu di perdesaan yang mampu menjawab dengan benar. Ibu yang tidak menjawab dengan benar baik di perkotaan maupun perdesaan sebagian besar menjawab 3 kg adalah berat badan lahir minimal untuk bayi sehat. Hal ini diduga karena ibu tidak mengetahui berat badan minimal bayi lahir sehat sehingga sebagian besar ibu memperkirakan bahwa dengan berat badan lahir bayi lebih besar atau sama dengan 3 kg dikatakan berat minimal berat badan bayi lahir sehat.

40 Pertanyaan mengenai waktu pelaksanaan IMD hanya dapat dijawab oleh 52% ibu di perkotaan dan 55% ibu di perdesaan. Rata-rata ibu menjawab setelah bayi dibersihkan, diberi tetes mata dan disuntik vitamin K. Hal ini diduga karena sebagian besar ibu yang telah melahirkan menyusui bayinya setelah bayi dalam keadaan bersih. Masih rendahnya pengetahuan ibu mengenai praktek pelaksanaan IMD diduga karena masih rendahnya peran tenaga kesehatan di kedua wilayah dalam memperkenalkan program tersebut sehingga banyak dari ibu yang tidak mengetahui istilah ataupun langkah pelaksanaan IMD. Pertanyaan mengenai cara bayi dalam mecari puting susu ibu hanya dapat dijawab benar oleh 35% ibu di perkotaan dan 45% ibu di perdesaan. Sebagian besar ibu (65%) di perkotaan dan (55%) di perdesaan yang tidak menjawab benar menjawab langsung diarahkan ke puting susu merupakan cara bayi dalam mencari puting susu ibu. Banyaknya ibu yang menjawab salah diduga karena belum optimalnya pelaksaan IMD di kedua daerah. Dalam mencari puting susu ibu, sebagian besar bayi langsung diarahkan dan mendapatkan bantuan dari tenaga medis, sehingga banyak dari ibu yang tidak mengetahui bagaimana cara bayi mencari puting susu ibu dalam pelaksanaan IMD. Pelaksanaan Inisiasi Menyusui Dini Pilar utama dalam proses menyusui adalah inisiasi dini atau lebih dikenal dengan inisiasi menyusui dini (IMD). IMD didefinisikan sebagai proses membiarkan bayi menyusui sendiri setelah kelahiran (Yuliarti 2010). Pada penelitian yang dilakukan di Ghana menunjukkan bahwa sebesar 16% kematian neonatus dapat dicegah bila bayi mendapatkan ASI di hari pertamanya. Angka tersebut meningkat menjadi 22% bila bayi melakukan IMD dalam satu jam pertama setelah lahir (Depkes RI 2008). Pelaksanaan inisiasi menyusui dini diukur dengan menggunakan 12 pertanyaan mengenai langkah inisiasi menyusui dini. Berdasarkan pada data penelitian ini sebesar 40% contoh dikedua daerah yang tidak melaksanakan IMD dan 60% contoh yang melaksanakan IMD. Terdapat 55% contoh di perkotaan yang tidak melaksanakan inisiasi menyusui dini dan 45% contoh yang melaksanakan inisiasi menyusui dini. Di perdesaan terdapat 65% contoh yang tidak melaksankan inisiasi menyusui dan 35% contoh yang melaksanakan inisiasi menyusui dini. Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata (p>0,05) antara pelaksanaan IMD di perkotaan dan perdesaan. Rendahnya pelaksanaan IMD di kedua lokasi penelitian diduga karena masih terbatasnya

41 pengetahuan dan keterampilan tenaga kesehatan dalam melaksanakan program tersebut. Berdasarkan pada penelitian Yulianty (2010) menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap peran tenaga kesehatan dalam pelaksanaan inisiasi menyusui dini adalah melatih keterampilan. Menurut Aprillia (2009) keberhasilan program Inisiasi Menyusui Dini (IMD) sangat dipengaruhi oleh sikap, pengetahuan, dan motovasi bidan atau dokter yang menangani proses persalinan. Selain itu keberhasilan ibu menyusui juga harus didukung oleh suami, keluarga, petugas kesehatan, dan masyarakat. Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan pelaksanaan inisiasi menyusui dini di perkotaan dan perdesaan Kategori pelaksanaan IMD Melaksanakan 14 45 11 35 25 40 Tidak melaksanakan 17 55 20 65 37 60 Pertanyaan yang digunakan untuk mengukur inisiasi menyusui dini terdiri dari dua belas pertanyaan mengenai langkah inisasi menyusui dini, dari dua belas langkah pelaksanaan IMD hanya terdapat enam langkah utama yang menunjukkan proses inisiasi menyusui dini, yaitu meletakan bayi diatas perut ibu, bayi mencari puting susu ibu, bayi meremas daerah puting susu ibu, bayi menendang perut ibu, bayi menjilat puting susu ibu, dan bayi menghisap puting susu ibu. Contoh dianggap melaksanakan Inisiasi Menyusui Dini apabila setelah bayi dilahirkan, bayi diletakkan di atas perut ibu, dan bayi memberikan salah satu respon antara lain mencari puting susu ibu, menendang perut ibu, meremas daerah puting susu, menjilati puting susu, hingga bayi menghisap puting susu. Berdasarkan Tabel 13, dari sejumlah contoh yang diteliti 14 batita (45%) di perkotaan dan 11 batita (35%) yang melaksanakan IMD. Terdapat respon berbeda yang diberikan batita ketika berada di atas perut ibu. Berikut ini adalah respon bayi yang melakukan IMD (Tabel 13). Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan respon yang diberikan Respon Perkotaan Perdesaan n % n % Bayi mencari puting susu ibu 14 100 11 100 Bayi menendang perut ibu 13 93 10 91 Bayi meremas daerah puting susu ibu 12 86 10 91 Bayi menjilati kulit ibu 14 100 11 100 Bayi menghisap puting susu ibu 14 100 11 100 Berdasarkan tabel diatas terdapat 93% batita di perkotaan dan 91% batita di perdesaan yang memberikan respon menendang perut ibu dan terdapat 86%

42 batita di perkotaan dan 91% batita di perdesaan yang memberikan respon meremas daerah puting susu ibu. Respon yang berbeda ini diduga dapat disebabkan oleh posisi bayi yang diletakkan diatas perut ibu terlalu dekat dengan puting susu ibu sehingga bayi dengan mudah dapat mencari puting susu ibu. Status pemberian kolostrum Pemberian ASI Eksklusif Kolostrum merupakan pencahar yang ideal untuk membersihkan zat yang tidak terpakai usus bayi yang baru lahir dan membersihkan saluran pencernaan makanan bayi bagi makanan yang akan datang (Roesli 2004). Tabel 15 menunjukkan sebesar 72,6% ibu di perkotaan dan perdesaan memberikan kolostrum kepada batitanya dan sebesar 27,4% ibu yang tidak memberikan kolostrum. Adapun alasan contoh di perkotaan tidak memberikan kolostrum kepada batita mereka dikarenakan ASI tidak keluar (90%), dan operasi caesar (10%). Sedangkan alasan ibu di perdesaan tidak memberikan kolostrum dikarenakan ASI tidak keluar (71%) dan bayi di rawat (29%). Alasan tersebut menunjukkan bahwa keadaan fisik ibu sesaat setelah melahirkan dan kesehatan bayi yang tidak memungkinkan untuk diberikan kolostrum. Hal uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata (p>0.05) antara pemberian kolostrum di perkotaan dan perdesaan. Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan status pemberian kolostrum di perkotaan dan perdesaan serta alasan tidak memberikan kolostrum Pemberian kolostrum Status pemberian kolostrum Ya Tidak Alasan tidak memberikan kolostrum ASI tidak keluar Operasi Caesar Bayi di rawat 21 10 9 1 0 67,7 32,2 90 10 0 Pemberian makanan prelaktal dan jenis makanan 24 7 5 0 2 77,4 22,6 71 0 29 45 17 14 1 2 72,6 27,4 Makanan prelaktal merupakan jenis makanan yang diberikan kepada bayi yang baru lahir sebelum ASI keluar seperti susu formula, air putih, air gula, air kelapa, madu, pisang, dan lain sebagainya (Riskesdas 2010). Depkes & Kessos (2000) menerangkan bahwa pemberian makanan prelaktal sangat berbahaya bagi kesehatan bayi dan dapat mengganggu keberhasilan menyusui. Berdasarkan hasil penelitian sebesar 27,4% batita di kedua lokasi penelitian diberi makanan prelaktal. Pada daerah perkotaan persentase batita 82 6 12

43 yang diberikan makanan prelaktal sebesar 32,3% sedangkan pada daerah perdesaan persentase pemberian makanan prelaktal sebesar 22,6%. Pemberian makanan prelaktal pada batita dikarenakan ASI belum dapat keluar, sehingga untuk mencegah batita kelaparan maka diberikan makanan sebagai penganti ASI. Jenis makanan prelaktal yang banyak diberikan di kedua lokasi penelitian adalah susu formula, air putih dan madu. Berdasarkan hasil penelitian sebesar 47,1% batita di kedua lokasi penelitian diberi air putih sebagai makanan prelaktal, 41,2% diberi susu formula dan 11,7% diberi madu. Roesli (2004) menerangkan bahwa meskipun ASI yang keluar pada hari pertama sedikit menurut ukuran kita tetapi volume kolostrum yang ada dalam payudara mendekati kapasitas lambung bayi yang berusia 1-2 hari. Hasil uji beda test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata antara pemberian makanan prelaktal di perkotaan maupun perdesaan. Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan pemberian makanan prelaktal di perkotaan dan perdesaan dan jenis makanan Pemberian makan prelaktal Ya 10 32,3 7 22,6 17 27,4 Tidak 21 67,7 24 77,4 45 72,6 Jenis makanan Susu formula 5 50 2 28,6 7 41,2 Air putih 3 30 5 71,4 8 47,1 Madu 2 20 0 0 2 11,7 Pelaksanaan dan lama pemberian ASI Eksklusif serta alasannya Air susu ibu (ASI) merupakan makanan yang ideal untuk bayi, khususnya pada bulan-bulan pertama, sebab ASI mengandung semua zat gizi yang diperlukan untuk pembangun dan penyediaan energi dalam susunan tumbuh kembang yang diperlukan. Selain itu ASI mengandung berbagai antibodi serta leukosit dan makrofag sehingga mempertinggi daya tahan tubuh terhadap infeksi (Muaris 2009). Sebanyak 61,3% batita di perkotaan dan 64,5% di perdesaan mendapatkan ASI eksklusif. Sebesar 38,7% batita di perkotaan dan 35,5% batita di perdesaan tidak mendapatkan ASI eksklusif. Berdasarkan uji beda tidak terdapat perbedaan nyata antara pemberian ASI eksklusif di perkotaan maupun di perdesaan (p>0,05). Tabel 16 menunjukkan sebara contoh berdasarkan pelaksanaan pemberian ASI eksklusif.

44 Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan pelaksanaan pemberian ASI eksklusif di perkotaan dan perdesaan Pelaksanaan Pemberian ASI Eksklusif ASI Eksklusif 19 61,3 20 64,5 39 62,9 Non ASI Eksklusif 12 38,7 11 35,5 23 37,1 Masih terdapatnya ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif diduga karena ibu merasa produksi ASI sedikit sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan batitanya serta ibu bekerja. Kodrat (2010) menyatakan rata-rata permasalahan yang dihadapi oleh ibu dikarenakan mereka bekerja sehingga sulit untuk bisa memberikan ASI eksklusif sepanjang hari. Selain itu, faktor sosial budaya dan kurangnya kesadaran akan pentingnya ASI juga menjadi penyebab masih banyaknya ibu di Indonesia yang tidak memberikan ASI eksklusif. Lamanya pemberian ASI eksklusif dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan lama pemberian ASI Eksklusif di perkotaan dan perdesaan Lama pemberian ASI Eksklusif 6 bulan 19 61,3 20 64,5 39 62,9 4-5 bulan 1 3,2 4 12,9 5 8,1 < 4 bulan 11 35,5 7 22,6 18 29 Menurut Roesli (2000) WHO dan UNICEF membuat deklarasi yang dikenal dengan Deklarasi Innocenti yang dilahirkan di Innocenti, Italia pada tahun 1990 yang menyatakan bahwa semua bayi diberi ASI eksklusif sejak lahir sampai usia 6 bulan dan setelah 6 bulan bayi diberikan makanan pendamping atau padat yang benar dan tepat, sedangkan ASI tetap diteruskan sampai usia 2 tahun atau lebih. Data diatas menunjukkan bahwa dari 31 contoh di perkotaan dan perdesaan terdapat 19 contoh (61,3%) di perkotaan dan 20 contoh (64,5%) di perdesaan yang memberikan ASI eksklusif pada batita hingga usia 6 bulan. Sebesar 3,2% ibu di perkotaan dan 12,9% ibu di perdesaan memberikan ASI eksklusif hingga usia 4-5 bulan dan 35,5% ibu di perkotaan maupun 22,6% ibu di perdesaan memberikan ASI eksklusif hingga usia <4 bulan. Tingginya persentase ibu yang memberikan ASI eksklusif hingga usia 6 bulan diduga karena peran aktif dari tenaga kesehatan dalam usaha meningkatkan kesadaran ibu akan pentingnya ASI eksklusif dan dukungan keluarga sudah cukup baik. Jellife dan Jellife (1978) dalam Hardinsyah dan Martianti (1992) mengungkapkan bahwa jika pasangan bayi dan ibu menyusui mempunyai kondisi kesehatan yang baik, dengan pembinaan dan pemberian laktasi yang

45 baik, maka kualitas dan kuantitas ASI biasanya baik dan cukup untuk pertumbuhan yang optimal sampai umur 6 bulan tanpa pemberian makanan tambahan. Berbagai alasan ibu memberika ASI eksklusif pada batita mereka seperti yang disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Alasan pemberian ASI eksklusif Alasan pemberian ASI eksklusif n % Hemat dan mudah diberikan 4 10 Baik bagi kesehatan 27 69 Murah 1 3 Saran tenaga kesehatan 3 8 Bayi tidak ingin lepas 2 5 ASI yang dihasilkan banyak 2 5 Total 39 100 Alasan utama ibu di perkotaan dan perdesaan memberikan ASI eksklusif kepada batita mereka karena ASI baik bagi kesehatan (69%) dan beberapa diantaranya menjawab saran dari tenaga kesehatan (8%), ASI yang dihasilkan banyak (5%), murah (3%), dan bayi tidak ingin lepas (5%). Hal ini diduga karena peran tenaga kesehatan yang cukup baik dalam meningkatkan kesadaran ibu untuk memberikan ASI eksklusif kepada batita serta pemberian penyuluhan mengenai manfaat pemberian ASI eksklusif sudah dapat dikatan baik. Selain dapat meningkatkan kesehatan dan kepandaian secara optimal, ASI juga membuat anak potensial memiliki emosi yang stabil, spiritual yang matang, serta memiliki perkembangan sosial yang baik. Tidak ada susu buatan yang dapat mendekati ataupun menyamai keuntungan alami yang diberikan oleh ASI (Roesli 2000). Pemberian susu formula Susu formula seharusnya tidak baik jika diberikan pada bayi sejak umur 0-6 bulan. Bayi belum bisa mencerna makanan yang lain. Namun jika bayi tidak puas dengan ASI ibu maka susu formula dapat diberikan setelah bayi berusia empat bulan. Ibu yang bekerja harus tetap memberikan ASI eksklusif dengan cara memeras ASI untuk kemudian dimasukkan ke dalam botol (Kodrat 2010). Berdasarkan hasil penelitian sebesar 38,7% batita di perkotaan dan 35,5% batita di perdesaan diberikan susu formula pada usia < 6 bulan. Sebesar 61,3% batita di perkotaan dan 64,5% batita di perdesaan diberikan susu formula pada usia 6 bulan. Pemberian susu formula ini diduga karena ibu merasa produksi ASI tidak mencukupi sehingga susu formula dijadikan sebagai tambahan ASI dan alasan ibu bekerja juga diduga merupakan salah satu penyebab pemberian susu formula. Hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat

46 perbedaan nyata (p>0,05) antara pemberian susu formula di perkotaan dan perdesaan Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan pemberian susu formula di perkotaan dan perdesaan Usia pemberian susu formula < 6 bulan 12 38,7 11 35,5 23 37,1 6 bulan 19 61,3 20 64,5 39 62,9 Status Gizi Batita Penentuan status gizi batita di perkotaan dan perdesaan diukur dengan menggunakan perhitungan Z-skor WHO-NCHS. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini adalah indeks berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Status gizi batita berdasarkan berat badan menurut umur (BB/U) Menurut Supariasa dkk (2002) berat badan adalah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Mengingat karakteristik berat badan yanag labil, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current nutritional status). Penentuan status gizi baita menggunakan baku antropometri Depkes RI (2011) yang dihitung dengan menggunakan skor simpangan baku (Z-score) dengan kategori gizi buruk jika nilai standar deviasi Z-skor -3 SD, gizi kurang jika nilai standar deviasi berada antara selang -3 SD < Z-skor < -2 SD, gizi baik jika nilai standar deviasi berada antara selang -2 SD < Z-skor < 2 SD, dan gizi lebih jika nilai standar deviasi Z-skor 2 SD. Berdasarkan pada hasil penelitian sebesar 96,8% batita di kedua lokasi penelitian memiliki status gizi baik dengan nilai sebesar -0,42 dan sebesar 3,2% berstatus gizi kurang. Status gizi kurang yang ditemukan di kedua lokasi berkaitan dengan kondisi kesehatan batita tersebut saat penelitian berlangsung sehingga terjadi penurunan berat badan. Hasil uji t menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata (p<0.05) antara status gizi batita di perkotaan dan perdesaan dimana status gizi batita di perdesaan lebih baik dibandingkan perkotaan. Hal ini diduga karena persentase ibu bekerja pada daerah perkotaan lebih tinggi daibandingkan di perdesaan sehingga menyebabkan ibu memiliki sedikit waktu

47 untuk memperhatikan tumbuh kembang batita meraka yang pada akhirnya memberikan dampak pada status gizi batita. Tabel 20 Sebaran status gizi batita di perkotaan dan perdesaan berdasarkan indeks berat badan menurut umur Status gizi Z-skor Gizi buruk Z-skor -3 SD 0 0 0 0 0 0 Gizi kurang -3 SD < Z-skor <-2 SD Z-skor 1 3,2 1 3,2 2 3,2 Gizi baik -2 SD < Z-skor <2 SD 30 96,8 30 96,8 60 96,8 Gizi lebih Z-skor 2 SD 0 0 0 0 0 0 Rata-rata ± SD -0,58 ± 0,62-0,26 ± 0,58-0.42 ± 0,62 Status gizi batita berdasarkan tinggi badan menurut umur (TB/U) Menurut Nasoetion & Riyadi (1995) tinggi badan merupakan ukuran antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan dengan pertambahan umur. Indeks TB/U lebih menggambarkan status gizi pada masa lalu sehingga relatif kurang sensitif terhadap masalah kurang gizi dalam waktu yang singkat. Berdasarkan pada hasil penelitian status gizi batita di kedua lokasi tergolong kedalam status gizi normal (64,5%) dan sebesar 6,5% tergolong sangat pendek dan tinggi. Sebesar 67,7% batita di perkotaan memiliki status gizi normal, 19,4% memiliki status gizi pendek dan 12,9% memiliki status gizi tinggi. Sedangkan di perdesaan, sebesar 61,3% memiliki status gizi normal, 25,8% memiliki status gizi pendek dan 12,9% memiliki status gizi sangat pendek. Hasil uji t menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata (p>0,05) antara status gizi di perkotaan dan perdesaan. Tabel 21 menunjukkan sebaran status gizi batita berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur. Tabel 21 Sebaran status gizi batita di perkotaan dan perdesaan berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur Status gizi Z-skor Sangat pendek Z-skor -3 SD 0 0 4 12,9 4 6,5 Pendek -3 SD < Z-skor < -2 SD 6 19,4 8 25,8 14 22,6 Normal -2 SD< Z-skor < 2 SD 21 67,7 19 61,3 40 64,5 Tinggi Z-skor 2 SD 4 12,9 0 0 4 6,5 Rata-rata ± SD -1,03 ± 1,74-1,2 ± 1,23-1,13 ± 1,50 Status gizi batita berdasarkan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) Menurut Soekirman (2000) pengukuran antropometri yang terbaik adalah menggunakan indikator BB/TB. Ukuran ini dapat menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih sensitif dan spesifik. Artinya, mereka yang memiliki BB/TB kurang, dikategorikan sebagai kurus atau wasted.

48 Berdasarkan pada hasil penelitian sebagian besar batita di kedua lokasi penelitian memiliki status gizi normal (80,6%) dan sebesar 1,6% memiliki status gizi sangat kurus. Pada daerah perkotaan sebesar 83,9% batita memiliki status gizi normal, 9,7% batita memiliki status gizi kurus, dan 3,2% batita memiliki status gizi sangat kurus dan gemuk. Di perdesaan sebesar 77,4% batita status gizi normal, 19,4% memiliki status gizi gemuk dan 3,2% memiliki status gizi kurus. Hasil uji t menunjukkan perbedaan nyata antara status gizi di perkotaan dan perdesaan (p<0,05) dimana status gizi daerah perdesaan lebih baik dari perkotaan. Tabel 22 Sebaran status gizi batita di perkotaan dan perdesaan berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan Status gizi Z-skor Sangat kurus Z-skor -3 SD 1 3,2 0 0 1 1,6 Kurus -3 SD < Z-skor < -2 SD 3 9,7 1 3,2 4 6,5 Normal -2 SD< Z-skor < 2 SD 26 83,9 24 77,4 50 80,6 Gemuk Z-skor 2 SD 1 3,2 1 19,4 7 11,3 Rata-rata ± SD -0,26 ± 1,12 0,68 ± 1,16 0,21 ± 1,23 Hubungan Pengetahuan Inisiasi Menyusui Dini Ibu dengan Pelaksanaan Inisiasi Menyusui Dini Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak ada hubungan nyata antara pengetahuan IMD dengan praktek pelaksanaan IMD (p>0,05) yang berarti bahwa ibu yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi tidak selalu melaksanakan inisiasi menyusui dini. Hasil penelitian menjukkan ibu yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi dan melaksanakan IMD hanya sebesar 41%. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan Kusumawati (2010) dan Hasanah (2009) yang menerangkan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan IMD ibu dengan pelaksanaan IMD. Dimana apabila tingkat pengetahuan IMD ibu tergolong baik maka akan baik pula pelaksanaan IMD. Tabel 23 Sebaran pengetahuan IMD dan pelaksanaan IMD Pelaksanaan Inisiasi Menyusi Dini Pengetahuan IMD Tidak melaksanakan Melaksanakan Total Rendah 4 80 1 20 5 100 Sedang 20 58,8 14 41,2 34 100 Tinggi 13 56,5 10 43,5 23 100 Total 37 59,6 25 40,4 62 100 Tidak berhubungannya pengetahuan IMD ibu dengan pelaksanaan inisiasi menyusui dini diduga karena masih rendahnya peran aktif dari tenaga

49 kesahatan untuk menerapkan inisiasi menyusi dini sesaat setelah bayi dilahirkan, selain itu pula masih adanya ibu yang melahirkan ditolong oleh dukun beranak yang tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan mengenai inisiasi menyusui dini. Hasil penelitian Yulianty (2010) menyatakan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap peran tenaga kesehatan dalam pelaksanaan inisiasi menyusui dini adalah keterampilan. Sebagian besar bayi yang telah dilahirkan tidak langsung diletakkan diatas perut ibu. Akan tetapi bayi langsung di mandikan dan di bersihkan, kemudian bayi setelah bayi bersih barulah diberikan ASI oleh ibu. Aprillia (2009) menyatakan, banyak aspek yang mempengaruhi pelaksanaan praktek Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dan ASI Eksklusif antara lain adalah ibu menyusui menghadapi banyak hambatan yang berhubungan dengan pelayanan yang diperoleh di tempat persalinan, dukungan yang diberikan oleh anggota keluarga di rumah, banyaknya ibu yang belum dibekali pengetahuan yang cukup tentang teknik menyusui yang benar dan manajemen kesulitan laktasi selain itu keberhasilan program Inisiasi Menyusui Dini (IMD) sangat dipengaruhi oleh sikap, pengetahuan, dan motovasi bidan atau dokter yang menangani proses persalinan. Selain itu keberhasilan ibu menyusui juga harus didukung oleh suami, keluarga, petugas kesehatan, dan masyarakat. Hubungan Pelaksanaan Inisiasi Menyusui Dini dengan Pemberian ASI Eksklusif Bedasarkan pada hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan nyata (p>0,05) antara pelaksanaan inisiasi menyusui dini dengan pemberian ASI eksklusif. Pada hasil penelitian menunjukkan bahwa batita yang tidak melaksanakan inisiasi menyusui dini dan tetap di berikan ASI eksklusif selama 6 bulan sebesar 59,5%. Tidak terdapatnya hubungan yang signifikan antara pelaksanaan inisiasi menyusui dini dengan ASI eksklusif diduga karena belum optimalnya pelaksanaan inisiasi menyusui dini dikedua lokasi, dimana batita yang tidak melaksanakan inisiasi menyusui dini tetap diberikan ASI eksklusif. Sehingga pelaksanaan inisiasi menyusui dini tidak memberikan pengaruh terhadap pemberian ASI eksklusif. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Triani (2010) dan Permatasari (2010) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pelaksanaan inisiasi menyusui dini dengan pemberian ASI eksklusif.

50 Yuliarti (2010) menyatakan bahwa bayi disusui selama satu jam atau lebih di dada ibunya segera setelah lahir. Hal tersebut juga penting dalam menjaga produktivitas ASI. Isapan bayi penting dalam meningkatkan kadar hormon prolaktin, yaitu hormon yang merangsang kelenjar susu untuk memproduksi ASI. Isapan itu akan meningkatkan produksi susu dua kali lipat. Tabel 24 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan pelaksanaan inisiasi menyusui dini dengan pemberian ASI eksklusif. Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan pelaksanaan inisiasi menyusui dini dan pemberian ASI eksklusif Pemberian ASI Eksklusif Inisiasi Menyusui Dini Non ASI Eksklusif ASI Eksklusif Total Tidak melaksanakan 15 40,5 22 59,5 37 100 Melaksanakan 8 32 17 68 25 100 Total 23 37,1 39 62,9 62 100 Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Status Gizi Batita Hasil uji korelasi dengan menggunakan Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata (p>0,05) antara pemberian eksklusif dengan status gizi batita indeks BB/U,TB/U, dan BB/TB. Berdasarkan pada data penelitian batita yang mendapatkan ASI eksklusif dan berstatus gizi baik berdasar indeks BB/U sebesar 97,4%, indeks TB/U sebesar 66,7% dan indeks BB/TB sebesar 79,5%. Suradi (2001) menyatakan pertumbuhan bayi dengan berat badan lahir cukup yang mendapatkan ASI ekslusif ternyata pertumbuhannya sesuai dengan standar pertumbuhan menurut WHO-NCHS bahkan sampai usia 9 bulan, walaupun masukan energi dan protein perkilogram berat badan lebih rendah dibandingkan dengan bayi yan mendapatkan susu formula, namun resiko kenaikan berat badan per 100 lebih tinggi pada bayi yang diberi ASI secara eksklusif. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan energi pada bayi yang mendapatkan ASI secara eksklusif lebih efisien. Rata-rata status gizi baik juga dimiliki pada batita yang Non ASI eksklusif. Pada batita yang Non ASI eksklusif yang memiliki staus gizi baik berdasarkan indeks BB/U sebesar 95,6%, indeks TB/U sebesar 60,9% dan indeks BB/TB sebesar 82,6%. Hal ini menandakan bahwa batita yang mendapatkan ASI eksklusif maupun yang Non ASI eksklusif rata-rata memiliki status gizi baik berdasarkan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB. Tabel 26, 27, dan 28 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan pemberian ASI eksklusif dan status gizi (BB/U, TB/U, dan BB/TB.

51 Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan pemberian ASI eksklusif dan status gizi (BB/U) Status Gizi ASI Eksklusif Gizi baik Gizi kurang Total Non ASI Eksklusif 22 95,6 1 4,4 23 100 ASI Eksklusif 38 97,4 1 2,6 39 100 Total 60 96,7 2 3,3 62 100 Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan pemberian ASI eksklusif dan status gizi (TB/U) Status Gizi ASI Eksklusif Sangat Total Pendek Normal Tinggi pendek n % n % Non ASI Eksklusif 2 8,7 5 21,7 14 60,9 2 8,7 23 100 ASI Eksklusif 2 5,1 9 23,1 26 66,7 2 5,1 39 100 Total 4 6,5 14 22,5 40 64,5 4 6,5 62 100 Tabel 27 Sebaran contoh berdasarkan pemberian ASI eksklusif dan status gizi (BB/TB) Status Gizi ASI Eksklusif Sangat Total Pendek Normal Tinggi pendek n % n % Non ASI Eksklusif 0 0 2 8,7 19 82,6 2 8,7 23 100 ASI Eksklusif 1 2,6 2 5,1 31 79,5 5 12,8 39 100 Total 1 1,6 4 6,5 50 80,6 7 11,3 62 100