BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Kepemimpinan Robert House menyampaikan teori kepemimpinan dengan menyarankan bahwa kepemimpinan yang efektif mempergunakan dominasi, memiliki keyakinan diri, mempengaruhi dan menampilkan moralitas yang tinggi untuk meningkatkan kadar kharismatiknya (Ivancevich, dkk, 2008:213). Secara sederhana pemimpin bisa didefinisikan sebagai seseorang yang terus menerus membuktikan bahwa seseorang tersebut mampu mempengaruhi sikap dan tingkah laku orang lain, lebih dari kemampuan mereka (orang lain itu) mempengaruhi dirinya. Syarat utama keberhasilannya adalah adanya seorang pemimpin yang memiliki kharisma. (Ivancevich, 2008:214) 2.2 Teori dan Pendekatan Kepemimpinan Pada dasarnya untuk mengetahui teori-teori kepemimpinan dapat dilihat dari berbagai literatur yang menyatakan pemimpin itu dilahirkan, bukan dibuat. Ada yang mengatakan bahwa pemimpin itu terjadi karena adanya kelompok-kelompok orang. Teori lain mengemukakan bahwa pemimpin timbul karena situasi yang memungkinkan ia ada. Teori yang paling mutakhir melihat kepemimpinan lewat perilaku organisasi. Orientasi prilaku mencoba mengetengahkan pendekatan yang bersifat Social Learning pada kepemimpinan. Teori ini menekankan bahwa terdapat faktor penentu yang timbal balik dalam kepemimpinan ini. Selanjutnya Thoha : 2007 mengemukakan teori dan pendekatan kepemimpinan sebagai berikut : 7
1. Teori Sifat Dalam teori sifat (Trait Theory), analisis ilmiah tentang kepemimpinan dimulai dengan memusatkan perhatiannya pada pemimpin itu sendiri. Seorang pemimpin menurut teori sifat ditandai dengan dipunyainya tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan bawahannya. Namun demikian tingkat kecerdasan yang jauh lebih tinggi dari bawahannya juga tidak efektif, sebab para bawahan menjadi tidak dapat memahami apa yang diinginkan pemimpin atau tidak memahami gagasan dan kebijakan yang telah digariskan. Oleh karena itu, idealnya seorang pemimpin sebaiknya memiliki kecerdasan yang tidak terlalu tinggi dari bawahannya. 2. Teori Kelompok Dalam teori kelompok beranggapan bahwa, supaya kelompok bisa mencapai tujuan-tujuannya, maka harus terdapat suatu pertukaran yang positif di antara pemimpin dan pengikut-pengikutnya, terutama dimensi pemberian perhatian kepada para pengikut, dapat dikatakan pemberian perhatian kepada para pengikut dikatakan memberikan dukungan yang positif terhadap perspektif teori kelompok ini 3. Teori Situasional dan Model Kontijensi Kepemimpinan model Fiedler (Fiedler s Centigency Model), menyatakan ada dua hal yang dijadikan sasaran yaitu mengadakan identifikasi faktor-faktor yang sangat penting di dalam situasi, dan kedua memperkirakan gaya atau prilaku kepemimpinan yang paling efektif di dalam situasi tersebut. 4. Teori Jalan Kecil Tujuan (Path Goal Theory) Dalam pendekatan teori path-goal mempergunakan kerangka teori motivasi. Hal ini merupakan pengembangan yang sehat karena kepemimpinan di satu pihak sangat 8
dekat, berhubungan dengan motivasi kerja dan pihak lain berhubungan dengan kekuasaan. 5. Pendekatan Social Learning dalam Kepemimpinan Pendekatan Social Learning merupakan suatu teori yang dapat memberikan suatu model yang menjamin kelangsungan, interaksi timbal balik antar pemimpin, lingkungan dan perilakunya sendiri. Pendekatan Social Learning ini antara pemimpin dan bawahan mempunyai kesempatan untuk bisa memusyawarahkan semua perkara yang timbul. Keduanya, pimpinan dan bawahan mempunyai hubungan interaksi yang hidup dan mempunyai kesadaran untuk menemukan bagaiman caranya menyempurnakan prilaku masing-masing dengan memberikan penghargaanpenghargaan yang diinginkan. 2.3 Gaya Kepemimpinan Gaya kepemimpinan banyak mempengaruhi keberhasilan seorang pemimpin dalam mempengaruhi prilaku pengikut-pengikutnya. Menurut Thoha (2007:49): Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi orang lain seperti yang ia lihat. Istilah gaya secara kasar adalah sama dengan cara yang dipergunakan pemimpin di dalam mepengaruhi para pengikutnya. Pada saat bagaimanapun jika seorang berusaha untuk mempengaruhi prilaku orang lain, sebagaimana sudah dipaparkan sebelumnya kegiatan semacam itu telah melibatkan seseorang kedalam aktivitas kepemimpinan. Jika kepemimpinan tersebut terjadi dalam suatu organisasi tertentu, dan ia merasa perlu 9
mengembangkan staf dan membangun iklim motivasi yang mampu meningkatkan produktivitasnya, maka ia perlu memikirkan gaya kepemimpinan. Studi kepemimpinan Universitas Michigan yang dipelopori oleh Gibson dan Ivancevich (2005:413) mengidentifikasikan dua bentuk perilaku pemimpin yaitu : 1. Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas (The Job Centered). Dalam gaya kepemimpinan ini, seorang manajer akan mengarahkan dan mengawasi bawahannya agar sesuai dengan yang diharapkan manajer. Manajer yang mempunyai gaya kepemimpinan ini lebih mengutamakan keberhasilan dari pekerjaan yang hendak dicapai daripada perkembangan kemampuan bawahannya. 2. Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada bawahan (The Employee Centered). Manajer yang mempunyai gaya kepemimpinan ini berusaha mendorong dan memotivasi pekerjaannya untuk bekerja dengan baik. Mereka mengikutsertakan pekerjaannya dalam mengambil suatu keputusan. 2.3.1 Jenis jenis Gaya Kepemimpinan 1. Gaya Kepemimpinan Otoriter Adalah gaya pemimpin yang memusatkan segala keputusan dan kebijakan yang diambil dari dirinya sendiri secara penuh. Pada gaya kepemimpinan otokrasi ini, pemimpin mengendalikan semua aspek kegiatan. Pemimpin memberitahukan sasaran apa saja yang ingin dicapai dan cara untuk mencapai sasaran tersebut, baik itu sasaran utama maupun sasaran minornya. Pemimpin juga berperan sebagai pengawas terhadap semua aktivitas anggotanya dan pemberi jalan keluar bila anggota mengalami masalah. Dengan kata lain, anggota tidak perlu pusing memikirkan 10
apappun. Anggota cukup melaksanakan apa yang diputuskan pemimpin.kepemimpinan otokrasi cocok untuk anggota yang memiliki kompetensi rendah tapi komitmennya tinggi. 2. Gaya Kepemimpinan Demokratis Gaya kepemimpinan demokratis adalah gaya pemimpin yang memberikan wewenang secara luas kepada para bawahan. Setiap ada permasalahan selalu mengikutsertakan bawahan sebagai suatu tim yang utuh. Dalam gaya kepemimpinan demokratis pemimpin memberikan banyak informasi tentang tugas serta tanggung jawab para bawahannya. Pada kepemimpinandemokrasi, anggota memiliki peranan yang lebih besar. Pada kepemimpinan ini seorang pemimpin hanya menunjukkan sasaran yang ingin dicapai saja, tentang cara untuk mencapai sasaran tersebut, anggota yang menentukan. Selain itu, anggota juga diberi keleluasaan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya.kepemimpinan demokrasi cocok untuk anggota yang memiliki kompetensi tinggi dengan komitmen yang bervariasi. 3. Gaya Kepemimpinan Laissez Faire ( Kendali Bebas ) Pemimpin jenis ini hanya terlibat delam kuantitas yang kecil di mana para bawahannya yang secara aktif menentukan tujuan dan penyelesaian masalah yang dihadapi. Gaya kepemimpinan demokratis kendali bebas merupakan model kepemimpinan yang paling dinamis. Pada gaya kepemimpinan ini seorang pemimpin hanya menunjukkan sasaran utama yang ingin dicapai saja. Tiap divisi atau seksi diberi kepercayaan penuh untuk menentukan sasaran minor, cara untuk mencapai 11
sasaran, dan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya sendiri-sendiri. Dengan demikian, pemimpin hanya berperan sebagai pemantau saja. Sementara itu, kepemimpinan kendali bebas cocok untuk angggota yang memiliki kompetensi dan komitmen tinggi. Namun dewasa ini, banyak para ahli yang menawarkan gaya kepemimpinan yang dapat meningkatkan produktivitas kerja karyawan, dimulai dari yang paling klasik yaitu teori sifat sampai kepada teori situasional. 2.3.2 Pengertian Komunikasi Menurut Dedi Mulyana (2005 : 62) komunikasi adalah proses pemindahan pengertian dalam bentuk gagasan atau informasi dari seseorang ke orang lain. Perpindahan pengertian tersebut melibatkan lebih dari sekedar kata-kata yang digunakan dalam percakapan, tetapi juga ekspresi wajah, intonasi, titik putus vokal dan sebagainya. Dan perpindahan yang efektif memerlukan tidak hanya transmisi data, tetapi bahwa seseorang mengirimkan berita dan menerimanya sangat tergantung pada keterampilanketerampilan tertentu (membaca, menulis, mendengar, berbicara, dan lain-lain) untuk membuat sukses pertukaran informasi, serta suatu proses menyortir, memilih dan mengirimkan simbol-simbol sedemikian rupa sehingga membantu pendengar membangkitkan makna atau respons dari pikirannya yang serupa dengan yang dimaksudkan komunikator. Dengan adanya proses komunikasi yang baik dalam organisasi/perusahaan maka aka nada proses penyampaian informasi baik dari atasan kepada bawahan. Tetapi proses komunikasi tidak hanya menyampaikan informasi atau hanya agar orang lain juga 12
bersedia menerima dan melakukan perbuatan atau kegiatan yang dikehendaki sehingga akan terjalin suasana yang harmonis kepada para bawahan mengetahui secara pasti keinginan atasan, dan apa yang harus dikerjakan kaitannya dengan usaha kerjasama untuk mencapai tujuan organisasi/perusahaan yang telah ditetapkan. Seperti yang telah dikemukakan oleh Robbin (2007 : 146), sebagai berikut: komunikasi memelihara motivasi dengan memberi penjelasan kepada bawahan apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan kinerja. Selanjutnya karena penelitian ini hanya membahas masalah hubungan antara atasan dan bawahan, maka hanya dibatasi pada komunikasi administrasi. Tentang masalah ini Sri Endang R. dan Sri Mulyani, 2006:6-19 berpendapat: Komunikasi vertical dari atas ke bawah (down word communication) dan komunikasi dari pimpinan kepada bawahannya dan dari bawahan kepada atasannya secara timbal balik. Jadi komunikasi vertikal terdiri dari dua arus yaitu arus ke bawah dan arus ke atas. 2.3.3 Komunikasi ke Bawah Komunikasi ke bawah yaitu suatu penyampaian informasi baik lisan maupun tulisan, secara langsung maupun tak langsung, berupa perintah atau penjelasan umum dari atasan kepada bawahannya. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan Djoko Purwanto,M.B.A. 2006 yang menjelaskan sebagai berikut: Komunikasi yang berlangsung dari tingkat tertentu dalam satu kelompok atau organisasi ke tingkat yang lebih rendah. Pelaksanaan komunikasi ke bawah, informasi ini dapat berupa: - Mengadakan rapat - Memasang pengumuman 13
- Menerbitkan majalah intern - Pemberian pujian 2.3.4 Komunikasi ke Atas Komunikasi ke atas yaitu suatu penyampaian informasi yang mengalir atau berasal dari staf/bawahan kepada pimpinan/atasan. Komunikasi ini sangat penting bagi pimpinan/atasan untuk mengetahui bagaimana keadaan perusahaan dari sudut pandang bawahan. Suatu hal yang bukan mustahil walaupun kinerja organisasi/perusahaan baik, tetapi kondisi karyawan tidak nyaman. Hal inilah yang perlu diatasi seorang pemimpin melalui komunikasi dari bawah ke atas. 2.3.5 Komunikasi Lateral/Horizontal Komunikasi lateral terjadi di antara kelompok kerja yang sama secara horizontal. Komunikasi horizontal sering diperlukan untuk menghemat waktu dan memudahkan koordinasi. Gilley : 2005 membuat beberapa pernyataan sebagai pedoman untuk melihat komunikasi/tata hubungan yang mencakup : Penilaian terhadap kualitas komunikasi dan konflik, Penilaian terhadap komunikasi antar individu dan unit organisasi, dan Penilaian terhadap kualitas kerja sama dan saling ketergantungan yang diimplementasikan ke dalam : 1. Seberapa jauh saling ketergantungan, kualitas komunikasi dan arus konflik yang ada dalam organisasi. Ketergantungan, kualitas komunikasi dan arus konflik yang 14
dapat ditekan akan memberikan lingkungan kerja yang kondusif untuk pencapaian target perusahaan. 2. Komunikasi antar individu dalam organisasi. Komunikasi yang terjadi antar individu dapat terjadi dalam bentuk komunikasi formal maupun informal yang dapat memudahkan individu dalam pelaksanaan pekerjaan dan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. 3. Seberapa jauh pegawai dapat bekerja sama, kualitas komunikasi dan banyak sedikitnya konflik yang timbul. Manajemen SDM dan pengelolaan konflik akan memudahkan efektivitas kerja karyawan. 2.3.6 Pengertian Kinerja Secara sederhana disebutkan bahwa istilah kinerja berasal dari kata job perfomance atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi sungguhnya yang dicapai oleh seseorang), sedangkan yang dimaksud dengan kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan kepadanya. Sedangkan menurut Sugian 2006:166 mengemukakan bahwa yang dimaksud kinerja adalah hasil sebuah mekanisme untuk memastikan bahwa orang-orang pada tiap tingkatan mengerjakan tugas-tugas menurut cara yang diinginkan oleh atasannya. Dalam melaksanakan sebuah pekerjaan, seorang pegawai akan berusaha untuk melaksanakan pekerjaannya tersebut dengan sungguh-sungguh agar dapat memberikan hasil yang baik sesuai dengan kemampuan, pengalaman, kesungguhan serta waktu pengerjaan tugas yang dibebankan kepadanya. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan 15
Robbins 2009:61 yang menyatakan bahwa kinerja merupakan suatu hasil kerja yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan serta waktu. Selanjutnya menjelaskan bahwa kinerja pegawai adalah hasil yang dicapai oleh seseorang dalam melakukan tugasnya dan perannya dalam organisasi. Berdasarkan beberapa pendapat ahli mengenai pengertian kinerja pegawai, maka dapat disimpulkan bahwa kinerja pegawai adalah hasil kerja yang dicapai karyawan dalam melakukan tugas maupun peranannya dalam suatu organisasi. 2.3.7 Faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai Dalam suatu organisasi, antara karyawan yang satu dengan karyawan yang lainnya mempunyai kinerja yang berbeda.perbedaan ini disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor kemampuan (ability), dan faktor motivasi (motivation), dijelaskan bahwa kinerja yang dihasilkan antara karyawan tersebut berbeda karena adanya faktor-faktor individu yang berbeda seperti faktor kemampuan dan faktor motivasi yang ada pada diri karyawan. 1. Faktor kemampuan, diterangkan bahwa kemampuan (ability) pegawai/karyawan terdiri dari kemampuan potensi (IQ), dan kemampuan reality (knowledge + skill). Artinya, jika karyawan yang memiliki IQ di atas rata-rata (IQ 110-120) dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari, maka akan mudah mencapai kinerja yang diharapkan. 2. Faktor motivasi, motivasi ini terbentuk dari sikap (attitude) seorang pegawai dalam menghadapi situasi (situation) kerja. Motivasi merupakan kondisi yang 16
menggerakan diri karyawan, yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi (tujuan kerja). Sedang sikap mental merupakan kondisi mental yang mendorong diri pegawai untuk berusaha mencapai kinerja secara maksimal. 3. Faktor komunikasi, menurut Dwidjowijoto (2006 : 26) komunikasi adalah perekat dalam organisasi, menjadi penghubung mempererat rantai-rantai manajemen untuk pergerakkan organisasi dalam mencapai tujuannya serta meningkatkan kinerja. Dari perbedaan yang disampaikan diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja seseorang dipengaruhi oleh kondisi fisiknya. Seseorang yang memiliki kondisi yang baik, mempunyai daya tahan tubuh yang tinggi, yang pada gilirannya tercermin pada kegairahan bekerja dengan tingkat kinerja yang tinggi dan sebaliknya. Disamping itu kinerja individu juga berhubungan dengan kemampuan yang harus dimiliki oleh individu agar ia berperan dalam lingkungan organisasi. 2.3.8 Pengukuran Kinerja Adanya beberapa pendapat yang membahas tentang pengukuran kinerja akan dijadikan dasar untuk menentukan indikator dari variabel kinerja yang telah dipaparkan di atas. Dua syarat yang harus dipenuhi agar pengukuran kinerja berjalan efektif yaitu, adanya kriteria kinerja yang dapat diukur secara objektif dan adanya objektivitas dalam pengukuran. Apabila seorang pegawai merasa dirugikan dalam penilaian kerja, dapat menuntut pihak yang menilai sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Menurut Gomes (2009 : 136), ada tiga kualifikasi penting bagi pengembangan kriteria kinerja yang dapat diukur secara obyektif yaitu: 17
1. Relevancy, menunjukkan tingkat kesesuaian antara criteria dengan tujuan-tujuan kinerja. 2. Reliability, menunjukkan tingkat mana kriteria menghasilkan hasil yang konsisten. 3. Discrimination, mengukur tingkat dimana suatu kriteria kinerja dapat memperlihatkan perbedaan-perbedaan dalam tingkat kinerja. Sedangkan dilihat dari titik acuan penilaiannya, terdapat tiga tipe kriteria pengukuran prestasi yang saling berbeda yakni : 1. Pengukuran kinerja berdasarkan hasil, tipe kriteria prestasi ini merumuskan pekerjaaan berdasarkan pencapaian tujuan organisasi, atau pengukuran hasil akhir (end result). 2. Pengukuran kinerja berdasarkan prilaku, tipe kriteria prestasi ini mengukur sarana pencapaian sasaran, dan bukannya hasil akhir. Jenis kriteria ini biasanya dikenal dengan BARS (Behaviorally Anchored Rating Scales), dibuat dari critical incidents yang terkait dengan berbagai dimensi kinerja. 3. Pengukuran kinerja berdasarkan judgement. Merupakan tipe kriteria kinerja yang mengukur prestasi berdasarkan deskripsi prilaku tertentu (spesific) yaitu jumlah yang dilakukan (quantity of work), luasnya pengetahuan tentang pekerjaan (job knowledge), kesediaan (cooperation), kepribadian, kepemimpinan (personel qualities). Bernadin dan Russel (2010 : 213), mengajukan enam kriteria primer yang digunakan untuk mengukur kinerja : 18
1. Quality, merupakan tingkat sejauh mana proses atau hasil pelaksanaan kegiatan mendekati kesempurnaan atau mendekati tujuan yang diharapkan. 2. Quantity, merupakan jumlah yang dihasilkan, misalkan jumlah rupiah, jumlah unit, jumlah siklus, kegiatan yang diselesaikan. 3. Timeliness, adalah tingkat sejauh mana suatu kegiatan diselesaikan pada waktu yang dikehendaki dengan memperhatikan kordinasi output lain serta waktu yang tersedia untuk kegiatan lain. 4. Cost effectiviness, adalah tingkat sejauh mana penggunaan daya organisasi (manusia, keuangan, teknologi, material) dimaksimalkan utnuk mencapai hasil tertinggi atau pengurangan kerugian dari setiap unit penggunaan sumberdaya. 5. Need for supervisor, merupakan tingkat sejauh mana seorang pejabat dapat melaksanakan suatu fungsi pekerjaan tanpa memerlukan pengawasan seorang supervisor untuk mencegah tindakan yang kurang diinginkan. 6. Interpersonal impact, merupakan tingkat sejauh mana karyawan/pekerja memelihara harga diri, nama baik dan kerjasama di antara rekan kerja dan bawahan. Dari berbagai kriteria di atas, dapat dipahami bahwa dimensi kerja mencakup semua unsur yang akan dievaluasi dalam pekerjaan masing-masing pegawai/karyawan dalam suatu organisasi. Dimensi ini mencakup berbagai kriteria yang sesuai untuk digunakan dalam mengukur hasil yang telah diselesaikan. 19