DAFTAR PUSTAKA Abdulharis, R., 2005: Land Administration in Post Disaster Areas: The Case Study of Banda Aceh, Indonesia, M.Sc Thesis, Delft, Delft University of Technology Abdulharis, R., Sarah, K., Hendriatiningsih, S. and Hernandi, A., 2007: The Initial Model of Assimilation of the Customary Land Tenure System into Indonesian Land Tenure System: The Case of Kasepuhan Ciptagelar, West Java, Indonesia, Hong Kong SAR, FIG Working Week 2007 Artawilaga, R. Rustandi. 1960. Hukum Agraria Indonesia dalam Teori dan Praktek. NV Masa Baru. Jakarta Ayatrohaedi, 2003: Komunitas Adat Kasepuhan Banten Kidul: Bawalah Hati Kesini, Dalam website: http://www.kompas.com/kompascetak/0506/20/humaniora/1824113.htm Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI, 2006, Yogyakarta Barry, M., 1999: Evaluating Cadastral Systems in Periods of Uncertainty, PhD thesis, University of Natal, Durban Dale dan McLaughlin, 1999: Land Administration, Oxford Press, New York, USA Dirjen PU Depdagri, 2002: Pedoman Penetapan dan Penegasan Batas Daerah, Jakarta Djatisunda, A., 1984: Dalam website: http://lama.bandungheritage.org Djojodigoeno, M. M., 1958: Asas-Asas Hukum Adat, Yayasan Badan Penerbit GAMA, Yogyakarta, Indonesia Harsono, Boedi: 1997, Hukum Agraria Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta, Indonesia Karma, 2007: Komunikasi Pribadi, Kasepuhan Ciptagelar, Sirnaresmi, Sukabumi Kuntari, R. & Badil, R., 2005: Komunitas Adat Kasepuhan Banten Kidul: Bawalah Hati Kesini, Dalam website: http://www.kompas.com/kompascetak/0506/20/humaniora/1824113.htm 68
Kusmara, 2007: Komunikasi Pribadi, Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Parungkuda, Sukabumi Muhammad, B., 1983: Asas-Asas Hukum Adat, Pradnya Paramitha, Jakarta Muhtar, 2007: Komunikasi Pribadi, Desa Sirnaresmi. Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi Pospisil, Leopold J., 1958: Kapauku Papuans and Their Law. New Heaven, Published for the Department of Anthropology, Yale University, The Yale University Press Ruhiyat, 2005: (Baraya Sunda) Upacara Seren Taun, Dalam: baraya_sunda@yahoogroups.com Saptariani, N., 2003: Pengelolan Sumberdaya Hutan Oleh Masyarakat Adat dan Lokal di Kawasan Ekosistem Halimun Disampaikan pada Seminar Sehari tentang Hutan Desa: Alternatif Model Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, Yayasan damar, Gedung University Centre UGM, 23 April 2003 Soerojo W, 1995: Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, PT Gunung Agung, Jakarta, Indonesia Sucipta, E., 2007: Sukabumi Komunikasi Pribadi, Kasepuhan Ciptagelar, Sirnaresmi, Sugianto, G., 2007: Komunikasi Pribadi, Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Parungkuda, Sukabumi Suharto, 1996: Dalam: Nugraha, Budiawan Eka. 2001. Tugas Akhir Ruang Lingkup Hukum Tanah dan Kaitannya Dengan Pendaftaran Tanah (Pokok Kajian: Kedudukan Hukum Adat Tentang Tanah Dalam Hukum Tanah Nasional). ITB. Bandung TNGHS dan JICA, 2005: Survey Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Sukabumi Upat, 2007: Komunikasi Pribadi, Kasepuhan Ciptagelar, Sirnaresmi, Sukabumi van Dijk, 1954: Samenleving en Adatrechtsvorming, dissertatie, W. Van Hoeve, s Gravenhage, Bandung van Vollenhoven, 1913: Het Adratecht van Netherland Indie, Leiden 69
Republik Indonesia, 1999: Peraturan Daerah Kabupaten Kampar Nomor 12 Tahun 1999 tentang Hak Tanah Ulayat, Kabupaten Kampar Republik Indonesia, 2001: Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy, Kabupaten Lebak Republik Indonesia, 1999: Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Sekretariat Negara, Jakarta Republik Indonesia, 1960: Undang undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Sekretariat Negara, Jakarta Republik Indonesia, 1999: Undang undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan., Sekretariat Negara, Jakarta Republik Indonesia, 2006: Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 56/Menhut- II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, Sekretariat Negara, Jakarta 70
LAMPIRAN 71
Lampiran 1 Kesimpulan Hasil Wawancara Lampiran 1.1 Kesimpulan Hasil Wawancara dengan Abah Anom (Mantan Ketua Adat Kasepuhan Ciptagelar) Kasepuhan Ciptagelar memiliki lahan bukaan yaitu sebesar 70.000 Ha. Setelah merdeka, warga kasepuhan tidak boleh membuka hutan. Penduduk Ciptagelar sudah mengetahui bahwa tanah yang mereka miliki sekarang, harus didaftarkan agar mendapatkan bukti kepemilikan yang sah atas lahan mereka masing-masing. Tanah adat yang diakui kepemilikannya oleh masyarakat kasepuhan Ciptagelar juga merupakan bagian dari pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun. Pihak adat dan pihak TNGHS saling mengklaim bahwa daerah tersebut merupakan bagian dari kepemilikan mereka. Tapi jika kita lihat dari segi sejarah, masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar jauh lebih dulu memiliki tanah disitu. Dan bila dilihat dari kepentingannya, masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar lebih membutuhkannya untuk kelangsungan hidup mereka. Masyarakat Kasepuhan sangat menjaga kelestarian lingkungannya. Hal itu terbukti dengan adanya aturan dalam hukum adat mereka yang tidak membolehkan semua lahan di daerah tersebut untuk digarap. Adapun bagian bagiannya yaitu : Leuweung Titipan : tidak boleh digarap oleh warga, kecuali untuk keperluan adat. Leuweung Tutupan : tidak boleh digarap oleh warga, maupun untuk keperluan adat. Leuweung Garapan : bisa digarap oleh warga. Aturan aturan lainnya adalah tidak bolehnya tempat - tempat tertentu untuk dijadikan sebagai tempat tinggal, yaitu : Lemah gunting Sirah cai 72
Pamatangan Tempat mahluk gaib (angker) Dalam aturan adat kasepuhan, kepemilikan atas suatu bidang tanah bukan seperti yang kita lihat seperti biasanya. Masyarakat Ciptagelar tidak mengakui kepemilikan tanahnya, melainkan garapannya, sedangkan tanahnya hanya milik adat. Maksudnya yaitu mereka hanya mengakui garapannya yang bisa berupa sawah atau tempat tinggalnya yang berupa panggung. Sebagai contoh jika ada proses jual beli sawah disana, sebenarnya uang tersebut digunakan untuk membayar biaya, tenaga dan waktu untuk merubah suatu lahan menjadi sawah. Dan jika ada yang ingin membeli rumah, uang tersebut hanya digunakan untuk membayar biaya, tenaga, dan waktu untuk membuat rumah tersebut. Sang pembeli rumah bisa saja memilih lokasi/tempat untuk meletakkan rumah panggungnya tersebut. Di Kasepuhan Ciptagelar terdapat kebebasan dalam memilih lokasi tempat tinggal asalkan tidak melanggar aturan adat, karena tidak ada kepemilikan atas suatu bidang tanah. Jika ada suatu permasalahan, biasanya warga bertanya pada Abah Anom sebagai ketua adat kasepuhan tersebut. Lalu abah memberikan solusi / jalan keluar yang baik untuk kedua belah pihak. Ketika ditanya mengenai sistem pertanahan nasional yang menyangkut dengan proses pendaftaran tanah, ternyata mereka pun ingin segera mendaftarkan tanahnya agar kepemilikan atas tanah mereka menjadi sah dan resmi dengan adanya bukti kepemilikan berupa sertifikat. Dan ketika ditanya mengenai pembayaran pajak, karena setiap tanah yang sudah didaftarkan harus membayar pajak atas kepemilikan tanah tersebut ternyata mereka (diwakili oleh Abah Anom) sanggup untuk membayarnya. Oleh karena itu, Abah Anom sangat menganjurkan warganya agar memilki uang yang cukup agar mudah dalam urusannya. Apalagi mereka juga tinggal di daerah yang juga diakui oleh pengelola Taman Nasional Gunung Halimun. 73
Lampiran 1.2 Kesimpulan Hasil Wawancara Dengan Pak Muhtar (Ketua RT di Kampung Nangerang) Wawancara 1 Kampung Nangerang masih menganut hukum adat kasepuhan Ciptagelar, namun sudah sedikit memudar mungkin karena adanya modernisasi atau pengaruh dari luar yang membuat aturan adat di daerah tersebut sedikit berbeda. Beberapa hal yang masih dianut berkaitan dengan penggunaan lahan atau tanah yaitu tidak bolehnya tempat-tempat tertentu untuk ditempati, yaitu : Lemah gunting Sirah cai Pamatangan Batas tanah yang digunakan disana yaitu berupa pohon Hanjuang, alasan menggunakan pohon hanjuang yaitu karena walaupun pohon tersebut sudah ditebang sampai habis, suatu saat nanti pasti akan tumbuh kembali. Sehingga batas tanah tersebut tidak akan hilang. Kecurangan yang bisa dilakukan mengenai sengketa batas tanah yaitu dengan memindahkan pohon hanjuang tersebut, sehingga batas tanahnya akan berubah. Tanah-tanah di Nangerang sudah banyak yang sudah didaftarkan dan sudah memiliki surat sah kepemilikan tanah berupa sertifikat. Bukti pembayaran pajaknya berupa Blangko. Warga Nangerang mendaftarkan tanahnya melalui kepala desanya. Wawancara 2 Di kampung Nangerang, tanah-tanah banyak yang sudah didaftarkan dan memiliki surat sah kepemilikan tanah berupa sertifikat. Bukti pembayaran pajaknya berupa Blangko. Tetapi, di desa ini terdapat 2 orang pemilik asli seluruh tanah Nangerang, yaitu Pak Saib dan Pak Parja. Seiring berjalannya waktu, penduduk Nangerang membeli tanah kepada mereka dan mendaftarkan tanahnya hingga memiliki sertifikat. Mereka mendaftarkan tanahnya melalui kepala desanya. Jadi intinya sebagian besar dari penduduk kampung Nangerang sudah memiliki tanah secara sah dengan adanya bukti berupa sertifikat, tidak seperti kepemilikan tanah di 74
kasepuhan Ciptagelar. Sedangkan penduduk lainnya hanya berperan sebagai penyewa tanah dengan membayar blangko kepada dua orang tersebut sebesar Rp 3000 pertahun. Desa Nangerang terbagi menjadi dua bagian, sebagian di dalam TNGHS dan sebagian di luar TNGHS. Batas yang membedakan kedua bagian tersebut berupa pilar batas TNGHS yang dibuat tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu kepada warga. Saat ini, sebagian besar pilar tersebut sudah banyak yang bergeser posisinya bahkan banyak yang sudah hilang. 75
Lampiran 1.3 Kesimpulan Hasil Wawancara Dengan Bapak Karma Haryono (Kepala Desa Sirnarasa) Kampung Nangerang merupakan sebuah wilayah yang merupakan bagian dari Desa Sirnarasa. Desa Sirnarasa terbagi menjadi dua bagian, yaitu 2/3 wilayah merupakan bagian dari Kasepuhan Ciptagelar dan terletak di dalam kawasan TNGHS, sedangkan 1/3 bagian lainnya berada diluar wilayah TNGHS dan menganut prinsip adat lokal. Bidang tanah yang telah disertifikatkan berada di luar wilayah TNGHS, sedangkan 2/3 wilayah adat yang berada di dalam TNGHS sedang diperjuangkan oleh adat untuk mendapat sertifikat tanah. Di dalam wilayah TNGHS, terdapat 4 buah dusun yang terdiri dari Dusun Pangguyangan, Dusun Sirnarasa, Dusun Siangasa dan Dusun Gunung Puntang. Selain itu, di dalam TNGHS terdapat satu-satunya desa yang diakui oleh pemerintah secara hukum. Desa tersebut bernama Desa Sirnagalih. Di dalam desa tersebut terdapat persil-persil yang telah bersertifikat. Padahal seharusnya di dalam taman nasional tidak boleh ada sertifikat tanah karena hak milik perseorangan di dalam taman nasional tidak diakui. Selain itu, di dalam wilayah TNGHS terdapat pembagian hutan oleh adat yang terdiri dari leuweung tutupan, leuweung titipan dan leuweung garapan. Batas antara hutan tutupan dan hutan titipan berupa arca, pohon hanjuang dan batu. Letak dari batas tersebut jauh di dalam TNGHS, untuk masuk ke dalamnya sangat sulit dan membutuhkan banyak waktu karena letaknya yang jauh di dalam hutan serta perlu mendapat ijin khusus dari pihak Kasepuhan Ciptagelar. Hutan-hutan tersebut menjadi tanda batas wilayah bukaan dan garapan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Batas wilayah adat tersebut sudah ada sejak dahulu awal Kasepuhan pertama kali berdiri dan tidak pernah berubah hingga kini. Tradisi adat Kasepuhan Ciptagelar yang berpindah-pindah tidak mengganggu dan melanggar batas wilayah tersebut, karena lokasi perpindahannya masih di dalam wilayah adat dan perpindahannya pun menuju kampung lain. Kasepuhan Ciptagelar sangat menjaga kelestarian lingkungan dan menghormati wilayah hutan di dalam TNGHS. Salah satu perwujudan dari 76
pelestarian lingkungan tersebut yaitu dengan membentuk Pam Swakarsa yang terdiri dari para penduduk Kasepuhan Ciptagelar. Pam Swakarsa memiliki tugas untuk menjaga wilayah hutan dari usaha penebangan liar dan pelanggaran adat. Bila ada yang tertangkap melanggar adat dan menebang pohon, Pam Swakarsa menasehati dan memperingatkan oknum tersebut untuk tidak mengulanginya. Pihak TNGHS memiliki batas-batas wilayahnya yang direpresentasikan di lapangan berupa patok-patok. Tetapi saat ini patok-patok tersebut telah banyak yang hilang sehingga batas TNGHS tidak dapat diketahui secara pasti. 77
Lampiran 1.4 Kesimpulan Hasil Wawancara Dengan Ki Karma (Salah Satu Baris Kolot) Hukum adat di Ciptagelar tidak tertulis, tetapi diajarkan turun temurun atau diwariskan kepada anak cucunya atau dalam istilah sunda disebut pajajaran. Seperti yang sekarang ini, Abah Anom menurunkan ajarannya kepada anaknya yaitu Abah Ugi yang sekarang menjadi ketua adat Ciptagelar. Ajaran tersebut diturunkan sampai generasi seterusnya, jangan ada yang dihilangkan. Salah satu ajarannya yaitu, tidak boleh menjual beras, tidak boleh menggiling padi menggunakan mesin, tetapi harus ditumbuk, rumah-rumah jangan terlalu mewah dan harus mengikuti adat. Abah Anom mempunyai 560 perwakilan di setiap kampung nya. Jadi kasepuhan Ciptagelar membawahi 560 kampung yang ada di sekitar gunung Halimun. Setiap ada acara di Kasepuhan Ciptagelar seperti Seren Taun, maka ke 560 perwakilan tersebut harus datang. Jadi Kasepuhan Ciptagelar merupkan pusat pemerintahannya adat Banten Kidul. Di lingkungan Ciptagelar terdapat ±60 kepala keluarga, dengan luasnya sekitar 6 Ha (pemukimannya saja). Luas garapannya sekitar ribuan Ha (di luar titipan dan tutupan). Sedangkan luas hutan titipan sekitar ratusan ribu Ha. Hutan dibagi menjadi 3, yaitu hutan tutupan, titipan dan garapan. Banyak larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan di hutan titipan, makanya disebut hutan titipan. Hutan titipan boleh digunakan untuk keperluan umum, tetapi harus tetap dijaga dengan menanam kembali pohon-pohon baru, karena hutan titipan merupakan amanat dari sesepuh adat. Sebelum Abah Anom pindah ke Ciptagelar, ternyata di daerah Ciptagelar tersebut sudah ada garapan sebelumnya berupa sawah-sawah. Jadi, Abah Anom tidak membuka hutan lagi, melainkan sudah ada sawah. Untuk membuat rumah, warga mengambil kayu dari hutan garapan, tetapi dengan syarat harus menanam kembali pohon pohon baru, agar alam tetap lestari. Begitu juga ketika Abah Anom membuat jalan, di sepanjang jalan tersebut ditanami kembali oleh pohon-pohon yang baru. Sebelum adanya Perum Perhutani dan Pengelola TNGHS, hutan masih tetap aman dan lestari karena dijaga dan dirawat oleh warga, namun setelah adanya Perum Perhutani dan Pengelola TNGHS hutan sekarang menjadi rusak, karena diambil 78
secara besar-besaran. Contohnya di daerah Cigaronggong, setelah Abah pindah hutan disana jadi habis karena diperjual belikan. Tetap saja warga adat yang disalahkan. Warga adat Kasepuhan Ciptagelar sangat menjaga alamnya, hal ini dibuktikan dengan adanya pam swakarsa yaitu beberapa warga yang ditunjuk oleh Abah untuk mengontrol dan menjaga hutan. Karena mereka merasa persoalan hutan merupakan pertanggungjawaban dari warga, untuk warga dan oleh warga, jadi mereka harus menjaga hutan tersebut sebaik-baiknya. 79
Lampiran 1.5 Kesimpulan Hasil Wawancara Dengan Ki Upat (Salah Satu Baris Kolot) Hutan titipan adalah hutan yang dititipkan oleh leluhur yang tidak boleh diganggu, dan untuk dijaga. Hutan tutupan yaitu hutan lindung yang di dalamnya terdapat mata air. Hutan garapan yaitu hutan yang sudah dibuka dan bisa digarap oleh warga (hutan produksi). Hutan titipan tidak boleh sama sekali diambil kayunya, bahkan sehelai daun pun tidak boleh diambil, kecuali untuk keperluan umum / keperluan adat. Jika ada seseorang yang melanggarnya, maka hukuman adat datang dengan sendirinya berupa kualat. Salah satu larangan lainnya di hukum adat Ciptagelar yaitu tidak boleh menjual beras, tetapi yang masih dalam bentuk padi boleh dijual, dengan ketentuan persediaan beras dia bisa untuk mencukupi makan selama 2 tahun. Di adat hidup selalu bersama sama, saling tolong menolong, saling menjaga, bisa dikatakan di adat tidak bisa jika hidup hanya sendiri. Mereka mengakui bahwa tanah yang mereka tinggali yaitu tanah ulayat, karena sebelum merdeka pun keturunan mereka sudah ada disini. Awal dari ke -11 kepindahan warga kasepuhan Ciptagelar dimulai dari daerah Bogor lalu ke Banten dan sekarang terakhir di daerah Banten Kidul (Selatan). Namanama daerahnya : Lebak Parang, Lebak Pinoh, Tegal Lumbuh, Pasir Talaga, Bojong Cisono, Cicemet, Cicadas, Ciganas, Linggarjati, Ciptarasa, Ciptagelar. Hukum adat tidak tertulis, tapi turun temurun diajarkan pada generasi penerusnya. Ada istilah di adat yaitu saha nu nyabak seuneuh eta nu panas atau siapa yang memegang api itu yang panas. Batas wilayah adat dari dulu tidak berubah, tetapi tetap dari dulu hingga sekarang. Sebenarnya dari dahulu warga sudah ada yang menempati wilayah adat Ciptagelar, dan datang beberapa prajurit dari Kerajaan Pajajaran untuk mengurusi masalah pertanian. Ada sekitar 14600 kepala keluarga yang masih memegang teguh adat kasepuhan Ciptagelar. Mereka memanen padi sekali dalam setahun, alasannya yaitu karena mereka sangat bergantung sekali pada alam, oleh karena itu mereka harus menjaga alam untuk tetap subur. Alasan yang kedua yaitu, agar padinya tetap 80
awet, kuat untuk beberapa tahun. Lama panennya yaitu sekitar 6 bulan. 6 bulan yang lainnya, dimanfaatkan warga dengan menjadikan sawahnya kolam dan bercocok tanam. Kepemilikan lahan disana yaitu siapa yang membuka lahan, dia yang memiliki garapannya, biasanya kepemilikan garapannya turun temurun dan jarang sekali diperjualbelikan. Jika lahan garapannya sudah tidak dikerjakan lagi, maka tanahnya kembali lagi menjadi milik adat. Orang luar adat bisa saja membeli garapan tanah disini, tetapi dengan syarat harus mengikuti aturan adat Kasepuhan Ciptagelar. Tidak ada batas antar satu rumah dengan rumah lainnya, karena tidak ada kepemilikan atas suatu bidang tanah, yang ada hanyalah hak menggarap. Tetapi tetap saja, jika ada seseorang yang sedang menghuni sebuah rumah, tidak boleh dihuni oleh orang lain selama orang itu masih betah menghuni rumah tersebut. Jadi antar sesama saling menghargai hak garapannya masing-masing. Tetapi tidak semua lahan disana bisa digarap, ada aturan-aturan yang harus diperhatikan warga. Biasanya mereka meminta pendapat pada ketua adat atau sesepuh. 81
Lampiran 2 82