Bab 2 Landasan Teori Pada bab 2 ini penulis memaparkan teori-teori yang digunakan sebagai pegangan dasar analisis yang akan diuraikan pada bab selanjutnya. 2.1 Teori Pragmatik Asal-usul kata pragmatik berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata pragma yang berarti kegiatan, urusan, tindakan. Pandangan bahasa sebagai tindakan telah menjadi konsep di dalam apa yang saat ini dipahami sebagai linguistik pragmatik (Trosborg, 1995 : 5). Leech (1983) dalam Trosborg (1995: 5-6) memandang pragmatik terkait dengan bagaimana bahasa digunakan dalam komunikasi. Ia mendefinisikan pragmatik sebagai studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi percakapan. Hal ini serupa dengan definisi pragmatik atau goyouron menurut pandangan ahli linguistik Jepang (Hayashi, 1990 : 171) : 言語とそれが使われる場面 状況との関連を理論的に扱うのが語用論と言える Yang disebut dengan pragmatik adalah ilmu yang mengurusi secara teoritis hubungan bahasa dengan adegan atau situasi yang digunakan oleh bahasa tersebut. 18
Leech (1983) dalam Trosborg (1995: 5-6) menambahkan, studi pragmatik berurusan dengan makna ucapan, bukan arti kalimat. Perbedaan antara makna semantik dan pragmatis menjadi perhatian khusus. Semantik didefinisikan murni sebagai sebuah alat ekspresi dalam bahasa tertentu, sedangkan Leech melihat arti pragmatis relatif ke pembicara atau pengguna bahasa. Jika semantik menanyakan tentang apa artinya X?, maka pragmatik menanyakan apa yang Anda maksud dengan X?. 2.1.1 Teori Discourse Discourse atau percakapan atau wacana merupakan satu kegiatan atau peristiwa berbahasa lisan antara dua atau lebih penutur yang saling memberikan informasi dan mempertahankan hubungan yang baik (Parera, 1990 : 129). Stubbs (1993) dalam Sumarlam (2003 : 10-11) berpendapat bahwa wacana dibentuk dari satuan bahasa di atas kalimat atau klausa, baik lisan maupun tulis, dengan menggunakan konteks sosial untuk sampai pada pemahaman makna wacana. Stubbs (1993) menambahkan, analisis wacana merujuk pada upaya mengkaji pengaturan bahasa di atas kalimat atau klausa, dan karenanya mengkaji satuan-satuan bahasa yang lebih luas, seperti pertukaran percakapan atau teks tulis. Konsekuensinya, analisis wacana juga memperhatikan bahasa pada waktu digunakan dalam konteks sosial; dan khususnya interaksi atau dialog antar petutur. 19
2.1.2 Teori Tindak Tutur Salah satu hal yang penting dalam interpretasi percakapan secara pragmatik, adalah konsep tindak tutur (Nurgiyantoro, 2002 : 317). Pertuturan adalah seluruh komponen bahasa dan non bahasa yang meliputi perbuatan bahasa yang utuh, yang menyangkut peserta di dalam percakapan, bentuk penyampaian amanat, topik, dan konteks amanat itu (Kushartanti, 2005 : 47). Austin dalam Hayashi (1990 : 178) mengemukakan bahwa pada setiap kesempatan, tindak yang dilakukan dalam memproduksi suatu ucapan akan terdiri dari tiga macam tindak pertuturan. Tiga macam tindakan tersebut adalah tindak lokusi : (hatsuwa koui), tindak ilokusi (hatsuwanai koui) dan tindak perlokusi (hatsuwa baikai koui). 1. Tindak Lokusi Menurut Yule (200 : 48), tindak lokusi adalah tindak dasar tuturan atau menghasilkan suatu ungkapan linguistik yang bermakna. Nurgiyantoro (2002 : 317) menerangkan bahwa tindak bahasa lokusi adalah suatu bentuk ujaran yang mengandung makna adanya hubungan antara subjek dan predikat, pokok dengan sebutan, atau antara topik dengan penjelasan. Misalnya ucapan; Aku akan memainkan bunyi gendang, kata aku merupakan subjek, dan akan memainkang bunyi gendang predikat. Pada contoh tersebut tindak yang dituturkan oleh penuturnya semata-mata untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Tindak lokusi merupakan tindak yang paling mudah diidentifikasi, karena pengidentifikasian tinda lokusi tidak memperhitungkan konteks tuturannya (Rohmadi, 2004 : 30). 20
2. Tindak Ilokusi Di dalam pengungkapan ada beberapa fungsi di pikiran penutur yang membentuk ujaran tersebut, yang disebut pertuturan ilokusi (Yule, 2000 : 48). Dalam percakapan yang pragmatik sering terdapat banyak kalimat ujaran yang tidak lengkap, mungkin berupa penghilangan (baca: tidak diucapkannya) unsur subjek, predikat dan objek. Hal ini dimungkinkan terjadi, dan tetap komunikatif, karena percakapan telah dibantu konteks situasi. Kalimat ujaran yang tidak lengkap demikian, tentunya tidak dapat dipandang sebagai tindak lokusi yang menyaratkan hubungan subjek dan predikat seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun, ucapan tidak lengkap tersebut memiliki salah satu bentuk tindak ujar ilokusi, bahkan mungkin perlokusi. Misalnya, ucapan: O, ya, tidak memiliki unsur kelengkapan sebagai kalimat lengkap, namun ia berwujud kalimat tanya (ilokusi), dan mungkin merujuk pada makna minta penjelasan lebih lanjut, terkejut, atau bahkan mengejek (perlokusi) (Nurgiyantoro, 2002 : 318). Berdasarkan konsep bahwa tindak ujar ilokusi membedakan ujaran berdasarkan intonasi kalimat, sebuah kalimat ujaran dapat saja dimasukkan ke dalam jenis-jenis tertentu tindak ilokusi yang berbeda walau secara makna kurang lebih sama. Atau sebaliknya, jenis tindak ilokusinya sama, namun maknanya dapat berbeda. Ucapan: Datanglah kemari dengan Maukah kamu datang kemari? menyaran pada makna yang sama, namun dengan tindakan ilokusi yang berbeda (perintah dan tanya). Sedang ucapan O, Ya? bertindak ilokusi sama (tanya), namun makna yang disarankan dapat berbeda-beda (Nurgiyantoro, 2002 : 318). Tindak ilokusi sangat sulit diidentifikasi karena terlebih dahulu harus mempertimbanglan penutur dan lawan tuturnya (Rohmadi, 2004 : 30). 21
3. Tindak Perlokusi Rohmadi (2004 : 32) mengemukakan bahwa tindak perlokusi adalah tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Huang (2007 : 220), yakni tindak perlokusi memusatkan pada efek dari ucapan terhadap lawan tutur. Tindak bahasa perlokusi melihat pada adanya bentuk pengucapan yang menyaran pada makna yang lebih dalam, yang tersembunyi di balik ucapan itu sendiri. Makna itu sendiri secara tak langsung diucapkan lewat percakapan, namun ia dapat ditafsirkan lewat konteks yang percakapan yang bersangkutan. Tindak perlokusi merujuk pada penafsiran makna yang tersirat daripada yang tersurat, makna yang dimaksud oleh pengarang sekaligus yang ditafsirkan oleh pembaca (Nurgiyantoro, 2002 : 319). 2.2 Tinjauan Umum Mengenai Janaika Berdasarkan pembagian kelas kata, janaika termasuk di dalam kelas kata shuujoshi. Saikusa (2004 : 20) mengemukakan bahwa terdapat berbagai variasi pada akhiran di dalam kalimat percakapan, di antaranya adalah kelas kata shuujoshi seperti janaika, mon, na, yo dan sebagainya. Shuujoshi yaitu partikel yang muncul di akhir kalimat (Masuoka dan Takubo, 1993 : 53). Saikusa (2004 : 24) menambahkan, janaika pada awalnya adalah bentuk negasi dari predikat kata benda da. 私は学生じゃない : saya bukan pelajar. 22
遊びに行くんじゃない : saya tidak pergi main. Noda (2002 : 204) membedakan tiga macam bentuk hitei gimon, nodewanaika dan dewanaika, seperti berikut ini. 1. Hitei gimon keishiki, merupakan bentuk tanya negasi yang berasal dari bentuk da dan -masu. 本だ 本じゃないか 2. Nodewanaika / njanai, merupakan bentuk tanya negasi yang berasal dari bentuk no da. 書くのだ 書くのではないか 3. Dewanaika / janaika, yaitu bentuk selain kedua bentuk yang telah dipaparkan. 書くではないか Berdasarkan pengelompokan tersebut, maka janaika pada penelitian ini mengacu pada jenis janaika kelompok ketiga. Bentuk janaika ini kerap kali muncul dengan beberapa variasi seperti yang dikemukakan oleh Saikusa (2004 : 24) sebagai berikut. じゃないか の形には 実際につぎのようにいくつかのバリエーションがある じゃ / では じゃない じゃん じゃないか じゃないの じゃんか じゃないですか / ではないですか じゃありませんか / ではありませんか Di dalam bentuk janaika, sesungguhnya terdapat beberapa variasi seperti berikut ini: ja/dewa, janai, jan, janaika, janaino, janka, janai desuka/dewanai desuka, ja arimasenka/ dewa arimasenka. 23
Adapun perubahan predikat yang diikuti bentuk janaika ditunjukkan pada tabel berikut ini. 2.2.1.1 Tabel Perubahan Predikat yang Diikuti Bentuk Janaika Bentuk Biasa Bentuk Sopan Tidak Lampau 書くではないか書くではありませんか 書くではないですか Verba Lampau 書いたではないか書いたではありませんか 書いたではないですか Tidak Lampau 本ではないか本ではありませんか 本ではないですか Nomina Lampau 本だったではないか本だったではありませんか 本ではないですか (Sumber: Noda, 2002 : 209). 24
2.2.1 Fungsi Penggunaan Janaika Terdapat lima buah fungsi penggunaan janaika berdasarkan teori yang dipaparkan oleh Miyajima (1995, 269-274). Kelima buah fungsi penggunaan tersebut adalah sebagai berikut. 1. Memastikan pertentangan antara keyakinan / dugaan penutur dengan kenyataan atau informasi yang baru didapatnya. A: おとうさん でんわよ B : そうか A : 女の人 会社の人だって おとうさんの彼女じゃないの? A : Ayah, ada telepon. B : Oh ya? A : Dari perempuan. Katanya teman kantor. Bukannya itu perempuan simpananmu? 2. Menuturkan informasi yang diterka oleh penutur A : あなたの行ってる学校は 女ばかりの学校じゃないの? B : はい 25
A : Jangan-jangan sekolahmu yang sekarang isinya hanya perempuan? B : Ya. 3. Menyadarkan petutur akan suatu hal A : あの件も やっぱり警察に知らせるべきじゃない? B : あ そうか わすれた A : Kasus itupun, bukankah harus dilaporkan ke polisi? B : Oh, iya. Saya lupa. 4. Membangkitkan ingatan petutur akan suatu peristiwa di masa lampau A : 今井君じゃないって? B : しかし 君 前にそういったじゃないか A : あれは ちょっとした嘘です A : Sekarang bukan giliran Kiyo kun? B : Tapi, bukankah kau sebelumnya bilang begitu? A : Itu, aku hanya berbohong sedikit. 5. Mencela petutur A : ( 約束に 3 時間も遅れて来た人に ) 遅いじゃないか 26
B : ごめん! ちょっと TV を見てて A : (Kepada orang yang telat sampai tiga jam) Lama, ya. B : Maaf! Saya hanya sebentar menonton Televisi... 2.3 Teknik Montase Istilah montase berasal dari perfilman, yang berarti memilah-milah, memotongmotong, serta menyambung-nyambung (pengambilan) gambar sehingga menjadi satu keutuhan (Minderop, 2005 : 150). Alat mendasar dalam perfilman adalah teknik montase yang di antaranya mencakup alat pengawasan seperti multiple-view, slow-ups, fade-outs, cutting, close up, panorama dan flash-backs. Teknik montase di dalam perfilman mengacu pada kelompok unsur yang digunakan untuk memperlihatkan antar hubungan atau asosiasi gagasan, misalnya pengalihan imaji yang mendadak atau imaji yang tumpang-tindih satu dan lainnya (Minderop, 2005 : 150). Teknik ini digunakan penulis untuk memilah adegan drama yang sesuai dengan analisis. 27