IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis Buah Mahkota Dewa

Temu Putih. Penyortiran Basah. Pencucian. Pengupasan. Timbang, ± 200 g. Pengeringan sesuai perlakuan

Gambar 1. Tanaman Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) (Ochse & Van Den Brink, 1977)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang

DINAMIKA PINDAH MASSA DAN WARNA SINGKONG (Manihot Esculenta) SELAMA PROSES PENGERINGAN MENGGUNAKAN OVEN

METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat. B. Alat dan Bahan. C. Parameter Pengeringan dan Mutu Irisan Mangga

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 2 STUDI KARAKTERISTIK PENGERINGAN SIMPLISIA. Pendahuluan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Model Pengeringan Lapisan Tipis Cengkeh (Syzygium aromaticum) 1) ISHAK (G ) 2) JUNAEDI MUHIDONG dan I.S. TULLIZA 3) ABSTRAK

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

MODEL MATEMATIS PENGERINGAN LAPISAN TIPIS BIJI KOPI ARABIKA (Coffeae arabica) DAN BIJI KOPI ROBUSTA (Coffeae cannephora) ABSTRAK

KADAR AIR KESETIMBANGAN (Equilibrium Moisture Content) BUBUK KOPI ROBUSTA PADA PROSES ADSORPSI DAN DESORPSI

Pengeringan Untuk Pengawetan

HUBUNGAN PENYUSUTAN DENGAN KARAKTERISTIK PENGERINGAN LAPISAN TIPIS SIMPLISIA TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) AMALIA SAGITA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam SNI (2002), pengolahan karet berawal daripengumpulan lateks kebun yang

MEKANISME PENGERINGAN By : Dewi Maya Maharani. Prinsip Dasar Pengeringan. Mekanisme Pengeringan : 12/17/2012. Pengeringan

BAB I PENDAHULUAN. Bergesernya selera masyarakat pada jajanan yang enak dan tahan lama

TINJAUAN PUSTAKA. Df adalah driving force (kg/kg udara kering), Y s adalah kelembaban

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Pengaruh Penyusutan Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe) Terhadap Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis

BAB I PENDAHULUAN. Proses pengolahan simplisia di Klaster Biofarmaka Kabupaten Karanganyar I-1

PROSES PERPINDAHAN MASSA DAN PERUBAHAN WARNA AMPAS TAHU SELAMA PENGERINGAN MENGGUNAKAN PEMANAS HALOGEN

Gambar 8. Profil suhu lingkungan, ruang pengering, dan outlet pada percobaan I.


Campuran udara uap air

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Setelah melakukan penelitian pengeringan ikan dengan rata rata suhu

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. ABSTRAK... iii. DAFTAR GAMBAR... viii. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR NOTASI... xi Rumusan Masalah...

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Bagian buah dan biji jarak pagar.

PENENTUAN KONSTANTA PENGERINGAN PATHILO DENGAN MENGGUNAKAN SINAR MATAHARI

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

5/30/2014 PSIKROMETRI. Ahmad Zaki M. Teknologi Hasil Pertanian UB. Komposisi dan Sifat Termal Udara Lembab

PERPINDAHAN MASSA PADA PENGERINGAN JAHE MENGGUNAKAN EFEK RUMAH KACA *

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENINGKATAN KUALITAS PENGERINGAN IKAN DENGAN SISTEM TRAY DRYING

Studi Karakteristik Pengeringan Pupuk NPK (15:15:15) Menggunakan Tray Dryer

Prinsip proses pengawetan dengan penurunan kadar air pada bahan pangan hasil ternak. Firman Jaya

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil dari penelitian ini adalah merancang suatu instrumen pendeteksi kadar

KONSEP DASAR PENGE G RIN I GA G N

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada proses pengeringan terjadi pula proses transfer panas. Panas di transfer dari

BAB I PENDAHULUAN. Kopi merupakan komoditas sektor perkebunan yang cukup strategis di. Indonesia. Komoditas kopi memberikan kontribusi untuk menopang

BAB I PENDAHULUAN. Kacang tanah merupakan komoditas pertanian yang penting karena banyak

Determination of Thin Layer Drying Characteristic of Globefish (Rastrelliger sp.)

DAFTAR NOTASI. : konstanta laju pengeringan menurun (1/detik)

Analisis Distribusi Suhu, Aliran Udara, Kadar Air pada Pengeringan Daun Tembakau Rajangan Madura

ANALISIS PERFORMANSI MODEL PENGERING GABAH POMPA KALOR

MENENTUKAN JUMLAH KALOR YANG DIPERLUKAN PADA PROSES PENGERINGAN KACANG TANAH. Oleh S. Wahyu Nugroho Universitas Soerjo Ngawi ABSTRAK

Pengeringan. Shinta Rosalia Dewi

METODE PENELITIAN. Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Batch Dryer, timbangan, stopwatch, moisturemeter,dan thermometer.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. air pada tubuh ikan sebanyak mungkin. Tubuh ikan mengandung 56-80% air, jika

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Singkong

dengan optimal. Selama ini mereka hanya menjalankan proses pembudidayaan bawang merah pada musim kemarau saja. Jika musim tidak menentu maka hasil

PENYIMPANAN DAN PENGGUDANGAN PENDAHULUAN

SKRIPSI F DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KARAKTERISTIK PENGERINGAN BIJI KOPI BERDASARKAN VARIASI KECEPATAN ALIRAN UDARA PADA SOLAR DRYER

1. Pendahuluan PENGARUH SUHU DAN KELEMBABAN UDARA PADA PROSES PENGERINGAN SINGKONG (STUDI KASUS : PENGERING TIPE RAK)

III. METODE PENELITIAN

MEMPELAJARI KARAKTERISTIK PENGERINGAN DENGAN CARA MENENTUKAN KADAR AIR KESEIMBANGAN DAN KONSTANTA PENGERINGAN BUAH MAHKOTA DEWA

METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat

PENGERINGAN. Teti Estiasih - PS ITP - THP - FTP - UB

II. TINJAUAN PUSTAKA. Karet alam dihasilkan dari tanaman karet (Hevea brasiliensis). Tanaman karet

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ke 6 (KELEMBABAN UDARA)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Proses Perpindahan Panas Konveksi Alamiah dalam Peralatan Pengeringan

Perpindahan Massa Pada Pengeringan Gabah Dengan Metode Penjemuran

RESKI FEBYANTI RAUF G

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dibandingkan sesaat setelah panen. Salah satu tahapan proses pascapanen

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kaca, dan air. Suhu merupakan faktor eksternal yang akan mempengaruhi

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2015, bertempat di

Proceeding Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin XI (SNTTM XI) & Thermofluid IV Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Oktober 2012

III. METODE PENELITIAN. dan di Ruang Gudang Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Pertanian Universitas

Satuan Operasi dan Proses TIP FTP UB

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Studi Laju Pengeringan Semi-Refined Carrageenan (SRC) yang Diproduksi dari Rumput Laut Eucheuma cottonii

BAB 3 PENGARUH PENGERINGAN TERHADAP PENYUSUTAN DAN MUTU SIMPLISIA. Pendahuluan

BAB V ANALISA HASIL PERHITUNGAN DAN PENGUJIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. penelitian adalah ikan cakalang (Katsuwonus pelamis L). Ikan cakalang

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 PERHITUNGAN JUMLAH UAP AIR YANG DI KELUARKAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGOLAHAN PRODUK PASCA PANEN HASIL PERIKANAN DI ACEH MENGGUNAKAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA

KOMPARASI WAKTU PENGERINGAN AWAL GREEN BODY HASIL CETAK KERAMIK DENGAN SISTEM ALAMIAH dan SISTEM VENTILASI PADA PT X BALARAJA - BANTEN

Teori Kinetik Gas. C = o C K K = K 273 o C. Keterangan : P2 = tekanan gas akhir (N/m 2 atau Pa) V1 = volume gas awal (m3)

PERNYATAAN MENGENAI THESIS DAN SUMBER INFORMASI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Pohon mahkota dewa.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Konstanta Laju Pengeringan Pada Proses Pemasakan Singkong Menggunakan Tekanan Kejut

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perbaikan Dan Uji Kebocoran Mesin Pendingin Absorpsi

PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK PANGAN

PENGARUH KONSENTRASI LARUTAN, KECEPATAN ALIRAN DAN TEMPERATUR ALIRAN TERHADAP LAJU PENGUAPAN TETESAN (DROPLET) LARUTAN AGAR AGAR SKRIPSI

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK PENGERINGAN LAPISAN TIPIS Menurut Brooker et al. (1974) terdapat beberapa kombinasi waktu dan suhu udara pengering dimana komoditas hasil pertanian dengan kadar air tinggi dapat diubah menjadi komoditas pertanian dengan kadar air rendah. Parameter yang mempengaruhi proses pengeringan ini adalah suhu dan kelembaban udara (RH) pengering, kadar air awal bahan, dan laju udara pengering. Proses pengeringan temu putih terjadi dari kadar air awal ± 80% sampai kadar air yang aman untuk disimpan dan dikonsumsi yakni ± 10%. Proses pengeringan temu putih ini dihentikan sampai tidak terjadi penurunan massa bahan (massa konstan), dimana pada saat itu kadar air bahan mendekati kadar air keseimbangannya. Dari hasil penelitian diperoleh kurva penurunan kadar air terhadap waktu, di mana hasil pengukuran kadar air bahan dan waktu pengeringan pada berbagai perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 6. Pengukuran kadar air menggunakan dua cara yaitu cara oven drying dan toluen. Namun yang digunakan dalam perhitungan adalah penurunan kadar air metode oven drying. Penggunaan metode ini dikarenakan tidak terlihatnya trendline yang jelas pada hasil pengukuran kadar air toluen. Hasil pengukuran kadar air toluen dapat dilihat pada Lampiran 7. Karakteristik pengeringan lapisan tipis temu putih meliputi penurunan kadar air, laju pengeringan terhadap waktu dan laju pengeringan terhadap kadar air. Faktor yang mempengaruhi proses pengeringan adalah (1) faktor internal berupa ukuran bahan dan kadar air awal bahan, (2) faktor eksternal udara pengering yang meliputi suhu, RH, dan kecepatan udara. Udara pada proses pengeringan berperan sebagai tempat pelepasan dan penampungan uap air yang keluar dari bahan dan sebagai penghantar panas ke bahan yang dikeringkan. 47

1. Pengaruh Suhu Udara Dari Tabel 9 terlihat bahwa semakin tinggi suhu udara yang digunakan maka waktu pengeringan akan semakin singkat. Namun waktu pengeringan juga dipengaruhi oleh kadar air awal bahan. Tabel 9. Data Kadar Air Awal dan Akhir Serta Waktu Pengeringan Temu Putih Pada RH 40% Suhu ( o C) 40 50 60 70 Kecepatan Kadar Air (%bb) Kadar Air (%bk) Waktu (m/s) Awal Akhir Awal Akhir (menit) v 1 84.61 13.08 549.77 15.05 930 v 2 86.47 17.55 639.10 21.28 1105 v 1 84.69 10.80 553.17 12.10 650 v 2 85.65 14.17 596.86 16.50 890 v 1 83.94 8.78 522.67 9.62 450 v 2 85.45 9.58 587.29 10.60 710 v 1 83.75 7.59 515.38 8.21 355 v 2 88.47 7.04 767.3 7.58 505 Moisture Ratio 1,0 suhu 40 suhu 50 suhu 60 suhu 70 Moisture Ratio 1,0 suhu 40 suhu 50 suhu 60 suhu 70 0,0 0 200 400 600 800 1000 1200 (a) Kecepatan Tinggi 0,0 0 200 400 600 800 1000 1200 (b) Kecepatan Rendah Gambar 10. Kurva MR Terhadap Waktu Pada RH 40% Gambar 10 memperlihatkan kurva penurunan kadar air terhadap waktu berbentuk eksponensial dan dapat dikatakan bahwa semakin tinggi suhu udara yang digunakan maka semakin cepat penurunan kadar airnya. Pada Gambar 11 terlihat kurva laju pengeringan yang curam pada 48

kecepatan tinggi dan relatif landai pada kecepatan rendah. Terutama pada Gambar 11(b) untuk suhu 70 yang memiliki kurva yang sedikit berbeda. Hal ini dapat disebabkan oleh kemampuan bahan menguapkan air relatif lebih besar daripada suhu pengeringan yang lainnya. Gambar 10-12 (a) menunjukkan grafik penurunan kadar air dan laju pengeringan yang berhimpit untuk suhu 60 dan 70 o C. Adanya grafik yang berhimpit mungkin terjadi karena kadar air bahan yang relatif sama dan tidak terlalu ada pengaruh yang signifikan pada suhu 60 dan 70 o C untuk pengeringan temu putih. Laju Pengeringan (%bk/menit) 0,070 0,060 0,050 0,040 0,030 0,020 0,010 0,000 suhu 40 suhu 50 suhu 60 suhu 70 0 200 400 600 800 1000 1200 Laju Pengeringan (%bk/menit) 0,070 0,060 0,050 0,040 0,030 0,020 0,010 0,000 suhu 40 suhu 50 suhu 60 suhu 70 0 200 400 600 800 1000 1200 (a) Kecepatan Tinggi (b) Kecepatan Rendah Gambar 11. Kurva Laju Pengeringan Terhadap Waktu Pada RH 40% Laju Pengeringan (%bk/menit) 0,070 0,060 0,050 0,040 0,030 0,020 0,010 0,000 suhu 40 suhu 50 suhu 60 suhu 70 0 200 400 600 800 KA (%bk) Laju Pengeringan (%bk/menit) 0,070 0,060 0,050 0,040 0,030 0,020 0,010 0,000 suhu 40 suhu 50 suhu 60 suhu 70 0 200 400 600 800 KA (%bk) (a) Kecepatan Tinggi (b) Kecepatan Rendah Gambar 12. Kurva Laju Pengeringan Terhadap Kadar Air Pada RH 40% Dari Gambar 10-12 dapat dikatakan bahwa semakin tinggi suhu, maka waktu pengeringan yang diperlukan semakin singkat. Hal ini 49

dipengaruhi oleh semakin besarnya energi panas yang dibawa sehingga kemampuan untuk memenuhi panas laten penguapan bahan semakin meningkat pula. Penggunaan suhu tinggi akan menigkatkan efisiensi pengeringan, namun harus diingat bahwa penggunaan suhu tinggi dapat merusak atau mengubah konten yang ada dalam bahan. 2. Pengaruh Kelembaban Udara (RH) Kelembaban udara dapat dibagi menjadi dua, yaitu kelembaban nisbi dan kelembaban mutlak. Kelembaban nisbi atau yang biasa dituliskan RH merupakan perbandingan tekanan uap dalam suatu ruang terhadap tekanan uap jenuh pada suhu yang sama. Kelembaban mutlak adalah massa uap air per satuan massa gas kering. Kelembaban udara berpengaruh terhadap proses pemindahan uap air dari dalam bahan keluar bahan. Tabel 10. Data Kadar Air Awal dan Akhir Serta Waktu Pengeringan Temu Putih Suhu 50 o C RH (%) 20 40 60 Kecepatan Kadar Air (%bb) Kadar Air (%bk) Waktu (m/s) Awal Akhir Awal Akhir (menit) v 1 79.43 7.11 386.14 7.66 620 v 2 86.01 8.42 614.80 9.19 655 v 1 84.69 10.80 553.17 12.10 650 v 2 85.65 14.17 596.86 16.50 890 v 1 84.30 12.76 536.94 14.63 675 v 2 92.10 20.69 1165.82 20.08 1290 Pada Tabel 10 terdapat kadar air awal bahan yang mencapai 90% (bb). Hal ini disebabkan bahan yang digunakan untuk pengeringan langsung berasal dari pemasok dan belum mengalami penyimpanan di lemari pendingin. Hal lain yang mempengaruhi adalah bagian rimpang yang digunakan untuk pengeringan memiliki lebih banyak air daripada seratnya. Pada tabel yang sama juga terdapat kadar air awal bahan yang 50

79% (bb). Hal ini disebabkan bahan terlalu lama disimpan dalam lemari pendingin, sehingga mengurangi kadar air awal bahan saat digunakan. Dari Tabel 10 terlihat semakin tinggi RH ruang pengering maka akan semakin lama waktu yang diperlukan untuk mencapai keadaan seimbang. Moisture Ratio 1 0 RH 20% RH 40% RH 60% 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 (a) Kecepatan Tinggi (b) Kecepatan Rendah Gambar 13. Kurva MR Terhadap Waktu Pada Suhu 50 o C Moisture Ratio 1,0 0,0 RH 20% RH 40% RH 60% 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 Pada Gambar 13(b) terutama pada RH 60% terlihat kurva yang sedikit melenceng. Bentuk kurva yang demikian disebabkan oleh kadar air awal bahan yang cukup besar, yaitu 90% (bb) membutuhkan waktu yang relatif lebih lama untuk mencapai keseimbangannya. Dari Gambar 14 terlihat bahwa pada kecepatan tinggi, kurva laju pengeringan terhadap waktu berbentuk curam dan pada kecepatan rendah lebih landai. Terutama pada Gambar 14(b) RH 60% yang menunjukkan laju pengeringan yang konstan diawal pengeringan. Hal ini terjadi karena cukup banyak massa air bebas yang menyelimuti seluruh permukaan bahan, sehingga laju penguapan massa air dari permukaan seolah-olah konstan. Hal ini juga dipengaruhi oleh kondisi RH yang relatif tinggi yaitu 60%. 51

Laju Pengeringan (%bk/menit) 0,050 0,040 0,030 0,020 0,010 0,000 RH 20% RH 40% RH 60% 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 Laju Pengeringan (%bk/menit) 0,050 0,040 0,030 0,020 0,010 0,000 RH 20% RH 40% RH 60% 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 (a) Kecepatan Tinggi (b) Kecepatan Rendah Gambar 14. Kurva Laju Pengeringan Terhadap Waktu Pada Suhu 50 o C Laju Pengeringan (%bk/menit) 0,045 0,040 0,035 0,030 0,025 0,020 0,015 0,010 0,005 0,000 RH 20% RH 40% RH 60% 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 KA (%bk) Laju Pengeringan (%bk/menit) 0,045 0,040 0,035 0,030 0,025 0,020 0,015 0,010 0,005 0,000 RH 20% RH 40% RH 60% 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 KA (%bk) (a) Kecepatan Tinggi (b) Kecepatan Rendah Gambar 15. Kurva Laju Pengeringan Terhadap Kadar Air Pada Suhu 50 o C Gambar 13 menunjukkan bahwa pada RH 20% dan 40% tidak terlihat perbedaan grafik yang mencolok bila dibandingkan dengan RH 60%. Dari gambar di atas dapat dikatakan bahwa penggunaan RH rendah tidak berpengaruh secara signifikan terhadap proses pengeringan, terutama pada kecepatan tinggi. Gambar 13-15 menunjukkan bahwa RH yang tinggi akan menghambat proses pemindahan uap air dari dalam bahan ke luar bahan sehingga akan memperpanjang waktu pengeringan. Sehingga dapat dikatakan bahwa semakin tinggi RH, maka laju pengeringan akan menurun perlahan. 52

3. Pengaruh Kecepatan Udara Gambar 16-18 menampilkan karakteristik pengeringan temu putih pada kecepatan yang berbeda. Pada Gambar 16 terlihat bahwa pada kondisi suhu-rh konstan, semakin tinggi kecepatan udara yang digunakan maka semakin cepat bahan mencapai keadaan seimbangnya. Pada V 1, temu putih mencapai keseimbangan dalam waktu ±600 menit, sedangkan untuk V 2 dalam waktu ±900 menit. 1,0 MR suhu 50, RH 40%, v1 suhu 50, RH 40%, v2 0,0 0 200 400 600 800 1000 Gambar 16. Kurva MR Terhadap Waktu Pada Suhu 50 o C dan RH 40% Pada Gambar 17 terlihat bahwa semakin tinggi kecepatan udara maka laju pengeringan akan meningkat. Grafik laju pengeringan pada kecepatan tinggi berbentuk curam, sedangkan pada kecepatan rendah relatif landai. Pada Gambar 18 terlihat pada kadar air awal temu putih yang relatif sama, laju pengeringan yang lebih besar terjadi pada V 1 yaitu sekitar 0.050 %bk/menit. Sedangkan untuk V 2 hanya 0.030 %bk/menit untuk laju pengeringannya. 53

Laju Pengeringan (%bk/menit) 0,050 0,040 0,030 0,020 0,010 0,000 suhu 50, RH 40%, v1 suhu 50, RH 40%, v2 0 200 400 600 800 1000 Gambar 17. Kurva Laju Pengeringan Terhadap Waktu Pada Suhu 50 o C dan RH 40% 0,050 Laju Pengeringan (%bk/menit) 0,040 0,030 0,020 0,010 0,000 suhu 50, RH 40%, v1 suhu 50, RH 40%, v2 0 200 400 600 800 KA (%bk) Gambar 18. Kurva Laju Pengeringan Terhadap Kadar Air Pada Suhu 50 o C dan RH 40% Semakin tinggi kecepatan udara yang digunakan maka akan semakin banyak massa uap air yang mampu dipindahkan dari permukaan simplisia. Hal ini akan mempercepat waktu pengeringan. Sehingga dapat dikatakan bahwa kecepatan udara berpengaruh signifikan terhadap waktu pengeringan temu putih. Dari keseluruhan gambar, terlihat kurva penurunan kadar air membentuk pola yang sama yaitu bentuk eksponensial. Penurunan kadar air menunjukkan tiga tahap penurunan, yaitu tahap penurunan kadar air cepat pada awal pengeringan, tahap penurunan kadar air lambat, dan tahap penurunan kadar air sangat lambat pada akhir pengeringan. Penurunan kadar air yang relatif besar diawal, disebabkan 54

pada tahap awal pengeringan masih terdapat massa air pada permukaan bahan dalam jumlah besar. Udara pengering yang dihembuskan akan meliputi permukaan bahan dan akan menaikkan tekanan uap air, terutama pada daerah permukaan. Pada saat proses ini terjadi, perpindahan massa dari bahan ke udara dalam bentuk uap air berlangsung dalam jumlah yang besar sampai tekanan uap air pada permukaan akan menurun. Setelah massa air pada permukaan temu putih berkurang maka terjadi perpindahan air secara difusi dari dalam bahan ke permukaan bahan. Selama proses tersebut terjadi penurunan kadar air secara lambat. Pada akhirnya setelah air bahan berkurang, tekanan uap air bahan akan menurun sampai terjadi keseimbangan dengan udara sekitarnya dan tidak ada perpindahan air. Demikianlah terjadi bentuk kurva yang semakin landai pada akhir pengeringan hingga tercapai keseimbangan. Laju pengeringan menunjukkan banyaknya air yang diuapkan per satuan waktu. Dalam proses pengeringan, laju penguapan air ini sangat dipengaruhi oleh suhu, RH dan kecepatan udara pengering. Semakin tinggi suhu dan kecepatan udara pengering yang digunakan maka semakin tinggi pula laju udara pengeringnya. Namun hal yang berbeda terlihat dalam perlakuan kelembaban udara. Semakin tinggi kelembaban udara pengeringnya maka semakin rendah laju pengeringannya. Laju pengeringan akan menurun seiring dengan penurunan kadar air dan pengurangan jumlah air terikat selama pengeringan. Hal ini dipengaruhi oleh mekanisme pengeringan difusi, yaitu difusi air bagian dalam temu putih ke permukaan dan dari permukaan bahan ke udara bebas. Mekanisme di atas terjadi karena adanya perbedaan tekanan uap air antara bahan yang dikeringkan dengan udara luar (medium pengering). Dari seluruh gambar kurva laju pengeringan temu putih tidak terdapat periode laju pengeringan tetap yang terjadi pada awal pengeringan. Sehingga dikatakan bahwa pengeringan temu putih hanya berada pada laju pengeringan menurun. 55

B. MODEL PENGERINGAN LAPISAN TIPIS TEMU PUTIH 1. Model dan Konstanta Pengeringan Lapisan Tipis Temu Putih Pengeringan lapisan tipis dilakukan dengan mengeringkan irisan temu putih dalam satu lapisan sehingga seluruh bagian bahan diselimuti udara. Perhitungan pengeringan lapisan tipis temu putih dilakukan dengan model semi teoritis dan empiris. Model matematis yang digunakan adalah model Newton, Henderson dan Pabis, serta Page. Perhitungan dilakukan dengan menurunkan persamaan menjadi persamaan linear sederhana seperti yang terlihat pada Tabel 5. Konstanta pengeringan k dan n berhubungan erat dengan difusivitas (D) dan bentuk geometris. Oleh karena itu nilai konstanta pengeringan akan berbeda untuk setiap model pengeringan lapisan tipis dan hanya berlaku pada selang suhu dan kadar air tertentu. (Brooker et al., 1974). Untuk temu putih pendekatan bentuk geometrisnya adalah tipe lempeng tak hingga. Tabel 11. Nilai Konstanta Pengeringan dari Newton Model Newton Model Suhu RH ( o C) (%) k (1/menit) v 1 v 2 40 50 60 70 40 0.0090 0.0060 60 0.0060 0.0040 20 0.0110 0.0100 40 0.0120 0.0090 60 0.0100 0.0040 20 0.0160 0.0140 40 0.0200 0.0090 60 0.0130 0.0060 20 0.0280 0.0160 40 0.0220 0.0130 56

Nilai konstanta pengeringan k dan n didapatkan bersamaan dengan perhitungan karakteristik pengeringan lapisan tipis berdasarkan persamaan model pengeringan. Nilai konstanta pengeringan k dan n ini dipengaruhi oleh kadar air dan waktu pengeringan serta nilainya adalah tertentu untuk setiap model persamaan. Tabel 11 sampai Tabel 13 menampilkan nilai konstanta k dan n dari masing-masing model. Tabel 12. Nilai Konstanta Pengeringan dari Henderson-Pabis Model Henderson-Pabis Model Suhu RH k (1/menit) n ( o C) (%) v 1 v 2 v 1 v 2 40 40 0.0080 0.0060 0.9512 1.3621 60 0.0070 0.0050 1.3008 1.8349 20 0.0110 0.0110 1.0030 1.5511 50 40 0.0130 0.0100 1.3675 2.0564 60 0.0110 0.0050 1.8770 2.2100 20 0.0170 0.0150 1.2943 1.6226 60 40 0.0210 0.0110 1.3418 1.8965 60 0.0150 0.0080 2.0218 2.5909 70 20 0.0270 0.0180 1.1723 1.8040 40 0.0230 0.0170 1.4874 2.8777 57

Tabel 13. Nilai konstanta Pengeringan dari Page Model Page Model Suhu RH ( o C) (%) k (1/menit) v 1 v 2 v 1 v 2 n 40 50 60 70 40 0.0083 0.0030 1.014 1.111 60 0.0035 0.0007 1.097 1.259 20 0.0130 0.0038 0.977 1.166 40 0.0065 0.0022 1.101 1.221 60 0.0025 0.0006 1.223 1.253 20 0.0103 0.0042 1.077 1.211 40 0.0079 0.0016 1.168 1.291 60 0.0024 0.0008 1.287 1.305 20 0.0184 0.0037 1.088 1.261 40 0.0071 0.0018 1.210 1.328 Tabel 11 sampai Tabel 13 memperlihatkan adanya pola hubungan antara suhu, RH, kecepatan udara dengan nilai konstanta pengeringan k dan n. Pada suhu dan kelembaban udara yang sama, nilai konstanta pengeringan k lebih tinggi saat kecepatan tinggi daripada kecepatan rendah. Berbeda dengan nilai konstanta pengeringan n yang pada suhu dan kelembaban udara yang sama memiliki nilai n lebih rendah pada kecepatan tinggi daripada kecepatan rendah. Sehingga dapat dikatakan nilai k akan semakin besar seiring bertambahnya suhu pengeringan. Namun semakin kecil dengan bertambahnya kelembaban udara dan menurunnya kecepatan udara pengeringan. Sedangkan nilai n akan semakin meningkat dengan bertambahnya kelembaban udara dan menurunnya kecepatan udara. Dari ketiga model persamaan yang digunakan, dilakukan analisa eror untuk melihat keabsahan model yang meliputi nilai RMSE, chisquare, dan EF. Dari Lampiran 8 terlihat bahwa nilai rata-rata chi-square pada berbagai tingkat suhu, RH dan kecepatan udara dengan model Page memiliki nilai terendah yaitu antara 0.000047 sampai 0.000276. 58

Sedangkan untuk nilai RMSE model Page berada pada range 0.000586 sampai 0.000946. Kedua nilai tersebut mendekati nilai nol (0) sehingga menunjukkan bahwa model Page adalah yang terbaik untuk temu putih. Hal yang sama terlihat dari nilai EF yang tertinggi pada dua kecepatan udara yang berbeda adalah model Page. Dimana nilai EF pada kecepatan tinggi adalah 0.999191 dan pada kecepatan rendah adalah 0.996750. Berarti kemampuan model Page untuk menggambarkan karakteristik pengeringan lapisan tipis temu putih adalah 99.67% hingga 99.91%. Dari uji keabsahan model diketahui bahwa model Page dapat menggambarkan karakteristik pengeringan lapisan tipis temu putih dengan tepat. Oleh karena itu digunakan nilai konstanta pengeringan k dan n model Page untuk menggambarkan karakteristik pengeringan temu putih. 2. Pengujian Model Pengeringan Lapisan Tipis Temu Putih Pengujian model dilakukan dengan cara membandingkan penggambaran karakteristik pengeringan lapisan tipis temu putih pada grafik MR terhadap waktu antara hasil percobaan dengan model Page. Pengujian dilakukan untuk mengetahui ketepatan model yang digunakan dalam menggambarkan karakteristik pengeringan lapisan tipis temu putih. Gambar 19 sampai Gambar 21 menunjukkan penggambaran model Page pada masing-masing suhu, RH dan kecepatan udara pengering. Moisture Ratio 1,0 suhu 50C,RH 40% Newton model H&P model Page Model Moisture Ratio 1,0 suhu 50C,RH 40% Newton Model H&P Model Page Model 0,0 0,0 0 200 400 600 800 1000 0 200 400 600 800 1000 (a) Kecepatan Tinggi (b) Kecepatan Rendah Gambar 19. Kurva MR (Percobaan dan Model) Terhadap Waktu Pada Suhu 50 o C dan RH 40% 59

Moisture Ratio 1 RH 20% RH 40% RH 60% Page Model Moisture Ratio 1,0 RH 20% RH 40% RH 60% Page Model 0 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0,0 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 (a) Kecepatan Tinggi (b) Kecepatan Rendah Gambar 20. Kurva MR (Percobaan dan Page Model) Terhadap Waktu Pada Suhu 50 o C Moisture Ratio 1,0 suhu 40 suhu 50 suhu 60 suhu 70 Page Model Moisture Ratio 1,0 suhu 40 suhu 50 suhu 60 suhu 70 Page model 0,0 0 200 400 600 800 1000 1200 0,0 0 200 400 600 800 1000 1200 (a) Kecepatan Tinggi (b) Kecepatan Rendah Gambar 21. Kurva MR (Percobaan dan Page Model) Terhadap Waktu Pada RH 40%. Dari Gambar 19 sampai Gambar 21 terlihat bahwa grafik dari model Page sangat berhimpit bahkan hampir sama dengan grafik hasil percobaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa model Page dapat menggambarkan karakteristik pengeringan lapisan tipis temu putih dengan tepat. 60

C. MODEL KADAR AIR KESEIMBANGAN 1. Nilai Kadar Air Keseimbangan (Me) Percobaan Kadar air keseimbangan adalah tingkat keseimbangan antara kadar air bahan dengan lingkungan dimana laju perpindahan air dari bahan ke udara sama dengan laju perpindahan air dari udara ke bahan (Hall, 1957). Pada pengeringan, kadar air keseimbangan menunjukkan besarnya tingkat kadar air yang mampu dicapai oleh suatu bahan tertentu pada kondisi suhu dan RH tertentu. Kadar air keseimbangan suatu bahan adalah spesifik untuk tiap kondisi udara sekelilingnya. Tabel 14. Nilai Kadar Air Keseimbangan (Me) Percobaan Suhu ( o C) 40 50 60 70 v 1 (m/s) v 2 (m/s) RH Me Me Me Me (%) (%bb) (%bk) (%bb) (%bk) 40 13.08 15.05 17.55 21.28 60 15.38 18.18 25.92 35.00 20 7.11 7.66 8.42 9.19 40 10.80 12.10 14.17 16.50 60 12.76 14.63 20.69 20.08 20 4.4 4.60 7.11 7.66 40 8.78 9.62 9.58 10.60 60 9.6 10.62 17.19 20.76 20 3.85 4.01 5.55 5.87 40 7.59 8.21 7.04 7.58 Pada penelitian ini, kadar air keseimbangan temu putih didapatkan dari nilai kadar air akhir (%bk) bahan dalam proses pengeringan. Tabel 14 menunjukkan nilai kadar air keseimbangan (Me) dari masing-masing perlakuan. Tabel 14 memperlihatkan semakin tinggi suhu dan semakin rendah kelembaban relatif udara pengering pada kecepatan udara tinggi dan rendah menunjukkan semakin rendah nilai kadar air keseimbangan yang mampu dicapai. Pada suhu dan kecepatan udara yang sama diperoleh 61

nilai kadar air keseimbangan yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa kelembaban udara mempengaruhi nilai kadar air keseimbangan dan sesuai dengan persamaan yang dikembangkan oleh Henderson (1974), Chung- Pfost (1967), dan Halsey (1948). Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kadar air keseimbangan adalah suhu, RH, kecepatan udara dan sifat bahan. 2. Model Kadar Air Keseimbangan Model persamaan kadar air keseimbangan digunakan untuk mendekati nilai kadar air keseimbangan percobaan. Untuk mendapatkan model persamaan kadar air keseimbangan digunakan persamaan semi teoritis yang dikembangkan oleh Henderson (1974), Chung-Pfost (1967), dan Halsey (1948) dan persamaan empiris yaitu persamaan linier. Dari persamaan tersebut akan didapatkan koefisien C 1 dan C 2 yang akan digunakan untuk model persamaan. Proses perhitungan yang digunakan seperti yang tertulis pada Tabel 8 yaitu menggunakan persamaan linear sederhana. Untuk persamaan polinomial, persamaan umum (10) dibuat dengan menggantikan koefisien-koefisiennya dengan nilai-nilai yang merupakan fungsi dari suhu. Kemudian hasil kadar air keseimbangan model dibandingkan lagi dengan hasil kadar air keseimbangan percobaan untuk dilakukan verifikasi model. Hasil perhitungan nilai kadar air keseimbangan untuk kecepatan udara tinggi dan rendah pada berbagai model ditampilkan pada Tabel 15. Gambar kurva sorpsi isotermis persamaan polinomial terdapat pada Lampiran 10. Hasil persamaan matematis kadar air keseimbangan inilah yang digunakan untuk mendekati nilai kadar air keseimbangan percobaan pengeringan temu putih. Dari Tabel 15 terlihat nilai R 2 persamaan semi teoritis Henderson adalah tertinggi dengan 0.512 untuk kecepatan tinggi dan 0.680 untuk kecepatan rendah. Sedangkan untuk persamaan empiris persamaan polinomial adalah 0.982 untuk kecepatan tinggi dan 0.985 untuk kecepatan rendah. 62

Tabel 15. Nilai Me Pada Berbagai Model Persamaan Suhu RH ( o C) (%) Me (%bk) Henderson Chung-Pfost Halsey Pers. Polinomial v 1 v 2 v 1 v 2 v 1 v 2 v 1 v 2 40 40 10.46 15.23 10.64 16.55 9.64 14.06 15.03 21.24 60 19.16 29.9 17.85 30.14 20.94 31.84 18.15 34.95 20 4.29 5.65 3.3 2.72 4.38 6.12 7.97 9.78 50 40 10.12 14.69 10.25 15.82 9.25 13.46 11.45 15.16 60 18.54 28.83 17.46 29.41 20.09 30.47 14.93 20.61 20 4.16 5.45 2.92 2.01 4.2 5.87 5.26 6.40 60 40 9.81 14.18 9.87 15.11 8.88 12.9 8.26 12.90 60 17.97 27.84 17.09 28.7 19.29 29.2 11.26 19.41 70 20 4.03 5.27 4.5 1.32 4.98 5.63 4.01 5.81 40 9.51 13.71 10.64 14.42 9.64 12.37 8.21 7.46 R 2 0.512 0.680 0.502 0.582 0.341 0.661 0.982 0.985 RMSE 1.04184 1.61460 1.00443 1.89242 1.28234 1.70744 0.18178 0.33424 Tabel 16. Persamaan Matematis Kadar Air Keseimbangan Model Henderson Chung Pfost Halsey Pers. Linier Persamaan Kecepatan Tinggi Me = (0.000021 T 3-0.00336 T 2 + 0.1761 T - 2.856) RH + (-0.00038017 T 3 + 0.067345 T 2 4.1717 T + 92.238) Kecepatan Rendah Me = (-0.00012767 T 3 + 0.021495 T 2-1.1972 T + 22.352) RH + (0.003956 T 3-0.66839 T 2 + 37.076 T - 672.96) 63

Hal senada terlihat pada nilai RMSE persamaan Henderson adalah 1.04184 untuk kecepatan tinggi dan 1.61460 untuk kecepatan rendah. Sedangkan untuk persamaan polinomial, nilai RMSE untuk kecepatan tinggi adalah 0.18178 untuk kecepatan tinggi dan 0.33424 untuk kecepatan rendah. Hasil persamaan dari beberapa model semi teoritis dan empiris dapat dilihat pada Tabel 16. Oleh karena itu untuk mendekati nilai kadar air keseimbangan dapat digunakan persamaan semi teoritis yaitu model Henderson dan persamaan empiris yaitu persamaan linier. Hasil kadar air keseimbangan persamaan polinomial dibandingkan dengan model Page. Hasil validasi dari kadar air keseimbangan polinomial dapat dilihat pada Lampiran 11. Dari hasil tersebut terlihat bahwa hasil kadar air keseimbangan persamaan polinomial sangat berhimpit dengan model Page, sehingga dapat dikatakan bahwa persamaan polinomial dapat digunakan untuk penurunan kadar air temu putih. D. PEMUTUAN SIMPLISIA Pemutuan simplisia dilakukan untuk mengetahui kandungan akhir simplisia setelah dikeringkan. Pemutuan simplisia yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan dua cara. Pertama berdasarkan analisa proksimat yang sesuai dengan standar MMI. Analisa proksimat meliputi kadar air akhir (%bk), kadar abu, kadar abu tidak larut dalam asam, kadar sari larut dalam air dan kadar sari larut dalam alkohol. Dikarenakan standar MMI untuk temu putih belum ada, maka dilakukan pendekatan analisa proksimat menggunakan kunyit (Curcuma longa) dan temu ireng (Curcuma aeruginosa). Kedua berdasarkan penentuan kadar kurkumin sebelum dan sesudah pengeringan. Dari hasil penurunan kadar kurkumin tersebut dapat diketahui kombinasi suhu-kelembaban udara manakah yang sesuai. Tabel 15 memperlihatkan nilai kadar air akhir dari masing-masing perlakuan. Hasil ini dibandingkan dengan standar kadar air akhir simplisia pada Tabel 5. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa pada kecepatan 64

tinggi dapat dicapai kadar air 10-12% bk pada suhu 50-70 o C dan RH 20-40%. Sedangkan pada kecepatan rendah kombinasinya adalah suhu 50-70 o C dan RH 20%. Hasil kombinasi suhu-kelembaban tersebut dapat dikatakan bahwa untuk pengeringan temu putih sulit dilakukan dilakukan menggunakan penjemuran biasa. Karena suhu maksimum sinar matahari ±40 o C dan kelembaban udara lingkungan ±70% sehingga untuk mencapai hasil akhir pengeringan dengan kadar air akhir ±10% bk dibutuhkan waktu pengeringan yang cukup lama. Pada Tabel 17 yang merujuk pada Lampiran 6 terlihat hasil analisa proksimat simplisia temu putih. Simplisia yang dianalisa hanya berasal dari percobaan kecepatan rendah dan RH 40% tapi merupakan kombinasi dari semua suhu. Hasil analisa proksimat temu putih tersebut didekati dengan standar mutu simplisia kunyit dan temu hitam seperti pada Tabel 5. Hasil yang didapatkan adalah dari semua perlakuan suhu-kelembaban udara diperoleh simplisia temu putih yang sesuai dengan standar MMI untuk simplisia kunyit dan temu hitam. Namun hanya satu hasil yang berbeda, yaitu untuk suhu 60 o C-RH 40% dengan pemeriksaan kadar abu tidak larut asam memiliki nilai 3.31%. Hasil pemeriksaan kadar abu tidak larut dalam asam untuk perlakuan yang lain berkisar antara 0.00-0.11%. Hasil ini tidak sesuai dengan standar simplisia kunyit dan temu putih, yaitu kurang dari 2.4%. Hasil tersebut perlu diteliti lebih lanjut apakah terjadi kesalahan dalam analisa atau memang demikian hasilnya. Tabel 17. Kadar Proksimat Simplisia Temu Putih RH 40% Parameter 40 o C 50 o C 60 o C 70 o C Kadar abu (%) 6.75 6.42 7.48 5.53 Kadar abu tidak larut dalam asam (%) 0.07 3.31 0 0.11 Kadar sari larut dalam air (%) 25.17 26.38 23.25 23.13 Kadar sari larut dalam alkohol (%) 16.21 15.59 13.83 14.07 65

Berdasarkan analisa kadar kurkumin di BALITTRO dan Biofarmaka diketahui bahwa kadar awal kurkumin tidak terdeteksi. Hal ini mungkin disebabkan oleh banyaknya kandungan air yang menutupi permukaan bahan sehingga menyulitkan pembacaan. Sedangkan kadar akhir kurkumin tidak memiliki pola yang signifikan berdasarkan kombinasi suhu-rh. Namun kadar kurkumin jumlahnya lebih besar pada kecepatan rendah. Nilai kadar akhir kurkumin berkisar antara 0.05-0.16% seperti terlihat pada Tabel 18. Dari hasil tersebut tidak dapat disimpulkan kombinasi suhu-rh yang terbaik. Hal ini dikarenakan belum ada standar kadar kurkumin pada temu putih. Tabel 18. Kadar Kurkumin Simplisia Temu Putih Suhu ( o C) 40 50 60 70 Kadar Kurkumin RH (%) (%) v 1 v 2 40 0.08 0.15 60 0.10 0.11 20 0.09 0.16 40 0.06 0.14 60 0.05 0.09 20 0.09 0.13 40 0.08 0.12 60 0.11 0.15 20 0.10 0.14 40 0.08 0.14 66