Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download ""

Transkripsi

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza ROXB.) merupakan tanaman obat-obatan yang tergolong dalam suku temu-temuan (Zingiberaceae). Tanaman ini berasal dari Indonesia, khususnya pulau Jawa, kemudian menyebar ke beberapa tempat di kawasan wilayah biogeografi Malaysia. Saat ini, sebagian besar budidaya temulawak berada di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Selain di Asia Tenggara dapat ditemui pula di China, Indochina, Barbados, India, Jepang, Korea, Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa (Anonim, 212a). Temulawak merupakan salah satu jenis tanaman obat yang mempunyai prospek cerah untuk dikembangkan. Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia telah menentukan 9 tanaman unggulan salah satunya adalah temulawak. Ekspor temulawak Indonesia tahun 23 adalah sebesar 5.2 juta dollar AS dengan volume ton (Suara Merdeka, 24 November 24). Pengembangan tanaman temulawak di Indonesia sangat potensial karena produksi rimpang temulawak mengalami peningkatan sejak tahun (Bagem et al., 26). Di Indonesia satu-satunya bagian yang dimanfaatkan adalah rimpang temulawak untuk dibuat jamu godog. Rimpang ini mengandung 48-59,64% zat tepung, 1,6-2,2% kurkumin dan 1,48-1,63% minyak asiri dan dipercaya dapat meningkatkan kerja ginjal serta anti inflamasi (Anonim, 212b). Manfaat lain dari rimpang tanaman ini adalah sebagai obat jerawat, meningkatkan nafsu makan, anti kolesterol, anti inflamasi, anemia, anti oksidan, pencegah kanker, dan anti mikroba. Saat ini industri tanaman obat tradisional telah berkembang pesat di Indonesia, tetapi produknya belum optimal dan memenuhi standar mutu, terutama pada skala industri rumah tangga. Teknik pengolahan dari beberapa jenis tanaman obat yang baik (jahe, temulawak, kunyit, kencur, sambiloto, pegagan) belum memenuhi standar (Anonim, 212b). Teknik pengolahan sangat berpengaruh terhadap khasiat dari produk tanaman yang diperoleh. 1

15 Jika penanganan ataupun pengolahannya tidak benar maka mutu produk yang dihasilkan kurang berkhasiat atau kemungkinan dapat menimbulkan toksik apabila dikonsumsi. Selain penggunaan benih bermutu dan teknologi budidaya yang baik dan benar penanganan pasca panen temulawak juga merupakan faktor yang penting untuk memperoleh temulawak bermutu (Qanytah et al., 21). Dengan demikian, untuk mencapai kualitas yang diharapkan maka penanganan dan pengelolaan produksi tanaman obat dilapangan harus hatihati agar produksi biomassanya baik dan juga kadar serta kandungan senyawa aktifnya stabil. Dalam hal ini proses pascapanen tanaman obat harus betulbetul diperhatikan. Salah satu proses yang dilakukan untuk mempertahankan mutu adalah dengan pengeringan. Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau menghilangkan air dari suatu bahan dengan menggunakan sinar matahari. Pengeringan dapat memberikan keuntungan antara lain: memperpanjang masa simpan, mengurangi penurunan mutu sebelum diolah lebih lanjut, memudahkan dalam pengangkutan, menimbulkan aroma khas pada bahan serta memiliki nilai ekonomi lebih tinggi. Pengeringan temutemuan dapat dilakukan diatas para-para dengan menggunakan sinar matahari dan ditutupi dengan kain hitam juga dapat dilakukan dengan kombinasi antara sinar matahari dengan alat. Pengeringan dengan sinar matahari merupakan salah satu metode pengeringan tetapi hasilnya kurang higienis. Metode yang lain untuk bahan pertanian dari kadar air awal yang tinggi adalah metode pengeringan lapisan tipis dengan menggunakan tray dryer. Proses pengeringan mekanis dari alat pengering yang tidak sesuai dengan karakteristik temulawak akan mengakibatkan kerusakan temulawak sehingga dapat mengurangi mutu dari temulawak yang dihasilkan oleh karena itu perlu diadakan penelitian untuk mendapatkan sebuah karakteristik pengeringan lapisan tipis serta model pengeringan yang mampu mempresentasikan perilaku temulawak selama proses pengeringan. 2

16 1.2 Tujuan dan Kegunaan Tujuan Penelitian ini adalah untuk mendapatkan model empiris pengeringan lapis tipis yang sesuai dengan karakteristik temulawak serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan. Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai bahan informasi bagi industri obat dalam mengoptimalkan produksi temulawak dan menjadi dasar permodelan pengeringan rimpang temulawak. 3

17 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pasca Panen Temulawak Pasca panen adalah tindakan yang dilakukan setelah panen, mulai dari membersihkan hasil panen dari kotoran, tanah, serta mikroorganisme yang tidak diinginkan melalui pencucian, sortasi, perajangan, pengeringan, pengemasan dan penyimpanan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan produk yang berkualitas dengan mempertahankan kandungan bahan aktif yang memenuhi standar mutu secara konsisten dan memiliki umur simpan yang maksimal (Qanytah et al., 21). Rimpang dipanen dari tanaman yang telah berumur 9-1 bulan. Tanaman yang siap panen memiliki daun-daun dan bagian tanaman yang telah menguning dan mengering, memiliki rimpang yang besar dan berwarna kuning kecolatan. Rimpang temulawak telah digunakan secara luas dalam rumah tangga dan industri. Penggunaan rimpang temulawak dalam bidang industri antara lain industri makanan, minuman, obat obatan, tekstil dan kosmetik. Peningkatan penggunaan temulawak dalam industri obat-obatan memerlukan teknik pengolahan yang baik sehingga mutunya dapat meningkat (Bagem et al., 26). Tabel 1. Karakteristik Mutu Simplisia Temulawak Karakteristik Kadar air Kadar abu Kadar sari alkohol Kadar minyak atsiri Kadar kurkumin Sumber:Bagem et al., 26. Standar Mutu (%) < >5 min 5,2-2 4

18 2.2 Konsep Dasar Pengeringan Pengeringan adalah proses pengeluaran air dari suatu bahan pertanian menuju kadar air kesetimbangan dengan udara sekeliling atau pada tingkat kadar air dimana mutu bahan pertanian dapat dicegah dari serangan jamur, mikroba dan enzim aktifitas serangga (Henderson and Perry, 1976). Sedangkan menurut Hall (1957) dan Brooker et al., (1974), proses pengeringan adalah proses pengambilan atau penurunan kadar air sampai batas tertentu sehingga dapat memperlambat laju kerusakan bahan pertanian akibat aktivitas biologis dan kimia sebelum bahan diolah atau dimanfaatkan. Pengeringan merupakan salah satu cara dalam teknologi pangan yang dilakukan dengan tujuan pengawetan. Manfaat lain dari pengeringan adalah memperkecil volume dan berat bahan dibanding kondisi awal sebelum pengeringan. Sehingga, akan menghemat ruang (Rahman dan Yuyun, 25). Tujuan pengeringan adalah mengurangi kadar air pada level tertentu untuk menghambat pertumbuhan mikroba dan serangga serta mengurangi volume bahan pangan sehingga mengefisienkan proses penyimpanan dan distribusi. Kombinasi suhu dan lama pemanasan selama proses pengeringan pada komoditi biji-bijian dilakukan untuk menghindari terjadinya kerusakan biji. udara, kelembaban relatif udara, aliran udara, kadar air awal bahan dan kadar akhir bahan merupakan faktor yang mempengaruhi waktu atau lama pegeringan (Brooker et al., 1974). Dalam pengeringan, keseimbangan kadar air menentukan batas akhir dari proses pengeringan. Kelembaban udara nisbi serta suhu udara pada simplisia kering biasanya mempengaruhi keseimbangan kadar air. Pada saat kadar air seimbang, penguapan air pada simplisia akan terhenti dan jumlah molekul-molekul air yang akan diuapkan sama dengan jumlah molekul air yang diserap oleh permukaan bahan. Laju pengeringan amat bergantung pada perbedaan antara kadar air simplisia dengan kadar air keseimbangan (Siswanto, 24). Selama proses pengeringan, di dalam bahan juga berlangsung perubahan-perubahan, diantaranya perubahan hidrolisis enzimatik, pencoklatan (browning), fermentasi, dan oksidasi. Kandungan senyawa aktif 5

19 simplisia umumnya sangat sensitive terhadap proses pengeringan. Bahanbahan minyak atsiri sangat sensitive terhadap suhu tinggi sehingga harus hatihati, demikian juga untuk bahan yang kadar airnya cukup tinggi perlu penanganan khusus (Siswanto, 24). Secara garis besar pengeringan produk tanaman obat dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pengeringan secara alami dan buatan (Siswanto, 24) yaitu: 1. Pengeringan secara alami (natural drying) a. Pengeringan dengan cahaya matahari (sun drying) b. Pengeringan menggunakan alat berenergi matahari c. Pengering bertenaga angin (ventilation drying) 2. Pengeringan buatan (artificial drying) a. Pengering berbentuk kabinet. b. Pengering berbentuk kiln c. Pengering berbentuk terowongan (tunnel dryer) d. Pengering yang dapat berputar (rotary dryer) e. Pengering berbentuk silindris ( drum dryer) f. Pengering dengan sistem penyemprotan (spray dryer) 2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengeringan Kecepatan pengeringan maksimum dipengaruhi oleh percepatan pindah panas dan pindah massa selama proses pengeringan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan pindah panas dan massa tersebut adalah sebagai berikut (Estiasih et al., 29): 1. Luas permukaan Pada pengeringan umumnya, bahan pangan yang akan dikeringkan mengalami pengecilan ukuran, baik dengan cara diiris, dipotong, atau digiling. Proses pengecilan ukuran akan mempercepat proses pengeringan. Hal ini disebabkan pengecilan ukuran akan memperluas permukaan bahan, air lebih mudah berdifusi, dan menyebabkan penurunan jarak yang harus ditempuh oleh panas. 6

20 2. Semakin besar perbedaan suhu antara medium pemanas dengan bahan pangan semakin cepat pindah panas ke bahan pangan dan semakin cepat pula penguapan air dari bahan pangan. Apabila udara merupakan medium pemanas, maka faktor kecepatan pergerakan udara harus diperhatikan. Pada proses pengeringan, air dikeluarkan dari bahan pangan dapat berupa uap air. Uap air tersebut harus segera dikeluarkan dari atmosfer di sekitar bahan pangan yang dikeringkan. Jika tidak segera keluar, udara di sekitar bahan pangan akan menjadi jenuh oleh uap air sehingga memperlambat penguapan air dari bahan pangan yang memperlambat proses pengeringan. Semakin tinggi suhu udara, semakin banyak uap air yang dapat ditampung oleh udara tersebut sebelum terjadi kejenuhan. Faktor lain yang mempengaruhi kecepatan pengeringan adalah volume udara. 3. Kecepatan pergerakan udara Semakin cepat pergerakan atau sirkulasi udara maka proses pengeringan akan semakin cepat. Prinsip ini menyebabkan beberapa proses pengeringan menggunakaan sirkulasi udara atau udara yang bergerak seperti pengering kabinet, tunnel dryer, pengering semprot, dan lain-lain. 4. Kelembaban udara Semakin kering udara (kelembaban semakin rendah) maka kecepatan pengeringan semakin tinggi. Kelembaban udara akan menentukan kadar air akhir bahan pangan setelah dikeringkan. Proses penyerapan akan terhenti sampai kesetimbangan kelembaban nisbi bahan pangan tercapai. Kesetimbangan nisbi bahan pangan adalah kelembaban pada suhu tertentu di mana tidak terjadi penguapan air dari bahan pangan ke udara dan tidak terjadi penyerapan uap air dari udara oleh bahan pangan. 5. Tekanan atmosfer Pengeringan pada kondisi vakum menyebabkan pengeringan lebih cepat atau suhu yang digunakan untuk suhu pengeringan dapat lebih rendah. rendah dan kecepatan pengeringan yang tinggi diperlukan untuk mengeringkan bahan pangan yang peka terhadap panas. 7

21 6. Penguapan air Penguapan atau evaporasi merupakan penghilangan air dari bahan pangan yang dikeringkan sampai diperoleh produk kering yang stabil. Penguapan yang terjadi selama proses pengeringan tidak menghilangkan semua air yang terdapat dalam bahan pangan. 7. Lama pengeringan Pengeringan dengan suhu tinggi dalam waktu yang pendek dapat lebih menekan kerusakan bahan pangan dibandingkan waktu pengeringan yang lebih lama dan suhu lebih pendek. 2.4 Kadar Air Salah satu faktor yang mempengaruhi proses pengeringan adalah kadar air, pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air bahan untuk menghambat perkembangan organisme pembusuk. Kadar air suatu bahan berpengaruh terhadap banyaknya air yang diuapkan dan lamanya proses pengeringan (Taib et al., 1988). Kadar air suatu bahan merupakan banyaknya kandungan air persatuan bobot bahan yang dinyatakan dalam persen basis basah (wet basis) atau dalam persen basis kering (dry basis). Kadar air basis basah mempunyai batas maksimum teoritis sebesar 1%, sedangkan kadar air basis kering lebih dari 1%. Kadar air basis basah (Mwb) adalah perbandingan antara berat air yang ada dalam bahan dengan berat total bahan. Kadar air basis basah (Mwb) banyak digunakan dalam penentuan harga pasar sedangkan kadar air basis kering (Mdb) digunakan dalam bidang teknik (Brooker et al., 1974). Persamaan dalam penentuan kadar air adalah sebagai berikut : (Brooker et al., 1974) Mdb=... (1) Keterangan : Mdb = kadar air basis kering (%) Wt = berat total (gram) Wd = berat padatan (gram) 8

22 Mwb=... (2) Keterangan : Mwb = kadar air basis basah (%) Wt = berat total (gram) Wd = berat padatan (gram) Metode penentuan kadar air dapat dilakukan dengan dua cara yaitu metode langsung dan metode tidak langsung. Metode langsung menerapkan metode oven dan metode destilasi. Pada metode oven, sampel bahan diletakkan ke dalam oven hingga diperoleh berat konstan pada bahan. Penentuan kadar air pada metode oven didasarkan pada banyaknya air yang hilang dari produk. Adapun pada metode destilasi, kadar air dihilangkan dengan memanaskan biji ke dalam air dan selanjutnya menentukan volume atau massa air yang hilang pada biji dalam uap yang terkondensasi atau dengan pengurangan berat sampel. Metode Destilasi Brown-Duvel dan metode Destilasi Official Toluene (Metilbenzena, C6H5CH3) merupakan metode destilasi yang umum digunakan dalam penentuan kadar air bahan. (Brooker et al., 1974). 2.5 Model Pengeringan Lapisan Tipis Pengeringan lapisan tipis adalah pengeringan oleh udara dengan suhu dan kelembaban tetap dan dapat menembus seluruh bahan yang dikeringkan. Pada pengeringan lapisan tipis bidang pengeringan lebih besar dan ketebalan bahan dikurangi sehingga pengeringan berlangsung serentak dan merata ke seluruh bahan (Henderson and Perry, 1976). Pengeringan lapisan tipis dimaksudkan untuk mengeringkan produk sehingga pergerakan udara dapat melalui seluruh permukaan yang dikeringkan yang menghasilkan terjadinya penurunan kadar air dalam pross pengeringan. Pengeringan lapisan tipis merupakan suatu pengeringan yang dilakukan dimana bahan dihamparkan dengan ketebalan satu tipis (satu) (Sodha et al., 1987). 9

23 Karakteristik pengeringan dapat diinvestigasi dengan menggunakan model pengeringan yang efektif. Dalam hal ini, nilai Moisture Ratio (MR) memiliki peranan penting. Nilai MR secara eksperimental selama perlakuan pengeringan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut: =... (3) Keterangan : MR = Moisture Ratio Mo = Kadar air awal (% bk) Me = Kadar air setimbang (%bk) Mt = Kadar air pada saat t (% bk) Nilai MR (Moisture Ratio) juga dapat diprediksi dengan menggunakan model matematis yang bersifat empiris. Terdapat beberapa model empiris yang digunakan dalam pengeringan lapis tipis seperti terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Model Empiris Pengeringan Lapis Tipis. No. Nama Model 1. Newton 2. Henderson and Pabis 3. Page Sumber:Meisami, 29. Persamaan Model = = = ( ( ( ) ) Tahun 1997 ) Beberapa model model teoritis yang sering digunakan dalam pengeringan lapisan tipis hasil-hasil pertanian antara lain: 1. Newton = ( ) (4) Model Newton sering digunakan oleh para peneliti dalam pengeringan dan menghitung tingkat kehilangan air pada suatu bahan dengan medium yang mempunyai suhu yang konstan. Model Newton digunakan untuk pengeringan pada gandum, kulit jagung, kacang mente dan biji-bijian semacam kenari dan kakao. Pada kurva pengeringan, Sebuah model akan memberikan gambaran yang jelas pada tahap awal pengeringan namun mengabaikan tahap selanjutnya (Brooker et al., 1974). 1

24 2. Henderson and Pabis ( = ) (5) Model Henderson and Pabis adalah sebuah bentuk penyelesaian pada hukum Fick s II. Model Henderson and Pabis dahulu digunakan untuk model pengeringan pada jagung, gandum, beras kasar, kacang tanah, dan jamur. Pada pengeringan jagung terdapat sebuah kelemahan yaitu pada pengeringan jam pertama dan jam kedua yang disebabkan perbedaan perubahan tingkatan suhu antara biji dan udara (Murat, 29). 3. Page Model = ( )... (6) Page model merupakan modifikasi dari model Newton. Model ini bertujuan untuk menutupi kekurangan-kekurangan pada model newton. Page model telah menghasilkan prediksi yang baik pada pengeringan biji beras dan padi kasar, kacang kedelai, buncis putih, kulit, jagung, dan biji bunga matahari (Murat, 29). 11

25 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Mei 212 di Laboratorium Processing Program Studi Keteknikan Pertanian Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat pengering tray dryer model EH-TD- Eunha Fluid Science, desikator, timbangan digital (ketelitian,1 g), kawat kasa, kertas label, plastik kedap udara, anemometer, kamera digital dan thermometer. Bahan yang digunakan adalah temulawak yang berwarna kuning kecoklatan berumur 9-1 bulan yang diperoleh dari Desa Moncongloe Kab. Maros. 3.3 Parameter Penelitian Dalam penelitian ini parameter yang digunakan yaitu berat bahan (g), diukur dengan timbangan digital (ketelitian,1 g), suhu pengeringan (oc), diukur dengan menggunakan thermometer, kecepatan udara pengeringan (m/s), diukur dengan menggunakan anemometer, dan kelembaban udara pengeringan (%), diukur dengan menggunakan thermometer bola basah dan thermometer bola kering. 3.4 Prosedur Penelitian a. Persiapan Bahan Bahan berupa temulawak sebanyak 4 kg yang disortir kemudian dicuci untuk memisahkan rimpang dari kotoran berupa tanah, sisa tanaman dan gulma lalu dilakukan pengirisan dengan ketebalan 6 mm kemudian dikupas kulitnya. b. Proses Pengeringan Penelitian ini menggunakan tiga level suhu pada dua level kecepatan udara. pengeringan ditetapkan C, 5 C, dan 6 C serta kecepatan udara masing-masing sebesar 1, m/s dan 1,5 m/s. 12

26 Langkah-langkah dalam proses pengeringan yaitu menyiapkan sampel kemudian menimbang berat total masing-masing sampel yang digunakan untuk dikeringkan. Berat sampel ini dicatat sebagai berat awal. Kemudian menghamparkan temulawak di atas wadah kawat kasa. Menyiapkan alat pengering dan mengatur suhu pengeringannya sehingga stabil pada suhu yang ditentukan. Mengatur kecepatan udara pengeringan sesuai dengan level kecepatan yang ditetapkan pada penelitian ini (1, m/s dan 1,5 m/s). Kawat kasa yang berisi sampel temulawak dimasukkan ke tray dryer. Sampel dikeluarkan dari alat pengering dan ditimbang setiap selang waktu 15 menit. Pengeringan dihentikan pada saat berat sampel konstan selama 5 x 15 menit berturut-turut pengeringan. Untuk menghindarkan beban yang berlebihan pada alat, pengeringan dihentikan pada setiap interval pengeringan 8 (delapan) jam. Selama penghentian pengeringan, sampel dimasukkan ke dalam plastik kedap udara kemudian disimpan di dalam desikator agar tidak terjadi pertukaran udara antara sampel dan lingkungannya. Setelah berat sampel konstan sampel tersebut dioven selama 24 jam pada suhu 15 C untuk mendapatkan berat kering sampel. c. Pengolahan Data Setelah berat kering sampel diperoleh, maka KA bb (kadar air basis basah) dan KA bk (kadar air basis kering) pada setiap lama pengeringan dihitung dengan menggunakan persamaan 1 untuk KA bb dan persamaan 2 untuk KA bk dan ditabelkan. Penelitian ini menggunakan tiga level suhu pengeringan pada dua level kecepatan udara. Dimana, untuk mencari MR (moisture ratio) digunakan persamaan 3. Setiap data set MR diuji kesesuaiannya dengan tiga jenis model pengeringan lapisan tipis, yakni model Newton, model Henderson and Pabis, dan model Page. Untuk memudahkan proses pengujian, ketiga model ini ditransformasi kedalam bentuk linear, kemudian rangkaian langkah-langkah berikut dilakukan menginput data waktu pengeringan dan nilai MR kedalam program Excel. Membuat gambar yang 13

27 menghubungkan antara Ln MR dan t untuk model Newton dan model Henderson and Pabis, serta Ln (-Ln MR) dan Ln t untuk model Page. Menambahkan trendline pada Excel yang akan memberikan bentuk persamaan linear, termasuk nilai konstanta, dan nilai R2 untuk masingmasing model. Memilih model nilai R2 tertinggi sebagai model terbaik yang akan merepresentasikan perilaku pengeringan lapisan tipis temulawak. Untuk mengetahui kesesuaian model pengeringan dengan data hasil observasi digunakan rumus χ2 (chi square) dan RMSE (root mean square error) sebagai berikut : = (,, Keterangan : χ2 ) (7) = Chi square MRexp,i = Moisture Ratio eksperimen atau observasi MRpre,i = Moisture Ratio prediksi (MR model) N = Jumlah data z =1 = Keterangan : (,, )..(8) RMSE = Root Mean Square Error MRexp,i = Moisture Ratio eksperimen atau observasi MRpre,i = Moisture Ratio prediksi (MR model) N = Jumlah data 14

28 Temulawak Penyortiran Pencucian Pengirisan dengan ketebalan 6 mm Pengupasan Pengeringan dengan alat pengering dengan suhu C, 5 C, dan 6 C pada kecepatan udara 1, m/s dan 1,5 m/s Pengukuran suhu, RH, dan berat bahan setiap 15 menit Pengeringan dilanjutkan hingga berat sampel konstan Setelah berat bahan konstan, bahan dimasukkan ke oven selama 24 jam pada suhu 15C untuk mendapat berat akhir atau berat padatan/kering bahan Menghitung kadar air temulawak Menghitung MR, Pengujian model (Newton, Henderson & Pabis, Page) dan konstanta pengeringan Selesai Gambar 1. Bagan Alir Proses Pengeringan Temulawak dengan Pengeringan Mekanis 15

29 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kadar Air Selama Pengeringan Pengeringan temulawak yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan tiga level perubahan suhu pengeringan ( oc, 5 oc dan 6 o C) dengan dua variasi kecepatan udara pengering yaitu 1, m/s dan 1,5 m/s untuk pengeringan lapisan tipis. Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan, kadar air selama proses pengeringan akan mengalami penurunan. Kadar Air Basis Kering(%) 12 1 T= C 8 T=5 C 6 T=6 C Waktu (menit) Gambar 2. Grafik Kadar Air Basis Kering Selama Proses Pengeringan Untuk Tiga Level Pengeringan pada Kecepatan Udara 1, m/s. Gambar 2 grafik kadar air basis kering pada kecepatan udara 1, m/s diatas menunjukkan bahwa pengeringan rimpang temulawak pada suhu o C membutuhkan waktu pengeringan yang lebih lama yaitu 15 menit dibandingkan dengan pengeringan rimpang temulawak pada suhu 5 oc membutuhkan waktu pengeringan 14 menit dan suhu 6 oc membutuhkan waktu 138 menit. Pada grafik tersebut, terlihat jelas bahwa pengaruh suhu pengeringan sangat besar dimana suhu yang lebih tinggi akan cenderung mempercepat proses pengeringan bahan pangan menuju kadar air kesetimbangan. Meskipun berat bahan pada suhu 6 oc sama dengan berat 16

30 bahan suhu 5 oc, namun terlihat jelas bahwa pengeringan temulawak yang cepat menuju kadar air kesetimbangan adalah pada suhu pengeringan 6 oc. Kadar air Basis kering (%) T= C T=5 C 6 T=6 C Waktu (menit) Gambar 3. Grafik Kadar Air Basis Kering Selama Proses Pengeringan Untuk Tiga Level Pengeringan pada Kecepatan Udara 1,5 m/s. Gambar 3 grafik kadar air basis kering pada kecepatan udara 1,5 m/s diatas menunjukkan bahwa pengeringan rimpang temulawak pada suhu o C membutuhkan waktu pengeringan yang lebih lama yaitu 15 menit dibandingkan dengan pengeringan rimpang temulawak pada suhu 5 oc membutuhkan waktu pengeringan 138 menit dan suhu 6 oc membutuhkan waktu 1 menit. Pada grafik tersebut, terlihat jelas bahwa pengaruh suhu pengeringan sangat besar dimana suhu yang lebih tinggi akan cenderung mempercepat proses pengeringan bahan pangan menuju kadar air kesetimbangan. Meskipun berat bahan pada suhu 6 o C lebih besar dibandingkan dengan berat bahan pada suhu 5 oc dan oc namun terlihat jelas bahwa pengeringan rimpang temulawak yang cepat menuju kadar air kesetimbangan adalah pada suhu pengeringan 6 oc. Hal ini sesuai dengan Estiasih et al., (29) Semakin besar perbedaan suhu antara medium pemanas dengan bahan pangan semakin cepat pindah panas ke bahan pangan dan semakin cepat pula penguapan air dari bahan pangan. 17

31 4.2 Laju Pengeringan Laju pengeringan bergantung pada karakteristik bahan yaitu suhu bahan, kelembaban relatif dan kecepatan udara pengeringan. Laju Pengeringan (gr H2O/gr Padatan/ t),,35,,25,2 T= C,15 T=5 C,1 T=6 C, , Waktu (menit) Gambar 4. Grafik Laju Pengeringan Selama Proses Pengeringan Untuk Tiga Level Pengeringan pada Kecepatan Udara 1, m/s. Gambar 4 menunjukkan perubahan nilai laju pengeringan untuk tiga level suhu pengeringan ( oc, 5 oc dan 6 oc) pada kecepatan udara 1, m/s. Dari gambar tersebut terlihat bahwa pada periode awal pengeringan terjadi penurunan yang besar kemudian semakin mengalami penurunan hingga bahan mencapai kadar air kesetimbangan. Hal ini ditunjukkan pada suhu 6 oc selama periode awal pengeringan, dimana tingkat penurunan laju pengeringannya lebih besar dibandingkan dengan suhu 5 oc dan oc. Kecenderungan bahan mengalami penurunan kadar air lebih besar selama proses pengeringan, dipengaruhi oleh suhu pengeringan yang besar pula, sehingga mempengaruhi besarnya penurunan laju pengeringan. 18

32 Laju Pengeringan (gr H2O/gr padatan/ t),7,6,5, T= C, T=5 C,2 T=6 C, , Waktu (menit) Gambar 5. Grafik Laju Pengeringan Selama Proses Pengeringan Untuk Tiga Level Pengeringan pada Kecepatan Udara 1,5 m/s. Gambar 5 grafik laju pengeringan diatas menunjukkan perubahan nilai laju pengeringan untuk tiga level suhu pengeringan ( oc, 5 oc dan 6 oc) pada kecepatan udara 1,5 m/s. Dari gambar tersebut terlihat bahwa pada pengeringan terjadi penurunan yang besar kemudian semakin mengalami penurunan hingga bahan mencapai kadar air kesetimbangan. Hal ini sesuai dengan Siswanto (24) yang menyatakan bahwa dalam pengeringan, keseimbangan kadar air menentukan batas akhir dari proses pengeringan. Pada saat kadar air setimbang, penguapan air pada simplisia akan terhenti dan jumlah molekul-molekul air yang akan diuapkan sama dengan jumlah molekul air yang diserap oleh permukaan bahan. Laju pengeringan amat bergantung pada perbedaan antara kadar air simplisia dengan kadar air kesetimbangan. 4.3 Model Pengeringan Moisture Ratio (Rasio Kelembaban) Karakteristik pengeringan dapat diinvestigasi dengan menggunakan model pengeringan yang efektif. Dalam hal ini, nilai Moisture Ratio (MR) memiliki peranan penting. 19

33 Moisture Ratio (MR) 1,,8 T= C,6 T=5 C T=6 C,, , Waktu (menit) Gambar 6. Grafik Moisture Ratio (MR) Selama Proses Pengeringan Untuk Tiga Level Pengeringan pada Kecepatan Udara 1, m/s. Berdasarkan Gambar 6, penurunan nilai Moisture Ratio (MR) yang terjadi sejalan dengan penurunan nilai kadar air bahan selama proses pengeringan. Perubahan nilai MR sangat dipengaruhi oleh nilai perubahan kadar air basis kering bahan. Moisture Ratio (MR) 1,,8 T= C,6 T=5 C T=6 C,, Waktu (menit) , Gambar 7. Grafik Moisture Ratio (MR) Selama Proses Pengeringan Untuk Tiga Level Pengeringan pada Kecepatan Udara 1,5 m/s. 2

34 Berdasarkan Gambar 7 nilai MR dari ketiga suhu ( oc, 5 oc dan 6 o C) sangat dekat. Hal ini disebabkan karena MR dihitung dari nilai kadar air basis kering (KA-bk). Nilai MR di atas, selanjutnya digunakan untuk menentukan model pengeringan lapisan tipis temulawak Analisa Model Pengeringan Dari hasil perhitungan nilai MR (Moisture Ratio) observasi, ada tiga jenis model yang sesuai dengan gambaran penurunan nilai MR (Moisture Ratio) tersebut yaitu model Newton, model Henderson-Pabis dan model Page. Sebelum menentukan model terbaik dari ketiga model tersebut, maka dilakukan analisa model pengeringan. dengan melinearkan persamaan dari ketiga model yang ada yaitu model Newton, Henderson-Pabis dan Page. Bentuk linear ketiga model tersebut yaitu : Tabel 3. Bentuk Linear Model Pengeringan Model Pengeringan Bentuk Eksponensial Bentuk Linear Newton Mr = exp (-kt) ln MR = -kt Henderson-Pabis Mr = a exp (-kt) ln MR = ln a kt Page n Mr = exp (-kt ) ln (-ln MR) = ln k + (n) ln (t) Selanjutnya, dari bentuk linear persamaan tersebut dalam Excel dimasukkan nilai MR observasi dalam setiap bentuk linear dari model di atas. Untuk model Newton dan Henderson dan Pabis, nilai Ln MR diplot bersama dengan nilai lama pengeringan t. Sedangkan untuk model Page, yang diplotkan ke dalam gambar adalah nilai Ln(-Ln MR) dan Ln t. Dari plot ini, program Excel digunakan untuk menentukan garis linearnya dengan menambahkan trendline. Hasil trendline disajikan pada Lampiran yang tertera di option box pada Excel. Hasil grafik ini ditunjukkan pada lampiran. Berdasarkan hasil pengujian trendline pada setiap grafik model pengeringan, diperoleh nilai konstanta dan R2 yang ada pada masing-masing model sebagai berikut: 21

35 Tabel 4. Nilai Konstanta dan R2 Masing-Masing Model Pengeringan oc 5 oc 6 oc Kecepatan Udara Persamaan Newton Persamaan Henderson & Pabis Persamaan Page k R2 k a R2 k n R2 1, m/s,85,977,85 1,11,977,3 1,92,991 1,5 m/s,86,982,91 1,365,986,4 1,66,997 1, m/s,96,992,98 1,119,992,6 1,19,997 1,5 m/s,92,971,88,819,972,7,983,992 1, m/s,88,986,9 1,157,987,7,98,997 1,5 m/s,82,974,89 1,6,981,5 1,11,995 Sumber: Data Primer Setelah Diolah, 212. Berdasarkan tabel di atas, persamaan model Page untuk tiga level suhu dan dua variasi kecepatan udara yang berbeda menunjukkan nilai R2 yang lebih tinggi dibandingkan dengan dua persamaan model lainnya yaitu model Newton dan Henderson-Pabis. Hal ini menunjukkan bahwa model Page adalah model terbaik untuk merepresentasikan pengeringan lapisan tipis temulawak. karena memiliki nilai kesesuaian yang besar terhadap karakteristik. Untuk memastikan bahwa model Page merupakan model yang terbaik, berikut ditunjukkan nilai R2 serta hasil perhitungan χ2 dan RMSE pada tabel berikut: Tabel 5. Nilai χ2 dan RMSE suhu C 5 C 6 C Kecepatan Udara Persamaan Newton Persamaan Henderson & Pabis Persamaan Page Χ2 RMSE Χ2 RMSE Χ2 RMSE 1, m/s,1 1,5 m/s,67,561,2783,547,14,36 1, m/s,2978,47,27223,286,58,76 1,5 m/s, ,, ,272,23,48 1, m/s, ,52589, ,462,17, 1,5 m/s,27957,46595,287772,53355,59,76 Sumber: Data Primer Setelah Diolah,

36 Pada Tabel 4 dan tabel 5 tertera nilai R2 (Coefficient of Determinat), χ2 (chi square) dan RMSE (root mean square error) yang digunakan untuk melihat tingkat kesesuaian model pengeringan dengan hasil observasi. Untuk nilai R2 mendekati nilai 1, maka tingkat kesesuaian model pengeringan dengan hasil observasi sangat besar. Untuk nilai χ2 dan RMSE apabila mendekati nilai nol menunjukkan bahwa model pengeringan mendekati hasil observasi. Berdasarkan dari ketiga nilai kesesuaian tersebut, maka Model Page adalah model yang terbaik yang dapat merepresentasikan karakteristik pengeringan lapisan tipis temulawak Kesesuaian Model Pengeringan Berdasarkan hasil analisa model pengeringan yang telah diuraikan sebelumnya, maka tingkat kesesuaian model pengeringan yaitu Model Page dan hasil observasi ditunjukkan pada grafik hubungan model pengeringan dan hasil observasi pada tiga level suhu dan dua variasi kecepatan udara pengeringan pada Gambar 8, 9 dan 1. Gambaran setiap grafik ini akan menunjukkan kecenderungan nilai prediksi model Page terhadap nilai hasil observasi yang semakin dekat. Grafik ini semakin menunjukkan bahwa model pengeringan yang sesuai dengan karakteristik pengeringan lapisan tipis temulawak dalam penelitian ini adalah model Page. Moisture Ratio (MR) 1, MR Observasi v=1 m/s,8 MR Page v=1 m/s MR Observasi v=1,5 m/s,6 MR Page v=1,5 m/s,, Waktu (menit) , Gambar 8. Grafik Nilai MR (Moisture Ratio) Model Page - MR Observasi Pada oc dengan Kecepatan Udara 1, m/s dan 1,5 m/s. 23

37 Moisture Ratio (MR) 1, MR Observasi v=1 m/s,8 MR Page v=1 m/s MR Observasi v=1,5 m/s,6 MR Page v=1,5 m/s,, Waktu (menit) , Gambar 9. Grafik Nilai MR (Moisture Ratio) Model Page - MR Observasi Pada 5 oc dengan Kecepatan Udara 1, m/s dan 1,5 m/s. Moisture Ratio (MR) 1, MR Observasi v=1 m/s,8 MR Page v=1 m/s MR Observasi v=1,5 m/s,6 MR Page v=1,5 m/s,, Waktu (menit) , Gambar 1. Grafik Nilai MR (Moisture Ratio) Model Page - MR Observasi Pada 6 oc dengan Kecepatan Udara 1, m/s dan 1,5 m/s. 24

38 Pada Gambar 11, 12 dan 13 menunjukkan grafik hubungan antara MR Newton dan MR observasi yang nilainya cenderung semakin jauh. Hal ini membuktikan bahwa model Newton tidak sesuai dengan karakteristik pengeringan lapisan tipis temulawak. Moisture Ratio (MR) 1, MR Observasi v=1 m/s,8 MR Newton v=1 m/s MR Observasi v=1,5 m/s,6 MR Newton v=1,5 m/s,, Waktu (menit) , Gambar 11. Grafik Nilai MR (Moisture Ratio) Model Newton - MR Observasi Pada oc dengan Kecepatan Udara 1, m/s dan 1,5 m/s. Moisture Ratio (MR) 1, MR Observasi v=1 m/s,8 MR Newton v=1 m/s MR Observasi v=1,5 m/s,6 MR Newton v=1,5 m/s,, Waktu (menit) , Gambar 12. Grafik Nilai MR (Moisture Ratio) Model Newton - MR Observasi Pada 5 oc dengan Kecepatan Udara 1, m/s dan 1,5 m/s. 25

39 Moisture Ratio (MR) 1, MR Observasi v=1 m/s,8 MR Newton v=1 m/s MR Observasi v=1,5 m/s,6 MR Newton v=1,5 m/s,, Waktu (menit) , Gambar 13. Grafik Nilai MR (Moisture Ratio) Model Newton - MR Observasi Pada 6 oc dengan Kecepatan Udara 1, m/s dan 1,5 m/s. S pada Gambar 14, 15 dan 16 menunjukkan grafik hubungan antara MR Henderson-Pabis dan MR observasi yang nilainya cenderung semakin jauh. Hal ini membuktikan bahwa model Newton tidak sesuai dengan karakteristik pengeringan lapisan tipis temulawak. 1, Moisture Ratio (MR) MR Observasi v=1 m/s,8 MR Henderson-Pabis v=1 m/s MR Observasi v=1,5 m/s,6 MR henderson-pabis v=1,5 m/s,, , Waktu (menit) Gambar 14. Grafik Nilai MR (Moisture Ratio) Model HendersonPabis - MR Observasi Pada oc dengan Kecepatan Udara 1, m/s dan 1,5 m/s. 26

40 Moisture Ratio (MR) 1, MR Observasi v=1 m/s,8 MR Henderson-pabis v=1 m/s,6 MR Observasi v=1,5 m/s MRHenderson-Pabis v=1,5 m/s,, Waktu (menit) , Gambar 15. Grafik Nilai MR (Moisture Ratio) Model HendersonPabis - MR Observasi Pada 5 oc dengan Kecepatan Udara 1, m/s dan 1,5 m/s. Moisture Ratio (MR) 1, MR Observasi v=1 m/s,8 MR Henderson-Pabis v=1 m/s,6 MR Observasi v=1,5 m/s MR Newton v=1,5 m/s,, Waktu (menit) , Gambar 16. Grafik Nilai MR (Moisture Ratio) Model HendersonPabis - MR Observasi Pada 6 oc dengan Kecepatan Udara 1, m/s dan 1,5 m/s. 27

41 V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian pengeringan rimpang temulawak diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Perubahan kadar air dan laju pengeringan sangat dipengaruhi oleh suhu pengeringan dan kecepatan udara. Semakin tinggi suhu pengeringan dan kecepatan udara maka semakin besar perubahan kadar air dan laju pengeringan. 2. Model matematika yang paling sesuai untuk merepresentasikan karakteristik pengeringan lapisan tipis rimpang temulawak adalah model Page dengan persamaan MRPage=exp(-ktn). Dengan nilai koefisien sebagai berikut: Bahan oc Rimpang Temulawak 5 oc 6 oc Kecepatan Persamaan Page Udara k n 1, m/s,3 1,92 1,5 m/s,4 1,66 1, m/s,6 1,19 1,5 m/s,7,983 1, m/s,7,98 1,5 m/s,5 1, Saran Adapun saran yang dapat penulis sampaikan agar kiranya melanjutkan penelitian ini sampai ke tahap penepungan untuk mengetahui mutu terbaik dari pengeringan rimpang temulawak. 28

42 DAFTAR PUSTAKA Anonim, 212a. Akses tanggal 5 Januari 212. Anonim, 212b. Akses tanggal 13 Januari 212. Bagem Br. Sembiring, Ma mun dan Edi Imanuel Ginting. 26. Pengaruh Kehalusan Bahan dan Lama Ekstraksi Terhadap Mutu Ekstrak Temulawak (Curcuma Xantrorriza ROXB). Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. volume XVII, nomor 2, halaman Brooker, D. B., F. W. Bakker-arkema and C. W. Hall, Drying Cereal Grains. The AVI publishing Company, Inc. Wesport. Estiasih, Teti dan Kgs Ahmadi, 29. Teknologi Pengolahan Pangan. Bumi Aksara. Malang. Hall, C. W Drying and Storage of Agriculture Crops. The AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut. Hederson, S. M. and R. L. Perry Agricultural Process Engineering. 3rd ed. The AVI Publ. Co., Inc, Wesport, Connecticut, USA. Meisami, asl E., S. Rafiee, A. Keyhani and A. Tabatabaeefar, 29. Mathematical Modeling of Moisture Content of Apple Slices (Var. Golab) During Drying. Department of Agricultural Machinery Engineering, Faculty of Biosystems Engineering,University of Tehran, Karaj, Iran. Pakistan Journal of Nutrition 8 (6): Murat, Özdemir. 29. Mathematical Analysis of Color Changes and Chemucal Parameters of Rosted Hazelnut, jurnal of engineering science and technology vol.3 no 1 (28) 1-1. Qanytah, Retno Endrasari dan Pujo Hasapto Waluyo. 21. Penanganan Pasca Panen Temulawak (Curcuma Xantrorriza ROXB). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jawa Tengah. Rahman dan Yuyun. 25. Kanisius:Yogyakarta. Penanganan Pascapanen Cabai Merah. Siswanto, Widiyastuti, Y. 24. Penanganan Hasil Panen Tanaman Obat Komersial, Edisi Revisi. Penebar Swadaya. Depok. 29

43 Sodha, Mahendra S., Narendra K. Bansal, Ashuni Kumar, Pradeep K. Bansal, and M.A.S. Malik, Solar Crop Driying. Volume I.CRC Press, inc. Boca Raton, Florida. Taib, G., Gumbira Said, dan S. Wiraatmadja Operasi Pengeringan pada Pengolahan Hasil Pertanian. PT Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta.

44 LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil Pengamatan Selama Proses Pengeringan Pada oc dengan kecepatan udara 1, m/s. Waktu (menit) Bola Basah Bola Kering Berat sampel (g) S1 S2 rata-rata 18,9 17,786 16,6 15,479 14,3 13,476 12,569 11,715 11,623 1,791 1,122 9,537 9,35 8,575 8,1 7,766 7,3 6,949 6,586 6,2 5,9 5,661 5, 5,172 4,968 4,646 4,485 4,334 4,127 26,969 25,813 24,636 23, 22,365 21,5 2,4 19,9 19,211 18,25 17,376 16,551 15,84 15,16 14,1 13,681 12,9 12,21 11,533 1,913 1,5 9,769 9,271 8,761 8,2 7,667 7,337 7,36 6,633 22,955 21,8 2,638 19,465 18,9 17,1 16,2 15,522 15,7 14,521 13,749 13, 12, 11,8 11,283 1,724 1,138 9,58 9,6 8,579 8,1 7,715 7,346 6,967 6,6 6,157 5,911 5,685 5,38

45 Waktu (menit) Bola Basah Bola Kering Berat sampel (g) S1 S2 rata-rata 4,1 3,91 3,788 3,628 3,557 3,489 3,3 3,263 3,197 3,146 3,19 3,79 3,71 3,52 3, 3,12 2,993 2,979 2,965 2,952 2,9 2,935 2,919 2,913 2,96 2,899 2,895 2,891 2,89 2,884 2,878 2,874 2,873 2,87 2,868 2,868 2,866 6,7 6,24 6,1 5,75 5,569 5,4 5,3 5,59 4,935 4,8 4,777 4,727 4,678 4,6 4,69 4,58 4,553 4,5 4,59 4,49 4,476 4,1 4,9 4,8 4,4 4,3 4,7 4,385 4,374 4,364 4,361 4,357 4,351 4,346 4,3 4,335 4,333 5,199 5,53 4,895 4,667 4,563 4,467 4,387 4,161 4,66 3,996 3,9 3,93 3,875 3,848 3,821 3,796 3,773 3,755 3,737 3,721 3,79 3,693 3,679 3,671 3,66 3,651 3,646 3,638 3,6 3,624 3,62 3,616 3,612 3,68 3,64 3,62 3,6

46 Waktu (menit) Bola Basah Bola Kering Berat sampel (g) S1 S2 rata-rata 2,865 2,865 2,863 2,861 2,859 2,858 2,855 2,855 2,854 2,853 2,851 2,851 2,851 2,848 2,8 2,8 2,8 2,8 2,8 2,8 2,8 2,837 2,835 2,835 2,836 2,834 2,8 2,8 2,828 2,828 2,828 2,827 2,823 2,822 2,821 2,821 4,6 4,1 4,1 4, 4,5 4,7 4,3 4,1 4,6 4, 4,296 4,292 4,286 4,283 4,281 4,28 4,278 4,277 4,276 4,275 4,272 4,272 4,269 4,269 4,266 4,265 4,261 4,26 4,259 4,258 4,258 4,255 4,254 4,253 4,252 4,252 3,596 3,594 3,592 3,591 3,587 3,588 3,584 3,583 3,58 3,577 3,574 3,572 3,569 3,566 3,563 3,563 3,561 3,56 3,56 3,558 3,556 3,555 3,552 3,552 3,551 3,55 3,547 3,546 3,5 3,5 3,5 3,5 3,5 3,538 3,537 3,537 33

47 Berat sampel (g) Bola Bola Kering Basah S1 S2 rata-rata 15 2,821 4,252 3, ,821 4,252 3,537 Sumber: Data Primer Sebelum Diolah, 212. Waktu (menit) 34

48 Lampiran 2 Hasil Pengamatan Selama Proses Pengeringan Pada oc dengan kecepatan udara 1,5 m/s. Waktu (menit) Bola Basah Bola Kering Berat sampel (g) S1 29,36 27,387 25,734 24,362 23,37 21,77 2,6 19,478 18,334 16,819 15,96 15,51 13,6 12,89 12,161 11,8 1,795 1,274 9,778 9,3 8,926 8,534 8,166 7,8 7,5 7,272 7,27 6,76 6,56 6,384 6,212 S2 34,761,666,169 29,365 27,651 26,67 24,6 23,173 21,747 2,288 19,156 18,12 16,381 15,598 14,717 13,9 13,188 12,578 11,985 11,8 1,978 1,57 1,75 9,687 9,9 9,3 8,73 8,383 8,1 7,92 7,71 rata-rata,899,27 28,2 26,864 25,3 23,919 22,637 21,6 2, 18,554 17,5 16,577 15,12 14,2 13,9 12,676 11,992 11,6 1,882 1,386 9,952 9,521 9,121 8,764 8,5 8,138 7,865 7,572 7,35 7,152 6,957 35

49 Waktu (menit) Bola Basah Bola Kering Berat sampel (g) S1 S2 rata-rata 6,66 6,17 5,594 5,6 5,1 5,22 5,121 5,46 4,985 4,9 4,876 4,8 4,792 4,752 4,717 4,683 4,65 4,619 4,599 4,568 4,551 4,524 4,55 4,489 4,47 4,5 4,7 4,3 4,1 4, 4,7 4,386 4,377 4,7 4,371 4,355 4,3 7,511 7,461 6,924 6,663 6,491 6,36 6,251 6,153 6,72 6,5 5,936 5,878 5,823 5,77 5,724 5,681 5,6 5,66 5,58 5,5 5,514 5,488 5,464 5,8 5,6 5,6 5,375 5,358 5,3 5,8 5,4 5,1 5,297 5,333 5,281 5,259 5,2 6,789 6,7 6,259 6, 5,896 5,781 5,686 5,6 5,529 5,468 5,6 5,355 5,8 5,261 5,221 5,182 5,148 5,113 5,9 5,56 5,33 5,6 4,985 4,964 4,9 4,926 4,96 4,891 4,876 4,864 4,861 4,849 4,837 4,87 4,826 4,87 4,795 36

50 Berat sampel (g) Bola Bola Basah Kering S1 S2 rata-rata 12 4,336 5,235 4, ,2 5,219 4, ,5 5,28 4, ,7 5,198 4, ,2 5,19 4, ,294 5,181 4, ,286 5,173 4, ,279 5,167 4, ,275 5,158 4, ,27 5,152 4, ,264 5,1 4, ,263 5,138 4, ,261 5,136 4, ,258 5,1 4, ,258 5,1 4, ,257 5,1 4, ,253 5,129 4, ,251 5,128 4, ,25 5,123 4, ,249 5,118 4, ,2 5,117 4, ,2 5,117 4, ,2 5,116 4, ,2 5,115 4, ,2 5,114 4, ,2 5,114 4, ,238 5,114 4, ,238 5,112 4, ,238 5,112 4, ,237 5,111 4, ,237 5,19 4, ,237 5,19 4, ,237 5,19 4,673 Sumber: Data Primer Sebelum Diolah, 212. Waktu (menit) 37

51 Lampiran 3 Hasil Pengamatan Selama Proses Pengeringan Pada 5oC dengan kecepatan udara 1,5 m/s. Waktu (t) Bola Basah Bola Kering Berat Sampel (g) S1 S2 rata-rata,479 37,5 35,83,7,8 28,165 26,51 24,127 22,757 21,256 19,852 18,382 17,276 16,285 15,4 14,678 13,923 13,378 12,86 12,375 11,963 11,572 11,226 1,921 1,6 1,1 9,679 9,382 9,185 9,25 8,862,8 37,1 33,966 33,267,53 29,961 27,547 25,347 23,553 21,754 2,347 18,834 17,635 16,7 15,525 14,652 13,786 13,146 12,566 12,9 11,6 11,249 1,915 1,612 1,3 1,73 9,6 9,6 8,846 8,683 8,555,4 37,2 34,525 33,4,1 29,63 26,799 24,737 23,155 21,55 2,1 18,68 17,6 16,361 15,48 14,665 13,855 13,262 12,713 12,233 11,797 11,1 11,71 1,767 1,482 1,2 9,5 9,221 9,16 8,854 8,79 38

52 Waktu (t) Bola Basah Bola Kering 38 Berat Sampel (g) S1 S2 rata-rata 8,746 8,647 8,557 8,474 8,1 8,337 8,281 8,222 8,181 8,148 8,13 8,63 8,33 7,919 7,857 7,8 7,595 7,5 7,523 7,61 7,591 7,554 7,526 7,59 7,485 7,472 7,5 7,4 7,4 7,1 7,6 7,1 7,384 7,375 7,373 7,365 7,362 8,4 8,336 8,2 8,161 8,92 8,29 7,974 7,916 7,877 7,848 7,85 7,768 7,7 7,696 7,675 7,652 7,633 7,588 7,566 7,537 7,614 7,582 7,56 7,5 7,519 7,52 7,481 7,467 7,9 7,5 7,8 7,1 7,5 7,9 7,5 7,389 7,384 8,59 8,492 8,1 8,8 8,247 8,183 8,128 8,69 8,29 7,998 7,954 7,916 7,887 7,88 7,766 7,7 7,614 7,566 7,5 7,569 7,63 7,568 7,5 7,524 7,52 7,487 7,468 7,4 7,7 7,3 7,7 7,6 7, 7,387 7,384 7,377 7,373

53 Berat Sampel (g) Bola Bola Waktu (t) Basah Kering S1 S2 rata-rata 12 7,351 7,384 7, ,346 7,379 7, ,346 7,372 7, ,336 7,369 7, ,3 7,366 7, ,6 7,363 7, ,6 7,362 7, ,7 7,358 7, ,4 7,356 7, ,4 7,354 7, ,9 7,353 7, ,5 7,353 7,9 12 7,1 7,351 7, ,297 7,349 7,3 12 7,297 7,349 7,3 12 7,296 7,347 7, ,296 7,347 7, ,292 7,3 7, ,29 7,3 7, ,289 7,3 7,6 1 7,287 7,3 7, ,287 7,3 7, ,287 7,3 7, ,287 7,3 7, ,287 7,3 7,4 Sumber: Data Primer Sebelum Diolah, 212.

54 Lampiran 4 Hasil Pengamatan Selama Proses Pengeringan Pada 5oC dengan kecepatan udara 1, m/s. Waktu (menit) Bola Basah Bola Kering Berat sampel (g) S1 25,4 23,159 21,479 19,789 18,8 16,599 15,68 14,373 12,551 11,2 1,334 9,46 8,622 9,17 7,6 7,62 6,5 6,16 5,719 5,347 5,33 4,765 4,512 4,275 4,85 3,912 3,763 3,6 3,499 3,382 3,284 S2 25,7 23,366 21,652 19,949 18,487 17,189 16,71 14,364 13,8 12,84 11,957 11,166 1,389 8, 9,368 8,764 8,21 7,7 7,3 6,993 6,661 6,377 6,16 5,855 5,651 5,464 5,2 5,161 5,14 4,886 4,779 rata-rata 25,256 23,263 21,566 19,869 18,8 16,894 15,57 14,369 13,198 12,63 11,146 1,3 9,56 8,764 8,499 7,913 7,378 6,925 6,5 6,17 5,847 5,571 5,9 5,65 4,868 4,688 4,533 4,6 4,257 4,134 4,

55 Waktu (menit) Bola Basah 33 Bola Kering Berat sampel (g) S1 S2 rata-rata 3,186 3,98 2,781 2,6 2,579 2,528 2,488 2,2 2,9 2,1 2,37 2,351 2,3 2,8 2,233 2,223 2,211 2,2 2,191 2,189 2,174 2,169 2,164 2,157 2,148 2,151 2,1 2,1 2,135 2,1 2,129 2,1 2,135 2,134 2,129 2,14 2,14 4,668 4,572 4,2 4,2 4,28 3,98 3,934 3,897 3,868 3,8 3,818 3,797 3,777 3,763 3,816 3,85 3,79 3,779 3,768 3,766 3,749 3,7 3,735 3,726 3,717 3,717 3,711 3,75 3,7 3,695 3,691 3,696 3,687 3,686 3,68 3,783 3,78 3,927 3,835 3,57 3,8 3,4 3,254 3,211 3,175 3,1 3,116 3,94 3,74 3,54 3, 3,25 3,14 3,1 2,99 2,98 2,978 2,962 2,956 2,95 2,9 2,933 2,934 2,928 2,923 2,918 2,913 2,91 2,919 2,911 2,91 2,95 2,899 2,897

56 Berat sampel (g) Bola Bola Basah Kering S1 S2 rata-rata 12 2,12 3,778 2, ,8 3,776 2, ,6 3,774 2, ,5 3,769 2, ,5 3,768 2, ,3 3,765 2, , 3,761 2, ,999 3,759 2, ,995 3,758 2, ,995 3,757 2, ,994 3,754 2, ,996 3,755 2, ,995 3,754 2, ,992 3,682 2, ,992 3,68 2, ,99 3,676 2, ,989 3,676 2, ,99 3,678 2, ,988 3,675 2,8 15 1,988 3,673 2,8 1 1,988 3,674 2, ,984 3,67 2, ,982 3,666 2, ,984 3,668 2, ,982 3,667 2, ,981 3,665 2, ,981 3,664 2, ,981 3,664 2, ,981 3,664 2,823 Sumber: Data Primer Sebelum Diolah, 212. Waktu (menit)

57 Lampiran 5 Hasil Pengamatan Selama Proses Pengeringan Pada 6 oc dengan kecepatan udara 1,5 m/s. Waktu (menit) Bola Basah Bola Kering Berat sampel (g) S1 S2 rata-rata 26,726 24,564 22,63 21,9 19,297 18,623 17,152 15,821 14,75 13,699 12,829 12, 11,9 1,648 1,5 9,222 8,824 8,53 8,2 7,976 7,764 7,5 7,35 7,168 6,991 6,825 6,679 6,536 6,3 6,295 6,188 23,3 21,4 19,89 18,488 17,657 16,877 15,567 15,81 13,896 12,8 11,96 11,48 11,88 1,36 9,699 9,18 8,557 8,2 7,388 7,28 6,748 6,515 6,4 6,126 5,9 5,776 5,624 5,473 5,3 5,27 5,68 25,25 22,999 21,247 19,749 18,477 17,75 16,36 15,1 14,1 13,272 12,368 11,756 11,199 1,54 1,121 9,165 8,691 8,478 7,89 7,52 7,256 7,28 6,827 6,647 6,465 6,1 6,152 6,5 5,872 5,751 5,628

58 Waktu (menit) Bola Basah Bola Kering Berat sampel (g) S1 S2 rata-rata 6,85 5,987 5,899 5,798 5,724 5,653 5,586 5,525 5,469 5,6 5,365 5, 5,378 5,2 5,199 5,166 5,179 6,86 5,47 5,17 4,995 4,974 4,956 4,9 4,926 4,913 4,91 4,889 4,882 4,872 4,863 4,855 4,849 4,8 4,833 4,823 4,82 4,948 4,837 4,734 4,636 4,5 4,464 4,375 4, 4,246 4,189 4,138 4,92 4, 4,3 3,968 4,69 3,898 3,873 3,849 3,866 3,87 3,783 3,765 3,747 3,7 3,719 3,76 3,697 3,687 3,678 3,67 3,658 3,652 3,647 3,6 3,636 3,6 5,517 5,2 5,7 5,217 5,135 5,59 4,981 4,918 4,858 4,83 4,752 4,76 4,712 4,618 4,584 4,618 4,5 4,98 4,8 4,2 4,1 4,379 4,361 4,3 4,9 4,6 4,4 4,293 4,285 4,275 4,267 4,257 4,251 4,2 4,237 4,2 4,226

59 Berat sampel (g) Bola Bola Basah Kering S1 S2 rata-rata 12 4,814 3,624 4, ,88 3,622 4, ,84 3,619 4, ,798 3,614 4, ,794 3,611 4, ,792 3,68 4, ,792 3,65 4, ,785 3,62 4, ,782 3,598 4, ,78 3,596 4, ,778 3,593 4, ,775 3,594 4, ,771 3,592 4, ,768 3,589 4, ,766 3,586 4, ,764 3,583 4, ,761 3,58 4, ,759 3,578 4, ,758 3,576 4, ,758 3,574 4, ,758 3,574 4,166 Sumber: Data Primer Sebelum Diolah, 212. Waktu (menit) 46

60 Lampiran 6 Hasil Pengamatan Selama Proses Pengeringan Pada 6 oc dengan Kecepatan Udara 1, m/s. Waktu (menit) Bola Basah Bola Kering Berat sampel (g) S1 S2 rata-rata,81,4,261 36,781 34,515,51,7 29,61 27,6 26,4 25,1 24,71 23,8 22,25 21,6 2,5 19,852 19,192 18,578 17,99 17,484 16,963 16,468 15,996 15,56 15,156 14,769 14,5 14,18 13,792 13,58 37,1 34,819,857,999 29,164 27,475 25,935 24,485 23,28 22,16 2,953 19,979 19,71 18,273 17,478 16,784 16,162 15,576 15, 14,5 14,15 13,664 13,252 12,861 12,496 12,1 11,79 11,472 11,211 1,936 1,694,126 38,2 36,59 33,89,8 29,993 28,8 26,773 25,9 24,165 23,48 22,25 21,76 2,2 19,7 18,663 18,7 17,384 16,811 16,265 15,795 15,4 14,86 14,9 14,28 13,65 13,28 12,9 12,66 12,364 12,11 47

61 Waktu (menit) Bola Basah Bola Kering Berat sampel (g) S1 S2 rata-rata 13,255 13,13 12,793 12,585 12,5 12,223 12,58 11,897 11,749 11,727 11,363 11,19 11,61 1,954 1,849 1,772 1,699 1,636 1,575 1,52 1,471 1,4 1,2 1,349 1,1 1,28 1,2 1,213 1,183 1,161 1,135 1,111 1,86 1,64 1,49 1,36 1,18 1,474 1,264 1,75 9,891 9,77 9,556 9,2 9,271 9,147 9,1 8,798 8,662 8,566 8,485 8, 8,333 8,275 8,226 8,177 8,1 8,95 8,63 8,35 8, 7,96 7,951 7,922 7,892 7,87 7,848 7,8 7,814 7,795 7,776 7,765 7,755 7,7 11,865 11,6 11,4 11,238 11,56 1,89 1,7 1,584 1,8 1,9 1,81 9,926 9,814 9,72 9,62 9,553 9,487 9,1 9,376 9,6 9,283 9,247 9,214 9,175 9,136 9,116 9,83 9,53 9,27 9,5 8,984 8,963 8,9 8,92 8,97 8,896 8,881 48

62 Berat sampel (g) Bola Bola Basah Kering S1 S2 rata-rata 12 1,1 7,7 8, ,987 7,729 8, ,972 7,723 8, ,962 7,715 8,8 18 9,954 7,79 8, ,9 7,698 8, ,935 7,694 8, ,9 7,692 8, ,922 7,688 8, ,914 7,684 8, ,98 7,678 8, ,885 7,673 8, ,948 7,664 8, ,918 7,66 8, ,9 7,66 8, ,892 7,658 8, ,882 7,655 8, ,874 7,653 8, ,866 7,65 8, ,864 7,648 8, ,86 7,6 8, ,856 7,6 8, ,854 7,6 8, ,854 7,6 8, ,854 7,6 8,747 Sumber: Data Primer Sebelum Diolah, 212. Waktu (menit) 49

63 Lampiran 7 Grafik Persamaan Linear Pada oc dengan Kecepatan Udara 1, m/s. -2, -2, -4, Ln MR Ln MR -4, -6, -8, -1, -12, t, , MR Henderson-Pabis t MR Newton y = -,85x R² =,977-6, -8, y = -,85x +,11 R² =,977 MR Henderson-Pabis MR Newton -1, Linear (MR Newton) Linear (MR Henderson-Pabis) -12, MR Page 3, 2, y = 1,92x - 5,78 R² =,991 Ln (-Ln MR) 1, Ln t,, -1, 4, 8, -2, MR Page -3, ln(-lnmr) -4, Sumber: Data Primer Setelah Diolah,

64 Lampiran 8 Grafik Persamaan Linear Pada oc dengan Kecepatan Udara 1,5 m/s. MR Henderson-Pabis MR Newton t 2, t, -2, -2, -4, Ln MR Ln MR -4, , -6, -8, -6, y = -,86x R² =,982-8, MR Newton -1, y = -,91x +,1 R² =,986 MR Henderson-Pabis Linear (MR Henderson-Pabis) -1, Linear (MR Newton) -12, -12, 3, 2, MR Page y = 1,66x - 5,68 R² =,997 Ln (-Ln MR) 1,, Ln t, 4, 8, -1, -2, MR Page ln(-lnmr) -3, Sumber: Data Primer Setelah Diolah,

65 Lampiran 9 Grafik Persamaan Linear Pada 5 oc dengan Kecepatan Udara 1, m/s. -1, -2, Ln MR -6, -8, t, y = -,96x R² =,992-4, Ln MR 2, MR Newton , MR Henderson-Pabis t MR Newton, y = -,98x +,112 R² =,992-4, -6, MR Henderson-Pabis -8, Linear (MR Newton) Linear (MR Henderson-Pabis) -1, -12, -12, MR Page 3, 2, y = 1,19x - 5,157 R² =,997 Ln(-Ln MR) 1,,, Ln t 4, 8, -1, -2, MR Page ln(-lnmr) -3, Sumber: Data Primer Setelah Diolah,

66 Lampiran 1 Grafik Persamaan Linear Pada 5 oc dengan Kecepatan Udara 1,5 m/s. -2, -4, Ln MR Ln MR -2, y = -,92x R² =,971-4, -6, -8, -1, t, , MR Henderson-Pabis t MR Newton y = -,88x -,2 R² =,972-6, -8, MR Newton -1, Linear (MR Newton) -12, -12, MR Page 3, 2, MR Henderson-Pabis Linear (MR Henderson-Pabis) y =,983x - 4,946 R² =,992 Ln (-Ln MR) 1, Ln t,, 4, 8, -1, -2, MR Page ln(-lnmr) -3, Sumber: Data Primer Setelah Diolah,

67 Lampiran 11 Grafik Persamaan Linear Pada 6 oc dengan Kecepatan Udara 1, m/s. MR Henderson-Pabis MR Newton -2, y = -,88x R² =,986-2, -4, Ln MR Ln MR -3, -5, -6, -7, -8, -9, t, -4, -6, MR Newton Linear (MR Newton) , , 2, t -8, y = -,9x +,146 R² =,987 MR Henderson-Pabis Linear (MR Henderson-Pabis) -1, -1, MR Page 3, 2, y =,98x - 4,996 R² =,997 Ln (-Ln MR) 1,,, Ln t 4, 8, -1, -2, MR Page ln(-lnmr) -3, Sumber: Data Primer Setelah Diolah,

68 Lampiran 12 Grafik Persamaan Linear Pada 6 oc dengan Kecepatan Udara 1,5 m/s. MR Newton 2, , -8, -1, y = -,82x R² =,974 Ln MR Ln MR -4, -6, t, -4, -6, MR Newton -8, Linear (MR Newton) , -2, MR Henderson-Pabis t y = -,89x +,369 R² =,981 MR Henderson-Pabis -1, Linear (MR HendersonPabis) -12, -12, 3, 2, MR Page y = 1,11x - 5,291 R² =,995 Ln (-Ln MR) 1,, Ln t, 4, 8, -1, -2, MR Page ln(-lnmr) -3, Sumber: Data Primer Setelah Diolah,

69 Lampiran 13 Hasil Regresi Linear Pada oc dengan Kecepatan Udara 1, m/s. Model Newton k a n R2, Model Newton HendersonPabis Page HendersonPabis,85 1,11,977 Page,3 1,92,991 X2 RMSE, 4,19E-8,12, Sumber: Data Primer Setelah Diolah, 212. Lampiran 14 Hasil Regresi Linear Pada oc dengan Kecepatan Udara 1,5 m/s. Model Newton k a n R2,86,982 HendersonPabis,91 1,365,986 Page,4 1,66,997 Model Newton X2,67 RMSE, HendersonPabis,2783,54786 Page,14,3696 Sumber: Data Primer Setelah Diolah,

70 Lampiran 15 Hasil Regresi Linear Pada 5 oc dengan Kecepatan Udara 1, m/s. Model Newton k a n R2,96 HendersonPabis,98 1,119,992 Model Newton,992 X2, RMSE,136 Henderson, Pabis, Page,23 Page,6 1,19,997,4875 Sumber: Data Primer Setelah Diolah, 212. Lampiran 16 Hasil Regresi Linear Pada 5 oc dengan Kecepatan Udara 1,5 m/s. Model Newton HendersonPabis Page k a n R2,92,971,88,819,972,7,983,992 Model Newton X2,2978 RMSE,47151 HendersonPabis,27223,28698 Page,58,7626 Sumber: Data Primer Setelah Diolah,

71 Lampiran 17 Hasil Regresi Linear Pada 6 oc dengan Kecepatan Udara 1, m/s. Model Newton k a n R2,88,986 Model Newton HendersonPabis,9 1,157,987 X2, Henderson, Pabis Page,17 Page,7,98,997 RMSE, ,465821,9 Sumber: Data Primer Setelah Diolah, 212. Lampiran 18 Hasil Regresi Linear Pada 6 oc dengan Kecepatan Udara 1,5 m/s. Model Newton k a n R2,82,974 Model Newton HendersonPabis,89 1,6,981 X2,27957 RMSE, Henderson, Pabis, Page,59 Page,5 1,11,995,76172 Sumber: Data Primer Setelah Diolah,

72 Lampiran 19 Hasil Pengeringan Rimpang Temulawak pada oc dengan Kecepatan Udara 1, m/s. Sebelum dioven Sesudah dioven Lampiran 2 Hasil Pengeringan Rimpang Temulawak pada oc dengan Kecepatan Udara 1,5 m/s. Sebelum dioven Sesudah dioven 59

73 Lampiran 21 Hasil Pengeringan Rimpang Temulawak pada 5 oc dengan Kecepatan Udara 1, m/s. Sebelum dioven Sesudah dioven Lampiran 22 Hasil Pengeringan Rimpang Temulawak pada 5 oc dengan Kecepatan Udara 1,5 m/s. Sebelum dioven Sesudah dioven 6

74 Lampiran 23 Hasil Pengeringan Rimpang Temulawak pada 6 oc dengan Kecepatan Udara 1, m/s. Sebelum dioven Sesudah dioven Lampiran 24 Hasil Pengeringan Rimpang Temulawak pada 6 oc dengan Kecepatan Udara 1,5 m/s. Sebelum dioven Sesudah dioven 61

75 Lampiran 25 Dokumentasi alat yang digunakan Alat Pengering tray dryer model EH-TD- Eunha Fluid Science Oven Desikator 62

Model Pengeringan Lapisan Tipis Cengkeh (Syzygium aromaticum) 1) ISHAK (G ) 2) JUNAEDI MUHIDONG dan I.S. TULLIZA 3) ABSTRAK

Model Pengeringan Lapisan Tipis Cengkeh (Syzygium aromaticum) 1) ISHAK (G ) 2) JUNAEDI MUHIDONG dan I.S. TULLIZA 3) ABSTRAK Model Pengeringan Lapisan Tipis Cengkeh (Syzygium aromaticum) ) ISHAK (G4 9 274) 2) JUNAEDI MUHIDONG dan I.S. TULLIZA 3) ABSTRAK Perbedaan pola penurunan kadar air pada pengeringan lapis tipis cengkeh

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIS PENGERINGAN LAPISAN TIPIS BIJI KOPI ARABIKA (Coffeae arabica) DAN BIJI KOPI ROBUSTA (Coffeae cannephora) ABSTRAK

MODEL MATEMATIS PENGERINGAN LAPISAN TIPIS BIJI KOPI ARABIKA (Coffeae arabica) DAN BIJI KOPI ROBUSTA (Coffeae cannephora) ABSTRAK MODEL MATEMATIS PENGERINGAN LAPISAN TIPIS BIJI KOPI ARABIKA (Coffeae arabica) DAN BIJI KOPI ROBUSTA (Coffeae cannephora) Dwi Santoso 1, Djunaedi Muhidong 2, dan Mursalim 2 1 Program Studi Agroteknologi,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK PENGERINGAN LAPISAN TIPIS Menurut Brooker et al. (1974) terdapat beberapa kombinasi waktu dan suhu udara pengering dimana komoditas hasil pertanian dengan kadar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kandungan cabai merah itu sendiri. Kandungan air yang sangat tinggi ini dapat

I. PENDAHULUAN. kandungan cabai merah itu sendiri. Kandungan air yang sangat tinggi ini dapat I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cabai merah besar (Capsicum annum L.) merupakan komoditas sayuran yang banyak mendapat perhatian karena memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Kebutuhan akan cabai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. KARAKTERISTIK PENGERINGAN LAPISAN TIPIS SINGKONG 4.1.1. Perubahan Kadar Air Terhadap Waktu Proses pengeringan lapisan tipis irisan singkong dilakukan mulai dari kisaran kadar

Lebih terperinci

Analisis Distribusi Suhu, Aliran Udara, Kadar Air pada Pengeringan Daun Tembakau Rajangan Madura

Analisis Distribusi Suhu, Aliran Udara, Kadar Air pada Pengeringan Daun Tembakau Rajangan Madura Analisis Distribusi Suhu, Aliran Udara, Kadar Air pada Pengeringan Daun Tembakau Rajangan Madura HUMAIDILLAH KURNIADI WARDANA 1) Program Studi Teknik Elektro Universitas Hasyim Asy Ari. Jl. Irian Jaya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KENTANG (SOLANUM TUBEROSUM L.) Tumbuhan kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan komoditas sayuran yang dapat dikembangkan dan bahkan dipasarkan di dalam negeri maupun di luar

Lebih terperinci

Pengeringan Untuk Pengawetan

Pengeringan Untuk Pengawetan TBM ke-6 Pengeringan Untuk Pengawetan Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau mengilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan menguapkan sebagian besar air yang di kandung melalui penggunaan

Lebih terperinci

Temu Putih. Penyortiran Basah. Pencucian. Pengupasan. Timbang, ± 200 g. Pengeringan sesuai perlakuan

Temu Putih. Penyortiran Basah. Pencucian. Pengupasan. Timbang, ± 200 g. Pengeringan sesuai perlakuan Lampiran 1. Diagram Alir Penelitian Temu Putih Penyortiran Basah Pencucian Pengupasan Tiriskan Simpan dalam lemari pendingin (5-10 o C) hingga digunakan Pengirisan, 3-5 mm Timbang, ± 200 g Pengukuran Kadar

Lebih terperinci

Perpindahan Massa Pada Pengeringan Gabah Dengan Metode Penjemuran

Perpindahan Massa Pada Pengeringan Gabah Dengan Metode Penjemuran Perpindahan Massa Pada Pengeringan Gabah Dengan Metode Penjemuran Hanim Z. Amanah 1), Sri Rahayoe 1), Sukma Pribadi 1) 1) Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Jl. Flora No 2 Bulaksumur

Lebih terperinci

PERPINDAHAN MASSA PADA PENGERINGAN JAHE MENGGUNAKAN EFEK RUMAH KACA *

PERPINDAHAN MASSA PADA PENGERINGAN JAHE MENGGUNAKAN EFEK RUMAH KACA * ISBN 978-62-97387--4 PROSIDING Seminar Nasional Perteta 21 PERPINDAHAN MASSA PADA PENGERINGAN JAHE MENGGUNAKAN EFEK RUMAH KACA * Hanim Z. Amanah 1), Ana Andriani 2), Sri Rahayoe 1) 1) Staf Pengajar Jurusan

Lebih terperinci

DINAMIKA PINDAH MASSA DAN WARNA SINGKONG (Manihot Esculenta) SELAMA PROSES PENGERINGAN MENGGUNAKAN OVEN

DINAMIKA PINDAH MASSA DAN WARNA SINGKONG (Manihot Esculenta) SELAMA PROSES PENGERINGAN MENGGUNAKAN OVEN DINAMIKA PINDAH MASSA DAN WARNA SINGKONG (Manihot Esculenta) SELAMA PROSES PENGERINGAN MENGGUNAKAN OVEN SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Program

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis Prinsip pengeringan lapisan tipis pada dasarnya adalah mengeringkan bahan sampai kadar air bahan mencapai kadar air keseimbangannya. Sesuai

Lebih terperinci

Prinsip proses pengawetan dengan penurunan kadar air pada bahan pangan hasil ternak. Firman Jaya

Prinsip proses pengawetan dengan penurunan kadar air pada bahan pangan hasil ternak. Firman Jaya Prinsip proses pengawetan dengan penurunan kadar air pada bahan pangan hasil ternak Firman Jaya OUTLINE PENGERINGAN PENGASAPAN PENGGARAMAN/ CURING PENGERINGAN PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN

Lebih terperinci

Pada waktu panen peralatan dan tempat yang digunakan harus bersih dan bebas dari cemaran dan dalam keadaan kering. Alat yang digunakan dipilih dengan

Pada waktu panen peralatan dan tempat yang digunakan harus bersih dan bebas dari cemaran dan dalam keadaan kering. Alat yang digunakan dipilih dengan Pada waktu panen peralatan dan tempat yang digunakan harus bersih dan bebas dari cemaran dan dalam keadaan kering. Alat yang digunakan dipilih dengan tepat untuk mengurangi terbawanya bahan atau tanah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang Pengeringan adalah proses pengolahan pascapanen hasil pertanian yang paling kritis. Pengeringan sudah dikenal sejak dulu sebagai salah satu metode pengawetan bahan. Tujuan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis Buah Mahkota Dewa

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis Buah Mahkota Dewa IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis Buah Mahkota Dewa 1. Perubahan Kadar Air terhadap Waktu Pengeringan buah mahkota dewa dimulai dari kadar air awal bahan sampai mendekati

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENGERINGAN GABAH PADA ALAT PENGERING KABINET (TRAY DRYER) MENGGUNAKAN SEKAM PADI SEBAGAI BAHAN BAKAR

KARAKTERISTIK PENGERINGAN GABAH PADA ALAT PENGERING KABINET (TRAY DRYER) MENGGUNAKAN SEKAM PADI SEBAGAI BAHAN BAKAR KARAKTERISTIK PENGERINGAN GABAH PADA ALAT PENGERING KABINET (TRAY DRYER) MENGGUNAKAN SEKAM PADI SEBAGAI BAHAN BAKAR Ahmad MH Winata (L2C605113) dan Rachmat Prasetiyo (L2C605167) Jurusan Teknik Kimia, Fak.

Lebih terperinci

1. Pendahuluan PENGARUH SUHU DAN KELEMBABAN UDARA PADA PROSES PENGERINGAN SINGKONG (STUDI KASUS : PENGERING TIPE RAK)

1. Pendahuluan PENGARUH SUHU DAN KELEMBABAN UDARA PADA PROSES PENGERINGAN SINGKONG (STUDI KASUS : PENGERING TIPE RAK) Ethos (Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat): 99-104 PENGARUH SUHU DAN KELEMBABAN UDARA PADA PROSES PENGERINGAN SINGKONG (STUDI KASUS : PENGERING TIPE RAK) 1 Ari Rahayuningtyas, 2 Seri Intan Kuala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Proses pengolahan simplisia di Klaster Biofarmaka Kabupaten Karanganyar I-1

BAB I PENDAHULUAN. Proses pengolahan simplisia di Klaster Biofarmaka Kabupaten Karanganyar I-1 BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini menguraikan beberapa hal pokok mengenai penelitian ini, yaitu latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah, asumsi,

Lebih terperinci

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL PENANGANAN PASCA PANEN KUNYIT. Feri Manoi

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL PENANGANAN PASCA PANEN KUNYIT. Feri Manoi STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL PENANGANAN PASCA PANEN KUNYIT Feri Manoi PENDAHULUAN Untuk memperoleh produk yang bermutu tinggi, maka disusun SPO penanganan pasca panen tanaman kunyit meliputi, waktu panen,

Lebih terperinci

MODEL PENGERINGAN LAPISAN TIPIS CENGKEH (Syzigium aromaticum)

MODEL PENGERINGAN LAPISAN TIPIS CENGKEH (Syzigium aromaticum) MODEL PENGERINGAN LAPISAN TIPIS CENGKEH (Syzigium aromaticum) OLEH ISHAK G411 09 274 PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIANN JURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013

Lebih terperinci

PENGUJIAN PERFORMANSI MESIN PENGERING PRODUK PERTANIAN SISTEM TENAGA SURYA TIPE KOLEKTOR BERSIRIP

PENGUJIAN PERFORMANSI MESIN PENGERING PRODUK PERTANIAN SISTEM TENAGA SURYA TIPE KOLEKTOR BERSIRIP PENGUJIAN PERFORMANSI MESIN PENGERING PRODUK PERTANIAN SISTEM TENAGA SURYA TIPE KOLEKTOR BERSIRIP Muhardityah 1, Mulfi Hazwi 2 1,2 Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara Jl.

Lebih terperinci

PENANGANAN PASCA PANEN YANG BAIK (GOOD HANDLING PRACTICES/GHP) RIMPANG

PENANGANAN PASCA PANEN YANG BAIK (GOOD HANDLING PRACTICES/GHP) RIMPANG PENANGANAN PASCA PANEN YANG BAIK (GOOD HANDLING PRACTICES/GHP) RIMPANG Balai Besar Pelatihan Pertanian Ketindan Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian Kementerian Pertanian (2017) TUJUAN PEMBELAJARAN

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat. B. Alat dan Bahan. C. Parameter Pengeringan dan Mutu Irisan Mangga

METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat. B. Alat dan Bahan. C. Parameter Pengeringan dan Mutu Irisan Mangga III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei 2011 sampai dengan Agustus 2011 di Laboratorium Pindah Panas serta Laboratorium Energi dan Elektrifikasi

Lebih terperinci

PERUBAHAN NILAI DESORPSI PRODUK KAKAO FERMENTASI PADA BERBAGAI SUHU DAN KELEMBABAN

PERUBAHAN NILAI DESORPSI PRODUK KAKAO FERMENTASI PADA BERBAGAI SUHU DAN KELEMBABAN PERUBAHAN NILAI DESORPSI PRODUK KAKAO FERMENTASI PADA BERBAGAI SUHU DAN KELEMBABAN Sri Widata Dosen DPK Pada Politeknik LPP Yogyakarta E-mail: swidhata@yahoo.co.id ABSTRAK Kakao merupakan produk yang dapat

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. dan di Ruang Gudang Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Pertanian Universitas

III. METODE PENELITIAN. dan di Ruang Gudang Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Pertanian Universitas III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa Bioproses dan Pasca Panen dan di Ruang Gudang Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

PENYIMPANAN DAN PENGGUDANGAN PENDAHULUAN

PENYIMPANAN DAN PENGGUDANGAN PENDAHULUAN PENYIMPANAN DAN PENGGUDANGAN PENDAHULUAN Kegunaan Penyimpangan Persediaan Gangguan Masa kritis / peceklik Panen melimpah Daya tahan Benih Pengendali Masalah Teknologi Susut Kerusakan Kondisi Tindakan Fasilitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengeringan Pengeringan merupakan proses pengurangan kadar air bahan sampai mencapai kadar air tertentu sehingga menghambat laju kerusakan bahan akibat aktivitas biologis

Lebih terperinci

Meningkatkan Nilai Tambah Bawang Merah Oleh: Farid R. Abadi

Meningkatkan Nilai Tambah Bawang Merah Oleh: Farid R. Abadi Meningkatkan Nilai Tambah Bawang Merah Oleh: Farid R. Abadi Bawang merah merupakan komoditas hortikultura yang memiliki permintaan yang cukup tinggi dalam bentuk segar. Meskipun demikian, bawang merah

Lebih terperinci

Studi Karakteristik Pengeringan Pupuk NPK (15:15:15) Menggunakan Tray Dryer

Studi Karakteristik Pengeringan Pupuk NPK (15:15:15) Menggunakan Tray Dryer Seminar Skripsi Studi Karakteristik Pengeringan Pupuk NPK (15:15:15) Menggunakan Tray Dryer LABORATORIUM PERPINDAHAN ` PANAS DAN MASSA Jurusan Teknik Kimia FTI - ITS Disusun oleh : Argatha Febriansyah

Lebih terperinci

Pengeringan. Shinta Rosalia Dewi

Pengeringan. Shinta Rosalia Dewi Pengeringan Shinta Rosalia Dewi SILABUS Evaporasi Pengeringan Pendinginan Kristalisasi Presentasi (Tugas Kelompok) UAS Aplikasi Pengeringan merupakan proses pemindahan uap air karena transfer panas dan

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.3, No. 1, Maret 2015

Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.3, No. 1, Maret 2015 PENGERINGAN BIJI KEMIRI PADA ALAT PENGERING TIPE BATCH MODEL TUNGKU BERBASIS BAHAN BAKAR CANGKANG KEMIRI Drying of Pecan Seed using Batch Type dryer with Pecan Sheel Fuel Oleh: Murad 1, Sukmawaty 1, Rahmat

Lebih terperinci

PENENTUAN KARAKTERISTIK PENGERINGAN BAWANG PUTIH(ALLIUM SATIVUM L.) (Variabel Bentuk Bahan dan Suhu Proses)

PENENTUAN KARAKTERISTIK PENGERINGAN BAWANG PUTIH(ALLIUM SATIVUM L.) (Variabel Bentuk Bahan dan Suhu Proses) PENENTUAN KARAKTERISTIK PENGERINGAN BAWANG PUTIH(ALLIUM SATIVUM L.) (Variabel Bentuk Bahan dan Suhu Proses) Diska Ayu Romadani dan Sumarni JurusanTeknik Kimia Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta

Lebih terperinci

PENGERINGAN. Teti Estiasih - PS ITP - THP - FTP - UB

PENGERINGAN. Teti Estiasih - PS ITP - THP - FTP - UB PENGERINGAN 1 DEFINISI Pengeringan merupakan metode pengawetan dengan cara pengurangan kadar air dari bahan sehingga daya simpan dapat diperpanjang Perpanjangan daya simpan terjadi karena aktivitas m.o.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Df adalah driving force (kg/kg udara kering), Y s adalah kelembaban

TINJAUAN PUSTAKA. Df adalah driving force (kg/kg udara kering), Y s adalah kelembaban TINJAUAN PUSTAKA Mekanisme Pengeringan Udara panas dihembuskan pada permukaan bahan yang basah, panas akan berpindah ke permukaan bahan, dan panas laten penguapan akan menyebabkan kandungan air bahan teruapkan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kopi merupakan komoditas sektor perkebunan yang cukup strategis di. Indonesia. Komoditas kopi memberikan kontribusi untuk menopang

BAB I PENDAHULUAN. Kopi merupakan komoditas sektor perkebunan yang cukup strategis di. Indonesia. Komoditas kopi memberikan kontribusi untuk menopang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kopi merupakan komoditas sektor perkebunan yang cukup strategis di Indonesia. Komoditas kopi memberikan kontribusi untuk menopang perekonomian nasional dan menjadi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Waktu penelitian dilaksanakan selama tiga bulan yaitu mulai dari bulan Maret hingga Mei 2011, bertempat di Laboratorium Pilot Plant PAU dan Laboratorium Teknik

Lebih terperinci

Perubahan Sifat Fisik Talas (Colocoasia esculenta L. Schoot) Selama Pengeringan Lapis Tipis

Perubahan Sifat Fisik Talas (Colocoasia esculenta L. Schoot) Selama Pengeringan Lapis Tipis Perubahan Sifat Fisik Talas (Colocoasia esculenta L. Schoot) Selama Pengeringan Lapis Tipis OLEH : AMIRUDDIN G 621 07 040 PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN JURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PENENTUAN KONSTANTA PENGERINGAN PATHILO DENGAN MENGGUNAKAN SINAR MATAHARI

PENENTUAN KONSTANTA PENGERINGAN PATHILO DENGAN MENGGUNAKAN SINAR MATAHARI Teknologi dan Pangan ISBN : 979-498-467-1 PENENTUAN KONSTANTA PENGERINGAN PATHILO DENGAN MENGGUNAKAN SINAR MATAHARI Asep Nurhikmat & Yuniar Khasanah UPT Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia -

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Bagian buah dan biji jarak pagar.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Bagian buah dan biji jarak pagar. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Spesifikasi Biji Jarak Pagar Tanaman jarak (Jatropha curcas L.) dikenal sebagai jarak pagar. Menurut Hambali et al. (2007), tanaman jarak pagar dapat hidup dan berkembang dari dataran

Lebih terperinci

EKSTRAKSI KURKUMIN DARI TEMULAWAK DENGAN MENGGUNAKAN ETANOL

EKSTRAKSI KURKUMIN DARI TEMULAWAK DENGAN MENGGUNAKAN ETANOL EKSTRAKSI KURKUMIN DARI TEMULAWAK DENGAN MENGGUNAKAN ETANOL A. F. Ramdja, R.M. Army Aulia, Pradita Mulya Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya ABSTRAK Temulawak ( Curcuma xanthoriza

Lebih terperinci

PENGERINGAN KELOPAK BUNGA ROSELA MENGGUNAKAN TRAY DRYER

PENGERINGAN KELOPAK BUNGA ROSELA MENGGUNAKAN TRAY DRYER PENGERINGAN KELOPAK BUNGA ROSELA MENGGUNAKAN TRAY DRYER Renny Diah Faridasari (L2C5299) dan Sri Mulyantini (L2C5318) Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro Jln. Prof. Sudharto, Tembalang,

Lebih terperinci

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini berlangsung dalam 2 (dua) tahap pelaksanaan. Tahap pertama

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini berlangsung dalam 2 (dua) tahap pelaksanaan. Tahap pertama 38 III. METODELOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dalam 2 (dua) tahap pelaksanaan. Tahap pertama adalah pembuatan alat yang dilaksanakan di Laboratorium Mekanisasi

Lebih terperinci

Gambar 1. Tanaman Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) (Ochse & Van Den Brink, 1977)

Gambar 1. Tanaman Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) (Ochse & Van Den Brink, 1977) II. TINJAUAN PUSTAKA A. BOTANI TEMU PUTIH Temu putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) cukup dikenal di kalangan masyarakat untuk bahan jamu. Kepopuleran tanaman obat ini digunakan untuk mengobati penyakit

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Perlakuan Terhadap Sifat Fisik Buah Pala Di Indonesia buah pala pada umumnya diolah menjadi manisan dan minyak pala. Dalam perkembangannya, penanganan pascapanen diarahkan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Pendahuluan

BAHAN DAN METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Pendahuluan BAHAN DAN METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada bulan

Lebih terperinci

III. PENANGANAN PANEN DAN PASCAPANEN TANAMAN OBAT SECARA UMUM

III. PENANGANAN PANEN DAN PASCAPANEN TANAMAN OBAT SECARA UMUM III. PENANGANAN PANEN DAN PASCAPANEN TANAMAN OBAT SECARA UMUM Penanganan dan Pengelolaan Saat Panen Mengingat produk tanaman obat dapat berasal dari hasil budidaya dan dari hasil eksplorasi alam maka penanganan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dibandingkan sesaat setelah panen. Salah satu tahapan proses pascapanen

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dibandingkan sesaat setelah panen. Salah satu tahapan proses pascapanen BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penanganan pascapanen komoditas pertanian mejadi hal yang tidak kalah pentingnya dengan penanganan sebelum panen. Dengan penanganan yang tepat, bahan hasil pertanian

Lebih terperinci

Satuan Operasi dan Proses TIP FTP UB

Satuan Operasi dan Proses TIP FTP UB Satuan Operasi dan Proses TIP FTP UB Pendahuluan Pengeringan merupakan salah satu metode pengawetan pangan paling kuno yang dikenal oleh manusia. Pengawetan daging, ikan, dan makanan lain dengan pengeringan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. buahnya. Dilihat dari bentuk daun dan buah dikenal ada 4 jenis nanas, yaitu Cayene

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. buahnya. Dilihat dari bentuk daun dan buah dikenal ada 4 jenis nanas, yaitu Cayene BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nanas (Ananas comosus L. Merr) Nanas merupakan tanaman buah yang banyak dibudidayakan di daerah tropis dan subtropis. Tanaman ini mempunyai banyak manfaat terutama pada buahnya.

Lebih terperinci

AGROTECHNO Volume 1, Nomor 1, April 2016, hal

AGROTECHNO Volume 1, Nomor 1, April 2016, hal Karakteristik Pengeringan Biji Kopi dengan Pengering Tipe Bak dengan Sumber Panas Tungku Sekam Kopi dan Kolektor Surya Characteristic Drying of Coffee Beans Using a Dryer with the Heat Source of Coffe

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENGERINGAN BAWANG MERAH (Alium Ascalonicum. L) MENGGUNAKAN ALAT PENGERING ERK (Greenhouse)

KARAKTERISTIK PENGERINGAN BAWANG MERAH (Alium Ascalonicum. L) MENGGUNAKAN ALAT PENGERING ERK (Greenhouse) KARAKTERISTIK PENGERINGAN BAWANG MERAH (Alium Ascalonicum. L) MENGGUNAKAN ALAT PENGERING ERK (Greenhouse) Characterization of Red Onion (Alium Ascalonicum.L) Drying using Greenhouse (ERK) Dryer Amalia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman jagung termasuk dalam keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea. sistimatika tanaman jagung yaitu sebagai berikut :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman jagung termasuk dalam keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea. sistimatika tanaman jagung yaitu sebagai berikut : II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jagung Tanaman jagung termasuk dalam keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea mays L. Secara umum, menurut Purwono dan Hartanto (2007), klasifikasi dan sistimatika tanaman

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH PASCA

TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH PASCA AgroinovasI TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH PASCA Dalam menghasilkan benih bermutu tinggi, perbaikan mutu fisik, fisiologis maupun mutu genetik juga dilakukan selama penanganan pascapanen. Menjaga mutu fisik

Lebih terperinci

PENINGKATAN KUALITAS PRODUK DAN EFISIENSI ENERGI PADA ALAT PENGERINGAN DAUN SELEDRI BERBASIS KONTROL SUHU DAN HUMIDITY UDARA

PENINGKATAN KUALITAS PRODUK DAN EFISIENSI ENERGI PADA ALAT PENGERINGAN DAUN SELEDRI BERBASIS KONTROL SUHU DAN HUMIDITY UDARA PENINGKATAN KUALITAS PRODUK DAN EFISIENSI ENERGI PADA ALAT PENGERINGAN DAUN SELEDRI BERBASIS KONTROL SUHU DAN HUMIDITY UDARA Jurusan Teknik Elektro, Fakultas. Teknik, Universitas Negeri Semarang Email:ulfaharief@yahoo.com,

Lebih terperinci

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL BUDIDAYA TEMULAWAK. Mono Rahardjo dan Otih Rostiana

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL BUDIDAYA TEMULAWAK. Mono Rahardjo dan Otih Rostiana STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL BUDIDAYA TEMULAWAK Mono Rahardjo dan Otih Rostiana PENDAHULUAN Kegunaan utama rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) adalah sebagai bahan baku obat, karena dapat merangsang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bergesernya selera masyarakat pada jajanan yang enak dan tahan lama

BAB I PENDAHULUAN. Bergesernya selera masyarakat pada jajanan yang enak dan tahan lama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bergesernya selera masyarakat pada jajanan yang enak dan tahan lama dalam penyimpanannya membuat salah satu produk seperti keripik buah digemari oleh masyarat. Mereka

Lebih terperinci

Pada proses pengeringan terjadi pula proses transfer panas. Panas di transfer dari

Pada proses pengeringan terjadi pula proses transfer panas. Panas di transfer dari \ Menentukan koefisien transfer massa optimum aweiica BAB II LANDASAN TEORI 2.1. TINJAUAN PUSTAKA Proses pengeringan adalah perpindahan masa dari suatu bahan yang terjadi karena perbedaan konsentrasi.

Lebih terperinci

BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN

BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktek Produksi Kopi Biji Salak dengan Penambahan Jahe Merah dilaksanakan pada bulan Maret-April 2016 di Laboratorium Rekayasa Proses dan

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 PERHITUNGAN JUMLAH UAP AIR YANG DI KELUARKAN

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 PERHITUNGAN JUMLAH UAP AIR YANG DI KELUARKAN 33 BAB IV PEMBAHASAN 4.1 PERHITUNGAN JUMLAH UAP AIR YANG DI KELUARKAN Untuk mengeringkan jahe perlu diturunkan kandungan airnya hingga 5-10%. Alat pengering yang akan direncanakan menampung 0.5 kg jahe

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. ABSTRAK... iii. DAFTAR GAMBAR... viii. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR NOTASI... xi Rumusan Masalah...

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. ABSTRAK... iii. DAFTAR GAMBAR... viii. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR NOTASI... xi Rumusan Masalah... DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i ABSTRAK... iii ABSTRACT... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR NOTASI... xi BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah...

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2011 sampai bulan Mei 2011 bertempat

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2011 sampai bulan Mei 2011 bertempat 20 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2011 sampai bulan Mei 2011 bertempat di Laboratorium Rekayasa Bioproses dan Pasca Panen, Jurusan Teknik

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Karakteristik awal cabai merah (Capsicum annuum L.) diketahui dengan melakukan analisis proksimat, yaitu kadar air, kadar vitamin

Lebih terperinci

Serbuk Temulawak Sebagai Bahan Baku Minuman

Serbuk Temulawak Sebagai Bahan Baku Minuman ISBN 978-979-3541-50-1 IRWNS 2015 Serbuk Temulawak Sebagai Bahan Baku Minuman Bintang Iwhan Moehady Jurusan Teknik Kimia, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012 E-mail : bintang@polban.ac.id ABSTRAK

Lebih terperinci

ANALISIS PERFORMANSI MODEL PENGERING GABAH POMPA KALOR

ANALISIS PERFORMANSI MODEL PENGERING GABAH POMPA KALOR ANALISIS PERFORMANSI MODEL PENGERING GABAH POMPA KALOR Budi Kristiawan 1, Wibowo 1, Rendy AR 1 Abstract : The aim of this research is to analyze of rice heat pump dryer model performance by determining

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia banyak sekali ditumbuhi oleh tanaman rimpang karena Indonesia merupakan negara tropis. Rimpang-rimpang tersebut dapat digunakan sebagai pemberi cita

Lebih terperinci

GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN

GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN JUDUL MATA KULIAH : TEKNIK PENGERINGAN NOMOR KODE / SKS : TEP 421/ 2 + 1 DESKRIPSI SINGKAT : Pendahuluan (definisi, keuntungan dan kelemahan teknik, alasan dilakukan

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.3, No. 2, September 2015 PENGERINGAN LAPIS TIPIS KOPRA PUTIH MENGGUNAKAN OVEN PENGERING

Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.3, No. 2, September 2015 PENGERINGAN LAPIS TIPIS KOPRA PUTIH MENGGUNAKAN OVEN PENGERING PENGERINGAN LAPIS TIPIS KOPRA PUTIH MENGGUNAKAN OVEN PENGERING White Copra Thin Layer Method using Drying Oven Oleh : Murad 1, Rahmat Sabani 1, Guyup Mahardhian Dwi Putra 1 1 Program Studi Teknik Pertanian,

Lebih terperinci

Pengawetan pangan dengan pengeringan

Pengawetan pangan dengan pengeringan Pengawetan pangan dengan pengeringan Kompetensi Mahasiswa memahami teknologi pengeringan sederhana dan mutakhir, prinsip dan perubahan yang terjadi selama pengeringan serta dampak pengeringan terhadap

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Karet alam dihasilkan dari tanaman karet (Hevea brasiliensis). Tanaman karet

II. TINJAUAN PUSTAKA. Karet alam dihasilkan dari tanaman karet (Hevea brasiliensis). Tanaman karet II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karet Alam Karet alam dihasilkan dari tanaman karet (Hevea brasiliensis). Tanaman karet termasuk tanaman tahunan yang tergolong dalam famili Euphorbiaceae, tumbuh baik di dataran

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu permasalahan utama dalam pascapanen komoditi biji-bijian adalah susut panen dan turunnya kualitas, sehingga perlu diupayakan metode pengeringan dan penyimpanan

Lebih terperinci

PENINGKATAN KUALITAS PENGERINGAN IKAN DENGAN SISTEM TRAY DRYING

PENINGKATAN KUALITAS PENGERINGAN IKAN DENGAN SISTEM TRAY DRYING PENINGKATAN KUALITAS PENGERINGAN IKAN DENGAN SISTEM TRAY DRYING Bambang Setyoko, Seno Darmanto, Rahmat Program Studi Diploma III Teknik Mesin Fakultas Teknik UNDIP Jl. Prof H. Sudharto, SH, Tembalang,

Lebih terperinci

Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : tali rafia. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memperoleh mutu yang lebih

Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : tali rafia. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memperoleh mutu yang lebih BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Ekstraksi Tepung Karaginan Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : 1. Sortasi dan Penimbangan Proses sortasi ini bertujuan untuk memisahkan

Lebih terperinci

Tujuan pengeringan yang tepat untuk produk: 1. Susu 2. Santan 3. Kerupuk 4. Beras 5. Tapioka 6. Manisan buah 7. Keripik kentang 8.

Tujuan pengeringan yang tepat untuk produk: 1. Susu 2. Santan 3. Kerupuk 4. Beras 5. Tapioka 6. Manisan buah 7. Keripik kentang 8. PENGERINGAN DEFINISI Pengeringan merupakan metode pengawetan dengan cara pengurangan kadar air dari bahan sehingga daya simpan dapat diperpanjang Perpanjangan daya simpan terjadi karena aktivitas m.o.

Lebih terperinci

OLEH HARI SUBAGYO BP3K DOKO PROSES PENGOLAHAN BIJI KOPI

OLEH HARI SUBAGYO BP3K DOKO PROSES PENGOLAHAN BIJI KOPI OLEH HARI SUBAGYO BP3K DOKO PROSES PENGOLAHAN BIJI KOPI Secangkir kopi dihasilkan melalui proses yang sangat panjang. Mulai dari teknik budidaya, pengolahan pasca panen hingga ke penyajian akhir. Hanya

Lebih terperinci

PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN. ENDRIKA WIDYASTUTI, S.Pt, M.Sc, MP

PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN. ENDRIKA WIDYASTUTI, S.Pt, M.Sc, MP PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN ENDRIKA WIDYASTUTI, S.Pt, M.Sc, MP FOOD SCIENCE AND TECHNOLOGY AGRICULTURAL TECHNOLOGY BRAWIJAYA UNIVERSITY 2011 THE OUTLINE PENDAHULUAN PENGGARAMAN REFERENCES 2 METODE

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ditingkatkan dengan penerapan teknik pasca panen mulai dari saat jagung dipanen

I. PENDAHULUAN. ditingkatkan dengan penerapan teknik pasca panen mulai dari saat jagung dipanen I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman jagung ( Zea mays L) sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia dan hewan. Jagung merupakan komoditi tanaman pangan kedua terpenting setelah padi. Berdasarkan urutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. meningkatkan kesehatan. Salah satu jenis tanaman obat yang potensial, banyak

BAB I PENDAHULUAN UKDW. meningkatkan kesehatan. Salah satu jenis tanaman obat yang potensial, banyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Tanaman obat telah lama digunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai salah satu alternatif pengobatan, baik untuk pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan (kuratif),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisi beberapa hal pokok mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah, asumsi, dan sistematika penulisan yang digunakan.

Lebih terperinci

KAJI EKSPERIMENTAL SISTEM PENGERING HIBRID ENERGI SURYA-BIOMASSA UNTUK PENGERING IKAN

KAJI EKSPERIMENTAL SISTEM PENGERING HIBRID ENERGI SURYA-BIOMASSA UNTUK PENGERING IKAN ISSN 2302-0245 pp. 1-7 KAJI EKSPERIMENTAL SISTEM PENGERING HIBRID ENERGI SURYA-BIOMASSA UNTUK PENGERING IKAN Muhammad Zulfri 1, Ahmad Syuhada 2, Hamdani 3 1) Magister Teknik Mesin Pascasarjana Universyitas

Lebih terperinci

I. METODE PENELITIAN. Pasca Panen Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

I. METODE PENELITIAN. Pasca Panen Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. I. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2012 sampai April 2012 di Laboratorium Teknologi Industri Hasil Pertanian, dan Laboratorium Rekayasa Bioproses dan Pasca

Lebih terperinci

Determination of Thin Layer Drying Characteristic of Globefish (Rastrelliger sp.)

Determination of Thin Layer Drying Characteristic of Globefish (Rastrelliger sp.) Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 1 No. 3 (Desember 29) 153-161 PENENTUAN KARAKTERISTIK TIK PENGERINGAN LAPISAN TIPIS IKAN KEMBUNG (Rastrelliger sp.) Determination of Thin Layer Drying Characteristic of

Lebih terperinci

RESKI FEBYANTI RAUF G

RESKI FEBYANTI RAUF G MODEL PENGERINGAN LAPISAN TIPIS DAN IDENTIFIKASI PERUBAHAN WARNA SELAMA PROSES PENGERINGAN BIJI SORGUM (Sorghum bicolor L. Moench) VARIETAS NUMBU SKRIPSI Oleh RESKI FEBYANTI RAUF G 621 08 271 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

TANAMAN BERKHASIAT OBAT. By : Fitri Rahma Yenti, S.Farm, Apt

TANAMAN BERKHASIAT OBAT. By : Fitri Rahma Yenti, S.Farm, Apt TANAMAN BERKHASIAT OBAT By : Fitri Rahma Yenti, S.Farm, Apt DEFENISI Tanaman obat adalah jenis tanaman yang sebagian, seluruh tanaman dan atau eksudat (sel) tanaman tersebut digunakan sebagai obat, bahan/

Lebih terperinci

PENGERINGAN LAPISAN TIPIS KENTANG ( Solanum tuberosum. L) VARIETAS GRANOLA OLEH: AGUS M.HANI G

PENGERINGAN LAPISAN TIPIS KENTANG ( Solanum tuberosum. L) VARIETAS GRANOLA OLEH: AGUS M.HANI G PENGERINGAN LAPISAN TIPIS KENTANG ( Solanum tuberosum. L) VARIETAS GRANOLA OLEH: AGUS M.HANI G 621 07 027 Skripsi Hasil Penelitian Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tumbuhan jenis temu-temuan asli Indonesia yang banyak digunakan sebagai obat tradisional. Temulawak mengandung senyawa

Lebih terperinci

PENANGANAN PANEN DAN PASCA PANEN

PENANGANAN PANEN DAN PASCA PANEN PENANGANAN PANEN DAN PASCA PANEN Perbaikan mutu benih (fisik, fisiologis, dan mutu genetik) untuk menghasilkan benih bermutu tinggi tetap dilakukan selama penanganan pasca panen. Menjaga mutu fisik dan

Lebih terperinci

Devi Yuni Susanti 1), Joko Nugroho Wahyu Karyadi 1), dan Setiawan Oky Hartanto 2) Mada Jl. Flora No 1. Bulaksumur, Yogyakarta 55281; ABSTRACT

Devi Yuni Susanti 1), Joko Nugroho Wahyu Karyadi 1), dan Setiawan Oky Hartanto 2) Mada Jl. Flora No 1. Bulaksumur, Yogyakarta 55281; ABSTRACT 9- November PERUBAHAN KELEMBABAN RELATIF DAN KANDUNGAN UAP AIR UDARA PENGERING SELAMA PENGERINGAN CHIP SINGKONG DENGAN CABINET DRYER DENGAN PEREKAMAN DATA MENGGUNAKAN MULTI MEDIA CARD Devi Yuni Susanti

Lebih terperinci

ABSTRAK II. TINJAUAN PUSTAKA I. PENDAHULUAN

ABSTRAK II. TINJAUAN PUSTAKA I. PENDAHULUAN HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KEKERASAN DAN WAKTU PEMECAHAN DAGING BUAH KAKAO (THEOBROMA CACAO L) 1) MUH. IKHSAN (G 411 9 272) 2) JUNAEDI MUHIDONG dan OLLY SANNY HUTABARAT 3) ABSTRAK Permasalahan kakao Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5)

BAB I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) BAB I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat

METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat III. MEODE PENELIIAN A. Waktu dan empat Penelitian dilakukan di Laboratorium Energi Surya Leuwikopo, serta Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Pertanian, Departemen eknik Pertanian, Fakultas eknologi

Lebih terperinci

TEMPERATUR UDARA PENGERING DAN MASSA BIJI JAGUNG PADA ALAT PENGERING TERFLUIDISASI

TEMPERATUR UDARA PENGERING DAN MASSA BIJI JAGUNG PADA ALAT PENGERING TERFLUIDISASI Jurnal Mekanikal, Vol. 7 No. 1: Januari 2016: 673-678 e-issn 2502-700X p-issn2086-3403 TEMPERATUR UDARA PENGERING DAN MASSA BIJI JAGUNG PADA ALAT PENGERING TERFLUIDISASI Syahrul, Wahyu Fitra, I Made Suartika,

Lebih terperinci

TIM DOSEN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

TIM DOSEN UNIVERSITAS BRAWIJAYA TIM DOSEN UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2013 Pengeringan merupakan metode pengawetan dengan cara pengurangan kadar air dari bahan sehingga daya simpan dapat diperpanjang Perpanjangan daya simpan terjadi karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kacang tanah merupakan komoditas pertanian yang penting karena banyak

BAB I PENDAHULUAN. Kacang tanah merupakan komoditas pertanian yang penting karena banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kacang tanah merupakan komoditas pertanian yang penting karena banyak digunakan pada industri pangan dan proses pembudidayaannya yang relatif mudah. Hampir sebagian

Lebih terperinci

EKSPERIMEN PENGARUH UKURAN PARTIKEL PADA LAJU PENGERINGAN PUPUK ZA DALAM TRAY DRYER

EKSPERIMEN PENGARUH UKURAN PARTIKEL PADA LAJU PENGERINGAN PUPUK ZA DALAM TRAY DRYER EKSPERIMEN PENGARUH UKURAN PARTIKEL PADA LAJU PENGERINGAN PUPUK ZA DALAM TRAY DRYER Disusun oleh : Kristina Dwi yanti Nia Maulia 2308 100 537 2308 100 542 Dosen Pembimbing : Dr. Ir. Susianto, DEA Prof.

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. TEMPAT DAN WAKTU Proses penggorengan keripik durian dengan mesin penggorengan vakum dilakukan di UKM Mekar Sari di Dusun Boleleu No. 18 Desa Sido Makmur Kecamatan Sipora Utara

Lebih terperinci

PENGARUH BAHAN KEMAS SELAMA PENYIMPANAN TERHADAP PERUBAHAN KADAR AIR GULA KELAPA (Cocos Nucifera Linn) PADA BERBAGAI SUHU DAN RH LINGKUNGAN SKRIPSI

PENGARUH BAHAN KEMAS SELAMA PENYIMPANAN TERHADAP PERUBAHAN KADAR AIR GULA KELAPA (Cocos Nucifera Linn) PADA BERBAGAI SUHU DAN RH LINGKUNGAN SKRIPSI PENGARUH BAHAN KEMAS SELAMA PENYIMPANAN TERHADAP PERUBAHAN KADAR AIR GULA KELAPA (Cocos Nucifera Linn) PADA BERBAGAI SUHU DAN RH LINGKUNGAN SKRIPSI oleh DEWAN PRASETYO HADI NIM 051710201053 JURUSAN TEKNIK

Lebih terperinci

MEKANISME PENGERINGAN By : Dewi Maya Maharani. Prinsip Dasar Pengeringan. Mekanisme Pengeringan : 12/17/2012. Pengeringan

MEKANISME PENGERINGAN By : Dewi Maya Maharani. Prinsip Dasar Pengeringan. Mekanisme Pengeringan : 12/17/2012. Pengeringan MEKANISME By : Dewi Maya Maharani Pengeringan Prinsip Dasar Pengeringan Proses pemakaian panas dan pemindahan air dari bahan yang dikeringkan yang berlangsung secara serentak bersamaan Konduksi media Steam

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PASCAPANEN BAWANG MERAH LITBANG PASCAPANEN ACEH Oleh: Nurbaiti

TEKNOLOGI PASCAPANEN BAWANG MERAH LITBANG PASCAPANEN ACEH Oleh: Nurbaiti TEKNOLOGI PASCAPANEN BAWANG MERAH LITBANG PASCAPANEN ACEH Oleh: Nurbaiti Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan yang memiliki arti penting bagi masyarakat, baik dilihat dari penggunaannya

Lebih terperinci