4. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
4 HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Diagram TS

PENDAHULUAN Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penangkapan Tuna dan Cakalang... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.)

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

2 GAMBARAN UMUM UNIT PERIKANAN TONDA DENGAN RUMPON DI PPP PONDOKDADAP

I. PENDAHULUAN. dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan laut di Kabupaten Malang Jawa

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial. Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE)

4 HASIL. Gambar 4 Produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru tahun

Kata kunci: Citra satelit, Ikan Pelagis, Klorofil, Suhu, Samudera Hindia.

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA)

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor. yang sangat berfluktuasi dari tahun ke tahun. Kemungkinan ini disebabkan karena

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan,

Lokasi penelitian di UPPPP Muncar dan PPN Pengambengan Selat Bali (Bakosurtanal, 2010)

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PERIKANAN TUNA SKALA RAKYAT (SMALL SCALE) DI PRIGI, TRENGGALEK-JAWA TIMUR

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

seine yang digunakan sebagai sampel, ada 29 (97%) unit kapal yang tidak

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Oseanografi Arah dan Kecepatan Angin Suhu Permukaan Laut

3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Pulau Panjang (310 ha), Pulau Rakata (1.400 ha) dan Pulau Anak Krakatau (320

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES JOURNAL Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman 1-8 Online di :

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin

Daerah Penangkapan Ikan (fishing ground) Oleh: Ririn Irnawati

PENDAHULUAN Latar Belakang

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS

3. METODE. penelitian dilakukan dengan beberapa tahap : pertama, pada bulan Februari. posisi koordinat LS dan BT.

BAB III METODE PENELITIAN

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN PELAGIS BESAR MEMAKAI ALAT TANGKAP FUNAI (MINI POLE AND LINE) DI KWANDANG, KABUPATEN GORONTALO

Tengah dan Selatan. Rata-rata SPL selama penelitian di Zona Utara yang pengaruh massa air laut Flores kecil diperoleh 30,61 0 C, Zona Tengah yang

Jurnal Geodesi Undip Januari 2014

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

5 HASIL PENELITIAN 5.1 Jumlah Produksi YellowfinTuna

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C

Daerah penangkapan ikan pelagis kecil di Selat Sunda yang diamati dalam

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGGUNAAN PANCING ULUR (HAND LINE) UNTUK MENANGKAP IKAN PELAGIS BESAR DI PERAIRAN BACAN, HALMAHERA SELATAN

Hubungan Upwelling dengan Jumlah Tangkapan Ikan Cakalang Pada Musim Timur Di Perairan Tamperan, Pacitan

I. INFORMASI METEOROLOGI

BEBERAPA JENIS PANCING (HANDLINE) IKAN PELAGIS BESAR YANG DIGUNAKAN NELAYAN DI PPI HAMADI (JAYAPURA)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Rochmady Staf Pengajar STP - Wuna, Raha, ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI

G U B E R N U R SUMATERA BARAT

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM PENELITIAN PERIKANAN DAN KELAUTAN 1) oleh Dr. Ir. Mukti Zainuddin, MSc. 2)

POKOK BAHASAN : ANGIN

I. INFORMASI METEOROLOGI

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Transkripsi:

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Rumpon (Fish Aggregating Device) dan Kondisi Hydro-oseanografi di Area Fishing Ground Keberadaan populasi ikan di suatu perairan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Dalam konsep biologi ikan, faktor-faktor tersebut terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu yang bersifat biotik dan abiotik. Faktor biotik meliputi proses biologi yang terjadi akibat pengaruh dari dalam tubuh ikan, sebagai respons terhadap perubahan lingkungan di mana ikan tersebut berada. Sedangkan respon ikan terhadap pengaruh dari luar terjadi dalam bentuk interaksi antar organisme yang menghuni perairan tempat populasi ikan berada sebagai habitatnya. Interaksi terjadi biasanya dalam bentuk hubungan pemangsaan (predator-prey) atau persaingan makanan (food competition). Faktor abiotik adalah faktor-faktor lingkungan perairan yang lebih bersifat fisik dan kimia seperti klimatologi, arus, ketersediaan unsur hara, oksigen, nitrat, fosfat, suhu dan salinitas. Kedua faktor tersebut, yaitu abiotik dan biotik, merupakan unsur utama dalam penentuan tinggi rendahnya kelimpahan suatu populasi atau stok sumberdaya ikan di suatu perairan. Berdasarkan hubungan interaksi dari faktor biotik dan abiotik tersebut, dalam penelitian ini, telah dikaji faktor abiotik di perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa, khususnya yang dijadikan fishing ground oleh nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru yang menangkap Madidihang. Atas ketersediaan data, dalam penelitian ini telah dikaji faktor abiotik utama yang berpengaruh langsung terhadap populasi Madidihang, yaitu suhu, oksigen dan klorofil-a. Sedangkan data ikan yang dikaji meliputi data sebaran ikan secara spasial, yaitu data yang diperoleh dari rumpon sebagai fishing ground yang berada di titik koordinat 1103 00'-115 00' BT dan 9 00' - 12 0' LS). Data hasil tangkapan yang dikaji, meliputi data temporal dari kurun waktu tahun 2003 sampai 2010. Dengan demikian, diharapkan informasi ini bisa menjelaskan keberadaan sumberdaya Madidihang di perairan tersebut, pada kurun waktu antara tahun 2003 hingga tahun 2010 yang ditangkap oleh nelayan sekoci.

58 Sebagian besar nelayan Sendang Biru dalam menangkap ikan memperhatikan cuaca dan unsur terkait yang berhubungan dengan keselamatan melaut dan keberadaan ikan di lokasi rumpon. Penyesuaian nelayan terhadap faktor cuaca dan musim dalam penelitian ini dikaji, terutama mengenai: keberadaan rumpon, musim menangkap, spesies dan ukuran yang tertangkap. Diharapkan dari penelitian ini diperoleh ketersediaan data dan informasi hasil tangkapan nelayan kecil, yang selama ini belum tersedia secara spesifik dari nelayan Indonesia (IOTC 2010) dan kajian ilmiah interaksi antara Madidihang dengan kondisi hidro-oseanografis, sehingga diperoleh informasi lingkungan yang ideal yang disukai Madidihang. 4.1.1 Rumpon atau Fish Aggregating Devices (FADs) Rumpon telah digunakan untuk meningkatkan efektivitas hasil tangkapan pada industri perikanan tangkap besar yang menggunakan alat tangkap purse seine dan long line, juga pada perikanan tangkap artisanal yang menggunakan alat tangkap handline. Di Samudera Atlantik dan Samudera Hindia hampir 75% hasil tangkapan Cakalang (Katsuwonus pelamis), 35% Madidihang (Thunnus albacores), dan 85% tuna Mata Besar (Thunnus obesus) ditangkap dengan menggunakan kapal purse seine pada rumpon. Ikan Cakalang yang tertangkap pada umumnya berukuran besar atau fase dewasa, namun untuk Madidihang dan Mata Besar berukuran kecil (< 100 cm fork length) atau fase juvenil (Hallier dan Gaertner 2008). Hasil tangkapan Madidihang di rumpon pada tahun 2010 telah mengalami peningkatan dan hampir 70% hasil tangkapan Madidihang dihasilkan oleh kapal purse seine yang diperoleh dari rumpon (Greenpeace 2010). Fenomena ini terjadi setelah diketahui bahwa spesies tuna tropis memiliki perilaku yang menyukai kepada benda pengampung di perairan. Madidihang berasosiasi dengan benda mengapung (Gooding and Magnuson 1967; Hunter and Mitchell 1967; Fonteneau 1993) dan benda bergerak lainnya pada saat beruaya, seperti kapal penangkap ikan (Fonteneau and Diouf 1994). Berdasarkan perilaku tuna tersebut nelayan membuat benda mengapung buatan yang selanjutnya disebut rumpon (Hallier dan Gaertner 2008) dan keberadaan rumpon memegang peranan penting dalam perikanan tangkap dunia (Dagorn et al. 2001). Pada perikanan tuna dengan

59 kapal tradisional telah digunakan untuk meningkatkan efisiensi hasil tangkapan nelayan tradisional di kepulauan Comoros (Cayre 2001). Seperti halnya nelayan lainnya di dunia, pada saat ini nelayan kapal sekoci Sendang Biru telah menggunakan rumpon sebagai fishing ground. Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2011 pasal 19:(2), yang dimaksud dengan rumpon adalah alat bantu untuk mengumpulkan ikan dengan menggunakan berbagai bentuk dan jenis pemikat/atraktor dari benda padat yang berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul. Penggunaan rumpon ini di mulai pada tahun 2000-an setelah nelayan Sendang Biru memperoleh pengetahuan tentang manfaat rumpon dari nelayan Sulawesi Selatan pada tahun 1998-an. Nelayan dari Sulawesi Selatan pada saat terhanyut, secara kebetulan menemukan keberadaan rumpon di perairan teritorial Indonesia, tidak jauh dari PPP Pondokdadap. Rumpon ini, kemudian diketahui merupakan milik nelayan besar yang berasal dari Filipina. Pada saat terhanyut nelayan Sulawesi Selatan tersebut melakukan kegiatan pemancingan di rumpon dan dalam waktu sekitar 2-4 jam memancing memperoleh hasil sekitar 2 ton ikan tuna. Keberadaan rumpon Filipina tersebut, sesungguhnya sudah diketahui lama oleh nelayan Sendang Biru, karena pada saat melaut nelayan Sendang Biru sering kali bertemu dengan nelayan kapal besar yang berbendera Filipina. Namun manfaatnya baru diketahui setelah adanya transformasi pengetahuan dari nelayan sekoci Sulawesi Selatan yang membongkar-muat ikan hasil tangkapan di PPP Pondokdadap pada saat terhanyut tersebut. Pada mulanya keberadaan rumpon Filipina tersebut sering diputus oleh nelayan lokal Sendang Biru karena dianggap mengganggu nelayan lokal Sendang Biru yang pada umumnya menggunakan alat tangkap payang. Menurut hasil wawancara dengan nelayan, diperoleh tiga alasan terjadinya pemutusan rumpon tersebut: (1) nelayan tidak mengerti akan manfaat dari rumpon,(2) hasil tangkapan berkurang setelah kedatangan kapal besar dari Filipina, dan (3) alat tangkapnya sering tersangkut pada rumpon pada saat beroperasi. Penggunaan rumpon oleh nelayan Sendang Biru, dianggap berperan penting sebagai alat bantu dalam penangkapan. Dari hasil wawancara dengan nelayan, seluruh responden mengerti manfaat dari rumpon, yaitu: (1) sebagai tempat

60 mencari makan, berteduh dan beristirahat ikan tuna sebagai ikan target utama, (2) diperoleh tingkat kepastian akan hasil tangkapan yang lebih tinggi, (3) hasil tangkapan besar (4) biaya operasioanal relatif rendah, akibat perubahan pola tangkapan dari hunting menjadi fishing (harvesting), dan (5) memperpanjang masa tangkapan, dari 6 bulan menjadi 8-10 bulan, bahkan ada yang melaut sampai 12 bulan. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 02 tahun 2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan yang mencantumkan rumpon sebagai salah satu alat bantu penangkapan ikan. Atas dasar manfaat tersebut, maka keberadaan rumpon di area tangkap semakin pesat perkembangannya. Pengetahuan tentang pola migrasi ikan tuna dan fungsi rumpon sebagai shelter ikan tuna, digunakan sebagai acuan dalam penentuan penempatan lokasi rumpon. Nelayan memiliki keyakinan bahwa semakin jauh dari garis pantai, maka arusnya akan besar dan lautnya semakin dalam, sehingga karakteristik ini oleh nelayan diduga sebagai tempat migrasi ikan tuna, selain alasan lainnya. Penentuan peletakan posisi rumpon dilakukan secara intuisi dan pengalaman dari nahkoda, di samping pada mulanya menjauhkan posisi rumpon dari jangkauan kapal armada lainnya, seperti Sampan Pakisan, Jukung dan payangan yang dimiliki oleh nelayan lokal Sendang Biru yang dianggap mengganggu. Pada tahun 2010 jumlah rumpon yang dimiliki oleh Nelayan Sendang Biru sekitar 80 unit. Rumpon ini dijadikan fishing ground, khsusus untuk armada kapal jenis sekoci yang menggunakan alat tangkap pancing ulur (hand line). Posisi rumpon tersebut dipasang oleh nelayan sekoci dan tersebar di antara titik koordinat 110-115 BT dan 9-12 LS, yang dipasang pada kedalaman laut antara 3 000-6 000 m (Gambar 5), sehingga dikategorikan sebagai rumpon laut dalam yang permanen. Rumpon dirancang dan dibuat secara berkelompok oleh pemilik kapal. Akan tetapi bagi yang memiliki kapal sekoci lebih dari 4-5 unit per orang, maka biaya pembuatan rumpon sepenuhnya ditanggung sendiri, sedangkan untuk yang memiliki kapal sekoci 1 sampai 3 unit/orang, biaya ditanggung secara bersama atas dasar kesepakatan. Adapun biaya untuk pembuatan satu unit rumpon pada tahun 2010 sekitar Rp 75 000 000.

61 Gambar 5 Sebaran rumpon nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru sebagai fishing ground.(sumber: Base map ODV versi 3). Pada mulanya rumpon dibuat dengan mencontoh rumpon yang dimiliki oleh nelayan dari Filipina, namun seiring dengan kedatangan nelayan sekoci dari Sinjai Sulawesi Selatan, desainnya berubah berdasarkan kepada pengetahuan yang dibawa dari Sulawesi Selatan. Modifikasi utama dilakukan pada penggunaan pelampung, yang semula menggunakan bahan yang terbuat dari besi/baja yang berbentuk kapsul, diganti dengan pelampung yang berbahan styrofoam. Bahan lain yang digunakan adalah rumbai daun kelapa dan tali serat, atraktor dari tali rapia, compact disk (CD) dan ban bekas, tali baja, dan tali serat yang berukuran besar dengan panjang 6 000 hingga 12 000 m. Sedangkan sebagai pemberat digunakan bahan dari semen (Gambar 6). Modifikasi ini dilakukan dengan tujuan penghematan biaya pembuatan, karena jangka waktu pakainya tidak menentu. Pada saat ini keberadaan rumpon nelayan Sendang Biru seringkali hilang, menurut hasil wawancara hal tersebut terjadi akibat: (1) hanyut atau putus karena tidak pas peletakan posisi rumpon, dimana pemberat tidak berada di dasar laut akan tetapi jatuh di atas puncak gunung laut, sehingga pada saat ada arus, angin dan gelombang besar pelampung hanyut karena pemberat menggantung, (2) diputus oleh nelayan dari luar Kabupaten Malang terutama oleh nelayan dari Benoa, yang memasang long line. Posisi rumpon dianggap mengganggu, karena berada dalam alur penangkapan nelayan Benoa, sering kali long line milik nelayan Benoa tersangkut pada baling-baling kapal sekoci, (3) terputus oleh nelayan purse seine dari Pekalongan dan Muara Angke.

62 Gambar 6 Rumpon laut dalam (3 000-6 000 m) nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru. Kondisi tersebut di atas menimbulkan permasalahan bagi nelayan sekoci Sendang Biru. Permasalahan ini dirasakan oleh nelayan Sendang Biru sejak tahun 2008, namun penyelesaian masalah baru dilakukan pada tanggal 24 Maret tahun 2009 yang dilakukan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Dinas Kelautan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Keputusan dari penyelesaian masalah tersebut, diantaranya: (1) pengecekan dan pembinaan kepada nelayan andon dari Jawa Tengah terhadap dokumen kapal penangkapan dan surat andon pada kapal yang melakukan andon ke Jawa Timur, dan sebaliknya, (2) melaksakan pengawasan di wilayah rawan konflik. Akan tetapi di lapangan kesepakatan ini belum dirasakan oleh nelayan Sendang Biru, penjarahan di rumpon tersebut terus berlangsung. Sedangkan dengan nelayan long line dari Benoa sampai saat ini belum dilakukan penyelesaian, karena nelayan Sendang Biru dengan kapal berbobot 10 GT, dianggap menyalahi aturan alur penangkapan, sebagaimana diatur Keputusan Menteri Pertanian Nomor 392 tahun 1999, tentang alur penangkapan dimana perairan ZEEI merupakan alur penangkapan kapal besar, bukan untuk kapal 10 GT. Permasalahan gangguan rumpon nelayan Sendang Biru tersebut tidak bisa diselesaikan berdasarkan koordinasi antara pemerintah provinsi, namun harus dilakukan di tingkat nasional, karena terjadi di wilayah ZEEI yang yuridiksinya berada dalam kewenangan nasional, sebagaimana di atur dalam UU No 32 tahun 2004. Secara yuridis keberadaan rumpon nelayan Sendang Biru di perairan ZEEI, masih belum jelas, izin

63 pemasangan rumpon baru diatur untuk perusahaan perikanan besar sebagaimana yang tercantum pada pasal 9 ayat 1 Keputusan Menteri Pertanian nomor 51/Kpts/IK.250/1/1997 pasal 12, yang diperbaharui oleh Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan dengan Nomor 30 tahun 2004. Pengaturan tentang perlindungan dan pengelolaan untuk rumpon yang dipasang oleh nelayan kecil belum diperhatikan, baru sebatas letak posisi dan persyaratan pemasangan. Kondisi tersebut membuat lemah secara hukum, sehingga pada saat ini rumpon nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru keberadaannya terancam. Menurut Pitcher dan Preikshot (2001) penggunaan rumpon tersebut dianggap mengganggu kelestarian sumberdaya ikan tuna Madidihang dan Mata besar, karena menurut Hallier dan Gaertner (2008) pada umumnya yang tertangkap berukuran kecil (<100 cm fork length) atau fase juvenil, sementara kondisi stok ikan tersebut di Samudera Hindia dan Atlantik diestimasi sudah mendekati overexploited\ atau telah di atas MSY (maximum sustainable yield). Besarnya tangkapan fase juvenil tersebut dianggap mengancam populasi tuna di kedua perairan tersebut, sehingga penggunaan rumpon oleh perusahaan besar dilakukan moratorium oleh badan yang mengelola sumberdaya ikan tuna tersebut, seperti IOTC di Samudera Hindia. Berdasarkan hasil moratorium tersebut, kapalkapal dengan alat tangkap besar dengan menggunakan purse seine pada rumpon dianggap tidak ramah lingkungan dan tidak selektif, karena selain hasil tangkapan utamanya ikan berukuran kecil juga banyak by-catch yang tertangkap, seperti ikan lumba-lumba, sebaliknya untuk kapal-kapal yang menggunakan alat tangkap handline penggunaan rumpon sangat membantu dan baik untuk digunakan, karena selain meningkatkan efisiensi penangkapan juga sangat selektif sehingga tidak berdampak negatif terhadap kelimpahan ikan tuna. Berdasarkan kenyataan tersebut, keberhasilan nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru dalam hal pemanfaatan ikan Madidihang yang ada di perairan ZEEI samudera Hindia, khususnya di Selatan Jawa Timur, sangat ditentukan oleh keberadaan rumpon tersebut. Dengan demikian, adanya tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap rumpon tersebut oleh kapal sekoci, pada akhirnya akan menentukan tingkat keberlanjutan dari kegiatan perikanan tuna yang dilakukan oleh masyarakat. Agar tingkat keberlanjutan perikanan tangkap

64 tuna masyarakat Sendang Biru terjaga, maka keberadaan rumpon mutlak diperlukan namun perlu pengaturan lebih lanjut, terutama jarak antara rumpon, letak posisi, sehingga tidak mengganggu alur penangkapan atau pelayaran lainnya. 4.1.2 Kondisi Hidro-Oseanografi Perairan Fishing Ground 4.1.2.1 Angin Muson dan Musin Penangkapan Ikan Kegiatan penangkapan ikan tuna di perairan ZEEI oleh nelayan kecil pada umumnya sangat bergantung kepada kondisi hidro-oseanografi dari perairan Selatan Jawa, terutama kecepatan angin. Kondisi angin muson diamati oleh nelayan, bukan untuk menentukan keberadaan ikan, akan tetapi untuk memperoleh keselamatan pada saat mencapai fishing ground karena kapal nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru berukuran kecil (panjang 16 m, lebar 3.5 m dan tinggi 1.2 m) dengan bobot 10 GT. Upaya untuk menyiasati kondisi faktor angin muson tersebut, nelayan sekoci merujuk terhadap perubahan angin muson yang berlaku di Selatan Jawa. Pengetahuan tentang musim, diperoleh secara turun temurun dari pengalaman. Nelayan membagi musim dalam 4 periode, yaitu: (1) musim barat: Desember- Februari, (2) musim peralihan I: Maret-Mei, (3) musim timur: Juni-Agustus, dan (4) musim peralihan II: September-November. Pembagian musim ini sesungguhnya sudah sesuai dengan pembagian musim yang dilakukan oleh (Wyrtki 1961). Produksi dan upaya nelayan sekoci di rumpon contoh, dari 27 unit kapal sekoci contoh yang diamati tersaji pada Tabel 3. Tabel 3 Produksi dan ukuran Madidihang berdasarkan musim (2003-2010) Musim Trip Ukuran Ikan Jumlah 1-2 kg 2-9 kg 10-20 kg > 20 kg (kg) Barat (Des-Feb) 178 6 485 54 993 8 548 5 345 75 549 Peralihan I (Maret-Mei) 669 15 936 116 368 30 556 137 701 301 230 Timur (Juni-Agustus) 954 7 791 246 151 143 607 153 415 551 918 Peralihan II (Sep-Nov) 575 17 012 213 607 23 139 35 876 290 209 Sumber:Hasil analisis. Dari Tabel 3 diperoleh gambaran bahwa nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru dari tahun 2003 sampai 2010 sepanjang bulan terus melakukan kegiatan penangkapan Madidihang di rumpon. Pada musim barat (Desember-

65 Februari) diperoleh produksi terendah, yaitu 75 549 kg dengan upaya tangkap 178 trip. Rendahnya produksi tersebut, karena telah berlangsung musim barat. Pada musim barat sebagian besar ABK sekoci beristirahat dan digunakan untuk pulang kampung ke Sulawesi Selatan sedangkan pemilik kapal melakukan perbaikan dan perawatan kapal. Namun, bagi yang tidak pulang kampung dan kondisi kapal dalam keadaan prima, kegiatan penangkapan tetap dilakukan, terutama di rumpon yang relatif dekat dari PPP Pondokdadap. Pada bulan April-Mei (musim peralihan 1), produksinya mulai meningkat, yaitu 301 230 kg. Pada periode ini walaupun di perairan selatan Jawa masih bertiup angin kencang namun arah angin tidak menentu karena pada periode ini menurut Tchernia (1980) terjadi musim pancaroba awal tahun. Meningkatnya produksi Madidihang di PPP Pondokdadap disebabkan karena kegiatan perikanan tangkap tuna di rumpon baru dimulai setelah berhentinya kegiatan penangkapan pada musim barat. Pada musim ini walaupun anginnya masih tergolong kencang akan tetapi dianggap kecepatan angin mulai mereda setelah berakhirnya musim barat. ABK yang pulang pada musim barat, pada umumnya kembali pada akhir bulan Februari, untuk melakukan persiapan penangkapan pada awal bulan Maret. Pada awal bulan Maret nelayan sekoci melaut untuk memperbaiki rumpon yang rusak selama musim barat, atau melakukan pemasangan rumpon lagi apabila hilang. Kegiatan selanjutnya efektif berlangsung sampai pertengahan bulan November menjelang masuk ke periode musim barat. Kegiatan penangkapan ikan tuna di rumpon paling besar dilakukan pada bulan Mei hingga Oktober, puncaknya pada bulan Juni-Agustus dengan jumlah upaya tangkap dan produksi masing-masing adalah 954 trip dan 551 918 kg. Pada bulan tersebut, menurut Clark et al. (1999), di Samudera Hindia berlangsung musim timur, dimana angin bertiup dari belahan bumi selatan. Akibatnya terjadi akumulasi kelembaban dan presipitasi yang tinggi di daratan Asia, sehingga angin tidak besar. Selain fenomena angin, pada musim timur tersebut di selatan Jawa berlangsung fenomena upwelling, yaitu terjadinya percampuran massa air secara vertikal maupun horisontal yang merupakan proses dinamika massa air yang berlangsung di perairan timur laut Samudera Hindia. Informasi fenomena tersebut, oleh nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru digunakan untuk

66 menempatkan posisi rumpon karena nelayan mengetahui bahwa area upwelling merupakan tempat yang banyak ikannya. Hal ini terlihat dari hasil analisis rumpon sebagian besar berada pada posisi 112 00'-115 00' BT dan 9 00' - 12 0' LS tempat terjadinya upwelling. Hal ini dikuatkan oleh Susanto et al. (2001), bahwa pada masa angin muson timur di sepanjang perairan pantai barat Sumatera dan selatan Jawa terjadi upwelling, walaupun menurut Wyrtki (1961), upwelling di selatan Jawa terjadi secara temporal dan menempati zona di sepanjang batas arus pantai Jawa dan arus khatulistiwa selatan. Pada bulan September-November (masa peralihan ke-2) kegiatan penangkapan ikan mulai menurun (575 trip) dengan produksi 290 209 kg jika dibandingan dengan musim timur, akan tetapi masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan musim peralihan pertama. Kondisi perairan pada saat musim pancaroba ke-2 hampir sama dengan musim pancaroba ke-1. Menurut Tchernia (1980) pada bulan tersebut dinamakan musim pancaroba akhir tahun, dimana kondisi kecepatan angin mulai meningkat, namun arahnya tidak menentu. Armada yang berukuran kecil, seperti ukuran armada tangkap sekoci nelayan Sendang Biru di Indonesia, pada saat terjadinya angin musim barat dan musim peralihan umumnya berhenti melaut. Akan tetapi di Sendang Biru, kondisi angin pada musim barat tersebut tidak menyurutkan sebagian ABK Sekoci untuk pergi melaut, walaupun di perairan selatan Jawa kondisi cuacanya buruk. Menurut Tchernia (1980) pada musim barat, kecepatan angin paling besar karena angin bertiup dari daratan Asia menuju daratan Australia sebagai akibat pengaruh pergantian musim di belahan bumi utara (daratan Asia) yang sedang berlangsung musim dingin, sebaliknya di belahan bumi selatan (daratan Australia) terjadi musim panas. Nelayan Sendang Biru akan berhenti melakukan kegiatan penangkapan, bukan karena faktor musim semata, akan tetapi faktor sosial budaya yang lebih diutamakan. Kegiatan penangkapan akan berhenti secara total, pada saat memperingati hari-hari besar keagamaan, seperti hari raya Idhul Fitri dan Idhul Adha, hari besar kenegaraan pada tanggal 17 Agustus dan pelaksanaan budaya adat petik laut yang dilaksanakan setiap tanggal 27 November.

67 Berdasarkan uraian tersebut di atas disimpulkan bahwa hidro-oseanografis di Selatan Jawa bukan menjadi pembatas dalam kegiatan penangkapan Madidihang di rumpon yang terletak di ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa. Masa tangkap ikan berlangsung sepanjang tahun, namun masa efektif 8 bulan yang di mulai pada bulan April sampai November. Nelayan tangkap sekoci tidak menghiraukan faktor iklim lainnya seperti, bulan purnama, berbeda dengan kapal armada payangan dan kapal tardisional lainnya di Indonesia. Adanya perbedaan tersebut, diantaranya disebabkan oleh adanya pola tangkap yang berbeda, yaitu untuk nelayan payangan dengan pola tangkap ikan yang berburu (hunting). Pada pola ini selain di pengaruhi oleh kondisi angin, dipengaruhi juga oleh kondisi bulan. Dari hasil wawancara dengan nelayan payangan, diperoleh informasi bahwa pada saat bulan purnama kegiatan penangkapan ikan berhenti, karena pada saat bulan purnama keberadaan gerombolan ikan tidak terlihat. Sedangkan pada saat tidak ada cahaya bulan gerombolan ikan tersebut terlihat jelas karena sisik ikan memantulkan cahaya mengkilat. Bagi nelayan sekoci keberadaan bulan purnama tidak menjadi pembatas, dengan alasan: 1) lama trip berlangsung 7-10 hari, pada saat bulan purnama digunakan untuk perjalanan menuju rumpon, sehingga pada saat sampai rumpon bulan purnama sudah berakhir dan 2) pola tangkap tidak mencari ikan (hunting), akan tetapi memancing (fishing) di rumpon yang dilakukan pada siang hari, sehingga pengaruh bulan purnama diabaikan. 4.1.2.2 Suhu Madidihang (Thunnus albacares) sebagai ikan pelagis sebaran vertikalnya dipengaruhi oleh stuktur dari kolom air, karena menurut Bril et al. (1998), sekitar 60-80% dari hidupnya berada di lapisan campuran dan termoklin di atas 100 m, terutama untuk ikan dewasa yang berukuran 64-93 kg. Sedangkan untuk yang berukuran juvenil berada di lapisan campuran. Song et al. (2008) menyatakan, selain di lapisan campuran dan termoklin, Madidihang, juga sering kali hidup di bawah lapisan termoklin, kondisi ini sangat tergantung kepada suhu, dissolved oxigen (DO) dan klorofil. Adapun kondisi yang optimal untuk masing-masing variabel tersebut di Samudera Hindia, adalah 100.0-179.9 m, 15.0-17.9ºC, 0.090 0.099 μg/l, dan 2.50 2.99 μg/l, sedangkan salinitas tidak begitu berpengaruh terhadap pergerakan vertikal dari ikan tuna tersebut. Namun, secara umum suhu

Kedalaman (m) Kedalaman (m) 68 ideal untuk sebaran tuna adalah 26 o C-32 o C (Gunarso (1996), sedangkan menurut Silas (1962) hidup pada temperatur 16 o C-30 o C dengan temperatur optimum 28 o C. Dengan demikian, untuk mengetahui lapisan campuran (mixed layer), termoklin (thermocline) dan lapisan dalam (dept layer) di area penangkapan nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru dilakukan analisis mengenai sebaran suhu melintang dan menegak dari kolom air yang ada di rumpon. 4.1.2.2.1 Analisis Sebaran Suhu Menegak dan Melintang di Fishing Ground Sebaran menegak suhu di perairan selatan Jawa Timur, diperoleh dari hasil perhitungan sebaran suhu pada sampel dalam tiga transek pada rentang titik koordinat 110-114.5 BT dan 9-12 LS pada sebaran suhu dari bulanan Januari sampai Desember 2009. Transek pertama (I) berada di titik koordinat 10.22 LS dan 114.54 BT, transek ke-dua (II) pada 10.22 LS dan 112.45 BT, dan transek ke-tiga (III) pada 10.28 LS dan 111.94 BT. Data sebaran suhu menegak dari lapisan campuran (mixed layer), termoklin (thermocline) dan lapisan dalam (dept layer) pada masing-masing transek di rumpon nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru disajikan pada Gambar 7. 114. 54566 67BT -10. 2228LS (T imur ) suhu( 0 C) 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 0 0 113.4556667 BT -10.2836 LS (Tengah) suhu ( 0 C) 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 0 0 111.9417778 BT -10.4052 LS (Barat) suhu ( 0 C) 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 0 0 0 2 4 6 8 0 2 4 6 8 0 400 400 400 400 400 400 m) ( n a m l a K eda 1200 0 0 800 0 I F ebruari Mare t Janu ar i 1600 1600 8 10 12 14 18 20 24 26 28 30 Apr il Mei Juni Juli Agust us September Oktober Novembe r Desembe r 800 1200 800 800 Januari Februari Maret April Mei Juni 1200 Juli 1200 Agustus September Oktober November II Desember 1600 1600 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 800 1200 1600 III Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember 160 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 800 120 0 Gambar 7 Sebaran menegak suhu bulanan ( 0 C) tahun 2009 di selatan Jawa. Grafik warna merah mewakili bulan musim barat, sedangkan grafik warna biru merupakan bulan musim timur pada transek I,II dan III (Sumber: Hasil analisis dari data NOAA). Pada Gambar 7, dapat dilihat bahwa pada masing-masing transek, suhu menegak pada area rumpon (fishing ground) menggambarkan pola yang sama dan umum yaitu terjadi perubahan suhu yang semakin menurun seiring perubahan

69 tingkat kedalaman kolom air. Data mengenai perubahan suhu menegak pada kolom air di fishing ground tersaji pada Tabel 4. Tabel 4 Sebaran suhu menegak bulanan pada mixed layer, thermocline, dept layer pada transek I, II dan III tahun 2009 Bulan 10.22 LS,114.54 BT 10.22 LS,112.45 BT) 10.28 LS,111.94 BT Range Kedalaman (m) Range Suhu ( 0 C) Range Kedalaman (m) Range Suhu ( 0 C) Range Kedalaman (m) Range Suhu ( 0 C) Mixed Layer Desember 0-29 27.78-28.85 0-29 27.85-28.81 0-29 28.00-28.81 Januari 0-29 28.20-28.68 0-29 28.13-28.60 0-29 28.15-28.62 Februari 0-49 27.55-28.77 0-49 27.53-28.73 0-49 27.43-28.63 Maret 0-49 27.52-28.81 0-49 27.54-28.86 0-49 27.58-28.97 April 0-29 28.23-28.72 0-29 28.17-28.53 0-29 28.36-28.73 Mei 0-49 27.53-28.51 0-49 27.80-28.62 0-49 27.82-28.65 Juni 0-49 26.38-27.58 0-49 26.76-27.72 0-49 27.31-27.86 Juli 0-49 25.12-26.45 0-49 25.23-26.49 0-49 25.61-26.70 Agustus 0-49 24.32-26.20 0-49 24.53-26.33 0-49 25.34-26.57 September 0-49 24.73-26.55 0-49 24.03-26.64 0-49 25.43-26.73 Oktober 0-29 26.36-27.31 0-29 26.34-27.20 0-29 26.36-28.07 November 0-29 27.63-28.39 0-29 27.59-28.21 0-29 27.50-28.02 Thermocline Desember 30-199 14.12-27.72 30-199 14.07-27.81 30-199 14.16-27.95 Januari 30-149 13.24-28.17 30-199 13.77-28.11 30-149 14.05-28.12 Februari 50-149 13.67-27.51 50-199 13.57-27.49 50-149 13.57-27.39 Maret 50-199 13.51-27.48 50-199 13.53-27.49 50-199 13.56-27.53 April 30-199 13.68-28.21 30-199 13.40-28.15 30-199 13.29-28.34 Mei 50-199 13.93-27.49 50-199 13.62-27.76 50-199 13.54-27.78 Juni 50-199 13.94-26.35 50-199 14.04-26.74 50-199 14.08-27.29 Juli 50-199 14.05-25.09 50-199 14.08-25.20 50-199 14.09-25.59 Agustus 50-199 13.27-24.27 50-199 13.33-24.48 50-199 13.59-25.30 September 50-199 13.26-24.68 50-199 13.23-24.99 50-199 13.40-25.39 Oktober 30-199 13.40-26.32 30-199 13.22-26.30 30-199 13.43-26.31 November 30-199 14.21-27.59 30-199 14.04-27.55 30-199 14.10-27.46 Dept Layer Desember 200-1600 3.47-14.05 200-1600 3.49-14.00 200-1600 3.52-14.09 Januari 150-1600 3.42-13.19 200-1600 3.44-13.70 200-1600 3.46-13.98 Februari 150-1600 3.45-13.58 200-1600 3.46-13.49 200-1600 3.51-13.47 Maret 200-1600 3.42-13.44 200-1600 3.45-13.46 200-1600 3.50-13.48 April 200-1600 3.46-13.57 200-1600 3.47-13.34 200-1600 3.52-13.22 Mei 200-1600 3.49-13.86 200-1600 3.50-13.55 200-1600 3.51-13.47 Juni 200-1600 3.47-13.88 200-1600 3.45-13.98 200-1600 3.51-14.01 Juli 200-1600 3.46-13.98 200-1600 3.46-14.01 200-1600 3.45-14.02 Agustus 200-1600 3.41-13.22 200-1600 3.43-13.28 200-1600 3.44-13.54 September 200-1600 3.42-13.20 200-1600 3.42-13.17 200-1600 3.42-13.34 Oktober 200-1600 3.34-13.33 200-1600 3.30-13.15 200-1600 3.33-13.36 November 200-1600 3.47-14.15 200-1600 3.49-13.98 200-1600 3.52-14.04 Sumber: Hasil analisis dari data NOAA. Pada Tabel 4, dapat dilihat bahwa pada musim Barat (Desember-Februari), lapisan campuran pada transek I, II dan III memiliki kedalaman yang sama, yaitu 0-29 m, kecuali pada bulan Februari memiliki kedalaman 0-49 m. Demikian pula untuk suhu menegaknya, memiliki kisaran yang sama, yaitu antara 27.55ºC- 28.85ºC. Sedangkan untuk musim peralihan ke-1 (Maret-Mei), musim timur (Juni-Agustus) dan awal musim peralihan ke-2 (September) lapisan campuran terjadi pada kedalaman 0-49 m dengan kisaran suhu 24.32ºC-28.97ºC, sedangkan

70 untuk bulan Oktober-November sama dengan awal musim Barat (Desember) terjadi pada kedalaman 0-29 m dengan kisaran suhu 26.34 ºC-28.21 ºC. Pola sebaran suhu menegak untuk lapisan termoklin, memiliki pola yang yang sama dengan lapisan campuran untuk semua musim. Lapisan termoklin pada masing-masing transek, pada musim barat (Desember-Februari) terjadi pada kedalaman 30-149 m, kecuali pada bulan Desember yang masih terpengaruh musim peralihan II, lapisan termoklin berada pada kedalaman 30-199 m. Demikian pula untuk kisaran suhu pada bulan Desember berkisar antara 14.12ºC-27.72ºC, sedangkan pada bulan Januari-Februari berkisar antara 13.24º- 28.17ºC. Pada bulan Maret-Mei (peralihan ke-1) hingga pada musim timur (Juni- Agustus) lapisan termoklin terjadi pada kedalaman 50-199 m dengan suhu rataan 27.51ºC-28.81ºC dan 24.32º C-27.38ºC, sedangkan pada bulan September- November (musim peralihan ke-2) untuk bulan September, lapisan termoklin berada pada kedalaman 50-199 m dan bulan Oktober sama seperti pada musim barat lapisan termoklin terjadi pada kedalaman 30-199 m. Demikian pula untuk sebaran suhu menegaknya, yaitu berkisar 13.23-25.39ºC untuk bulan September dan bulan Oktober-November adalah 13.30-27.59º C. Secara temporal, terdapat variasi akibat perbedaan musim dimana suhu lapisan tercampur lebih dingin pada musim timur daripada musim barat. Dinginnya suhu lapisan ini pada musim timur diduga terkait proses upwelling di perairan selatan Jawa dan masuknya massa air dingin dari barat laut Australia. Sedangkan suhu hangat pada musim barat diduga akibat pengaruh masuknya massa air hangat dan ringan dari ekuator Samudera Hindia yang dibawa oleh gelombang Kelvin dan arus pantai Jawa yang mengalir ke arah timur samudera Perubahan suhu menegak yang terjadi di fishing ground, secara melintang juga memiliki pola sebaran melintang yang sama untuk masing-masing kedalaman, yaitu relatif homogen. Secara spasial tidak terdapat variasi diantara semua transek yang ada di fishing ground (Gambar 8). Gradien suhu yang tajam terdapat di lapisan atas yaitu antara isoterm 12.5 0 C dengan 25 0 C yang menandakan posisi lapisan termoklin, namun secara umum pola suhu relatif sama dengan sebaran menegaknya.

71 Gambar 8 Sebaran suhu melintang di fishing ground nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru. (Sumber: Hasil analisis dari data sebaran suhu menegak Januari-Desember 2009 yang diperoleh dari World Ocean Atlas, NOAA). Berdasarkan gambaran suhu menegak dan melintang yang relatif homogen di setiap lapisan sebagaimana diuraikan di atas, maka diperoleh gambaran umum mengenai hubungan antara suhu terhadap lapisan campuran, termoklin dan lapisan dalam dengan suhu yang sesuai dan disukai Madidihang. Dengan demikian, maka dari hasil estimasi lapisan tersebut, dapat digambarkan ketebalan masing-masing lapisan pada perairan selatan Jawa yang menjadi fishing ground (9º-12º LS, 110º- 115º BT) nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru, sebagai berikut: 1) Lapisan campuran terjadi sampai pada kedalaman 29 m pada musim barat dan 49 m musim timur, lapisan termoklin terjadi sampai pada kedalaman 149 pada musim barat dan 199 m untuk musim timur. Suhu stabil sekitar 27-28º C hingga kedalaman 50 m. Selanjutnya menurun secara gradual dari suhu sekitar 27ºC sampai suhu 14º pada kedalaman 200 m. Pada lapisan dalam dimulai pada kedalaman 200 m, secara gradual suhu menurun dari suhu 14.05º hingga suhu 3.42ºC pada kedalaman 1600 m. 2) Fase larva hingga juvenil Madidihang menyukai lingkungan lapisan campuran yang memiliki suhu hangat, biasanya suhu yang disukai berada di atas 27ºC (Conand dan Richards 1982; Marsac 2002). Dengan demikian, dapat diduga bahwa di fishing ground merupakan habitat yang sesuai dengan fase tersebut karena sesuai dengan suhu persyaratan optimumnya, yaitu

72 hingga kedalaman 49 m dari permukaan memiliki suhu yang stabil, yakni di atas 27ºC hingga 28ºC. 3) Fase waktu dewasa pada umumnya di Samudera Hindia berada pada lapisan termoklin, dengan suhu optimal pada kisaran 13-24ºC (Mohri dan Nishida (2000). Sedangkan menurut Rajapaksa et al. (2010), untuk ikan besar dengan ukuran 205-215 cm menyukai suhu yang hangat, yaitu antara 28-30ºC. Hal ini berarti, ikan tuna berada di lapisan campuran dan termoklin. Dengan demikian, maka keberadaan ikan tuna dewasa di fishing ground nelayan Sendang Biru berada dari permukaan hingga sampai kedalaman 200 m. 4.1.2.2.2 Analisis Sebaran Suhu Permukaan di Selatan Jawa Sebaran suhu permukaan laut pada umumnya tidak memiliki hubungan yang langsung dengan keberadaan Madidihang di Samudera Hindia akan tetapi umumnya berhubungan erat dengan kelimpahan klorofil-a dan perubahan musim. Perubahan suhu permukaan laut secara periodik di perairan selatan Jawa terjadi pada setiap pergantian angin musim. Pada musim barat hingga peralihan ke-2 (Desember-Mei) suhu permukaan laut di selatan Jawa berkisar antara 23.42 0 C- 29.02 0 C. Pada periode ini, peningkatan suhu permukaan laut dimulai pada bulan Desember dan mencapai puncaknya pada bulan Maret. Pada bulan April hingga Mei suhu permukaan laut bergerak turun namun tetap lebih tinggi dibandingkan suhu permukaan laut musim timur (Tabel 5). Tabel 5 Kisaran suhu dan suhu dominan permukaan laut pada musim barat dan peralihan ke-1 (Desember 2005 - Mei 2010) No Bulan Kisaran Suhu ( 0 C) Suhu Dominan ( 0 C) 1 Desember 25.84-29.32 28.00-28.50 2 Januari 27.07-28.72 28.00-28.50 3 Februari 27.44-9.16 28.00-28.75 4 Maret 26.76-29.20 28.50-29.00 5 April 27.52-29.58 28.50-28.75 6 Mei 26.80-29.34 28.50-28.70 Sumber:Hasil analisis dari data (NOAA). Berdasarkan orientasi meridional (utara-selatan), pada musim barat terdapat kecenderungan suhu permukaan laut makin rendah ke arah dekat pantai (Gambar 9). Pada daerah 10 0 LS - 12 0 LS suhu permukaan laut bagian timur Jawa Timur dan Bali cenderung lebih tinggi dibandingkan daerah barat Jawa. Sedangkan di

73 daerah pantai sebaran suhu permukaan laut cenderung bervariasi berdasarkan orientasi zonal (timur-barat). Suhu permukaan laut pada musim timur hingga peralihan ke-2 (Juni-November) di sajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Kisaran suhu dan suhu dominan permukaan laut pada musim timur dan peralihan ke-2 (Juni 2005 - November 2010) No Bulan Kisaran Suhu ( 0 C) Suhu Dominan ( 0 C) 1 Juni 25.61-28.70 26.75-27.25 2 Juli 24.05-27.90 25.75-26.50 3 Agustus 23.42-27.66 25.00-25.75 4 September 23.65-27.76 26.00-26.50 5 Oktober 24.24-28.33 27.00-27.50 6 November 26.18-29.02 27.50-28.25 Sumber:Hasil analisis dari data (NOAA). Dari Tabel 6, diperoleh gambaran bahwa sebaran suhu permukaan laut pada musim timur hingga peralihan ke-2, berkisar antara 25.84 0 C-29.58 0 C. Suhu permukaan laut tersebut menurun pada bulan Juni dan mencapai suhu terendah pada bulan Agustus. Pada bulan September hingga November suhu permukaan laut mulai meningkat kembali dengan nilai yang lebih rendah bila dibandingkan nilai suhu permukaan laut pada musim barat. Seperti halnya musim barat, pada musim timur terdapat kecenderungan suhu permukaan laut yang semakin rendah ke arah pantai. Berdasarkan orientasi zonal, suhu pada bagian timur (selatan Bali) cenderung lebih tinggi dibandingkan daerah barat (selatan Jawa). Gambaran perubahan sebaran spasial dari suhu permukaan laut rataan bulanan pada musim timur hingga peralihan ke-2 disajikan pada Gambar 10. Rendahnya suhu permukaan laut pada musim timur terkait dengan proses upwelling di sepanjang perairan selatan Jawa yang diantaranya dibangkitkan oleh pergerakan angin muson tenggara. Upwelling dicirikan oleh penaikan massa air lapisan bawah yang lebih dingin dan kaya nutrien ke lapisan atas perairan. Pada seluruh bulan di musim timur suhu terendah terdapat di pantai Jawa Timur hingga Bali yang diduga sebagai penyebab wilayah perairan tersebut merupakan fishing ground yang paling potensial di selatan Jawa.

74 (a) (b) (c) (d) (e) (f) Gambar 9 Rataan sebaran suhu permukaan laut bulanan ( 0 C) pada musim barat periode Desember 2005-Mei 2010; (a) Desember, (b) Januari, (c) Feruari, (d) Maret, (e) April, dan (f) Mei. (Sumber: Hasil analisis dari data sebaran suhu permukaan laut Januari 2005-Desember 2010 yang diperoleh melalui citra Aqua Modis level 3 dari situs: http// www.oceancolor.gsfc.nasa.gov/cgi/l3?per=day).

73 (a) (b) (c) (d) (e) (f) Gambar 10 Rataan sebaran suhu permukaan laut bulanan ( 0 C) pada musim timur periode Juni 2005-November 2010; (a) Juni, (b) Juli, (c) Agustus, (d) September, (e) Oktober, dan (f) November. (Sumber: Hasil analisis dari data sebaran suhu permukaan laut Januari 2005- Desember 2010 yang diperoleh melalui citra Aqua Modis level 3 dari situs: http// www.oceancolor.gsfc.nasa.gov/cgi/l3?per=day). 75

76 4.1.2.3 Analisis Sebaran Klorofil-a Konsentrasi klorofil-a di perairan selatan Jawa sebarannya tersaji pada Tabel 7. Sedangkan secara visual untuk konsentrasi klorofil-a dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12. Tabel 7 Sebaran Konsentrasi Klorofil-a di Selatan Jawa (2005-Desember 2010) Musim Barat-Peralihan 1 Musim Timur-Peralihan2 Bulan Minimum (mg/l) Maksimum (mg/l) Bulan Minimum (mg/l ) Maksimum (mg/l) Desember 0.07 1.99 Juni 0.14 4.84 Januari 0.08 1.41 Juli 0.15 5.28 Februari 0.07 1.18 Agustus 0.15 5.96 Maret 0.07 1.39 September 0.15 5.22 April 0.08 2.09 Oktober 0.11 5.24 Mei 0.10 3.38 November 0.09 2.77 Rataan 0.08 1.91 Rataan 0.13 4.88 Sumber:Hasil analisis dari data (NOAA). Pada musim barat hingga peralihan ke-1 (Desember-Mei), pada Gambar 11 (a)-(f), konsentrasi klorofil-a di perairan selatan Jawa berkisar antara 0.07 mg/l - 3.38 mg/l. Konsentrasinya pada bulan Desember dan Mei relatif tinggi dibandingkan bulan lainnya. Kisaran konsentrasi klorofil-a bulan Desember dan Januari berturut-turut adalah 0.07 mg/l-1.98 mg/l dan 0.08 mg/l-1.41 mg/l. Konsentrasi klorofil-a terendah terjadi pada bulan Februari, dimana konsentrasi klorofil-a hanya sekitar 0.07 mg/l-1.18 mg/l. Konsentrasi klorofil pada bulan Maret dan April adalah 0.07 mg/l-1.39 mg/l dan 0.08 mg/l-2.09 mg/l. Rendahnya konsentrasi klorofil-a pada bulan Februari-April, selain karena sedang berlangsungnya periode downwelling, kemungkinan disebabkan lemahnya tiupan angin sehingga massa air tidak banyak bergerak dan tidak terjadi penambahan konsentrasi klorofil-a yang dibawa oleh pergerakan massa air. Konsentrasi klorofil-a akan terus menurun karena dimanfaatkan dalam proses produktifitas primer di perairan. Pada bulan Mei, konsentrasi klorofil-a mulai meningkat dengan kisaran 0.10 mg/l-3.38 mg/l. Peningkatan ini akibat menguatnya angin muson tenggara sebagai tanda mulainya musim timur. Rataan sebaran konsentrasi klorofil-a (mg/l) pada musim timur periode Juni 2005-November 2010 disajikan pada Gambar 12 (a)-(f). Secara berturut-turut konsentrasi klorofil-a bulan Juni dan Juli adalah 0.13 mg/l-4.84 mg/l dan 0.16

77 mg/l-5.28 mg/l. Konsentrasi klorofil-a tertinggi pada bulan Agustus dengan kisaran 0.15 mg/l-5.96 mg/l. Kisaran konsentrasi klorofil-a bulan September dan Oktober mulai menurun dengan konsentrasi masing-masing 0.14 mg/l-5.22 mg/l dan 0.11 mg/l-5.23 mg/l. Konsentrasi klorofil-a terendah terjadi pada bulan November yaitu sekitar 0.09 mg/l - 2.77 mg/l. Konsentrasi klorofil-a pada musim timur lebih tinggi dibandingkan musim barat yang diduga disebabkan proses upwelling yang menaikkan massa air lapisan bawah yang kaya nutrien dengan konsentrasi tertinggi secara konsisten terjadi di daerah perairan selatan Jawa Timur. Pada bulan Agustus konsentrasi klorofil-a menyebar hingga batas terluar ZEEI yaitu pada koordinat 113 00' - 115 00' BT dan 9 00' - 12 00' LS yang merupakan wilayah tangkapan Madidihang oleh nelayan Sendang Biru. Konsentrasi klorofil-a di perairan selatan Jawa pada musim timur hingga peralihan ke-2 (Juni-November) berkisar antara 0.09 mg/l-5.96 mg/l. Konsentrasi klorofil-a pada Juni dan Juli mulai meningkat secara signifikan seiring menguatnya angin muson tenggara yang menyebabkan terjadinya upwelling di sepanjang selatan Jawa. Secara meridional proses upwelling di laut lepas Selatan Jawa Timur diduga dipengaruhi oleh beberapa faktor selain faktor angin muson tenggara. Menurut Tubalawony (2008), anomali tinggi permukaan air laut (ATPL) Samudera Hindia pada bulan Agustus umumnya lebih rendah dari permukaan laut dengan kisaran -7.5 hingga -15.6 cm yang mengindikasikan adanya pergerakan massa air menjauhi pantai, dimana Gaol (2003) menjelaskan bahwa ATPL cenderung lebih rendah pada musim timur dibandingkan pada musim barat. Lebih lanjut Tubalawony (2008) menjelaskan bahwa selama musim timur nilai gradient transpor Ekman komponen sejajar garis pantai menuju laut lepas meningkat dari bulan Juni hingga Agustus yang menggambarkan bahwa upwelling selama musim timur kemungkinan dipicu oleh lebih besarnya nilai gradient tersebut yang menyebabkan permukaan air di pantai lebih tinggi dan tekanan yang lebih besar daripada di laut lepas sehingga memicu upwelling mulai dari pantai ke arah laut lepas hingga 10 0 LS. Hal ini sesuai dengan pernyataan Purba (1995) bahwa upwelling yang terjadi di selatan Jawa Timur berada pada radius sekitar 40 km dari garis pantai, atau sekitar 25 km ke arah laut lepas.

76 78 (a) (b) (c) (d) (e) (f) Gambar 11 Rataan sebaran konsentrasi klorofil-a (mg/l) pada musim barat periode Desember 2005-Mei 2010; (a) Desember, (b) Januari, (c) Februari, (d) Maret, (e) April, dan (f) Mei. (Sumber: Hasil analisis dari data sebaran klorofil-a Januari 2005-Desember 2010 yang diperoleh melalui citra Aqua Modis level 3 dari situs: http// www.oceancolor.gsfc.nasa.gov/cgi/l3?per=day).

75 (a) (b) (c) (d) (e) (f) Gambar 12 Rataan sebaran konsentrasi klorofil-a (mg/l) pada musim timur periode Juni 2005-November 2010; (a) Juni, (b) Juli, (c) Agustus (d) September, (e) Oktober, dan (f) November. (Sumber: Hasil analisis dari data sebaran klorofil-a dari Januari 2005-Desember 2010 yang diperoleh melalui citra Aqua Modis level 3 dari situs: http// www.oceancolor.gsfc.nasa.gov/cgi/l3?per=day). 79

Kedalaman (m) Kedalaman (m) Kedalaman (m) 80 4.1.2.4 Analisis Sebaran Menegak Dissolved Oxygen (DO) Sebaran menegak DO di perairan selatan Jawa Timur, diperoleh dari hasil perhitungan sebaran suhu pada contoh dalam tiga transek pada rentang titik koordinat 110-114.5 BT dan 9-12 LS pada sebaran suhu bulanan dari Januari sampai Desember 2009. Transek pertama (I) berada di titik koordinat 10.22 LS dan 114.54 BT, transek ke-dua (II) pada 10.22 LS dan 112.45 BT, dan transek ke-tiga (III) pada 10.28 LS dan 111.94 BT. Data mengenai sebaran suhu menegak dari lapisan campuran (mixed layer), termoklin (thermocline) dan lapisan dalam (dept layer) pada masing-masing transek di rumpon nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru di sajikan pada Gambar 13. 114.5456667 BT -10.2228 LS (Timur) Oksigen Terlarut (mg/l) 0 2 4 6 0 0 113.4556667 BT -10.2836 LS (Tengah) Oksigen Terlarut (mg/l) 0 2 4 6 0 0 111.9417778 BT -10.4052 LS (Barat) Oksigen Terlarut (mg/l) 0 2 4 6 0 0 400 400 400 400 400 400 800 800 800 800 800 800 Januari Januari Januari Februari Februari Februari Maret Maret Maret April April April Mei Mei Mei 1200 Juni Juli 120 1200 Juni Juli 120 1200 Juni Juli 120 I Agustus September Oktober November Desember II Agustus September Oktober November Desember III Agustus September Oktober November Desember 1600 160 0 2 4 6 1600 160 0 2 4 6 1600 160 0 2 4 6 Gambar 13 Sebaran menegak DO bulanan (mg/l) tahun 2009 di selatan Jawa. Grafik warna merah mewakili bulan musim barat, sedangkan grafik warna biru merupakan bulan musim timur pada transek I,II dan III (Sumber:hasil analisis data NOAA). Pada Gambar 13, dapat dilihat bahwa pada masing-masing transek, DO menegak pada area rumpon (fishing ground), menggambarkan pola yang sama dan umum yaitu terjadi perubahan DO yang semakin menurun seiring perubahan tingkat kedalaman kolom air. Pada transek I, II dan III, diperoleh gambaran bahwa lapisan campuran, termoklin dan lapisan dalam, untuk batas masing-masing lapisan tersebut memiliki kedalaman yang relatif sama. Data bulanan untuk sebaran menegak DO di perairan selatan Jawa disajikan pada Tabel 8.

81 Tabel 8 Sebaran menegak DO bulanan (mg /l) tahun 2009 di selatan Jawa pada transek I,II dan III Bulan 10.22 LS,114.54 BT 10.22 LS,112.45 BT 10.22 LS,111.94 BT dept (m) Range (m) dept Range dept Range (m) Mixed layer Desember 0-29 4.36-4.50 0-29 4.29-4.44 0-29 4.17-4.51 Januari 0-29 4.29-4.45 0-29 4.26-4.41 0-29 4.24-4.43 Februari 0-49 4.37-4-49 0-49 4.38-4.49 0-49 4.43-4.50 Maret 0-49 4.13-4.20 0-49 4.07-4.12 0-49 4.04-4.13 April 0-29 4.14-450 0-29 4.16-4.48 0-29 4.28-4.42 Mei 0-49 4.33-4.39 0-49 4.34-4.40 0-49 4.27-4.46 Juni 0-49 4.02-4.39 0-49 4.13-4.40 0-49 4.34-4.46 Juli 0-49 3.70-4.51 0-49 3.68-4.50 0-49 3.90-4.53 Agustus 0-49 3.84-4.57 0-49 3.74-5.54 0-49 3.77-4.54 September 0-49 4.47-4.69 0-49 4.46-4.69 0-49 4.41-4.72 Oktober 0-29 3.82-4.56 0-29 3.88-4.58 0-29 3.99-4.60 November 0-29 4.41-4.47 0-29 4.48-4.51 0-29 4.54-4.56 thermocline Desember 30-199 2.40-4.39 30-199 2.34-4.29 30-199 2.29-4.17 Januari 30-149 2.72-4.29 30-199 2.60-4.26 30-149 2.72-4.24 Februari 50-149 2.89-4.37 50-199 2.56-4.38 50-149 2.94-4.43 Maret 50-199 2.38-4.37 50-199 2.38-4.38 50-199 2.39-4.43 April 30-199 2.90-4.27 30-199 2.83-4.31 30-199 2.62-4.37 Mei 50-199 2.65-4.33 50-199 2.56-4.34 50-199 2.36-4.27 Juni 50-199 2.68-4.02 50-199 2.60-4.13 50-199 2.44-4.34 Juli 50-199 2.31-3.70 50-199 2.33-3.68 50-199 2.51-3.90 Agustus 50-199 2.59-3.84 50-199 2.55-3.74 50-199 2.47-3.77 September 50-199 2.52-4.47 50-199 2.50-4.46 50-199 2.50-4.41 Oktober 30-199 2.37-3.82 30-199 2.37-3.88 30-199 2.38-3.99 November 30-199 2.50-4.43 30-199 2.44-4.48 30-199 2.34-4.54 Dept layer Desember 200-1600 1.90-4.39 200-1600 1.91-4.29 200-1600 1.89-4.17 Januari 150-1600 2.02-2.76 200-1600 1.99-2.75 200-1600 1.95-2.72 Februari 150-1600 1.98-2.89 200-1600 1.98-2.89 200-1600 1.96-2.94 Maret 200-1600 1.73-2.67 200-1600 1.74-2.66 200-1600 1.73-2.59 April 200-1600 1.27-2.90 200-1600 1.38-2.83 200-1600 1.51-2.64 Mei 200-1600 1.75-2.71 200-1600 1.73-2.72 200-1600 1.68-2.69 Juni 200-1600 1.80-2.68 200-1600 1.81-2.63 200-1600 1.83-2.82 Juli 200-1600 1.91-2.85 200-1600 11.90-2.77 200-1600 1.94-2.61 Agustus 200-1600 2.01-2.74 200-1600 1.99-2.72 200-1600 1.95-2.66 September 200-1600 1.71-2.81 200-1600 1.79-2.79 200-1600 1.88-2.75 Oktober 200-1600 1.92-2.62 200-1600 1.91-2.64 200-1600 1.88-2.63 November 200-1600 1.69-2.56 200-1600 1.73-257 200-1600 1.77-2.63 Sumber: Hasil analisis dari data (NOAA). Dari Tabel 8 diperoleh gambaran bahwa konsentrasi DO pada lapisan campuran dengan kedalaman 0-29, yang terjadi pada bulan Oktober hingga Februari berkisar antara 3.82-4.60 mg/l, sedangkan pada akhir peralihan ke-1 hingga akhir musim timur, di lapisan campuran (0-49) memiliki kisaran konsentrasi yang hampir sama pada musim lainnya, yaitu 3.77-4.69 mg/l. Pada lapisan termoklin diperoleh hasil bahwa konsentrasi DO pada lapisan termoklin pada musim barat hingga peralihan ke-1 (Desember-Mei) dengan kedalaman 0-29, yang terjadi pada bulan Oktober hingga Februari berkisar antara 3.82-4.60 mg/l, sedangkan pada akhir peralihan ke-1 hingga akhir musim timur, di lapisan campuran (0-49) memiliki kisaran konsentrasi yang hampir sama pada musim lainnya, yaitu 3.77-4.69 mg/l. Sedangkan dari

82 lapisan termoklin hingga kedalaman 1 600 m, konsentrasi DO di fishing ground, perlahan menurun secara gradual dari 4.39 mg/l pada kedalaman 200 m, 1.77 mg/l pada kedalaman 1 600 m. 4.1.3 Analisis Tren Biomas Kegiatan penangkapan Madidihang oleh nelayan sekoci di rumpon dilakukan sepanjang tahun. Produksi tahunan berdasarkan ukuran berat dan CPUE disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Total produksi, ukuran dan CPUE tuna tahun 2003-2010 Tahun Trip Ukuran 1-2 kg 2-9 kg 10-20 kg >20 kg Total CPUE 2003 67 4 080 26 777 1 392 3 229 35 478 530 2004 139 4 665 57 335 9 159 5 088 76 247 549 2005 233 5 945 100 878 10 234 2 467 143 524 616 2006 360 20 428 76 415 22 658 42 587 162 088 450 2007 389 3 223 69 421 23 486 66 521 162 651 418 2008 414 3 000 152 088 17 371 56 719 229 178 554 2009 420 3 518 88 670 97 873 66 373 256 434 611 2010 354 2 365 59 535 23 677 65 353 150 930 426 Total 2 376 47 224 631 119 205 850 332 337 1 216 530 4 153 Sumber: Hasil analisis. Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa produksi total ikan tuna dari tahun 2003 hingga 2009 mengalami kenaikan, sedangkan pada tahun 2010 terjadi penurunan. Namun demikian, untuk memprediksi kelimpahan Madidihang di fishing ground maka dipergunakan CPUE (Gambar 14). Gambar 14 CPUE Madidihang hasil tangkapan tahun 2003-2010. Dari Gambar 14 diperoleh gambaran bahwa dari tahun 2003 hingga tahun 2005 nilai CPUE mengalami kenaikan, kemudian menurun sampai pada tahun 2007. Dari tahun 2007 hingga tahun 2009 terjadi kenaikan kembali,

83 namun menurun pada tahun 2010. Dengan demikian, nilai CPUE tahunan terjadi fluktuasi. Menurut Bertrand et al. (2002), penggunaan CPUE untuk menilai kelimpahan ikan tuna tidak baik untuk digunakan, karena belum mencerminkan keberadaan ikan sesungguhnya. Produksi ikan yang tertangkap, sangat tergantung kepada presisi alat tangkap yang digunakan, ukuran atau panjang line, kemungkinan besar line tersebut tidak menjangkau sampai kedalaman dimana habitat ikan tersebut berada. Pendapat Bertrand et al. (2002), tersebut bisa terjadi pada hasil tangkapan di Sendang Biru, selain keterbatasan alat tangkap hand line, berdasarkan hasil wawancara dari nelayan responden, terungkap bahwa penurunan produksi tangkap terjadi pada tahun 2006 hingga tahun 2007, pada saat harga BBM meningkat tajam. Berdasaran kondisi tersebut, maka ikan target diarahkan kepada ikan yang berukuran besar yang memiliki nilai jual tinggi, sehingga walaupun produksinya kecil namun memperoleh pendapatan yang tinggi. Sedangkan penurunan yang terjadi pada tahun 2010, selain karena dilakukan penangkapan yang selektif, juga disebabkan rumpon yang dimiliki nelayan sekoci sudah kosong ikannya karena dijarah oleh nelayan Pekalongan dan Muara Angke dan baru setelah 2-3 bulan kemudian populasi ikan kembali normal. Berdasarkan fenomena tersebut, maka peningkatan upaya tangkap masih bisa dilakukan, selama ada pengawasan dan perlindungan terhadap keberadaan rumpon nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru dari gangguan nelayan Benoa, Pekalongan dan Muara angke. Apabila dibiarkan, maka tidak menutup kemungkinan CPUE semakin menurun tajam, sehingga keberlanjutannya tidak akan terjamin. 4.1.4 Analisis Deret Waktu Analisis deret waktu dengan metode FFT dan wavelet digunakan untuk melihat periode fluktuasi, pola temporal dan nilai puncak dari densitas energi dari suhu permukaan laut, klorofil-a dan CPUE. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum periode fluktuasi suhu permukaan laut, klorofil-a dan CPUE menunjukan periode dengan variabilitas periode signifikan serta variabilitas tahunan yang sama (Gambar 15).

84 30 Spectral analysis: SST 30 Spektrum Densitas Energi ( 0 C 2 /siklus per bulan) 25 20 15 10 5 25 20 15 10 5 0 0 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 Periode (Bulan) a b Gambar 15 Spektrum densitas energi suhu permukaan laut periode tahun 2005-2009; (a) metode FFT; (b) metode Wavelet (Sumber:Hasil analisis). Dari Gambar 15 dapat dilihat bahwa spektrum densitas energi sebaran suhu permukaan laut di selatan Jawa Timur terjadi pada periode 12 bulan yang menandakan adanya fluktuasi tahunan terutama terjadi sejak bulan Maret 2006 hingga bulan Juli 2009. Fluktuasi ini dipengaruhi oleh pola angin muson yang bertiup di atas perairan selatan Jawa Timur dengan periode signifikan sekitar bulan Januari 2006 hingga Oktober 2009. Fluktuasi ini terjadi diduga sebagai pengaruh dari pola angin muson yang bertiup di atas perairan selatan Jawa Timur dengan periode signifikan Januari 2006 hingga Januari 2009. Efek dari fluktuasi dari densitas energi tersebut, selanjutnya mempengaruhi spektrum densitas klorofil-a seperti yang tersaji pada Gambar 16. 3.5E5 Spectral analysis: CPUE 3.5E5 Spektrum Densitas Energi (CPUE 2 /siklus per bulan) 3E5 2.5E5 2E5 1.5E5 1E5 50000 3E5 2.5E5 2E5 1.5E5 1E5 50000 0 0 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 Periode (Bulan) (a) (b) Gambar 16 Spektrum densitas energi klorofil-a tahun 2005-2009; (a) metode FFT; (b) metode Wavelet (Sumber:Hasil analisis).

85 Dari Gambar 16 diperoleh gambaran bahwa spektrum densitas klorofil-a juga terdapat pada periode 12. Hal ini menandakan bahwa densitas klorofil-a di selatan Jawa, sangat dipengaruhui oleh fluktuasi densitas energi secara tahunan. Fluktuasi tersebut selain dipengaruhi oleh pola angin muson juga disebabkan oleh adanya proses upwelling di pantai dan laut lepas perairan selatan Jawa Timur. Periode signifikan fluktuasi klorofil-a dalam 12 bulan terjadi pada rentang Maret 2006 sampai Oktober 2009. Keberadaan Madidihang, menurut Song et al. (2008), selain dipengaruhi suhu dan DO, juga sangat tergantung kepada konsentrasi klorofil-a. Adapun kondisi yang optimal untuk Madidihang di Samudera Hindia, adalah 0.090 0.099 μg/l. Dengan demikian, adanya pola fluktuasi sebaran densitas energi dengan klorofil-a, maka berpengaruh pada CPUE ikan tuna tersebut. Secara tidak langsung spektrum densitas energi akan mempengaruhi fluktuasi CPUE Madidihang. Fluktuasi CPUE Madidihang, pada akhirnya memiliki pola yang sama, yaitu terjadi pada periode 12 bulan. Fluktuasi ini terjadi secara nyata pada bulan Mei 2006 hingga Agustus 2009 (Gambar 17). 3.5E5 Spectral analysis: CPUE 3.5E5 Spektrum Densitas Energi (CPUE 2 /siklus per bulan) 3E5 2.5E5 2E5 1.5E5 1E5 50000 3E5 2.5E5 2E5 1.5E5 1E5 50000 0 0 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 Periode (Bulan) (a) (b) Gambar 17 Spektrum densitas energi CPUE periode tahun 2005-2010; (a) metode FFT; (b) metode Wavelet. 4.1.5 Korelasi CPUE dengan Kondisi Hidro-oseanografi Selatan Jawa Korelasi antara kondisi oseanografis di Selatan Jawa, dilakukan antara sebaran temporal suhu permukaan laut, klorofil-a dengan CPUE. Sedangkan hubungan antara suhu menegak dan konsentrasi DO tidak dilakukan, karena dari hasil penelitian ini tidak diperoleh hasil tangkapan berdasarkan kedalaman dari perairan di fishing ground. Korelasi antara suhu permukaan laut,

86 konsentrasi-a dengan CPUE total dilakukan dengan analisis spektral dan deret waktu digunakan untuk menentukan periode fluktuasi dan nilai puncak densitas energi dari fluktuasi sebaran suhu, klrorofil-a dan CPU, sehingga dapat dilihat pola korelasinya. Gambaran mengenai pola fluktuasi antara variabel tersebut di sajikan pada Gambar 18. Gambar 18 Sebaran temporal suhu permukaan laut (SST), klorofil-a, dan CPUE tahun 2005-2010. Dari Gambar 18, diperoleh gambaran bahwa berdasarkan analisis spektral dan deret waktu di atas menunjukkan bahwa antara SST, klorofil-a dan CPUE mengalami fluktuasi yang sama. Fluktuasi terjadi setiap periode 12 bulan dan setiap 6 bulan ada periode puncak dan bawah. Kejadian dari fluktuasi tersebut memiliki pola yang sama dari tahun 2005 hingga tahun 2010. Periode yang nyata dari ke tiga variabel tersebut terjadi pada waktu yang relatif bersamaan, yaitu pada bulan Januari 2005 hingga 2006, SST secara gradual naik, pola ini diikuti dengan naiknya konsentrasi klorofil-a, puncaknya pada sekitar bulan Maret, selanjutnya menurun secara gradual hingga bulan Juli. Pada bulan Juli terjadi limit bawah dan mengikuti deret waktu menaik kembali hingga bulan Oktober, dan perlahan menurun kembali pada bulan Februari tahun 2006. Sebaliknya untuk CPUE pada saat SST naik, CPUE Madidihang menurun. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, bahwa CPUE dan klorofil-a berkorelasi negatif dengan SST, sedangkan konsentrasi klorofil-a dengan CPUE berkorelasi positif. Hal ini akan lebih jelas pada pengujian

87 korelasi silang antara CPUE dengan sebaran klorofil-a, CPUE dengan SST, dan SST dengan klorofil-a. Fluktuasi dari ketiga variabel tersebut seiring dengan pola musim musim yang terjadi di perairan selatan Jawa, khususnya di Jawa Timur. Angin muson tenggara (Juni-Agustus) membawa udara kering dan dingin dari Benua Australia menyebabkan suhu permukaan laut di selatan Jawa Timur cenderung lebih dingin dibandingkan pada musim angin muson barat laut, serta terjadinya upwelling di selatan Jawa Timur yang membawa massa air lapisan bawah yang lebih dingin ke permukaan. Pada saat terjadinyta upwelling tersebut, banyak unsur hara yang terbawa ke permukaan perairan, sehingga biomassa fitoplankton, konsentrasi klorofil-a meningkat. Sebaliknya pada saat angin muson barat laut (Desember-Februari) udara hangat dan lembab dari Benua Asia menyebabkan suhu permukaan laut di selatan Jawa lebih hangat. Selain itu, massa air Arus Pantai Jawa (APJ) yang bergerak ke timur membawa massa air hangat dari bagian tropis di barat Samudera Hindia. Dengan demikian, sebaran konsentrasi klorofil-a di selatan Jawa Timur berkaitan dengan proses upwelling dan downwelling. Pada saat upwelling di musim timur konsentrasinya cenderung meningkat dan sebaliknya menurun pada saat downwelling di musim barat, sehingga dalam periode satu tahun akan meningkat pada pertengahan tahun dan selanjutnya menurun pada awal tahun. Sebaran temporal CPUE menunjukkan pola yang serupa dengan pola konsentrasi klorofil-a di selatan Jawa walaupun berbeda intensitasnya. Hal ini diduga berkaitan dengan tingginya kelimpahan ikan kecil yang merupakan mangsa Madidihang di rumpon sebagai fishing ground. Dengan demikian, secara umum variasi tahunan suhu permukaan, klorofil-a dan CPUE adalah mengikuti pola angin muson, yaitu pada musim timur dimana suhu permukaan laut menurun dan konsentrasi klorofil-a meningkat, jumlah hasil tangkapan (CPUE) Madidihang juga meningkat, dan sebaliknya pada musim barat dimana suhu permukaan laut meningkat dan konsentrasi klorofil-a menurun, jumlah hasil tangkapan (CPUE) Madidihang menurun.

88 4.1.5.1 Korelasi Silang CPUE dengan Suhu Permukaan Laut Dalam melakukan korelasi silang, parameter suhu permukaan laut dijadikan variabel bebas (x) dan CPUE dianggap variabel tak-bebas (y). Hasil analisis korelasi silang disajikan pada Gambar 19. Gambar 19 Hasil korelasi silang antara suhu permukaan laut dan CPUE di selatan Jawa periode 2005-2010 menggunakan metode Wavelet. Dari Gambar 19 dapat dilihat bahwa koherensi antara SST dengan CPUE Madidihang, fluktuasi suhu permukaan laut dan CPUE berkorelasi pada periode 12 bulan pada waktu antara bulan Maret 2006 sampai dengan Maret 2010. Nilai koherensi pada periode 12 bulan adalah 0.76. Beda fase antara kedua fluktuasi adalah tan -1 2.59. Hal ini berarti bahwa fluktuasi suhu permukaan laut mendahului fluktuasi CPUE Madidihang pada periode satu tahunan dengan beda fase 69 hari. Hasil korelasi silang antara suhu permukaan laut dan klorofil-a dengan CPUE Madidihang di perairan selatan Jawa disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Hasil korelasi silang suhu permukaan laut dan klorofil-a di perairan selatan Jawa 2005-2010 Periode Beda fase Korelasi silang fluktuasi Koherensi (bulan) (/tan) hari Suhu permukan laut dan CPUE 12 0.76 2.59 69 Klorofil-a dan CPUE 12 0.72-0.51 27 Sumber: Hasil analisis.

89 4.1.5.2 Korelasi Silang Klorofil-a dengan CPUE Berdasarkan hasil analisis spektoral dan deret ukur sebagaimana di uraikan sebelumnya, bahwa konsentrasi klorofil-a berkorelasi positif dengan CPUE Madidihang di perairan selatan Jawa timur pada tahun 2005 hingga tahun 2010. Hasil analisis tesebut, dipertegas oleh hasil korelasi silangnya yang memiliki nilai sebesar 0.72 dan fluktuasinya berkorelasi pada periode 12 bulan dengan beda fase antara kedua fluktuasi tersebut adalah tan -1-0.51 (Tabel 10). Hal ini berarti bahwa fluktuasi CPUE sebagai variabel terikat (y) mendahului fluktuasi klorofil-a (x) dengan beda fase 27 hari. Artinya fluktuasi CPUE ikan tuna mendahului sekitar 27 hari sebelum terjadinya fluktuasi konsentrasi klorofil-a. Hasil korelasi klorofil-a dan CPUE di perairan selatan Jawa disajikan pada Gambar 20. Gambar 20 Hasil korelasi silang antara klorofil-a dengan CPUE di selatan Jawa periode 2005-2010 menggunakan metode Wavelet. Untuk menegaskan adanya pola hubungan yang positif antara CPUE dengan konsentrasi klorofil-a, maka dilakukan regresi sederhana antara ke dua parameter tersebut. Hasil regresi sederhana antara SST dan klorofil-a dengan CPUE tersaji pada dan antara klorofil-a dengan CPUE pada Gambar 21. Dari Gambar 21 menunjukkan bahwa meningkatnya suhu permukaan laut pada suhu tertentu, akan diperoleh hasil tangkapan (CPUE) yang makin rendah (r=-0.21). Penurunan tersebut mengikuti persamaan garis dari hasil regresi sederhana antara suhu permukaan laut dengan CPUE Madidihang di perairan Selatan Jawa, adalah CPUE= 1185-26.09SST. Sebaliknya untuk konsentrasi klorofil-a, pada saat konsentrasi klorofil-a meningkat, maka akan

90 diikuti oleh peningkatan hasil tangkapan (r=0.56), peningkatan yang diperoleh akan mengikuti persamaan matematik CPUE = 457.17+21.99 Chl. Korelasi antara suhu permukaan laut dan CPUE di selatan Jawa periode 2005-2010 cpue = 1185.0-26.09 * SST Correlation: r = -.2123 1100 1000 900 800 700 1100 1000 900 800 700 Korelasi antara klorofil-a dan CPUE di selatan Jawa periode 2005-2010 cpue = 457.17 + 21.999 * chlo Correlation: r =.05536 cpue 600 cpue 600 500 500 400 400 300 300 200 200 100 24 25 26 27 28 29 30 SST 95% confidence 100 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1.6 1.8 2.0 2.2 chlo 95% confidence Gambar 21 Hubungan antara suhu permukaan laut dengan CPUE Madidihang (a) dan klorofil-a dengan CPUE (b) di selatan Jawa periode 2005-2010. Berdasarkan hasil analisis regresi sederhana dan korelasi silang antara kedua parameter tersebut di atas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa peningkatan hasil tangkapan (CPUE) Madidihang di fishing ground akan meningkat 21 hari kemudian, setelah terjadinya puncak kelimpahan klorofil-a, sedangkan koherensi CPUE dengan suhu permukaan laut, adalah hasil tangkapan akan meningkat setelah 69 hari berakhirnya puncak fluktuasi suhu permukaan laut di perairan selatan Jawa, khususnya di wilayah Jawa Timur dengan titik koordinat 110-114 BT dan 9-11 LS. Meningkatnya klorofil-a merupakan indikator melimpahnya fitoplankton di perairan yang menjadi makanan zooplankton yang merupakan makanan ikan kecil lainnya, seperti udang, teri, lemuru dan ikan lainnya. Ikan teri dan udang tersebut merupakan makanan yang paling disukai oleh Madidihang, terutama pada fase juvenil. Fase juvenil menghabiskan sebagian besar hidupnya di lapisan campuran dengan kisaran suhu 24º-30ºC (Conand dan Richards 1982). 4.2 Aspek Produksi, Biologi Madidihang dan Kaitannya dengan Kondisi Hidro-oseanografi di Rumpon 4.2.1 Status, Jenis dan Jumlah Tangkapan Madidihang merupakan ikan pelagis besar yang distribusinya berada di perairan tropis dan subtropis (Collette and Nauen 1983). Di Samudera Hindia Madidihang merupakan species utama yang menjadi tangkapan (Somvanshi

91 2002). Ada dua alasan utama Madidihang menjadi target tangkapan utama, pertama, permintaan tinggi dan ke dua, adalah mudah ditangkap dengan berbagai macam alat tangkap. Sehingga kegiatan penangkapan tidak hanya bisa dilakukan oleh kapal besar dan modern yang menggunakan purse seine dan long line, akan tetapi juga bisa dilakukan oleh nelayan artisanal yang menggunakan alat sederhana seperti pole and line, driftnet dan hand line (Zudaire et al. 2010). Produksi Madidihang dari tahun ke tahun mengalami kenaikan rata-rata 345 000 ton pada tahun 1993 hingga 2002, dan naik menjadi 466 000 ton pada tahun 2003 hingga tahu 2006. Namun demikian, pada tahun 2007 hingga 2008, rataannya turun kembali menjadi 318 000 ton dan 37% dari total tangkapan tersebut ditangkap dengan menggunakan purse seine (IOTC 2009). Meskipun terjadi deplesi, namun penangkapan besar-besaran di Samudera Hindia terus dilakukan. Hal ini dilakukan, selain atas permintaan pasar, juga kurangnya pengetahuan akan reproduksi ikan yang apabila tidak hati-hati, keberlanjutannya akan terganggu (Scheafer 2001; Murua & Motos 2006). Sama halnya dengan kegiatan penangkapan ikan tuna yang dilakukan oleh nelayan Sendang Biru pada tahun 1991 hingga tahun 1994 ikan tuna yang di tangkap ada 3 jenis yaitu Cakalang, Madidihang, tuna lainya dengan rataan produksi per tahun, masing-masing 741.94 ton (50.3%), 237.68 ton (16.1%) dan 495.7 ton (33.6%) yang di tangkap dengan menggunakan gill net dengan jumlah kapal 66 berukuran 3-6 GT (Uktolseja 1987). Namun demikian, sejak datangnya kapal Sekoci dengan alat pancing ulur (hand line) produksi tuna terus mengalami peningkatan dengan ikan target adalah jenis tuna besar, terutama jenis Madidihang. Jenis ikan yang tertangkap dominan di daratkan di PPP Pondokdadap Sendang Biru, Kabupaten Malang dari tahun 2003 sampai 2010 adalah Madidihang, Cakalang, Bigeye tuna, Marlin, Tompek dan Bigeye tuna, dan dengan proporsi masing-masing adalah 36.71%, 31.45%, 19.57%, 9.66% dan 2.6% (Gambar 22). Dari jenis ikan tuna target tersebut, jenis Madidihang merupakan ikan yang dominan tertangkap. Adapun jumlah hasil tangkapannya

92 dari tahun 2003 hingga tahun 2010 dari 2 376 trip yang diamati untuk nilai produksi dan CPUE disajikan pada Tabel 11. Gambar 22 Komposisi hasil tangkapan ikan berdasarkan jenis tahun 2003-2010. Tabel 11 Jumlah Hasil Tangkapan (kg), Trip dan CPUE Tahun Jumlah kapal Produksi CPUE Trip contoh (kg) (kg/trip) 2003 3 67 35.478 529.52 2004 9 139 76.247 548.54 2005 14 233 143.524 615.98 2006 23 360 162.088 450.24 2007 27 389 162.651 418.13 2008 27 414 229.178 553.57 2009 27 420 256.434 610.56 2010 27 354 150.930 426.36 Jumlah 157 2.376 216.530 4.152.90 Sumber: Hasil analisis data primer. Produksi tersebut diperoleh dari hasil catatan harian (log book) per trip tangkapan nelayan sekoci di rumpon sebagai fishing ground dari tahun 2003-2010 dan secara detail catatan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2. Pada Tabel 11 dapat di lihat bahwa produksi Madidihang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Peningkatan hasil tangkapan ini disebabkan terjadinya upaya tangkapan (trip), yaitu dari 67 pada tahun 2003 menjadi 354 trip pada tahun 2010 dengan produksi 35 478 kg pada tahun 2003 menjadi 150 930 kg pada tahun 2010. Sedangkan untuk nilai CPUE hasil perhitungan dari hasil tangkapan per trip pada masing-masing tahun menunjukan nilai yang berfluktuasi. Namun demikian untuk nilai CPUE dari setiap peningkatan upaya dari tahun 2003 hingga tahun 2010 masih mengalami peningkatan (Gambar 23). Peningkatan upaya tersebut masih diikuti dengan peningkatan produksi yang mengikuti persamaan garis Y= 4 714.3+496.13X dengan nilai

93 koefisien diterminasi (R 2 ) sebesar 0.8536. Hal ini berarti bahwa dengan adanya peningkatan upaya penangkapan sumberdaya Madidihang di fishing ground, akan diikuti dengan meningkatnya produksi Madidihang. Kondisi tersebut memberi gambaran bahwa kondisi stok ikan Madidihang yang ada di fishing ground kelimpahannya masih tinggi. Gambar 23 Hubungan antara produksi (kg) Madidihang dan trip dari tahun 2003 hingga tahun 2010. Menurut Hoggarth (2006) total hasil tangkapan ini penting untuk diketahui, karena dapat digunakan sebagai tanda dalam pengelolaan perikanan. Penurunan hasil hasil tangkapan biasanya dapat digunakan sebagai sebuah trigger dalam pengelolaan perikanan. Apabila upaya tangkap tersedia, maka indeks CPUE dapat diketahui, sehingga bisa dijadikan indikator untuk menduga status dari stok ikan. Selanjutnya menurut Grainger dan Garcia (1996) in Hoggarth (2006) dengan indikator tersebut, maka status stok dapat diklasifikasikan menjadi undeveloped, developing, mature or senescent. Apabila nilai indeks CPUE terus mengalami peningkatan berarti status stok dari ikan tersebut berada dalam kategori undeveloped, sebaliknya apabila nilai indeks CPUE menurun berada dalam kondisi mature. Berdasarkan indikator tersebut, maka kondisi status stok Madidihang di perairan ZEEI Samudera Hindia, tepatnya di WPP 573 berada dalam status undeveloped. Hal ini berbeda dengan kondisi status yang diestimasi oleh IOTC (2011) yang menyatakan bahwa kondisi stok Madidihang secara keseluruhan dinyatakan dalam kondisi mendekati tangkap lebih (close overexploited) atau gejala

94 tangkap lebih (overexploited). Dengan demikian, maka penambahan kapasitas tangkap masih bisa dilakukan, sehingga hasil ini dapat dijadikan acuan dalam penentuan estimasi status stok Madidihang di WPP 573 yang selama ini mengacu pada IOTC, seperti tertuang dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2011 yang dinyatakan sudah penuh (Fully-exploited). Terjadinya fluktuasi CPUE tahunan yang terjadi pada tahun 2003 hingga 2010, berarti tidak menunjukan penurunan kelimpahan atau stok dari Madidihang di fishing ground, namun fluktuasi tersebut memberi gambaran mengenai kinerja dari kapal sekoci. Kinerja kapal sekoci tersebut sangat dipengaruhi oleh harga BBM, karena sebesar 79% dari komponen biaya melaut dibelanjakan untuk pemenuhan kebutuhan BBM, sehingga pada saat terjadi kenaikan BBM maka kinerja akan rendah yang diikuti dengan penurunan produksi Madidihang yang dihasilkan. Rendahnya kinerja kapal sekoci akibat pengaruh dari kenaikan harga BBM dapat dilihat dari gambaran nilai CPUE yang diperoleh pada tahun tahun 2003 hingga 2005 menunjukan peningkatan dari tahun ketahun, namun dengan naiknya harga BBM pada tahun 2005, maka sejak tahun 2006 hingga 2007 terjadi penurunan CPUE tahunan. Dari Hasil wawancara dengan nelayan responden, bahwa pada tahun 2006 terjadi gejolak sebagai dampak kenaikan BBM sehingga penangkapan tidak efektif lagi. Kebanyakan penangkapan tidak di rumpon di perairan dalam, namun rumpon di geser ke perairan yang dekat. Akibatnya ikan yang tertangkap jauh menurun, karena rumpon ditempatkan pada lokasi dengan lingkungan yang tidak sesuai dengan habitat dari Madidihang. Selain itu sebagai upaya menyiasati biaya BBM, nelayan mengurangi perbekalan dan es, sehingga waktu melaut menjadi lebih pendek. Setelah dampak kenaikan harga BBM pulih, maka pada tahun 2007 hingga tahun 2009 hasil tangkapan naik kembali, namun pada tahun 2010 mengalami penurunan. Penurunan ini diperkirakan karena terjadi konflik di rumpon, dimana rumpon nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru mengalami penjarahan oleh nelayan purse seine dari Pekalongan dan Muara Angke, sehingga saat nelayan sekoci sampai ke rumpon, kondisinya sudah rusak. Populasi ikan baru kembali pulih 2-3

95 bulan kemudian, sehingga pada saat kondisi tersebut jumlah tangkapan menjadi berkurang. Sehingga selain harga BBM, faktor penentu lainnya yang menunjang keberhasilan kegiatan perikanan tangkap tersebut adalah rumpon. Tingginya hasil tangkapan ikan Madidihang di rumpon, selanjutnya mendorong peningkatan jumlah armada kapal sekoci yang berlabuh dan bongkar muat di PPP Pondokdadap, akibatnya kapasitas tangkap dari nelayan terus bertambah. Perubahan kapasitas tersebut dapat dilihat dari peningkatan trip. Rataan perubahan trip dari tahun 2003 hingga tahun 2010 mencapai 33% (Tabel 12). Besarnya produksi Madidihang hasil tangkapan nelayan sekoci tersebut, selanjutnya oleh pemerintah Kabupaten Malang dijadikan komoditas unggulan Kabupaten Malang (Nurani 2010). Tabel 12 Perubahan upaya tangkap perikanan Madidihang tahun 2003-2010 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rataan Upaya (Trip 67 139 233 360 389 414 420 354 297 Perubahan (%) 107% 68% 55% 8% 6% 1% -16% 33% Sumber: Hasil analisis data primer. 4.2.2 Ukuran Ikan dan Ikan Matang Gonad yang Tertangkap Hasil tangkapan Madidihang yang ditangkap oleh nelayan sekoci selama periode 2003-2010 terbagi atas 4 kategori kelompok ukuran, yaitu ukuran 1-2 kg, 2-9 kg, 10-20 kg dan di atas 20 kg. Berdasarkan ukuran kelompok tersebut yang paling dominan adalah dengan ukuran berat 2-9 kg (52%), di atas 20 kg (27%), 10-20 kg (17%) dan 1-2 kg (4%). Adapun yang menjadi dasar penentuan kelompok berat tersebut adalah harga pasar. Ukuran Madidihang hasil tangkapan nelayan sekoci disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Ukuran Madidihang yang tertangkap nelayan sekoci (2003-2010) Tahun Trip Ukuran (kg) Total 1-2 2-10 10-20 >20 2003 67 4 080.00 26 777.00 1 392.00 3 229.00 35 478.00 2004 139 4 665.00 57 335.00 9 159.00 5 088.00 76 247.00 2005 233 5 945.00 100 878.00 10 234.00 26 467.00 143 524.00 2006 360 20 428.00 76 415.00 22 658.00 42 587.00 162 088.00 2007 389 3 223.00 69 421.00 23 486.00 66 521.00 162 651.00 2008 414 3 000.00 152 088.00 17 371.00 56 719.00 229 178.00 2009 420 3 518.00 88 670.00 97 873.00 66 373.00 256 434.00 2010 354 2 365.00 59 535.00 23 677.00 65 353.00 150 930.00 Total 2 376 47 224.00 631 119.00 205 850.00 332 337.00 1 216 530.00 Sumber: Hasil analisis dari data primer.

96 Ukuran Madidihang pada Tabel 13, selanjutnya diukur panjang tubuhnya (Fork length). Dari 136 ekor yang dijadikan contoh (Lampiran 3) diperoleh panjang antara 35-45 cm untuk yang berukuran 1-2 kg, 46-82 cm berukuran 2-9 kg, 86-115 cm, 10-20 kg, dan 115-172 untuk berukuran 20-70.4 kg. Hubungan antara panjang beratnya di sajikan pada Gambar 24, yaitu mengikuti persamaan garis linier Y= 32.94+0.53X dengan nilai R 2 =0.87. Gambar 24 Hubungan panjang-berat Madidihang di Sendang Biru. Madidihang di daerah tropis pertama kali bertelur atau matang gonad untuk yang betina, berlangsung pada ikan yang berumur 2.8 tahun dengan panjang (FL) 105 cm dan berat sekitar 25 kg. Durasi bertelur dari ikan tersebut selama 6 bulan/tahunnya pada suhu 18 C. Siklus hidupnya selama 7.5 tahun dengan panjang tubuh 170 cm dan berat 176 kg (Fromentin dan Fonteneau 2001). Apabila berpatokan kepada pendapat tersebut, maka nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru hampir 57% berukuran 1-20 kg menangkap ikan yang belum matang gonad. Namun demikian, ukuran Madidihang yang tertangkap oleh nelayan sekoci dari tahun ke tahun mengalami perubahan, yaitu seiring dengan naiknya biaya operasional, nelayan cenderung menangkap ikan target yang berukuran besar. Hasil perubahan pola tangkap ukuran Madidihang tersebut disajikan pada Gambar 25. Pada Gambar 25 dapat dilihat bahwa pada tahun 2003 ikan yang dominan ditangkap adalah yang berukuran kecil, yaitu 87% berukuran 1-9 kg, sedangkan yang berukuran besar 10 kg hanya 13%, sebaliknya pada tahun 2010 ikan yang berukuran kecil (1-9 kg) hanya 41% dan berukuran besar (di

97 Gambar 25 Perubahan ukuran ikan yang di tangkap 8 tahun terakhir. atas 10 kg) 59%. Hal ini berarti, bahwa populasi Madidihang di fishing ground keberadaannya masih baik, karena menurut Pitcher dan Preikshot (2001), apabila terjadi perubahan kearah penangkapan ikan yang berukuran kecil mengindikasikan bahwa populasi ikan tersebut kondisinya menurun. Hal ini memperkuat estmasi dari indikator CPUE, karena menurut Hoggarth (2006) untuk menilai kondisi atau status stok dari Madidihang selain dapat diestimasi dengan menggunakan indikator hasil tangkapan, upaya tangkap dan CPUE, juga dapat diestimasi dengan melihat perubahan ukuran ikan (stok size). Apabila ukuran ikan yang ditangkap mengalami perubahan ukuran kearah yang lebih kecil, maka kondisi stok tersebut mengalami mature, sebaliknya apabila tidak terjadi perubahan maka kondisi status stok dalam keadaan undeveloped. Oleh karena ukuran Madidihang yang ditangkap nelayan sekoci (Gambar 25) pada kurun waktu tahun 2003 hingga 2010 tidak mengalami perubahan penurunan kearah ukuran yang lebih kecil, bahkan sebaliknya, maka kondisi atau status stok dari Madidihang yang ada di WPP 573 masih berada dalam kondisi yang baik (undeveloped). Hal ini menguatkan kembali bahwa estimasi yang dilakukan IOTC (2011) tersebut untuk kondisi ikan Madidihang di perairan Samudera Hindia, tidak tepat apabila digeneralisasi sudah mengalami overexploited.

98 4.2.3 Discard by Catch Pengertian tentang by-catch terminologinya banyak variasinya, namun yang umum digunakan adalah definisi yang dikemukan oleh McCaugran (1992) pada saat workshop di Newport, Oregon bulan Februari 1992 dalam Alverson et al. (1996). Adapun yang dimaksud dengan by-catch adalah hasil tangkapan yang terbuang (discard catch) seperti penyu, burung dan incidental catch (hasil tangkapan spesies non target) seperti ikan lumba-lumba dan hiu. Nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru dalam kegiatan penangkapannya, yang menjadi ikan target adalah jenis ikan tuna, yaitu Madidihang, Cakalang, Bigeye tuna. Namun ada spesies lain yang tertangkap yaitu ikan Marlin (Tetrapturus angustirostris), Tompek dan Hiu. Proporsinya kecil, maka jarang dicatat. Berdasarkan asumsi tersebut, maka discard bycatch, nelayan sekoci Sendang Biru relatif kecil, bahkan untuk yang terbuang (discard) tidak ada karena semua hasil tangkapannya laku dijual. Oleh karena by-catch yang dihasilkan tidak ada, maka alat tangkap yang digunakan oleh nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru Kabupaten Malang merupakan alat tangkap yang ramah lingkungan. 4.2.4 Estimasi Keterkaitan antara Kondisi Hidro-oseanografis Perairan Fishing Ground dengan Keberadaan Ikan Hasil Tangkapan Ukuran Madidihang yang tertangkap di rumpon oleh nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru, paling dominan adalah dengan ukuran berat 2-9 kg (52%), di atas 20 kg (27%), 10-20 kg (17%) dan 1-2 kg (4%). Hasil tangkapan tersebut di peroleh dari metode memancing, yaitu metode tonda, copping, tomba dan layang-layang (Tabel 14). Tabel 14 Metode pemancingan dan ukuran Madidihang tahun 2003-2010 Alat Ukuran Ikan (kg) Kedalaman Tangkap 1-2 2-9 10-20 >20 Umpan waktu Tonda 23 612 315 559.5 0 0 permukaan benang, kain pagi dan sore Copping 23 612 315 559.5 205 850 608 265.0 30-100 m sendok, CD Siang hari Tomba 0 0 0 66 467.4 40-50 m umpan hidup Siang hari Layanglayang 0 0 0 99 701.1 permukaan Sumber:Hasil analisis data primer. ikan sintetis pagi, seiang dan sore

99 Dari Tabel 14 diperoleh gambaran bahwa metode pemancingan yang yang efektif untuk menangkap Madidihang di rumpon adalah metode coping. Berdasarkan sebaran suhu menegak maka posisi tersebut berada di lapisan campuran hingga termoklin, karena suhu sebaran menegak di fishing ground untuk lapisan campuran adalah pada kedalaman 0-29 m pada musim peralihan ke-2 hingga musim barat (Oktober-Februari), sedangkan pada musim timur pada kedalaman 0-49 m, sedangkan untuk lapisan termoklin pada musim peralihan ke-2 hingga musim barat, terjadi pada kedalaman 30-149 m dan 50-199. Metode copping menjadi efektif karena umpan dan mata pancing berada di lingkungan yang disukai ikan yaitu di lapisan termoklin tempat ikan besar berkumpul. Dari total hasil tangkapan empat metode yang digunakan, metode copping menghasilkan 100% ikan berukuran 10-20 kg dan 30% yang berukuran di atas 20 kg. Bedasarkan hasil tangkapan tersebut dapat diestimasi bahwa ikan Madidihang memiliki preferensi lingkungan yang sesuai dengan kondisi hidrooseanografi dari fishing ground (rumpon). Adanya kesesuaian antara lingkungan dengan ikan tersebut, dapat di lihat dari hasil tangkapan dengan menggunakan metode coping. Metode coping adalah metode memancing dengan menarik dan mengulur-ulur line dengan tangan, kedalaman mata pancing mencapai 30-100 m. Hal ini berarti pemancingan dilakukan pada lapisan campuran hingga termoklin. Menurut Weng et al. (2009) Madidihang 93.4% dalam fase hidupnya berada di lapisan campuran dan termoklin dengan kedalaman 200 m. Dari waktu tersebut (93.4%) selama 72.0% berada dalam lapisan campuran pada kedalaman sampai 50 m (mixed layer), pada malam hari: 84.9-46% dan siang hari 59.3-6.1% Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa di lapisan campuran hingga kedalaman 100 m pada lapisan termoklin di fishing ground merupakan tempat yang optimal untuk melakukan kegiatan pemancingan. Pada kedalaman antara 30-100 m tersebut suhu berkisar antara 14 hingga 28 C, dengan DO kisaran 2.47-4.47 mg/l merupakan kondisi yang cocok untuk tuna berukuran kecil maupun besar. Kondisi ini sesuai dengan pendapat dari Mohri dan Nishida (2000) yang mengatakan bahwa Madidihang dewasa di Samudera Hindia

100 memiliki suhu preferensi berkisar antara 13-24 C dengan konsentrasi DO minimal 1 mg/l. Selain cocok untuk yang berukuran besar, lapisan campuran dan termoklin pada fishing ground juga sesuai dengan kondisi untuk fase larva yang membutuhkan suhu hangat diatas 27 C (Conand dan Richards 1982). Suhu lapisasan campuran di fishing ground berada dalam kisaran antara 27-28 C. Oleh karena hasil tangkapan metode coping dan tonda sebagian besar memperoleh ukuran fase juvenil, maka selatan jawa merupakan area nursering bagi Madidihang. Hal ini dikuatkan dengan hasil tangkapan lainnya, yakni metode tonda, 50% hasil tangkapan ikan kecil ditangkap dengan cara ini. Selain ikan larva dan dewasa antara 10-20 kg, ikan tuna yang berukuran besar, di atas 20-70 kg berada juga di lapisan campuran dan termoklin. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa keberadaan ikan berkaitan erat dengan suhu menegak dari perairan. Di rumpon nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru dapat diperoleh gambaran sebagai berikut: 1. Lapisan campuran terjadi sampai pada kedalaman 29 m pada musim barat dan 49 m musim timur, lapisan termoklin terjadi sampai pada kedalaman 149 pada musim barat dan 199 m pada musim timur. Suhu stabil sekitar 27-28º C hingga kedalaman 50 m. Selanjutnya menurun secara gradual dari suhu sekitar 27ºC sampai suhu 14º pada kedalaman 200 m. Pada lapisan dalam dimulai pada kedalaman 200 m, secara gradual suhu menurun dari 14.05º hingga suhu 3.42ºC pada kedalaman 1600 m. 2. Pada lapisan campuran, Madidihang yang tertangkap berukuran 1-2 kg (100%), 2-9 kg (50%), 10-20 kg (50%) dan >20 kg (20%). Tingginya hasil tangkapan pada fase larva hingga juvenil (1-9 kg) Madidihang di lapisan ini merupakan preferensi yang disukai oleh tuna tersebut, campuran yang memiliki suhu hangat, biasanya suhu yang disukai berada di atas 27ºC (Conand dan Richards 1982; Marsac 2002). Dengan demikian, dapat diduga bahwa di fishing ground merupakan habitat yang sesuai dengan fase tersebut karena sesuai dengan suhu optimumnya, yaitu hingga kedalaman 49 m dari permukaan memiliki suhu yang stabil, yakni di atas 27ºC hingga 28ºC. Selain memiliki suhu yang hangat, dalam lapisan campuran fishing ground kaya akan klorofil-a terutama pada musim angin

101 timur dengan kisaran konsentrasi 0.09-5.96 mg/l dengan konsentrasi DO berkisar 4.17-4.56 mg/l. 3. Pada lapisan termoklin, ikan yang tertangkap pada umumnya adalah fase dewasa yaitu yang berukuran di atas 10 kg. Hal ini sesuai dengan pendapat Mohri dan Nishida (2000) yang menyatakan bahwa ikan dewasa di Samudera Hindia berada pada lapisan termoklin, dengan suhu optimal pada kisaran 13-24ºC Sedangkan menurut Rajapaksa et al. (2010), untuk ikan besar dengan ukuran 20.5-21.5 kg menyukai suhu yang hangat, yaitu antara 28-30ºC. Hal ini berarti, ikan tuna berada di lapisan campuran dan termoklin. Dengan demikian, maka keberadaan ikan tuna dewasa di fishing ground nelayan Sendang Biru berada dari permukaan hingga sampai kedalaman 200 m. 4. Apabila melakukan penangkapan, agar memperoleh hasil tangkapan yang optimal, sebaiknya trolling di rumpon dilakukan pada kedalaman pancing antara 30-199 m. Keberadaan ikan tuna besar di permukaan lapisan atas yang ditangkap dengan metode layang-layang menegaskan bahwa ikan tuna memiliki sifat yang berasosiasi dengan benda bergerak (Dagorn and Fréon 1999). Keberhasilan nelayan sekoci menangkap ikan di rumpon membuktikan bahwa Madidihang berasosiasi dengan rumpon, sehingga keberadaan rumpon menjadi penting untuk nelayan (Cayre 1991). Berdasarkan uraian di atas diperoleh gambaran bahwa suhu menjadi faktor pembatas dari parameter hidro-oseanografi untuk Madidihang di fishing ground. Hal ini sesuai dengan pendapat Lan et al. (2011) yang mengatakan bahwa sebaran suhu, terutama suhu menegak merupakan pembatas utama untuk Madidihang, karena pada parameter lainnya cukup toleran. Hal ini sesuai dengan pendapat Song et al. (2008) yang menyatakan bahwa suhu, DO dan klorofil menjadi penting karena berkaitan dengan faktor makanan, sementara salinitas di perairan Samudera Hindia diabaikan, karena cenderung relatif sama, sedangkan menurut Bertrand et al. (2008) faktor suhu memegang peranan penting, karena juga dapat digunakan dalam penentuan lapisan campuran, termoklin dan lapisan dalam. Madidihang dewasa menghabiskan sebagian besar hidupnya pada lapisan termoklin dengan suhu optimal 24ºC

102 karena sebaran suhu sebagai pembatas, akan menentukan lapisan dalam kolom air. Adapun kondisi yang optimal untuk masing-masing variabel tersebut di Samudera Hindia, adalah 100.0-179.9 m, 15.0-17.9ºC, 0.090 0.099 μg/l, dan 2.50 2.99 μg/l, sedangkan salinitas tidak begitu berpengaruh terhadap pergerakan vertikal dari ikan tuna tersebut. Namun, secara umum suhu ideal untuk sebaran tuna dewasa adalah 13-24 o C (Mohri dan Nishida 2000) dan pada waktu siang hari suhu yag comport berkisar 24-27 C, sementara pada malam hari berada di area lapisan campuran yang hangat dengan suhu di atas 27 C (Cayré 1991). Sedangkan untuk fase juvenil adalah di atas 27 C (Conand dan Richards 1982). Dengan demikian, maka ada keterkaitan yang nyata antara sebaran suhu menegak dengan keberadaan Madidihang di masing-masing lapisan. Guna kepentingan tersebut, pengetahuan tentang keberadaan lapisan campuran (mixed layer), termoklin (thermocline) dan lapisan dalam (dept layer) di area penangkapan nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru penting untuk dimiliki. Apalagi dalam kegiatan perikanan tangkap penuh dengan ketidakpastian. Berbagai faktor menjadi penentu keberhasilan dalam perikanan tangkap, diantaranya adalah kondisi alam (natural system), manusianya sendiri (human system), kapal penangkap (fleet ) dan pasar. Diantara ke empat faktor tersebut satu sama lain saling berkaitan satu sama lain, terutama untuk perikanan ikan tuna yang hidup di Samudera Hindia. 4.3 Karakteristik Kapal Sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru 4.3.1 Aspek Teknologi Armada Penangkapan di PPP Pondokdadap Pemanfaatan sumberdaya ikan tuna, khususnya Madidihang atau Yellowfin tuna (Thunnus albacares) yang ada di perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur, mulai di kenal oleh nelayan Sendang Biru Kabupaten Malang pada 1998 setelah kedatangan nelayan dari Kabupaten Sinjai dengan armada tangkap kapal jenis sekoci. Pada saat ini armada sekoci merupakan armada yang memegang peranan penting dalam perikanan tuna di Sendang Biru. Sebelumnya nelayan Sendang Biru hanya menggunakan armada tangkap jenis Sampan Pakisan, Payangan dan Jukung yang wilayah operasinya di perairan pesisir sampai ke perairan territorial atau sampai 12 mil. Kapal

103 sekoci ini dianggap penting karena target ikan utamanya adalah ikan tuna (Efani 2010). Pada tahun 2010 komposisi armada tangkap yang bertambat labuh dan bongkar muat di PPP Pondokdadap Sendang Biru dari tahun 2001 hingga tahun 2010 dari yang paling dominan secara berturut-turut, adalah perahu Sekoci (62%), Sampan Pakisan (25%), Payangan (6%) dan Jukung (7%) seperti terlihat pada Tabel 15. Tabel 15 Jenis armada yang mendarat di PPP Pondokdadap Sendang Biru Jenis Armada 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sekoci (5-10 GT) 77 128 154 145 211 301 273 342 323 303 Payangan (10-30 GT) 1 1 1 1 1 19 30 32 32 32 Sampan Pakisan 92 149 73 198 269 362 331 414 328 128 (Motor tempel) Jukung (tanpa motor) 30 70 73 72 73 65 56 41 38 33 Sumber: Diolah dari laporan tahunan PPI Pondokdadap (2001-2010). Perkembangan armada sekoci mulai tahun 2001 sampai tahun 2010 menunjukan perkembangan yang sangat nyata, yaitu mencapai 252%, dengan rataan pertambahan pertahunnya sekitar 25.1%. Peningkatan dari perkembangan armada sekoci yang bertambat labuh dan bongkar muat di PPP Pondokdadap Sendang Biru, Kabupaten Malang disajikan pada Gambar 26. Gambar 26 Pertumbuhan armada tangkap di PPP Pondokdadap Sendang Biru. Dari Gambar 26, dapat dilihat bahwa dari tahun ke tahun perkembangan armada sekoci selalu mengalami peningkatan, sebaliknya untuk armada tangkap lainnya mengalami penurunan, terutama pada armada sampan pakisan. Perubahan tersebut, menggambarkan bahwa armada sekoci lebih menguntungkan daripada armada lainnya, karena dengan alat bantu rumpon

104 dapat diperoleh kepastian ikan, hasil tangkapan banyak dan didominasi Madidihang yang memiliki nilai jual tinggi. Dengan demikian, setelah mengenal armada sekoci, selanjutnya sebagian besar nelayan Sendang Biru beralih jenis usaha armadanya ke armada kapal sekoci, sehingga armada tangkap lainnya seperti sampan Pakisan dan Jukung mengalami penurunan. 4.3.2 Spesifikasi Armada Tangkap Kapal Sekoci Survey dari kapal sekoci yang digunakan sebagai sampel (Lampiran 4) di Sendang Biru diperoleh hasil bahwa armada kapal sekoci terbuat dari kayu dengan rataan ukuran panjang 16 m, lebar 3.3 m, tinggi 1.6 m, dan bobot 10 GT. Kapal ini di lengkapi dengan 2 mesin dalam (in-board) dengan masingmasing berkekuatan 30 dan 15 PK. Kapal sekoci dilengkapi 3 (tiga) buah box fiber glass tempat es di dalam palka untuk pendingin ikan hasil tangkapan dengan ukuran panjang 2 m, lebar 1.5 m dan tinggi 1.7 m. Kapal sekoci yang digunakan untuk menangkap Madidihang di rumpon, tersaji pada Gambar 27. Gambar 27 Kapal sekoci nelayan PPP Pondokdadap Sendang Biru. Kapal sekoci dilengkapi dengan alat navigasi berupa Global Positioning System (GPS) dan kompas untuk pemandu ke rumpon (lokasi penangkapan). Kapal sekoci berbahan bakar solar, kebutuhan solar adalah 400 l/trip, oli 5 liter/trip, minyak tanah untuk penerangan 10-15 l/trip. Musim penangkapan berlangsung 8 hingga 12 bulan dalam setahun yang tergantung pada kondisi cuaca dengan jumlah rataan trip 2-3 kali per bulan, dimana untuk satu kali trip

105 dibutuhkan waktu 7-10 hari. Spesifikasi yang dimiliki oleh perahu sekoci tersebut, yakni panjang kapal 16 m, dalam skala usaha penangkapan ikan tuna di perairan ZEE, di klasifikasikan sebagai usaha penangkapan ikan tuna berskala menengah. Adapun klasifikasi armada tangkap untuk perikanan tuna adalah:1) skala kecil, yaitu kapal tuna berukuran <12 m, 2) skala menengah, yaitu berukuran 12-24 m, dan 3) skala besar, yaitu berukuran di atas 24 m ( IOTC 2009). Dimasa akan datang kapal dengan ukuran sekoci ini merupakan kapal yang ideal untuk menangkap ikan tuna, terutama Madidihang. Pada tahun 2012 akan diatur kapasitas tangkap dan jumlah tangkapan Madidihang untuk seluruh anggota IOTC. Ukuran kapal yang diperbolehkan adalah kapal tuna yang berukuran maksimal 24 m (IOTC, 2011). Walaupun aturan ini masih banyak dipertentangkan, namun armada sekoci ini perlu dijadikan alternatif pengembangan armada tuna di Indonesia, karena Indonesia terikat aturan IOTC tersebut sebagai anggota. Menurut Pitcher dan Preikshot (2000) dalam menilai keberlanjutan penangkapan ikan, akan diperoleh nilai baik apabila kapasitas ukuran panjang kapal < 8 m, kurang baik (1) dengan ukuran 8-17 m dan (0) dan buruk untuk yang berukuran >17 m. Kapal sekoci Sendang Biru memiliki ukuran 16 m yang berada di kategori 8-17 m, maka memiliki nilai atau bersekala 1. Hal ini akan menjadi peluang dalam pengembangan armada tuna di Indonesia karena walaupun berukuran kecil tetapi mampu beroperasi di perairan ZEEI. Namun dari segi teknologi penangkapan, pasca tangkap dan kualitas sumberdaya manusianya, masih relatif rendah atau tradisional. Aturan IOTC (2009) yang mengganggap kapal sekoci sebagai usaha menengah namun di Indonesia masih dilakukan subsidi, khususnya bahan bakar minyak, akan dianggap melanggar aturan perdagangan dunia. Untuk menghindari sanksi dari pelanggaran atas aturan tersebut maka pemerintah Indonesia harus proaktif dalam penentuan klasifikasi pengelompokan skala usaha perikanan tuna rakyat agar sekoci dimasukkan ke dalam usaha skala kecil atau teknologi armada tangkap nelayan ditingkatkan.

106 4.3.3 Alat Tangkap (Fishing Gear) yang Digunakan Menurut Miyake et al. (2010) peningkatan produksi tuna dunia dipicu oleh peningkatan kapasitas kapal dan perubahan teknologi alat tangkap yang digunakan setelah tuna menjadi komoditas pangan yang memiliki nilai komersial tinggi. Peningkatan efektivitas dan efisiensi kapal dalam produksi ikan tuna, merupakan dasar pesatnya perkembangan alat tangkap purse seine dalam industri kapal tuna. Alat tangkap yang dominan dalam industri tuna adalah purse seine dan long line. Produksi hasil tangkapan purse seine pada total tangkapan tuna dunia, terus mengalami peningkatan yakni 300 000 ton pada tahun 1970 menjadi 2.8 juta ton pada tahun 2006. Menurut Joseph (2003), penggunaan purse seine ini meningkat pesat, karena dapat diset secara vertikal sampai kedalaman 150 m dengan panjang net sampai 1 500 m dan dapat menangkap gerombolan tuna sekaligus. Produksi kapal purse seine dalam satu kali trip bisa mencapai 4 000 ton ikan tuna beku. Namun demikian, penggunaannya pada saat ini dipermasalahkan (ISSF 2011), terutama di rumpon karena dianggap alat tangkap yang tidak selektif dan tidak ramah lingkungan terutama akibat ikut tertangkapnya tuna kecil dan bycath lainnya seperti burung, penyu, dan hiu yang berasosiasi di rumpon. Target utama dari purse seine ini adalah Madidihang dan Cakalang, hampir 60% tangkapan tuna Sirip dunia berasal dari tangkapan purse seine di rumpon. Long line pada mulanya sangat dominan namun pada dekade 70-an menurun hingga hanya tinggal 15% dari produksi tuna dunia pada tahun 2005. Namun untuk usaha skala kecil terus berkembang terutama untuk negaranegara berkembang. Long line ini dapat di set sampai 100 km dengan 3000 buah cabang mata pancing pada kedalaman 100 sampai 150 meter, sehingga target utamanya adalah tuna besar yang berada lapisan bawah termoklin yang memiliki suhu lebih dingin. Kegiatan penangkapan ikan tuna di Samudera Hindia yang dilakukan oleh industri perikanan tuna di mulai pada tahun 1973 dengan armada kapal longline, purse seine dan pole-and-line yang dimiliki oleh negara Prancis, Rusia, Jepang dan Taiwan (IOTC 1998). Negara yang berperan utama dalam pengembangan kapal tuna longline di Samudera Hindia adalah Taiwan, Jepang,

107 Indonesia, Korea, China, dan Thailand dengan kontribusi produksi lebih dari 83% dari total produksi dari hasil tangkapan longline (IOTC 2008). Tuna hasil tangkapan dari kapal longline ini kontribusinya mencapai 16% dari produksi tuna di Samudera Hindia yaitu 1.67 juta ton pada tahun 2006. Menurut Nootmorn et al. (2010) hasil tangkapan tertinggi di peroleh di perairan Somalia dan Seychelles (1.3 ikan/100 hooks), diikuti di perairan Samudera Hindia Barat Sumatera (1.2 ikan/100 hooks) dan Samudera Hindia Selatan Jawa dengan hook rate 1.0 ikan/100 hooks) dengan spesies dominan terrtangkap adalah bigeye tuna, yellowfin tuna, albacore tuna dan swordfish. Sama halnya dengan nelayan dari negara lain, nelayan Sendang Biru melakukan kegiatan perikanan tangkap tuna di perairan Samudera Hindia, khususnya di Selatan Jawa Timur. Namun yang membedakan adalah alat tangkap yang digunakan masih bersifat tradisional, yaitu pancing ulur (hand line). Hasil tangkapan armada hand line Sendang Biru didominasi oleh spesies Madidihang, yang diikuti oleh Cakalang, Bigeye tuna, Marlin, dan Tompek dengan proporsi masing-masing adalah 36.71%, 31.45%, 19.57%, 9.66% dan 2.6%. Alat tangkap yang digunakan adalah pancing ulur (handline), sedangkan metode yang digunakan adalah: 1) copping, 2) tonda, 3) layang-layang dan 4) tomba. Mengenai cara dan waktu menangkap, kedalaman mata pancing, serta umpan yang digunakan untuk masing-masng metode tersebut disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Fishing gear dan metode yang di gunakan nelayan sekoci Perihal Tonda Copping Layangan Tomba Penangkapan Permukaan 30-100 m Permukaan 40-50 m Cara Ditarik perahu Tarik ulur Perahu jalan Pasif Waktu Pagi&sore Siang hari Seharian Siang hari Umpan Ukuran Mata Pancing Ukuran Senar (liner) Hasil Tangkapan Benang mas, bulu kain Sendok, Compact Disk Ikan sintetis Umpan hidup No 7 No 8,9 No 3 No 2 No 50 (0.75 mm), No 60 (0.80 mm) dan No 70 (0.90 mm) Tuna ukuran 1-2 dan 2-9 kg sebanyak 50% Cakalang ukuran 1-2 kg (100%) Sumber: Hasil analisis dan wawancara. No 40 (0.65 mm) No 50 (0.70 mm) Tuna ukuran 1-2, dan 2-9 (50%), 10-20 kg (100%) >20 kg (50%) No 5000 No 6000 Tuna besar (>20 kg) sebanyak 30% No 4000 No 5000 Tuna besar (>20 kg) sebanyak 20%

108 Metode pemancingan yang pertama kali digunakan oleh nelayan sekoci sesaat sampai di lokasi rumpon adalah metode layang-layang. Dalam metode layang-layang ini digunakan liner yang berukuran besar (no 5 000 atau 6 000) dengan mata pancing berukuran besar (No. 3). Umpan yang digunakan adalah ikan sintesis yang terbuat dari karet atau kayu, biasanya berbentuk ikan dan cumi-cumi. Metode ini sesungguhnya adalah hampir sama dengan trolling, namun posisi umpan diletakan di permukaan air. Ikan target utama adalah ikan tuna berukuran di atas 20 Kg. Hasil tangkapan tuna besar dari metode layanglayang sebesar 50% dari total tangkapan/trip. Layang-layang digunakan sebagai pelampung, mata pancing dan umpan berada di permukaan air. Pada saat menerbangkan layang-layang, perahu tersebut dalam keadaan berjalan di sekitar rumpon. Pancing, umpan dan line yang digunakan pada metode pancing layang-layang tersebut dapat dilihat pada Gambar 28. Gambar 28 Alat tangkap yang digunakan dalam metode layang-layang. Apabila metode layang-layang tersebut tidak berhasil, maka berikutnya digunakan metode copping, metode ini merupakan metode tarik ulur (hand line). Umpan yang digunakan terbuat dari sendok atau compact disk bekas yang dibuat menyerupai ikan-ikanan (Gambar 29). Metode copping menggunakan batu sebagai pemberat, sehingga umpan bisa masuk sampai kedalaman antara 50-100 m. Ikan target adalah ikan tuna berukuran antara 10-20 kg dan di atas 20 kg. Dari hasil justifikasi pada nelayan diperoleh hasil bahwa tuna yang diperoleh untuk ukuran antara 10-20 kg (100%), 30% berukuran di atas 20 kg dan 50% untuk ukuran tuna kecil 1-2 kg dan ikan cakalang ukuran 2-6 kg hampir 50% dari total tangkapan.

109 Gambar 29 Alat Tangkap Metode Copping Selain digunakan metode yang bersifat aktif, juga digunakan kegiatan penangkapan dengan metode yang bersifat pasif, yaitu metode tomba yang dilakukan pada siang hari. Metode ini bersifat pasif karena alat pancing di lepas begitu saja, pergerakan umpan diperoleh dari umpan hidup, biasanya ikan lemuru, kembung atau cumi-cumi (Gambar 30). Gambar 30 Alat pancing metode tomba. Kedalaman pancing dari metode ini, mencapai 40-50 m. Adapun mata pancing yang digunakan adalah No 2 (ukuran paling besar). Sebagai tanda umpan di makan oleh ikan target, biasanya digunakan pelampung yang berasal dari jeriken air, jerinken ini dalam bahasa Sinjai dinamakan tomba, sehingga metode ini dikenal juga dengan istilah pancing tomba. Ikan target adalah tuna besar (>20 kg). Hasil tangkapan ikan tuna besar yang diperoleh melalui metode ini adalah sekitar 20% dari total tangkapan/trip. Apabila ke tiga metode tersebut tidak berhasil, maka metode yang digunakan adalah metode tonda, yaitu pancing ditarik oleh perahu yang bergerak berkeliling di sekitar rumpon. Umpan yang digunakan adalah benang

110 mas dan bulu kain sutera, dengan mata pancing berukuran nomor 7 seperti yang tersaji pada Gambar 31. Metode ini sangat dihindari apabila tidak terpaksa, karena ikan tuna yang tertangkap pada umumnya tuna ukuran kecil, yaitu tuna berukuran 1-2 dan 2-9 kg sebesar 50% dari total hasil tangkapan. Berdasarkan cara operasi metode pancing yang digunakan maka alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Sekoci bersifat tidak merusak atau ramah lingkungan dan selektif untuk ukuran tuna besar. Produksi total Madidihang yang di peroleh dengan metode pancing copping, tonda, layang-layang dan tomba masing-masing adalah 53%, 28%, 14% dan 5%. Gambar 31 Alat pancing metode tonda. Metode yang paling efektif diantara ke empat metode adalah metode copping, karena umpan masuk ke perairan sampai kedalaman 30-100 m yang merupakan habitat yang disukai ikan-ikan tuna besar. Menurut Cayré (1991) pada siang hari tuna besar di rumpon memiliki gerakan vertikal akan bergerak sampai pada kedalaman antara 70-110 m dari lapisan bawah termoklin, jarang sekali sampai ke permukaan (0-10 m). Penggunaan alat tangkap pancing tersebut pada umumnya merupakan alat tangkap yang selektif, terutama untuk metode copping, layang-layang dan tomba, karena sebagian besar ikan yang ditangkap adalah tuna yang berukuran besar (>20 kg), sehingga di harapkan sudah matang gonad semua. Sesungguhnya dari ke empat metode tersebut, apabila ditinjau dari sisi ekologi metode layang-layang yang paling ramah lingkungan dan selektif, karena hasil tangkapan Madidihang yang diperoleh adalah berukuran besar, yaitu di atas 20 kg. Namun tanpa alasan yang jelas metode pancing layang-layang tersebut dilarang penggunaannya apabila

111 dioperasikan oleh kapal di atas 5 GT di perairan ZEEI (jalur penangkapan III) sebagai mana tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.02/MEN/2011 pasal 30 ayat 11 yang diperjelas dalam lampiran Nomor 9.5.1. Oleh karena hasil tangkapan pancing layang-layang pada hasil analisis memiliki nilai selektifitas yang tinggi dan ramah lingkungan, maka peraturan tersebut perlu ditinjau ulang kembali. Penggunaan alat pancing tersebut merupakan alat tangkap yang pasif, selektif dan tidak berdampak negatif terhadap lingkungan sehingga memiliki nilai yang baik sebagai indikator dalam menilai indeks keberlanjutan. Menurut Pitcher dan Preikshot (2001), dalam menilai keberlanjutan penangkapan ikan, akan diperoleh nilai baik apabila alat tangkap yang digunakan memiliki nilai selektif yang yang tinggi dan tidak berdampak terhadap lingkungan sehingga diberi skala 2. Dengan demikian, secara ekologi maka penggunaan alat tangkap yang digunakan oleh nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru Kabupaten Malang adalah baik, sehingga penggunaan pada akan datang perlu dipertahankan. 4.3.4 Peralatan dan Metode Penanganan di Kapal, Kualitas Hasil Tangkapan dan Pasar Ikan tuna (Thunus spp) merupakan komoditas pangan yang sangat digemari dan dicari di pasar dunia, karena memiliki kualitas daging yang sangat baik, lembut, dan lezat, serta memiliki kandungan gizi yang tinggi, karena semua asam amino essensial terdapat pada dagingnya (FAO 2007). Grade atau kualitas ikan tuna sangat ditentukan oleh ukuran, warna, kesegaran dan kandungan lemak, disamping penampakan umumnya. Semakin tinggi kualitasnya, maka harganya akan tinggi pula. Target utama kapal tuna longline adalah ikan tuna untuk produk shasimi, sedangkan kualitas di bawahnya dibuat steak, smoke dan ikan kaleng. Ikan merupakan produk yang mudah rusak maka penanganannya harus cepat dilakukan. Untuk memperoleh kualitas shasimi, segera setelah ditangkap tuna tersebut selanjutnya dimatikan dengan cara menusuk bagian syaraf otaknya (stunned), spiked, dan double spiked dengan alat taniguchi, dan darahnya segera dikeluarkan, kemudian dikeluarkan insang dan isi perutnya, dicuci dengan air dingin. Pekerjaan tersebut harus dilakukan

112 dalam waktu tidak lebih dari 15 menit. Selama pemrosesan, tuna harus terhindar dari sengatan matahari dan tidak sampai menderita (suffer) sehingga terhindar dari burnt tuna syndrome. di Jepang di sebut yake-niku dan tidak masuk standar untuk dijadikan shasimi. Peralatan yang harus dipersiapkan sebelum dilakukan pemancingan dimulai adalah dek harus dipersiapkan dan dilengkapi dengan peralatan yang diperlukan untuk penanganan, seperti gaffs, fish bat, spike, taniguchi tools, pisau, gergaji daging, meat, hook, sikat nilon, seawater hose, carpet or pad, gloves, and mutton cloth atau plastic body bag. Pengawetan tuna yang akan dibuat shasimi bisa dilakukan dengan proses rantai dingin (Chilled) atau dibekukan. Apabila tuna yang ditangkap tidak lama prosesnya sampai tiba di pasar maka cukup menggunakan es, sedangkan untuk produksi pengalengan disimpan pada suhu 18 C atau di bawahnya, selama perjalanan ke pusat pendaratan. Hampir semua kapal tuna longline dilengkapi dengan peralatan tersebut guna menjaga mutu ikan yang dihasilkan (http://www.spc.int/ coastfish/sections/development/ FDS Publications/ FDSManual). Peralatan dan persiapan dek untuk penanganan ikan pada Sekoci tidak dipersiapkan secara khusus, tidak seperti pada kapal tuna longline modern. Peralatan yang disiapkan untuk penanganan yaitu ganco dan pisau. Penanganan ikan dilakukan pada sore hari bahkan malam hari setelah kegiatan pemancingan berhenti dan hanya dilakukan untuk hasil tangkapan yang berukuran besar (>10 Kg), sedangkan yang berukuran kecil tidak dilakukan penanganan. Penanganan yang dilakukan yaitu pembuangan insang dan isi perut. Prosedur ini dilakukan apabila hasil tangkapan sedikit, sebaliknya apabila hasil tangkapan banyak tidak dilakukan kegiatan pemrosesan, bahkan ikan dibiarkan di atas dek tersengat panas matahari. Hasil tangkapan selanjutnya di simpan dalam fiber box yang diawetkan dengan cara rantai dingin. Sebagai pendingin digunakan es balok (70-80 balok/trip), setiap balok memiliki berat 30 Kg. Penyimpanan dilakukan dalam box yang terbuat dari fiber, setiap kapal dilengkapi 3 unit fiber box. Kualitas hasil tangkapan nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru pada umumnya memiliki kualitas rendah yang disebabkan penanganan tidak

113 sesuai dengan prosedur untuk tujuan shasimi. Keterbatasan peralatan untuk penanganan dan teknologi yang dimiliki mengakibatkan hampir 70% hasil tangkapannya bermutu rendah. Kualitas Madidihang hasil tangkapan kapal sekoci Sendang Biru untuk yang berukuran >20 kg dari total pengiriman 2 570 kg yang di kirim kepada PT. Kelola Mina Laut Gresik pada tanggal 18 Maret 2011 tidak ada yang termasuk kategori dengan Kualitas A. Berdasarkan standar pabrik (Tabel 17), kualitasnya hanya masuk pada kategori kelas B, C dan D, masing-masing adalah 858.5 kg (35%), 1 172.5 kg (49%), 434 kg (22%) dan 105.5 kg (0.6%). Padahal kualitas ikan yang dikirim tersebut sudah dianggap kualitas baik (grade A). Peruntukan dari masing-masing grade tersebut dapat dilihat pada Lampiran 5. Tabel 17 Standar Fisik dan Biologi Pabrik No Item Kualitas A Kualitas B Kualitas C Kualitas D Rejek 1 Warna Daging Merah Cerah Merah Merah Muda Pucat Pucat 2 tidak Aroma Daging Segar Segar Segar Bau / Basi beraroma 3 Tekstur Daging Kenyal Kenyal Kenyal lembek hancur 4 Rasa Daging Segar, Manis Segar Segar Tidak Berasa Bau / Basi 5 TPC <500 000/gr <500 000/gr 500 000/gr 500 000/gr 500 000/gr 6 Histamin <50 ppm <50 ppm <50 ppm <50 ppm <50 ppm 7 Salmonella 0 0 0 0 0 8 E. Colli 0 0 0 0 0 9 Coliform 0 0 0 0 0 Sumber: PT. Kelola Mina Laut (2011). Rendahnya mutu hasil tangkapan tersebut, berdampak kepada harga jual. Selain keterbatasan teknologi, penyebab utama dari rendahnya mutu ikan yang diperoleh karena adanya persepsi nelayan bahwa antara ikan yang bermutu baik dan tidak di PPP Pondokdadap memiliki nilai jual yang sama. Sehingga penanganan ikan di kapal dianggap menambah perkerjan. Persepsi ini didasarkan pada saat pelelangan oleh petugas lelang, harga tidak berpatokan kepada mutu ikan namun didasarkan pada standar kuantitas kelompok berat, yaitu 1-2 kg, 2-9 kg, 10-20 kg dan >20 kg. Efek lanjut dari kondisi tersebut, menguatkan persepsi nelayan bahwa ikan yang bermutu baik atau tidak dianggap sama saja. Dari hasil wawancara dengan 135 nelayan responden sekitar 95% menghendaki ada perubahan sistem pelelangan dengan ketentuan mutu dijadikan pokok penentuan lelang. Apabila di PPP Pondokdadap pelelangan di

114 dasarkan pada patokan mutu dengan harga yang lebih tinggi, maka nelayan akan melakukan penanganan ikan di kapal berdasarkan ketetapan standar mutu baku dan menangkap ikan berukuran besar saja. Dari hasil wawancara, sesungguhnya nelayan mengerti dan sadar akan pentingnya menangkap ikan yang berukuran besar, namun karena keterpaksaan guna menutup biaya operasional maka semua jenis ikan pada akhirnya ditangkap. Nelayan berharap ada perbaikan dalam sistem pelelangan di PPP Pondokdadap dan perbaikan infrastruktur pendukung lainnya. 4.4 Aspek Ekonomi Perikanan Madidihang 4.4.1 Harga Jual dan Pasar Patokan harga Madidihang di PPP Pondokdadap, belum berpatokan kepada mutu ikan, namun didasarkan pada standar kuantitas kelompok berat, yaitu 1-2 kg, 2-9 kg, 10-20 kg dan >20 kg. Harga Madidihang dari tahun 2003-210, untuk yang berukuran 1-2 kg, 2-9 kg, 10-20 kg dan > 20 kg, harga ratarata/kg masing-masing berkisar antara Rp 4 786-8 774, Rp 5 731-9 351, Rp 6 456-16 841, dan Rp 13 493-23 796. Perubahan harga Madidihang tersebut trendnya disajikan pada Gambar 32. Gambar 32 Rataan harga (Rp/kg) Madidihang di PPP Pondokdadap. Dari Gambar 32 diperoleh gambaran, bahwa dari tahun 2003-2010 untuk masing-masing ukuran mengalami peningkatan, yaitu untuk yang berukuran 1-2 kg, 2-9 kg, 10-20 kg dan >20, masing-masing mengalami kenaikan sebesar 9%, 8%, 16% dan 10% per tahun. Kenaikan tertinggi terjadi pada ikan yang

115 berukuran >10 kg. Apabila kisaran harga tersebut di rata-ratakan, maka untuk harga Madidihang di PPP Pondokdadap adalah Rp 14 671.37/kg dan apabila dikurskan terhadap nilai USD (1USD=Rp8 825), maka harganya adalah USD $1 664.74 per ton. Penentuan harga Madidihang di PPP Pondokdadap, sepenuhnya di tentukan oleh harga lelang yang disepakati antara pembeli dengan pengambek sebagai kuasa dari nelayan atau pemilik kapal sekoci. Pelaksana lelang di lakukan oleh KUD Mina Jaya, di bawah pengawasan Badan Pengelola PPP Pondokdadap. Namun demikian, sering kali diduga adanya kesepakatan harga antara pembeli dan pengambek, atau diantara pembeli untuk mengatur harga lelang sebelum dilakukan lelang. Kondisi ini seringkali menjadikan salah satu penyebab terjadinya konflik antara nelayan dengan pengambek. Mekanisme lelang yang diatur oleh KUD Mina Jaya ini, dianggap tidak menguntungkan pihak nelayan, karena peserta lelang di batasi sesuai kriteria KUD, sehingga peserta lain dari luar tidak bisa melakukan kegiatan lelang. Pemasaran hasil tangkapan Madidihang nelayan Sendang Biru dilakukan berdasarkan ukuran ikan tangkapan ke perusahaan eksportir hasil olahan tuna. Untuk ikan berukuran >20 kg dan ukuran 10-20 kg dipasarkan sebagian besar ke perusahaaan di Denpasar, Gresik dan Surabaya, sementara ikan berukuran < 10 kg dipasarkan ke Surabaya dan Banyuwangi. Pada umumnya tuna berukuran 1-10 kg diolah menjadi produk kalengan (canning) sedangkan di atas 10-20 kg diolah untuk ikan kalengan dan smoke dan steak, sedangkan di atas 20 kg diolah untuk produk loin, steak dan smoke yang kesemuanya merupakan produk untuk diekspor. Sehingga hasil tangkapan tuna dari PPP Pondokdadap Sendang Biru Malang, merupakan komoditas yang menghasilkan devisa negara, selain dapat menyerap tenaga kerja dan peningkatan kesejahteraan nelayan. 4.4.2 Biaya Operasional dan Pendapatan Pengeluaran untuk kegiatan penangkapan Madidihang nelayan sekoci secara garis besar terdiri atas biaya untuk pembelian bahan bakar minyak berupa solar, pembelian es pengawet hasil tangkapan, dan pembelian perbekalan berupa sembako. Biaya terbesar dikeluarkan nelayan untuk

116 pembelian solar yaitu sebesar 78.0%, kemudian disusul oleh pembelian es sebesar 11.6% dan sembako sebesar 10.4%. Kebutuhan es dan sembako dipasok oleh pedagang dari luar Sendang Biru. Sembako didatangkan dari kota Malang dan Es berasal dari Kota Malang, Kabupaten Blitar dan Tulung Agung. Sedangkan solar diperoleh dari KUD Mina Jaya sebagai pemilik Solar Paket Dealer Diesel Nelayan (SPDN) di area PPP Pondokdadap. Tabel 18 Jenis pembiayaan nelayan sekoci per trip tahun 2003-2010 Tahun Jenis Biaya per Trip (Rp) BBM & Oli Es Sembako 2003 597 754 109 971 154 866 2004 699 666 136 621 126 474 2005 914 527 144 956 142 985 2006 1 295 649 189 169 136 810 2007 924 504 120 768 100 400 2008 754 985 92 595 74 366 2009 831 619 110 610 95 324 2010 1 404 784 199 979 157 761 Rataan 927 936 138 083 123 623 Persentase (%) 78.0 11.6 10.4 Sumber: Hasil analisis. Kebutuhan atas seluruh biaya operasional tersebut disediakan oleh pengambek. Nama-nama pengambek dan banyaknya kapal yang dikelola untuk masing-masing pengambek yang ada di PPP Pondokdadap Sendang Biru pada tahun 2010 tersaji pada Lampiran 8. Biaya operasional yang dikeluarkan nelayan sekoci untuk menangkap tuna tersebut dihitung sebagai bagian dari kewajiban pengambek. Selanjutnya pendapatan nelayan diperoleh dari pengurangan dari total jual dikurangi biaya restribusi, pengambek, dan biaya operasional. Pada periode tahun 2003-2010 rataan biaya operasional untuk setiap armada kapal sekoci selalu mengalami peningkatan, pada tahun 2003 rataan biaya operasional untuk setiap kapal sekoci sebesar Rp 40 094 616.67 per tahun atau Rp 1 795 281.34 per trip dan pada tahun 2010 mencapai Rp 75 324 275.00 atau Rp 5 745 071.82 per trip. Kenaikan biaya tersebut dari tahun 2003 hingga tahun 2010 mencapai 134.16% atau 19.17% per tahun (Tabel 19). Kenaikan biaya sebagaimana diuraikan di atas, terjadi karena dipicu oleh kenaikan harga BBM terutama pada tahun 2008, padahal BBM merupakan komponen utama dalam operasional sehingga kenaikan BBM tersenut

117 selanjutnya mengakibatkan terjadinya kenaikan harga bahan pokok sembako dan biaya lainnya. Tabel 19 Rataan biaya (Rp) operasional kapal sekoci Tahun Trip Total Biaya biaya/armada Biaya/Trip Biaya/kg Kenaikan (%) 2003 67 120 283 850 40 094 616.67 1 795 281.34 1 522.99 2004 139 254 921 631 31 865 203.88 1 833 968.57 1 776.78 2.15 2005 233 629 342 460 48 410 958.46 2 701 040.60 2 224.85 47.28 2006 360 1 335 741 245 60 715 511.14 3 710 392.35 3 921.78 37.37 2007 389 1 594 014 140 59 037 560.74 4 097 722.72 5 126.75 10.44 2008 414 2 131 096 960 78 929 517.04 5 147 577.20 6 699.31 25.62 2009 420 2 258 265 089 83 639 447.74 5 376 821.64 5 635.18 4.45 2010 354 2 033 755 425 5 324 275.00 5 745 071.82 6 336.08 6.85 Jumlah 2,376 10 357 420 800 478 017 091 30 407 876 33 244 134.16 Rataan 297 1 294 677 600 59 752 136 3 800 985 4 155 19.17 Sumber: Hasil analisis. Pendapatan kotor dari tahun 2003 sampai tahun 2010 mengalami fluktuasi. Sebaliknya untuk kenaikan biaya operasional mengalami kenaikan yang linier per tahun. Laju kenaikan pendapatan dari tahun 2003 hingga tahun 2010 sebesar 64.83% dengan kenaikan rataan sebesar 9.26% per tahun (Tabel 20). Tabel 20 Pendapatan Kotor (Rp) kapal sekoci Tahun Trip Total Pendapatan Pendapatan/armada Pendapatan/trip Pendapatan/kg Kenaikan (%) 2003 67 429 930 090 143 310 030.00 6 416 867.01 5 443.60 2004 139 952 313 150 119 039 143.75 6 851 173.74 6 637.53 6.77 2005 233 2 275 865 290 175 066 560.77 9 767 662.19 8 045.65 42.57 2006 360 2 827 849 670 128 538 621.36 7 855 137.97 8 302.65 (19.58) 2007 389 3 703 896 720 137 181 360.00 9 521 585.40 11 912.66 21.21 2008 414 4 206 674 330 155 802 752.96 10 161 049.11 13 224.09 6.72 2009 420 5 080 742 568 188 175 650.67 12 097 006.11 12 678.27 19.05 2010 354 3 772 203 418 139 711 237.70 10 655 941.86 11 752.14 (11.91) Jumlah 2 376 23 249 75236 1 186 825 357 73 326 423 77 996.60 64.83 Rataan 297 2 906 184 405 148 353 170 9 165 803 9 750 9.26 Sumber: Hasil analisis. Walaupun pendapatan mengalami penurunan namun kegiatan penangkapan tuna, khususnya Madidihang, terus mengalami peningkatan. Perbandingan antara biaya dan pendapatan nelayan sekoci untuk setiap trip menunjukkan nilai yang surplus sepanjang tahun 2003-2010 walaupun nilai selisihnya semakin mengecil, khususnya pada tahun 2006 dan 2009 dimana terjadi kenaikan harga solar yang drastis (Gambar 33).

118 Gambar 33 Perbandingan biaya dan pendapatan per trip nelayan sekoci tahun 2003-2010. 4.4.3 Pendapatan Nelayan dan Pengambek serta Subsidi Pembagian pendapatan untuk nelayan sekoci diperoleh dari penjualan Madidihang dan ikan ikutan lainnya. Di Sendang Biru sistem pembagian untuk armada kapal sekoci berbeda dengan kapal Payangan, maupun kapal lainnya. Sistem pembagian di bedakan atas dasar kepemilikan, pemodal, nahkoda dan ABK yang telah disepakati bersama dan berlaku secara umum. Adapun yang dimaksud dengan pemilik modal adalah orang yang membiayai semua biaya operasional kapal, termasuk kebutuhan ABK, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Di Sendang Biru pemilik modal tersebut disebut pengambek. Pengambek selain berkewajiban untuk menyediakan kebutuhan biaya operasional, juga berkewajiban untuk menyediakan bahan-bahan untuk kebutuhan melaut, menjualkan ikan hasil tangkapan di pelelangan dan bertanggung jawab terhadap keselamatan kapal dan ABK. Berdasarkan peranan tersebut, atas dasar kesepakatan, pengambek di Sendang Biru memperoleh bagian pendapatan berkisar antara 5-10% dari pendapatan kotor per trip. Selain memperoleh keuntungan dari hasil penjualan ikan, keuntungan lain diperoleh dari penjualan solar, es dan sembako. Margin keuntungan untuk solar/l dan es/balok adalah sekitar Rp 500, sedangkan untuk sembako bervariasi antara 10-20%. Sesungguhnya fenomena ini dijumpai di wilayah pesisir lainnya, terjadinya patrun-clien antara nelayan dan pemilik modal (Satria 2006). Besaran biaya yang dikeluarkan pengambek pada kapal sekoci penelitian dapat dilihat pada Tabel 21.

119 Tabel 21 Modal dan pendapatan pengambek kapal sekoci dari tahun 2003-2010 Tahun TOTAL BIAYA (Rp) Jasa (5%) dari Pendapatan Pendapatan Pengambek (Rp) BBM (10%) ES (10%) Sembako (10%) Total Pendapatan (Rp) Probability (%) 2003 120 283 850 20 906 201 8 437 465 1 354 000 2 236 920 32 934 585 27 2004 254 921 631 46 800 230 18 307 500 3 570 312 3 614350 72 292 393 28 2005 629 342 460 106 815 209 47 250 650 7 731 446 7 952 150 169 749 455 27 2006 1 397 435 095 134 026 128 111 705 856 15 924 353 12 113 300 273 769 637 20 2007 1 715 147 092 189 873 837 138 444 665 17 894 594 15 175 450 361 388 545 21 2008 2 125 326 315 175 412 430 173 309 290 20 970 017 18 253 324 387 945 061 18 2009 2 388 102 640 205 934 927 186 608 764 27 079 800 25 121 700 444 745 190 19 2010 2 075 043 675 152 015 418 165 899 297 23 194 950 18 410 120 359 519 785 17 Total 10 705 602 758 1 031 784 790 849 963 489 117 719 473 102 877 314 2 102 344 654 Sumber: Hasil analisis. Dari Tabel 21 dapat dilihat bahwa modal yang dikeluarkan pengambek untuk membiayai operasi dari 27 kapal sekoci yang dijadikan sampel dari tahun 2003 hingga 2010 adalah sebesar Rp 10 705 602 758. Dari total biaya yang dikeluarkan tersebut diperoleh laba sebesar Rp 2 102 344 654. Ratio keuntungan terhadap modal yang dikeluarkan adalah berkisar antara 17-28% atau 1.4-2.3% per bulan. Keuntungan tersebut dianggap wajar, mengingat dari modal yang dikeluarkan tersebut pengambek tidak memberlakukan jaminan. Bahkan ratio tersebut jauh lebih kecil dengan suku bunga yang ditawarkan oleh koperasi dan Bank Perkreditan rakyat yang berkisar antara 1.5-2.5% per bulan ditambah jaminan dan sistem administrasi yang rumit. Berdasrkan peranan tersebut, maka keberadaan pengambek di PPP Pondokdadap Sendang Biru Kabupaten Malang memiliki peranan penting, karena dapat menggantikan peranan KUD Mina Jaya dan lembaga keuangan lainnya. Pendapatan pemilik kapal, nahkoda dan ABK sekoci, diperoleh dari pendapatan bersih. Sistem pembagiannya adalah total pendapatan bersih di bagi 12 bagian, selanjutnya pemilik kapal memperoleh bagian sebesar 6/12 (50%), nahkoda 2/12 (17%) dan ABK 4/12 atau 33%. ABK biasanya terdiri dari 4 orang, sehingga memperoleh bagian 8.3% per orang. Berdasarkan sistem pembagian tersebut, pendapatan bersih pemilik kapal adalah Rp 26 220 618 per kapal/tahun atau Rp 2 185,051.57 per bulan, sedangkan untuk nahkoda dan nelayan sekoci memiliki rataan pendapatan Rp 1 701 943.28 per bulan yang nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan nilai upah mimimum regional (UMR) Kabupaten Malang tahun 2010 yaitu Rp 1 077 600 per bulan.

120 Nelayan sekoci yang sebagian besar merupakan pendatang, relatif kurang tersentuh oleh program-program bantuan langsung yang disediakan pemerintah sebagaimana nelayan di Desa Tambakrejo yang pernah mendapatkan bantuan berupa pengadaan perahu, alat tangkap, alat bantu penangkapan (rumpon) serta modal kerja. Nelayan sekoci umumnya mendapatkan pinjaman modal kerja dari pengambek dan menerima bantuan subsidi pemerintah dalam bentuk tidak langsung seperti BBM bersubsidi di SPDN Pondokdadap dan hak untuk menggunakan fasilitas yang dibangun pemerintah di PPP Pondokdadap. 4.4.4 Analisa Usaha Kapal Sekoci dan Kepemilikan Usaha Keuntungan dalam usaha perikanan adalah faktor yang penting dalam keberlanjutan atau tidaknya usaha perikanan itu dilakukan. Dalam usaha perikanan tuna, keuntungan dapat dilihat dari dua sisi yaitu keuntungan yang diperoleh pemilik dan keuntungan yang diperoleh ABK atau nelayan. Dalam analisis kinerja usaha, keuntungan yang diperoleh pemilik dapat dilihat dari nilai R/C ratio, pendapatan (net revenue), dan profitability (%). Sedangkan keuntungan yang diperoleh dari ABK atau nelayan yang dilihat adalah besarnya pendapatan dan keberlanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidup atau rumah tangganya. Nilai investasi dan penyusutan pada kapal sekoci tersaji pada Tabel 22. Pada Tabel 22 diperoleh gambaran bahwa investasi awal untuk satu unit kapal sekoci pada tahun 2002 adalah Rp 95 050 000. Dari hasil wawancara di peroleh gambaran bahwa umur teknis sebuah kapal sekoci adalah 5 tahun (60 bulan) sehingga dalam perhitungan pemilik kapal dalam periode tahun 2003-2010 diasumsikan melakukan investasi sebanyak 2 (dua) kali yaitu tahun 2002 dan 2007. Nilai investasi total untuk perahu, alat tangkap, dan alat bantu penangkapan pada tahun 2002 adalah Rp 95 050 000 dan meningkat menjadi Rp 102 060 000 pada tahun 2008, sehingga total investasi nelayan pada periode tersebut adalah Rp 187 110 000. Investasi nelayan tersebut akan mengalami penyusutan yang nilainya semakin bertambah dengan rataan penurunan nilai Rp 14 837 785 per tahun.

121 Tabel 22 Nilai investasi dan penyusutan investasi kapal sekoci tahun 2002-2010 No Uraian Nilai Investasi Nilai Penyusutan 2002 2008 2003 2010 1 Perahu sekoci 40 000 000 48 000 000 6 450 000 11 668 860 2 Mesin sekoci: a. Mesin 30 PK 17 500 000 21 000 000 2 687 500 5 105 126 b. Mesin 15 PK 6 500 000 7 800 000 860 000 1 896 190 3 Box pendingin 3 000 000 3 600 000 537 500 875 165 4 Pancing 1 000 000 1 306 669 500 000 653 335 5 GPS 3 000 000 3 600 000 645 000 875 165 6 Peralatan masak 1 500 000 1 800 000 322 500 437 582 7 Kompas 350 000 420 000 75 250 102 103 8 Jangkar 250 000 300 000 32 250 72 930 9 Tali jangkar 500 000 600 000 107 500 145 861 10 Ganco, pisau 500 000 600 000 86 000 145 861 11 Bohlam, aki 750 000 900 000 161 250 218 791 12 Petromax 200 000 240 000 37 625 58 344 13 Rumpon 10 000 000 12 000 000 - - TOTAL 95 050 000 102 060 000 10 927 375 17 226 154 Sumber: Hasil analisis dari data primer. Selain mengeluarkan biaya investasi di atas, pemilik kapal juga mengeluarkan biaya operasional yang terdiri dari pembelian solar, oli, es, sembako, upah kerja nahkoda dan ABK, pajak dan biaya manajemen yaitu retribusi pengelola PPP Pondokdadap 1.5%, restribusi desa 0.05%, dan bagian pengambek 5 %, serta biaya tak terduga. Perhitungan arus laba didasarkan kepada rataan nilai pendapatan, yaitu sebesar Rp 148 100 625 dengan rataan nilai biaya operasional sebesar Rp 78 658 592. Selisih antara pendapatan dan biaya operasioanal diperoleh laba dengan rataan Rp 69 442 033 per tahun. Seiring dengan meningkatnya harga BBM, es dan sembako, maka laba yang diperoleh dari tahun ketahun berfluktuasi. Pada Tabel 22, diperoleh gambaran bahwa kenaikan laba terjadi dari tahun 2003 sampai 2005, kemudian pada tahun 2006 mengalami penurunan, selanjutnya mulai tahun 2007 kembali stabil dan terus mengalami peningkatan. Gambaran biaya, pendapatan dan laba dari kapal sekoci penelitian tersaji pada Tabel 23. Berdasarkan nilai kriteria seperti dalam Tabel 23, maka usaha penangkapan ikan tuna dengan menggunakan kapal sekoci di PPP Pondokdadap pada tahun 2003 hingga 2010 sangat menguntungkan bagi pemilik sebagai pengusaha dan pelaku usaha di bidang penangkapan ikan tuna. Kriteria menguntungkan tersebut diperoleh dari hasil perhitungan performa kelayakan usaha dengan yang dapat dilihat dari indikator Revenue cost ratio

122 (R/C), dari tahun ke tahun menunjukkan nilai yang menguntungkan yaitu berkisar antara 1.74-2.02. Apabila keuntungan yang diperoleh dibandingakan dengan nilai investasi dari kapal sekoci tersebut (profitability) maka diperoleh nilai yang tinggi dari tahun ke tahun, yaitu berkisar antara 68-94%. Tabel 23 Biaya, pendapatan, serta laba kapal sekoci tahun 2003-2010 Tahun Total Revenue (Rp) Total Cost (Rp) Profit (Rp) R/C ratio Profitability (%) Discount Rate (%) 2003 136 955 772.8 78 741 404.53 58 214 368.31 1.74 68 15.68 2004 119 989 790.1 70 962 035.28 49 027 754.84 1.69 58 14.05 2005 167 632 305.0 91 728 474.98 75 903 830.03 1.83 89 15.66 2006 131 025 847.0 67 797 834.49 63 228 012.46 1.93 74 15.1 2007 145 627 087.8 75 466 458.66 70 160 629.12 1.93 82 13.01 2008 153 435 425.7 76 016 522.92 77 418 902.82 2.02 76 14.4 2009 192 312 866.8 96 171 019.64 96 141 847.18 2.00 94 14.23 2010 137 825 901.3 70 918 303.19 66 907 598.14 1.94 66 13.24 Sumber: Hasil analisis (Discount rate di dasarkan pada suku bunga biaya investasi Bank Umum (BPS, 2011). Apabila keuntungan yang diperoleh dibandingakan dengan nilai investasi dari kapal sekoci tersebut (profitability) maka diperoleh nilai yang tinggi dari tahun ke tahun, yaitu berkisar antara 68-94%. Hal ini berarti apabila modal investasi tersebut diperoleh dari peminjaman dari perbankan (Bank Umum) maka usaha kapal sekoci akan sangat menguntungkan, karena lebih tinggi dari bunga kredit investasi dari bank tersebut yang berkisar antara 13.01-15.66% per tahun. Sebagai gambaran dari perhitungan payback periode, investasi pada tahun 2002 tersebut kembali 27 bulan kemudian (Nilai payback period= 27), sehingga pada tahun 2007 pemilik kapal dapat memperbaharui kembali armadanya. Tingginya tingkat keuntungan dalam usaha penangkapan ikan tuna di Sendang Biru menjadi daya tarik bagi pengusaha armada sekoci dari daerah lain, seperti Sinjai dan Banjarmasin untuk memindahan kegiatan usahanya ke Sendang Biru. Di Sendang Biru kapal pendatang dari luar daerah tersebut, apabila pemiliknya tidak menetap sebagai penduduk permanen, disebut sebagai nelayan andon. Bentuk investasi lainnya yang berlaku di Sendang Biru adalah adanya pola kerjasama antara pengusaha sekoci Sendang Biru dengan pemilik modal dari luar, seperti dari Kota Surabaya, Bandung, Jakarta, Makasar, dan

123 Banjarmasin. Pola kerjasama yang disepakati yaitu pengusaha Sendang Biru bertanggung jawab kepada kesuksesan usaha dan membiayai kebutuhan operasional melaut, sedangkan biaya investasi kapal sepenuhnya menjadi tanggungan pemodal dengan pembagian keuntungan adalah 50:50 dari pendapatan bersih. Pada tahun 2008 tercatat 220 unit kapal yang dikategorikan sebagai kapal lokal (milik pengusaha Sendang Biru) dan sekitar 90-an unit diantaranya merupakan kapal yang dimiliki pengusaha yang berasal dari luar Malang dengan pola kerjasama seperti dijelaskan di atas, sedangkan untuk kapal andon tercatat 129 unit. Komposisi kapal yang ada di Sendang Biru pada tahun tersebut, berdasarkan kepemilikan usaha, 219 unit (63%) milik pengusaha dari luar dan 130 unit (37%) dimiliki pengusaha Sendang Biru. Kondisi ini tidak menguntungkan bagi Pemkab Malang, mengingat besarnya pendapatan yang diperoleh dari ekstraksi sumberdaya ikan tuna dinikmati oleh masyarakat luar Kabupaten Malang (cash out flow). Hal ini diperparah dengan kondisi ABK, yang sebagian besar berasal dari luar Malang, terutama dari Kabupaten Sinjai atau Kalimantan Timur. Namun demikian, sikap masyarakat Sendang Biru tidak mempermasalahkan pendatang dari luar (ekternal), baik sebagai nelayan andon maupun pemilik usaha baru, karena kedatangan pihak eksternal dianggap menguntungkan pada masyarakat lokal yang memiliki usaha terkait dengan penyediaan modal operasional perahu dan pasokan sembako dan pancing, terutama untuk pengambek. Pada saat ini terdapat pihak eksternal, sebagai nelayan andon memberikan nilai manfaat sebesar 38.05% untuk penduduk lokal, sebagai hasil penjualan solar dan es, walaupun hampir 88,93% pada akhirnya di bawa ke luar Kabupaten Malang. Dengan demikian, masyarakat Sendang Biru membuka diri untuk pendatang (andon), tidak seperti daerah lain yang selalu menolak kedatangan kapal dari luar daerah. 4.4.5 Kontribusi Sektor Perikanan Terhadap PDRB Salah satu besaran ekonomi yang sering digunakan untuk mengukur kemajuan pembangunan suatu daerah adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB akan menggambarkan kinerja aktifitas perekonomian sektor

124 riil suatu daerah pada waktu tertentu. Dari PDRB akan didapat derivatif besaran ekonomi lainnya. Besaran derivatif tersebut akan menunjang dan melengkapi besaran PDRB dalam analisis sehingga analisis yang dilakukan akan semakin akurat dan dalam. PDRB adalah output dari aktifitas ekonomi suatu daerah pada kurun waktu tertentu dikurangi biaya antaranya. Agar tercermin perkembangan kuantitas produksi yang sesungguhnya, maka penghitungan PDRB menggunakan patokan harga tertentu (biasa disebut harga tahun dasar atau harga konstan). Harga tahun dasar yang digunakan harus mencerminkan kondisi perekonomian suatu daerah khususnya dan nasional umumnya dalam keadaan normal. Normal yang dimaksud adalah antara lain tidak terjadi gejolak harga dan kelangkaan bahan baku, stabilitas poliltik terkendali, tidak boleh terlalu jauh dengan tahun berlaku, dan sebagainya. Tapi bukan berarti PDRB tidak bisa dihitung/dinilai dengan harga tahun yang bersangkutan (biasa disebut harga tahun berjalan atau harga berlaku), hanya saja nilai yang dihasilkan tidak dapat menggambarkan perkembangan produksi yang sesungguhnya. Dalam hal ini tahun dasar yang digunakan adalah tahun 2000 dengan alasan bahwa tahun tersebut memenuhi asumsi sebagai tahun dasar. PDRB Kabupaten Malang dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 PDRB Kabupaten Malang Atas Dasar harga Berlaku (Milyar Rp) Sektor 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Pertanian 3 921.10 4 277.68 4 812.56 3 648.21 5 661.25 6 352.33 7 066.45 Tanaman bahan makan 2 541.13 2 710.88 3 073.86 2 261.40 3 538.48 3 972.47 4 396.30 tanaman perkebunan 811.23 909.23 1 017.72 834.63 1 231.66 1 365.54 1 509.57 peternakan 505.17 561.40 610.69 474.34 759.32 864.69 991.14 kehutanan 35.61 49.42 53.79 38.14 65.93 74.94 83.06 perikanan 27.95 46.76 56.50 39.71 65.86 74.69 86.38 Sumber: Malang dalam angka (2003-2010). Dari Tabel 24 dapat di lihat bahwa sektor perikanan mesih menjadi bagian dari sektor pertanian, dibandingka dengan sektor pertanian lainnya PDRB sektor perikanan memberikan kontribusi yang paling kecil. Pada tahun 2009 kontribusi sub sektor perikanan hampir sama dengan sub sektor kehutanan, yaitu 1.2%, sementara subsektor tanaman pangan 62.2%, tanaman perkebunan, 21.4%, dan peternakan 14%.

125 Sektor perikanan tuna di Kabupaten Malang belum diperhitungkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi regional yang biasanya dimasukan dalam perhitungan PDRB, karena perhitungan PDRB merupakan suatu pendekatan indikator ekonomi makro yang menggambarkan tingkat pertumbuhan ekonomi. Indikator ini biasanya digunakan untuk menilai sampai seberapa jauh keberhasilan pembangunan suatu daerah dalam periode waktu tertentu. Semakin besar nilai PDRB-nya, maka sektor ini memiliki indikator kinerja yang terus tumbuh dan berkembang. Kecilnya kontribusi sub sektor perikanan dibanding sub sektor lainnya membuktikan bahwa sektor perikanan, khususnya perikanan tuna, belum dikembangkan dan belum dianggap penting oleh pemerintah. Padahal Sendang Biru merupakan salah satu pesisir yang memiliki pelabuhan terbaik di Selatan Jawa, khususnya di Jawa Timur karena selain aman juga berhadapan langsung dengan Samudera Hindia yang kaya akan ikan pelagis besar, terutama Madidihang. Pemerintah Kabupaten Malang seharusnya tidak hanya mengembangkan sektor pertanian, akan tetapi juga mengembangkan sektor perikanan tangkap, khususnya tuna. Apabila dikembangkan niscaya akan memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan daerah Kabupaten Malang. 4.5 Aspek Sosial Perikanan Tangkap Nelayan Sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru 4.5.1 Tipologi Nelayan Sendang Biru Tipologi nelayan di Indonesia sampai saat ini belum diatur dengan jelas, nelayan baru didefinisikan sebatas mata pencaharian, yaitu orang yang melakukan penangkapan ikan (UU No. 31 tahun 2004 pasal 1 ayat 10) sedangkan penggolongan berdasarkan skala usaha hanya diatur mengenai tujuan menangkap seperti yang tercantum dalam pasal 1 ayat 11 UU No 31 tahun 2004, yang dimaksud nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sedangkan terminologi mengenai nelayan skala menengah dan besar belum dibakukan dengan pasti. Aturan yang ada, baru sebatas aturan alur

126 perikanan berdasarkan bobot tonase dan alat tangkap seperti dalam Kepmentan No. 392 tahun 1999 tentang jalur penangkapan ikan. Berdasarkan Kepmentan nomor 392/1999 tersebut, kapal sekoci Nelayan Sendang Biru dengan panjang rataan 16 m dengan bobot 10 GT mestinya berada di jalur penangkapan II (sebatas 12 mil) padahal area fishing ground dari kapal sekoci tersebut sampai di wilayah jalur III (ZEEI sampai 200 mil). Menurut aturan IOTC (2009) kapal sekoci Sendang Biru tersebut, karena beroperasi di wilayah ZEEI dengan ikan target tuna besar, maka digolongkan ke dalam usaha perikanan tuna skala menengah, yaitu ukuran kapal yang ada dikisaran 12-24 m. Berdasarkan alat tangkap yang digunakan, pengalaman dan tingkat pendidikan yang dimiliki, sesungguhnya bisa dikategorikan kedalam nelayan tradisional. Namun karena wilayah operasinya sampai ZEEI, nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru sering dianggap modern dan berketerampilan tinggi. 4.5.2 Pendidikan, Umur dan Pengalaman Nelayan Sekoci Pendidikan merupakan salah satu penentu dari kualitas sumberdaya dalam kegiatan penangkapan. Pendidikan formal maupun nonformal merupakan modal dasar bagi nelayan armada sekoci, untuk dapat mengakses informasi melalui berbagai media sehingga memudahkan mereka menyerap suatu perubahan atau inovasi yang berhubungan dengan perilaku SDI ikan di Perairan ZEEI serta keterampilan dalam mengoperasikan armada di tengah hempasan gelombang Samudera Hindia. Kemampuan dan keterampilan untuk berfikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari, sangat ditentukan oleh faktor pendidikan yang dimiliki. Pendidikan merupakan proses pengetahuan, keterampilan maupun sikap yang dapat dilakukan secara terencana sehingga diperoleh perubahan dalam meningkatkan taraf hidup. Kualitas sumberdaya manusia sebagai ABK dan nahkoda armada kapal sekoci dari 135 responden nelayan sekoci yang beroperasi di perairan ZEEI Samudera Hindia, tersaji pada Gambar 34.

127 Gambar 34 Pendidikan nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru. Dari Gambar 34 menunjukkan bahwa jika dilihat dari tingkat pendidikan pada umumnya nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru masih tergolong rendah. Hal ini ditunjukkan dengan lulusan tingkat pendidikan, yaitu sekitar 53% nelayan lulusan dari SD atau setingkat Sekolah Dasar, 36% lulusan SMP dan hanya 1 % lulusan dari SMA. Nelayan tersebut pada umumnya (95%) suku Bugis berasal dari Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan dan sisanya berasal dari Jawa dan Madura. Rendahnya tingkat pendidikan pada nelayan tersebut, disebabkan karena nelayan tidak bisa melanjutkan pendidikan kejenjang lebih tinggi sebagai akibat faktor keterbatasan biaya. Sehingga dengan keterbatasan keilmuan tersebut, menangkap ikan sebagai nelayan dijadikan pekerjaan alternatif. Kisaran umur nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru, adalah berkisar antara 20-25 tahun (59%), 26-31 tahun (26%), 16-20 tahun (7%) dan berusia di atas 30 tahun berkisar 9%, seperti tersaji pada Gambar 35. Gambar 35 Usia nelayan kapal sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru.

128 Berdasarkan kategori usia produktif, maka nelayan sekoci tersebut termasuk pada golongan usia produktif. Kondisi tersebut, mendukung pekerjaan sebagai nelayan sekoci yang membutuhkan tenaga yang kuat, karena selain diperlukan untuk kegiatan memancing yang menggunakan hand line, juga diperlukan dalam mengoperasikan perahu sampai ke tujuan (rumpon) yang berada di ZEEI Samudera Hindia, dengan arus dan gelombang yang besar. Keberhasilan kegiatan tangkap selain di tentukan oleh kekuatan fisik dan pengetahuan, juga sangat ditentukan pengalaman nahkoda dalam memandu ABK untuk memancing ikan. Keterampilan memancing yang dimiliki oleh nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru pada umumnya diperoleh dari pengalaman dan kekuatan spiritualnya. Intuisi digunakan saat akan pergi melaut, terutama oleh nahkoda, misalnya: (1) nahkoda berpantangan untuk menoleh ke kiri dan ke kanan saat berjalan menuju perahu, sehingga kepala harus menunduk (2) nahkoda berpantangan untuk menjawab pertanyaan siapapun, apabila ada yang menyapa : mau ke laut ya? biasanya nahkoda membatalkan keberangkatannya, walaupun perahu sudah siap untuk melaut, (3) ABK, tidak boleh meminjam dan meminjamkan apapun yang ada di dalam perahu setelah dipersiapkan untuk berangkat. Apabila ketentuan terebut di langgar, maka nahkoda dan ABK meyakini bahwa kejadian tersebut merupakan pertanda kesialan. Pengalaman nahkoda perahu sekoci yang ada di Sendang Biru rata-rata 4-5 tahun, sedangkan ABK 2-5 tahun. Dari hasil wawancara diperoleh gambaran bahwa tingkat pendidikan SD dan SMP dianggap lebih terampil dan cekatan dalam hal memancing, jika dibandingkan dengan lulusan SMA atau yang lebih tinggi lainnya. Hal ini terjadi karena nelayan yang berpendidikan hanya setingkat SD dan SMP tidak banyak pilihan pekerjaan yang sesuai dengan tingkat pendidikannya sehingga akan bekerja sebaik-baiknya dan fokus pada pekerjaan tersebut. Sementara nelayan yang berpendidikan SMA atau diatasnya berharap masih ada pekerjaan lain yang lebih baik sehingga bekerja sebagai nelayan tidak terlalu fokus dan kurang tekun. Fenomena ini sesungguhnya akan berbalik apabila armada tangkap yang dimiliki memiliki teknologi tinggi, artinya semua hasil kegiatan penangkapan merupakan suatu

129 keterpaduan antara pemikiran yang dihasilkan dari proses keilmuaan, usaha dan doa. Sebaliknya untuk nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru, oleh karena teknologi yang di gunakan rendah (tradisional), maka hasil yang diperoleh pada umumnya dianggap sebagai keberuntungan semata. Kondisi ini mengakibatkan rendahnya pemanfaatan SDI Tuna yang ada diperairan ZEEI Samudera Hindia, yang membutuhkan tingkat pengetahuan dan teknologi tinggi di samping pengalaman. 4.5.3 Serapan Kerja Kerja dan Pertumbuhan Nelayan Sekoci 4.5.3.1 Serapan Tenaga Kerja Nelayan Armada kapal sekoci memiliki tenaga kerja 1 orang sebagai nahkoda dan 4-5 orang sebagai ABK, namun rataan 4 orang ABK. Keberadaan kapal sekoci di Sendang Biru oleh penduduk lokal dianggap berkah, karena membuka lapangan kerja baru terutama untuk di PPP Pondokdadap. Sebelum berangkat kapal sekoci dibersihkan terlebih dahulu dengan jumlah pekerja sebanyak 2 orang, kemudian memperkerjakan 2 orang sebagai pengisi perbekalan. Pada saat ikan mendarat, untuk bongkar ikan diperkerjakan 4 orang pengangkut ikan dari kapal ke PPP Pondokdadap, selanjutnya dari PPP Pondokdadap untuk mengangkut ikan ke penampungan dipekerjakan 2 orang manol. Dengan demikian, untuk 1 kapal sekoci dapat menyerap tenaga kerja sekitar 15 orang. Jumlah nahkoda dan ABK sekoci yang ada di PPP Pondokdadap Sendang Biru Kabupaten Malang pada tahun 2010 saat ini adalah 1 663 orang. Sementara jumlah tenaga kerja total yang diserap di darat bila diasumsikan bahwa setiap sekoci berangkat menuju wilayah penangkapan dan melakukan pendaratan ikan masing-masing 3 (tiga) kali setiap bulan maka total pendaratan dan pemberangkatan seluruh sekoci dalam sebulan adalah 909 kali, sehingga dibutuhkan tenaga kerja sebanyak 455 orang untuk melayani sekitar 30 kali pemberangkatan dan pendaratan per hari. Jumlah pengambek saat ini adalah 17 orang, sehingga total tenaga kerja yang terserap langsung pada tahun 2010 untuk tenaga kerja yang terserap dari 303 unit kapal sekoci adalah 2 135 orang. Tenaga kerja lain yang terserap secara tidak langsung diantaranya adalah pekerja yang terkait dengan pengadaan sembako, solar dan es, pedagang dan penjual ikan, pengusaha

130 transportasi, pengusaha pengolahan ikan pindang, tukang ojek dan pedagang, bengkel, rumah makan dan pedagang lainnya. Keberadaan tenaga kerja pembersih, pengisi kapal, dan pembongkar muat ikan menjadi daya tarik nelayan andon untuk datang ke Sendang Biru. Berdasarkan hasil wawancara, keberadaan tenaga kerja di darat sangat membantu para ABK, sehingga tidak perlu bekerja lain selain memancing ikan dan bisa istirahat setelah sampai di darat. Sementara di wilayah lain seperti di Larantuka, Lombok dan daerah lainnya sulit mencari tenaga di darat. Selain itu, adanya kemudahan untuk menjual ikan dengan cepat dan akses terhadap kebutuhan perbekalan, seperti solar, es dan sembako tersedia dengan mudah di Sendang Biru. 4.5.3.2 Pertumbuhan Nelayan Sekoci Penduduk Desa Tambakrejo pada tahun 2010 sebanyak 4 839 jiwa dengan proporsi penduduk yang berprofesi sebagai nelayan 48.50% atau sebanyak 2 347 jiwa (BPPS 2010). Dari proporsi tersebut terbanyak merupakan nelayan sekoci yang jumlahnya menunjukkan pertumbuhan signifikan pada tahun 2001-2010 yaitu dari 385 menjadi 1 663 jiwa atau 34.4% dari jumlah total penduduk desa. Perkembangan nelayan sekoci dari tahun ke tahun, trendnya dapat dilihat pada Gambar 36. Gambar 36 Trend peningkatan jumlah nelayan di PPP Pondokdadap Sendang Biru Tahun 2001-2010. Dari hasil analisis diperoleh rataan pertumbuhan nelayan dari tahun 2001 sampai tahun 2010 adalah sekitar 20%. Secara proporsional jumlah nelayan sekoci, payangan, sampan pakisan dan jukung yang mendarat di PPP Pondokdadap disajikan pada Gambar 37.

131 Gambar 37 Proporsi nelayan berdasarkan jenis perahu di PPP Pondokdadap tahun 2001-2010. Nelayan sekoci sebagian besar (90%) merupakan nelayan pendatang (andon) dari suku Bugis Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan yang dikenal tangguh dan terampil dalam memancing ikan pelagis besar, sementara sisanya sebanyak 10% berasal dari Madura dan daerah lain di sekitar Kabupaten Malang. Pada umumnya perahu sekoci yang beroperasi di Sendang Biru, walaupun pemiliknya berasal dari masyarakat Sendang Biru, namun ABKnya didatangkan dari Kabupaten Sinjai. Sedangkan nelayan payangan, sampan pakisan dan perahu jukung, berasal dari suku Madura dan Jawa. 4.5.3.3 Pola Kerja Nelayan Kapal sekoci pertama kali berkembang di Sendang Biru, setelah masuknya nelayan andon dari Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Kedatangan mereka ke Sendang Biru secara tidak sengaja, namun hanyut dari perairan Nusa Tenggara Barat pada tahun 1998. Pada mulanya kedatangan nelayan andon tersebut tidak diterima oleh nelayan Sendang Biru, namun berkat kerjasama dan interakasi antara nelayan andon dengan masyarakat Sendang Biru pada akhirnya keberadaannya diterima oleh masyarakat Sendang Biru. Selanjutnya berkembang menjadi bentuk kerjasama, saling menguntungkan dalam hal penangkapan ikan tuna besar, terutama yang ada di perairan ZEEI Samudera Hindia. Pola kerjasama yang menguntungkan selanjutnya menjadi kesepakatan bersama. Nelayan andon berkewajiban untuk alih teknologi kepada nelayan lokal Sendang Biru, sementara kebutuhan perbekalan melaut nelayan andon

132 dan penjualan hasil tangkapan ditangani oleh pengambek dari masyarakat Sendang Biru. Selain itu nelayan andon, walaupun sementara tinggal di Sendang Biru tetap harus masuk ke dalam keanggotaan nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru. Saat ini sudah banyak nelayan lokal yang menguasai teknologi penangkapan dan memiliki perahu sekoci, sementara nelayan andonpun sudah banyak yang berbaur dengan masyarakat Sendang Biru dan diantaranya ada yang menjadi pengambek untuk memasok perbekalan operasi dan menangani penjualan hasil tangkapan. Kedatangan nelayan andon selanjutnya mengakibatkan perubahan pola kerja nelayan Sendang Biru, yang sebelumnya lebih banyak melakukan penangkapan ikan dengan pola berburu (hunting) yang sifatnya individu, beralih ke pola memancing (fishing) di rumpon secara berkelompok. Perjalanan menuju fishing ground biasanya dilakukan bersama oleh 5 hingga 10 buah perahu sekoci, bagi nelayan lokal yang belum memiliki rumpon diperbolehkan menangkap ikan di rumpon milik nelayan andon. Kepemilikan dan pembuatan rumpon dilakukan secara berkelompok, karena satu unit rumpon dikelola untuk 5 unit kapal Sekoci sebagai fishing ground bersama. Nelayan yang bekerja pada sebuah sekoci yang sama umumnya memiliki hubungan kekerabatan. Praktek ini diperkuat oleh partisipasi keluarga nelayan yang terlibat langsung dalam persiapan pemberangkatan dan saat pendaratan hasil tangkapan. Keterlibatan keluarga dalam persiapan dan pendaratan ikan tersebut banyak dipengaruhi oleh tidak adanya peluang kerja lain di Desa Tambakrejo sehingga sebagian besar nelayan sekoci dan keluarganya menggantungkan sepenuhnya sumber pendapatan mereka dari kegiatan penangkapan. 4.5.3.4 Jumlah Pelaku Usaha Perubahan persentase jumlah kapal sekoci yang berpangkalan di PPP Pondokdadap dalam satu tahun merupakan gambaran dari dinamika keluar masuknya nelayan untuk melakukan kegiatan penangkapan madidihang pada suatu tahun tertentu. Nilai persentasenya menunjukkan dinamika perubahan jumlah pelaku usaha, yaitu apabila nilainya negatif berarti ada pelaku usaha yang keluar dan sebaliknya bila nilainya positif berarti ada pelaku usaha baru

133 yang masuk. Rataan persentase pertambahan jumlah perahu sekoci PPP Pondokdadap tahun 2001-2010 adalah 19.2%, menunjukkan bahwa dalam setiap tahun terdapat penambahan pelaku usaha baru sebesar 19.2% seperti tersaji pada Tabel 25. Tabel 25 Dinamika jumlah upaya penangkapan (trip) Madidihang dengan kapal sekoci di PPP Pondokdadap 2001-2010 Tahun 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 Rataan Jumlah sekoci ((unit) 77 128 154 145 211 301 273 342 323 303 225.7 Perubahan (%) - 66.2 20.3-5.8 45.5 42.7-9.3 25.3-5.6-6.2 19.2 Sumber: Hasil analisis dari data primer. Nilai persentase tersebut juga menggambarkan adanya peningkatan rataan kapasitas tangkap nelayan sekoci PPP Pondokdadap sebesar 19.2% per tahun. 4.5.3.5 Konflik Pengelolaan Nelayan sekoci PPP Pondokdadap selama ini telah menghadapi berbagai konflik dalam melaksanakan kegiatannya yakni konflik cara produksi atau alat tangkap, konflik kelas, dan konflik usaha. Konflik cara produksi atau alat tangkap terjadi sejak awal interaksi nelayan andon dengan nelayan lokal dimana sekoci memiliki kemampuan lebih tinggi untuk menangkap ikan dibandingkan dengan sampan pakisan dan payangan. Kapal sekoci mampu menangkap sampai ke perairan ZEEI pada rumpon yang mereka miliki. Sementara pakisan dan payangan tidak mampu sampai ke ZEEI dan menangkap ikan pun dengan cara mencari ikan/memburu ikan karena tidak memiliki rumpon. Konflik terjadi disebabkan nelayan lokal menangkap ikan pada rumpon nelayan andon tanpa izin. Namun akhirnya konflik tidak berkembang karena nelayan sekoci memilih memindahkan rumpon ke wilayah yang sulit dijangkau oleh perahu payangan dan pakisan Konflik kelas terjadi antara nelayan sekoci dengan armada purse seine yang berasal dari Pekalongan, Benoa, dan Muara Angke Jakarta dengan teknologi tangkap yang berbeda. Daya tangkap purse seine yang lebih tinggi menyebabkan armada tersebut dengan mudah melakukan penjarahan ikan yang menyebabkan kerusakan rumpon sehingga menimbulkan kerugian besar bagi nelayan sekoci. Upaya mediasi dari pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Jawa

134 Tengah belum berhasil menghentikan praktek pencurian dan pengrusakan tersebut. Selain itu terdapat pula konflik antara pemilik perahu dan nelayan sekoci dengan pengambek yang menyediakan modal bagi operasi penangkapan ikan. Konflik biasanya dipicu oleh praktek kecurangan dalam penimbangan dan penghitungan saat pelelangan ikan. Konflik seperti ini dapat diselesaikan melalui musyawarah dengan menghadirkan pihak yang berkonflik dipimpin oleh tokoh masyarakat Sendang Biru dan kelompok nelayan. 4.5.3.6 Kesadaran Lingkungan Nelayan sekoci memiliki kesadaran yang rendah tentang perlunya menerapkan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan bagi keberlanjutan usaha penangkapan yang mereka lakukan. Dari 65 responden hanya 27% menjawab tidak setuju apabila penangkapan Madidihang dilakukan dengan menggunakan trawl atau purse seine yang dapat merusak rumpon dan menyebabkan populasi ikan menghilang 2 hingga 3 bulan sesudah pengoperasiannya. Selanjutnya 65% responden menyatakan akan menggunakan alat tangkap lain yang kapasitasnya lebih besar seperti trawl walaupun tidak menjamin kualitas dan kuantitas hasil tangkapan yang lebih baik sepanjang tahun. Nelayan sekoci mengusulkan bahwa ke depan harus ada perubahan teknologi penangkapan yang menggunakan purse seine sebagai pengganti hand line. Belum beralihnya penggunaan alat tangkap hand line ke purse seine dikarenakan keterbatasan modal, karena apabila beralih maka armadanya pun harus berganti pula. 4.6 Aspek Kelembagaan Perikanan Madidihang 4.6.1 Ketersediaan Aturan Food and Agriculture Organization (FAO) memasukkan wilayah perairan Samudera Hindia selatan Jawa ke dalam wilayah pengelolaan perikanan sub-area 57 (northern). Pengelolaan sumberdaya ikan pelagis besar di wilayah ini dilakukan dengan mengacu pada berbagai kesepakatan internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia diantaranya United Nation Conventions on the Law of the Sea (UNCLOS) yang diratifikasi dengan Undang-undang No 17 tahun 1985. Selanjutnya FAO menetapkan

135 standar acuan bagi pengelolaan perikanan secara bertanggungjawab pada tahun 1995 melalui penerapan Code of Conduct for Responsible Fisheries. Selain itu, Indonesia meratifikasi aturan dan menjadi anggota regional marine fisheries organization (RMFO) untuk pengelolaan tuna di Samudera Hindia yaitu Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) pada 9 Juli tahun 2007. Pengelolaan sumberdaya hayati di zona ekonomi eksklusif Indonesia diatur dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1983 dan Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 1984, yang dilengkapi dengan berbagai aturan dalam rangka pengelolaan sektor perikanan diantaranya PP nomor 141 tahun 2000 tentang Usaha Perikanan, Kepmen Kelautan dan Perikanan nomor 47 tahun 2001 tentang Format Perizinan Usaha Penangkapan Ikan, Kepmen Perindustrian dan Perdagangan nomor 213/MPP/Kep/7/2001 tentang Penetapan Harga Patokan Ikan untuk Pungutan Hasil Perikanan, dan Kepmen Keuangan nomor 654/KMK.06/2001 tentang Tatacara Pengenaan dan Penyetoran Pungutan Perikanan. Selanjutnya Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia mengeluarkan Permen nomor: PER.16/MEN/2006 tentang Pelabuhan Perikanan, Permen nomor PER.01/MEN/2009 tanggal 21 Januari 2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia yang menetapkan perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian barat sebagai WPP-RI 573, Permen Kelautan dan Perikanan nomor PER.02/MEN/2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan, dan Kepmen nomor KEP.45/MEN/2011 tanggal 3 Agustus 2011 tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Di tingkat provinsi, pemerintah Jawa Timur mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur nomor 188/14/SK/014/2000 tentang Pembentukan Tim Pembina Penyelenggaraan Pelelangan Ikan di Jawa Timur. Namun demikian, Pemerintah Kabupaten Malang hingga saat ini belum mengeluarkan peraturan daerah untuk mengatur pengelolaan sub sektor perikanan di wilayahnya. Sementara itu di tingkat lokal terdapat kesepakatan kelompok nelayan sekoci

136 yang berisi aturan bahwa (1) nelayan lokal diberi kesempatan belajar teknik memancing ke nelayan sekoci, (2) nelayan lokal boleh memanfaatkan rumpon nelayan sekoci selama belum memiliki rumpon sendiri, dan (3) nelayan sekoci menyetor 2% hasil penjualan kepada kelompok nelayan. 4.6.2 Lembaga Pelaksana Koordinasi pengelolaan sumberdaya ikan di wilayah perairan selatan pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara dilakukan oleh Forum Koordinasi Pengelolaan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan (FKPPS) wilayah IX yang beranggotakan Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi dari pulau yang disebut sebelumnya. Forum ini bertugas mempercepat arus data dan informasi pemanfaatan sumberdaya ikan, mengidentifikasi dan merumuskan pemecahan masalah yang ada, serta menyusun dan menyepakati kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan dan pengalokasiannya di wilayah masing-masing. Pengelolaan kegiatan perikanan dikelola langsung oleh Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Malang yang dibentuk berdasarkan Perda nomor 4 tahun 2004 dan Surat Keputusan Bupati Malang no 95 tahun 2004 dengan visi terwujudnya masyarakat yang sehat dan sejahtera melalui pembangunan peternakan, kelautan dan perikanan yang berkelanjutan, berdaya saing, berwawasan agribisnis dan berbasis sumberdaya lokal. Namun demikian keberadaan dari dinas ini belum dirasakan perannya dalam pengelolaan sumberdaya ikan pelagis besar oleh nelayan di PPP Pondokdadap. Peranan POLRI/AIRUD untuk menangkap dan menyelidiki pelanggaran terkait kegiatan penangkapan ikan illegal di perairan selatan Jawa Timur juga belum dirasakan oleh nelayan. Pengelolaan kegiatan penangkapan oleh berbagai jenis armada tangkap secara langsung dilakukan oleh Badan Pengelola Pelabuhan Perikanan Pantai Pondokdadap dengan jumlah 11 orang yang umumnya memiliki kualifikasi pendidikan rendah yaitu Sekolah Dasar hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan karyawan berkualifikasi sarjana hanya 1 orang.

137 4.6.3 Pelabuhan Perikanan Pelabuhan perikanan Pondokdadap dikategorikan sebagai Pelabuhan Perikanan Pantai yang diharapkan dapat mendorong pertumbuhan sub sektor perikanan Kabupaten Malang bagian selatan. Pelabuhan ini terletak di Dusun Sendang Biru Desa Tambakrejo yang terlindungi oleh Pulau Sempu sehingga aman dari hempasan gelombang sepanjang tahun. Keberadaan pulau Sempu membentuk selat sepanjang 4 km dengan lebar 600-1 500 m dengan kedalaman perairan 18-50 m sehingga menjadi tempat yang cukup ideal untuk mendaratkan hasil tangkapan ikan. Keberadaan pelabuhan sangat menentukan keberhasilan dan pengembangan sektor perikanan di suatu wilayah. Berdasarkan Permen Kelautan dan Perikanan nomor PER.16/MEN/2006 pelabuhan perikanan dapat dibagi menjadi menjadi 4 (empat) kategori berdasarkan kapasitas dan kemampuannya menangani aktifitas kapal ikan yang masuk dan keluar serta berdasarkan pertimbangan letak dan posisinya, yaitu Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS), Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP), dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI). Lokasi PPP Pondokdadap cukup mudah diakses melalui jalan hotmix dari kota Malang (70 km) dan Surabaya (157 km) dan berhadapan dengan Samudera Hindia yang memiliki potensi ikan pelagis besar yang tinggi, dan merupakan salah satu sentra pendaratan ikan pelagis besar dari jenis tuna yang cukup besar dengan total tonase pendaratan perahu tangkap melebihi 300 GT per hari dan rataan produksi > 30 ton/hari. Pelabuhan ini dilengkapi dengan sebuah solar paket dealer nelayan (SPDN) nomor 59.651.01 yang memasok solar bagi nelayan dengan harga bersubsidi dan dikelola oleh Koperasi Unit Desa Mina Jaya. Daftar fasilitas pelabuhan disajikan pada Lampiran 6. Jenis ikan pelagis besar yang didaratkan umumnya adalah Tuna yaitu Madidihang, Mata Besar dan Cakalang yang merupakan komoditas ekspor bernilai tinggi. Namun demikian, minimnya fasilitas pembinaan mutu hasil perikanan, menyebabkan pelayanan pelabuhan yang tidak memadai sehingga menurunkan kualitas ikan yang didaratkan. Penurunan kualitas tersebut selanjutnya menurunkan harga jual ikan tangkapan dan mengurangi tingkat pendapatan nelayan.

138 Kondisi sarana dan prasarana PPP Pondokdadap, sama halnya dengan kondisi pelabuhan perikanan lainnya di Indonesia. Pembangunan sarana dan prasarana tidak disesuaikan dengan produksi ikan yang dominan didaratkan yaitu ikan tuna yang membutuhkan penanganan cepat dan higienis. Kerusakan ikan tuna selain dimulai di kapal, terjadi pada saat bongkar muat, pengangkutan tuna dari dalam box ditarik begitu saja, dilakukan secara manual. Kemudian di angkut dengan pikulan, dan untuk tuna kecil diangkut dengan keranjang bambu yang mudah menggores ikan. Pada saat pelelangan ikan tuna diletakan dilantai yang kotor, permukaannya kasar dan pada saat penimbangan sering kali ikan di seret. Akibatnya ikan menjadi rusak dan terkontaminasi bakteri. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka sering kali Madidihang dari Sendang Biru tidak bisa masuk pasar Benoa Bali. Pedagang Sendang Biru pada umumnya menyiasatinya dengan pengiriman malam hari, sehingga masuk Bali pada waktu subuh agar plat nomor truk pengangkut dari Malang tidak diketahui oleh petugas di Bali. Namun demikian, dengan diterapkannya cath certificate, Madidihang dari Sendang Biru kesulitan untuk masuk ke Benoa Bali. Apabila kondisi pelabuhan PPP Pondokdadap tidak segera di benahi baik sarana dan prasarana maupun manajemennya, niscaya kegiatan perikanan tuna rakyat Sendang Biru akan terganggu keberlanjutannya, sebagai penghasil ikan tuna tujuan ekspor. 4.6.4 KUD Mina Jaya dan Lembaga Keuangan Mikro KUD Mina Jaya didirikan dengan Badan Hukum No. 5447/BH/II.1983, tanggal 25 April 1983 yang berkedudukan di Sendang Biru Desa Tambakrejo, dengan jumlah anggota 1 588 orang dari 11 desa dan satu pedukuhan di Kecamatan Sumbermanjing Wetan. Jumlah anggota KUD ini terdiri dari 382 anggota masyarakat yang memiliki usaha atau pekerjaan nelayan, 774 petani, 201 pengusaha, 174 pengurus PKK, 8 pegawai dan 15 pengrajin. KUD Mina Jaya dikelola oleh tiga orang pengurus yang bertindak sebagai ketua, sekretaris dan bendahara, dengan petugas kantor 3 orang, petugas TPI 12 orang, petugas PAM 3 orang, serta ditambah 1 orang manajer yang berstatus tenaga kontrak. KUD Mina Jaya merupakan penyelenggara pelelangan ikan, penyedia perbekalan melaut, dan pengelola SPDN di PPP Pondokdadap. Selain KUD terdapat pula Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina

139 (LEPPM3) yang merupakan lembaga penyedia dana bergulir bagi nelayan melalui kelompok nelayan. Kedua lembaga ini belum berfungsi dengan baik khususnya dalam penyediaan permodalan bagi anggotanya sehingga usaha penangkapan sebagian besar dibiayai oleh pengambek. Pengambek untuk nelayan sekoci di PPP Pondokdadap berperan menyediakan biaya operasional sekoci dan mengelola hasil tangkapan, dimana seorang pengambek bisa mengelola 5 hingga 60 perahu tergantung pada kekuatan permodalan yang dimilikinya. 4.6.5 Kelompok Nelayan dan Pelibatan Nelayan Kelompok nelayan di Desa Tambakrejo adalah Kelompok Nelayan Rukun Jaya yang anggotanya terbagi atas sub kelompok sekoci, payang dan jukung. Khusus untuk sub kelompok sekoci terdaftar 340 buah perahu yang dibedakan atas perahu yang dioperasikan oleh nelayan domisili setempat 220 buah dan perahu yang dioperasikan oleh nelayan andon 130 buah, dengan jumlah anggota yang aktif pada tahun 2010 sebanyak 303 buah sekoci. Pelibatan nelayan dalam penyusunan kebijakan hampir tidak pernah dilakukan. Dari 65 responden hanya 1.6% yang pernah mengikuti pertemuan di tingkat kabupaten dalam rangka penyusunan kebijakan perikanan tangkap di Kabupaten Malang. 4.6.6 Illegal fishing dan Penegakan Aturan Samudera Hindia Selatan Jawa Timur merupakan wilayah penangkapan ikan pelagis besar yang potensil sehingga menjadi sasaran praktek illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing oleh nelayan asing. Keterbatasan personil pengawas dan minimnya sarana prasarana pengawasan merupakan kendala utama bagi penegakan aturan dan hukum dalam pengelolaan sumberdaya hayati di wilayah perairan Indonesia khususnya di ZEEI. Informasi dari nelayan sekoci mengungkapkan bahwa kapal ikan asing yang beroperasi di wilayah penangkapan mereka sangat sering dijumpai dengan frekuensi kejadian tinggi yaitu ditemui hampir setiap bulan. Selain pencurian ikan di laut, yang termasuk kategori illegal fishing menurut Charles (2001) adalah perbuatan atau tindakan nelayan yang menjual ikan hasil tangkapannya

140 di tengah laut (transshipment) atau melakukan peanangkapan ikan dengan menggunakan bahan-bahan yang merusak lingkungan. Berdasrkan pertimbangan tersebut, nelayan Sendang Biru tidak terindikasi melakukan transshipment di tengah laut atau menjual ikan haasil tangkapnnya ke daerah lain. 4.6.7 Kepemilikan Usaha dan Pembatasan Masuk Dari hasil pendapatan total dari setiap kapal, sekitar 85.78% ditransfer keluar dari Sendang Biru, yaitu untuk ABK sebanyak 4 orang, nahkoda dan pemilik kapal yang semuanya berasal dari Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Dengan demikian proporsi dari pendapatan yang tertinggal di Sendang Biru sebesar 14.217% (Tabel 26). Tabel 26 Persentase jumlah pendapatan yang tertransfer dan yang tertinggal Bagian Keuntungan Pemilik Kapal (%) Nahkoda (%) ABK (%) Tertransfer 45.99 23.56 16.21 Tertinggal 5.11 2.62 6.49 Sumber: Hasil analisis dari data primer. 4.7 Analisis Keberlanjutan Kegiatan Penangkapan Madidihang Kegiatan penangkapan ikan tuna yang dilakukan oleh nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru Kabupaten Malang dari tahun ke tahun mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangannya dari tahun 2001 sampai tahun 2010 mencapai 252%, dengan rataan pertambahan sekitar 25.1% per tahun. Fishing ground dari nelayan tersebut berada di ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur dengan titik koordinat 9-12 LS dan 110-114 BT padahal kondisi oseanografis dari perairan selatan Jawa memiliki kecepatan angin yang besar, terutama pada musim barat. Dengan demikian pada umumnya yang beroperasi di wilayah tersebut adalah armada besar dan modern. Sebaliknya nelayan Sendang Biru, menggunakan armada kapal sekoci dengan spesifikasi panjang 16 m, lebar 3.5 m dan tinggi 1.2 m dengan bobot 10 GT. Alat tangkap yang di gunakan adalah pancing ulur (hand line) dengan alat bantu rumpon laut dalam. Berdasarkan dari teknologi yang digunakan sesungguhnya armada sekoci rentan apabila beroperasi di perairan ZEEI selatan Jawa tersebut.

141 Ikan target utama dari kegiatan tangkap tersebut adalah Madidihang yang ada di perairan ZEEI Samudera Hindia, khususnya yang ada di Jawa Timur yang merupakan WPP 573 dan potensial sebagai tempat migrasi ikan tuna. Namun pada saat ini, kondisi dari stok ikan tersebut diestimasi sudah tangkap lebih (overeksploited) (IOTC 2009), walaupun kondisi yang pasti belum diketahui. Estimasi tersebut, dilihat dari perubahan area tangkap kapal purse seine dari Eropa (Spanyol dan Francis) yang sebagian besar sudah mengalihkan operasinya ke wilayah lain. Berdasarkan kondisi tersebut, maka dalam rangka ke hati-hatian, maka kegiatan penangkapan Madidihang tersebut di Samudera Hindia diatur oleh organisasi internasional yaitu IOTC. Menurunnya populasi Madidihang di Samudera Hindia, sebagai akibat terjadi penangkapan yang tidak terkendali oleh kapal-kapal purse seine dan long line yang menggunakan rumpon. Sehingga keberadaan rumpon dianggap mempercepat laju penurunan dari populasi ikan tuna tersebut. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan juga memperkuat estimasi tersebut, yang menyatakan bahwa keberadaan Madidihang di ZEEI Samudera Hindia sudah mengalami full-exploited. Pernyataan ini tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 45 tahun 2011 tentang estimasi potensi sumberdaya ikan di wilayah pengelolaan. Pernyataan tersebut, dimaksudkan untuk mendukung pengelolaan perikanan tuna yang bertanggung jawab, sebagai konsekuensi dari keanggotaan dalam IOTC. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka kegiatan perikanan tangkap tuna yang ada di Sendang Biru Kabupaten Malang dikaji status keberlanjutannya. Hal ini dimaksudkan agar kegiatan penangkapan ikan tuna tidak mengabaikan kelestarian sumberdayanya. Keberlanjutan kegiatan perikanan tuna yang dilakukan oleh nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru tersebut dianalisis dengan pendekatan multidimensional scaling (MDS) yang dianalisis dengan softwer program Raled SBH. Program ini merupakan hasil pengembangan dari metode Rapfish yang digunakan untuk menilai status keberlanjutan perikanan tangkap dari FAO (Pitcher dan Preikshot 2001). Hasil analisis keberlanjutan ini dinyatakan dalam indeks keberlanjutan kegiatan perikanan, dimana indeks keberlanjutan ini mencerminkan status keberlanjutan

142 kegiatan perikanan tuna yang sedang diteliti berdasarkan kondisi yang ada (existing). Nilai indeks berkelanjutan pada setiap dimensi keberlanjutan, ditentukan dengan cara memberikan nilai skoring pada masing-masing dimensi yang merupakan hasil dari perhitungan atas dasar data primer yang tersedia. Nilai skoring indeks berkelanjutan pada setiap dimensi berkisar antara 0-100% dengan kriteria tidak berkelanjutan (buruk) jika nilai indeks terletak antara 0-24.99%, kurang berkelanjutan jika nilai indeks terletak antara 25-49.99, cukup berkelanjutan jika nilai indeks terletak antara 50-74.99 dan berkelanjutan (baik) jika nilai indeks terletak antara 75-100%. Untuk mengetahui status perikanan tangkap tuna yang dilakukan oleh nelayan sekoci tersebut ditetapkan lima dimensi, yaitu:1) ekologi, 2) ekonomi, 3) teknologi, 4) sosial, 5) kelembagaan. Penentuan dimensi keberlanjutan tersebut, berbeda dengan yang dilakukan oleh Charles (2001) atau Pitcher dan Preikshot (2001), yaitu terdiri dari : 1) dimensi ekologi, 2) dimensi ekonomi, 3) dimensi teknologi, 4) dimensi sosial dan 5) dimensi etika. Perbedaan ini dilakukan, karena kondisi perikanan tuna yang dilakukan oleh nelayan kecil merupakan suatu kegiatan yang kompleks akan tetapi melibatkan berbagai pihak diantaranya adalah pemerintah Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur, Nasional dan lembaga internasional (IOTC), KUD, dan kelompok masyarakat non-formal lainnya. Sehingga dimensi kelembagaan juga dilakukan pengkajian. 4.7.1 Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi Dalam penentuan penilaian status keberlanjutan dari dimensi ekologi, digunakan peubah atau atribut yang memiliki faktor sensitif ataupun intervensi terhadap aspek ekologis dari Madidihang di fishing ground. Peubah atau atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap kondisi ekologis ikan tuna dan habitatnya di perairan ZEEI, khususnya di fishing ground disusun atas dasar rujukan dari Rapfish dan Charles (2001). Skoring dalam penilaian dilakukan dengan kisaran adalah 0-5. Atribut yang digunakan dalam menentukan status keberlanjutan dari kegiatan perikanan tangkap tuna yang dilakukan oleh nelayan Sendang Biru adalah yang berkaitan dengan kondisi biologi stok sumberdaya Madidihang beserta kondisi lingkungan perairan

143 Samudera Hindia selatan Jawa Timur, khususnya di area rumpon sebagai fishing ground. Hasil skoring dari masing-masing atribut tersebut tersaji pada Tabel 27. Tabel 27 Nilai dan skor setiap atribut pada dimensi ekologi N0 Atribut Penilaian Skor 1 Status eksploitasi Overexploited 0 2 Trend biomassa (CPUE) Tidak terjadi penurunan Y= 4 714.3+496.13X 2 3 Rentang migrasi Yuridiksi international 0 4 Jumlah species Madidihang (36.1%), Cakalang 31.45%, Matabesar 2.60% Marlin 19.57%, Tompek 9.66%,Hiu (n.a) 2 5 Ikan Matang Gonad Rataan 57% 2 6 Perubahan ukuran ikan 2 dalam 8 tahun Tahun 2003: 1-2 kg (12%), 2-9 kg (75%),>10 kg 13%. Tahun 2010:1-2 kg (2%),2-9 kg (39%), > 10 kg (43%) 7 Pemahaman terhadap Responden 95% tidak mengerti 0 lingkungan 8 Konsentrasi klorofil-a 0.11 mg/l - 5.96 mg/l 1 9 By-catch Tidak ada 3 Dari Tabel 27 di atas dapat dilihat bahwa dari hasil penilaian untuk pembobotan dalam penentuan skor atribut, untuk atribut proporsi ikan matang gonad yang ditangkap, perubahan ukuran ikan dalam delapan tahun terakhir, by-catch dan spesies yang tertangkap berada dalam kategori baik, sehingga diberi nilai dengan skor maksimal, demikian pula untuk skoring CPUE dan konsentrasi klorofil-a. Sedangkan untuk atribut lain, seperti jarak migrasi, status dan pemahaman nelayan terhadap lingkungan berada dalam kategori buruk, sehingga mendapat nilai skor minimal. Berdasarkan hasil dengan menggunakan Rapfish (MDS) terhadap ke sembilan atribut dimensi ekologi diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 78.78% dengan status sangat berkelanjutan (Gambar 38). Nilai keberlanjutan ini menunjukan bahwa apabila pemanfaatan Madidihang tetap dilakukan seperti pada saat tahun 2010 maka kegiatan penangkapan ikan tuna di perairan ZEEI oleh nelayan sekoci, dilihat dari aspek ekologi akan tetap berkelanjutan tanpa mengganggu kelestarian dari sumber daya ikan tuna tersebut. Namun demikian, agar pada masa akan datang tetap terjadi keberlanjutan, maka untuk atribut yang memiliki dampak negatif harus segera diperbaiki, sebaliknya untuk yang memberikan dampak positif harus dipertahankan dan ditingkatkan

144 seperti penangkapan ikan yang sudah matang gonad atau ikan besar yaitu ikan yang berukuran di atas 20 kg terus diupayakan sehingga ukuran ikan yang tertangkap semakin lama semakin besar. Gambar 38 Indeks keberlanjutan dimensi ekologi kegiatan penangkapan ikan tuna di wilayah ZEEI selatan Jawa Timur. Keuntungan lain yang diperoleh dengan meningkatkan perubahan ukuran tangkap dari yang berukuran kecil kepada yang berukuran besar adalah diperoleh nilai ekonomis tinggi, karena Madidihang lebih mahal harganya yang berukuran besar daripada yang berukuran kecil. Adanya peningkatan CPUE dan terjadinya perubahan ukuran hasil tangkapan Madidiahang ke arah yang lebih besar menunjukan bahwa secara ekologi kelimpahan dari stok Madidihang di perairan ZEEI Samudera Hindia, khususnya di Selatan Jawa Timur (WPP 573) menunjukkan status stok yang masih baik sebagaimana dinyatakan oleh Pitcher dan Preikshot (2001) dan Hoggarth (2006) yang menyatakan bahwa peningkatan CPUE dan tidak terjadinya perubahan ukuran ikan hasil tangkapan ke arah yang lebih besar menunjukkan kondisi perairan tersebut memiliki status stok undeveloped, sehingga apabila dilakukan penambahan upaya untuk mengekstraksi sumberdaya Madidihang tersebut masih berkelanjutan. Namun demikian, agar diperoleh indeks keberlanjutan yang semakin tinggi perlu diketahui atribut-atribut yang memiliki nilai sensitifitas tinggi yang dapat menurunkan dimensi ekologi secara keseluruhan.

145 Guna mengetahui atribut-atribut yang memiliki nilai sensitifitas tinggi tersebut, maka dilakukan analisis leverage. Dari hasil analisis leverage, atribut yang paling sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekologi dari kegiatan penangkapan Madidihang oleh nelayan Sendang Biru adalah spesies ikan yang ikut tertangkap, seperti tersaji pada Gambar 39. Gambar 39 Peran masing-masing atribut dimensi ekologi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS). Munculnya atribut tersebut, karena dalam kegiatan perikanan tangkap yang dilakukan nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru di rumpon diperoleh spesies ikan lain seperti Cakalang, Bigeye tuna, Marlin, Tompek dengan proporsi masing-masing adalah 36.71%, 31.45%, 19.57%, 9.66% dan 2.6%. Atribut ini sulit untuk diinterfensi mengingat Madidihang di rumpon menurut Cayré (1991) berasosiasi dengan ikan Cakalang terutama untuk tuna pada fase juvenil, karena memiliki preferensi terhadap suhu perairan yang sama. Suhu preferensi untuk ikan Cakalang adalah berkisar antara 18-30 o C, dan hidup di perairan yang sama di daerah tropis dan sub tropis, terutama pada lapisan campuran (Barkley et al. 1978). Demikian pula untuk jenis ikan tuna lainnya. Menurut Carey and Olson (1982), Madidihang selalu bersama terutama pada fase juvenile pada lapisan campuran. Sama halnya dengan Madidihang, ikan tuna Bigeye memiliki kebiasaan yang sama yaitu sering kali muncul ke lapisan campuran, walaupun sekitar 90% berada di lapisan dalam

146 (Graham dan Dickson 2001). Demikian pula dengan ikan Striped Marlin (Tetrapturus audax) (Brill et al. 1993). Keberadaan spesies lain yang tertangkap, secara ekonomis diperlukan oleh nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru Kabupaten Malang. Spesies tersebut dapat mensubsitusi pada saat hasil tangkapan Madidihang menurun, terutama untuk ikan tuna Mata Besar, Marlin dan Cakalang. Secara aggregate keberadaan spesies lain yang tertangkap tersebut, dapat menjaga keberlanjutan dari kegiatan perikanan tuna yang di lakukan oleh nelayan Sendang Biru karena keuntungan armada kapal sekoci diperoleh dari nilai jual ikan tersebut. Dengan demikian, maka atribut ini berperan sebagai atribut pengungkit yang berdampak positif terhadap keberlanjutan dimensi ekologi, karena hasil sepesies yang tertangkap tersebut termasuk ikan tuna yang memiliki ekonomis penting sama dengan Madidihang. Hal ini sesuai dengan pendapat Pitcher dan Preikshot (2001) yang menyatakan bahwa dalam kegiatan penangkapan apabila diperoleh spesies kurang dari 10 jenis, maka masih dikategorikan baik atau berkelanjutan. Terjadinya fluktuasi CPUE sebagai trend biomassa pada dimensi ekologi, ternyata tidak memberikan nilai sensitifitas yang tinggi terhadap keberlanjutan dimensi ekologi. Hal ini menguatkan kembali bahwa kelimpahan Madidihang di perairan ZEEI menunjukkan masih baik. Hal ini menguatkan kembali bahwa CPUE merupakan metode yang kurang baik untuk menggambarkan penilaian kelimpahan Madidihang (Bertrand et al. 2002). Hal ini terjadi karena nilai CPUE diperoleh dengan membandingkan volume hasil tangkapan dengan upaya (kg/trip). Perhitungan tersebut menjadi kurang baik digunakan untuk mengestimasi kelimpahan tuna, karena keberhasilan penangkapan tuna tidak hanya ditentukan oleh volume tangkapan, akan tetapi sangat ditentukan oleh kualitas dari ikan tuna tersebut. Ikan segar dan besar memiliki kualitas yang tinggi sehingga nilainya menjadi tinggi pula, sebaliknya untuk yang berukuran kecil. Terjadinya fluktuasi CPUE hasil tangkapan nelayan sekoci di Sendang Biru diakibatkan dua hal, yaitu:1) adanya perubahan pola tangkap dari nelayan dan 2) terjadi penjarahan ikan di rumpon oleh nelayan purse seine dari Pekalongan dan Muara Angke. Pola perubahan yang dimaksud adalah ikan

147 target diarahkan kepada yang berukuran besar. Pola perubahan tersebut dilakukan dengan cara merubah metode mancing dari metode tonda (trolling) yang menggunakan ukuran pancing kecil dan dilakukan di lapisan campuran, diganti dengan cara layang-layang untuk menangkap ikan >20 kg di atas permukaan lapisan campuran dan copping pada ke dalaman 100 m di lapian termoklin. Adanya pola perubahan pola tangkap tersebut, maka dari tahun 2003 hingga 2010, terjadi perubahan ukuran, yaitu pada tahun 2003 hasil tangkapan di dominasi ikan tuna yang berukuran kecil 1-2 kg (12%), 2-9 kg (75%),>10 kg 13% pada tahun 2010 berubah, untuk yang berukuran 1-2 kg (2%), 2-9 kg (39%), > 10 kg (43%) dan 2). Efek lanjut dari perubahan tersebut, selain membawa keuntungan secara ekonomis juga memberikan andil besar dalam konsep pengelolaan Madidihang yang bertanggung jawab, karena sekitar 47% tuna yang tertangkap sudah matang gonad. Hal ini berarti tuna tersebut telah sempat bertelur dan beranak, sehingga kelestarian dari Madidihang akan selalu terjaga. Tidak adanya hasil tangkapan yang terbuang dan yang tidak dikehendaki (discard by catch) menunjukkan bahwa penagkapan yang dilakukan oleh nelayan sekoci telah baik, sehingga menunjang status keberlanjutan. Skor atribut yang memiliki nilai yang tinggi menggambarkan bahwa kondisi ekologi di perairan ZEEI selatan Jawa Samudera Hindia berada dalam kondisi yang baik, sehingga kegiatan perikanan tangkap Madidihang yang dilakukan oleh nelayan sekoci dengan menggunakan alat bantu rumpon tidak merusak lingkungan, sebagai habitat dari ikan tuna tersebut. Dengan demikian, kelimpahan sumberdaya Madidihang selalu terjaga dan lestari. Kondisi tersebut membuktikan bahwa estimasi tentang status stok Madidihang di Samudera Hindia yang dinyatakan sudah overexploited (IOTC 2009) menjadi tidak berlaku untuk kondisi di WPP 573. Kondisi tersebut diperkuat oleh hasil revisi mengenai perhitungan kembali tentang status stok Madidihang di Samudera Hindia yang dilakukan oleh IOTC pada bulan September tahun 2011. Hasil pengkajian ulang tentang model perhitungan stok pada tahun 2009 tersebut, ternyata setelah dilakukan

148 perhitungan ulang pada bulan September 2011 yang dilakukan oleh IOTC (2011) diperoleh hasil bahwa status stok Madidihang tersebut masih tidak overfished (B 2009 >B MSY ) dan overfishing (F 2009 >F MSY ). Hal ini ditunjukkan dengan hasil tangkapan Madidihang pada tahun 2010 di Samudera Hindia, yaitu sebesar 299.1 (ribu ton), rata-rata hasil tangkapan pada tahun 2006-2010: 326.6 (ribu ton), MSY: 357 (ribu ton), F 2009 >F MSY :0.84 (0.63-1.61). Hal ini berarti bahwa peluang pengembangan perikanan tangkap Madidihang tersebut masih besar. Dari hasil skenario pengelolaan yang direkomendasikan oleh IOTC (2011) diperoleh gambaran bahwa pada tahun 2013 dan 2020 kondisi status stok Madidihang, apabila upaya tangkap dilakukan sebesar: (1) 60% (165 600 t), maka untuk B 2013 < B MSY dan F 2013 >F MSY = <1, (2) 80% (220 800 t), maka untuk B 2013 < B MSY dan F 2013 >F MSY = <1, (3) 100% (276 000 t), maka untuk B 2013 < B MSY = <1 dan F 2013 >F MSY = 58.3, (4) 120% (331 200 t), maka untuk B 2013 < B MSY = <1 dan F 2013 >F MSY = 83.3 dan (5) 140% (386 400 t), maka untuk B 2013 < B MSY = <1 dan F 2013 >F MSY = 100. Sedangkan pada tahun 2020 pada skenario yang sama adalah sebagai berikut: (1) B 2020 < B MSY dan F 2020 > F MSY = <1, (2) B 2020 < B MSY = <1 dan F 2020 > F MSY = 41.7, (3) B 2020 < B MSY = 8.3 dan F 2020 > F MSY = 83.3, (4) B 2020 < B MSY = 41.7 dan F 2020 > F MSY =100 dan (5) B 2013 < B MSY = 91.7 dan F 2013 >F MSY = 100. Berbeda dengan IOTC yang selalu hati-hati untuk mengeluarkan pernyataan tentang kondisi atau status stok Madidihang di Samudera Hindia, pemerintah Indonesia justru sebaliknya tanpa didasari data yang kuat dan upaya untuk mengklarifikasi hasil rekomendasi dari IOTC pada tahun 2009 yang menyatakan kondisi atau stok Madidihang yang sudah overexploited melalui Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dengan Keputusan Menteri Kelautan No 45 tahun 2011 tentang estimasi potensi sumberdaya ikan di wilayah pengelolaan, dinyatakan bahwa status stok Madidihang di Samudera Hindia, khususnya di WPP 573 sudah mengalami tangkap penuh (full-exploited). Estimasi tersebut selanjutnya apabila tidak dilakukan revisi dengan segera, maka akan merugikan perikanan tangkap Indonesia sendiri karena dengan status stok yang tangkap penuh akan melahirkan kebijakan yang merugikan nelayan tersebut, seperti pembatasan

149 alat tangkap, padahal penambahan alat tangkap masih terbuka lebar. Dengan demikian, apabila kebijakan tersebut diberlakukan maka akan menguntungkan kepentingan perikanan tangkap asing yang memanfaatkan Madidihang di Samudera Hindia. 4.7.2 Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Madidihang merupakan komoditas ikan komersial dan bernilai tinggi di pasar dunia. Dengan demikian, penangkapan tuna akan berlangsung apabila diperoleh rente ekonomi yang tinggi. Madidihang merupakan ikan pelagis besar yang hidup di perairan tropis dan subtropis pada lapisan termoklin, atau pada kolom air yang dalam. Berdasarkan karakteristik tersebut maka untuk mengekstraksi sumberdaya ikan tuna tersebut membutuhkan teknologi dan biaya yang tinggi di samping keterampilan dan pengetahuan dari ABK. Kegiatan penangkapan akan dilakukan apabila diperoleh total revenue yang lebih tinggi daripada total cost, sehingga selain diperoleh profit, modal atau biaya investasi cepat kembali. Untuk mengetahui status keberlanjutan dari kegiatan perikanan tangkap tuna yang dilihat dari dimensi ekonomi, maka digunakan 11 atribut yang dapat dijadikan indikator untuk menilai status keberlanjutan ekonomi. Atribut-atribut yang digunakan untuk dijadikan indikator dalam penilaian status keberlanjutan ekonomi tersaji pada Tabel 28. Sedangkan untuk mengetahui nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekonomi tersebut dilakukan analisis Rapfish. Tabel 28 Nilai dan skor setiap atribut pada dimensi ekonomi No Jenis Dimensi Penilaian Skor 1 Harga Jual US$1 600 per ton 3 2 Kelayakan Usaha R/C : 1.74-2.02 2 3 Tingkat pendapatan Rp.1 701 943.28 > Rp 1 077 600 (UMR Kab. Malang) 2 4 Sumber pendapatan lain Bekerja penuh sebagai nelayan (full time) 0 5 Kontribusi terhadap PDRB 1.2% 0 6 Pembatasab masuk Melalui persetujuan kelompok nelayan 1 7 Ketenaga kerjaan Tenaga terserap langsung 2 135 orang 2 8 Transfer keuntungan Hampir 88.93% keluar 0 9 Pasar utama 98% ekspor dan 2% lokal 2 10 Subsidi BBM dan fasilitas pelabuhan 0 11. Pembagian kuota Tidak ada 0 Dari hasil analisis Rapfish, pada hasil tangkapan nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru yang dilakukan dari tahun 2003 hingga tahun 2010

150 yang melakukan kegiatan penangkapan sumberdaya Madidihang di perairan ZEEI Samudera Hindia, khususnya di Selatan Jawa Timur diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekonomi sebesar 72.60% seperti tersaji pada Gambar 40. Gambar 40 Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi kegiatan penangkapan Berdasarkan nilai indeks keberlanjutan yang tersaji pada Gambar 40, berarti kegiatan perikanan tangkap tuna tersebut berada dalam kategori cukup berkelanjutan. Hal ini berarti kegiatan tersebut memberikan kinerja ekonomi yang tinggi bagi para pelaku perikanan Madidihang di Sendang Biru sehingga memberi manfaat yang besar terhadap perekonomian masyarakat Sendang Biru Kabupaten Malang. perikanan tuna di wilayah ZEEI selatan Jawa Timur. Tingginya indeks keberlanjutan dimensi ekonomi tersebut, menunjukkan bahwa kegiatan perikanan tangkap Madidihang memberikan peluang untuk dijadikan sumber pertumbuhan ekonomi baru dan penghela perekonomian regional, khususnya di Kabupaten Malang. Besarnya nilai ekonomi tersebut diperoleh dari hasil penjualan Madidihang di PPP Pondokdadap yang memiliki harga relatif tinggi yaitu USD 1 664.74 per ton. Tingginya harga tersebut, karena Madidihang merupakan komoditas ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi untuk tujuan ekspor. Produksi Madidihang hasil tangkapan nelayan sekoci sebagian besar (98%) dipasarkan secara langsung ke perusahaan pengolahan ikan yang ada di Pasuruan, Sidoarjo, Surabaya dan Bali untuk

151 diproses menjadi bahan atau komoditas ekspor, sisanya (2%) untuk lokal. Harga Madidihang segar di TPI Pondokdadap tersebut, apabila dibandingkan dengan patokan harga dalam penentuan skala keberlanjutan dari Pitcher dan Preikshot (2001), maka harga Madidihang tersebut memiliki nilai skor baik yaitu dengan nilai 3 karena berada dalam rentang harga antara USD 1500-3000. Berdasarkan tingginya harga tersebut, maka keberadaan nelayan tangkap sekoci di Sendang Biru, pada saat ini menjadi penghela ekonomi di wilayah Malang bagian Selatan. Pada tahun 2010, tenaga kerja langsung yang terserap pada kegiatan perikanan tangkap sekoci sekitar 2 135 orang. Tingginya kinerja nelayan Madidihang tersebut memberikan nilai manfaat langsung kepada pemilik kapal, karena dengan nilai investasi sebesar Rp 89 513 000 dalam waktu 27 bulan sudah kembali. Berdasarkan atas kinerja performa keuangan, keuntungan pemilik kapal ditunjukkan dengan tingginya nilai B/C rationya yang mencapai 2.25 dan nilai IRR sebesar 57.36% Sama halnya dengan pemilik kapal, kinerja ekonomi dari kegiatan perikanan tuna tersebut memberikan dampak langsung kepada nelayan. Nelayan sekoci memiliki pendapatan rataan yang tinggi yaitu Rp 1 701 943.28 per bulan. Apabila dibandingkan dengan upah minimum regional Kabupaten Malang, maka pendapatan nelayan sekoci tersebut berkategori baik, karena berada di atas UMR Kabupaten Malang yang berlaku pada tahun 2010, yaitu Rp 1 077 600. Tingginya keuntungan yang diperoleh oleh kegiatan perikanan Madidihang yang dilakukan oleh nelayan sekoci tersebut, selain dirasakan oleh masyarakat juga memberikan kontribusi yang langsung terhadap pendapatan daerah. Restribusi terhadap hasil tangkapan ikan tuna di PPP Pondokdadap diberlakukan sebesar 3% dari total pendapatan. Restribusi ini ditanggung oleh nelayan dan pengusaha sebagai pembeli ikan dari nelayan yang bersangkutan. Dengan demikian, restribusi yang dibayarkan oleh nelayan dan pembeli ikan masing masing adalah sebesar 1.5%. Selain pihak pengelola PPP Pondokdadap, pungutan restribusi diterapkan oleh pemerintah Desa Tambakrejo Sumbermanjing Wetan, yaitu 0.5% dari total tangkapan. Dengan demikian, kontribusi langsung yang diperoleh pemerintah adalah sebesar 3.5%.

152 Berdasarkan performa kinerja ekonomi tersebut, maka pada saat ini kegiatan usaha perikanan Madidihang dijadikan komoditas unggulan Kabupaten Malang (Nurani 2010). Tetapi walaupun kegiatan perikanan tangkap tuna ini memberikan kontribusi langsung kepada masyarakat Sendang Biru, kontribusinya terhadap PDRB masih relatif rendah jika dibandingkan dengan sektor lain di Kabupaten Malang. Hal ini terjadi karena pengembangan sektor perikanan tangkap di Kabupaten Malang masih relatif baru. Sektor perikanan tangkap baru di jadikan sektor unggulan oleh pemerintah Kabupaten Malang pada tahun 2000-an. Namun karena wilayah PPP Pondokdadap berada di area hutan lindung (PT. Perhutani), maka pembangunannya sampai saat ini masih lambat. Upaya untuk mendapatkan perluasan tanah dalam kerangka pengembangan terus dilakukan, namun sampai saat ini belum memperoleh kepastian. Sementara kegiatan perikanan tangkap tuna di Sendang Biru, terus berkembang dengan pesat. Kondisi ini mengakibatkan daya dukung wilayah Sendang Biru sudah melampaui batas. Perluasan PPP Pondokdadap sulit dilakukan, sehingga kondisinya masih buruk dan berdampak terhadap kualitas ikan yang dihasilkan. Tingginya kinerja ekonomi dari kegiatan perikanan Madidihang ini dipengaruhi oleh atribut yang mempunyai nilai sensitifitas tinggi. Dari 11 atribut yang dijadikan indikator dari analisis Leverage, diperoleh hasil bahwa besarnya indeks keberlanjutan kegiatan perikanan Madidihang yang dilakukan oleh nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru yang paling sensitif adalah peubah transfer keuntungan, seperti yang tersaji pada Gambar 41. Atribut transfer keuntungan (kepemilikan usaha) muncul sebagai peubah yang memiliki nilai sensitifitas yang tinggi tidak lepas dari keberadaan kepemilikan usaha dari kapal sekoci yang dipergunakan oleh nelayan Sendang Biru. Hal ini terjadi, karena pada mulanya sebagian besar kapal sekoci yang ada di Sendang Biru berasal dari kapal andon dari Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Pada tahun 2008 kapal yang tercatat di Kelompok Nelayan Rukun Jaya, tercatat bahwa kapal sekoci yang dimiliki oleh nelayan lokal sejumlah 220 unit dan andon 131 unit. Namun demikian, dari sejumlah kapal sekoci yang tercatat sebagai kapal lokal hampir 50% dimiliki pengusaha dari luar

153 Kabupaten Malang. Dengan demikian maka jumlah kapal sekoci milik pengusaha dari luar kabupaten malang adalah sejumlah 241 unit atau sekitar 68.77%. Nelayan dan nahkoda dari kapal sekoci tersebut, baik yang dimiliki oleh nelayan lokal maupun nelayan andon sebagian besar (95%) berasal dari suku Bugis asal Provinsi Sulawesi Selatan, terutama dari Kabupaten Sinjai. Keterlibatan usaha yang diperankan oleh masyarakat Kabupaten Malang, sebagian besar adalah sebagai pengusaha pemodal atau pengambek, dan penyuplai kebutuhan sembako dan es. Gambar 41 Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS). Berdasarkan proporsi tersebut maka pendapatan hasil tangkapan sekoci sebagian besar dibawa ke luar wilayah Kabupaten Malang sebesar 88.99%, sisanya tetap berada di Kabupaten Malang. Adanya transfer keuntungan ke luar dari Kabupaten Malang, tidak lepas dari keterbukaan masyarakat Sendang Biru. Masyarakat Sendang Biru terbuka untuk pengusaha baru, yang berasal dari luar Kabupaten Malang, baik sebagai pengusaha tetap maupun sebagai andon. Namun demikian, untuk pengusaha baru yang akan beroperasi di wilayah ZEEI Selatan Jawa Timur dan menggunakan rumpon sebagai alat bantunya, disyaratkan untuk menjadi anggota dari Kelompok Nelayan Rukun Jaya. Persyaratan lain, adalah ketentuan untuk bermitra dengan penduduk lokal sebagai pengambek dan tidak boleh mengganggu ketentuan yang berlaku

154 umum. Dengan demikian, maka sifat keterbukaan tersebut terbatas (limited entry). Artinya walaupun terbuka tetap dibatasi dengan aturan-aturan yang bersifat lokal. Tingginya minat investasi di Sendang Biru, menandakan bahwa secara ekonomis kegiatan usaha di bidang perikanan tangkap dengan menggunakan sekoci masih menguntungkan. Adanya keterbukaan tersebut, dalam konteks pengelolaan sumberdaya Madidihang menjadi atribut yang memberikan dampak negatif, karena sumberdaya ikan tuna akan diekstrak secara tak terkendali. Agar dalam pengelolaan Madidihang bisa berkelanjutan, maka keterbukaan kepemilikan usaha tersebut, tetap dipertahankan, namun diatur dengan ketentuan-ketentuan. Menurut Charles (2001) secara umum terdapat dua kunci untuk menjaga keberlanjutan dalam sistem perikanan, yaitu ada aturan yang rasional untuk ditegakkan dan adanya keseimbangan antara tingkat pengaturan sumberdaya yang dibutuhkan oleh nelayan dengan tingkat kinerja yang diperlukan untuk dijalankan secara efektif. Sehubungan dengan kondisi tersebut, maka kepemilikan usaha tersebut, harus mendapatkan perhatian yang seksama, karena apabila dibiarkan akan menyebabkan tingkat konflik di antara para nelayan dan secara aggregate perkembangan perikanan tersebut, tidak memberikan dampak yang nyata terhadap pertumbuhan ekonomi regional, khususnya di Kabupaten Malang bagian selatan. Namun demikian, secara umum dari dimensi ekonomi, menunjukkan bahwa kegiatan perikanan tuna yang dilakukan oleh nelayan Sendang Biru dari hasil tahun 2003 hingga tahun 2008 menunjukkan status yang cukup berkelanjutan. Besaran subsidi ternyata tidak menjadi kendala dalam perikanan tangkap dengan kapal sekoci ini. Pendapatan nelayan masih relatif besar, sehingga nelayan sekoci jauh lebih sejahtera dibandingkan dengan nelayan armada lain yang ada di Sendang Biru. Besarnya nilai ekonomi dari hasil tangkapan ikan tuna tersebut, dikhawatirkan akan berdampak terhadap peningkatan investasi yang tidak terkendali, sehingga dari segi pengelolaan akan berdampak negatif terhadap keberadaan sumberdaya ikan tuna yang ada di fishing ground. Metode

155 pengendalian input dengan melakukan pengendalian jumlah kapal, jumlah peralatan tangkap dan pengaturan rumpon perlu segera diberlakukan. 4.7.3 Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi Kesuksesan dalam penangkapan ikan tuna sangat ditentukan oleh teknologi yang di gunakan, terutama alat tangkap dan ukuran dari kapal (Moron 2002). Hal ini penting diperhatikan, karena tuna merupakan ikan migrasi dan berada di perairan Samudera yang sebarannya pada umumnya terdapat pada lapisan termoklin. Sebagai komoditi yang mudah rusak maka ikan harus segera dilakukan penanganan, apabila tidak ditangani segera maka kualitas ikan akan cepat turun. Dengan demikian, pada kapal longline maupun purse seine selalu dilengkapi dengan peralatan untuk penanganan dan pengawetan, karena fishing ground jauh dari pusat pendaratan. Berbeda dengan kapal sekoci Sendang Biru Kabupaten Malang, walaupun memiliki jangkauan jauh, namun tidak dilengkapi dengan peralatan untuk penanganan dan penyimpanan yang memadai. Faktor ini sering kali dijadikan alasan bahwa perikanan tuna rakyat Indonesia walaupun menangkap ikan target tuna di perairan ZEEI, karena keterbatasan teknologi sering kali disebut kapal kecil dan tradisional. Pada umumnya yang disebut kapal tradisional tersebut, menurut Sutisna (2007) memiliki ciri sebagai berikut:1) produksi dan produkstivitasnya rendah), 2) rentan terhadap perubahan kebijakan ekonomi, 3) tergantung pada musim dan tengkulak, 4) kapasitas tangkap terbatas, dengan kualitas yang rendah, 5) intensitas konflik tinggi terutama penguasaan fishing ground, 6) sulit mengakses bantuan, 7) kemampuan belanja rendah, dan 8) aksebilitas rendah. Berdasarkan kategori tersebut, maka seringkali keberlanjutan dari armada kecil atau tradisional tersebut terancam. Untuk melihat keberlanjutan kapal sekoci nelayan Sendang Biru, yang beroperasi di wilayah perairan ZEEI Selatan Jawa maka dipilih indikator yang diduga berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi teknologi. Indikator-atribut yang dipilih terutama yang berkaitan dengan teknologi penangkapan dan alat bantunya, penanganan, pendaratan dan dampak dari teknologi yang digunakan. Atribut-atribut yang

156 dijadikan indikator untuk menilai status keberlanjutan dari dimensi teknologi tersaji pada Tabel 29. Tabel 29 Nilai dan skor setiap atribut pada dimensi teknologi No Jenis Dimensi Penilaian Skor 1 Lama trip 7-10 hari 1 2 Tempat mendarat terpusat 2 3 Pre-sale processing Kadang-kadang (ex:gutting, filleting) 1 4 Proses Pengawetan Menggunakan es balok 1 5 Alat tangkap pasif 1 6 Alat tangkap selektif Selektif 2 7 Rumpon Rumpon laut dalam (300-6000 m) 2 8 Sonar tidak menggunakan 1 9 Ukuran Kapal panjang 16 M 2 Kemampuan tangkap (Catching pertamabahan trip per tahun 18.7% dan 10 Power) jumlah armada 19.2% 1 11 Gear side efffect tidak merusak lingkungan. 2 Dari hasil analisis Rapfish dari ke-11 atribut dimensi terknologi diproleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 72.56 dengan status cukup berkelanjutan, seperti tersaji pada Gambar 42. Gambar 42 Indeks keberlanjutan dimensi teknologi kegiatan penangkapan perikanan tuna. teknologi Tingginya nilai indeks keberlanjutan ini berarti secara umum bahwa yang digunakan untuk menangkap ikan tuna oleh kapal sekoci dengan alat bantu rumpon sangat baik digunakan untuk meningkatkan hasil tangkapan sumberdaya Madidihang yang berada di perairan ZEEI Samudera Hindia, khususnya di WPP 573 yang selama ini belum dilakukan secara

157 optimal. Dengan demikian, untuk atribut-atribut yang memberikan pengaruh positif terhadap nilai indeks perlu dipertahankan, bahkan dijaga dan ditingkatkan. Namun demikian, walaupun secara simultan semua atribut tersebut memberikan pengaruh yang positif terhadap nilai indeks status, akan tetapi ada atribut yang memiliki pengaruh negatif terhadap nilai indeks. Dari hasil analisis leverage yang dilakukan terhadap dimensi teknologi diperoleh hasil bahwa atribut proses pengawetan dan penanganan ikan memberikan pengaruh yang negatif terhadap nilai indeks status keberlanjutan, seperti tersaji pada Gambar 43. Agar keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya ikan tuna tersebut, keberlanjutannya dapat terjaga dengan baik maka perlu dilakukan perbaikan-perbaikan, khususnya untuk untuk proses penanganan dan pengawetan ikan di atas kapal. Gambar 43 Peran masing-masing atribut dimensi teknologi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS). Penanganan ikan di atas kapal oleh nelayan sekoci tidak dilakukan atas dasar kriteria standar mutu, namun dilakukan agar ikan tidak mengalami kebusukan. Hal ini terjadi sebagai akibat belum diterapkannya standar mutu pada saat penjualan di PPP Pondokdadap. Dengan demikian, maka perbaikan mutu di kapal berhubungan erat dengan keterkaitan pengelolaan di PPP Pondokdadap. Penjualan ikan di PPP Pondokdadap pada saat ini baru menerapkan standar mutu berdasarkan kriteria fisik, yaitu melihat kesegaran ikan berdasarkan kriteria kekenyalan, bau dan warna insang ikan. Penerapan

158 standar mutu berdasarkan kandungan mikroba seperti salmonella dan e.coli, total plate count (TPC) dan kandungan histamine belum dilakukan, sehingga hampir 70% memiliki mutu rendah. Berdasarkan kondisi tersebut, maka sebagian besar diperuntukan untuk ikan kaleng, dan sisanya (30%) untuk produksi loin dan steak (PT Kelola Mina Laut). Rendahnya kualitas ikan hasil tangkapan tersebut, berimplikasi terhadap harga jual. Nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru mengharapkan adanya perbaikan dalam sistem pengelolaan di PPP Pondokdadap, yaitu adanya sarana prasarana untuk penanganan ikan tuna, dan ketersediaan es curah (dry es). Nelayan menginginkan adanya care master di PPP Pondokdadap, sehingga penjualan ikan berpatokan kepada harga berdasarkan mutu ikan, tidak lagi kepada volume dan ukuran ikan. Apabila kondisi tersebut diterapkan, maka nelayan akan melakukan proses penanganan dan pengawetan yang baik di atas kapal. Nelayan Sendang Biru sesungguhnya telah menguasai proses pengawetan rantai dingin (chiled), namun karena kondisi penjualan di PPP Pondokdadap dianggap belum kondusif, maka penanganan ikannya baru sebatas pengeluaran insang dan isi perut dengan proses pengawetan seadanya. Pengeluaran isi perut dan insang dilakukan manakala punya waktu senggang, dan biasanya pada malam hari setelah kegiatan penangkapan berhenti. Penanganan dalam kapal dianggap menambah beban biaya, sementara harga jual antara yang bermutu tinggi dengan yang bermutu rendah adalah sama. Disisi lain harga es semakin tinggi, karena es diperoleh dari Kota Malang, Blitar dan Tulungagung. Apabila terjadi perbaikan sistem pelelangan di PPP Pondokdadap dan tersedianya sarana dan prasara yang menunjang sistem pengelolaan ikan pasca tangkap, niscaya tingkat keberlanjutan dari pemanfaatan sumbersaya ikan tuna oleh nelayan sekoci tersebut akan semakin meningkat, karena dari 11 atribut yang di evaluasi tingkat sensitifitasnya, hanya faktor pengawetan dan proses penangan pasca tangkap yang menjadi pengungkit utama dalam menilai status keberlanjutan pemanfaatan dari Madidihang. Pengetahuan nelayan tentang penggunaan alat tangkap dan metode memancing perlu dipertahankan, karena walaupun sederhana, alat tangkap

159 yang digunakan memiliki efektivitas tinggi, terutama memancing dengan metode copping dan layang-layang. Metode copping, merupakan metode yang paling efektif dalam penangkapan ikan, karena mata pancing diletakkan sampai kedalaman 100 m, pada lapisan termoklin. Sehingga sebagian besar ikan yang tertangkap adalah yang berukuran di atas 10 kg. Sedangkan metode layanglayang diperoleh ikan di atas 20 kg. Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan tersebut merupakan alat tangkap selektif, karena dikhususkan untuk menangkap ikan tuna, berbeda dengan alat tangkap purse seine sebagai alat tangkap multi species. Sehingga penggunaan hand line tersebut penting untuk dipertahankan, terutama metode alat pancing dengan menggunakan layanglayang yang menghasilkan ikan berukuran besar, yaitu di atas 20 kg. Pelarangan penggunaan pancing layang-layang di perairan ZEEI oleh nelayan sekoci PPP Pondokdadap, menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang dibuat tidak berdasarkan partisipasi atau keterlibatan nelayan. Artinya kebijakan masih bersifat top down belum bottom up. Tingginya produktivitas hasil tangkapan nelayan tersebut, merupakan implementasi dari penggunaan teknologi rumpon yang dilakukan oleh nelayan sekoci sebagai fishing ground. Dengan demikian, penggunaan rumpon menjadi sangat penting, tanpa ada rumpon kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan tuna oleh nelayan sekoci akan berakhir. Menurut Cayré (1991) keberadaan rumpon tersebut menjadi vital, karena ikan tuna memiliki asosiasi dengan rumpon. Dengan demikian, keberadaan rumpon menjadi baik apabila digunakan oleh nelayan tradisional yang menggunakan hand line, dan sebaliknya apabila digunakan purse seine sebagai alat tangkap. Namun demikian keberadaan rumpon nelayan sekoci tersebut pada saat ini keberlanjutannya terancam karena telah diganggu oleh nelayan purse seine. Pengawasan dan perlindungan akan keberadaan rumpon tersebut, perlu dilakukan dengan segera. Tanpa rumpon efektifitas nelayan sekoci akan menurun. Pada saat ini efektivitas kegiatan pemanfaatan ikan tuna di rumpon oleh nelayan sekoci memiliki nilai efektivitas yang tinggi, yaitu sekitar 76%, jika dibandingkan dengan armada lainnya.

160 Tingginya produktivitas hasil tangkapan sekoci tersebut, mengakibatkan terjadinya laju penambahan upaya tangkap dan armada tangkap. Dari tahun 2003 hingga tahun 2010, telah terjadi peningkatan kapasitas dengan rataan per tahunnya adalah 32% dan 25.1%. Perubahan ini pada batas tertentu dapat mengancam keberlanjutan, sehingga faktor tersebut merupakan atribut yang perlu mendapat perhatian yang serius. Apabila atribut-atribut tersebut dapat dikelola dengan baik maka nilai indeks keberlanjutan dari pemanfaatan sumberdaya tersebut, akan bisa meningkat dari cukup berkelanjutan menjadi sangat berkelanjutan. Peran pemerintah harus lebih dominan, karena pada dasarnya nelayan Sendang Biru merupakan nelayan yang tanggap akan inovasi dan teknologi, serta memiliki kejujuran yang tinggi. Hal ini dibuktikan dengan tingkat adopsi rumpon dan dilakukannya pendaratan yang terpusat di PPP Pondokdadap, padahal memungkinkan untuk terjadinya transhipment atau penjualan langsung ke Benoa, terutama yang menangkap di fishing ground dengan koordinat antara 114-115 BT. Adanya kegiatan perikanan terpusat tersebut memudahkan untuk melakukan pencatatan dan monitoring dari masing-masing hasil tangkapan sebagai mana dipersyaratkan dalam perdagangan Madidihang, yang membutuhkan Catch certificate (CC) terutama untuk penjualan ke Uni Eropa dan USA. Pengelolaan atribut dilakukan dengan cara meningkatkan peran setiap atribut yang memberikan dampak positif dan menekan setiap atribut yang memberikan dampak negatif terhadap nilai indeks keberlanjutan dari dimensi teknologi. 4.7.4 Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Kegiatan pemanfaatan sumberdaya Madidihang di perairan Samudera Hindia, dilakukan oleh berbagai macam tipe armada yang beroperasi mulai dari perikanan berskala kecil maupun berskala besar. Pada umumnya kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan kecil terjadi di perairan teritorial atau di pinggir, sebaliknya untuk kegiatan perikanan tangkap berskala besar dilakukan di perairan ZEE atau bebas ( long water distant). Pada kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan di perairan ZEE atau perairan bebas, keselamatan merupakan faktor utama yang harus mendapat

161 perhatian. Kondisi kondisi hidro-oseanografi yang tidak menentu, menjadi pembatas dan tantangan tersendiri yang harus dihadapi oleh para ABK yang beroperasi di wilayah Samudera Hindia. Selain harus menghadapi tantangan faktor alam, keberhasilan penangkapan ikan tuna sangat ditentukan oleh ketangguhan, keterampilan dan pengetahuan yang memadai diberbagai bidang yang berkaitan dengan faktor alam dan biologis serta perilaku ikan tuna yang ada di perairan samudera. Dengan demikian, selain pengetahuan mengenai karakteristik alam perairan, diperlukan pengetahuan mengenai perilaku ikan tuna sebagai ikan target. Untuk mengatasi berbagai faktor penghambat atau rintangan tersebut, maka dalam industri penangkapan tuna berskala besar pendidikan formal dari ABK menjadi faktor penentu dalam keberhasilan usaha penangkapan. Pada kegiatan perikanan tangkap tuna yang dilakukan oleh nelayan sekoci, semestinya memiliki persyaratan yang sama dengan armada penangkapan besar, karena melakukan penangkapan ikan tuna di wilayah atau fishing ground yang berada di perairan ZEEI Samudera Hindia. Selain faktor alam, kompetisi dengan kapal lain sering terjadi, terutama dengan kapal-kapal purse seine, baik kapal asal daerah atau provinsi di Indonesia, bahkan dengan kapal-kapal penangkapan yang berbendera asing selalu berkompetisi dengan nelayan Sendang Biru. Guna mengetahui status keberlanjutan dari demensi sosial, maka dalam penelitian ini dipilih enam atribut yang berkaitan dengan kondisi sebagaimana diuraikan di atas. Atribut dimensi sosial tersebut disajikan pada Tabel 30. Tabel 30 Nilai dan skor setiap atribut pada dimensi sosial No Jenis Dimensi Penilaian Skor 1 Keterlibatan nelayan dalam rendah 1 pembuatan kebijakan 2 Tipologi nelayan Small-scale 2 3 Pendidikan formal 53% lulusan SD, 46% SLTP, dan 1% 0 SLTA 4 Pengalaman nelayan Nahkoda 4-5 tahun, awak perahu 2-5 1 tahun 5 Pertumbuhan nelayan Rataan kenaikan pelaku usaha baru 1 sekoci 19.2% per tahun 6 Status konflik Ada 3 jenis konflik: alat tangkap, kelas, usaha; intensitas tinggi 0

162 Dari hasil analisis Rapfish, untuk atribut-atribut pada Tabel 30, diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 39.44, nilai tersebut berada dalam kategori kurang berkelanjutan seperti tersaji pada Gambar 44. Gambar 44 Indeks keberlanjutan dimensi sosial kegiatan perikanan tuna di wilayah ZEEI Selatan Jawa Timur. Hal ini berarti bahwa kegiatan pemanfaatan sumberdaya Madidihang yang ada di perairan ZEEI, apabila di lihat dari dimensi sosial menunjukkan terjadinya tingkat kerentanan yang tinggi terhadap keberlanjutan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan Madidihang yang ada di perairan ZEEI Selatan Jawa Timur. Agar diperoleh nilai indeks keberlanjutan yang lebih baik, maka segera dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap atribut yang memberikan pengaruh negatif terhadap nilai indeks. Berdasarkan hasil analisis Leverage diperoleh empat atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dari dimensi sosial tersebut, yakni: (1) tingkat pendidikan, (2) keterlibatan nelayan dalam membuat kebijakan, (3) tingkat konflik, dan (4) pengalaman, seperti tersaji pada Gambar 45. Rataan pendidikan nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru sebagian besar adalah tamatan Sekolah Dasar (53%), SLTP (46%), dan SLTA (1%). Sehingga dalam penentuan tingkat keberlanjutan pendidikan merupakan faktor yang paling sensitif terhadap penilaian tingkat status dalam keberlanjutan pemanfaatan ikan tuna di rumpon. Pada umumnya responden

163 tersebut menjadi nelayan dikarenakan tidak mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sebagian besar ABK dari sekoci berasal dari suku Bugis yakni Kabupaten Sinjai di Sulawesi Selatan. Pengetahuan tentang penangkapan ikan diperoleh dari tranformasi pengetahuan dari pengalaman ABK seniornya, terutama dari nahkoda kapal. Dengan demikian, pengalaman melaut pada umumnya lebih rendah dari nahkoda kapal, yaitu antara 2-5 tahun. Sama halnya dengan ABK, nahkoda kapal pada umumnya berpendidikan formal rendah, yaitu tamatan dari SD dan SLTP. Gambar 45 Peran masing-masing atribut dimensi sosial yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS). Dalam pemanfaatan ikan tuna oleh nelayan sekoci, diawaki oleh seorang nahkoda dan tiga orang anak buak kapal. Nahkoda berperan dalam penentuan rumpon dan keselamatan melaut dari kapal yang dikemudikan, sedangkan ABK bertugas dalam kegiatan pemancingan. Pengetahuan dalam pemancingan diperoleh secara turun temurun dari pendahulunya. Untuk menjadi nahkoda pada umumnya adalah orang yang telah memiliki pengalaman melaut sekurang-kurangnya 4-5 tahun. Dengan demikian, nahkoda memiliki keterampilan dan pengetahuan yang lebih tinggi dari ABKnya. Dalam sistem perikanan tangkap tuna dengan menggunakan kapal sekoci keberhasilan dari kru dalam hal menangkap ikan, sangat ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman dari nahkoda. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Erfani (2010) melaporkan bahwa pengalaman nahkoda sekoci Sendang

164 Biru berkontribusi sekitar 70.4% terhadap peningkatan efisiensi teknis dalam penangkapan ikan tuna di rumpon. Besarnya peranan nahkoda dalam sistem perikanan tangkap tuna di Sendang Biru menyebabkan tingkat pengetahuan dan pengalaman nahkoda dihargai lebih tinggi dibandingkan nelayan ABK lainnya. Untuk nahkoda yang memiliki pengetahuan dan pengalaman lebih tinggi dikontrak sebesar Rp 10 000 000 hingga Rp 15 000 000. Sedangkan yang berpengalaman sedang memiliki nilai harga kontrak sekitar Rp 5 000 000. Pada kegiatan perikanan tangkap dengan kapal sekoci memiliki sistem yang unik dalam hal pengadaan ABK. Keterbatasan ketersediaan ABK di Sendang Biru, pada saat ini menjadi permasalahan dalam pengembangan perikanan tangkap tuna. Perjanjian kontrak dilakukan antara pemilik kapal dan nahkoda, namun masih dalam bentuk kesepakatan bersama, belum dibuat atas dasar bentuk perjanjian formal. Seringkali kesepakatan yang dibuat gugur karena dilanggar oleh nahkoda. Nahkoda yang berpengalaman seringkali diminati oleh pengusaha lainnya dengan nilai kontrak yang lebih tinggi, sehingga menimbulkan konflik antara pemilik kapal di Sendang Biru. Konflik yang terjadi di Sendang Biru pada masa yang akan datang akan menjadi faktor yang sangat mempengaruhi nilai indeks dari keberlanjutan usaha penangkapan ikan tuna di rumpon. Dari hasil penelitian diperoleh tiga jenis konflik, yaitu: konflik kelas, cara produksi atau alat tangkap dan usaha. Kondisi ini sesungguhnya merupakan fenomena klasik dan ditemui hampir disemua wilayah pesisir di Indonesia (Satria 2006). Konflik kelas terjadi antara kapal kecil, seperti kapal Jukung dan Kunting, dengan kapal sekoci. Nelayan perahu Jukung dan Kunting, yang beroperasi di perairan pantai (4 mil) berpikiran bahwa rendahnya hasil tangkapan disebabkan oleh keberadaan rumpon yang dimiliki oleh nelayan sekoci, sehingga ikan tidak mau kepinggir. Selain itu terjadi konflik antara nelayan sekoci dengan nelayan purse seine yang terjadi di rumpon, nelayan sekoci beranggapan bahwa rendahnya hasil tangkapan di rumpon sebagai akibat penjarahan yang dilakukan oleh nelayan purse seine dari Pekalongan dan Muara Angke. Sedangkan konflik usaha terjadi antara pengambek dengan ABK, serta antara pemilik kapal. Pada konflik usaha, ABK sering kali merasa

165 hasil tangkapan pada saat penimbangan tidak sesuai dengan yang diperkirakan. Sedangkan antara pemilik kapal terjadi karena ada persaingan usaha dan sistem perekrutan nahkoda dan ABK. Keterlibatan nelayan sebagai pelaku utama dalam hal pemanfaatan sumberdaya ikan tuna di perairan ZEEI dalam penentuan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, baik pemerintah kabupaten, provinsi dan pusat rendah sekali. Keterlibatan nelayan tersebut menjadi penting karena keberhasilan untuk memperoleh tingkat keberlanjutan ditentukan oleh nelayan sebagai pelaku utama. Dalam penentuan kebijakan pemerintah masih menerapkan pola lama, yaitu top-down. Pada saat ada sosialisi kebijakan biasanya yang hadir adalah pemilik kapal dan pengurus kelompok nelayan. Hasil dari pertemuan tidak sampai kepada nelayan. Namun hal ini dijadikan sebagai justifikasi bahwa kebijakan tersebut telah dilakukan sosialisasi dan hearing dengan nelayan. Hal ini terbukti dari responden yang di wawancarai, sekitar 95% merasa tidak pernah tahu apa yang dilakukan oleh pemerintah. Selain adanya konflik dan rendahnya keterlibatan nelayan, selanjutnya faktor pertumbuhan nelayan sekoci menjadi faktor yang memberikan sensitifitas yang tinggi dalam mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan. Pada saat ini pertumbuhan nelayan sekoci sebesar 19.2% per tahun. Hal ini berarti telah terjadi peningkatan ekstraksi sumberdaya perikanan yang tinggi. Apabila kondisi tersebut dibiarkan maka tidak menutup kemungkinan tingkat keberlanjutan dari pemanfaatan ikan tuna, khususnya Madidihang akan semakin menurun. Berdasarkan fenomena tersebut, agar pemanfaatan sumberdaya ikan tuna di rumpon dapat berkelanjutan, maka harus segera ada perbaikan dan solusi dari permasalahan tersebut. Peningkatan terhadap pengetahuan nelayan perlu dilakukan, terutama pengetahuan tentang keselamatan melaut, pengetahuan tentang pengelolaan ikan pasca tangkap dan keterampilan dalam hal penangkapan. Sedangkan untuk mengatasi permasalahan konflik, perlu segera dilakukan resolusi dari penyelesaian konflik tersebut. Pemerintah harus berperan aktif untuk melindungi keberadaan rumpon yang dimiliki oleh nelayan sekoci yang merupakan nelayan tradisional.

166 Pengalaman pemerintah Comoros (Cayré 1991) yang melakukan perrlindungan terhadap rumpon yang dimiliki oleh nelayan kecil perlu dicontoh. Pada masa yang akan datang keterlibatan nelayan dalam membuat kebijakan perlu ditingkatkan dengan stakeholders lainnya. Peraturan mengenai penggunaan rumpon laut dalam oleh nelayan tradisional dan perlindungannya belum dilakukan sampai saat ini. Pengaturan kapasitas tangkap yang dilakukan oleh nelayan andon di Sendang Biru, harus segera dibuat dan diberlakukan, sehingga peningkatan kapasitas tangkapan bisa terkontrol. Apabila atribut-atribut yang memberikan sensitif besar yang mempengaruhi indeks keberlanjutan dimensi sosial tersebut dapat ditekan, maka pada masa yang akan datang keberlanjutan pemanfaatan Madidihang akan semakin meningkat. Sebaliknya apabila dibiarkan, maka keberlanjutan dari pemanfaatan tersebut, akan terancam dengan serius. Sehingga keberlanjutan dari pemanfaatan sumberdaya Madidihang yang dilakukan oleh nelayan sekoci di perairan ZEEI selatan Jawa Timur, pada masa yang akan datang akan semakin menurun. 4.7.5 Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan Penentuan atribut-atibut pada dimensi kelembagaan didasarkan kepada lembaga yang memiliki pengaruh dan keterkaitan langsung maupun tidak langsung terhadap keberlanjutan kegiatan pemanfaatan Madidihang di Sendang Biru. Lembaga yang dipilih sebagai atribut terdiri dari lembaga formal dan non-formal. Lembaga formal yang dipilih dan diduga memberikan pengaruh terhadap keberlanjutan dari dimensi kelembagaan adalah: 1) Pemerintah: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Malang, Dinas Perikanan dan Kelautan Pemvrop Jatim dan Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, 2) Polairud/TNI AL, 3) PPP Pondokdadap, 4) KUD Mina Jaya dan LEPPM3. Sedangkan yang berasal dari lembaga non-formal adalah: 1) Pengambek dan 2) Perusahaan inti. Sedangkan atribut illegal fishing adalah atribut yang berkaitan dengan etika dalam sistem patrun-clien, yaitu terjadinya transshipment. Pemerintah dalam hal ini, adalah Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Malang, Dinas Perikanan dan Kelautan Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Peranan

167 dari pemerintah, berkaitan langsung terhadap pembuatan aturan dan pengawasan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan tuna sebagai ikan pelagis yang berada dalam yuridiksi perairan ZEEI, dimana pengelolaannya berkaitan dengan lembaga internasional yaitu IOTC. Peranan lain dari pemerintah ini adalah penyediaan sarana dan prasarana pelabuhan sebagai pusat pendaratan ikan, infrastruktur jalan, listrik dan air. Selain itu pemerintah memiliki peranan penting dalam melakukan resolusi konflik yang terjadi, penyediaan modal dan bantuan seperti subsidi. Peranan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya ikan tuna di perairan ZEEI terutama dalam pengaturan alat tangkap dan area penangkapan, serta melakukan pengendalian dan monitoring terhadap aktivitas yang di lakukan oleh nelayan. Berdasarkan peranan yang penting tersebut, maka dalam penentuan atribut diberi skala 2. Namun dari penilaian terhadap peranan pemerintah tersebut masih belum optimal, terutama dalam penyediaan infrastruktur yang yang menunjang kegiatan perikanan tuna, seperti fasilitas dan kapasitas pelabuhan, air dan listrik, dan bantuan modal masih rendah. Pelabuhan perikanan dalam upaya pembangunan tidak dirancang untuk pendaratan ikan tuna, yang membutuhkan penanganan khusus dan cepat. Air yang dibutuhkan untuk mencuci ikan, perbekalan dan pembuatan es (pabrik es) masih kurang, es masih didatangkan dari Kota Malang, Blitar dan Tulungagung, padahal es merupakan bahan baku yang vital dalam perikanan tuna. Akibatnya harga es menjadi tinggi, dan menambah beban biaya operasional. Permodalan yang disediakan oleh pemerintah yang disalurkan melalui Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPM3) tidak mencukupi kebutuhan permodalan nelayan Sendang Biru. Atas dasar pertimbangan tersebut maka dalam penentuan skor memperoleh angka 1 (satu). Kondisi ini menggambarkan bahwa pemerintah belum peduli terhadap nelayan kecil yang mengekstrasi sumberdaya perikanan Madidihang yang ada di perairan ZEEI Samudera Hindia. PPP Pondokdadap merupakan pusat pendaratan utama dari nelayan sekoci. PPP Pondokdadap dikelola oleh Badan Pengelola PPP Pondokdadap Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur. Badan ini memiliki tugas

168 pokok dan fungsi, diantaranya pengaturan dan penyediaan sarana dan prasarana yang ada di Pelabuhan Pondokdadap. Sedangkan pengelolaan Pondokdadap dalam hal pelelangan dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Malang yang wewenangnya selanjutnya diberikan kepada KUD Mina Jaya. PPP Pondokdadap pada mulanya merupakan pelabuhan dengan klasifikasi PPI. Namun karena jumlah kapal bertambat labuh semakin meningkat dan produksi ikan semakin tinggi maka dinaikkan kelasnya menjadi pelabuhan perikanan pantai (PPP). Kenaikan kelas ini tidak diikuti dengan penambahan sarana dan prasarana yang sesuai dengan persyaratan PPP sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 10 tahun 2004 tentang Pelabuhan Perikanan, namun sebatas persaingan untuk pengelolaan dari pelabuhan tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan kurangnya partisipasi dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten dalam perencanaan pembangunan pelabuhan. Dari wawancara diperoleh hasil, bahwa pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Malang merasa tidak dilibatkan dalam perencanaan tersebut. Padahal apabila direncanakan dengan baik, niscaya PPP Pondokdadap akan menjadi pelabuhan perikanan tuna rakyat terbesar di Selatan Jawa. Berdasarkan Kepmen Kep.10/Men/2004 tersebut peranan pelabuhan perikanan mempunyai peranan penting dalam menunjang peningkatan produksi, memperlancar arus lalu lintas perikanan, mendorong pertumbuhan perekonomian masyarakat perikanan serta mempercepat pelayanan terhadap seluruh kegiatan yang bergerak dalam bidang usaha perikanan. Adapun yang dimaksud dengan pelabuhan perikanan pantai dalam pasal 1:6 Kep.10/Men/2004 adalah pelabuhan perikanan kelas C, yang skala layanannya sekurang-kurangnya mencakup kegiatan usaha perikanan di wilayah perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial dan ZEEI. Selanjutnya dalam pasal 10:4 disebutkan bahwa kriteria teknisnya, diantaranya:1) memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan sekurang-kurangnya 10 GT dengan panjang dermaga 100 m dan mampu menampung sekaligus 30 kapal. Sedangkan fasilitas yang harus tersedia (pasal 15:3) diantaranya:1) tempat pelelangan ikan, 2) fasilitas navigasi, 3) fasilitas suplai air bersih, es, listrik dan

169 menara pengawas, 4) fasilitas pemeliharaan kapal seperti dock/slipway, serta (5) fasilitas penanganan dan pengolahan hasil perikanan seperti transit sheed dan laboratorium pembinaan mutu. Berdasarkan peranan tersebut maka PPP Pondokdadap diberi skala 2. Kondisi PPP Pondokdadap pada tahun 2010 masih memprihatinkan, panjang dermaga kurang, hanya sekitar 25 meter dengan menggunakan ponton. Padahal jumlah kapal yang bertambat labuh setiap harinya adalah: kapal sekoci (10 GT) 346 unit atau per hari 60-70 unit, Payang (15 GT) 32 unit per hari, sampan pakisan (5 GT) 12 unit per hari, sehingga dermaga tersebut harus menampung sekaligus sekitar 1140 GT per hari. Dengan demikian, maka dermaga yang ada telah melebihi daya tampungnya. Akibatnya terjadi antrian panjang dan lama, sehingga menimbulkan kerusakan ikan hasil tangkapan. Produksi ikan yang didaratkan rata-rata per hari adalah 12 650.12 kg. Dari jumlah produksi ikan tersebut sekitar 46% adalah Madidihang (PPP Pondokdadap, 2010). Kondisi ini diperparah dengan rusaknya ponton dan kotornya TPI, karena fasilitas prasyarat utama, air, tidak tersedia. Berdasarkan kondisi tersebut maka saat ini PPP Pondokdadap tidak memadai, rusak dan kotor, sehingga dalam penskoran diberi nilai nol (0). Atribut lain yang memiliki nilai sensitif tinggi selain PPP Pondokdadap adalah atribut KUD Mina Jaya. KUD Mina Jaya sesungguhnya bukan koperasi perikanan, namun merupakan koperasi serba usaha yang beranggotakan penduduk desa dan berlokasi di daerah pedesaan, dengan wilayah kerjanya mencangkup wilayah kecamatan Sumbermanjing Wetan. Pada mulanya KUD ini merupakan penyatuan dari beberapa koperasi pertanian yang kecil dan banyak jumlahnya dipedesaan yang secara resmi didorong perkembangannya oleh pemerintah. Sehingga pembinaannya dilakukan oleh dinas koperasi Kabupaten Malang. Namun demikian, karena koperasi nelayan belum ada maka KUD Mina Jaya menjadi tumpuan dan harapan nelayan. KUD Mina Jaya di Sendang Biru berperan dalam hal:1) penyelenggaraan dan pelaksanaan lelang, 2) Menyediakan solar, es dan kebutuhan melaut, 3) menentukan peserta lelang, 4) memungut restribusi di TPI, dan 5) memberikan sanksi kepada peserta lelang apabila melakukan kecurangan. Selain memiliki fungsi tersebut,

170 sebagai koperasi serba usaha, juga berperan sebagai koperasi simpan pinjam. Namun, khusus untuk fungsi simpan pinjam, belum berjalan dengan baik. Dengan demikian, pada akhirnya fungsi utama dari koperasi tersebut berperan dalam pelelangan dan penyedia BBM dan sembako. Fungsi lain sebagai penyangga ekonomi nelayan belum dilakukan. Lembaga keuangan lain yang ada di Sendang Biru, adalah LEPM3. Lembaga ini berperan dalam penyediaan permodalan usaha, namun sampai saat ini tidak memiliki peranan penting dalam kegiatan perikanan tuna, karena LEPM3 merupakan lembaga yang membiayai usaha mikro, sedangkan usaha kapal sekoci merupakan usaha padat modal. Konsekuensi logis dari kondisi tersebut, maka KUD Mina Jaya tidak memberikan peranan dan pelayanan yang baik terhadap kegiatan perikanan tangkap Madidihang. Hal ini terjadi karena sebagian besar sumberdaya manusianya bukan berasal dari nelayan. Kepentingan nelayan menjadi dikesampingkan, sementara kepentingan usaha menjadi prioritas. Berdasarkan peranan tersebut, maka peranan KUD Mina Jaya dan LEPM3 diberi skor dengan nilai 1. Oleh karena fungsi KUD Mina Jaya dan LEPM3 tidak berperan dengan baik, maka permasalahan permodalan dan kebutuhan biaya melaut dari nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru pada saat ini bersandar kepada pengambek. Pengambek dalam sistem perikanan tuna di Sendang Biru sangat memegang peranan penting, karena keberlangsungan dari kegiatan kapal sekoci tergantung kepada pengambek. Adapun yang dimaksud pengambek tersebut adalah orang atau seseorang yang melakukan pekerjaan jasa permodalan dengan cara membiayai seluruh kegiatan opersional dari kapal yang dikoordinasinya, termasuk biaya kebutuhan dari ABK atau pemilik kapal dalam kegiatan penangkapan. Selain berfungsi mengkoordinasi dan membiyai kapal sekoci, tugas pengambek adalah:1) menyediakan kebutuhan melaut: BBM, es, dan sembako, 2) menjualkan ikan hasil tangkapan di pelelangan, 3) menyediakan biaya pembuatan rumpon, 4) menyediakan tempat tinggal untuk ABK andon. Mekanisme ini disepakati bersama antara pemilik kapal dengan pengambek. Jasa dari kegiatan tersebut, pengambek memperoleh bagian dari hasil penangkapan sebesar 5% (Lampiran 8). Atas dasar

171 pertimbangan tersebut, maka keberadaan pengambek dianggap positif oleh nelayan, sehingga dalam pemberian skor diberi nilai 2. Timbal balik dari pelayanan jasa tersebut, maka nelayan tidak diperbolehkan melakukan penjualan di tempat lain atau melakukan transshipment di area tangkap. Sampai saat ini kejadian transhipment tidak dilakukan oleh nelayan, sehingga dalam penilaian di beri sekor 2. Perbuatan transhipment tersebut merupakan salah satu perbuatan illegal fishing. Kesepakatan yang dibuat antara pengambek dengan nelayan atau pemilik kapal yang dikoordinirnya, untuk kapal yang berasal dari luar Sendang Biru, diwajibkan untuk menjadi anggota kelompok nelayan Rukun Jaya, sehingga keanggotaan kelompok nelayan Rukun Jaya, merupakan kelompok usaha bersama dalam kegiatan perikanan tangkap tuna di Sendang Biru. Peranan kelompok nelayan ini tinggi dalam hal menyelesaikan konflik atau menyampaikan kebijakan yang berkaitan dengan kegiatan perikanan tangkap. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka Kelompok Nelayan Sendang Biru di beri nilai dengan skor 2. Namun peranan dari kelompok nelayan tersebut sampai saat ini masih rendah, terutama dalam penyelesaian konflik diantara pelaku usaha, ataupun konflik alat tangkap dan area tangkap. Dengan demikian, kelompok nelayan tersebut berdasarkan peranannya di beri skor 1. Belum berfungsinya lembaga-lembaga formal dan informal yang berkaitan dengan kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan Madidihang di perairan ZEEI Samudera Hindia membuat nelayan sekoci berada dalam posisi lemah. Nelayan sekoci pada saat ini dijadikan tumpuan oleh berbagai pihak sebagai sumber kehidupan, atau dengan kata lain menjadi sumber ekploitasi pihak yang lebih kuat dalam pengendalian sembako dan pemasaran hasil. Pada saat ini nelayan sekoci merasa berjuang sendirian untuk mengektrasi sumberdaya perikanan Madidihang yang memiliki nilai ekonomi penting sebagai penghasil devisa negara. Agar dalam pengelolaan akan datang berkelanjutan maka diperlukan perusahaan swasta nasional yang dapat dijadikan partner untuk berusaha dengan nelayan sekoci. Berdasarkan permasalahan tersebut maka dalam dimensi kelembagaan diusulkan adanya perusahaan inti dalam atribut. Perusahaan inti tersebut

172 diharapkan dapat mengatasi peramasalahan pasar, kualitas ikan dan penyediaan modal yang tidak bisa dilakukan oleh pemerintah dan lembaga informal lainnya yang mendukung kegiatan perikanan tangkap Madidihang yang berorientasi ekspor. Menurut (Charles 2001) keberhasilan kegiatan penangkapan ikan tuna tergantung kepada pasar, semakin besar diminati pasar, maka harga semakin tinggi, sebaliknya apabila pasar tidak menghendaki maka harga akan rendah. Ikan tuna yang di hasilkan olen nelayan sekoci sebagian besar (>70%) berorientasi ekspor. Tuna tersebut di pasarkan ke perusahan pengolahan ikan seperti Aneka Tuna Indonesia Pasuruan, PT Avila dan PT Maya di Banyuwangi, PT Bali Raya dan PT Lautan Samudera di Benoa, PT Kelola Mina Laut di Gresik dan perusahaan lainnya. Perusahaan tersebut membeli ikan dari pedagang di Sendang Biru yang sekaligus sebagai agen. Patokan harga ikan di Sendang Biru, sangat ditentukan oleh patokan harga dari perusahaan-perusahaan tersebut. Kualitas Madidihang yang dihasilkan oleh nelayan Sendang Biru pada umumnya bermutu rendah, sebagian besar untuk pengalengan, sisanya untuk loin dan steak. Nelayan menginginkan adanya kemitraan langsung seperti yang dilakukan oleh PT Kelola Mina Laut, sebagai perusahaan inti dengan nelayan Lombok sebagai plasma. Perusahan inti menentukan standar mutu hasil tangkapan, dengan patokan harga yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga lelang. Apabila terjadi kemitraan antara perusahaan besar seperti PT Kelola Mina Laut dengan nelayan Sendang Biru, maka kegiatan penangkapan Madidihang di perairan ZEEI akan memiliki keberlanjutan secara ekologi, karena perusahaan inti menentukan standar ikan yang berukuran besar yang boleh ditangkap, seperti yang dilakukan oleh nelayan Lombok. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka keberadaan perusahaan yang bermitra dengan nelayan sebagai plasma di beri nilai 2. Oleh karena bentuk kemitraan tersebut belum ada, maka dalam penilaian diberi skor nol (0). Atribut-tribut dimensi kelembagaan tersebut disajikan dalam Tabel 31.

173 Tabel 31 Nilai dan skor pada dimensi kelembagaan No Jenis Dimensi Penilaian Skor 1 Pengambek Penyedia modal biaya operasional 2 2 Pemerintah Dinas Kelautan dan Perikanan 1 3 Polairud/TNI Pengawasan, kurang sarana prasarana 1 dan pengamanan 4 PPP Pondokdadap Tidak memadai dan kotor 0 5 Perusahaan inti Pembeli ikan 0 6 KUD dan LEPPM3 Pelelangan ikan, pennyesia es dan 1 SPDN 7 Kelompok Nelayan Kelompok Nelayan Rukun Jaya anggota 303 sekoci 1 1 8 Illegal fishing Transshipment tidak ada 2 Dari hasil analisis Rapfish, menunjukkan bahwa atribut-atribut tersebut memberikan sensitifitas yang tinggi terhadap indeks keberlanjutan, yaitu sebesar 39.57. Nilai ini berada dalam kategori kurang berkelanjutan, seperti yang tersaji pada Gambar 46. Gambar 46 Indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan kegiatan perikanan tuna di wilayah ZEEI Selatan Jawa Timur Hal ini berarti bahwa kelembagaan formal dan nonformal tersebut tidak mendukung kegiatan pemanfaatan sumberdaya Madidihang yang ada di perairan ZEEI. Apabila kondisi tersebut tidak segera diperbaiki maka pada masa yang akan datang akan terjadi tingkat kerentanan yang tinggi terhadap keberlanjutan pemanfaatan ikan tuna yang ada di perairan ZEEI Selatan Jawa Timur. Agar diperoleh nilai indeks keberlanjutan yang lebih baik, maka segera

174 dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap atribut yang memberikan pengaruh negatif terhadap nilai indeks. Berdasarkan hasil analisis Leverage dari delapan atribut tersebut, diperoleh dua atribut yang sangat sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dari dimensi sosial, yaitu: (1) kondisi PPP Pondokdadap dan (2) keberadaan perusahaan inti, seperti tersaji pada Gambar 47. Gambar 47 Indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS). Sebagaimana diuraikan di atas bahwa PPP Pondokdadap memiliki peranan penting dalam perikanan tangkap Madidihang di Sendang Biru. Secara umum untuk nelayan berskala kecil pelabuhan perikanan menjadi penentu dari keberhasilan usaha tangkapnya, karena pelabuhan perikanan selain sebagai tempat berlabuh juga tempat bertemunya antara penjual ikan dan pembeli terutama saat pelelangan. Perbaikan-perbaikan yang harus dilakukan oleh pengelola pelabuhan: 1) perbaikan fasilitas pokok, seperti dermaga yang rusak, 2) perbaikan fasilitas fungsinonal, seperti fasilitas pemasaran hasil, terutama tempat pelelangan ikan baik struktur lantainya maupun sanitasinya, 3) menyediakan fasilitas air, 4) menyediakan fasilitas penanganan lanjut dari hasil pengolahan seperti transit sheed, 5) menyediakan petugas pemeriksa (care master), khususnya untuk menentukan kualitas ikan tuna besar dan laboratorium pengendalian mutu. Sehingga harga tuna besar yang bermutu

175 tinggi dapat dibedakan dengan harga ikan tuna yang bermutu sedang dan rendah. Seringkali nelayan merasa dibohongi bahwa hasil tangkapannya dikategorikan rendah, sehingga bernilai jual rendah pula. Padahal menurut nelayan hasil tangkapannya baik. Dengan adanya petugas yang menntukan standar mutu, maka dalam pelelangan akan menjadi fair. Sedangkan untuk kemitraan dengan perusahaan inti dapat dilakukan dengan melakukan penjajakan pada PT Kelola Mina Laut. Pada saat ini perusahaan tersebut memiliki program kemitraan inti-plasma yang saling menguntungkan antara pihak inti dan plasma. Program ini dilaksanakan dalam kerangka pengelolaan perikanan yang berkelanjutan melalui penerapan catch certificate. Keberadaan pengambek di Sendang Biru perlu dipertahankan. Peningkatan peran perlu dilakukan terutama dalam penyaluran bantuan atau pemberdayaan terhadap nelayan. Akan lebih efektif apabila melalui pengambek, termasuk dalam hal kemitraan dengan perusahaan inti. Keberadaan pengambek ini sangat krusial, karena sesungguhnya menggantikan peran dari lembaga keuangan lainnya, seperti KUD dan LEPM3. Namun demikian, agar keberadaan KUD Mina Jaya dapat menunjang tingkat keberlanjutan kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan tuna di Sendang Biru, maka KUD harus dikelola secara profesional, efektif, dan efisien untuk mewujudkan pelayanan usaha yang dapat meningkatkan nilai tambah dan manfaat sebesar-besarnya bagi anggotanya, sehingga mampu bersaing dengan badan usaha yang lainnya. Pengelolaan yang dimaksud adalah seluruh komponen yang ada dalam perusahaan seperti pemasaran, produksi, keuangan, personil, pembelian, sistem informasi manajemen dan organisasi. 4.7.6 Status Keberlanjutan Multidimensi Keberlanjutan kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan tuna di perairan ZEEI selatan Jawa oleh nelayan sekoci dari dimensi ekologi, ekonomi dan teknologi memiliki status cukup berkelanjutan, dengan masing-masing indeks 78.78%, 72.60%, dan 72.56%. Artinya bahwa teknologi yang digunakan untuk mengekstraksi sumberdaya ikan tuna di rumpon, secara umum tidak mengganggu kelimpahan sumberdaya Madidihang yang ada di perairan ZEEI

176 Samudera Hindia. Selain itu, bahwa penggunaan rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan dikhawatirkan akan merusak atau berdampak negatif terhadap kelimpahan Madidihang menjadi terabaikan. Nelayan tradisional seperti nelayan kapal sekoci, justru rumpon tersebut baik untuk digunakan, dengan syarat teknologi yang digunakan terus dipertahankan atau ditingkatkan ke arah yang lebih efisien dan efektif, sehingga keberlanjutan dimensi ekonomi terus dipertahankan bahkan ditingkatkan. Namun demikian, tingginya nilai manfaat dari ekstraksi sumberdaya ikan tersebut, berdasarkan dimensi sosial dan kelembagaannya masih kurang berkelanjutan. Adapun nilai indeks yang dihasilkan adalah 49.44 dan 49.57. Apabila atribut-atribut yang memberikan sensitifitas tinggi dan berpengaruh negatif terhadap masing-masing dimensi sosial dan kelembagaan tersebut diperbaiki, yang baik dipertahankan atau ditingkatkan, maka kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan tuna tersebut akan semakin berkelanjutan. Perbaikan terhadap atribut yang memberikan nilai sensitif tinggi dan berpengaruh negatif terhadap keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya ikan tuna dimensi lainnya harus dilakukan dan tingkatkan, sehingga statusnya berubah dari cukup berkelanjutan menjadi berkelanjutan. Nilai indeks dari ke lima dimensi yang dijadikan indikator untuk menilai status keberlanjutan dari kegiatan pemanfaatan sumberdaya Madidihang yang dilakukan oleh nelayan sekoci disajikan pada Gambar 48. Gambar 48 Diagram layang-layang nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi.