V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Optimasi Polifosfat 1. Pengaruh Terhadap Rendemen Rendemen dihitung berdasarkan kenaikkan berat udang setelah perendaman dibandingkan dengan berat udang sebelum perendaman yang dipengaruhi oleh masuknya zat (baik pelarut maupun zat terlarut) ke dalam sel udang. Proses keluar masuknya zat ke dalam sel udang salah satunya dipengaruhi oleh konsentrasi zat terlarut yang pada penelitian ini adalah polifosfat dan garam. Unal et al. (2004) menjelaskan selama proses perendaman terjadi dua mekanisme difusi yang terjadi secara bersamaan : pada sampel daging secara alami mengandung jumlah orthophosfat yang sangat tinggi sehingga menyebabkan orthophosfat berdifusi ke dalam larutan polifosfat, sementara berlangsung juga difusi polifosfat ke dalam sampel daging. Sebagai tambahan, polifosfat berdifusi ke dalam sampel daging membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan difusi orthophosfat keluar dari sampel daging dampai pembentukan kompleks air-protein-polifosfat (Tenhet et al. 1981a,b) pada permukaan daging sempurna. Berdasarkan hasil penelitian sebanyak 3 kali pengulangan menunjukkan bahwa pengaruh perbedaan konsentrasi polifosfat memberikan hasil rendemen yang berbeda pula. Hal ini bisa dilihat pada Lampiran 2a (ANOVA) dan 2b (Uji Lanjut Duncan). Berdasarkan hasil ANOVA (Analysis of Variance) menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan dengan nilai rendemen yang diperoleh. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Sig. (significant level) < 0,05 (nilai α pada selang kepercayaan 95%). Perbedan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Pengaruh Penggunaan Polifosfat Terhadap Rendemen. Konsentrasi Rendemen (%) Polifosfat 0% 106,58 a 2% 114 b 3% 114,52 b 4% 115,89 c Pada perlakuan polifosfat 0% memberikan hasil rendemen terkecil (106,58%), dan perlakuan 4% memberikan hasil rendemen terbesar (115,89%). Perlakuan 2% dan 3% menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (114% dan 114,52%). Perlakuan 0% memberikan nilai rendemen yang paling rendah disebabkan karena perlakuan perendaman hanya menggunakan garam saja, sementara perlakuan 4% memberikan nilai rendemen yang paling besar karena perlakuan perendaman menggunakan campuran garam dan polifosfat yang tertinggi yaitu sebesar 4%. Menurut Jantranit dan Thipayarat (2009), perendaman udang putih (Panaeus vannamei) menggunakan 3% STPP dengan lama perendaman selama 60 menit memberikan nilai rendemen sebesar 107,33% sementara dengan 5% STPP dengan lama perendaman 60 menit juga memberikan nilai rendemen sebesar 108,08%. Hasil rendemen pada penelitian ini lebih besar dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Jantranit dan Thipayarat, 22
hal ini dikarenakan waktu perendaman yang dilakukan lebih lama yaitu 3 jam. Jadi, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi konsentrasi polifosfat semakin tinggi pula nilai rendemen yang diperoleh. Phosfat akan memiliki sifat sinergis dengan garam dalam meningkatkan WHC. Garam dapat meningkatkan kekuatan ionik yang menyebabkan gaya tolak menolak pada protein otot yang kemudian akan memperbanyak masuknya larutan ke dalam daging sehingga WHC meningkat. Sementara phosfat dapat meningkatkan WHC dengan cara memecah atau memisahkan kompleks aktomiosin menjadi aktin dan myosin sehingga myosin akan lebih mudah larut dan sifat fungsionalnya lebih baik daripada aktomiosin hal ini dapat meningkatkan kekuatan ionik dan daya ikat air (WHC) sehingga akan meningkatkan rendemen setelah proses perendaman. 2. Pengaruh Terhadap Kadar Phosfat Daging Udang Setelah Perendaman Selama proses perendaman terjadi mekanisme difusi yang menyebabkan masuknya larutan polifosfat kedalam daging udang. Pengukuran phosfat (P 2 O 5 ) dilakukan sebanyak 3 kali ulangan triplo, masing-masing ulangan menggunakan kurva standar yang baru (Lampiran 14a, 14b, 14c). Berdasarkan hasil analisis ANOVA dan Uji Lanjut Duncan (Lampiran 3d dan 3e), menunjukkan kandungan phosfat dari ke-4 perlakuan berbeda nyata, hal ini ditunjukkan oleh nilai Sig. < 0,05 (nilai α pada selang kepercayaan 95%). Untuk hasil Uji Lanjut Duncan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Pengaruh Polifosfat Terhadap Kadar Phosfat Udang Setelah Perendaman Konsentrasi Polifosfat Kadar Phosfat (%) 0% 0,18 a 2% 0,29 b 3% 0,33 b 4% 0,49 c Pada Tabel 3 dapat dilihat perlakuan 0% memiliki kadar phosfat paling rendah (0,18%) sedangkan perlakuan 2% dan 3% tidak berbeda nyata (0,29% dan 0,33%) dan perlakuan 4% memiliki kadar phosfat paling tinggi (0,49%). Berdasarkan penelitian yang dilakukan, telah terjadi peningkatan kadar phosfat dari udang raw material (0,25%) terhadap perlakuan 2%, 3% dan 4%. Pada perlakuan 0% terjadi penurunan kadar phosfat, hal ini disebabkan kandungan garam NaCl yang tinggi pada larutan perendaman udang tanpa adanya polifosfat yang memengaruhi proses difusi. Seperti yang telah dijelaskan oleh Unal et al. (2004) secara alami terdapat orthophosfat di dalam daging yang berdifusi ke dalam larutan perendaman, sementara itu terjadi juga difusi larutan perendaman (dalam hal ini hanya NaCl saja) ke dalam sampel daging, sehingga konsentrasi phosfat pada sampel udang dengan perlakuan 0% polifosfat mengalami penurunan. 3. Pengaruh Terhadap Nilai WHC/water holding capacity Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penggunaan polifosfat pada industri udang memiliki tujuan untuk meningkatkan rendemen produk dengan cara meningkatkan nilai WHC pada udang. Mekanisme polifosfat dalam meningkatkan 23
WHC adalah dengan meningkatkan ph, sehingga akan meningkatkan muatan negatif yang akan menimbulkan gaya tolak menolak pada protein udang. Gaya tolakmenolak inilah yang menyebabkan air/larutan bisa masuk banyak kedalam protein daging sehingga meningkatkan WHC. Selain itu, mekanisme yang lainnya adalah dengan memecah kompleks aktomiosin, sehingga dapat memperlebar ruang antar filamen dan air/larutan dapat masuk kedalam daging udang. Offer dan Knight (1988) mendiskusikan efek dari garam dan phosfat pada myofibril dan WHC didalam daging. Mereka menjelaskan ada tiga cara phosfat mempengaruhi WHC. Pertama, phosfat merupakan buffer yang baik, yang dapat membantu terjadinya depolimerisasi dari filamen tebal dan meningkatkan penyerapan air. Kedua, dengan adanya Mg 2+, pyophosfat dan triphosfat mengikat molekul myosin. Pyrophosfat berperan sebagai analog ATP dan berikatan dengan kepala myosin, ini bisa mendorong terjadinya disosiasi aktomiosin. Ketiga, polifosfat dapat mengikat ekor myosin dan mendorong disosiasi dari filamen myosin. Berdasarkan hasil analisis ANOVA dan Uji Lanjut Duncan (Lampiran 4b dan 4c), hasil ANOVA menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan dengan nilai WHC yang diperoleh. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Sig. (significant level) < 0,05 (nilai α pada selang kepercayaan 95%). Perbedaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Pengaruh Polifosfat Terhadap Nilai WHC Perlakuan Nilai WHC (%) 0% 72,57 a 2% 77,07 b 3% 78,01 bc 4% 78,75 c Pada Tabel 4 dapat dilihat perlakuan 2% dan 3% tidak berbeda nyata (77,07% dan 78,01%), begitu pula dengan perlakuan 3% dan 4% (78,01% dan 78,75%). Namun jika dilihat secara nilai matematis, perlakuan 4% memiliki nilai WHC yang paling tinggi. Semakin banyak konsentrasi polifosfat yang digunakan maka semakin tinggi pula muatan negative yang menyebabkan semakin besar pula gaya tolak menolak pada protein otot udang sehingga nilai WHC yang diperoleh pun semakin tinggi. Berikut dapat dilihat ph daging udang setelah proses perendaman pada Gambar 8. 0 Gambar 8. Nilai ph pada setiap Perlakuan Menurut Abduh (2001), udang windu (Paneus monodon) yang direndam menggunakan 4% sodium tripolifosfat selama 60 menit memiliki nilai WHC yang berbeda jika dibandingkan dengan perendaman udang tanpa sodium tripolifosfat. 24
Perendaman udang tanpa menggunakan sodium tripolifosfat memiliki nilai WHC sebesar 29,31 mg H 2 O, sementara perendaman udang menggunakan 4% sodium tripolifosfat memiliki nilai WHC sebesar 61,34 mg H 2 O. Hal ini membuktikan bahwa polifosfat memiliki kemampuan dalam meningkatkan nilai WHC. Hasil WHC pada penelitian ini lebih besar dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Abduh, hal ini dikarenakan waktu perendaman yang dilakukan pada penelitian lebih lama yaitu 3 jam. Peningkatan nilai WHC juga dimungkinkan dipengaruhi oleh ph. Fenomena ini dapat dijelaskan bahwa polifosfat memiliki nilai ph tinggi dan bersifat basa sehingga udang yang direndam menggunakan larutan polifosfat gugus karboksil asam aminonya akan terdisosiasi. Hal tersebut dapat meningkatkan muatan dan mengembangkan molekul protein yang disebabkan oleh melonggarnya jaringan protein sehingga terjadi peningkatan kapasitas menahan air karena terikatnya molekul H 2 O pada gugus karboksil dan amino bebas protein (Winarno, 1984). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, mekanisme polifosfat dalam meningkatkan WHC adalah dengan meningkatkan ph. Pada perlakuan 4% dapat dilihat pada grafik tersebut memiliki nilai ph yang paling besar yaitu 7,45 (Lampiran 5). Hal ini juga yang memberikan alasan bahwa perlakuan 4% memiliki nilai WHC yang paling tinggi. WHC menurun sampai pada ph titik isoelektrik protein-protein daging antara 5,4 5,5. Pada ph isoelektrik ini protein daging tidak bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan solubilitasnya minimal. Pada ph yang lebih tinggi dari isoelektriknya protein daging, sejumlah muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus muatan negatif yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul air. Demikian pula pada ph lebih rendah dari titik isoelektrik protein-protein daging, terdapat ekses muatan positif yang mengakibatkan penolakan miofilamen dan member lebih banyak ruang untuk molekul-molekul air (Bouton et al., 1971). Jadi pada ph lebih tinggi atau lebih rendah dari titik isoelektrik protein-protein daging, WHC meningkat. Hanya sangat jarang ph jatuh dibawah 5,0, karena enzim yang mempengaruhi glikolisis pascamati cenderung dinonaktifkan pada saat ph turun sampai 5,4 5,5 yaitu titik isoelektrik protein otot daging. Oleh karena itu ph daging udang harus dipertahankan diatas ph isoelektrik protein daging untuk mempertahankan nilai WHC. 4. Korelasi Antara Kadar Phosfat dan ph Udang dengan Nilai WHC Nilai WHC dipengaruhi oleh kadar phosfat yang ada pada daging udang. Hal ini karena pengaruh phosfat terhadap peningkatan ph dan peningkatan kekuatan ionik pada protein otot udang. Berdasarkan analisis statistic menggunakan Correlation didapatkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara WHC dengan kadar phosfat (Nilai Sig. < 0,05). Dari nilai pearson correlation menunjukkan nilai positif sebesar 0,553 ( Lampiran 6). Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara WHC dan kadar phosfat berbanding lurus. Semakin tinggi phosfat maka semakin tinggi nilai WHC yang diperoleh. Phosfat dapat meningkatkan WHC dengan cara memecah atau memisahkan kompleks aktomiosin menjadi aktin dan myosin sehingga, myosin akan lebih mudah larut. Hal ini dapat meningkatkan kekuatan ionik dan daya ikat air (WHC) sehingga akan meningkatkan rendemen setelah proses perendaman (Stone, 1981). Korelasi antara kadar phosfat dengan WHC dapat dilihat 25
pada Gambar 9. Pada Gambar 9 dapat diketahui pula persamaan korelasinya yaitu y = 18,79x + 70,54 dengan nilai R = 75,7% yang menandakan bahwa korelasi kadar phosfat dengan WHC tidak terlalu berbanding lurus. Gambar 9. Korelasi antara kadar phosfat dengan WHC Selain dipengaruhi oleh kadar phosfat, nilai WHC juga dipengaruhi oleh ph. Berdasarkan analisis statistic menggunakan Correlation didapatkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara nilai WHC dengan ph (Nilai Sig < 0,05). Nilai pearson correlation juga menunjukkan nilai positif sebesar 0,956 (Lampiran 7) yang berarti hubungan antara nilai WHC dengan ph berbanding lurus. Semakin tinggi ph daging udang maka semakin tinggi pula nilai WHC yang diperoleh. Hal ini sesuai dengan teori menurut Bouton et al (1971), nilai ph diatas ph isoelektrik daging 5,4-5,5 dapat meningkatkan nilai WHC. Korelasi antara ph WHC dapat dilihat pada Gambar 10. Pada Gambar 10 dapat diketahui pula persamaan korelasinya yaitu y = 7,275x + 24,67 dengan nilai R = 99,7% yang menandakan korelasi antara ph udang dengan WHC berbanding lurus. Gambar 10. Hubungan WHC dan ph udang 26
5. Pengaruh Polifosfat Terhadap Susut Masak Proses pemasakan udang dilakukan pada suhu 97-99 O C selama 2 menit 15 detik. Selama proses pemasakan, menurut Bendall dan Restall (1983) menyimpulkan bahwa sifat dari suatu potongan daging yang besar bila dibuat stew (yaitu dimasak/dipanasi dalam media cair) dapat dijelaskan dalam 4 fase. Pertama, suatu kehilangan cairan dari zat-zat myofibril ke dalam ruang-ruang ekstraseluler pada protein-protein sarkoplasma dan myofibril terdenaturasi pada suhu antara 40 53 o C tanpa diikuti pemendekan; Kedua, kehilangan cairan yang cepat dari myofibril pada saat temperature meningkat menjadi 60 o C; pada saat itu kolagen dari membrane basal mengalami pengerutan karena panas. Ketiga, pengerutan karena panas dari kolagen endomisium, perimisium dan epimisium pada suhu antara 64 90 o C semakin banyak pengerutan, penurunan diameter miofiber dan kehilangan karena pemasakan. Keempat, selama pemanasan lebih lanjut atau diperpanjang ada konversi kolagen dari epimisium, sendomisium dan perimisium menjadi gelatin diikuti oleh pengempukan. Keempat fase inilah yang menyebabkan terjadinya susut masak pada produk udang. Berdasarkan hasil analisis data menggunakan ANOVA dan Uji Lanjut Duncan ( Lampiran 8a, 8b), menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara perlakuan denga nilai susut masak yang diperoleh. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Sig. (significant level) < 0,05 (nilai α pada selang kepercayaan 95%). Perbedaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Pengaruh Polifosfat Terhadap Susut Masak Perlakuan Nilai Susut Masak (%) 0% 15,94 b 2% 13,54 a 3% 11,92 a 4% 12,51 a Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa perlakuan 2%, 3%, dan 4% tidak berbeda nyata, sementara perlakuan A memiliki nilai susut masak terbesar yaitu 15,94%. Semakin besar nilai susut masak, semakin tidak bagus untuk perusahaan, karena dapat menurunkan berat produk dari target yang ingin dicapai. Sementara jika dilihat secara matematis perlakuan 3% memiliki nilai susut masak terendah (11,92%) diikuti oleh perlakuan 4% dan 3% (12,51% dan 13,54%). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Faithong et al. (2006) pengaruh penggunaan 3% SHMP (Sodium hexametaphosphate) pada udang putih (Penaeus vannamei) dengan garam NaCl 3% mampu menghasilkan nilai susut masak sebesar 10,77 ± 0,73 %. Susut masak pada penelitian ini memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Faithong et al. Hal ini disebabkan udang yang digunakan oleh Faithong hanya 1 kg untuk perendaman dengan larutan polifosfat sehingga lebih mudah untuk mengontrol hasil susut masak. Sedangkan menurut Erdogu (2007), pada daging merah yang dimasak tanpa perlakuan phosfat memiliki nilai susut masak sebesar 45,9%, tetapi ada penurunan 10% susut masak (35%) pada daging merah yang dimasak setelah dilakukan perendaman menggunakan 6% STP (Sodium trypolyphosphat). Jadi peningkatan konsentrasi polifosfat saat perendaman mempengaruhi nilai susut masak yang dihasilkan. 27
6. Korelasi Antara WHC dengan Susut Masak Pengaruh nilai WHC terhadap nilai susut masak dapat dilihat berdasarkan analisis statistic menggunakan Correlation. Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh bahwa terdapat hubungan yang nyata antara nilai WHC dengan susut masak yang diperoleh (Nilai Sig. < 0,05). Jika dilihat dari nilai pearson correlation menunjukkan nilai negative sebesar 0,827 (Lampiran 9). Hal ini menandakan bahwa hubungan antara WHC dengan susut masak berbanding tebalik. Semakin besar nilai WHC maka semakin kecil nilai sust masak yang diperoleh. Semakin besar kemampuan protein otot pada daging udang dalam mengikat air maka semakin kecil kemungkinan air yang sudah terserap keluar pada saat proses pemasakan. Korelasi antara WHC dengan susut masak dapat dilihat pada Gambar 11. Pada Gambar 11 dapat diketahui pula persamaan korelasinya yaitu y = -0,614x + 60,52 dengan nilai R = 92,3% yang menandakan hubungan antara nilai WHC dan susut masak berbanding lurus. Gambar 11. Korelasi antara WHC dengan Susut Masak 7. Pengaruh Polifosfat Terhadap Rendemen total Rendemen total suatu produk merupakan indikasi pencapaian berat target perusahaan pada penjualan produk tertentu. Rendemen total merupakan perbandingan produk akhir yang dihasilkan terhadap bahan mentah (udang) yang digunakan. Sebagai produk akhir pada perlakuan ini yaitu produk masak dan udang mentah yang diambil yaitu dari bentuk Head Less (udang tanpa kepala) dengan mengasumsikan rendemen pada proses peeling untuk semua perlakuan sama. Berdasarkan hasil analisis statistik menggunakan ANOVA dan Uji Lanjut Duncan (Lampiran 10a dan 10b), dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara perlakuan dilihat dari rendemen total produk yang dihasilkan. Hal tersebut ditunjukkan oleh nilai Sig. (significant level) < 0,05 (nilai α pada selang kepercayaan 95%) seperti ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6. Pengaruh Polphosfat Terhadap Rendemen total Perlakuan Nilai Rendemen total (%) 0% 77,93 a 2% 86,15 b 3% 87,37 b 4% 88,21 b 28
Berdasarkan Tabel 6. Dapat dilihat bahwa perlakuan 2%, 3% dan 4% tidak berbeda nyata. Sementara perlakuan 0% memiliki nilai rendemen total paling rendah sebesar 77,93%. Walaupun perlakuan 2%, 3% dan 4% tidak berbeda nyata, namun pada perusahaan perbedaan 1-2% memiliki perbedaan yang cukup besar. Oleh karena itu jika dilihat secara matematis perlakuan 4% memberikan nilai rendemen total yang paling besar yaitu 88,21%. B. Konsentrasi Phosfat (P 2 O 5 ) Pada Produk Akhir Penggunaan polifosfat pada industri udang harus digunakan sesuai dengan peraturan yang ada, baik peraturan di negara yang akan dituju maupun peraturan di dalam negeri. Menurut peraturan pangan international CODEX (Codex Alimentarius Commission, 1992) penggunaan phosfat pada produk seafood tidak boleh lebih dari 0,5 % dalam bentuk P 2 O 5. Hal ini juga diatur oleh pemerintah Indonesia yang diatur dalam MENKES RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 yang juga menyatakan pada produk udang masak kandungan phosfat dalam bentuk P 2 O 5 tidak boleh lebih dari 0,5 %. Pengukuran phosfat dilakukan triplo (Lampiran 11a, 11b, 11c). Berikut konsentrasi phosfat pada produk udang setelah dimasak dari ke-4 perlakuan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Konsentrasi Phosfat (P 2 O 5 ) Pada Udang Masak Perlakuan Rata-rata Konsentrasi Phosfat (%) 0% 0,17 2% 0,23 3% 0,27 4% 0,29 Jika dibandingkan dengan kandungan phosfat setelah perendaman pada Tabel 3 terjadi penurunan kadar phosfat. Hal ini disebabkan karena pengaruh proses pemasakan dan proses pendinginan. Berdasarkan analisis statistic (Lampiran 11d), dari ke-4 sampel perlakuan memiliki rata-rata konsentrasi P 2 O 5 dibawah standar peraturan yang ada yaitu < 0,5%. Sehingga dapat dikatakan dari ke-4 perlakuan masih aman dan layak untuk dikonsumsi. C. Uji Organoleptik Pengujian organoleptik dilakukan dengan menggunakan metode uji rating kategori yang meliputi uji rasa, tekstur dan kenampakan. Nilai maksimum tiap-tiap aspek menurut standar PT. CPB adalah 5. Hasil uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 12a. Uji organoleptik ini diikuti oleh 8 panelis terlatih. Secara rinci, hasil uji organoleptik dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil Uji Organoleptik Perlakuan Nilai Rata-Rata Uji Rasa Uji Tekstur Uji Kenampakan 0% 4,13 4,75 4,63 2% 4,25 4,50 4,75 3% 4,25 4,38 4,63 4% 4,13 4,75 4,63 29
Dari tabel, dapat dilihat bahwa dari ke-4 perlakuan tidak berbeda nyata baik dari rasa, tekstur maupun kenampakan pada selang kepercayaan 95%. Hal ini dikarenakan berdasarkan uji statistic nilai F tabel > F hitung (Lampiran 4b, 4c, 4d). Dari ke-4 perlakuan berdasarkan Tabel 8. memiliki rasa asin, tekstur yang elastis, kompak, padat, kenyal dan memiliki kenampakan warna kulit terang. D. Analisis Biaya Produksi Biaya produksi dihitung berdasarkan nilai rendemen total yang diperoleh. Dari hasil rendemen total akan dihitung kebutuhan bahan kimia dan udang mentah (RM). Analisis biaya produksi menggunakan asumsi, seperti : (1) dalam satu hari menghasilkan produk jadi/finish Good (FG) sebanyak 2000 kg, (2) nilai tukar dolar terhadap rupiah sebesar Rp 8.200,00, (3) harga pembelian RM Rp 34.000,00/kg, dan (4) harga jual produk jadi sebesar Rp 80.000,00/kg. Berikut rincian biaya produksi dari perlakuan 0%, 2%, 3% dan 4% pada Tabel 9. Tabel 9. Analisi Biaya Produksi Kategori Konsentrasi Polifosfat 2% Polifosfat (Perusahaan) 4% Polifosfat 0% Polifosfat 3% Polifosfat Asumsi FG = 2.000 kg /Hari 2000 2000 2000 2000 Yield (HL to FG) 0.7793 0.8615 0.8737 0.8821 Harga Bahan Kimia ($)/kg 1.85 1.85 1.85 1.85 Harga Bahan Kimia (Rp)/kg 15,170.00 15,170.00 15,170.00 15,170.00 Kebutuhan RM HL (Kg) 2,566.41 2,321.53 2,289.12 2,267.32 Kebutuhan RM HO (Kg) 3,774.13 3,414.02 3,366.35 3,334.29 Kebutuhan Bahan Kimia/ 2.000 kg FG (kg) 89.31 80.79 120.87 152.36 Biaya RM untuk 2.000 kg FG (Rp) 128,320,287 116,076,611 114,455,763 113,365,832 Biaya Bahan Kimia/ 2.000 kg FG (Rp) 1,354,847 1,225,574 1,833,526 2,311,357 Biaya RM dan Bahan Kimia/ 2000 kg FG 129,675,134 117,302,185 116,289,289 115,677,189 Biaya RM dan Bahan Kimia/ kg FG 64,838 58,651 58,145 57,839 Selisih biaya udang/kg(rp) -6,186-506 812 Selisih biaya udang/2000kg(rp) -12,372,950-1,012,895 1,624,996 Keuntungan udang/kg (Rp) 15,162 21,349 21,855 22,161 Keuntungan/2000kg(Rp) 30,324,866 42,697,815 43,710,711 44,322,811 Persentase kenaikan keuntungan -28.98% - 2.37% 3.81% Keterangan : HL : Head less HO : Head on FG : Finish Good 30
Dari Tabel 9 diatas dapat dilihat bahwa perlakuan 4% membutuhkan biaya Rp 57.838,6/Kg produk akhir, perlakuan 2% membutuhkan biaya Rp 58.114,6/Kg produk akhir dan perlakuan 3% membutuhkan biaya Rp 58.651,1. Perlakuan 4% memerlukan jumlah biaya produksi yang lebih kecil dibandingkan perlakuan 2% dan 3%. Hal ini dikarenakan perlakuan 4% memiliki nilai rendemen total yang paling besar sehingga membutuhkan bahan udang mentah HO lebih sedikit dibandingkan perlakuan 2% dan 3%. Penggunaan 4% polifosfat dapat menghemat uang sebesar Rp 812.50/kg udang dan Rp 1,624,996.44/2000kg udang. Jika diasumsikan harga jual udang Rp 80,000/kg maka keuntungan yang diperoleh perusahaan dengan menggunakan 4% polifosfat akan mendapatkan keuntungan terbesar yaitu Rp 22,161.41/kg udang dan Rp 44,322,811.47/2000kg udang. Dengan demikian penggunaan 4% polifosfat akan menaikkan keuntungan perusahaan sebesar 3,81%. Sementara perlakuan 0% sudah jelas membutuhkan biaya yang paling besar dan memberikan kerugian yang besar pula (-29%). 31