4. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
3. METODE Waktu dan Tempat Penelitian Tahapan Penelitian Prosedur Penelitian a. Tahap I 1. Kultur bakteri Serratia marcescens

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMANFAATAN TEPUNG CANGKANG UDANG YANG DIHIDROLISIS ENZIM KASAR KITINASE DALAM PAKAN BENIH IKAN PATIN (PANGASIONODON HYPOPTHALMUS) FITRISKA HAPSARI

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 4. Grafik Peningkatan Bobot Rata-rata Benih Ikan Lele Sangkuriang

Tingkat Kelangsungan Hidup

I. PENDAHULUAN. membuat kita perlu mencari bahan ransum alternatif yang tersedia secara

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat Penggunaan Limbah Laju Pertumbuhan %

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV PEMBAHASAN. 4.1 Kandungan Protein Produk Limbah Udang Hasil Fermentasi Bacillus licheniformis Dilanjutkan oleh Saccharomyces cereviseae

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini pengembangan di bidang peternakan dihadapkan pada masalah kebutuhan

PENDAHULUAN. sebagai penghasil telur dan daging sehingga banyak dibudidayakan oleh

I. PENDAHULUAN. peningkatan ketersediaan bahan pakan. Bahan-bahan pakan konvensional yang

PENGARUH TINGKAT SUBSTITUSI TEPUNG IKAN DENGAN TEPUNG MAGGOT TERHADAP KOMPOSISI KIMIA PAKAN DAN TUBUH IKAN BANDENG (Chanos chanos Forsskal)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. nutrisi suatu bahan pakan, meningkatkan kecernaan karena ternak mempunyai

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

Gambar 5. Grafik Pertambahan Bobot Rata-rata Benih Lele Dumbo pada Setiap Periode Pengamatan

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah

I. PENDAHULUAN. perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil. rumen domba. efektivitas. cairan Aktifitas enzim (UI/ml/menit) , Protease. Enzim

BAB IV HASIL. Pertumbuhan. Perlakuan A (0%) B (5%) C (10%) D (15%) E (20%) gurame. Pertambahan

I. PENDAHULUAN. menentukan keberhasilan dalam kegiatan budidaya ikan. Kebutuhan pakan ikan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. luas. Salah satu faktor yang mempengaruhi produksi ayam broiler adalah pakan

II. BAHAN DAN METODE

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Seleksi Bakteri Proteolitik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

DAYA TERIMA DAN KUALITAS PROTEIN IN VITRO TEMPE KEDELAI HITAM (Glycine soja) YANG DIOLAH PADA SUHU TINGGI. Abstrak

III. BAHAN DAN METODE

PENDAHULUAN. bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Jamur ini bersifat heterotrof dan saprofit, yaitu jamur tiram

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Ikan Patin jenis Pangasius hypopthalmus merupakan ikan air tawar yang mempunyai

Pakan ternak. Dibutuhkan oleh ternak untuk : 1. Hidup pokok 2. Pertumbuhan 3. Produksi 4. Mengganti sel yang rusak pada jaringan

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. BAHAN DAN METODE

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Peningkatan keberhasilan suatu usaha peternakan akan di pengaruhi oleh

II. BAHAN DAN METODE. Bahan Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar. Kecernaan adalah bagian zat makanan dari pakan/ransum yang tidak

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Balakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. di alam yang berguna sebagai sumber pakan yang penting dalam usaha

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. AKTIVITAS KUALITATIF ENZIM KITINOLITIK (INDEKS KITINOLITIK)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan

TINJAUAN PUSTAKA. Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah

Media Kultur. Pendahuluan. Komposisi Media 3/9/2016. Materi Kuliah Mikrobiologi Industri Minggu ke 3 Nur Hidayat

PENGGUNAAN TEPUNG DAGING DAN TULANG SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER PROTEIN HEWANI PADA PAKAN IKAN NILA MERAH (Oreochromis niloticus) ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan taksonomi kapang Rhizopus oligosporus menurut Lendecker

TINJAUAN PUSTAKA. nabati seperti bungkil kedelai, tepung jagung, tepung biji kapuk, tepung eceng

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh

Asam amino merupakan komponen utama penyusun

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Serat Kasar. Kecernaan serat suatu bahan pakan penyusun ransum akan mempengaruhi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permen jelly merupakan salah satu produk pangan yang disukai semua orang dari kalangan anak-anak hingga dewasa.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Ransum. Rataan konsumsi ransum setiap ekor ayam kampung dari masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. untuk mensejahterakan kehidupan makhluknya termasuk manusia agar dapat

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab

TINJAUAN PUSTAKA. kulit udang. Proporsi kepala dan kulit udang diperkirakan antara 30%-40% dari

I. PENDAHULUAN. peternakan, karena lebih dari separuh biaya produksi digunakan untuk memenuhi

Teknologi Produksi Bahan Baku Pakan. Program Alih Jenjang D4 Bidang Akuakultur SITH, ITB VEDCA - SEAMOLEC

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Grafik pertumbuhan benih C. macropomum yang dihasilkan selama 40 hari

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Ikan lele dumbo (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aaaaapuyuh secara ilmiah dikelompokkan dalam kelas Aves, ordo Galliformes,

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

tepat untuk mengganti pakan alami dengan pakan buatan setelah larva berumur 15 hari. Penggunaan pakan alami yang terlalu lama dalam usaha pembenihan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHSAN. 4.1 Pengaruh Tingkat Peggunaan Probiotik terhadap ph

Media Kultur. Pendahuluan

METODE PENELITIAN. Penelitian Tahap 1: Uji Efektivitas Enzim Cairan Rumen Domba Terhadap Penurunan Kandungan Serat Kasar Bungkil Kelapa

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat pesat. Populasi ayam pedaging meningkat dari 1,24 milyar ekor pada

BAB I PENDAHULUAN. seperti Indonesia adalah faktor suhu lingkungan yang cukup tinggi. Kondisi ini

I. PENDAHULUAN. Dalam menjalankan usaha peternakan pakan selalu menjadi permasalahan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi

Lampiran 1 Prosedur Analisis Proksimat (Takeuchi, 1988) 1.1 Prosedur analisis kadar air (X 1 + A) A

PENDAHULUAN. kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting

Protein (asal kata protos dari bahasa Yunani yang berarti "yang paling utama") adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan

Gambar 2. Grafik Pertumbuhan benih ikan Tagih

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Perubahan Protein Kasar. Hasil penelitian pengaruh penambahan asam propionat dan formiat dengan

I. PENDAHULUAN ,8 ton (49,97%) dari total produksi daging (Direktorat Jenderal Peternakan,

I. PENDAHULUAN. pakan ternak. Produksi limbah perkebunan berlimpah, harganya murah, serta tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Prosedur Penelitian Isolasi dan Seleksi Bakteri Proteolitik Isolasi Bakteri Proteolitik

Transkripsi:

16 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Hubungan antara aktivitas enzim kasar kitinase dengan waktu disajikan pada Gambar 1. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa aktivitas enzim kasar kitinase terbaik dari bakteri Serratia marcescens adalah setelah kultur selama 60 jam. Setelah kultur bakteri selama 60 jam di media TSB, diperoleh nilai aktivitas sebesar 0,5652 U/mg protein yang memiliki arti dalam 1 ml enzim kasar kitinase, mengandung aktivitas enzim kitinase sebesar 0,5652 U. Setelah 60 jam, aktivitas enzim ini kemudian mengalami penurunan dan pada jam ke 72 nilai aktivitas mencapai 0,0436 U. Aktivitas spesifik (unit/mg protein) 0,6 0,4 0,2 0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 waktu (jam) Gambar 1. Pola hubungan antara aktivitas enzim kitinase dengan lama kultur Kurva pertumbuhan bakteri Serratia marcescens disajikan pada Gambar 2. Terlihat bahwa fase lag dari pertumbuhan bakteri terjadi hingga 10 jam kultur, fase log pada waktu kultur 10-30 jam dan fase statis terjadi pada kultur selama 30-55 jam. nilai OD pada 600nm 2 1,8 1,6 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 waktu (jam) Gambar 2. Kurva pertumbuhan bakteri Serratia marcescens Hasil pengamatan terhadap kandungan kitin dari tepung cangkang udang diperlihatkan pada Tabel 8. Kandungan kitin ditepung cangkang udang pada waktu inkubasi 12 jam lebih kecil dibandingkan kandungan kitin yang terkandung pada waktu inkubasi 24 jam. Sedangkan untuk dosis enzim kasar kitinase yang menghasilkan kandungan kitin yang terendah diperoleh pada dosis 4 U/100gr tepung yakni sebesar 15,29%.

17 Tabel 8. Rata rata kandungan kitin TCU setelah dihidrolisis oleh enzim kasar kitinase dalam berbagai dosis dan lama inkubasi yang berbeda Dosis (U/100gr tepung) Lama inkubasi (jam) Kandungan Kitin (%) 2 3 4 5 12 17,69 24 20,71 12 16,48 24 19,12 12 15,29 24 18,59 12 18,62 24 19,12 Keterangan: Kandungan kitin Tepung Cangkang Udang (TCU) dan tepung Cangkang Udang yang dihidrolisis (TCUh) dianalisis pada Laboratorium biokimia dan mikrobiologi PAU IPB Hasil proximat dari TCU dan TCUh disajikan dalam Tabel 9. Terlihat bahwa kandungan protein TCUh lebih tinggi (32,05%) dibanding kandungan protein TCU (30,86%). Sedangkan untuk kadar abu dan serat kasar yang dimiliki TCUh (23,57% dan 16,55%) lebih rendah dibanding yang dimiliki TCU (25,06% dan 20,74%). Tabel 9. Hasil proximat dari tepung cangkang udang (TCU) dan tepung cangkang udang yang terhidrolisis oleh enzim (TCUh) Proximat TCU TCUh Δ Kadar Air (%) 11,78 16,37 4,59 Protein kasar (%) 30,86 32,05 1,19 Lemak (%) 3,78 3,97 0,19 Kadar Abu (%) 25,06 23,57-1,49 Serat Kasar (%) 20,74 16,55-4,19 BETN (%) 7,78 7,49-0,29 Keterangan: Kandungan nutrisi TCU dan TCUh dianalisis pada Laboratorium Nutrisi Ikan FPIK IPB Asam amino yang terkandung didalam TCUh memiliki peningkatan dibandingkan asam amino yang terkandung didalam TCU. Hal ini terlihat dari Tabel 10, dimana semua asam amino TCUh memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan asam amino pada TCU, kecuali asam glutamat yang pada TCU memiliki nilai 2,183% dan di TCUh 2,232%.

18 Tabel 10. Asam Amino yang terkandung dalam TCU dan TCUh (%protein) Asam Amino TCU TCUh Δ Asam Amino Esensial Methionin 0,184 0,224 0,040 Prolin 0,836 0,968 0,132 Tirosin 0,596 0,828 0,232 Arginin 0,727 0,853 0,126 Histidin 0,271 0,367 0,096 Valin 0,782 0,791 0,009 Isoleusin 0,545 0,560 0,015 Leusin 0,758 0,791 0,033 Phenilalanin 0,650 0,893 0,243 Lisin 0,640 0,661 0,021 Asam Amino non esensial Asam aspartat 1,303 1,333 0,030 Asam glutamat 2,232 2,183-0,049 Serin 0,551 0,674 0,123 Glisin 0,871 0,980 0,109 Threonin 0,617 0,759 0,142 Alanin 0,797 0,945 0,148 Keterangan: Asam Amino tepung cangkang udang dianalisis pada Laboratorium Penguji The First Indonesian Molecular Biotechnology Company, Saraswati Indo Genetech, Bogor Tepung cangkang udang yang dihidrolisis (TCUh) memiliki nilai kecernaan total yang lebih tinggi dibanding TCU yaitu sebesar 32,03%. Hal ini disajikan dalam Tabel 11. Demikian juga dengan kecernaan protein dan kecernaan energi pada TCUh paling tinggi dibanding TCU (Lampiran 12). Tabel 11. Kecernaan total, kecernaan protein, kecernaan energi pakan referensi, TCUh dan TCU Pakan Parameter Kecernaan Total Kecernaan protein Kecernaan Energi Pakan referensi 31,71 27,96 32,99 Pakan dengan TCUh 32,03 36,21 35,04 Pakan dengan TCU 27,15 20,00 31,04 Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh hasil konsumsi pakan, laju pertumbuhan harian, efisiensi pakan, retensi protein, retensi lemak, dan kelangsungan hidup ikan selama masa pemeliharaan disajikan pada Tabel 12 dibawah ini. Data di Tabel 12 menunjukkan bahwa konsumsi pakan menurun sejalan dengan bertambahnya prosentase subtitusi tepung cangkang udang yang dihidrolisis terhadap tepung ikan (Lampiran 13 dan 14).

19 Tabel 12. Rata rata konsumsi pakan (KP), Laju Pertumbuhan Harian (LPH), Efisiensi pakan (EP), Retensi Protein (RP), Retensi lemak (RL), dan Kelangsungan hidup (KL) Parameter A (100% TI) B (15% TCUh:85% TI) C (30% TCUh:70% TI) D (45% TCUh:55% TI) KP (g) 254,73±4,79 a 258,33±18,33 a 244,90±7,84 a 243,01±8,86 a LPH (%) 5,10±0,26 a 4,66±0,13 b 4,63±0,13 b 4,54±0,24 b EP (%) 93,92±2,34 ab 83,04±4,17 b 86,47±3,15 ab 92,10±4,78 a RP (%) 37,97±1,65 a 35,22±1,88 ab 31,48±1,86 b 37,85±3,79 a RL (%) 91,05±2,52 a 73,75±4,69 b 62,26±3,36 c 75,17±7,13 b KL (%) 98,89±99,63 a 100,00±0,00 a 98,89±99,63 a 100,00±0,00 a Keterangan: 1) data selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 10, 11 dan 12 2) angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata (p>0,05) pada uji Duncan Konsumsi pakan dan laju pertumbuhan harian menurun dengan bertambahnya dosis tepung cangkang udang yang digunakan untuk mensubtitusi tepung ikan. Berdasarkan Tabel 12, retensi protein tertinggi diperoleh pada pakan yang tidak mengandung tepung cangkang udang yang dihidrolisis (pakan kontrol), begitu pula dengan retensi lemak. Adanya subtitusi tepung cangkang udang yang dihidrolisis tidak mempengaruhi kelangsungan hidup ikan patin. Pembahasan Bakteri Serratia marcescens merupakan bakteri yang bersifat non pathogen pada organisme akuatik saprofitik. Selain itu, bakteri ini merupakan bakteri yang mampu memproduksi berbagai produk enzim ekstraseluler seperti kitinase, protease, nuclease dan lipase (Hejazi dan Falkiner 1997). Terdapat dua jenis tipe bakteri dalam memproduksi enzim, yakni tipe A (reaksi enzim dan substrat berjalan seiring dengan pertumbuhan) dan tipe B (reaksi enzim dan substrat tidak berjalan seiring dengan pertumbuhan) (Hinshelwood 1944). Produksi kitinase dari bakteri Serratia marcescens berkaitan erat dengan pertumbuhan (Natarajan dan Murty 2010). Hal ini terlihat dari kurva pertumbuhan pada Gambar 2 dan kurva aktivitas enzim kitinase pada Gambar 1, dimana pertumbuhan bakteri mulai melambat pada jam ke 36 dan aktivitas enzimatik yang tertinggi ada di jam ke 60 yakni sebesar 0,5652 U/mg protein. Karakteristik aktivitas enzim kitinase dari bakteri yang setelah mencapai titik optimumnya akan menurun sesuai dengan beberapa penelitian terdahulu. Narayana dan Vijayalakshmi (2009) menyatakan bahwa aktivitas kitinase dari Streptomyces maksimum terjadi pada 60 jam kultur dan kemudian menurun. Nawani et al (2002) melaporkan bahwa aktivitas kitinase dari Microbispora sp tertinggi terjadi setelah 48 jam kultur. Sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Joo (2005), aktivitas kitinase dari Streptomyces halstedii tertinggi pada 72 jam inkubasi dan kemudian menurun. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim, yakni ph, konsentrasi substrat dan enzim, suhu, adanya aktivator atau inhibitor (Lehniger 1998). Kitin merupakan polimer yang paling banyak terdapat dialam selain selulosa. Enzim kitinase yang diproduksi oleh bakteri Serratia marcescens memiliki banyak manfaat, diantaranya adalah mampu mengubah biomassa yang mengandung kitin menjadi komponen depolimer yang berguna (Brurberget al.

20 2000). Kitin merupakan jenis polisakarida kedua yang paling banyak terdapat di alam dan umumnya terkandung didalam eksoskeleton dari krustasea, serangga, ulat, jamur, dan kapang. Tepung cangkang udang terdiri dari protein (40%), mineral (35%), dan kitin (14 30%) dan sangat kaya akan pigmen karotenoid terutama astaxantin (Kandra et al.,2012). Menurut Synowiecki dan Al-khateeb (2003) dalam Kandra et al. (2012), tepung cangkang udang mengandung sekitar 14 30% kitin (bobot kering). Terdapat beberapa metode yang telah digunakan untuk meningkatkan kualitas TCU, yakni pemasakan, pengeringan dengan matahari, pembuatan silage. Akan tetapi proses proses ini memiliki kelemahan kelemahan. Pemasakan membutuhkan kayu bakar atau bahan bakar lain yang sangat banyak selain itu metode ini dapat mendegradasi lemak, vitamin dan pigmen pigmen yang terkandung dalam bahan. Dikeringkan dengan matahari dapat mengakibatkan kondisi yang tidak higienis sehingga bahan menjadi banyak mikroba mikroba yang tidak diinginkan. Dengan menggunakan asam formiat mampu meningkatkan kualitas nutrisi TCU akan tetapi harga asam formiat yang tinggi serta silage yang dihasilkan harus dinetralkan terlebih dahulu membuat metode ini tidak efisien (Nwanna 2003). Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Tabel 5, terlihat bahwa lama aktivitas enzim yang paling optimal dalam mendegradasi kitin TCU adalah 12 jam. Hal ini terlihat dari hasil kandungan kitin yang terkandung didalam tepung cangkang udang pada lama inkubasi 12 jam lebih sedikit dibandingkan kandungan kitin pada lama inkubasi 24 jam. Enzim kitinase mengubah bentuk polimer dari kitim menjadi bentuk oligomer yang lebih sederhana dan mudah untuk dicerna. Pada proses hidrolisis, ikatan hidrogen dari bentuk polimer kitin akan terlepas. Ikatan ini tidak stabil sehingga apabila dibiarkan lebih lama, ikatan interaksi antar hidrogen akan saling mengikat lagi untuk meningkatkan energi interaksi antar ikatan (Aronson et al 2003). Enzim kitinase yang digunakan dalam pelitian ini tidak melalui proses purifikasi sehingga enzim kitinase yang diperoleh dalam penelitian ini berupa enzim kasar (Crude enzyme). Dosis enzim yang optimal terdapat pada dosis 4 U/100gr tepung. Hal ini serupa dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Mahata (2006) yang menunjukkan bahwa dosis terbaik untuk melisis kandungan kitin pada tepung cangkang udang adalah 4U/100gr tepung. TCU mengandung protein yang tinggi dan mengandung asam amino yang serupa dengan kandungan AA pada tepung ikan, akan tetapi pemanfaatan TCU kedalam pakan ikan terbatas karena adanya kandungan kitin dan kadar abu (Nwanna, 2003) yang mengakibatkan TCU sulit untuk dicerna. Berdasarkan hasil, terlihat bahwa asam amino esensial yang terkandung didalam TCUh mengalami peningkatan dibanding asam amino esensial yang terkandung didalam TCU. Hal ini diharapkan menjadi indikasi adanya perbaikan kandungan nutrient dalam tepung serta adanya perbaikan dalam kecernaan tepung cangkang udang. Berdasarkan hasil analisa proximat, terlihat bahwa protein, lemak dan serat kasar dari TCUh mengalami perubahan. Protein TCU adalah sebesar 30,86% dan setelah diberi enzim kitinase sebesar 4U selama 12 jam, protein yang terkandung didalam tepung meningkat 1,19% menjadi 32,05%. Peningkatan protein kasar limbah udang berkaitan dengan terdegradasinya kitin oleh enzim kasar kitinase. Kitin sebagai salah satu komponen penyusun kulit udang dirombak oleh kitinase menjadi monomernya sehingga protein akan terbebaskan dari senyawa komplek kitin-protein-caco3. Lemak juga mengalami peningkatan sebesar 0,19% menjadi

21 3,97%. Peningkatan lemak ini dapat disebabkan oleh terlarutnya carotenoid yang terdapat pada limbah udang pasca hidrolisis. Terurainya senyawa kitin dan terbebasnya protein dari senyawa komplek kitin-protein-caco3 juga meningkatkan carotenoid yang dapat dianalisis, dan di dalam analisis proksimat senyawa carotenoid dan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak (A, D, E, K) terhitung sebagai lemak. Sedangkan untuk serat TCUh mengalami penurunan sebesar 4,19% dari 20,74% menjadi 16,55%. Penurunan serat kasar ini menunjukkan bahwa pemberian enzim kitinase terbukti menurunkan serat kasar yang terkandung didalam tepung cangkang udang dengan cara memecah polimer kitin yang terkandung didalam tepung. Hal ini serupa dengan hasil yang diperoleh oleh Yulianingsih dan Teken (2008). Dengan menurunnya serat kasar dan kadar abu pada tepung cangkang udang yang diberi enzim, diharapkan mempunyai nilai kecernaan yang lebih besar dibanding tepung cangkang udang yang tidak terhidrolisis. Penelitian yang dilakukan oleh Nwanna (2003) tentang kecernaan tepung udang pada ikan African catfish menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar abu dan serat kasar dalam pakan, akan menghasilkan nilai keceraan protein dan nilai kecernaan energi yang semakin rendah. Hal ini dikarenakan karena apabila nilai kandungan asam amino dalam suatu bahan rendah, maka pemanfaatan dan nilai kecernaan protein juga akan rendah. Nilai kecernaan menyatakan banyaknya komposisi nutrisi suatu bahan maupun energi yang dapat diserap dan digunakan oleh ikan (NRC 1993). Berdasarkan nilai kecernaan total yang dihasilkan dari uji kecernaan, terlihat bahwa nilai kecernaan tepung cangkang udang yang terhidrolisis lebih besar dibanding tepung cangkang udang yang tidak terhidrolisis yakni sebesar 32,03%. Sedangkan nilai energi kecernaan dari tepung cangkang udang yang terhidrolisis memiliki nilai tertinggi yakni 35,04%. Rendahnya nilai kecernaan tepung cangkang udang yang tidak terhidrolisis dikarenakan masih tingginya kandungan kitin pada tepung. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yamin et al (2011) dimana nilai kecernaan tepung udang tanpa fermentasi pada ikan kerapu memiliki nilai yang lebih rendah (38,86%) dibanding nilai kecernaan tepung udang yang difermentasikan (45,77%). Nilai kecernaan yang rendah dari ketiga perlakuan dapat dikarenakan rendahnya kualitas bahan baku pakan yang mengakibatkan rendahnya nilai kecernaan protein dan kecernaan energi pakan. Hal ini terlihat dari rendahnya nilai kecernaan protein dan kecernaan energi pakan kontrol yang tidak mengandung TCU atau TCUh yakni 27,96% dan 32,99%. Selain itu, salah satu faktor yang mempengaruhi kecernaan adalah umur dan ukuran ikan. Robinson et al (2001) menyatakan bahwa protein hewani yang berasal dari tepung ikan sangat penting keberadaannya dalam pakan ikan catfish ukuran benih dan fingerling. Tepung ikan ini dapat digantikan dengan protein hewani lainnya seperti tepung MBM atau tepung darah pada ikan berukuran 6 7 inci. Hal ini yang diduga mempengaruhi kecilnya nilai kecernaan yang diperoleh. Ikan yang digunakan untuk uji kecernaan ini memiliki bobot rata rata sebesar 0,82 gram dengan panjang ± 4cm. Setelah pemeliharaan selama 30 hari, terlihat adanya penambahan biomasa individu pada tiap perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh ikan uji mengalami pertumbuhan selama pemeliharaan. Semakin banyak tepung cangkang udang yang digunakan untuk mensubtitusi tepung ikan dalam pakan, maka semakin menurun pertumbuhan dan efisiensi pakan, laju pertumbuhan pada pakan

22 kontrol memiliki nilai yang lebih tinggi yakni 5,10% dan laju pertumbuhan yang paling rendah diperoleh pada pakan dengan subtitusi tepung cangkang udang sebesar 45% yakni 4,54%. Hal ini berhubungan dengan nilai kecernaan bahan baku tepung cangkang udang yang dihidrolisis. Kecilnya nilai kecernaan tepung cangkang udang mengakibatkan ikan sulit untuk dapat memanfaatkan kandungan nutrisis yang terkandung didalam bahan baku sehingga nutrient yang diserap oleh tubuh akan sedikit pula. Tepung ikan merupakan bahan yang penting bagi ikan catfish yang berukuran kurang dari 6 7 inchi karena protein hewani memiliki kualitas protein (asam amino) yang lebih baik dibandingkan protein nabati, terutama kandungan asam amino esensial yang terkandung didalamnya (Robinson et al 2001). Oleh sebab itu, pertumbuhan dengan pakan kontrol memiliki nilai laju pertumbuhan harian yang paling tinggi. Nilai efisiensi pakan antar perlakuan tidak berbeda nyata meskipun pakan tanpa subtitusi tepung cangkang udang mempunyai nilai efisiensi pakan yang lebih tinggi dari pada perlakuan B, C dan D yakni 93,92%. Hal ini serupa dengan hasil penelitian Nwanna (2003) dimana nilai efisiensi pakan yang diperoleh tidak berbeda nyata antar perlakuan. Konsumsi pakan antar perlakuan tidak berbeda nyata. Retensi protein merupakan kemampuan ikan untuk menyimpan dan memanfatkan protein dalam pakan. Berdasarkan hasil yang diperoleh, retensi protein pada perlakuan A mempunyai nilai yang tertinggi (37,97%) dan kemudian seiring dengan bertambahnya dosis tepung cangkang udang yang dihidrolisis retensi protein yang terkandung dalam tubuh ikan mengalami penurunan yakni 35,22%, 31,48%, dan 37,85%. Nilai retensi protein ini memberikan dampak pada pertumbuhan dimana pertumbuhan yang paling tinggi terdapat pada perlakuan A (kontrol). Ini mengindikasikan bahwa energi dan protein yang terkandung didalam pakan tidak mencukupi kebutuhan ikan patin sehingga mengakibatkan pertumbuhan yang semakin menurun. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hardini dan Djunaidi (2010) mengenai subtitusi tepung udang terhadap kualitas daging ayam broiler juga serupa dengan hasil penelitian yang diperoleh dimana semakin besar jumlah subtitusi tepung udang yang dihidrolisasi, semakin rendah nilai retensi protein yang terkandung didalam tubuh ayam broiler. Selain itu, nilai retensi lemak yang diperoleh juga mengalami penurunan yakni sebesar 91,05% (kontrol), 73,75% (pakan B), 62,26% (pakan C), dan 75,17% (pakan D). Nilai retensi lemak mengindikasikan kandungan lemak yang disimpan oleh tubuh. Penurunan nilai retensi lemak yang terjadi mungkin berhubungan dengan stress yang diakibatkan karena adanya kandungan kitin yang terkandung didalam pakan. Ikan patin merupakan salah satu ikan yang dapat dijual dalam bentuk filet. Semakin tinggi kandungan lemak yang terkandung didalam daging dapat mengakibatkan daging tersebut mudah untuk teroksidasi. Nilai retensi lemak yang menurun ini juga serupa dengan hasil yang diperoleh oleh Hardini dan Djunaidi (2010). Cangkang udang mengandung banyak kitin, yang merupakan bentuk protein kompleks sehingga sulit untuk dicerna. Rendahnya nilai kecernaan ini membuat enzim enzim yang mencerna lemak dan protein dari pakan sulit untuk dapat mencerna bahan baku TCUh sehingga mempengaruhi pemanfaatan dari nutrient nutrient ini dan membuat nilai retensi lemak dan nilai retensi protein pada ikan perlakuan lebih sedikit dibanding ikan kontrol (Fall et al. 2012).