16 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Hubungan antara aktivitas enzim kasar kitinase dengan waktu disajikan pada Gambar 1. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa aktivitas enzim kasar kitinase terbaik dari bakteri Serratia marcescens adalah setelah kultur selama 60 jam. Setelah kultur bakteri selama 60 jam di media TSB, diperoleh nilai aktivitas sebesar 0,5652 U/mg protein yang memiliki arti dalam 1 ml enzim kasar kitinase, mengandung aktivitas enzim kitinase sebesar 0,5652 U. Setelah 60 jam, aktivitas enzim ini kemudian mengalami penurunan dan pada jam ke 72 nilai aktivitas mencapai 0,0436 U. Aktivitas spesifik (unit/mg protein) 0,6 0,4 0,2 0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 waktu (jam) Gambar 1. Pola hubungan antara aktivitas enzim kitinase dengan lama kultur Kurva pertumbuhan bakteri Serratia marcescens disajikan pada Gambar 2. Terlihat bahwa fase lag dari pertumbuhan bakteri terjadi hingga 10 jam kultur, fase log pada waktu kultur 10-30 jam dan fase statis terjadi pada kultur selama 30-55 jam. nilai OD pada 600nm 2 1,8 1,6 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 waktu (jam) Gambar 2. Kurva pertumbuhan bakteri Serratia marcescens Hasil pengamatan terhadap kandungan kitin dari tepung cangkang udang diperlihatkan pada Tabel 8. Kandungan kitin ditepung cangkang udang pada waktu inkubasi 12 jam lebih kecil dibandingkan kandungan kitin yang terkandung pada waktu inkubasi 24 jam. Sedangkan untuk dosis enzim kasar kitinase yang menghasilkan kandungan kitin yang terendah diperoleh pada dosis 4 U/100gr tepung yakni sebesar 15,29%.
17 Tabel 8. Rata rata kandungan kitin TCU setelah dihidrolisis oleh enzim kasar kitinase dalam berbagai dosis dan lama inkubasi yang berbeda Dosis (U/100gr tepung) Lama inkubasi (jam) Kandungan Kitin (%) 2 3 4 5 12 17,69 24 20,71 12 16,48 24 19,12 12 15,29 24 18,59 12 18,62 24 19,12 Keterangan: Kandungan kitin Tepung Cangkang Udang (TCU) dan tepung Cangkang Udang yang dihidrolisis (TCUh) dianalisis pada Laboratorium biokimia dan mikrobiologi PAU IPB Hasil proximat dari TCU dan TCUh disajikan dalam Tabel 9. Terlihat bahwa kandungan protein TCUh lebih tinggi (32,05%) dibanding kandungan protein TCU (30,86%). Sedangkan untuk kadar abu dan serat kasar yang dimiliki TCUh (23,57% dan 16,55%) lebih rendah dibanding yang dimiliki TCU (25,06% dan 20,74%). Tabel 9. Hasil proximat dari tepung cangkang udang (TCU) dan tepung cangkang udang yang terhidrolisis oleh enzim (TCUh) Proximat TCU TCUh Δ Kadar Air (%) 11,78 16,37 4,59 Protein kasar (%) 30,86 32,05 1,19 Lemak (%) 3,78 3,97 0,19 Kadar Abu (%) 25,06 23,57-1,49 Serat Kasar (%) 20,74 16,55-4,19 BETN (%) 7,78 7,49-0,29 Keterangan: Kandungan nutrisi TCU dan TCUh dianalisis pada Laboratorium Nutrisi Ikan FPIK IPB Asam amino yang terkandung didalam TCUh memiliki peningkatan dibandingkan asam amino yang terkandung didalam TCU. Hal ini terlihat dari Tabel 10, dimana semua asam amino TCUh memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan asam amino pada TCU, kecuali asam glutamat yang pada TCU memiliki nilai 2,183% dan di TCUh 2,232%.
18 Tabel 10. Asam Amino yang terkandung dalam TCU dan TCUh (%protein) Asam Amino TCU TCUh Δ Asam Amino Esensial Methionin 0,184 0,224 0,040 Prolin 0,836 0,968 0,132 Tirosin 0,596 0,828 0,232 Arginin 0,727 0,853 0,126 Histidin 0,271 0,367 0,096 Valin 0,782 0,791 0,009 Isoleusin 0,545 0,560 0,015 Leusin 0,758 0,791 0,033 Phenilalanin 0,650 0,893 0,243 Lisin 0,640 0,661 0,021 Asam Amino non esensial Asam aspartat 1,303 1,333 0,030 Asam glutamat 2,232 2,183-0,049 Serin 0,551 0,674 0,123 Glisin 0,871 0,980 0,109 Threonin 0,617 0,759 0,142 Alanin 0,797 0,945 0,148 Keterangan: Asam Amino tepung cangkang udang dianalisis pada Laboratorium Penguji The First Indonesian Molecular Biotechnology Company, Saraswati Indo Genetech, Bogor Tepung cangkang udang yang dihidrolisis (TCUh) memiliki nilai kecernaan total yang lebih tinggi dibanding TCU yaitu sebesar 32,03%. Hal ini disajikan dalam Tabel 11. Demikian juga dengan kecernaan protein dan kecernaan energi pada TCUh paling tinggi dibanding TCU (Lampiran 12). Tabel 11. Kecernaan total, kecernaan protein, kecernaan energi pakan referensi, TCUh dan TCU Pakan Parameter Kecernaan Total Kecernaan protein Kecernaan Energi Pakan referensi 31,71 27,96 32,99 Pakan dengan TCUh 32,03 36,21 35,04 Pakan dengan TCU 27,15 20,00 31,04 Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh hasil konsumsi pakan, laju pertumbuhan harian, efisiensi pakan, retensi protein, retensi lemak, dan kelangsungan hidup ikan selama masa pemeliharaan disajikan pada Tabel 12 dibawah ini. Data di Tabel 12 menunjukkan bahwa konsumsi pakan menurun sejalan dengan bertambahnya prosentase subtitusi tepung cangkang udang yang dihidrolisis terhadap tepung ikan (Lampiran 13 dan 14).
19 Tabel 12. Rata rata konsumsi pakan (KP), Laju Pertumbuhan Harian (LPH), Efisiensi pakan (EP), Retensi Protein (RP), Retensi lemak (RL), dan Kelangsungan hidup (KL) Parameter A (100% TI) B (15% TCUh:85% TI) C (30% TCUh:70% TI) D (45% TCUh:55% TI) KP (g) 254,73±4,79 a 258,33±18,33 a 244,90±7,84 a 243,01±8,86 a LPH (%) 5,10±0,26 a 4,66±0,13 b 4,63±0,13 b 4,54±0,24 b EP (%) 93,92±2,34 ab 83,04±4,17 b 86,47±3,15 ab 92,10±4,78 a RP (%) 37,97±1,65 a 35,22±1,88 ab 31,48±1,86 b 37,85±3,79 a RL (%) 91,05±2,52 a 73,75±4,69 b 62,26±3,36 c 75,17±7,13 b KL (%) 98,89±99,63 a 100,00±0,00 a 98,89±99,63 a 100,00±0,00 a Keterangan: 1) data selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 10, 11 dan 12 2) angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata (p>0,05) pada uji Duncan Konsumsi pakan dan laju pertumbuhan harian menurun dengan bertambahnya dosis tepung cangkang udang yang digunakan untuk mensubtitusi tepung ikan. Berdasarkan Tabel 12, retensi protein tertinggi diperoleh pada pakan yang tidak mengandung tepung cangkang udang yang dihidrolisis (pakan kontrol), begitu pula dengan retensi lemak. Adanya subtitusi tepung cangkang udang yang dihidrolisis tidak mempengaruhi kelangsungan hidup ikan patin. Pembahasan Bakteri Serratia marcescens merupakan bakteri yang bersifat non pathogen pada organisme akuatik saprofitik. Selain itu, bakteri ini merupakan bakteri yang mampu memproduksi berbagai produk enzim ekstraseluler seperti kitinase, protease, nuclease dan lipase (Hejazi dan Falkiner 1997). Terdapat dua jenis tipe bakteri dalam memproduksi enzim, yakni tipe A (reaksi enzim dan substrat berjalan seiring dengan pertumbuhan) dan tipe B (reaksi enzim dan substrat tidak berjalan seiring dengan pertumbuhan) (Hinshelwood 1944). Produksi kitinase dari bakteri Serratia marcescens berkaitan erat dengan pertumbuhan (Natarajan dan Murty 2010). Hal ini terlihat dari kurva pertumbuhan pada Gambar 2 dan kurva aktivitas enzim kitinase pada Gambar 1, dimana pertumbuhan bakteri mulai melambat pada jam ke 36 dan aktivitas enzimatik yang tertinggi ada di jam ke 60 yakni sebesar 0,5652 U/mg protein. Karakteristik aktivitas enzim kitinase dari bakteri yang setelah mencapai titik optimumnya akan menurun sesuai dengan beberapa penelitian terdahulu. Narayana dan Vijayalakshmi (2009) menyatakan bahwa aktivitas kitinase dari Streptomyces maksimum terjadi pada 60 jam kultur dan kemudian menurun. Nawani et al (2002) melaporkan bahwa aktivitas kitinase dari Microbispora sp tertinggi terjadi setelah 48 jam kultur. Sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Joo (2005), aktivitas kitinase dari Streptomyces halstedii tertinggi pada 72 jam inkubasi dan kemudian menurun. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim, yakni ph, konsentrasi substrat dan enzim, suhu, adanya aktivator atau inhibitor (Lehniger 1998). Kitin merupakan polimer yang paling banyak terdapat dialam selain selulosa. Enzim kitinase yang diproduksi oleh bakteri Serratia marcescens memiliki banyak manfaat, diantaranya adalah mampu mengubah biomassa yang mengandung kitin menjadi komponen depolimer yang berguna (Brurberget al.
20 2000). Kitin merupakan jenis polisakarida kedua yang paling banyak terdapat di alam dan umumnya terkandung didalam eksoskeleton dari krustasea, serangga, ulat, jamur, dan kapang. Tepung cangkang udang terdiri dari protein (40%), mineral (35%), dan kitin (14 30%) dan sangat kaya akan pigmen karotenoid terutama astaxantin (Kandra et al.,2012). Menurut Synowiecki dan Al-khateeb (2003) dalam Kandra et al. (2012), tepung cangkang udang mengandung sekitar 14 30% kitin (bobot kering). Terdapat beberapa metode yang telah digunakan untuk meningkatkan kualitas TCU, yakni pemasakan, pengeringan dengan matahari, pembuatan silage. Akan tetapi proses proses ini memiliki kelemahan kelemahan. Pemasakan membutuhkan kayu bakar atau bahan bakar lain yang sangat banyak selain itu metode ini dapat mendegradasi lemak, vitamin dan pigmen pigmen yang terkandung dalam bahan. Dikeringkan dengan matahari dapat mengakibatkan kondisi yang tidak higienis sehingga bahan menjadi banyak mikroba mikroba yang tidak diinginkan. Dengan menggunakan asam formiat mampu meningkatkan kualitas nutrisi TCU akan tetapi harga asam formiat yang tinggi serta silage yang dihasilkan harus dinetralkan terlebih dahulu membuat metode ini tidak efisien (Nwanna 2003). Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Tabel 5, terlihat bahwa lama aktivitas enzim yang paling optimal dalam mendegradasi kitin TCU adalah 12 jam. Hal ini terlihat dari hasil kandungan kitin yang terkandung didalam tepung cangkang udang pada lama inkubasi 12 jam lebih sedikit dibandingkan kandungan kitin pada lama inkubasi 24 jam. Enzim kitinase mengubah bentuk polimer dari kitim menjadi bentuk oligomer yang lebih sederhana dan mudah untuk dicerna. Pada proses hidrolisis, ikatan hidrogen dari bentuk polimer kitin akan terlepas. Ikatan ini tidak stabil sehingga apabila dibiarkan lebih lama, ikatan interaksi antar hidrogen akan saling mengikat lagi untuk meningkatkan energi interaksi antar ikatan (Aronson et al 2003). Enzim kitinase yang digunakan dalam pelitian ini tidak melalui proses purifikasi sehingga enzim kitinase yang diperoleh dalam penelitian ini berupa enzim kasar (Crude enzyme). Dosis enzim yang optimal terdapat pada dosis 4 U/100gr tepung. Hal ini serupa dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Mahata (2006) yang menunjukkan bahwa dosis terbaik untuk melisis kandungan kitin pada tepung cangkang udang adalah 4U/100gr tepung. TCU mengandung protein yang tinggi dan mengandung asam amino yang serupa dengan kandungan AA pada tepung ikan, akan tetapi pemanfaatan TCU kedalam pakan ikan terbatas karena adanya kandungan kitin dan kadar abu (Nwanna, 2003) yang mengakibatkan TCU sulit untuk dicerna. Berdasarkan hasil, terlihat bahwa asam amino esensial yang terkandung didalam TCUh mengalami peningkatan dibanding asam amino esensial yang terkandung didalam TCU. Hal ini diharapkan menjadi indikasi adanya perbaikan kandungan nutrient dalam tepung serta adanya perbaikan dalam kecernaan tepung cangkang udang. Berdasarkan hasil analisa proximat, terlihat bahwa protein, lemak dan serat kasar dari TCUh mengalami perubahan. Protein TCU adalah sebesar 30,86% dan setelah diberi enzim kitinase sebesar 4U selama 12 jam, protein yang terkandung didalam tepung meningkat 1,19% menjadi 32,05%. Peningkatan protein kasar limbah udang berkaitan dengan terdegradasinya kitin oleh enzim kasar kitinase. Kitin sebagai salah satu komponen penyusun kulit udang dirombak oleh kitinase menjadi monomernya sehingga protein akan terbebaskan dari senyawa komplek kitin-protein-caco3. Lemak juga mengalami peningkatan sebesar 0,19% menjadi
21 3,97%. Peningkatan lemak ini dapat disebabkan oleh terlarutnya carotenoid yang terdapat pada limbah udang pasca hidrolisis. Terurainya senyawa kitin dan terbebasnya protein dari senyawa komplek kitin-protein-caco3 juga meningkatkan carotenoid yang dapat dianalisis, dan di dalam analisis proksimat senyawa carotenoid dan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak (A, D, E, K) terhitung sebagai lemak. Sedangkan untuk serat TCUh mengalami penurunan sebesar 4,19% dari 20,74% menjadi 16,55%. Penurunan serat kasar ini menunjukkan bahwa pemberian enzim kitinase terbukti menurunkan serat kasar yang terkandung didalam tepung cangkang udang dengan cara memecah polimer kitin yang terkandung didalam tepung. Hal ini serupa dengan hasil yang diperoleh oleh Yulianingsih dan Teken (2008). Dengan menurunnya serat kasar dan kadar abu pada tepung cangkang udang yang diberi enzim, diharapkan mempunyai nilai kecernaan yang lebih besar dibanding tepung cangkang udang yang tidak terhidrolisis. Penelitian yang dilakukan oleh Nwanna (2003) tentang kecernaan tepung udang pada ikan African catfish menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar abu dan serat kasar dalam pakan, akan menghasilkan nilai keceraan protein dan nilai kecernaan energi yang semakin rendah. Hal ini dikarenakan karena apabila nilai kandungan asam amino dalam suatu bahan rendah, maka pemanfaatan dan nilai kecernaan protein juga akan rendah. Nilai kecernaan menyatakan banyaknya komposisi nutrisi suatu bahan maupun energi yang dapat diserap dan digunakan oleh ikan (NRC 1993). Berdasarkan nilai kecernaan total yang dihasilkan dari uji kecernaan, terlihat bahwa nilai kecernaan tepung cangkang udang yang terhidrolisis lebih besar dibanding tepung cangkang udang yang tidak terhidrolisis yakni sebesar 32,03%. Sedangkan nilai energi kecernaan dari tepung cangkang udang yang terhidrolisis memiliki nilai tertinggi yakni 35,04%. Rendahnya nilai kecernaan tepung cangkang udang yang tidak terhidrolisis dikarenakan masih tingginya kandungan kitin pada tepung. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yamin et al (2011) dimana nilai kecernaan tepung udang tanpa fermentasi pada ikan kerapu memiliki nilai yang lebih rendah (38,86%) dibanding nilai kecernaan tepung udang yang difermentasikan (45,77%). Nilai kecernaan yang rendah dari ketiga perlakuan dapat dikarenakan rendahnya kualitas bahan baku pakan yang mengakibatkan rendahnya nilai kecernaan protein dan kecernaan energi pakan. Hal ini terlihat dari rendahnya nilai kecernaan protein dan kecernaan energi pakan kontrol yang tidak mengandung TCU atau TCUh yakni 27,96% dan 32,99%. Selain itu, salah satu faktor yang mempengaruhi kecernaan adalah umur dan ukuran ikan. Robinson et al (2001) menyatakan bahwa protein hewani yang berasal dari tepung ikan sangat penting keberadaannya dalam pakan ikan catfish ukuran benih dan fingerling. Tepung ikan ini dapat digantikan dengan protein hewani lainnya seperti tepung MBM atau tepung darah pada ikan berukuran 6 7 inci. Hal ini yang diduga mempengaruhi kecilnya nilai kecernaan yang diperoleh. Ikan yang digunakan untuk uji kecernaan ini memiliki bobot rata rata sebesar 0,82 gram dengan panjang ± 4cm. Setelah pemeliharaan selama 30 hari, terlihat adanya penambahan biomasa individu pada tiap perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh ikan uji mengalami pertumbuhan selama pemeliharaan. Semakin banyak tepung cangkang udang yang digunakan untuk mensubtitusi tepung ikan dalam pakan, maka semakin menurun pertumbuhan dan efisiensi pakan, laju pertumbuhan pada pakan
22 kontrol memiliki nilai yang lebih tinggi yakni 5,10% dan laju pertumbuhan yang paling rendah diperoleh pada pakan dengan subtitusi tepung cangkang udang sebesar 45% yakni 4,54%. Hal ini berhubungan dengan nilai kecernaan bahan baku tepung cangkang udang yang dihidrolisis. Kecilnya nilai kecernaan tepung cangkang udang mengakibatkan ikan sulit untuk dapat memanfaatkan kandungan nutrisis yang terkandung didalam bahan baku sehingga nutrient yang diserap oleh tubuh akan sedikit pula. Tepung ikan merupakan bahan yang penting bagi ikan catfish yang berukuran kurang dari 6 7 inchi karena protein hewani memiliki kualitas protein (asam amino) yang lebih baik dibandingkan protein nabati, terutama kandungan asam amino esensial yang terkandung didalamnya (Robinson et al 2001). Oleh sebab itu, pertumbuhan dengan pakan kontrol memiliki nilai laju pertumbuhan harian yang paling tinggi. Nilai efisiensi pakan antar perlakuan tidak berbeda nyata meskipun pakan tanpa subtitusi tepung cangkang udang mempunyai nilai efisiensi pakan yang lebih tinggi dari pada perlakuan B, C dan D yakni 93,92%. Hal ini serupa dengan hasil penelitian Nwanna (2003) dimana nilai efisiensi pakan yang diperoleh tidak berbeda nyata antar perlakuan. Konsumsi pakan antar perlakuan tidak berbeda nyata. Retensi protein merupakan kemampuan ikan untuk menyimpan dan memanfatkan protein dalam pakan. Berdasarkan hasil yang diperoleh, retensi protein pada perlakuan A mempunyai nilai yang tertinggi (37,97%) dan kemudian seiring dengan bertambahnya dosis tepung cangkang udang yang dihidrolisis retensi protein yang terkandung dalam tubuh ikan mengalami penurunan yakni 35,22%, 31,48%, dan 37,85%. Nilai retensi protein ini memberikan dampak pada pertumbuhan dimana pertumbuhan yang paling tinggi terdapat pada perlakuan A (kontrol). Ini mengindikasikan bahwa energi dan protein yang terkandung didalam pakan tidak mencukupi kebutuhan ikan patin sehingga mengakibatkan pertumbuhan yang semakin menurun. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hardini dan Djunaidi (2010) mengenai subtitusi tepung udang terhadap kualitas daging ayam broiler juga serupa dengan hasil penelitian yang diperoleh dimana semakin besar jumlah subtitusi tepung udang yang dihidrolisasi, semakin rendah nilai retensi protein yang terkandung didalam tubuh ayam broiler. Selain itu, nilai retensi lemak yang diperoleh juga mengalami penurunan yakni sebesar 91,05% (kontrol), 73,75% (pakan B), 62,26% (pakan C), dan 75,17% (pakan D). Nilai retensi lemak mengindikasikan kandungan lemak yang disimpan oleh tubuh. Penurunan nilai retensi lemak yang terjadi mungkin berhubungan dengan stress yang diakibatkan karena adanya kandungan kitin yang terkandung didalam pakan. Ikan patin merupakan salah satu ikan yang dapat dijual dalam bentuk filet. Semakin tinggi kandungan lemak yang terkandung didalam daging dapat mengakibatkan daging tersebut mudah untuk teroksidasi. Nilai retensi lemak yang menurun ini juga serupa dengan hasil yang diperoleh oleh Hardini dan Djunaidi (2010). Cangkang udang mengandung banyak kitin, yang merupakan bentuk protein kompleks sehingga sulit untuk dicerna. Rendahnya nilai kecernaan ini membuat enzim enzim yang mencerna lemak dan protein dari pakan sulit untuk dapat mencerna bahan baku TCUh sehingga mempengaruhi pemanfaatan dari nutrient nutrient ini dan membuat nilai retensi lemak dan nilai retensi protein pada ikan perlakuan lebih sedikit dibanding ikan kontrol (Fall et al. 2012).