VI. PEMBAHASAN merupakan proses katabolisme atau penguraian senyawa organik menjadi senyawa anorganik. sebagai proses oksidasi bahan organik yang terjadi didalam sel dan berlangsung secara aerobik maupun anaerobik. Dalam respirasi aerob diperlukan oksigen dan dihasilkan karbondioksida serta energi. Sedangkan dalam respirasi anaerob dimana oksigen tidak atau kurang tersedia dan dihasilkan senyawa selain karbondiokasida, seperti alkohol, asetaldehida atau asam asetat dan sedikit energi. (Lovelles, 1997). Semua sel aktif terus menerus melakukan respirasi, sering menyerap O 2 dan melepaskan CO 2 dalam volume yang sama. Namun seperti kita ketahui, respirasi lebih dari sekadar pertukaran gas secara sederhana. Proses keseluruhan merupakan reaksi oksidasi-reduksi, yaitu senyawa dioksidasi menjadi CO 2 dan O 2 yang diserap direduksi menjadi H 2 O. Pati, fruktan, sukrosa, atau gula yang lainnya, lemak, asam organik, bahkan protein dapat bertindak sebagai substrat respirasi. (Salisbury & Ross, 1995) Karbohidrat merupakan substrat respirasi utama yang terdapat dalam sel tumbuhan tinggi. Terdapat beberapa substrat respirasi yang penting lainnya diantaranya adalah beberapa jenis gula seperti glukosa, fruktosa, dan sukrosa; pati; asam organik; dan protein (digunakan pada keadaan & spesies tertentu). Secara umum, respirasi karbohidrat dapat dituliskan sebagai berikut: C 6 H 12 O 6 + O 2 6CO 2 + H 2 O + energi Reaksi di atas merupakan persamaan rangkuman dari reaksi-reaksi yang terjadi dalam proses respirasi. (Danang, 2008) adalah proses utama dan penting yang terjadi pada hampir semua makluk hidup, seperti halnya buah. Proses respirasi pada buah sangat bermanfaat untuk melangsungkan proses kehidupannya. Proses respirasi ini tidak hanya terjadi pada waktu buah masih berada di pohon, akan tetapi setelah dipanen buahbuahan juga masih melangsungkan proses respirasi. Pada gambar berikut tersaji kurva hubungan antara pertumbuhan buah dengan jumlah CO 2 yang dikeluakan selama respirasi (Dwiari, 2008).
Gambar 1. Skema (kurva) hubungan antara proses pertumbuhan dengan jumlah CO2 yang dikeluarkan (Syarief H., dkk., 1977) Pada gambar tersebut terlihat bahwa jumlah CO 2 yang dikeluarkan akan terus menurun, kemudian pada saat mendekati senescene produksi CO 2 kembali meningkat, dan selanjutnya menurun lagi. Buah-buahan yang melakukan respirasi semacam itu disebut buah klimaterik, sedangkan buah-buahan yang jumlah CO 2 yang dihasilkannya terus menurun secara perlahan sampai pada saat senescene disebut buah nonklimaterik. Berbagai faktor lingkungan dapat mempengaruhi laju respirasi, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Ketersediaan substrat 2. Ketersediaan oksigen 3. Suhu 4. Jenis dan umur tumbuhan Pada praktikum kali ini faktor lingkungan yang diperhatikan dalam pengukuran laju respirasi adalah suhu dengan sampel yang digunakan adalah jeruk, alpukat, timun, dan apel. Alpukat dan apel merupakan buah klimakterik, sedangkan timun, jeruk merupakan buah non klimakterik. Langkah-langkah yang dilakukan dalam menetukan pola respirasi ini diantaranya dengan menggunakan 5 buah bejana berupa topless. Topless pertama berisi larutan Ca(OH) 2 jenuh dan topless ke dua berisis larutan NaOH 0,1 N. Penggunaan Ca(OH) 2 bertujuan untuk mengikat gas CO 2 yang terkandung dalam udara yang dialirkan melalui aerator. Topless ke tiga berisi sampel buah yang akan melakukan respirasi dan es batu
yang berfungsi sebagai indikator pengaruh suhu terhadap laju respirasi buah, sedangkan toples ke empat dan ke lima berisi NaOH 0,1 N. Setelah aerator dinyalakan selama 1 jam, NaOH yang terdapat pada toples ke empat dan ke lima dicampurkan untuk selanjutnya dilakukan titrasi terhadap HCl dengan menggunakan indikator phenolpthalein (PP), sehingga satuan dari laju respirasi adalah mg CO 2 /kg/jam. Hasil pengamatan pengaruh suhu terhadap laju respirasi dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Pengaruh Suhu Terhadap Buah Klimakterik dan Non Klimakterik Jeruk (blanko: 89,7 ml) Hari Ke- Warna tua (+++++) tua tua tua tua Aroma - - - - - Tekstur (++) Berat (gram) 407 403 401 399 397 Vol. HCl (ml) 27,2 23,21 27 27,6 22,58 Suhu ( 0 C) 19 17 17 13 82,16 257,23 92,17 66,17 289,047 Alpukat (blanko: 89,7 ml) Hari Ke- Warna tua tua tua Aroma - - - - - Tekstur (++) (+) (+++++) Berat (gram) 409 412 412 416 419 Vol. HCl (ml) 27,6 27 24 28,5 24,5 Suhu ( 0 C) 19 10 13 15 16 64,54 4,27 217,86 25,38 193,22 Timun (blanko: 89,7 ml) Hari Ke- Warna Aroma ++++ ++++ ++++ ++++ ++++ Tekstur
Berat (gram) 291 290 287 289 306 Suhu ( 0 C) 20 18 14 21 20 Vol. HCl (ml) 27,9 27,8 28,9 27,8 22,08 116,59 33,48 58,67 54,84 329,23 Apel (blanko: 89,7 ml) Hari ke- Warna (++) (+++++) Aroma - - - - - Tekstur (++) (+++++) Berat (gram) 317 368 360 353 350 Vol. HCl (ml) 27 28,4 27,9 28 27,3 Suhu ( 0 C) 21 18,5 16 19 18 72,58 78,897 12,264 79,169 403,764 Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2011 Adapun laju respirasi dari sampel buah-buahan yang digunakan dalam praktikum jika disajikan dalam bentuk grafik adalah sebagai berikut: 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 terhadap waktu hari ke - 1 hari ke -2 hari ke - 3 hari ke - 4 hari ke - 5 waktu jeruk Alpukat timun apel Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa baik warna, aroma, tekstur maupun berat dari semua buah yang dijadikan sample berubah. Proses ini disebut sebagai proses pematangan. Proses pematangan diartikan sebagai suatu fase akhir dari proses penguraian substrat dan merupakan suatu proses yang dibutuhkan oleh bahan untuk mensintesis enzim-enzim yang spesifik yang diantaranya digunakan
dalam proses kelayuan. Perubahan yang secara umum mudah diamati dalam proses pematangan ini diantaranya berubahnya warna kulit yang tadinya berwarna menjadi semakin terang, buah yang tadinya bercita rasa asam menjadi manis, tekstur yang tadinya keras menjadi lunak, serta timbulnya aroma khas karena terbentuknya senyawa-senyawa volatil atau senyawa-senyawa yang mudah menguap. Selain mengalami pematangan, setelah pemanenan buah-buahan pun mengalami laju respirasi. respirasi lebih cepat jika suhu penyimpanan tinggi, umur panen muda, ukuran buah lebih besar, adanya luka pada buah dan kandungan gula awal yang tinggi pada produk (Winarno dan Aman, 1981). Metode yang umum digunakan untuk menurunkan laju respirasi buah-buahan segar adalah pengontrolan suhu ruang penyimpanan. Pengontrolan suhu untuk mengendalikan laju respirasi produk hasil pertanian sangat penting artinya dalam usaha memperpanjang umur simpan produk tersebut. Metode yang umum digunakan adalah penyimpanan dengan pendinginan karena sederhana dan efektif. Menurut Broto (2003), prinsip penyimpanan dengan pendinginan adalah mendinginkan lingkungan secara mekanis dengan penguapan gas cair bertekanan (refrigerant) dalam sistem tertutup. Menurut Kays (1991), untuk beberapa produk hasil pertanian, dengan kenaikan suhu penyimpanan sebesar 10 0 C akan mengakibatkan naiknya laju respirasi sebesar 2 sampai 2.5 kali, tetapi di atas suhu 35 0 C laju respirasi akan menurun karena aktivitas enzim terganggu yang menyebabkan terhambatnya difusi oksigen. Pengaruh faktor suhu bagi laju respirasi tumbuhan sangat terkait dengan faktor Q 10, dimana umumnya laju reaksi respirasi akan meningkat untuk setiap kenaikan suhu sebesar 10 o C, namun hal ini tergantung pada masing-masing spesies. Bagi sebagian besar bagian tumbuhan dan spesies tumbuhan, Q 10 respirasi biasanya 2,0 sampai 2,5 pada suhu antara 5 dan 25 C. Bila suhu meningkat lebih jauh sampai 30 atau 35 C, laju respirasi tetap meningkat, tapi lebih lambat, jadi Q 10 mulai menurun. Penjelasan tentang penurunan Q 10 pada suhu yang tinggi ini adalah bahwa laju penetrasi O 2 ke dalam sel lewat kutikula atau periderma mulai menghambat respirasi saat reaksi kimia berlangsung dengan cepat. Difusi O 2 dan
CO 2 juga dipercepat dengan peningkatan suhu, tapi Q 10 untuk proses fisika ini hanya 1,1 ; jadi suhu tidak mempercepat secara nyata difusi larutan lewat air. Peningkatan suhu sampai 40 C atau lebih, laju respirasi menurun, khususnya bila tumbuhan berada pada keadaan ini dalam jangka waktu yang lama. Nampaknya enzim yang diperlukan mulai mengalami denaturasi dengan cepat pada suhu yang tinggi, mencegah peningkatan metabolik yang semestinya terjadi. (Salisbury & Ross, 1995) Faktor lain yang dapat mempengaruhi laju respirasi adalah luka memar. Langkah-langkah yang dilakukan dalam praktikum ini hampir sama dengan pada praktikum sebelumnya dan dengan sampel yang sama pula. Jika pada praktikum sebelumnya buah yang disimpan pada toples ke 3 diisi dengan es, pada praktikum kali ini buah yang akan diukur laju respirasinya dilukai atau dimemarkan terlebih dahulu. Adapun hasil pengamatan pengaruh suhu terhadap laju respirasi dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Pengaruh Luka/Memar Terhadap Buah Klimakterik Warna kekuningan dan Non Klimakterik Jeruk (blanko: 28 ml) Hari Ke- kekuningan kekuningan kekuningan (++) (++) Kuning Aroma Khas jeruk Khas jeruk (++) Khas jeruk (++) Khas jeruk (++) Khas jeruk Tekstur Berat (gram) 447 436 428 417 406 Vol. HCl (ml) 25,9 28,5 28,5 28,5 24 62,68-20,18-20,56 0 173,39 Alpukat (blanko: 28 ml) Hari ke- Warna tua tua tua tua tua Aroma - - - - Aroma alpukat (+) Tekstur (++) (++) (+)
Berat (gram) 510 492 490 485 481 Vol. HCl (ml) 23,9 24 24,6 25 25,3 141,49 143,09 122,12 108,87 98,79 Timun (blanko: 28 ml) Hari ke- Warna (++) (+) (+++++) Aroma - - - Bau busuk (+) Berair, bau busuk (++) Tekstur (++) (+) (+) (+++++) Berat (gram) 340 352 306,4 300 289 Vol. HCl (ml) 27,9 25,5 27,5 24,5 27,4 5,176 125 28,72 205,33 36,54 Apel (blanko: 28 ml) Hari ke- Warna kemerahan kemerahan kemerahan kemerahan kemerahan Aroma - - ++ ++ ++ Tekstur (+++++) (+++++) Berat (gram) 525 520 517 510 510 Vol. HCl (ml) 27,65 27,50 28,30 26,70 26,5 11,73 16,92-10,21 44,86 51,76 Sumber: Dokumentasi pribadi, 2011 Luka mekanis biasanya menyebabkan sementara terjadi kenaikan respirasi dan pembelahan sel pada lokasi luka itu. Jaringan protektif yang baru kemungkinan terbentuk yang akan dapat mencegah desikasi dan mencegah masuknya mikroorganisme. pada jaringan yang luka terjadi sintesis mrna yang berakibat naiknya kadar polisom dan sintesa protein. Dalam beberapa hal jaringan mempunyai kemampuan untuk membentuk senyawa fungitoksik sebagai respon terhadap luka atau invasi patogen. Senyawa ini disebut fitoaleksin. Aktivitas dari enzim-enzim yang menyangkut respon terhadap luka dipengaruhi oleh hormon sitokinin, auksin dan etilen. Warna cokelat yang terbentuk pada bagian komoditi yang terpotong atau memar adalah akibat oksidasi senyawa fenol seperti asam
klorogenat oleh enzim polifenoloksidase menjadi produk akhir yang disebut melanoidin (Taranggono, 1989). Selain itu, Luka pada buah akan mempercepat laju respirasi sehingga mempercepat proses pembusukan karena etilen akan menstimulir reaksi enzimatis dalam buah-buahan. Kerusakan pada jaringan buahbuahan akan menaikkan laju respirasi sedangkan pembentukan etilen terhambat. Berdasarkan hasil praktikum, buah yang mengalami luka memar jika dibandingkan dengan buah yang disimpan dengan es selama 5 hari akan mengalami proses kebusukan yang lebih cepat. Hal ini terjadi karena pada buah yang mengalami luka memudahkan mikroorganisme untuk masuk ke dalam buah tersebut. Sedangakn buah yang disimpan pada suhu dingin atau es lebih segar karena mikroorganisme tidak tahan pada suhu dingin, hanya mikroorganisme tertentu saja yang tahan terhadap suhu dingin. Pengaruh lain terhadap laju respirasi yang dilakukan dalam praktikum ini selain suhu dan luka memar adalah etilen. Sampel buah-buahan yang digunakan masih sama dengan praktikum sebelumnya yaitu jeruk, alpukat, timun dan apel. Langkah-langkah yang dilakukan dalam praktikum ini diantaranya 1 sendok karbit dituangkan ke dalam sehelai kain kemudian kain tersebut diikat dan diperciki air lalu bersama-sama dengan sampel buah dimasukkan ke dalam kantong plastik berwarna gelap. Selanjutnya disimpan sehari kemudian dilakukan pengamatan yang sama seperti halnya pada praktikum pengaruh suhu yaitu dengan melakukan aerasi. Adapun hasil dari pengamatan pengaruh etilen terhadap laju respirasi dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Pengaruh Etilen Terhadap Buah Klimakterik dan Non Klimakterik Jeruk (blanko: 24,5 ml) Hari Ke- 1 2 3 4 Berat (gram) 499 498,73 498,02 496 Warna kekuningan kekuningan kekuningan kekuningan (+++++) Tekstur (+) (+) (+) (+) Aroma Aroma jeruk Aroma jeruk (+) Aroma jeruk (++) -
Vol. HCl (ml) 28 28 26,5 53,23 0 0 53,01 53,23 Alpukat Hari Ke- 1 2 3 4 Berat (gram) 435 434,49 433,24 432,31 Warna Ungu Ungu Coklat Coklat kehitaman Tekstur (++) (+) lunak(+) Aroma - - - - Vol. HCl (ml) - 28,2 24,7 27,8 36,41 178,22 52,81 Timun 1 2 3 4 Berat (gram) 463 460 477 490 Warna (+) kekuningan Tekstur (+) Berair dan lunak Berair dan lunak Aroma - Memar bau Bau busuk Bau busuk khas Vol. HCl (ml) 27,5 25 24 25 19,01 114,78 147,59 107,76 Apel Hari Ke- 1 2 3 4 Berat (gram) 453 452,90 452,40 451,70 Warna (+++++) (+++++) Tekstur (++) (+) Aroma Khas apel Khas apel Khas apel Khas apel Vol. HCl (ml) 31,30 28,50 27,3 27,0-128,21-19,43 27,23 38,96 Sumber: Dokumentasi pribadi, 2011 Mekanisme kerja etilen dalam hunungannya dengan permeabilitas sel ialah karena etilen adalah senyawa yang larut di dalam lemak sedangkan memban dari
sel terdiri dari senyawa lemak. Oleh karena itu etilen dapat larut dan menembus ke dalam membran mitokondria. Apabila mitokondria pada fase pra klimakterik diekraksi kemdian ditambah etilen, ternyata terjadi pengembangan volume yang akan meningkatkan permeablitas sel sehingga bahan-bahan dari luar mitokondria akan dapat masuk. Dengan perubahan-perubahan permeabilitas sel akan memungkinkan interaksi yang lebih besar antara substrat buah dengan enzimenzim pematangan. Dengan kata lain etilen dapat menginduksi perubahan permeabilitas membran mitokondria, jadi memberikan kesempatan perpindahan ATP dan oleh sebab itu mendorong berlangsungnya klimakterik dan juga berbagai reaksi sintesa lainnnya (Tranggono, 1989). Selama produksi etilen berlangsung bersamaan dengan kenaikan klimakterik proses penuaan buah, maka kedua proses tersebut saling berkaitan satu sama lain. Namun demikian, ada kemungkinan terdapatnya proses penghambatan pada salah satu dari dua proses tersebut tanpa mempengaruhi proses lainnya. Produksi etilen juga dipengaruhi oleh faktor suhu dan oksigen. Suhu rendah maupun suhu tinggi dapat menekan produksi etilen. Pada kadar oksigen di bawah sekitar 2 % tidak terbentuk etilen, Pada 40 0 C produk etilen dapat dihentikan, sementara itu proses respirasi masih tetap aktif. Hal ini menunjukkan bahawa produksi etilen dapat dihambat dengan tanpa mempengaruhi kecepatan laju respirasi, sedangkan proses sebaliknya adalah tidak mungkin (Tranggono, 1989). Etilen selain dapat memulai klimakterik, juga dapat mempercepat terjadinya klimakterik terutama pada buahbuahan yang mempunyai pola respirasi klimakterik. Sedangkan pada buah-buahan yang tergolong non klimakterik dengan penambahan etilen pada konsentrasi tinggi akan menyebabkan perubahan pola respirasi. Berdasarkan hasil pengamatan pada praktikum dapat disimpulkan bahwa etilen dan luka memar dapat memeprcepat laju reaksi dan luka memar dapat mempercepat kebusukan pada buah. Sedangkan suhu rendah atau es dapat menghambat pembusukan dan laju respirasi. membutuhkan O 2 dan menghasilkan zat sisa metabolisme berupa uap air, CO 2 dan panas sebagai entropi (energi panas yang tidak termanfaatkan). Bila respirasi berjalan sempurna, dari pembakaram substrat (karbohidrat, lipida, atau protein) akan dihasilkan rasio CO 2 /O 2 tertentu yang disebut dengan
Respiratory quotient [RQ]. dengan substrat lipida akan diperoleh RQ<1, dan RQ=1 untuk substrat glukosa. (Suyitno, 2007) Dengan kata lain, perbedaan antara jumlah CO 2 yang dilepaskan dan jumlah O 2 yang digunakan dikenal dengan Respiratory Ratio atau Respiratory Quotient dan disingkat RQ. Nilai RQ ini tergantung pada bahan atau subtrat untuk respirasi dan sempurna atau tidaknya proses respirasi tersebut dengan kondisi lainnya (Simbolon, 1989). Tergantung pada bahan yang digunakan, maka jumlah mol CO2 yang dilepaskan dan jumlah mol O2 yang diperlukan tidak selalu sama. Diketahui nilai RQ untuk karbohidrat = 1, protein < 1 (= 0,8 0,9), lemak <1 (= 0,7) dan asam organik > 1 (1,33). Nilai RQ ini tergantung pada bahan atau subtrat untuk respirasi dan sempuran tidaknya proses respirasi dan kondisi lainnya (Krisdianto dkk, 2005).
VII. KESIMPULAN rspirasi dapat dipengaryhi oleh suhu, luka memar dan etilen Suhu dapat menurunkan laju respirasi Luka memar dapat meningkatkan laju respirasi dan menyebabkan proses pembusukan buah menajdi lebih cepat karena mikroorganisme dapat masuk ke dalam buah. Etilen dapat mempercepat laju respirasi
DAFTAR PUSTAKA Lovelles. A. R. 1997. Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan untuk daerah Tropik. Jakarta:PT Gramedia. Salisbury, Frank and Ross, Cleon. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. Bandung: Penerbit ITB Tranggono, Sutardi. 1989. Biokimia dan Teknologi Pasca Panen. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Winarno, F.G. 1992. Kimia Panan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Jawaban Pertanyaan 1. Pada penyimpanan suhu dingin untuk buah juga sering terjadi kerusakan chilling injury. Apa dan bagaimana hal ini terjadi? Chilling injury adalah rusaknya bahan pangan yang disebabkan oleh penyimpanan dingin, hal ini dapat terjadi karena adanya kepekaan suatau bahan pangan terhadap suhu rendah, daya tahan dinding sel yang terbatas.