Sektor Informal yang Teroganisasi: Menata Kota untuk Sektor Informal

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kota merupakan sarana untuk menuju perbaikan kualitas

I. PENDAHULUAN. permintaan tenaga kerja dan penawaran tenaga kerja di Indonesia. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sejalan dengan semakin banyak negara Asia Tenggara menjadikan

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk yang pada gilirannya merupakan penawaran tenaga kerja yang

BAB I PENDAHULUAN. masih tergolong tinggi. Saat ini jumlah pengangguran di Indonesia terbuka ada 7,7 juta jiwa.

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perhatian perencanaan pembangunan, terutama di negara sedang berkembang, dan

BAB I PENDAHULUAN. Pada sebuah pembangunan dapat mendatangkan dampak berupa manfaat yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. populasi dan pendapatan per kapita negara-negara anggota ASEAN. Dimana, Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Policy Brief Globalisasi, Pertumbuhan, dan Disadvantaged Labours di Indonesia: Analisa dan Implikasi Kebijakan. Oleh: Deni Friawan & Carlos Mangunsong

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. lima jalan Kapten Muslim Kota Medan. Kajian penelitian ini dilatar belakangi

BAB I PENDAHULUAN. mempersempit ruang gerak di sebuah wilayah. Dimana jumlah pertumbuhan penduduk tidak

KAJIAN KARAKTERISTIK PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DALAM BERAKTIVITAS DAN MEMILIH LOKASI BERDAGANG DI KAWASAN PERKANTORAN KOTA SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan kondisi perekonomian negara tidak stabil, hal ini

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Sejak era reformasi di Indonesia, berbagai pihak termasuk pemerintah

BAB V PENUTUP. pemerintah Indonesia telah melakukan ratifikasi Piagam ASEAN kedalam. hukum nasional Indonesia dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. fungsional dalam proses produksi yang bertindak sebagai faktor produksi. Sisi

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam arti tingkat hidup yang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan suatu hal yang mutlak diperlukan. Seperti diketahui, negara

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Era globalisasi yang terjadi saat ini menimbulkan persaingan

FENOMENA PASAR KREMPYENG MALAM HARI PETERONGAN KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR TKP 481. Oleh: VERA P.D. BARINGBING L2D

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dan beberapa daerah perkotaan mempunyai pola. baik di daerah pedesaan dan perkotaan. Dualisme kota dan desa yang terdapat

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA FEBRUARI 2009

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hal ini dapat tercapai bila jumlah supply tenaga kerja yang besar

BAB I PENDAHULUAN. berkembang pesat dan semakin luas di berbagai kota di Indonesia.

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA AGUSTUS 2012

BAB I PENDAHULUAN. menentukan maju tidaknya suatu negara. Menurut Adam Smith (2007) tidak ada masyarakat

I. PENDAHULUAN. yang ada. Sebagai contoh laporan World Wild Fund (WWF) pada tahun 2005

I. PENDAHULUAN. lapangan kerja dan menyediakan barang/jasa murah, serta reputasinya sebagai

I PENDAHULUAN. Diakses 17 juli Guritno Kusumo Statistik Usaha Kecil dan Menengah.

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR YAIK SEMARANG (Studi Kasus : Persepsi Pengunjung Dan Pedagang) TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. cara untuk mencapai keadaan tersebut. Adanya pembangunan selain

BAB IV KONDISI TENAGA KERJA KONSTRUKSI. Tenaga kerja konstruksi merupakan bagian dari sektor konstruksi yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. dampak positif juga memberi dampak negatif terutama ditunjukkan oleh

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sebagai Kota yang telah berusia 379 tahun, Tanjungbalai memiliki struktur

Perdagangan, Pertumbuhan Ekonomi, dan Lapangan Kerja *

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Meningkatnya jumlah tenaga kerja yang tidak seimbang dengan sempitnya

BPS PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HASIL PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN PECINAN SEMARANG TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Nia Nurlina, 2013

BAB I PENDAHULUAN. kota tersebut. Namun sebagian besar kota-kota di Indonesia tidak dapat memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah. Sehingga kebijakan tidak bersifat satu arah. Kebijakan bisa dibilang

BAB I PENDAHULUAN. terkecuali di Indonesa. Peranan UMKM dalam perekonomian Indonesia diakui

BAB I PENDAHULUAN. besar-besaran dari perusahaan-perusahaan swasta nasional. Hal ini berujung pada

BAB I PENDAHULUAN. Sejak terjadinya krisis ekonomi dan moneter yang dialami oleh bangsa

BAB I PENDAHULUAN. Apalagi untuk kehidupan di kota-kota besar, seperti: Jakarta, Bandung, Semarang,

KINERJA PENCIPTAAN LAPANGAN KERJA TIGA PEMERINTAHAN

adalah 70-80% angkatan kerja bergerak disektor informal. Sektor informal memiliki

BAB I PENDAHULUAN. perhatian yang khusus oleh pemerintah seperti halnya sektor industri dan jasa.

BAB I PENDAHULUAN. Sektor informal memiliki peran yang besar di negara-negara sedang

BAB I PENDAHULUAN. Filipina, Malaysia dan lainnya yang mengalami distorsi ekonomi yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu tantangan pembangunan di Indonesia saat ini adalah mengatasi

BAB I PENDAHULUAN. seperti Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Hal ini tentunya membuat jumlah

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat Urbanisasi tertinggi di

BAB I PENDAHULUAN. pesat karena kota saat ini, dipandang lebih menjanjikan bagi masyarakat desa

BAB I PENDAHULUAN. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) terbukti memiliki peran dan

[ OPISSEN YUDISYUS ]

Dampak Positif UMKM Perempuan Kurangi Angka Kemiskinan

PENGARUH PERSEBARAN LOKASI UMKM BERBASIS RUMAH (HOME BASED ENTERPRISES) TERHADAP PENDAPATAN RUMAH TANGGA DI KEL. BUGANGAN DAN JL.

BAB I PENDAHULUAN. Barat, sekaligus menjadi Ibu Kota Provinsi tersebut. Kota ini terletak 140 km

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2015

BAB I PENDAHULUAN. otoriter juga dipicu oleh masalah ekonomi dan adanya perubahan sosial dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. menarik orang mendatangi kota. Dengan demikian orang-orang yang akan mengadu nasib di

BAB I PENDAHULUAN. Ketimpangan pendapatan yang dialami di masyarakat saat ini. memberikan efek peningkatan kemiskinan dan memperburuk keadaan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PERUMAHAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS POLA PERJALANAN MASYARAKAT KOTA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan berlangsungnya proses demografis. Pada tahun 2004, di Jawa. 1,07 persen bila dibanding tahun 2003 (BPS, 2004).

BAB 1 PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan

BAB I. Pendahuluan Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah yang menjadi perhatian utama

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2016

TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2008 SEBESAR 6,04 PERSEN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Indonesia sebagai negara berkembang saat ini sedang giat melaksanakan

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA AGUSTUS 2008

BAB I PENDAHULUAN. dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan

Indonesia: Tren Sosial dan Ketenagakerjaan (terbaru) November Tren tahun 2015 memperlihatkan penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi...

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Astri Nuraeni Kusumawardani, 2014

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sektor-sektor yang dapat memperlihatkan tingkat pertumbuhan

BAB IV KEPENTINGAN INDONESIA DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN PERBURUHAN. 95 memang terkait dengan tidak mewajibkan meratifikasi konvensi tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini peranan dan partisipasi usaha kecil dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Melebihi Batas Pertanian

Perkembangan Pasar Modern dan Pasar Tradisional

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan di segala sektor diharapkan dapat mewujudkan struktur ekonomi yang

KEADAAN KETENAGAKERJAAN BANTEN FEBRUARI 2017

HUBUNGAN KARAKTER AKTIVITAS DAN KARAKTER BERLOKASI PKL DI KOTA SURAKARTA

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Determinan simpanan masyarakat di perbankan wilayah Eks-Karesidenan F

Transkripsi:

Sektor Informal yang Teroganisasi: Menata Kota untuk Sektor Informal Haryo Winarso Gede Budi 1 Pengantar Istilah sektor informal biasanya digunakan untuk menunjukkan sejumlah kegiatan ekonomi yang berskala kecil. Sektor informal di kota terutama harus dipandang sebagai unit-unit berskala kecil yang terlibat dalam produksi dan distribusi barang-barang yang masih dalam suatu proses evolusi daripada dianggap seagai sekelompok perusahaan yang berskala kecil dengan masukanmasukan (inputs) modal dan pengelolaan (managerial) yang besar (Sethurahman, 1996). Kota-kota utama di negara sedang berkembang, seperti Indonesia, memiliki konsentrasi penduduk yang tinggi dan berkontribusi terhadap tumbuhnya tenaga kerja informal (Riddel, 1997; Lyons and Snoxell, 2005). Di negara-negara Afrika, sektor informal diperkirakan menyediakan lapangan kerja sekitar 60% dari lapangan kerja yang tersedia dan lebih dari 90 persen pada tahun 2000 (Charmes, 2000). Sebagian besar merupakan home working dan PKL (ILO, 2002). Hal ini menunjukkan bahwa peran sektor informal masih sangat besar dalam menggerakan perekonomian kota. Peran sektor informal kota sangat strategis sebagai katup pengaman pengangguran. Di berbagai kota besar, ketika situasi krisis melanda Indonesia dan pengangguran terjadi di mana-mana, maka peluang satu-satunya yang dapat menyelamatkan kelangsungan hidup jutaan korban PHK dan pengangguran dari desa adalah sektor informal. Di Jakarta, misalnya, sektor informal yang ada menurut survei BPS DKI Jakarta ternyata mampu menyerap 193 ribu tenaga kerja (Koran Tempo, 13/2 dalam Suyanto, 2006). Informal sektor di Indonesia memberikan kontribusi yang cukup besar dalam penyerapan tenaga kerja. 1 Haryo Winarso, PhD dan Ir Gede Budi MT dari Kelompok Keahlian Perencanaan dan Perancangan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung

Menurut laporan yang disusun oleh World Bank pada tahun 1993, sektor formal terhitung kurang dari 32% dari populasi tenaga kerja 2. Sementara 68% bekerja di sektor informal. Sethurahman juga telah melakukan studi komprehensif tentang sektor informal di Indonesia 3. Berdasarkan studi tersebut, pada awal tahun 1980-an, kontribusi pekerja informal sektor di bidang manufaktur sebesar 48% dan di bidang perdagangan dan restaurant 0%. Keseluruhan pekerja informal sektor adalah 53,8 % dari total jumlah pekerja. Penemuan ini juga menguatkan studi sebelumnya, yang menyebutkan sejak awal 1980-an, 53,4 % pekerja di bidang non-pertanian termasuk dalam informal sektor 4. Pertumbuhan ekonomi selama pembangunan jangka panjang pertama berkisar antara 5-8 persen per tahun, proporsi pekerja sektor informal, khususnya di perkotaan cenderung meningkat. Pada 1971 proporsi pekerja sektor informal terhadap jumlah angkatan kerja di kota mencapai sekitar 25 persen. Angka ini meningkat menjadi sekitar 36 persen pada 1980 dan menjadi 42 persen pada tahun 1990. Tahun 2000 angka tersebut menjadi sekitar 65 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sektor informal masih cukup dominan menyerap angkatan kerja khususnya di perkotaan. Selain itu perkembangan ekonomi belum dapat mengatasi persoalan klasik keterbatasan peluang kerja (Firnandy, 1998). Di Indonesia aktifitas yang sering didefiniskan sebagai sektor informal ini antara lain adalah: pedagang kaki lima, pedagang asongan, penjual jasa semir sepatu, penyedia payung di waktu hujan, penjual air dorongan, pembantu parkir tak berseragam. Persoalan Sektor Informal Selain kenyataan bahwa sektor informal bisa menjadi katup penyelamat dan mendorong pertumbuhan ekonomi perkotaan, sektor informal juga menjadi salah satu penyebab persoalan penataan ruang dan ekonomi perkotaan, 2 Franck Wiebe, 1996, Income Insecurity and Underemployment in Indonesia s Informal Sector, Policy Research Working Paper No. 1639 (Washington, DC, World Bank East Asia and Pacific Country Department III, Indonesia Policy and Operations Division), pp. 2-3. 3 S.V. Sethuraman, 1997, Urban Poverty and the Informal Sector: A Critical Assessment of Current Strategies (Geneva, International Labour Organization). 4 J.S. Uppal, 1988, Informal sector in Jakarta, in The Asian Economic Review, Indian Institute of Economics, vol. XXX, No. 2, pp. 230-245.

Ketidak efisien an Adanya sektor informal di perkotaan secara umum sebenarnya juga menunjukkan adanya ketidak efisienan ekonomi perkotaan. Pada masalah perparkiran misalnya, kota-kota seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya bisa mendapatkan pemasukan yang sangat besar dari perparkiran yang saat ini lebih banyak dilakukan oleh sektor informal. Informasi yang belum dikonfirmasikan menyatakan bahwa di Bandung uang yang didapatkan dari perparkiran ini bisa mencapai lebih dari 4,5-5 Milyar Rupiah setahun. Hal yang sama juga terjadi pada aktifitas perdagangan informal. Retribusi informal yang dikenakan kepada pedagang kaki lima oleh preman-preman bisa mencapai angka yang hampir sama dengan perparkiran dalam setahunnya. Keadaan itu juga menunjukkan ada distribusi pendapatan yang tidak merata. Preman, ataupun apapun namanya yang mengelola secara informal pelaku sektor informal ini menerima uang yang sangat besar jumlahnya sementara pelaku sektor informal bisa dikatakan tidak menerima peningkatan pelayanan apapun dari kota, selain keamanan pelaku sector informal dari perusakan. Dari sisi konsumen, sebenarnya tidak pula semua diuntungkan dengan harga murah, karena untuk beberapa jenis jasa tertentu konsumen dari sektor informal ini sebenarnya membayar lebih mahal. Sebagai contoh adalah konsumen air bersih dari penjaja air informal. Konsumen untuk jenis ini sangat dirugikan oleh ketidak mampuan pemerintah kota menyediakan air bersih. Kesemerawutan Banyaknya sektor informal dalam bentuk penyedia barang; yang dilakukan dengan cara membuka lapak ataupun menjaja dalam kereta dorong, seringkali menjadikan kesemrawutan pada ruang-ruang kota. Jika mereka ini menjajakan secara sembarangan dipinggir jalan, maka yang terjadi adalah kemacetan. Lagi-lagi keadaan ini menyebabkan pemborosan yang besar, baik dilihat dari segi energy dan waktu. Ketidak aturan seperti itu tidak hanya menyebabkan kemacetan tetapi juga pemandangan yang tidak baik dan seringkali sektor informal seperti ini menyebakan kerusakan lingkungan dengan buangannya yang sembarangan. Pedangang Kaki Lima sebagai salah satu bentuk aktifitas sektor

informal ini juga seringkali mengganggu pejalan kaki karena menutupi jalan yang seharusnya dipakai oleh pejalan kaki. Mengorganisasikan Sektor Informal Diskusi di atas ingin menunjukkan bahwa sebenarnya sektor informal, selain mempunyai dampak yang positif juga membawa dampak yang negative. Memformalkan sector informal agaknya masih akan sangat sulit, karena pelaku sektor informal ini sebagian besar adalah orangorang yang kurang tinggi pendidikannya dan jumlahnya sangat besar dan terus bertambah. Membiarkan saja sektor informal juga bukan suatu keputusan yang baik, karena sektor ini juga bisa sangat tidak efisien dan bisa membahayakan keamanan lingkungan. Oleh karenanya diperlukan usaha untuk mengatasi dampak negative dan memperbesar dampak positif. Salah satu yang dapat dilaksanakan adalah dengan mengorganisasikan sector informal tanpa harus membuat langsung menjadi formal. Mengorganisasikan sektor informal ini di beberapa kota sudah menunjukkan hasil yang sangat positif. Pemda Surakarta misalnya telah berhasil mengoraganisasikan sektor informal yang mengganggu di salah satu jalan utama dan dipindahkan ke dalam suatu bangunan yang khusus diberikan kepada mereka. Diberikan dalam tanda kutip, karena sebenarnya setelah mereka diorganisasikan dan tinggal di dalam bangunan yang disediakan, mereka diminta membayar iuran bulanan yang tidak besar, namun secara perhitungan ekonomi dalam waktu tertentu sudah bisa membayar biaya pembangunan gedung dan biaya pemeliharaan termasuk membayar satpam dan manajemen. Pemerintah kota Surakarta juga telah berhasil mengorganisasikan penjaja makanan dan memberinya tempat di satu jalan yang secara khusus diubah menjadi tempat penjualan makan di malam hari. Semua usaha pemda Surakarta tersebut telah menunjukkan hasil yang sangat positif. Mengorganisasikan sektor informal tidak harus dilaksankan oleh pemda, walaupun tetntu akan lebih baik kalau pemda turut serta. Di kawasan penjaringan di Jakarta misalnya, Sebuah LSM telah berhasil mengorganisasikan penjualan air bersih secara informal menjadi suatu Community Based Clean Water Provision dengan cara partisipasi masyarakat. Saat ini masyarakat mampu menyediakan air yang cukup bersih melalui pemipaan dan membayar lebih murah dibandingkan

ketika masih membeli eceran dari penjaja informal. Dalam skema ini penjaja air inforla dilibatkan dan kemudian dilatih untuk menjadi pengelola teknis penyediaan air. Mengorganisasikan sector informal ini memang bisa menjadi langkah awal untuk memformalkan aktifitas informal ini. Sebenarnya dengan mengoraganisasikan saja, yang tidak berati memformalkan, pemerintah kota tidak harus mengeluarkan uang yang besar untuk pelayanan yang biasanya harus diberikan pada sector formal. Menata Ruang Kota untuk Sektor Informal Menyediakan ruang untuk sector informal secara cuma-cuma tidak akan menyelesaikan masalah. Karena jika disediakan ruang untuk 100 pelaku sector informal misalnya, maka akan sangat sulit untuk menahan pelaku yang ke 1001 atau 1002 untuk tidak juga masuk ke dalam ruang yang disediakan. Cara menata ruang dengan hanya menyediakan ruang tanpa mengorganisasikan pelaku sektor informal sangat tidak disarankan. Menata ruang kota untuk sektor informal sangat penting, namun penataan ini harus pula diikuti dengan pengorganisasian pelaku sektor tersebut untuk kemudian ditempatkan kedalam ruang ruang yang disediakan. Dengan cara seperti ini mereka akan mampu menjaga supaya pelaku baru yang tidak tercatat dan tidak terorganisasi akan masuk dan menambah kepadatan pada ruang yang disediakan. Namun demikian yang juga sangat penting selain dari menata ruang dan mengorganisasikan pelaku sektor informal adalah mneydiakan lapangan pekerjaan di sektor formal. Pemerintah kota, Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Propinsi maupun Pemerintah Pusat harus mampu menyediakan lapangan pekerjaan formal yang besar yang dapat menyerap kelebihan angkatan kerja. Bagaimanapun, tanpa penyediaan lapangan kerja formal yang cukup, sektor informal ini akan terus ada dan terus bertambah seiring dengan meningkatnya jumlah angkatan kerja. Dan jika ini terus terjadi, maka seberapaun besarnya ruang kota yang disediakan untuk pelaku sektor informal ini tidak akan pernah cukup. Oleh karenanya diperlukan perencanan fisik dan non fisik secara terintegrasi.