5 HASIL PENELITIAN 5.1 Jumlah Produksi YellowfinTuna

dokumen-dokumen yang mirip
6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Diagram TS

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMBAHASAN ... (3) RMSE =

Pengaruh Sebaran Konsentrasi Klorofil-a Berdasarkan Citra Satelit terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tongkol (Euthynnus sp) Di Perairan Selat Bali

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG

II. TINJAUAN PUSTAKA. mengubah berbagai faktor produksi menjadi barang dan jasa. Berdasarkan

I. PENDAHULUAN. 143,5 mm/tahun dengan kelembaban 74% - 85%. Kecepatan angin pada musim

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Gambaran Umum Pelayanan Jasa Pelabuhan Sunda Kelapa

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial. Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL. Gambar 4 Produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru tahun

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH PERUBAHAN DAN VARIABILITAS IKLIM TERHADAP DINAMIKA FISHING GROUND DI PESISIR SELATAN PULAU JAWA

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL TANGKAPAN DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

BAB VI ANALISIS PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEWA DI KELAPA DUA

BAB IV HASIL PENELITIAN

V. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Teluk Pelabuhanratu Kabupaten Sukabumi, merupakan salah satu daerah

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

BAB I PENDAHULUAN. hortikultura,dan 12,77 juta rumah tangga dalam perkebunan. Indonesia

6. TlNGGl PARAS LAUT

Propinsi Banten dan DKI Jakarta

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM?

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016

6 KINERJA OPERASIONAL PPN PALABUHANRATU

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

ABSTRAK. Kata kunci: Suhu Permukaan Laut; Klorofil-a; Ikan Tuna Sirip Kuning (Thunnus albacares); Pancing Ulur ABSTRACT

3 METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Mei 2009 di PPN Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat.

BAB VI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSPOR TEH PTPN

VARIABILITAS SPASIAL DAN TEMPORAL SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KONSENTRASI KLOROFIL-a MENGGUNAKAN CITRA SATELIT AQUA MODIS DI PERAIRAN SUMATERA BARAT

BAB II LANDASAN TEORITIS

Analisis Variasi Cuaca di Daerah Jawa Barat dan Banten

BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN. Pada bab ini, akan disajikan penjelasan mengenai analisis data dan

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS

I. INFORMASI METEOROLOGI

3. METODE. penelitian dilakukan dengan beberapa tahap : pertama, pada bulan Februari. posisi koordinat LS dan BT.

7 KONSEP PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN TELUK BONE

3. METODOLOGI. Gambar 7 Peta lokasi penelitian.

Skema proses penerimaan radiasi matahari oleh bumi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

DAMPAK VARIABILITAS PARAMETER OSEANOGRAFI (SST, KLOROFIL-A DAN TPL) DAN CURAH HUJAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN YELLOWFIN TUNA

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

Lampiran 1 Peta PPN Palabuhanratu

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KATA PENGANTAR. Banjarbaru, Oktober 2012 Kepala Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Ir. PURWANTO NIP Buletin Edisi Oktober 2012

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

I. INFORMASI METEOROLOGI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PRISMA FISIKA, Vol. II, No. 1 (2014), Hal ISSN :

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air (Haile et al., 2009).

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014

Oleh : Fuji Rahayu W ( )

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. berbatasan dengan Laut Jawa, Selatan dengan Samudra Indonesia, Timur dengan

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 4.1 Keadaan Umum Daerah Kabupaten Sukabumi

I. INFORMASI METEOROLOGI

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

3. METODE PENELITIAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

Keywords : sea surface temperature, rainfall, time lag

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS

Keywords : Upwelling, Sea Surface Temperature, Chlorophyll-a, WPP RI 573

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

ROMMY ANDHIKA LAKSONO. Agroklimatologi

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat.

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Karakteristik Nelayan Tangkap Kelurahan Untung Jawa. Pulau Untung Jawa yang berbasis sumberdaya perikanan menyebabkan

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS KEJADIAN HUJAN DISERTAI ANGIN KENCANG DI WILAYAH KOTA PONTIANAK DAN SEKITARNYA KALIMANTAN BARAT TANGGAL 04 DESEMBER 2017

VII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEWA

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan

Transkripsi:

24 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Jumlah Produksi YellowfinTuna Pendataan produksi tuna di PPN Palabuhanratu pada tahun 1993-2001 mengalami perbedaan dengan data produksi tuna pada tahun 2002-2011. Perbedaan ini terlihat pada pengelompokkan jumlah produksi, yaitu pada tahun 1993-2001 jumlah produksi seluruh jenis tuna dijadikan dalam satu data, sedangkan pada tahun 2002-2011 jumlah produksi tuna sudah dikelompokkan berdasarkan jenisnya. Data yang diambil dalam penelitian ini hanya pada 15 tahun terakhir yaitu pada tahun 1997-2011, untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah produksi hasil tangkapan tuna di PPN Palabuhanratu tahun 1997-2011 Tahun Tuna (kg) Perkembangan (kg) (%) 1997 393.246 - - 1998 193.741-199.505-50,73 1999 177.972-157.69-8,14 2000 104.628-733.44-41,21 2001 86.183-18.445-17,63 2002 177.926 91.743 106,45 2003 178.089 163 0,09 2004 641.702 463.613 260,33 2005 1.495.105 853.403 132,99 2006 677.842-817.263-54,66 2007 683.271 5.429 0,80 2008 590.557-92.714-13,57 2009 542.584-47.973-8,12 2010 1.730.949 1.188.365 219,02 2011 1.069.438-661.511-38,22 Sumber: Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu tahun 1997-2011 Catatan: 1997-2001 data seluruh jenis tuna, 2002-2011 data khusus YellowfinTuna Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa jumlah produksi seluruh jenis tuna pada tahun 1997-2002 mengalami fluktuasi. Tahun 1997 jumlah produksi seluruh jenis tuna sebesar 393.246 kg, tetapi mulai tahun 1998-2001 jumlah produksi mengalami penurunan secara terus-menerus dan nilai terendah terjadi tahun 2001 sebesar 86.183 kg. Jumlah produksi mulai mengalami peningkatan pada tahun 2002, yaitu sebesar 177.926 kg. Jumlah produksi tuna mulai dikelompokkan pada tahun 2003, maka jumlah produksi Yellowfin Tuna dapat terlihat fluktuasinya mulai pada tahun 2003. Produksi Yellowfin Tuna 24

25 mengalami keadaan minimum pada tahun 2009 sebesar 542.584 kg. Tahun 2010 produksi Yellowfin Tuna meningkat dan mengalami keadaan maksimum dalam 15 tahun terakhir ini sebesar 1.730.949 kg, tetapi tahun 2011 produksi Yellowfin Tuna mengalami penurunan menjadi 1.069.438 kg. 5.2 Komposisi Ukuran Yellowfin Tuna yang Tertangkap Jenis kapal perikanan yang beroperasi di Palabuhanratu untuk menangkap Yellowfin Tuna ada 4 jenis yaitu kapal gillnet, kapal pancing ulur dan tonda, kapal purse seine dan kapal rawai tuna (long line), dari keempat jenis kapal tersebut hanya 2 jenis yang beroperasi pada saat pengambilan sampel yaitu kapal tonda dan kapal longline. Sampel untuk pengukuran panjang dan berat diambil dari hasil tangkapan kapal tonda karena kapal longline tidak bisa dilakukan pengukuran berat. Gambar 7 Hasil tangkapan YellowfinTuna yang didaratkan Sampel Yellowfin Tuna yang diambil adalah sebanyak 296 ekor, yang memiliki panjang total antara 84-164 cm dan berat antara 0 kg-74,5 kg. Panjang Yellowfin Tuna yang banyak tertangkap berada pada selang ukuran panjang 102-110 cm sebanyak 80 ekor, sedangkan yang sedikit tertangkap adalah yang berukuran 156-164 cm sebanyak 1 ekor. Berat YellowfinTuna yang banyak tertangkap berada pada selang antara 0 n 24,5 kg sebanyak 235 ekor, sedangkan yang sedikit tertangkap berada pada selang 50 n 74,5 sebanyak 1 ekor. 25

26 Tabel 6 Ukuran panjang dan berat Yellowfin Tuna layak tangkap Literatur Length at maturity (cm) Weight at maturity (kg) McPherson (1991) diacu dalam Shaefer (2001) 108 - Fromentin dan Fonteneau (2000) 105 25 Lehodey dan Leroy (1999) 110 - Nootmorn, Yakoh dan Kawises (2005) 110 25 Menurut Nootmorn, Yakoh dan Kawises (2005) data length at maturity Yellowfin Tuna adalah 110 cm dan weigth at maturity Yellowfin adalah 25 kg. Sehingga berdasarkan length at maturity dan weigth at maturity Yellowfin Tuna, didapatkan hasil bahwa terdapat 184 ekor (62,16%) ikan layak tangkap dan 112 ekor (37,84%) ikan tidak layak tangkap untuk panjang ikan. Sementara untuk berat, terdapat 61 ekor (20,61%) untuk ikan layak tangkap dan 235 ekor (79,39%) untuk ikan tidak layak tangkap. Data yang lebih rinci dapat dilihat di Gambar 8a dan 8b. Jumlah hasil tangkapan (ekor) 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 6 26 80 64 64 48 5 2 1 Panjang (cm/ekor) (a) Panjang sampel YellowfinTuna 26

27 250 Jumlah hasil tangkapan (ekor) 200 150 100 50 0 235 60 1 25 50 75 Berat (kg) (b) Sampel berat Yellowfin Tuna Gambar 8 Ukuran Yellowfin Tuna yang tertangkap Gambar 9 Pengukuran panjang Yellowfin Tuna 27

28 Gambar 10 Pengukuran berat Yellowfin Tuna Berdasarkan panjang, jumlah Yellowfin Tuna yang layak tangkap lebih besar dibandingkan dengan Yellowfin Tuna yang tidak layak tangkap walaupun selisihnya tidak terlalu besar. Kondisi yang berbeda terjadi pada berat ikan, karena jumlah yang tidak layak tangkap jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan yang layak tangkap dan memiliki selisih yang besar pula. Rekomendasi untuk pengukuran ikan layak tangkap adalah dengan panjang ikan karena tingkat kematangan gonad ikan dapat diketahui dengan panjang ikan tersebut. 5.3 Parameter Oseanografi 5.3.1 Klorofil-a Data klorofil-a selama 15 tahun terakhir (1997 2011) disajikan pada Gambar 11. Berdasarkan gambar terlihat klorofil-a mengalami perubahan yang signifikan setiap tahunnya. Tahun 1997 konsentrasi klorofil-a mengalami kondisi minimum pada kisaran 0,17 mg/m 3 dan kondisi maksimum berada pada kisaran 0,43mg/m 3, sedangkan nilai median berada pada angka 0,21mg/m 3. Tahun 2011 kondisi minimum dan maksimum klorofil-a mengalami peningkatan yaitu menjadi 0,30 mg/m 3 dan 0,47 mg/m 3, sedangkan nilai median menjadi 0,35 mg/m 3. Peningkatan ini mulai terjadi pada tahun 2000 dan terus menerus mengalami peningkatan setiap tahunnya hingga tahun 2003, meskipun mengalami penurunan pada tahun 2004, 2005, 2007-2009 dan 2011 tetapi klorofil-a cenderung meningkat dibandingkan dengan tahun 1997. Peningkatan konsentrasi 28

Konsentrasi klorofil-a (mg/m3) 29 klorofil-a ini menunjukkan bahwa di perairan Indonesia klorofil-a semakin banyak atau subur. Peningkatan klorofil-a dapat dilihat pada Gambar 11. 0.55 0.50 0.45 0.40 0.35 0.30 0.25 0.20 0.15 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Gambar 11 Fluktuasi konsentrasi klorofil-a Kondisi maksimum tertinggi klorofil-a terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 0,52 mg/m 3 dengan kondisi minimumnya sebesar 0,31 mg/m 3, sedangkan kondisi minimum terendah terjadi pada tahun 1997 sebesar 0,17mg/m 3 dengan kondisi maksimum sebesar 0,43 mg/m 3. Menurut Romimoharto dan Juwana (2001) perubahan yang terjadi pada konsentrasi klorofil-a dapat diakibatkan oleh faktor-faktor lain yang mempengaruhinya, seperti sinar matahari (cahaya) dan cuaca melalui tutupan awan, angin dan secara tidak langsung melalui suhu. Perubahan dari konsentrasi klorofil-a ditunjukkan pada Gambar 12. Tahun 1997 Tahun 1998 29

30 Tahun 1999 Tahun 2001 Tahun 2000 Tahun 2002 Tahun 2003 Tahun 2004 Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010 30

31 Tahun 2011 Gambar 12 Konsentrasi klorofil-a tahun 1997-2011 Berdasarkan Gambar 12 terlihat bahwa konsentrasi klorofil-a berada pada jumlah yang banyak disekitar pulau Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya, Utara Sumatera dan Utara Jawa. Sedangkan pada perairan selatan pulau Jawa konsentrasi klorofil-a pada tahun 1997-2011 cenderung berubah-ubah. Konsentrasi klorofil-a tahun 1997 berada pada kondisi tinggi, dan mengalami penurunan mulai tahun 1998-2006 dan kembali meningkat pada tahun 2007. Tingginya konsentrasi klorofil-a pada tahun 1997 disebabkan adanya nutrient yang berasal dari daratan bukan disebabkan adanya upwelling. Upwelling di Selatan Jawa terjadi pada bulan Juli-Agustus, puncaknya terjadi pada bulan September dan mulai menghilang pada bulan Oktober. Upwelling yang terjadi di Selatan Jawa dipengaruhi oleh sistem angin muson dan perubahan iklim global yaitu El Nino dan La Nina (Dipo, Nurjaya dan Syamsudin 2011). 5.3.2 Suhu permukaan laut Berdasarkan data suhu permukaan laut yang disajikan pada Gambar 13 selama 15 tahun terakhir (1997-2011), menunjukkan bahwa suhu permukaan laut tahun 2000-2009 cenderung berada dalam keadaan konstan. Tahun 1997 suhu permukaan laut mengalami kondisi maksimum sebesar 29 o C dan kondisi minimum sebesar 27 o C, dengan nilai median 28 o C. Tahun 2011 kondisi maksimum dan minimum suhu permukaan laut mengalami peningkatan yaitu menjadi 30 o C dan 28 o C, dengan nilai median 29 o C. Kondisi maksimum tertinggi suhu permukaan laut terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 31 o C dengan kondisi minimumnya sebesar 29 o C, sedangkan kondisi minimum terendah terjadi pada tahun 1997 yaitu sebesar 27 o C dengan kondisi maksimum sebesar 29 o C. 31

Suhu permukaan laut (Celcius) 32 31 30 29 28 27 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Gambar 13 Suhu permukaan laut Gambar 13 menunjukkan, suhu permukaan laut selama 15 tahun terakhir tidak mengalami perubahan yang drastis walaupun terjadi penurunan dan kenaikkan. Hal ini akan berbeda dengan suhu yang terjadi di daratan, yang dimana perubahan suhu akan lebih terasa secara langsung dan terlihat secara jelas perubahannya. Menurut Hutabarat (2001) perbedaan suhu di laut dan di daratan terjadi karena adanya perbedaan kapasitas daratan dan lautan untuk menyimpan panas. Sehingga mengakibatkan daratan akan lebih cepat bereaksi menjadi panas ketika menerima radiasi matahari dibandingkan lautan. Perubahan suhu permukaan laut dapat juga dilihat pada Gambar 14. Tahun 1997 Tahun 1998 Tahun 1999 Tahun 2000 32

33 Tahun 2001 Tahun 2002 Tahun 2003 Tahun 2004 Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 Gambar 14 Suhu permukaan laut tahun 1997-2011 33

34 Gambar 14 menunjukkan perubahan permukaan laut dapat terlihat dari perubahan warna yang terjadi pada setiap tahunnya. Tahun 1997-1999 warna yang tampak tidak seperti tahun-tahun yang lain, ini disebabkan karena data pada tahun tersebut berbeda situs pengambilannya walaupun asalnya sama dari NASA. Sehingga pada saat diolah dalam program seadas tidak hanya menampakkan warna putih pada perairan dan menghasilkan warna yang berbeda dengan tahun lain. Sehingga perubahan suhu permukaan laut yang dapat terlihat pada gambar hanya bisa dilihat perubahannya mulai tahun 2000. Berdasarkan Gambar 14 pada perairan Indonesia tampak warna orange yang mendekati merah dan kuning. Warna kuning menandakan bahwa suhu berada di kisaran 28 o C-29 o C, sedangkan untuk warna orange yang mendekati merah menandakan bahwa suhu berada di kisaran 30 o C-31 o C. Pada gambar mulai tahun 2000-2011 terlihat bahwa memang terjadi perubahan suhu permukaan laut dibeberapa perairan Indonesia tetapi suhu cenderung berada pada kisaran 30 o C-31 o C. Sehingga berdasarkan gambar dapat lebih menguatkan kembali bahwa suhu permukaan laut walaupun mengalami perubahan tetapi perubahan yang terjadi tidak drastis melainkan perlahan-lahan. 5.3.3 Tinggi paras laut Data tinggi paras laut yang dianalisis adalah data 15 tahun terakhir yaitu tahun 1997-2011. Berdasarkan data yang diperoleh tinggi paras laut pada setiap tahunnya cenderung mengalami peningkatan. Tahun 1997 tinggi paras laut mengalami kondisi maksimum sebesar 16 mm dan kondisi minimum sebesar -0,12 mm, dengan nilai median sebesar -1,56 mm. Tahun 2011 kondisi maksimum dan minimum tinggi paras laut mengalami peningkatan yaitu menjadi 45 mm dan 24 mm, dengan nilai median 32 mm. Kondisi maksimum tertinggi tinggi paras laut terjadi pada tahun 2009 sebesar 47 mm dengan kondisi minimum sebesar 25 mm. Perubahan paras laut dapat dilihat di Gambar 15. 34

Tinggi paras laut (mm) 35 50 40 30 20 10 0-10 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Gambar 15 Perubahan tinggi paras laut 5.4 Curah hujan Data curah hujan yang dianalisis merupakan data rata-rata curah hujan yang dikhususkan hanya untuk wilayah Kabupaten Sukabumi karena Palabuhanratu termasuk dalam wilayah Kabupaten Sukabumi. Data yang dianalisis adalah data 15 tahun terakhir (tahun 1997-2011). Berdasarkan Gambar 16, rata-rata curah hujan di wilayah Kabupaten Sukabumi mengalami kondisi maksimum pada tahun 2010 sebesar 4.879 mm. Kondisi minimum terjadi pada tahun 1997 sebesar 1.658 mm. Tahun 2001 rata-rata curah hujan sebesar 2.985 mm mengalami penurunan hingga tahun 2004 menjadi 1.885 mm. Kemudian peningkatan mulai terjadi pada tahun 2005 menjadi 3.659 mm, tetapi tahun 2006 rata-rata curah hujan mengalami penurunan dan terjadi pula pada tahun 2009 menjadi 2.295 mm. 35

36 Curah hujan (mm) 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 1658 3596 3659 3247 3002 2985 2718 2435 2531 2852 2206 2295 1885 4879 2085 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 2011 Tahun Sumber: Data 1997-2010 dari BPS Kabupaten Sukabumi, data 2011 dari DISPARBUDPORA Kab Sukabumi prakiraan rata-rata tahunan curah hujan. Gambar 16 Curah hujan Kabupaten Sukabumi tahun 1997-2011 Gambar 16 menunjukkan bahwa rata-rata curah hujan tahun 1997-2011 cenderung mengalami peningkatan, walaupun terdapat fluktuasi tahun-tahun tertentu. 5.5 Hubungan Variabilitas Parameter Oseanografi dan Curah Hujan dengan Hasil Tangkapan Berdasarkan uji normalitas yang dilakukan terhadap parameter oseanografi dan curah hujan dengan hasil tangkapan, semua variabel normal kecuali SPL karena memiliki data yang relatif sama dalam beberapa tahun. Data parameter oseanografi dan curah hujan, setelah dilakukan uji kolinearitas tidak memiliki linier atau korelasi yang tinggi karena memiliki nilai VIF (varians inflation factor) lebih kecil dari 10. Variabilitas parameter oseanografi dan curah hujan dengan hasil tangkapan diketahui dengan mencari koefisien keragaman (koefisien varians). koefisien keragaman masing-masing variabel tersaji dalam Tabel 7. Hasil uji normalitas, uji kolinearitas dan Tabel 7 Nilai normalitas, VIF dan koefisien keragaman antara parameter oseanografi dan curah hujan dengan hasil tangkapan Nilai normalitas VIF Koefisien keragaman (%) SPL 0,010 3,249 6,10 Klorofil-a 0,150 4,440 15,40 TPL 0,150 3,753 59,19 Curah hujan 0,150 1,084 29,31 Berdasarkan Tabel 7 terlihat variabel yang memiliki koefisien keragaman terkecil adalah SPL (suhu permukaan laut) dengan nilai 6,10%, sedangkan variabel yang 36

37 memiliki koefisien keragaman terbesar adalah TPL (tinggi paras laut) dengan nilai 59,19%. Variabel klorofil-a dan curah hujan memiliki koefisien keragaman sebesar 15,40% dan 29,31%. Hasil ini menunjukkan bahwa variabel yang memiliki tingkat variabilitas tinggi adalah TPL, kemudian diikuti oleh curah hujan, klorofil-a dan dan SPL yang memiliki variabilitas terendah. 5.6 Hubungan Parameter Oseanografi dan Curah Hujan dengan Hasil Tangkapan YellowfinTuna Keterkaitan parameter oseanografi dan curah hujan dengan hasil tangkapan Yellowfin Tuna dilihat dengan menggunakan uji statistik regresi linier berganda. Data parameter oseanografi dan curah hujan dengan hasil tangkapan merupakan data dalam periode 15 tahun terakhir yaitu tahun 1997-2011. Hasil dari uji statistik keterikatan tersebut dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Uji statistik parameter oseanografi dan curah hujan dengan hasil tangkapan Analysis of variance Source DF F P Regression 4 5,72 0,012 Residual Error 10 Total 14 R-Sq = 69,6 % R-Sq (adj) = 57,4 % Berdasarkan Tabel 8 terlihat bahwa, seluruh variabel X signifikan terhadap produksi hasil tangkapan karena memiliki nilai P-value 0,012 yaitu < 0,05. Analisis regresi parameter oseanografi dan curah hujan terhadap produksi hasil tangkapan menghasilkan nilai R 2 sebesar 69,6 % dan nilai r sebesar 0,83. Model regresi dari parameter oseanografi dan curah hujan terhadap produksi hasil tangkapan adalah: Y = 2.470.429 112.793 X 1 + 937.609 X 2 + 36.936 X 3 + 236 X 4 Dimana, Y : Produksi Hasil tangkapan X 1 : Suhu permukaan laut X 2 : Klorofil-a X 3 : Tinggi paras laut X 4 : Curah hujan 37