BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan cita-cita Bangsa Indonesia, yakni mencerdaskan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI. Keterikatan kerja atau yang sering disebut engagement

untuk dapat terus mempertahankan kualitas kinerjanya. Perkembangan zaman juga menyebabkan persaingan antar perusahaan semakin ketat.

BAB I PENDAHULUAN. rakyatnya, kualitas sumber daya manusia memegang peran yang cukup penting,

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan naiknya persaingan bisnis. Masing-masing perusahaan saling beradu

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan UU No.8 Tahun1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Pegawai

BAB 2 TINJAUAN REFERENSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Banyak penelitian yang menggunakan istilah engagement sebagai variabel

BAB I PENDAHULUAN. Dunia pendidikan sangat penting untuk menjamin perkembangan kelangsungan

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dirinya, masykarakat, bangsa dan negara (Undang-undang Sisdiknas RI

PENDAHULUAN. Employee engagement merupakan topik yang banyak dibicarakan. beberapa tahun terakhir. Penelitian dan aplikasi mengenai topik ini banyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Era globalisasi mengalami pertumbuhan yang cukup pesat, perkembangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. yang mendefinisikan work engagement adalah tingkat keterikatan fisik,

BAB II LANDASAN TEORI. Kahn (1990) mendefinisikan engagement sebagai hasrat karyawan

BAB I PENDAHULUAN. segala kegiatan bisnis dan perekonomian, hal ini menyebabkan terjadinya

sumber daya manusianya. Hal ini disebabkan karena dunia kerja memiliki tuntutan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Pesatnya perkembangan teknologi di era globalisasi ini mengharuskan setiap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kinerja. 1. Pengertian Kinerja. tujuan organisasi (Viswesvaran & Ones, 2000). McCloy et al. (1994)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. ketidakpastian yang tinggi telah menuntut organisasi-organisasi modern untuk

BAB I PENDAHULUAN. diri (Sunarto, 2004). Hal ini disebabkan karena dunia kerja sekarang telah

BAB I PENDAHULUAN. menurut ukuran normatif. Menyadari akan hal tersebut, pemerintah sangat serius

BAB I PENDAHULUAN. angka-angka, target dan estimasi akan langsung muncul dipikiran kita saat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu sumber daya penentu keberhasilan pendidikan di sekolah adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkebunan tercatat sebagai sektor yang memiliki kontribusi besar

BAB II LANDASAN TEORI. sehingga banyak yang menyebut keterikatan kerja merupakan old wine in

BAB II TELAAH PUSTAKA. mengenai penelitian ini, berdasarkan variabel-variabel yang menjadi obyek

BAB II LANDASAN TEORI. dari pembahasan komitmen organisasional dan work engagement terhadap job

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. membutuhkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas. Human capital

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia pendidikan saat ini menuntut adanya penyesuaian sistem pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Menteri Kesehatan RI mengatakan bahwa untuk mencapai Indonesia Sehat pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. Dunia perbankan saat ini sudah tidak asing lagi bagi seluruh lapisan masyarakat,

ADVERSITY QUOTIENT DAN PSYCHOLOGICAL CAPITAL DALAM MENENTUKAN KETERIKATAN KERJA PADA KARYAWAN

BAB II TELAAH TEORI. Locke, Teori ini menjelaskan hubungan antara tujuan yang ditetapkan

UNIVERSITAS GUNADARMA FAKULTAS PSIKOLOGI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. (Kurniawati, 2013). Begitu pula seperti yang tercantum dalam UU No.20/2003

HUBUNGAN ANTARA JOB CRAFTING DENGAN KETERIKATAN KERJA PADA KARYAWAN GENERASI Y DI KANTOR PUSAT PT. BANK BUKOPIN, TBK JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Permasalahan. memiliki batasan reaktif yang dapat diidentifikasi serta bekerja bersama-sama untuk

BAB I PENDAHULUAN. adalah DKI Jakarta sehingga selain sebagai pusat pemerintahan, Jakarta juga merupakan pusat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. organisasi. Penelitian mengenai engagement dalam pekerjaan yang berkembang

yang memiliki peran penting dalam perusahaan karena mereka akan berhubungan dengan para pelanggan. Dalam masyarakat, karyawan pemasaran sering kali

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekosistem, salah satunya adalah

BAB II LANDASAN TEORI. memiliki pengertian berbeda mengenai engagement (Albrecht, 2010).

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Definisi Employee Engagement Definisi mengenai engagement saat ini masih belum jelas, istilah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. satunya adalah cabang Solo Raya dan Madiun Raya. Pada bulan April 2016

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi secara menyeluruh. Berbicara masalah bisnis tentu tidak lepas dari

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahannya berbentuk Republik dengan kehadiran berbagai lembaga

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Menurut Stephen P. (2002:135) Dalam suatu organisasi kepemimpinan

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI WORK ENGAGEMENT PADA KARYAWAN OUTSOURCING DIVISI KARTU KREDIT PT. BANK RAKYAT INDONESIA (PERSERO) TBK.

BAB V SIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis employee engagement di

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Kahn (dalam May dkk, 2004) work engagement dalam. pekerjaan dikonsepsikan sebagai anggota organisasi yang melaksanakan

KEPRIBADIAN PROAKTIF DAN KETERIKATAN KERJA PADA KARYAWAN PT PLN (PERSERO) DISTRIBUSI JAWA TENGAH DAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. organisasi karena dapat berpengaruh terhadap kinerja dan tingkat turnover

BAB I. Pendahuluan. penggerak yang mendorong perubahan organisasi. dikaji dan diteleti, karena paling sering diamati namun merupakan fenomena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. proses pembelajaran yang merupakan inti dari kegiatan sekolah.

BAB I PENDAHULUAN. seperti yang tercantum dalam UU NO.36/2009 pengertian kesehatan adalah keadaan sehat,

BAB I PENDAHULUAN. sebagai perwujudan kesejahteraan umum seperti dalam Undang-Undang Dasar Upaya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebagai Non Goverment Organization dan seterusnya disebut sebagai NGO mulai

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia (SDM) adalah pelaksanaan job analysis, perencanaan SDM,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. A. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional. Dalam penelitian ini menggunakan dua variabel, yaitu variabel gaya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kepuasan Kerja. seseorang. Menurut Wexley dan Yukl (2005: 129) kepuasan kerja adalah cara

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan pengelolaan sumber daya manusia telah ditandai pergeseran

BAB II LANDASAN TEORI. Employee engagement merupakan rasa keterikatan secara emosional

KECERDASAN ADVERSITAS DAN KETERLIBATAN KERJA PADA KARYAWAN PT. GANDUM MAS KENCANA KOTA TANGERANG

1 PENDAHULUAN Latar belakang

Organisasi menjadi lebih tertarik pada work engagement setelah beberapa. hasil penelitian menunjukkan bahwa karyawan yang engaged menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. Fokus penelitian pada keluaran organisasi telah banyak dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi yang efektif semakin menyadari bahwa faktor yang sangat

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. organisasi, kenyataannya, banyak rintangan yang dilalui. menjawab dalam menghadapi perubahan-perubahan ini.

BAB II LANDASAN TEORI. menggambarkan peristiwa kehidupan dalam suatu cara yang positif (Burke, Joyner, Ceko, &

BAB I PEND AHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG MASALAH. Perusahaan akan berjalan baik dengan adanya sumber daya manusia.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kondisi yang ada dengan arah strategis organisasi. Arah strategis organisasi

BAB II LANDASAN TEORI

HUBUNGAN ANTARA KESESUAIAN INDIVIDU-ORGANISASI DAN MODAL PSIKOLOGIS DENGAN KETERIKATAN KERJA PADA STAF ADMINISTRASI PERGURUAN TINGGI

BAB I PENDAHULUAN. manusia akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinanya kelak.

PROFESSIONAL IMAGE. Budaya Kerja Humas yang Efektif. Syerli Haryati, S.S. M.Ikom. Modul ke: Fakultas FIKOM. Program Studi Public Relations

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) saat ini telah

BAB II LANDASAN TEORI. A. Psychological Well-Being. kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut merupakan kombinasi dari

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan perubahan organisasi. Alat secanggih apapun yang dimiliki suatu

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. sebagai dasar untuk memberi jawaban sementara terhadap rumusan masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. Engagement sering kali dipandang sebagai kunci untuk mengangkat

BAB 1 PENDAHULUAN. menaruh adanya minat terhadap pentingnya kesehatan. Sehat menurut kamus Besar

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Intensi Berwirausaha

SELF REGULATION, KEPUASAN TERHADAP INFORMASI PEKERJAAN DAN WORK ENGAGEMENT: Studi Kasus pada Dosen FISIP UT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kemampuannya mewujudkan organisasi yang profesional, efektif, efisien,

Hubungan Antara Modal Psikologis Dengan Keterikatan Kerja Pada Perawat di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI

PSIKOLOGI KEPEMIMPINAN

Prosiding Psikologi ISSN:

Transkripsi:

2.1 Work Engagement BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1. Pengertian Work Engagement Menurut Macey & Scheneider (2008), engagement yakni rasa seseorang terhadap tujuan dan energi yang terfokus, memperlihatkan inisiatif pribadi, mampu beradaptasi, berusaha, dan mempunyai ketekunan terhadap tujuan organisasi. Work engagement adalah pemenuhan, keadaan afektif-motivasi positif dari kesejahteraan yang berhubungan dengan pekerjaan yang dapat dilihat sebagai antagois atau kebalikan dari kelelahan bekerja (Bakker, Leiter, & Taris 2008). 2.1.2. Dimensi Work Engagement Bakker, Schaufeli dan Taris (2008) menyatakan bahwa work engagement dikarakteristikan oleh tiga dimensi utama, yaitu: a. Vigor Vigor merupakan curahan energi dan mental yang kuat selama bekerja, keberanian untuk berusaha sekuat tenaga dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, dan tekun dalam menghadapi kesulitan kerja. b. Dedication Dedication adalah mengarah pada keterlibatan yang sangat tinggi saat mengerjakan tugas dan mengalami perasaan yang berarti, sangat antusias, penuh inspirasi, kebanggaan, dan tantangan. c. Absorption Absorption adalah dimana dalam bekerja karyawan selalu penuh konsentrasi dan serius terhadap suatu pekerjaan. Individu merasa ketika ia bekerja waktu terasa berlalu begitu cepat dan menemukan kesulitan dalam memisahkan diri dengan pekerjaan. 12

2.1.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Work Engagement Menurut Bakker dan Demerouti (2008) terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi work engagement yaitu: a. Sumber Kerja (Job Resources) Job resources yaitu aspek-aspek fisik, sosial maupun organisasi yang berfungsi sebagai media untuk mencapai tujuan pekerjaan baik secara fisiologis maupun psikologis yang harus dikeluarkan, serta menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan individu b. Daya Pribadi (Personal Resources) Personal resources adalah evaluasi diri positif yang terkait dengan ketahanan dan mengacu pada rasa individu dari kemampuan mereka untuk mengendalikan dan memberikan dampak pada lingkungan sesuai dengan keinginan dan kemampuannya. 2.2 Kepemimpinan Otentik 2.2.1 Pengertian Kepemimpinan Otentik Menurut Yukl (2007), kepemimpinan adalah proses mempengaruhi orang lain untuk memahami dan setuju dengan apa yang harus mereka lakukan dan bagaimana melakukan tugas tersebut secara efektif, serta proses untuk memfasilitasi upaya individu dan kelompok untuk mencapai tujuan bersama/shared goal. Kepemimpinan otentik adalah bentuk kepemimpinan yang berasal dari teori psikologi positif (Avolio & Gardner, 2005). Walumbwa (2008), mendefinisikan kepemimpinan otentik sebagai pola perilaku pemimpin yang mengacu dan mempromosikan baik dalam kapasitas psikologis yang positif maupun iklim etika yang positif, untuk mendorong lebih besar kesadaran diri, perspektif moral yang diinternalisasikan, pengolahan informasi yang seimbang dan transparansi relasional pada bagian dari pemimpin bekerja dengan pengikut, membina pengembangan diri yang positif. 13

2.2.2 Dimensi Kepemimpinan Otentik Menurut Walumbwa, Avolio, Gardner, Wernsing, dan Peterson (2008), terdapat empat dimensi untuk kepemimpinan otentik, yaitu: a) Self Awareness Kemampuan seorang pemimpin untuk membaca keterampilan diri dan orang lain dalam kaitannya dengan pola perilaku, perasaan, keinginan, dan kognisi (Kernis & Goldman, 2006). Kesadaran diri juga termasuk kemampuan seseorang untuk mengatur tindakan individu dalam kaitannya dengan lingkungan dan orang-orang. b) Balanced Processing Kemampuan seseorang untuk terlibat dalam pengolahan informasi yang berkaitan dengan mampu menganalisa informasi secara obyektif sebelum mengambil keputusan (Avolio, Walumbwa, dan Weber, 2009). c) Internalized Moral Perspectives Dimensi ketiga terlihat pada perspektif terinternalisasi yang pada dasarnya terjemahan perilaku kesadaran diri dan pengolahan seimbang informasi (Kernis & Goldman, 2006). Selain itu, ia juga mempertimbangkan aspek etis dari pengambilan keputusan (Walumbwa et al., 2008). d) Transparency Relational Dimensi terakhir berkaitan dengan keinginan mendalam dari pemimpin untuk berinteraksi dengan orang lain secara transparan, tulus dan jujur (Kernis & Goldman, 2006). Pemimpin menunjukkan transparansi relasional dalam hubungan mereka dengan orang-orang yang cenderung untuk membangun hubungan berdasarkan kepercayaan serta menawarkan lingkungan yang aman di mana orang dapat tumbuh dengan segala potensi yang mereka miliki. 14

2.2.3 Tujuan Kepemimpinan Otentik Tujuan kepemimpinan otentik ada dua, yaitu: a) Kepemimpinan otentik untuk mengatasi krisis etika dalam perusahaan. Hal ini menjadi kompas moral (Walumbwa, Avolio, Gardner, Wernsing & Peterson, 2008), membantu melawan skandal korporasi dan manajemen penyimpangan (CD Cooper, Scandura, & Schriesheim, 2005), dan membantu untuk melakukan bisnis dengan cara yang etis dan bertanggung jawab secara sosial (Mei, Hodges, Chan, & Avolio, 2003). b) Kepemimpinan otentik untuk membantu orang menemukan makna dan hubungan dalam pekerjaan mereka (Avolio & Gardner, 2005) dan meningkatkan kesejahteraan anggota organisasi (Illies, et al, 2005) 2.2.4 Dampak Pemimpin yang Otentik pada Pengikut Keefektifan pemimpin otentik datang dari motivasinya, seperti yang didefinisikan oleh energi, ketekunan, optimisme, dan kejelasan tentang tujuan saat menghadapi tantangan yang sulit, hambatan, kemunduran, dan konflik dengan lawan atau pesaing. Pengaruh pemimpin itu terhadap sejumlah pengikut meningkat oleh keyakinan diri, kejelasan akan nilai, dan integritas pemimpin yang bersangkutan. Lebih mudah pengikut yang dipengaruhi oleh pemimpin yang dianggap dapat diandalkan, fokus, dan percaya diri. Pemimpin bisa meningkatkan komitmen pengikut terhadap misi dan keyakinan mereka untuk mencapainya dengan mengutarakan visi yang menarik, memberi dorongan, dan memberikan teladan perilaku yang tepat. Ada juga dampak tidak langsung lewat pengaruh pada konsep diri dan identitas diri pengikut. Pengikut dari pemimpin otentik memiliki lebih banyak identitas pribadi dengan pemimpin dan lebih banyak identitas sosial dengan tim atau unit organisasi. Identifikasi sosial meningkat oleh penekanan pemimpin pada moralitas dan integritas serta kejujuran pribadi yang 15

tinggi. Pemimpin otentik meningkatkan kepercayaan pengikut, yang mencakup keyakinan tentang integritas dan kejujuran pemimpin. Pemimpin yang dianggap memiliki keahlian dan kredibilitas akan lebih sukses memengaruhi pengikut agar mendukung perubahan dan inisiatif baru dengan antusiasme, dan agar optimis serta penuh harap akan keberhasilan kolektif mereka, terlepas dari hambatan dan kesulitan yang ada. 2.2.5 Mengembangkan Pemimpin Otentik Penelitian tentang pengembangan pemimpin otentik menyatakan bahwa organisasi tidak dapat menduplikasi pengalaman penting ke dalam seminar pelatihan, tetapi beragam pendekatan dapat digunakan untuk memfasilitasi pengembangan (Shamir & Eilam, 2005). Pendekatan pertama adalah meminta orang menggambarkan peristiwa yang melibatkan pahlawan dan teladan perilaku mereka serta menjelaskan mengapa perilaku dianggap penting untuk ditiru. Pendekatan kedua meminta orang menganalisis pengalaman mereka dan masalah mereka untuk lebih dapat memahami nilai dan kekuatan mereka. Pendekatan ketiga yang lebih ekstrem adalah memberikan peluang guna mengalami peristiwa pemicu yang dengan adanya kebutuhan untuk mengatasi tantangan dan krisis yang sulit itu akan membantu orang untuk belajar tentang nilai, keyakinan, dan kompetensi bersama serta kompetensi individu. Tetapi, proses untuk mengembangkan kepemimpinan otentik ini sangat bersifat pribadi, proses ini membutuhkan fasilitator yang terampil, proses ini tidak akan berguna bagi semua orang, dan proses ini dapat memberikan manfaat yang diinginkan hanya dalam sejumlah tahap kehidupan dan karier seseorang (Shamir & Eilam, 2005). 16

2.3 Psychological Capital 2.3.1 Pengertian Psychological Capital Luthans (2002), dikonsep psychological capital sebagai konstruksi tingkat tinggi yang terdiri dari efficacy, harapan, optimisme dan ketahanan. Luthans, Youssef, dan Avolio (2007), mendefinisikan psychological capital sebagai keadaan perkembangan psikologi individu yang positif. Luthans et al. (2015), mendefinisikan psychological capital sebagai keadaan perkembangan psikologi individu positif yang ditandai dengan: (a) adanya kepercayaan diri untuk melakukan tindakan yang perlu untuk mencapai kesuksesan dalam tugas-tugas yang menantang; (b) atribusi yang positif yaitu mengenai sukses pada masa sekarang dan masa yang akan datang; (c) persistensi dalam mencapai tujuan, dengan kemampuan mendefinisikan kembali jalur untuk mencapai tujuan jika diperlukan untuk mencapai kesuksesan; dan (d) ketika menghadapi masalah dan kesulitan, mampu bertahan dan terus maju untuk mencapai kesuksesan. 2.3.2 Dimensi Psychological Capital Menurut Luthans, Youssef, dan Avolio (2007), terdapat empat dimensi untuk psychological capital, yaitu: a) Self Efficacy Self efficacy adalah suatu keyakinan (atau kepercayaan diri) seseorang mengenai kemampuannya dalam mengerahkan motivasi dan melakukan tindakan-tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan dalam melaksanakan tugas (Stajkovic & Luthans, 1998). b) Optimism Optimism yaitu sikap dari individu yang memiliki stabilitas dan gambaran umum yang positif dan menanggapi keadaan yang negatif dengan lebih relistis (Seligman, 1998). Seseorang memiliki optimism yang tinggi menganggap peristiwa ataupun kondisi yang 17

buruk sebagai pengaruh dari lingkungan (eksternal), bersifat sementara (unstable), dan bukan berarti dengan adanya kejadian buruk tersebut maka seluruh hidupnya juga menjadi buruk. Sikap optimis ini akan mendorong dan memengaruhi individu untuk berupaya keras dalam mencapai keberhasilan (Luthans, et al., 2007a). c) Hope Hope adalah suatu keadaan motivasi positif yang didasari oleh agency (energi untuk mencapai tujuan) dan pathway (perencanaan untuk mencapai tujuan) yang saling memengaruhi untuk mencapai kesuksesan (C. Risk Synder, 2000). Orang yang memiliki hope tinggi adalah orang yang memiliki harapan, tujuan dan mengetahui cara untuk mencapai tujuan harapannya. Pekerja yang memiliki hope tinggi cenderung menjadi pemikir yang independen, memiliki kontrol penuh dalam mengatur energi yang digunakan untuk mencapai tujuan, tekun dalam mencapai tujuan bila perlu mencari alternatif pilihan (jalan lain) ketika menghadapi kesulitan, sehingga sasaran dapat dicapai (Luthans, et al., 2007a). d) Resiliency Resiliency didefinisikan sebagai suatu fenomena dalam konteks situasi yang menyulitkan atau keterpurukkan. Resiliency dalam psychological capital tidak hanya sekedar memantul kembali atau bangkit kembali dari kesulitan, konflik, ataupun kegagalan ke keadaan semula tetapi juga harus mampu menjadi lebih positif dari keadaan semula 2.4 Kerangka Berpikir 2.4.1 Pengaruh Psychological Capital terhadap Work Engagement Luthans et al. (2007), mendefinisikan psychological capital sebagai keadaan perkembangan psikologi individu yang positif. 18

Psychological capital juga dapat disebut sebagai modal psikologis atau semacam modal sikap serta perilaku yang berperan besar dalam menentukan keberhasilan seseorang. Di dalam perusahaan dibutuhkan pekerja yang memiliki psikologi yang positif yaitu agar tujuan dalam perusahaan dapat tercapai atau dapat mewujudkan visi serta misi perusahaan. Selain itu, pekerja juga harus memiliki energi yang tinggi serta antusias dalam pekerjaan nya. Dengan kata lain, pekerja harus engaged. Pekerja yang engaged adalah mereka yang memiliki rasa energik dan memiliki hubungan yang efektif dengan pekerjaannya, kemudian mereka melihat diri mereka sebagai individu yang mampu mengerjakan tuntutan secara maksimal (Schaufeli et al., 2002). Work engagement terbukti menjadi konsekuensi positif dari psychological capital. Kemudian, penelitian menunjukkan bahwa karyawan yang menunjukkan bahwa karyawan yang memiliki psychological capital tinggi, akan cenderung menunjukkan work engagement yang tinggi (Paek, Soyon., Schuckert., Taegoo, Terry, Kim., Gyehee, Lee, 2015). Psychological capital dan engagement juga diketahui memiliki hubungan serta berdampak pada perilaku organisasi dan hasil (Bakker & Damerouti, 2008; Stajkovic & Luthans, 1998). Self efficacy dan resilience berkontribusi secara khusus pada karyawan yang engaged (Bakker, Gierveld dan Van Rijswijk, 2006). Karyawan yang engaged menggunakan sumber daya seperti optimisme, self efficacy, resilience (ketahanan), dan active coping style untuk membantu mereka agar menjadi lebih sukses (Bakker & Damerouti, 2008; Luthans, Norman, Avolio & Avey, 2008). Cordery (2007) juga menemukan engagement menjadi prediktor kuat dari hope, optimism, dan self efficacy. Caliskan (2014), mencoba untuk mengungkapkan pengaruh dari variabel POB (Positive Organizational Behavior), yang terdiri dari self efficacy, hope, resilience, dan optimism pada perilaku karyawan. Menurut hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel POB tersebut memiliki 19

hubungan yang positif dan memiliki hubungan yang signifikan terhadap work engagement. Hal tersebut mendeteksi bahwa faktor optimism dan hope merupakan komponen dari psychological capital yang memiliki pengaruh tinggi pada work engagement. 2.4.2 Pengaruh Kepemimpinan Otentik terhadap Work Engagement Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pekerja akan merasa lebih semangat, berdedikasi dan memiliki absorption yang tinggi dalam hari-hari mereka yang terinspirasi dan intelektual karena distimulasi oleh pemimpin mereka (Breevart et al, 2014; Tims et al., 2011). Hal tersebut menunjukkan bahwa pemimpin dapat mempengaruhi pekerja yang engaged. Avolio et al. (2004), mengemukakan bahwa pemimpin otentik dapat mempengaruhi sikap serta perilaku pekerja, yakni melalui mekanime identifikasi organisasi. Individu yang mengidentifikasi organisasi lebih mungkin untuk menerapkan misi organisasi dan nilainilai, serta berfungsi untuk mencapai tujuan organisasi (Mael & Ashfurth, 1992). Ketika pekerja merasa pemimpin mereka konsisten antara katakata dengan tindakan, dan memegang persepsi moral, maka mereka akan lebih cenderung engaged dalam pekerjaannya. Persepsi karyawan mengenai pemimpin mereka yang tulen atau sungguh-sungguh, transparan, berwawasan, dan mampu mengembangkan organisasi membuat para karyawan yakin dalam memajukan karir yang akan membuat masa depan mereka lebih sukses serta menguntungkan organisasi (Spreitzer & Mishra, 2002). Dalam hal tersebut, yang dimaksud dari persepsi karyawan yaitu pemimpin yang otentik, dimana dijelaskan oleh Walumbwa et al (2008), bahwa pemimpin otentik dideskripsikan sebagai orang yang memiliki kesadaran diri (self aware), yang menunjukkan keterbukaan serta kejelasan mengenai siapa diri mereka, konsisten dalam mengungkapkan dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai pribadi mereka, keyakinan, motif dan sentimen (Walumbwa et al., 2008 20

2.4.3 Pengaruh Psychological Capital dan Kepemimpinan Otentik terhadap Work Engagement Setiap individu memiliki harapan serta tujuan yang ingin dicapai. Untuk dapat mencapai tujuannya tersebut, individu perlu memiliki rasa kepercayaan yang tinggi. Maka individu harus percaya akan kemampuan yang terdapat pada dirinya sendiri. Dalam mencapai tujuan yang diinginkan, individu akan dihadapkan oleh berbagai macam tantangan. Ketika individu dihadapkan oleh tantangan, maka individu harus berpikir positif bahwa ia dapat melewati tantangan tersebut. Selain itu, individu juga harus memiliki energi yang tinggi atau bersemangat. Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, dan Schaufeli (2007), menemukan bahwa pekerja yang engaged memiliki self efficacy yang tinggi, memiliki harapan yang lebih tinggi serta mengalami hasil yang positif dalam hidup mereka atau optimis, dan percaya bahwa mereka dapat memuaskan kebutuhan mereka dengan cara berpartisipasi dalam organisasi. Tujuan tidak hanya dimiliki oleh setiap individu, pada perusahaan pun terdapat tujuan atau biasa disebut sebagai visi dan misi. Untuk dapat mencapai visi dan misi maka perlu adanya kerja sama. Kerja sama tersebut dapat dilakukan antara pimpinan perusahaan dengan pengikutnya. Pemimpin dan pengikut akan bekerja sama apabila memiliki rasa semangat serta antusias dalam pekerjaannya. Pekerja yang memiliki rasa semangat dan berantusias dalam pekerjaannya adalah pekerja yang memiliki engaged yang tinggi. Pekerja yang engaged adalah keterlibatan individu dalam kepuasan serta asntusiasme untuk bekerja (Harte, Schmidt & Hayes, 2002). Ketika pekerja merasa bahwa diberikan dukungan dan diperlakukan dengan tulus, maka mereka akan meningkatkan engaged di tempat kerja mereka. Perusahaan membutuhkan pemimpin yang memimpin dengan tujuan, memiliki nilai-nilai yang kuat dan memiliki integritas, mampu menciptakan organisasi yang kekal, dan yang dapat memotivasi pekerja 21

mereka untuk menyediakan layanan pelanggan yang lebih baik (George, 2003). Dalam hal ini, pemimpin yang dimaksud adalah pemimpin yang otentik. George (2003), menyatakan kembali bahwa pemimpin yang otentik dapat memotivasi para pengikutnya dengan cara menciptakan rasa yang mendalam untuk memberikan produk yang lebih baik, layanan yang unggul dan kualitas yang optimal. Ini merupakan karakteristik dari pekerja yang memiliki engaged yang tinggi. Berdasarkan pemaparan sebelumnya, maka diperoleh kerangka berfikir sebagai berikut: Psychological Capital (X1) 1. Self Efficacy 2. Hope 3. Optimism 4. Resiliency (Menurut Luthans, Youssef, dan Avolio, 2007) Kepemimpinan Otentik (X2) 1. Self Awareness 2. Balanced Processing 3. Internalized Moral Perspectives 4. Transparency Relational Work Engagement (Y) 1. Vigor 2. Dedication 3. Absorption (Menurut Bakker, Schaufeli dan Taris, 2008) (Menurut Walumbwa, Avolio, Gardner, Wernsing, dan Peterson, 2008) 2.5 Hipotesis Penelitian Berdasarkan pada landasan teori dan kerangka berfikir di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 22

H1 : Psychological capital berpengaruh terhadap work engagement H2 : Kepemimpinan otentik berpengaruh terhadap work engagement H3 : Psychological capital dan kepemimpinan otentik berpengaruh terhadap work engagement 23