BAB VI DISKUSI. Dewi Prihatini ( ) 46

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III LANDASAN TEORI

BAB V GEOKIMIA DAERAH PENELITIAN

BAB VI PEMBAHASAN DAN DISKUSI

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL DAN MINERALISASI DAERAH PENELITIAN

STUDI UBAHAN HIDROTERMAL

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL DAERAH PENELITIAN

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL

BAB V PENGOLAHAN DATA

(25-50%) terubah tetapi tekstur asalnya masih ada.

STUDI ALTERASI, MINERALISASI, DAN GEOKIMIA UNTUK PROSPEKSI EMAS DI DAERAH TIGA DESA, BENGKAYANG, KALIMANTAN BARAT

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL

BAB 4 ALTERASI HIDROTERMAL

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL

BAB V MINERALISASI Mineralisasi di daerah Sontang Tengah

BAB I PENDAHULUAN. berada di Selogiri, Wonogiri yaitu prospek Randu Kuning. Mineralisasi emas

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL BAWAH PERMUKAAN

BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL

BAB IV TEORI DASAR DAN METODE ANALISIS

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL. 4.1 Teori Dasar

STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH TAMBAKASRI DAN SEKITARNYA, KECAMATAN SUMBERMANJING WETAN KABUPATEN MALANG, PROVINSI JAWA TIMUR

BAB IV MINERALISASI DAN PARAGENESA

Bab IV Sistem Panas Bumi

Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal

I.1 Latar Belakang Masalah I.4 Lokasi Daerah Penelitian I.6 Penelitian Terdahulu dan Keaslian Penelitian... 4

LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK - UNIVERSITAS GADJAH MADA

Mineralisasi Logam Dasar di Daerah Cisungsang Kabupaten Lebak, Banten. (Hasil Penelitian yang didanai oleh HIBAH BERSAING DIKTI )

III.4.1 Kuarsa sekunder dan kalsedon

II.3. Struktur Geologi Regional II.4. Mineralisasi Regional... 25

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... iv. DAFTAR GAMBAR... vi. DAFTAR TABEL...

SURVEI GEOKIMIA TANAH LANJUTAN DAERAH GUNUNG SENYANG KABUPATEN SANGGAU, PROVINSI KALIMANTAN BARAT

Bab I. Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN

BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL

BAB V KIMIA AIR. 5.1 Tinjauan Umum

INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN BOVEN DIGOEL PROVINSI PAPUA Reza Mochammad Faisal Kelompok Penyelidikan Mineral Logam SARI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan dunia terhadap mineral logam semakin tahun semakin

BAB IV MINERALISASI DAN PARAGENESA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PROSPEKSI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN 2014

BAB I PENDAHULUAN. banyak terkait oleh mineralisasi endapan hidrotermal-magmatik. Dalam berbagai

3.2. Mineralogi Bijih dan Gangue Endapan Mineral Tekstur Endapan Epitermal Karakteristik Endapan Epitermal Sulfidasi Rendah...

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i. ABSTRACT... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR GAMBAR... xii. DAFTAR LEMBAR PETA...

FORMULIR ISIAN BASIS DATA SUMBER DAYA MINERAL LOGAM

BAB II TATANAN GEOLOGI

SKRIPSI. Oleh : ARIE OCTAVIANUS RAHEL NIM

STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI EMAS BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI CONTO INTI PEMBORAN DAERAH ARINEM, KABUPATEN GARUT, JAWA BARAT

Potensi Panas Bumi Berdasarkan Metoda Geokimia Dan Geofisika Daerah Danau Ranau, Lampung Sumatera Selatan BAB I PENDAHULUAN

PENYELIDIKAN MINERAL LOGAM DASAR DAN LOGAM BESI DAN PADUAN BESI DI DAERAH LELOGAMA KABUPATEN KUPANG (TIMOR BARAT) PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR S A R I

INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN 50 KOTA DAN SIJUNJUNG, PROVINSI SUMATERA BARAT

EKSPLORASI UMUM MINERAL LOGAM MULIA DAN LOGAM DASAR DI DAERAH PERBATASAN MALAYSIA-KABUPATEN SANGGAU PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BAB IV PROSPEK MINERAL LOGAM DI DAERAH PENELITIAN

termineralisasi dan tanah, akan tetapi tidak semua unsur dibahas dalam makalah ini karena tidak menunjukkan hasil yang signifikan.

Bateman (1956) dalam buku The Formation Mineral Deposits pengertian mineral bijih adalah mineral yang mengandung satu atau lebih jenis logam dan

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB 4 PENENTUAN POTENSI PANAS BUMI

GEOLOGI DAN TIPE MINERALISASI ENDAPAN EMAS-PERAK EPITHERMAL PADA DAERAH PINUSAN, KECAMATAN BENDUNGAN KABUPATEN TRENGGALEK PROPINSI JAWA TIMUR.

INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN SUMBA BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

GEOLOGI DAN STUDI UBAHAN HIDROTERMAL DAERAH PROSPEKSI AIR BUNGINAN, KECAMATAN AIR MURING, KABUPATEN KETAUN, BENGKULU

BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem bijih porfiri berasal dari fluida magmatik hidrotermal bertemperatur tinggi,

BAB I PENDAHULUAN. Penambangan (mining) dapat dilakukan dengan menguntungkan bila sudah jelas

BAB 3 PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA

Sudarsono dan I. Setiawan

SKRIPSI DWI RACHMAWATI NIM :

PROSPEKSI MINERAL LOGAM DI KECAMATAN SUBI KABUPATEN NATUNA - PROVINSI KEPULAUAN RIAU Wahyu Widodo Kelompok Penyelidikan Mineral Logam

EKEPLORASI UMUM BESI PRIMER DI KECAMATAN RAO, KABUPATEN PASAMAN, PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan emas biasanya digunakan sebagai standar

PARAGENESA MINERAL BIJIH SULFIDA DAERAH CINANGSI, KECAMATAN PEUNDEUY KABUPATEN GARUT JAWA BARAT

BAB IV KARAKTERISTIK AIR PANAS DI DAERAH TANGKUBAN PARAHU BAGIAN SELATAN, JAWA BARAT

3. HASIL PENYELIDIKAN

KETERDAPATAN BAHAN GALIAN GALENA DI DAERAH CIGEMBLONG, KABUPATEN LEBAK, PROPINSI BANTEN

PROSPEKSI MINERAL LOGAM DI KECAMATAN LONG PAHANGAI KABUPATEN MAHAKAM ULU, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

EKSPLORASI TIMAH DAN REE DI PULAU JEMAJA, KECAMATAN JEMAJA KABUPATEN ANAMBAS, PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BAB IV SISTEM PANAS BUMI DAN GEOKIMIA AIR

Bab I - Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN

PROVINSI MALUKU UTARA

PROVINSI SULAWESI UTARA

ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH GUNUNG BULEUD, DESA GARUMUKTI, KECAMATAN PAMULIHAN, KABUPATEN GARUT, PROVINSI JAWA BARAT

KARAKTERISTIK ALTERASI DAN MINERALISASI EMAS PADA SISTEM EPITERMAL PROSPEK RANDU KUNING, KECAMATAN SELOGIRI, KABUPATEN WONOGIRI, JAWA TENGAH

EVALUASI SUMBER DAYA DAN CADANGAN BAHAN GALIAN UNTUK PERTAMBANGAN SEKALA KECIL DI KABUPATEN BIMA, PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

Eksplorasi Umum Timah Hitam (Pb) Di Kabupaten Pasaman, Provinsi Sumatera Barat

BAB I PENDAHULUAN. administratif termasuk ke dalam provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Di Pulau

Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 4, No. 1, Januari 2011

I. ALTERASI HIDROTERMAL

KETERDAPATAN MINERALISASI EMAS YANG BERASOSIASI DENGAN SINABAR DI KECAMATAN RAROWATU KABUPATEN BOMBANA PROVINSI SULAWESI TENGGARA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Penelitian

TIPE ENDAPAN EPITERMAL DAERAH PROSPEK BAKAN KECAMATAN LOLAYAN KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA

INVENTARISASI DAN EVALUASI MINERAL LOGAM DI DAERAH KABUPATEN SOLOK DAN KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMATERA BARAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

Bab II. Kriteria Geologi dalam Eksplorasi

GEOLOGI, ALTERASI HIDROTERMAL DAN MINERALISASI DAERAH CIURUG DAN SEKITARNYA, KECAMATAN NANGGUNG, KABUPATEN BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB VI DISKUSI 6.1 Evolusi Fluida Hidrotermal Alterasi hidrotermal terbentuk akibat adanya fluida hidrotermal yang berinteraksi dengan batuan yang dilewatinya pada kondisi fisika dan kimia tertentu (Pirajno, 1992). Sumber panas yang memicu hadirnya fluida hidrotermal di daerah penelitian diperkirakan berasal dari batuan intrusi, yaitu Batuan Terobosan Sintang yang berumur Oligosen Akhir-Miosen Awal. Secara regional, satuan Batuan Terobosan Sintang menerobos satuan Granodiorit Mensibau (Gambar 2.6), yang di daerah penelitian dicirikan oleh Satuan Granodiorit Terubah. Batuan Terobosan Sintang diperkirakan sebagai batuan pembawa mineralisasi (Suwarna dkk., 1993). Berdasarkan pengamatan petrografi, terlihat overprinting antara mineral ubahan yang terdapat pada batuan. Selain itu, temperatur pembentukan dan ph menunjukkan kondisi fluida yang tidak sama pada setiap zona alterasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat beberapa tahap yang berbeda yang menyebabkan fluida hidrotermal menghasilkan kumpulan mineral ubahan yang berbeda sesuai dengan kondisi ph dan temperatur tertentu. Zona alterasi yang pertama kali terbentuk pada daerah penelitian adalah Zona Serisit-Kuarsa-Pirit (disebandingkan dengan Zona Filik), yang terdiri dari mineral ubahan serisit, kuarsa, dan pirit (Gambar 6.1). Fluida hidrotermal yang membentuk zona alterasi ini diperkirakan merupakan fluida yang masih dominan fluida magmatik. Hal ini didukung oleh kisaran temperatur pembentukan zona alterasi tersebut yang relatif tinggi, yaitu 280 sampai ~300 0 C dan ph yang relatif rendah, yaitu 4-6. Adanya perbedaan tekanan dan temperatur antara fluida hidrotermal dengan kondisi permukaan menyebabkan fluida tersebut akan mencari zona lemah untuk bergerak ke daerah yang memiliki tekanan dan temperatur yang lebih rendah. Zona lemah di daerah penelitian berupa rekahan-rekahan pada batuan yang diperkirakan terbentuk akibat adanya zona sesar. Sesar dan rekahan-rekahan tersebut diperkirakan terbentuk sebelum terjadinya mineralisasi yang kemudian menjadi jalan (channel way) bagi fluida hidrotermal. Dewi Prihatini (12007012) 46

Fluida hidrotermal yang bergerak ke atas akan berinteraksi dengan batuan samping dan mengalami kesetimbangan (equilibrium) sehingga kondisi fluida menjadi tereduksi dan memiliki ph yang mendekati netral (Giggenbach, 1992; dalam Hedenquist dan White, 1995). Reaksi ini menghasilkan unsur-unsur penting dalam fluida, yaitu NaCl, CO 2, dan H 2 S. Pada saat kondisi fluida yang mendekati netral inilah terbentuk Zona Epidot-Klorit-Kalsit (disebandingkan dengan Zona Propilitik), yang memiliki ph 6-7 (Gambar 6.1). Selain itu, seiring pergerakan fluida ke atas temperatur pada zona ini menurun, yaitu terbentuk pada kisaran 220 sampai ~300 0 C. 3 2 1 Gambar 6.1 Evolusi fluida hidrotermal di daerah penelitian. Zonasi ubahan (alterasi) berdasarkan Corbett dan Leach (1998) Dewi Prihatini (12007012) 47

Ketika fluida hidrotermal semakin dekat dengan permukaan, maka fluida hidrotermal akan didominasi oleh air meteorik. Kondisi fluida memiliki ph dan temperatur yang rendah. Pada saat kondisi ini terbentuk Zona Illit-Kaolinit (disebandingkan dengan Zona Argilik), yang dicirikan oleh ph sedikit asam, yaitu 4-6 dengan kisaran temperatur pembentukan 140-170 0 C (Gambar 6.1). 6.2 Hubungan Alterasi, Mineralisasi, dan Geokimia Alterasi di daerah penelitian dibedakan menjadi 3, yaitu Zona Serisit-Kuarsa- Pirit, Zona Epidot-Klorit-Kalsit, dan Zona Illit-Kaolinit. Zona Illit-Kaolinit mendominasi di bagian barat, sedangkan Zona Epidot-Klorit-Kalsit meluas ke bagian timur daerah penelitian. Zona Serisit-Kuarsa-Pirit ditemukan setempat karena zona ini umumnya telah mengalami overprint oleh zona alterasi lainnya. Berdasarkan pola penyebaran zona alterasi secara lateral dan keterdapatan mineral bijih (Gambar 6.2), terlihat bahwa mineral bijih hadir pada semua zona alterasi. Pirit menjadi mineral logam dominan dengan kehadirannya di semua zona alterasi. Kehadiran mineral lain, seperti galena, sfalerit, dan kalkopirit, terbatas pada bagian barat daerah penelitian, terutama di sepanjang Zona Illit-Kaolinit dan Zona Serisit-Kuarsa-Pirit. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara jenis alterasi dengan kehadiran mineral bijih. Hubungan antara jenis alterasi dengan kehadiran mineral bijih diperkirakan dikontrol oleh proses pengendapan dari mineral bijih tersebut. Pirit yang terdapat di semua zona alterasi memang memiliki kisaran temperatur pembentukan yang panjang, yaitu 0 sampai ~300 0 C (Hedenquist dan White, 1995) sehingga kehadiran pirit tidak berhubungan dengan jenis alterasi. Namun, hal tersebut tidak berlaku untuk mineral bijih lainnya. Galena, sfalerit, kalkopirit, dan tetrahedrit merupakan mineral untuk logam dasar (base-metal), yaitu Pb, Zn, dan Cu. Unsur-unsur tersebut mengalami transportasi sebagai kompleks klorida (chloride complex) dalam sistem hidrotermal (Barnes, 1979; dalam Corbett dan Leach, 1998). Pengendapan dari unsur ini dapat disebabkan oleh pendinginan dan pengenceran (dilution) akibat pencampuran dengan fluida yang berasal dari permukaan. Penurunan temperatur dan pengenceran terhadap ion klorida menyebabkan logam dasar yang tertransportasi - Dewi Prihatini (12007012) 48

akan terendapkan sebagai sulfida, yang dapat dijelaskan dalam persamaan kimia berikut: ZnS + 2H + + 2Cl - = ZnCl 2 + H 2 S (Henley, 1991) Kondisi fluida yang mengalami pendinginan (penurunan temperatur) dan memungkinkan terjadinya pengenceran (dilution) terjadi pada Zona Illit-Kaolinit yang memiliki kisaran suhu 140-170 0 C. Kovelit, kalkosit, malakit dan manganit terbentuk pada tahap (stage) yang berbeda dengan mineral bijih sebelumnya. Keempat mineral ini terbentuk akibat dari proses pengayaan yang berhubungan dengan air meteorik yang teroksidasi. Fluida tersebut kemudian berinteraksi dengan batuan yang banyak mengandung Cu sehingga terbentuk mineral bijih sekunder kaya Cu seperti malakit, kovelit, dan kalkosit. Selain itu, interaksi fluida dengan unsur Mn pada batuan membentuk manganit. Oleh karena itu, mineralisasi cenderung terjadi pada Zona Illit-Kaolinit yang memiliki kondisi fluida yang sesuai untuk pengendapan mineral bijih tersebut. Berdasarkan pengamatan petrografi, Zona Serisit-Kuarsa-Pirit di bagian barat daerah penelitian, yang juga banyak ditemukan mineral bijih, telah mengalami overprint oleh Zona Illit-Kaolinit. Kehadiran mineral bijih dari pengamatan yang dilakukan pada conto batuan didukung oleh data geokimia. Anomali geokimia menunjukkan bahwa unsur Cu (kalkopirit, kovelit, kalkosit, malakit, tetrahedrit), As (arsenopirit), Sb (tetrahedrit), Pb (galena), dan Zn (sfalerit) memiliki anomali di beberapa tempat di daerah penelitian. Unsur Au dan Ag juga memiliki anomali yang tinggi di beberapa tempat. Kedua unsur ini diperkirakan hadir dalam ukuran yang sangat halus dan berada pada kisi-kisi (lattice) kristal dari mineral bijih lainnya karena emas dan perak tidak teridentifikasi melalui pengamatan mineragrafi. Unsur Mn yang tidak memiliki nilai anomali diperkirakan karena proses mineralisasi untuk unsur tersebut kurang signifikan. Hal tersebut dicirikan oleh kehadiran manganit yang memang tidak banyak ditemukan di daerah penelitian. Data anomali geokimia menunjukkan bahwa unsur-unsur yang memiliki nilai anomali di daerah penelitian terdapat di sepanjang Zona Illit-Kaolinit dan Zona Serisit-Kuarsa-Pirit (Gambar 6.3). Hal ini menunjukkan hubungan yang serupa dengan mineralisasi. Dewi Prihatini (12007012) 49

Dewi Prihatini (12007012) 50 Gambar 6.2 Peta hubungan alterasi dengan mineralisasi di daerah penelitian

Dewi Prihatini (12007012) 51 Gambar 6.3 Peta hubungan alterasi dengan anomali unsur di daerah penelitian

6.3 Tipe Mineralisasi Penentuan tipe endapan hidrotermal di daerah penelitian berdasarkan pada alterasi, mineralisasi, dan asosiasi unsur yang diperoleh dari analisis geokimia. Alterasi hidrotermal di daerah penelitian menunjukkan bahwa mineral-mineral ubahan yang terbentuk, seperti klorit, kalsit, illit, adularia, dan serisit mencirikan tipe epitermal sulfida rendah (Tabel 5.6). Kisaran temperatur pembentukan mineral ubahan di daerah penelitian, yaitu 140 sampai ~300 0 C termasuk ke dalam tipe endapan epitermal (Hedenquist dan White, 1995). Mineralisasi di daerah penelitian didominasi oleh kehadiran mineral bijih yang mengisi rekahan pada urat kuarsa. Mineral utama, yaitu pirit, hadir melimpah dan ditemukan di setiap zona alterasi. Mineral bijih lainnya adalah galena, sfalerit, arsenopirit, yang umum ditemukan terutama berasosiasi dengan urat kuarsa. Mineral bijih ini memiliki bilangan oksidasi yang rendah sehingga menunjukkan kondisi fluida dalam keadaan reduksi. Kalkopirit dan tetrahedrit hadir dalam jumlah yang sedikit (minor). Kehadiran mineral bijih beserta asosiasinya tersebut menunjukkan bahwa tipe mineralisasi di daerah penelitian adalah tipe epitermal sulfida rendah (Tabel 5.6). Mineral bijih lainnya yang juga hadir di daerah penelitian, yaitu kovelit, kalkosit, dan malakit diperkirakan terbentuk dalam tahap selanjutnya. Hal ini didukung bahwa keberadaan mineral tersebut memang menggantikan mineral yang telah ada sebelumnya, yaitu kalkopirit. Selain itu, tekstur urat kuarsa yang berupa tekstur comb menjadi data pendukung bahwa daerah penelitian masuk ke dalam tipe epitermal sulfida rendah (Tabel 5.6). Hasil analisis geokimia menunjukkan asosiasi unsur di daerah penelitian adalah Au, (Sb), (Pb), Cu, (Ag), As. Menurut Lindgreen (1933; dalam Evans, 1987) pada Tabel 5.5 asosiasi unsur tersebut dapat termasuk ke dalam tipe endapan epitermal dan mesotermal. Kedua tipe endapan tersebut memiliki beberapa kesamaan asosiasi unsur, namun terdapat dua unsur yang menjadi penciri yang membedakan tipe endapan epitermal dan mesotermal. Tipe endapan mesotermal dicirikan oleh kehadiran unsur As, sedangkan unsur Sb menjadi penciri untuk tipe endapan epitermal. Namun, klasifikasi dari Hedenquist dan White (1995) menunjukkan bahwa asosiasi serupa mencirikan tipe endapan epitermal sulfida rendah (Tabel 5.6). Dewi Prihatini (12007012) 52

Jika dipertimbangkan lebih lanjut, kisaran temperatur pada mesotermal menurut Lindgreen (1933; dalam Evans, 1987) adalah 200-300 0 C, sedangkan pada kisaran temperatur tersebut menurut Hedenquist dan White (1995) masih termasuk ke dalam tipe endapan epitermal (150 sampai ~300 0 C). Oleh karena itu, atas pertimbangan bahwa klasifikasi dari Lindgreen sudah jarang digunakan lagi, maka untuk asosiasi unsur ini digunakan klasifikasi dari Hedenquist dan White (1995). Maka, berdasarkan asosiasi unsur Au, (Sb), (Pb), Cu, (Ag), As, tipe mineralisasi di daerah penelitian adalah tipe epitermal sulfida rendah. Berdasarkan hubungan antara alterasi, mineralisasi, dan geokimia, maka dapat disimpulkan bahwa tipe mineralisasi di daerah penelitian adalah tipe epitermal sulfida rendah. 6.4 Prospeksi Emas Prospeksi adalah kegiatan penyelidikan awal suatu daerah yang diupayakan untuk mendapatkan berbagai mineral berharga (Alwi dkk., 2002). Kegiatan ini dilakukan berdasarkan data geologi, geokimia, dan geofisika. Prospeksi merupakan tahapan awal yang dilakukan sebelum berlanjut ke tahapan eksplorasi. Pada penelitian ini, prospeksi dilakukan melalui studi alterasi, mineralisasi, dan geokimia. Prospeksi emas dilakukan untuk mengetahui sumberdaya emas dan penyebarannya di daerah penelitian Data analisis kimia pada batuan (AAS) menunjukkan konsentrasi unsur Au di daerah penelitian berkisar antara 0,021-11,46 ppm. Nilai ambang di daerah penelitian berdasarkan hasil perhitungan statistik adalah 1,99 ppm (Nilai Ambang 1) dan 1,58 ppm (Nilai Ambang 2) (Tabel 5.4). Berdasarkan nilai ambang tersebut, dapat diketahui bahwa daerah-daerah yang memiliki nilai anomali tinggi untuk emas adalah berada pada urat kuarsa yang terletak di bagian barat daerah penelitian (Gambar 6.4). Selain emas (Au), terdapat unsur-unsur lain yang memiliki anomali tinggi di daerah penelitian. Berdasarkan pengamatan secara megaskopis dan mikroskopis, terdapat banyak mineral bijih, seperti arsenopirit, galena, dan sfalerit pada batuan. Mineral-mineral bijih tersebut banyak ditemukan terutama di dalam urat kuarsa. Adanya anomali yang tinggi pada unsur-unsur lainnya diharapkan dapat menjadi penunjuk adanya emas. Hal ini didukung oleh hasil analisis geokimia yang Dewi Prihatini (12007012) 53

menunjukkan bahwa unsur Au berasosiasi dengan unsur lainnya, seperti Sb, Pb, Cu, Ag, dan As. Nilai anomali yang tinggi untuk unsur Au berada pada kumpulan urat kuarsa yang termasuk ke dalam zona alterasi Zona Illit-Kaolinit. Unsur-unsur lainnya (Cu, Pb, Zn, Ag, dan As) yang memiliki nilai anomali tinggi berada di sepanjang Zona Illit-Kaolinit dan Zona Serisit-Kuarsa-Pirit di bagian barat daerah penelitian. Oleh karena itu, kumpulan urat kuarsa di Zona Illit-Kaolinit diperkirakan sebagai daerah yang memiliki prospek emas pertama, sedangkan daerah di sepanjang Zona Illit- Kaolinit dan Zona Serisit-Kuarsa-Pirit di bagian barat adalah daerah prospek berikutnya dengan emas sebagai mineral bijih ikutan (Gambar 6.4). Dewi Prihatini (12007012) 54

Dewi Prihatini (12007012) 55 Gambar 6.4 Peta daerah prospeksi emas di daerah penelitian