BAB 4 PEMBAHASAN HASIL

dokumen-dokumen yang mirip
USULAN PERBAIKAN LINI BERDASARKAN METODE KESEIMBANGAN LINI DAN PREDETERMINED TIME SYSTEMS PADA PERAKITAN UPPER NCVS1.06 DI PT.ASIA DWIMITRA INDUSTRI

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 3 LANGKAH PEMECAHAN MASALAH

BAB 3 METODOLOGI PEMECAHAN MASALAH

BAB VI LINE BALANCING

BAB II LANDASAN TEORI

KESEIMBANGAN LINI PRODUKSI PADA PT PAI

BAB 2 LANDASAN TEORI

ANALISIS KESEIMBANGAN LINI PADA LINTASAN TRANSMISI MF06 DENGAN PENERAPAN METODE RANKED POSITIONAL WEIGHT

PERBAIKAN LINI FINISHING DRIVE CHAIN AHM OEM PADA PT FEDERAL SUPERIOR CHAIN MANUFACTURING DENGAN METODE KESEIMBANGAN LINI DAN METHODS TIME MEASUREMENT

BAB V ANALISA HASIL Kondisi Keseimbangan Lintasan Produksi Aktual

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

pekerja normal untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang dijalankan dalam sistem

PENENTUAN JUMLAH TENAGA KERJA DENGAN METODE KESEIMBANGAN LINI PADA DIVISI PLASTIC PAINTING PT. XYZ

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

Analisis Line Balancing dengan RPW pada Departemen Sewing Assembly Line Style F1625W404 di PT. Pan Brothers, Boyolali

BAB 3 METODE PENELITIAN. Berikut ini adalah diagram alir yang digunakan dalam penyelesaian studi kasus ini: Mulai

BAB VI LINE BALANCING

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB VII SIMULASI CONVEYOR

APLIKASI PREDETERMINED TIME SYSTEM DAN RANKED POSITIONAL WEIGHT PADA OPTIMALISASI LINTASAN PRODUKSI UPPER-SHOE DI PT. ECCO INDONESIA, SIDOARJO

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

ANALISIS KESEIMBANGAN LINTASAN LINE PRODUKSI DRIVE ASSY DI PT. JIDECO INDONESIA

ANALISIS PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN EFISIENSI KERJA DENGAN PENERAPAN KAIZEN (Studi Kasus pada PT Beiersdorf Indonesia PC Malang)

Analisis Kebutuhan Man Power dan Line Balancing Jalur Supply Body 3 D01N PT. Astra Daihatsu Motor Karawang Assembly Plant (KAP)

BAB V ANALISA DAN HASIL PEMBAHASAN

BAB V ANALISIS HASIL

BAB 2 LANDASAN TEORI

Penerapan Metode Line Balancing Produk Tall Boy Cleopatra dan Aplikasinya pada Tata Letak Mesin PT. Funisia Perkasa

ANALISIS ASSEMBLY LINE BALANCING PRODUK HEAD LAMP TYPE K59A DENGAN PENDEKATAN METODE HELGESON-BIRNIE Studi Kasus PT. Indonesia Stanley electric

MENINGKATKAN EFISIENSI LINTASAN KERJA MENGGUNAKAN METODE RPW DAN KILLBRIDGE-WESTERN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. massal. Sejumlah pekerjaan perakitan dikelompokkan kedalam beberapa pusatpusat

Universitas Bina Nusantara. Jurusan Teknik Industri Skripsi Sarjana Teknik Industri Semester Genap tahun 2006/2007

BAB 4 METODOLOGI PEMECAHAN MASALAH

Analisa Keseimbangan Lintasan Dengan Menggunakan Metode Helgeson-Birnie (Ranked Positional Weight) Studi Kasus PT. D

BAB 3 METODOLOGI PEMECAHAN MASALAH

ANALISA PENINGKATAN EFISIENSI ASSEMBLY LINE B PADA BAGIAN MAIN LINE DENGAN METODE RANKED POSITIONAL WEIGHTS DI PT. X

BAB 4 PEMBAHASAN MASALAH DAN ANALISA

Perbaikan Tata Letak Fasilitas dengan Mempertimbangkan Keseimbangan Lintasan (Studi Kasus)

UNIVERSITAS BINA NUSANTARA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 4 PENGUMPULAN, PENGOLAHAN DAN ANALISA DATA

Perbaikan Lintasan CU dengan Metode Line Balancing

METODE REGION APPROACH UNTUK KESEIMBANGAN LINTASAN

MINIMALISASI BOTTLENECK PROSES PRODUKSI DENGAN MENGGUNAKAN METODE LINE BALANCING

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB I PENDAHULUAN. dan juga hasil sampingannya, seperti limbah, informasi, dan sebagainya.

BAB 2 LANDASAN TEORI

ABSTRAK. i Universitas Kristen Maranatha

BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) merupakan ekspansi dari PT. ADIS Dimension Footwear yang berlokasi di

ANALISIS LINE BALANCING PADA LINI PERAKITAN HANDLE SWITCH DI PT. X

BAB I PENDAHULUAN. (Factory) dan tahun 2007 (Workshop) silam. Perusahaan ini memproduksi sepatu untuk

PERANCANGAN LINE BALANCING DALAM UPAYA PERBAIKKAN LINI PRODUKSI DENGAN SIMULASI PROMODEL DI PT CATERPILLAR INDONESIA

PENYEIMBANGAN LINTASAN PRODUKSI DENGAN METODE HEURISTIK (STUDI KASUS PT XYZ MAKASSAR)

Perbaikan Keseimbangan Lintasan di Lini Produksi ECOSS Perusahaan Heat Exchanger

Improvement Proses Screwing pada Lini Kaleng Kopi di PT Sinar Djaja Can

PENENTUAN KESEIMBANGAN LINTASAN PRODUKSI DENGAN MENGGUNAKAN METODE HELGESON-BIRNIE

BAB 2 LANDASAN TEORI

LINE BALANCING DENGAN METODE RANKED POSITION WEIGHT ( RPW)

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada dasarnya pengumpulan data yang dilakukan pada lantai produksi trolly

USULAN PERBAIKAN ALUR PROSES PRODUKSI PADA INDUSTRI GARMEN DENGAN TEKNIK SIMULASI DAN LINE BALANCING PADA PT DIAN CITRA CIPTA

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

Kata Kunci : Keseimbangan Lintasan, Metode Ranked Positional Weight, Produktivitas 1. PENDAHULUAN

BAB 4 METODOLOGI PEMECAHAN MASALAH. 4.1 Model Rumusan Masalah dan Pengambilan Keputusan Keseimbangan Lini

USULAN KESEIMBANGAN LINI PRODUKSI PADA PEMBUATAN SEPATU TIPE SAMBA PADA PT.POONG WON INDONESIA. Muhammad Kastalani

BAB III METODE PENELITIAN

MENINGKATKAN KAPASITAS PRODUKSI LINE REAR AXLE ASSY DENGAN METODE LINE BALANCING DI PT. XYZ

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. rupa sehingga tidak ada waktu dan tenaga yang terbuang sia-sia sehingga dapat

ANALISIS KESEIMBANGAN LINTASAN PRODUKSI DENGAN MENGGUNAKAN METODE RANKED POSITION WEIGHT (RPW) (STUDI KASUS: PT. KRAKATAU STEEL, Tbk.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan produksi dan operasi merupakan kegiatan yang paling pokok

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI

MINIMALISASI BOTTLENECK PROSES PRODUKSI DENGAN METODE LINE BALANCING PADA PT. XYZ

Jakarta, 30 Maret Penulis

BAB III LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

ANALISIS METODE MOODIE YOUNG DALAM MENENTUKAN KESEIMBANGAN LINTASAN PRODUKSI

ANALISIS PERBAIKAN KESEIMBANGAN LINI PERAKITAN TRANSMISI CURRENT DENGAN MENGGUNAKAN METODE KILLBRIDGE-WESTER

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk terus bertahan dan berkembang. Perusahaan yang mampu bertahan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. manajemen pemasaran, dan manajemen keuangan. Berikut ini merupakan

PENULISAN ILMIAH SUGIANTO

UNIVERSITAS BINA NUSANTARA PENGUKURAN EFISIENSI PROSES PEMBUATAN HANGER TIPE TAC 6212 PADA PT. BIGGY CEMERLANG DENGAN ANALISIS LINE BALANCING

DAFTAR ISI... HALAMAN JUDUL... SURAT PERNYATAAN... SURAT KETERANGAN PENELITIAN... LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING... LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI...

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

PENENTUAN JUMLAH STASIUN KERJA DENGAN MEMPERTIMBANGKAN KESEIMBANGAN LINTASAN PRODUKSI DI PT. MERCEDES BENZ INDONESIA

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

BAB 4 PEMBAHASAN HASIL 4.1 Profil Perusahaan 4.1.1 Sejarah Perusahaan PT. Asia Dwimitra Industri merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang industri manufaktur yang berdiri sejak tahun 2008 dan berlokasi di Jl. Raya Legok KM 6,2 Karawaci, Desa Cijantra, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang diatas lahan seluas 135.548 m 2. PT. Asia Dwimitra Industri adalah anak perusahaan hasil ekspansi dari PT. Adis Dimension Footwear yang berdiri sejak tahun 1989 dan berlokasi di Jalan Raya Serang KM 24, Balaraja Tangerang. Perusahan ini tergabung dalam Shoetown Group di China dan Indonesia, selain itu PT. Asia Dwimitra Industri juga menjadi mitra kerja dari perusahaan sepatu yang berasal dari Amerika. Produk utama yang diproduksi PT. Asia Dwimitra Industri adalah sepatu olahraga yang terdiri dari 3 kategori, yaitu: sepatu tenis, sepatu sport wear dan sepatu soccer. Dalam seminggu, perusahaan mampu memproduksi sebanyak 162.000 pasang sepatu, dimana seluruh hasil produksinya akan dikirim ke negara-negara tujuan. 4.1.2 Visi dan Misi Perusahaan Dalam menjalankan perusahaannya, PT. Asia Dwimitra Industri menerapkan Lean Manufacturing System yang diadopsi dari Toyota Production System (TPS). Sistem ini dikenal dengan nama NOS (Novus Ordo Seclorum) yang berarti Era Baru Telah Dimulai. Adapun tujuan dari NOS, antara lain: 1. Kualitas lebih baik. 2. Biaya lebih rendah. 3. Lead time lebih pendek. 4. Fleksibilitas lebih besar. 5. Saling percaya dan menghormati. Tujuan dari NOS tersebut berfungsi sebagai panduan untuk mencapai visi dan misi perusahaan. Adapun visi dan misi perusahaan sebagai berikut: Visi : Sustainable Manufacturing, Reliable Partner, Profitable Company Misi : Deliver Great Quality Product through Excellent, Innovative and Efficient Manufacturing Operations Selain itu, perusahaan juga memiliki Strategic Plan sebagai perencanaan strategis dalam pencapaian visi dan misi perusahaan serta didukung oleh Core Value yang merupakan suatu nilai untuk diterapkan dalam melaksanakan perencanaan strategis dan berkelanjutan dalam jangka panjang. Strategic Plan terdiri atas Product Excellence, Operation Excellence, Human Resource Management, dan Strategic Management Planning. Sedangkan Core Value terdiri dari CSPES, yaitu: Customer Focus, Sportmanship, Proactive, Enthusiasm, dan Social Responsibility. Komitmen pada prinsip CSPES menjadi sumber inspirasi bagi entitas bisnis secara keseluruhan dalam lingkup PT. Asia Dwimitra Industri untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab bagi semua pelaksana stakeholder. 17

18 4.1.3 Struktur Organisasi Perusahaan Struktur organisasi perusahaan adalah suatu susunan dan hubungan antara masing-masing bagian serta posisi yang terdapat pada suatu perusahaan dalam menjalankan kegiatan operasional untuk mencapai tujuan dari perusahaan tersebut. Struktur organisasi dapat menggambarkan dengan jelas tingkatan posisi yang terdapat di perusahaan tersebut. Berikut adalah struktur organisasi perusahaan pada PT. Asia Dwimitra Industri: Sumber: Data Perusahaan Gambar 4.1 Struktur Organisasi Perusahaan 4.1.4 Fasilitas dan Lingkungan Perusahaan PT. Asia Dwimitra Industri memiliki komitmen dan kebijakan formal untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan positif yang bermanfaat bagi seluruh karyawan serta masyarakat sekitar. Perusahaan berusaha sepanjang waktu untuk mencapai keseimbangan antara kepentingan bisnis dan kebutuhan masyarakat serta lingkungan. Adapun kegiatan yang dilakukan seperti donor darah, sunat masal, tanam pohon, pelatihan-pelatihan, seminar-seminar, dan lain sebagainya. Untuk mendukung kinerja karyawan, perusahaan menyediakan fasilitas pendukung seperti fasilitas medis, fasilitas pengelolahan limbah, masjid, lapangan, kantin, koperasi, water treatment, training room, dan lainlain. Adapun perusahaan memiliki jam kerja yang terdiri dari 1 shift untuk plant 1 dan 2 shift untuk plant 2 dan 3. Berikut adalah tabel pembagian jam kerja yang diterapkan perusahaan:

19 Tabel 4.1 Jadwal Jam Shift Plant Hari Jam Jam Istirahat Total Jam (WIB) (WIB) 1 Senin Kamis 07.00 16.00 12.00 13.00 8 jam Jumat 07.00 16.00 11.30 13.00 8 jam 1 2 Senin Kamis 07.00 16.00 11.30 12.30 8 jam Jumat 07.00 16.00 11.30 13.00 8 jam 3 Senin Kamis 07.00 16.00 11.30 12.30 8 jam Jumat 07.00 16.00 11.30 13.00 8 jam 2 2 & 3 Senin Jumat 16.00 24.00 18.00 18.30 7,5 jam Sumber: Data Perusahaan 4.2 Hasil Observasi Lapangan Observasi lapangan dilakukan pada lokasi pabrik PT. Asia Dwimitra Industri dan berlangsung selama kurang lebih tiga bulan, yaitu dari bulan Maret 2014 hingga Juni 2014. Pengamatan dilakukan pada area produksi bagian proses perakitan upper sepatu khususnya di plant 1 pada lini NCVS 1.06 dengan sepatu tipe N-ACC. Hal yang menjadi fokus utama yaitu mengenai keseimbangan lini aliran produksi serta pembagian beban kerja yang seimbang antar stasiun kerja dalam satu lini produksi. Dalam kasus ini, observasi dilakukan dengan mengacu pada keilmuan Teknik Industri yaitu mengenai Keseimbangan Lini serta Predetermined Time Systems. Pengamatan pada proses produksi dilakukan secara langsung pada lantai produksi dan pengumpulan data didapat berdasarkan data standar yang dimiliki perusahaan dan juga dengan melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dalam proses produksi. 4.2.1 Proses Produksi PT. Asia Dwimitra Industri memiliki proses produksi yang terdiri dari: 1. Cutting Process. 2. Preparation Process. 3. Stitching / Sewing Process. 4. Assembling Process. 5. Finishing. Adapun proses pembuatan sepatu terdiri dari bagian upper dan bottom. Bagian upper sepatu merupakan bagian sisi atas sepatu, mulai dari ujung depan, sisi kanan dan kiri, bagian lidah (tongue), sampai dengan bagian belakang. Karakteristik dari upper biasanya berbahan dasar kain sintetik atau kulit yang di assembly dengan cara dijahit. Bagian bottom sepatu merupakan bagian bawah atau bagian alas sepatu yang terdiri dari insole, midsole dan outsole. Karakteristik dari bottom biasanya berbahan dasar rubber.

20 4.2.2 Data Perakitan Data perakitan yang diperoleh merupakan data perusahaan dalam proses perakitan upper. Berikut adalah daftar nama dan jumlah komponen yang digunakan dalam perakitan upper: Tabel 4.2 Daftar Komponen No. Komponen Jumlah 1 Quarter Med 2 2 Quarter Med Window Middle 2 3 Quarter Med Window Rear 2 4 Collar Med 2 5 Quarter Swoosh Med 2 6 Backtab 2 7 Collar Lat 2 8 Quarter / Vamp Lat 2 9 Eyestay Lat Bottom 2 10 Eyestay Lat Top 2 11 Tip / Vamp Eyestay 2 12 Quarter Med Window Front 2 13 Toe Box 2 14 Size Label 2 15 Tongue Lining 2 16 Tongue 2 17 Tongue Label 2 18 Tongue Lace Loop 2 19 Tongue Foam 2 20 Eyestay Facing 4 21 Quarter Lining Lat / Med 4 22 Collar Lining 2 23 Heel Counter 2 24 Collar Foam #1 & #2 4 25 Shoe Lace 2 Sumber: Data Perusahaan Selain daftar komponen diatas, terdapat pula daftar elemen kerja pada proses perakitan upper yang dapat dilihat pada Lampiran 1. 4.2.3 Hubungan Antar Operasi Hubungan antar operasi didapat dari proses pengamatan pada flowchart perusahaan serta lini yang bersangkutan. Hubungan antar operasi ini berguna untuk mengetahui tahapan-tahapan dalam setiap proses perakitan upper dan dibutuhkan dalam melakukan penyeimbangan lini. Adapun hubungan antar operasi setiap elemen kerja dapat dilihat pada Lampiran 2.

21

21 4.2.4 Waktu Siklus dan Waktu Baku Waktu siklus yang digunakan merupakan waktu standar yang menjadi acuan bagi perusahaan dalam melakukan seluruh proses perakitan. Sedangkan, faktor penyesuaian dan kelonggaran sudah menjadi ketetapan bagi perusahaan dalam melakukan setiap proses perakitan. Faktor penyesuaian dan kelonggaran sudah berupa persentase yang digunakan untuk menentukan waktu baku. Waktu baku yang ditetapkan oleh perusahaan berdasarkan persentase faktor penyesuaian dan kelonggaran terhadap waktu siklus dapat dilihat pada Lampiran 3. 4.3 Pengolahan Data 4.3.1 Fishbone Diagram Lingkungan Temperatur Tinggi Bising Metode KW J-Wagon RPW LCR Keseimbangan Lini Down Time Mesin Predetermined Time Systems Motion Study Skill Manusia Gambar 4.2 Fishbone Diagram Pada diagram fishbone diatas, pemetaan masalah untuk mencapai keseimbangan lini dapat dilihat dari beberapa faktor, antara lain mengenai lingkungan, mesin, manusia, dan metode. Namun, yang menjadi fokus utama dalam penelitian ini yaitu mengenai metode dan manusia. Dalam hal metode, untuk mencapai keseimbangan lini terbaik perlu dilakukan perhitungan serta perbandingan terhadap waktu baku yang ditetapkan perusahaan dengan beberapa metode keseimbangan lini, seperti: LCR, KW, RPW, dan J-Wagon. Setelah didapat metode terbaik dalam pencapaian keseimbangan lini, maka perlu diperhatikan faktor lain yaitu mengenai manusia, dimana dibutuhkan skill yang baik sehingga tercapai gerakan dasar kerja yang terstandarisasi melalui predetermined time systems dengan Method Time Measurement II (MTM-II).

22 4.3.2 Assembly Chart Data proses perakitan pada pengumpulan data dijadikan acuan untuk dikelola menjadi sebuah bentuk assembly chart yang bertujuan agar mempermudah dalam melihat atau membaca serta memahami proses assembly yang dilakukan dalam proses perakitan upper. Assembly chart dari proses perakitan upper yang dilakukan pada aliran lini produksi NCVS 1.06 dapat dilihat pada Lampiran 4. 4.3.3 Precedence Diagram Precedence diagram dibuat berdasarkan assembly chart, dimana fungsi dari precedence diagram ini adalah untuk menggambarkan hubungan dan keterkaitan antar elemen kerja yang memperlihatkan secara keseluruhan proses perakitan upper. Precedence diagram dapat dilihat pada Lampiran 5. 4.3.4 Kondisi Lini Awal Bentuk layout pada kondisi awal dapat dilihat pada Lampiran 6, dimana layout tersebut menunjukkan alur proses perakitan pada NCVS 1.06. Kondisi lini awal pada perakitan upper terdiri dari elemen-elemen kerja yang dikelompokkan berdasarkan prosesnya. Dimana, efisiensi dari kondisi lini awal didapat dari waktu baku yang diperoleh dan dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: Contoh perhitungan: Nilai efisiensi dari setiap stasiun kerja pada lini awal ditunjukkan pada tabel di bawah ini: (Lampiran 7)

23

23 Tabel 4.3 Kondisi Lini Awal Stasiun Waktu Efisiensi Idle Time No. Elemen Baku (detik) (%) (detik) 1 1, 3, 14, 10, 11 169,87 23,49 553,15 2 2 41,56 5,75 681,46 3 41 6,09 0,84 716,93 4 5, 4, 6, 7 94,78 13,11 628,24 5 21, 22, 19, 18, 20, 23 181,46 25,10 541,56 6 9, 12, 13, 17, 8 176,16 24,36 546,86 7 16, 24, 15, 25, 26 170,86 23,63 552,16 8 34, 32, 33, 35, 27, 28, 29, 30, 31, 36, 37, 38 287,94 39,82 435,08 9 39, 40, 43, 42, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55 723,01 100 0 TOTAL ( ) 1851,73 4655,38 Pada lini awal diperoleh perhitungan dengan diketahui: Cycle Time (CT): CT < Wb maks, maka CT = Wb maks n = jumlah stasiun kerja = 9 stasiun kerja Wb maks = CT = 723,01 detik Wb = 1851,73 detik Idle Time = IT = 4655,38 detik Line Efficiency (LE): Balance Delay (BD): Smoothness Index (SI): = 1662,97

24 4.3.5 Keseimbangan Lini 4.3.5.1 Metode Largest Candidate Rules (LCR) Pada metode ini, masing-masing elemen kerja diurutkan berdasarkan waktu baku dari yang paling besar. Pengurutan elemen kerja dari waktu baku terbesar sampai waktu baku terkecil dapat dilihat pada Lampiran 8. Setelah mengurutkan waktu dari yang terbesar, selanjutnya adalah mengelompokkan elemen-elemen kerja ke stasiun kerja berdasarkan prioritasnya dengan acuan waktu baku yang terbesar dan disesuaikan dengan urutan dari masing-masing elemen pada precedence diagram. Berikut tabel keseimbangan lini dengan metode LCR: Tabel 4.4 Keseimbangan Lini dengan Metode LCR Stasiun No. Elemen Waktu Baku (detik) Efisiensi (%) Idle Time (detik) 1 3, 1, 27, 2 115,55 98,73 1,49 2 8, 14, 17, 4, 41 116,05 99,15 0,99 3 10, 11, 5 102,41 87,50 14,63 4 6, 7, 9, 12 116,30 99,37 0,74 5 13, 15, 18 107,55 91,89 9,49 6 19, 20, 21, 22 112,08 95,76 4,96 7 23, 28, 32 115,44 98,63 1,60 8 16, 24, 25 104,78 89,52 12,26 9 26, 29, 30, 31, 37 114,72 98,02 2,32 10 33, 34, 35, 36, 42 104,85 89,58 12,19 11 38, 39, 43 109,57 93,62 7,47 12 40, 44, 45 91,04 77,79 26 13 46 117,04 100 0 14 47, 49 115,48 98,67 1,56 15 48, 51 104,81 89,55 12,23 16 50, 52, 53 103,80 88,69 13,24 17 54, 55 100,26 85,66 16,78 Berdasarkan data dari tabel diatas, terdapat perhitungan performansi untuk metode LCR (dapat dilihat pada Lampiran 9). Berikut adalah contoh dari perhitungan masing-masing performansi tersebut: Efisiensi dan Idle Time per-stasiun :

25

25 Line Efficiency (LE): Balance Delay (BD): Smoothness Index (SI): = 44,50 4.3.5.2 Metode Killbridge-Wester (KW) Pada metode ini, langkah pertama adalah membagi precedence diagram menjadi beberapa kolom (Lampiran 10). Tabel pembagian kolom pada precedence diagram dapat dilihat pada Lampiran 11. Langkah selanjutnya adalah mengelompokkan elemen-elemen kerja ke stasiun kerja berdasarkan prioritasnya dengan acuan waktu baku yang terbesar dan disesuaikan dengan urutan dari masing-masing elemen pada precedence diagram. Tabel 4.5 Keseimbangan Lini dengan Metode KW Stasiun No. Elemen Waktu Baku (detik) Efisiensi (%) Idle Time (detik) 1 1, 3, 27, 41, 4 98,89 84,49 18,15 2 2, 8, 14 102,50 87,58 14,54 3 17, 10, 5, 18, 19 110,60 94,50 6,44 4 21, 11, 6 113,11 96,64 3,93 5 20, 22, 7, 32 112,70 96,29 4,34 6 23, 28, 34 114,36 97,71 2,68 7 9, 29, 30, 12 108,84 92,99 8,2 8 33, 35, 13 100,47 85,84 16,57 9 31, 36, 15, 37 104,34 89,15 12,7 10 16, 38, 42, 25 104,63 89,40 12,41 11 24, 43, 26 92,34 78,90 24,7 12 39, 40, 44 111,68 95,42 5,36 13 45, 48 109,54 93,59 7,5 14 46 117,04 100 0 15 47, 49 115,48 98,67 1,56

26 Stasiun Tabel 4.5 Keseimbangan Lini dengan Metode KW (Lanjutan) No. Elemen Waktu Baku (detik) Efisiensi (%) Idle Time (detik) 16 50, 51, 52 96,27 82,25 20,77 17 53, 54 65,70 56,13 51,34 18 55 73,24 62,58 43,8 Berdasarkan data dari tabel diatas, terdapat perhitungan performansi untuk metode KW (dapat dilihat pada Lampiran 12). Berikut adalah contoh dari perhitungan masing-masing performansi tersebut: Efisiensi dan Idle Time per-stasiun : Line Efficiency (LE): Balance Delay (BD): Smoothness Index (SI): = 83,45 4.3.5.3 Metode Ranked Positional Weights (RPW) Pada metode ini, langkah pertama adalah menghitung bobot posisi dengan mengurutkan elemen-elemen yang mengikuti dari masing-masing elemen. Kemudian dilakukan pengurutan bobot posisi dari jumlah waktu

27 baku yang terbesar. Pengurutan bobot posisi dari yang terbesar sampai bobot posisi terkecil dapat dilihat pada Lampiran 13. Langkah selanjutnya adalah mengelompokkan elemen-elemen kerja ke stasiun kerja berdasarkan prioritasnya dengan acuan waktu baku yang terbesar dan disesuaikan dengan urutan dari masing-masing elemen pada precedence diagram.

27 Stasiun Tabel 4.6 Keseimbangan Lini dengan Metode RPW No. Elemen Waktu Baku (detik) Efisiensi (%) Idle Time (detik) 1 3, 1, 2, 4 115,01 98,27 2,03 2 5, 6, 10, 8 110,87 94,73 6,17 3 7, 11, 9 109,32 93,40 7,72 4 12, 17, 13 116,7 99,71 0,34 5 21, 18, 19, 14, 27 111,77 95,50 5,27 6 20, 22, 15, 32 115,31 98,52 1,73 7 28, 23, 34 114,36 97,71 2,68 8 33, 16, 35, 29 92,70 79,20 24,34 9 24, 36, 37 111,47 95,24 5,57 10 30, 31, 38, 25 104,88 89,61 12,16 11 26, 39, 41, 42, 43 116,91 99,89 0,13 12 40, 44, 45 91,04 77,79 26 13 46 117,04 100 0 14 47, 49 115,48 98,67 1,56 15 48, 51 104,81 89,55 12,23 16 50, 52, 53 103,80 88,69 13,24 17 54, 55 100,26 85,66 16,78 Berdasarkan data dari tabel diatas, terdapat perhitungan performansi untuk metode RPW (dapat dilihat pada Lampiran 14). Berikut adalah contoh dari perhitungan masing-masing performansi tersebut: Ranked Positional Weights (RPW): RPW 1 = 21,64 + 41,56 + + 73,24 = 1185,18 Efisiensi dan Idle Time per-stasiun : Line Efficiency (LE):

28 Balance Delay (BD): Smoothness Index (SI): = 46,86 4.3.5.4 Metode J-Wagon Pada metode ini, langkah pertama adalah menentukan elemen yang mengikuti setelah stasiun tersebut. Kemudian diurutkan dari jumlah elemen pengikut yang paling banyak. Pengurutan elemen pengikut dari yang paling banyak ke paling sedikit dapat dilihat pada Lampiran 15. Stasiun Tabel 4.7 Keseimbangan Lini dengan Metode J-Wagon No. Elemen Waktu Baku (detik) Efisiensi (%) Idle Time (detik) 1 3, 1, 2, 4 115,01 98,27 2,03 2 5, 6, 10, 8 110,87 94,73 6,17 3 7, 11, 9 109,32 93,40 7,72 4 17, 12, 13 116,7 99,71 0,34 5 21, 14, 27, 18, 19 111,77 95,50 5,27 6 32, 28, 20, 34 113,94 97,35 3,1 7 22, 15, 33, 16 113,97 97,38 3,07 8 23, 35, 29, 31 112,48 96,10 4,56 9 24, 30, 37 115,46 98,65 1,58 10 36, 25, 38, 26, 41 109,2 93,30 7,84 11 39, 42, 43, 44 105,27 89,94 11,77 12 40, 45, 51 107,5 91,85 9,54 13 46 117,04 100 0 14 47, 49 115,48 98,67 1,56 15 48, 53 112,34 95,98 4,7 16 50, 52, 54 92,14 78,73 24,9 17 55 73,24 62,58 43,8 Berdasarkan data dari tabel diatas, terdapat perhitungan performansi untuk metode J-Wagon (dapat dilihat pada Lampiran 16). Berikut adalah contoh dari perhitungan masing-masing performansi tersebut:

29 Efisiensi dan Idle Time per-stasiun :

29 Line Efficiency (LE): Balance Delay (BD): Smoothness Index (SI): = 55 4.3.6 Predetermined Time Systems (PTS) 4.3.6.1 Method Time Measurement II (MTM-II) Tahap pertama yang dilakukan pada pengerjaan MTM-II adalah merekam hasil pengamatan gerakan operator pada saat melakukan suatu pekerjaan. Kemudian rekaman tersebut dijabarkan ke dalam gerakan dasar sesuai dengan kategori pada MTM-II yang akhirnya didapatkan besaran waktu sesuai standar pada tabel MTM-II. Terdapat sembilan elemen kerja manual dengan waktu baku tertinggi yang dikaji ulang untuk mendapatkan gerakan-gerakan kerja yang terstandarisasi. Berikut adalah tabel hasil dari beberapa gerakan kerja yang di standarisasi berdasarkan MTM-II: No. Elemen Tabel 4.8 Standarisasi Waktu Baku Elemen Berdasarkan MTM-II Elemen Waktu Baku (detik) Kondisi Setelah Awal MTM-II 46 Stitch Eyestay Lat Top & Bottom to Vamp / Quarter Lining Lat 117,04 68,62 48 St Eyestay Med #2 (Blue thread) 73,66 56,85 55 Insert Shoe Lace to Upper 73,24 58,29 49 Stitch Collar Lat & Med through Collar Lining, Stitch Eyestay Quarter Lat 64,12 46,69 24 Stitch Collar Lat to Quarter / Vamp 56,94 34,03 39 Stitch Collar Lining to Upper Rear Area 56,52 38,38 47 St Eyestay Med #2 area Tip(Grey thread) 51,36 36,29 28 Stitch Eyestay Facing to Quarter Lining Lat/Med 49,19 28,71 50 Trimming Eyestay 45,49 41,66

30 Adapun perbandingan waktu baku sebelum dan setelah MTM-II dapat dilihat pada Lampiran 17, dan selain itu penjabaran dari setiap gerakangerakan dan tabel MTM-II pada elemen kerja diatas, dapat dilihat pada Lampiran 18. 4.3.6.2 Keseimbangan Lini Setelah MTM-II Setelah dilakukan perubahan atau standarisasi berdasarkan MTM-II pada sembilan elemen kerja yang memiliki waktu baku tertinggi, maka hasil waktu baku pada MTM-II tersebut dianalisis kembali menggunakan metode keseimbangan lini terbaik yaitu metode LCR. Adapun urutan masing-masing elemen kerja berdasarkan waktu baku terbesar dapat dilihat pada Lampiran 19. Setelah mengurutkan, selanjutnya adalah mengelompokkan elemenelemen kerja ke stasiun kerja berdasarkan prioritasnya dengan acuan waktu baku yang terbesar dan disesuaikan dengan urutan dari masing-masing elemen pada precedence diagram. Tabel 4.9 Keseimbangan Lini Menggunakan Waktu Baku Setelah MTM-II Stasiun No. Elemen Waktu Baku (detik) Efisiensi Idle Time (detik) 1 3, 27, 41 58,44 85% 10,18 2 1, 2 63,20 92% 5,42 3 14, 17 60,68 88% 7,94 4 8, 4, 5, 66,93 98% 1,69 5 10, 6 62,75 91% 5,87 6 7, 9 58,17 85% 10,45 7 11 51,15 75% 17,47 8 12, 15 60,78 89% 7,84 9 13 57,50 84% 11,12 10 18, 19, 20 64,70 94% 3,92 11 21, 22 65,64 96% 2,98 12 23, 25 67,17 98% 1,45 13 16, 24 65,82 96% 2,8 14 28, 29, 32 61,78 90% 6,84 15 30, 31, 34 64,99 95% 3,63 16 33, 35, 37 68,57 99,9% 0,05 17 36, 38 66,82 97% 1,8 18 26, 39 58,62 85% 10 19 42, 40 59,37 87% 9,25 20 43, 44, 45 65,73 96% 2,89 21 46 68,62 100% 0 22 47, 51 67,44 98% 1,18 23 48 56,85 83% 11,77

31 24 49 46,69 68% 21,93 25 50, 52 61,29 89% 7,33

31 Tabel 4.9 Keseimbangan Lini Menggunakan Waktu Baku Setelah MTM-II (Lanjutan) Stasiun No. Elemen Waktu Baku (detik) Efisiensi Idle Time (detik) 26 3, 27, 41 58,44 85% 10,18 27 1, 2 63,20 92% 5,42 Maka setelah itu didapat perhitungan performansi untuk keseimbangan lini dengan metode LCR menggunakan waktu baku setelah MTM-II (dapat dilihat pada Lampiran 20). Berikut adalah contoh dari perhitungan masing-masing performansi tersebut: Efisiensi dan Idle Time per-stasiun : Line Efficiency (LE): Balance Delay (BD): Smoothness Index (SI): = 43,75

32 4.4 Analisis Data 4.4.1 Analisis Usulan Keseimbangan Lini Terbaik Setelah melakukan seluruh perhitungan pada pengolahan data, maka didapatkan nilai line efficiency, balance delay, dan smoothness index dari masing-masing metode keseimbangan lini. Berikut adalah hasil perhitungan dari empat metode yang digunakan: Metode Tabel 4.10 Perbandingan Hasil Perhitungan Seluruh Metode Line Efficiency (LE) Balance Delay (BD) Smoothness Index (SI) Largest Candidate Rules (LCR) 93,07% 6,93% 44,50 Killbridge & Wester (KW) 87,90% 12,10% 83,45 Ranked Position Weights (RPW) 93,07% 6,93% 46,86 J-Wagon 93,07% 6,93% 55 Untuk mengukur apakah suatu lini seimbang atau tidak, dapat dilihat dari nilai line efficiency, balance delay, dan smoothness index, dimana keseimbangan lini terbaik memiliki nilai line efficiency yang tinggi, nilai balance delay yang rendah, dan yang paling penting adalah memiliki nilai smoothness index yang rendah. Metode dengan hasil nilai smoothness index rendah atau semakin mendekati nol maka semakin baik karena hal ini menunjukkan kelancaran relatif dari penyeimbangan lini perakitan, semakin kecil nilai smoothing index maka keseimbangan lini perakitan semakin lancar. Pada tabel 4.15 diatas, beberapa metode memiliki hasil nilai yang sama pada line efficiency terbesar yaitu 93,07% dengan balance delay terkecil yaitu 6,93% adalah keseimbangan lini dengan metode LCR, RPW, dan J- Wagon. Namun, dari masing-masing metode tersebut memiliki nilai smoothness index yang berbeda yaitu pada metode LCR sebesar 44,50, metode RPW sebesar 46,86 dan metode J-Wagon sebesar 58,04. Oleh karena itu, dari hasil perhitungan maka metode keseimbangan lini terbaik yang digunakan sebagai usulan pada penelitian ini yaitu metode Largest Candidate Rules (LCR) karena memiliki nilai smoothness index terendah yang berarti memiliki keseimbangan lini yang baik atau berjalan lancar. 4.4.2 Analisis Layout Usulan Setelah Keseimbangan Lini dan Setelah MTM-II Layout usulan 1 dibuat berdasarkan metode keseimbangan lini terbaik yaitu metode LCR dengan waktu baku yang ditetapkan oleh perusahaan.

33 Lalu, layout usulan 2 dibuat dengan metode LCR berdasarkan waktu baku setelah MTM-II. Adapun perbandingan antara layout kondisi awal dengan layout usulan 1 dan 2 dapat dilihat pada tabel 4.11 dibawah ini:

33 Tabel 4.11 Perbandingan Hasil Perhitungan Layout Kondisi Awal dan Layout Usulan Layout Line Efficiency Balance Delay Smoothness Index (LE) (BD) (SI) Kondisi Awal 28,46% 71,54% 1662,97 Usulan 1 93,07% 6,93% 44,50 Usulan 2 90,34% 9,66% 43,75 Dari tabel diatas, maka dapat di analisis bahwa layout usulan 1 dan usulan 2 yang diberikan memiliki hasil yang lebih baik dibandingkan dengan layout pada kondisi awal. Berikut adalah analisis perbandingan antara layout kondisi awal dengan layout usulan 1 dan usulan 2. Tabel 4.12 Analisis Perbandingan Layout Kondisi Awal dan Layout Usulan Layout Kondisi Awal Layout Usulan 1 Layout Usulan 2 Memiliki nilai efisiensi lini hanya sebesar 28,46%. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi lini saat ini tidak seimbang sehingga tidak efisien. Oleh karena itu, perlu dilakukan perbaikan. Memiliki nilai balance delay yang tinggi yaitu sebesar 71,54%. Hal ini menunjukkan ketidakefisienan lini diakibatkan dari waktu menganggur yang tinggi, biasanya disebabkan dari pengalokasian pekerjaan yang kurang sempurna diantara stasiun kerja. Memiliki nilai efisiensi lini sebesar 93,07%, meningkat tajam setelah dilakukan perbaikan dengan metode LCR yaitu sebesar 64,61%. Hal ini menunjukkan bahwa lini usulan 1 yang diberikan seimbang dan lebih efisien dibanding kondisi lini saat ini. Memiliki nilai balance delay yang lebih rendah dibandingkan kondisi awal yaitu sebesar 6,93%, menurun drastis sebesar 64,61% setelah dilakukan perbaikan lini. Hal ini menunjukkan lini usulan yang diberikan memiliki pembagian dan pengalokasian yang seimbang pada setiap stasiun kerja sehingga hanya sedikit waktu menganggur yang dihasilkan. Memiliki nilai efisiensi hanya 90,34%, lebih rendah 2,73% dibandingkan usulan 1, namun masih memiliki nilai efisiensi diatas 90% sehingga menunjukkan bahwa usulan 2 juga memiliki lini yang seimbang dan memiliki tingkat efisiensi yg cukup sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam melakukan improvement. Memiliki nilai balance delay 9,66%, lebih tinggi 2,73% dari usulan 1. Hal ini menunjukkan lini usulan 2 yang diberikan memiliki pembagian dan pengalokasian yang kurang baik dibandingkan usulan 1, namun dapat dijadikan bahan pertimbangan karena masih memiliki nilai dibawah 10%.

34 Tabel 4.12 Analisis Perbandingan Layout Kondisi Awal dan Layout Usulan (Lanjutan) Layout Kondisi Awal Layout Usulan 1 Layout Usulan 2 Memiliki nilai smoothness index yang sangat tinggi yaitu sebesar 1662,97. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi lini saat ini memiliki aliran yang tidak berjalan lancar sehingga banyak terjadi penumpukkan material dan sering terjadi idle time. Memiliki nilai smoothness index yang jauh lebih rendah dari kondisi awal yaitu sebesar 44,50. Hal ini menunjukkan lini usulan yang diberikan dapat menghasilkan aliran lini yang seimbang dan berjalan lancar sehingga penumpukkan material dan operator menganggur pun dapat dikurangi. Memiliki nilai smoothness index yang lebih rendah dari kondisi awal dan usulan 1 yaitu sebesar 43,75. Hal ini menunjukkan lini usulan 2 dapat menghasilkan aliran lini yang lebih seimbang dan berjalan lancar dibanding usulan 1 sehingga penumpukkan material dan operator menganggur pun dapat lebih diminimalisir. Terdiri dari 9 stasiun kerja. Terdiri dari 17 stasiun kerja. Terdiri dari 27 stasiun kerja. Dari tabel 4.12 diatas, pada kondisi lini awal sangat memungkinkan tidak tercapainya target produksi yang direncanakan perusahaan. Oleh karena itu, bentuk lini yang diusulkan diharapkan dapat memberikan hasil optimal pada proses produksi, menciptakan lini yang seimbang dengan efisiensi yang tinggi. Adapun bentuk layout kondisi awal perakitan saat ini dapat dilihat pada Lampiran 6, layout usulan 1 yang diberikan pada penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 21, layout usulan 2 yang diberikan pada penelitian ini juga dapat dilihat pada Lampiran 22. 4.4.3 Analisis Perbandingan Grafik Waktu Baku Antara Stasiun pada Kondisi Lini Awal dan Usulan. Kondisi lini awal memiliki 9 stasiun kerja yang terdiri dari elemenelemen kerja yang telah ditetapkan perusahaan. Gambar 4.3 dibawah ini, menggambarkan grafik waktu baku antar stasiun kerja pada kondisi lini awal, yang datanya diambil dari Tabel 4.3 pada pengolahan data. Terlihat pada grafik bahwa setiap stasiun kerja memiliki waktu baku yang bervariatif bahkan ada yang terpaut jauh. Hal ini menunjukkan akan adanya pengalokasian atau pembagian elemen kerja pada stasiun kerja yang tidak seimbang sehingga akan banyak terjadi bottleneck atau penumpukkan material dan idle time yang menyebabkan aliran tidak berjalan lancar serta lini menjadi tidak efisien.

37 Gambar 4.3 Grafik Waktu Baku Kondisi Lini Awal Berbeda dengan grafik kondisi lini awal seperti diatas, berikut adalah grafik usulan 1 dengan keseimbangan lini menggunakan metode LCR: Gambar 4.4 Grafik Waktu Baku dengan Metode LCR (Usulan 1) Adapun pada Gambar 4.4 diatas, data waktu baku yang digunakan dalam grafik diambil dari Tabel 4.4 pada pengolahan data. Begitupun dengan Gambar 4.5 dibawah ini yang menggunakan data waktu baku dari Tabel 4.9 pada pengolahan data.

Gambar 4.5 Grafik Waktu Baku dengan Metode LCR setelah MTM-II (Usulan 2) Pada Gambar 4.4 dan Gambar 4.5 diatas, terlihat bahwa grafik waktu baku pada usulan 1 dan usulan 2 masing-masing stasiun kerja tidak terpaut jauh atau dapat dikatakan seimbang sehingga diharapkan tidak akan terjadi bottleneck atau penumpukan material dan idle time dalam aliran lini tersebut. Akan tetapi, pada lini usulan 1 (Gambar 4.4) terdiri dari 17 stasiun kerja yang dibagi berdasarkan metode LCR dengan pembagian elemen-elemen kerja yang berurutan sesuai dengan precedence diagram dalam perakitan. Begitupun dengan lini usulan 2 (Gambar 4.5) terdiri dari stasiun kerja yang lebih banyak yaitu 27 stasiun kerja, namun banyaknya stasiun kerja pada usulan 2 memberikan tingkat kelancaran yang lebih baik, terbukti dalam perhitungan smoothness index yang menghasilkan nilai rendah dibandingkan usulan 1. Bertambahnya jumlah stasiun kerja dari 9 ke 17 pada usulan 1, maupun dari 9 ke 27 pada usulan 2, itu tidak menjadi masalah selama pembagian beban atau elemen kerja seimbang dan sesuai dengan urutan proses perakitan pada assembly chart dan precedence diagram. 38