BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Kualitas Seperti dituliskan oleh Syukron dan Kholil (2012), ada beberapa definisi kualitas dari para ahli kualitas. Definisi tersebut antara lain : Montgomery mendefinisikan kualitas menjadi 2 pengertian. Kualitas berarti layak digunakan dan kualitas berbanding terbalik dengan variabilitas. Ada 2 aspek dari definisi kualitas yang berarti layak digunakan. Quality of design adalah level dari kualitas, yaitu spesifikasi produk yang dibuat berdasarkan keinginan dari konsumen. Sedangkan quality of performance adalah seberapa baik suatu produk dalam memenuhi spesifikasi dari permintaan dengan desainnya. Sedangkan kualitas berbanding terbalik dengan variabilitas artinya kualitas produk akan meningkat jika variabilitas dalam karakteristik penting suatu produk menurun. Deming memandang bahwa konsumen adalah bagian paling penting dalam sistem produksi. Untuk Deming, definisi yang hanya bermakna dari kualitas adalah yang menentukan konsumen. Sebuah produk dapat memenuhi setiap spesifikasi teknis mungkin dan ditawarkan dengan harga yang sesuai, tetapi jika itu adalah produk yang salah, itu tidak ada gunanya bagi konsumen. Seperti Deming, Juran juga melihat kualitas sebagai konsep yang berguna hanya dapat didefinisikan oleh konsumen. Juran mendefinisikan kualitas dengan 6
kesesuaian untuk digunakan dengan dua kategori yang berbeda yaitu fitur produk yang memenuhi kebutuhan pelanggan dan kebebasan dari kekurangan. Crosby cenderung untuk mengambil lebih sempit tampilan manajemen terpusat. Crosby melihat banyak pernyataan yang lebih samar tentang kualitas (menyenangkan pelanggan,perbaikan terus-menerus, dll) hanya sebagai perpanjangan dari definisi yang sangat dasar, kesesuaian dengan persyaratan. Sedangkan Ariani (2004) dalam bukunya menyebutkan definisi kualitas yang berupa pernyataan dari para ahli. Definisi tersebut antara lain : Juran (1962) kualitas adalah kesesuaian dengan tujuan atau manfaatnya. Crosby (1979) kualitas adalah kesesuaian dengan kebutuhan yang meliputi availability, delivery, reliability, maintainability, dan cost effectiveness. Deming (1982) kualitas harus bertujuan memenuhi kebutuhan pelanggan sekarang dan di masa mendatang. Feigenbaum (1991) kualitas merupakan keseluruhan karakteristik produk dan jasa yang meliputi marketing, engineering, manufacture, dan maintenance, dalam mana produk dan jasa tersebut dalam pemakaiannya akan sesuai dengan kebutuhan dan harapan pelanggan. Scherkenbach (1991) kualitas ditentukan oleh pelanggan; pelanggan menginginkan produk dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan dan harapannya pada suatu tingkat harga tertentu yang menunjukkan nilai produk tersebut. Elliot (1993) kualitas adalah sesuatu yang berbeda untuk orang yang berbeda dan tergantung pada waktu dan tempat, atau dikatakan sesuai dengan tujuan. Goetch dan Davis (1995) kualitas adalah suatu kondisi dinamis yang berkaitan dengan produk, pelayanan, orang, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi apa yang diharapkan. 7
2.2 Six Sigma Six sigma adalah proses manajemen bisnis yang memberikan hasil yang nyata melalui perbaikan proses secara berkelanjutan dan pengurangan variasi (Feng dan Kapur, 2007). Metode six sigma dipilih karena metode ini merupakan metode peningkatan kualitas yang terstruktur, sistematis, dan berorientasi pada proses. Keberhasilan implementasi six sigma pada berbagai bidang disebabkan karena metode ini menyediakan pendekatan yang sistematis untuk perbaikan proses dan kualitas, bukan hanya kumpulan tools saja (Feng dan Kapur, 2007). Mengacu pada buku dari Syukron dan Kholil (2012), metodologi six sigma memiliki 5 tahap implementasi yaitu : 2.2.1 Define Langkah awal dalam pelaksanaan metodologi Six Sigma adalah proses define. Define bertujuan untuk mengidentifikasi produk atau proses yang akan diperbaiki dan menentukan sumber-sumber (resources) apa yang dibutuhkan dalam pelaksanaan proyek. Sebelum menentukan dan melangkah untuk melakukan tahap define, kita harus menentukan terlebih dahulu potential project yang layak untuk dilakukan. Kemudian kita buat project statement dengan beberapa perincian informasi di bawah ini : 1. Critical to quality (CTQ) yang diminta oleh pelanggan? 2. Cacat (defect) apa yang menyebabkan pelanggan merasa tidak puas? 3. DPMO atau posisi kualitas sigma saat ini? 8
4. Keuntungan apa yang dari perbaikan yang akan dicapai? 5. Siapa saja tim yang terlibat untuk proses perbaikan? 6. Siapa mentor dan sponsor dari proyek ini? 7. Berapa waktu yang diperlukan untuk perbaikan? 8. Seberapa besar data yang ada dan yang bisa dihasilkan? 9. Kenapa perbaikan itu penting? 2.2.2 Measure Pada tahap ini, terlebih dulu manajemen harus memahami proses internal perusahaan yang sangat potensial mempengaruhi mutu output (disebut critical to quality/ctq). Kemudian mengukur besaran penyimpangan yang terjadi dibandingkan dengan baku mutu yang telah ditetapkan pada CTQ. Artinya dalam tahap ini kita harus mengetahui kegagalan atau cacat yang terjadi dalam produk atau proses yang akan kita perbaiki. Secara umum tahap Measure bertujuan untuk mengetahui CTQ dari produk atau proses yang ingin kita perbaiki, selanjutnya mengumpulkan beberapa informasi dasar (baseline information) dari produk atau proses dan terakhir kita menetapkan target perbaikan yang kita ingin capai. Dalam tahap Measure mulai dilakukan pengumpulan dan pengukuran untuk data-data yang telah dikumpulkan. Data tersebut harus diuji kecukupan datanya. Rumus untuk menguji kecukupan data adalah sebagai berikut : 9
= ( ) Dengan : k = Tingkat keyakinan = 90% = 1.65 s = Derajat ketelitian= 10% = 0.1 N = Jumlah data pengamatan N = Jumlah data teoritis Jika dari hasil uji kecukupan data tersebut menunjukkan bahwa data tersebut cukup, maka data tersebut dapat digunakan untuk penelitian. Selain uji kecukupan data, pada tahap Measure juga dilakukan pengukuran apakah data yang dikumpulkan berada dalam batas kendali. Diagram kendali terdiri dari dua tipe, yaitu diagram kendali n dan diagram kendali p. Karena data yang digunakan adalah data yang terukur maka dapat menggunakan digram kendali p. Dalam menggambar diagram kendali harus menentukan terlebih dahulu nilai batas atas dan batas bawah dari setiap data yang dikendalikan. Untuk menghitung dapat menggunakan rumus-rumus berikut : 1. Menghitung persentase kerusakan Untuk menghitung persentase kerusakan menggunakan rumus : = 2. Menghitung mean / rata-rata produk akhir (CL) = 10
3. Menghitung Upper Control Limit (UCL) Menghitung batas kendali atas menggunakan rumus : (1 ) = 3 4. Menghitung Lower Control Limit (LCL) Menghitung batas kendali bawah menggunakan rumus : (1 ) = 3 Setelah diketahui batas atas dan batas bawah dari setiap data yang dikendalikan maka dapat dibuat diagram kendali p-nya. Berikut adalah contoh dari diagram kendali p. Gambar 2.1 Peta kendali p Tahap Measure berikutnya adalah mengukur Defect Per Unit (DPU), Defect Per Million Opportunity (DPMO) dan tingkat Sigma dari data-data yang digunakan dalam penelitian tersebut dengan cara yang dilakukan oleh Gaspersz (2007) langkahnya adalah sebagai berikut: =!"# $%&'("$"!"# & )'$(* 11
+, =!"# -"-"! & )'$(*.'/#"h & )'$(* 1.000.000 %3%# 4*5/"=,6+478 91 Tabel 2.1 tabel tingkat sigma level :'/#"h-"-"! ;+ 4<7= :'/#"h $%/'5$*" Tingkat DPMO (Defect Per Million COPQ (Cost Of Poor Pencapaian Opportunities) Quality) 1 Sigma 697.462 (sangat tidak kompetitif) Tidak dapat dihitung 2 Sigma 308.538 (rata rata Industri Tidak dapat dihitung 3 Sigma 66.807 25 40% dari penjualan 4 Sigma 6.210 ( rata rata industri USA ) 15 25% dari penjualan 5 Sigma 233 5 15% dari penjualan 6 Sigma 3,4 ( Industri Kelas Dunia ) < 1% dari penjualan Setiap peningkatan/pergeseran 1 Sigma akan memberikan peningkatan keuntungan sekitar 10% dari penjualan. Sumber : Gasperzs, (2002) Setelah mengetahui hasil perhitungan yang dilakukan maka diperoleh tingkat sigma dengan kemungkinan defectyang terjadi untuk sejuta produksi. 2.2.3 Analyze Di sini manajemen berupaya memahami mengapa terjadi penyimpangan dan mencari alasan-alasan yang mengakibatkannya. Maka dari itu, manajemen harus mengembangkan sejumlah asumsi sebagai hipotesis. Hipotesis atau dugaan-dugaan sementara mengenai faktorfaktor penyebab penyimpangan harus diuji. Jika hasil uji terhadap hipotesis diterima berarti faktor-faktor penyebab simpangan berpengaruh secara signifikan terhadap penyimpangan yang ada. Apabila hasil uji 12
terhadap hipotesis ditolak berarti faktor-faktor tersebut tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penyimpangan yang ada. Untuk mengetahui prosentase setiap faktor-faktor penyebab simpangan paling besar hingga terkecil dapat ditunjukkan menggunakan Diagram Pareto. Setiap data yang ada dihitung penyimpangan cumulative yang terjadi terhadap keseluruhan data yang ada menggunakan rumus berikut ini. %?%&'("$" '/'#"!*3%= :'/#"h $%&'("$" -'/'#"!*3% :'/#"h $%&'("$" $%(%#'&'h" 100 % Hasil perhitungan dapat ditunjukkan dalam Diagram Pareto seperti contoh berikut. Sumber : Tague, 2005 Gambar 2.2 Diagram pareto Data yang memiliki penyimpangan terbesar dapat dilakukan perbaikan dengan terlebih dahulu menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi penyimpangan. Untuk membantu menentukan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi setiap penyimpangan dapat menggunakan fishbone diagram. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi dan menjadi penyebab kerusakan produk secara umum dapat digolongkan sebagai berikut: 13
a) Man (manusia) : Para pekerja yang melakukan pekerjaan yang terlibat dalam proses produksi. b) Material (bahan baku) : Segala sesuatu yang dipergunakan oleh perusahaan sebagai komponen produk yang akan diproduksi, terdiri dari bahan baku utama dan bahan baku pembantu. c) Machine (mesin) : Mesin-mesin dan berbagai peralatan yang digunakan dalam proses produksi d) Methode (metode) : Instruksi kerja atau perintah kerja yang harus diikuti dalam proses produksi. e) Environment (lingkungan) : Keadaan sekitar perusahaan yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi perusahaan secara umum dan mempengaruhi proses produksi secara khusus. Setelah mendata faktor-faktor yang dominan mengakibatkan penyimpangan, manajemen harus melangkah ke tahap improve. Berikut adalah contoh dari fishbone diagram : Sumber : Tague, 2005 Gambar 2.3 Diagram tulang ikan (fishbone) 14
2.2.4 Improve Pada tahap improve, manajemen memastikan variabelvariabelkunci atau faktor-faktor utama (X) dan mengukur daya pengaruhnyaterhadap hasil yang diinginkan (Y). Sebagai hasilnya, manajemenmengidentifikasi jajaran penerimaan maksimum terhadap masing-masing variabel untuk menjamin bahwa sistem pengukurannya memang layak untuk mengukur penyimpangan yang ada. Kemudian manajemen bisa memodifikasi tiap-tiap variabel kunci agar selalu berada di dalam jajaran penerimaan. Failure Modes and Effects Analysis (FMEA) FMEA merupakan sebuah teknik yang digunakan untuk mencari, mengidentifikasi, dan menghilangkan kegagalan potensial, error, dan masalah yang diketahui dari sistem, desain, proses, atau jasa sebelum hal tersebut sampai ke konsumen. FMEA disini adalah FMEA Process untuk mendeteksi risiko yang teridentifikasi pada saat proses. Tingkat Keseriusan (Severity) Severity adalah penilaian terhadap keseriusan dari efek yang ditimbulkan. Dalam arti setiap kegagalan yang timbul akan dinilai seberapa besarkah tingkat keseriusannya. Terdapat hubungan secara langsung antara efek dan severity. Sebagai contoh, apabila efek yang terjadi adalah efek yang kritis, maka nilai severity pun akan tinggi. Dengan demikian, apabila efek yang terjadi bukan merupakan efek yang kritis, maka nilai severity pun akan sangat rendah. 15
Tingkat Kejadian (Occurance) Occurance adalah kemungkinan bahwa penyebab tersebut akan terjadi dan menghasilkan bentuk kegagalan selama masa penggunaan produk. Occurance merupakan nilai rating yang disesuaikan dengan frekuensi yang diperkirakan dan atau angka kumulatif dari kegagalan yang dapat terjadi. Metode Deteksi (Detection) Nilai detection diasosiasikan dengan pengendalian saat ini.detection adalah pengukuran terhadap kemampuan mengendalikan / mengontrol kegagalan yang dapat terjadi. Risk Priority Number (RPN) Nilai ini merupakan produk dari hasil perkalian tingkat keparahan, tingkat kejadian, dan tingkat deteksi. RPN menentukan prioritas dari kegagalan.rpn tidak memiliki nilai atau arti. Nilai tersebut digunakan untuk meranking kegagalan proses yang potensial. Nilai RPN dapat ditunjukkan dengan persamaan sebagai berikut : RPN = severity x occurrence x detection 16 2.2.5 Control Pada tahap terakhir ini, manajemen harus mempertahankan perubahan-perubahan yang telah dilakukan terhadap variabel-variabel x dalam rangka melestarikan hasil (Y) yang senantiasa memuaskan pelanggan. Secara berkala manajemen tetap wajib membuktikan kebenaran sambil memantau proses kegiatan yang sudah disempurnakan melalui alat
alat ukur dan metode yang telah ditentukan sebelumnya untuk menilai kapabilitas perusahaan. 2.3 Hasil Penelitian dari Jurnal 2.3.1. Usulan Penerapan Metode Six Sigma dalam Upaya Menurunkan Tingkat Kecacatan Produk MJC1 195 ml di PT Y Suhada dan Rahmat (2012) melakukan penelitian dengan metode six sigma. Penelitian ini bertujuan untuk mengatasi tingginya kerusakan /defect salah satu produk yang diproduksi oleh PT Y yaitu produk minuman jelly MJC1 195 ml yang mengakibatkan tingkat produktivitas menurun melalui analisa akar penyebab permasalahan yang terjadi. Penelitian tersebut menggunakan fase DMAIC. Jumlah cacat yang terjadi adalah 254.479 produk cacat. Setelah dianalisa, penyebab utama cacat tersebut terdiri dari 5 hal yaitu : 1. Operator tidak tahu cara menimbang yang benar 2. Suplai angin ke nozzle jelly tidak merata 3. Gerakan mould penyangga cup terlalu kuat 4. WI (Work Instruction) Penimbangan tidak dijalankan dengan baik 5. Penetapan standar volume / isi bersih produk yang kurang tepat 2.3.2. Aplikasi Six Sigma pada Pengujian Kualitas Produk di Ukm Keripik Apel Tinjauan dari Aspek Proses Sukardi dan Astuti (2011) juga melakukan penelitian dengan metode six sigma di UKM keripik apel. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur kapabilitas proses spinning, menghitung nilai sigma pada proses spinning 17
dan menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan ketidaksesuaian bentuk keripik apel terhadap spesifikasi, serta membuat usulan untuk perbaikan kualitas. Penelitian tersebut juga menggunakan tahapan DMAIC. Hasil penelitian tersebut adalah sebagai berikut. Hasil dari perhitungan kapabilitas proses diperoleh nilai Cp (Indeks potensial proses) dan nilai Ppk (Indeks kemampuan proses). Untuk nilai Cp = 0,64 dan nilai Ppk = 0,49. Hasil pengukuran sigma menunjukkan angka 2,11 sigma yang berarti bahwa kualitas keripik apel yang dihasilkan oleh industri cukup baik (berada pada rata-rata sigma industri di Indonesia). Faktor-faktor penyebab remukan keripik apel adalah pada mesin, manusia dan metode. Rekomendasi/usulan yang diberikan kepada industri antara lain melakukan evaluasi pekerja dilakukan secara periodik, menyusun SOP dan menganalisis kembali jadwal maintenance. 2.3.3. Analisis Six Sigma untuk Mengurangi Jumlah Cacat di Stasiun Kerja Sablon (Studi Kasus: CV. Miracle) Ghiffari, dkk (2012) mempublikasikan jurnal hasil dari penelitian mereka yang juga menggunakan Six Sigma. Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah menerapkan metode Six Sigma dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hasil sablon di CV. Miracle. Metode yang digunakan adalah DMAIC. Hasil penelitian tersebut ada tiga, yaitu : 1. Penerapan metode Six Sigma mampu mengurangi nilai DPMO. Sebelum penerapan nilai DPMO adalah 590743. Setelah penerapan 18
mejadi 290.741. Nilai sigma sebelum penerapan adalah 1,3 dan berubah menjadi 2,05 setelah penerapan. 2. Selain itu penerapan metode Six Sigma mampu mengurangi biaya akibat kualitas rendah sebesar Rp 205.042,-. 3. Berdasarkan proses perbaikan pada proses penjemuran diperoleh waktu penjemuran yang menghasilkan cacat dengan jumlah rendah yaitu 2 menit dengan 15 lembar. 2.4 Mesin Filler UHT Pemanasan UHT adalah proses yang menggunakan panas untuk membuat susu cair tahan lama. UHT kepanjangan dari Ultra High Temperature.Mikro organisme dimusnahkan dengan panas hingga 137-140 derajat Celcius dalam waktu yang singkat (2-10 detik). Apabila dikemas dengan menggunakan teknologi aseptik, susu dapat disimpan dalam suhu ruang selama berbulan-bulan. Setelah proses UHT, susu cair segar yang sudah steril (100% bebas bakteri) akan dikombinasikan dengan mesin pengisi (filling machine) dimana pengemasan secara aseptik dilakukan. Kombinasi teknologi UHT dan pengemasan aseptik mampu menghasilkan susu cair segar berkualitas dengan nutrisi yang tetap terjaga tanpa bahan pengawet. Pengemasan aseptis adalah suatu cara pengemasan bahan di dalam suatu wadah yang memenuhi empat persyaratan, yaitu : produk harus steril, wadah pengemas harus steril, lingkungan tempat pengisian produk ke dalam wadah harus steril, dan wadah pengepak yang digunakan harus rapat untuk mencegah kontaminasi kembali selama penyimpanan. Prinsip pengemasan 19
aseptis adalah baik bahan pangan yang dikemas maupun bahan kemasan harus bebas dari mikroorganisme perusak ketika bahan pangan tersebut dikemas, sehingga produk pangan yang dikemas merupakan produk yang steril. Hal ini berarti kemasan harus bebas dari mikroorganisme patogen dan toksin, dan mikroorganisme penyebab kerusakan tidak dapat berkembang. Jika kondisi ini sudah diterapkan, maka bahan pangan akan aman untuk disimpan pada suhu ruang dalam jangka waktu yang lebih lama. Untuk keberhasilan proses aseptis bahan pangan, maka ada beberapa persyaratan yang diperlukan, yaitu : - Peralatan yang dapat disterilkan - Produk steril secara komersial - Kemasan yang steril secara komersial - Ruang steril dalam mesin pengemas, tempat pengisian produk steril ke dalam kemasan steril dan penutupan secara hermatis - Ada monitoring dan pencatat faktor-faktor kritis Dalam sistem pengemasan aseptis, produk dan wadah pengemas disterilisasi secara terpisah, kemudian dilakukan pengisian produk ke dalam wadah dalam lingkungan steril sehingga diperoleh produk steril dalam kemasan yang tahan disimpan dalam jangka waktu lama. Sterilisasi produk dalam sistem aseptis dilakukan dengan sistem alir atau sistem UHT (Ultra High Temperature), yaitu pemanasan dengan suhu yang sangat tinggi (135-150oC) selama 2-5 detik. Pemanasan produk dengan sistem UHT dalam pengemas aseptis dapat dibagi menjadi 2 kategori utama, yaitu: 20
1) Sistem Pemanasan Langsung Sistem pemanasan langsung, yaitu sistem dimana terjadi kontak langsung antara medium pemanasan dam hal ini uap panas dengan produk yang dipanaskan. Dalam sistem pemanasan langsung terdapat dua cara yaitu : 1) cara injeksi uap dimana uap panas disuntikkan ke dalam produk, dan 2) cara infusi dimana produk diinfusikan ke dalam aliran uap panas. Pindah panas terutama disebabkan kondensasi uap mencapai sekitar 10 persen dari produk. Sehingga untuk mempertahankan kadar padatan produk, perlu diuapkan dengan vakum. Pada sistem injeksi uap, uap panas disemprotkan kedalam aliran produk menggunakan injektor. Suhu uap mencapai 140-146OC dengan waktu tinggal sekitar 4 detik. Suhu produk yang disterilisasi mencapai 137-138 persen. Pada proses infusi produk, produk didispersikan ke dalam ruang infusi yang berisi uap panas. 2) Sistem Pemanasan tidak Langsung Sistem pemanasan tidak langsung, yaitu sistem dimana medium pemanas tidak kontak langsung dengan produk.panas ditransfer melalui permukaan (biasanya stainless steel). Pada sistem pemanasan tidak langsung ada 3 (tiga) macam cara, yaitu : 1) Heat exchanger tipe konvensional yang berupa lempengan atau plate dan 2) Tipe saluran atau tubular, dan 3) Scraped-Surface Heat Exchanger. 21