PERSEPSI PETANI TERHADAP POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT DAN KONTRIBUSI HUTAN RAKYAT TERHADAP PENDAPATAN RUMAH TANGGA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT (Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah) AMIN FAUZI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI DAN TINGKAT PARTISIPASI PETANI PADI SAWAH DENGAN TINGKAT KEBERHASILAN PROGRAM PHT LUKI SANDI

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS

III. METODE PENELITIAN. Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik dengan luas

HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERAN UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS (UPTD) PENYULUHAN DAN POS KESEHATAN HEWAN WILAYAH CISARUA KABUPATEN BOGOR

ANALISIS KELAYAKAN PENGUSAHAAN GETAH PINUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI JAWA BARAT IBRAHIM HAMZAH

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kompetensi petani tepi hutan dalam melestarikan hutan lindung perlu dikaji

Oleh : Sri Wilarso Budi R

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MOTIVASI PETERNAK DALAM MENGEMBANGKAN USAHATERNAK DOMBA (Kasus : Desa Cigudeg Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor)

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

PERSEPSI DAN PARTISIPASI PETERNAK TENTANG PROGRAM PERGULIRAN TERNAK DOMBA

HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DENGAN SIKAP KARYAWAN DALAM USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)

KAJIAN SISTEM AGROFORESTRI DI HUTAN KEMASYARAKATAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG MODEL UNIT XIV TOBA SAMOSIR

PENGUJIAN KUALITAS KAYU BUNDAR JATI

ANALISIS PEMASARAN KEMENYAN (Styrax spp.) (Studi Kasus: Kecamatan Tarutung dan Kecamatan Adiankoting, Kabupaten Tapanuli Utara)

1.PENDAHULUAN. minimal 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan/atau jenis tanaman

KONVERGENSI KEEFEKTIVAN KEPEMIMPINAN (Kasus Anggota Gabungan Kelompok Tani Pandan Wangi Desa Karehkel, Leuwiliang-Bogor) SKRIPSI FERRI FIRDAUS

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI

BAB III METODE PENELITIAN

PERILAKU KONSUMSI SUSU PADA KONSUMEN KELUARGA DI WILAYAH BABAKAN KECAMATAN DRAMAGA BOGOR SKRIPSI ABDIK DESTRIANA

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN

PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT (Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah) AMIN FAUZI

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL

KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA SELATAN ERNIES

KAJIAN SOSIAL EKONOMI BUDAYA DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM PADA TAMAN NASIONAL MERU BETIRI KABUPATEN BANYUWANGI SKRIPSI

EFEKTIVITAS KOMUNIKASI PEMUKA PENDAPAT KELOMPOK TANI DALAM MENGGUNAKAN TEKNOLOGI USAHATANI PADI

PENGARUH KONTRIBUSI EKONOMI DAN SUMBERDAYA PRIBADI PEREMPUAN TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM RUMAHTANGGA

PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI JENIS STIMULANSIA TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS

STUDI PENGEMBANGAN TAMAN MARGASATWA MEDAN SEBAGAI HUTAN KOTA DAN SARANA REKREASI SKRIPSI. Oleh : HIRAS ANDREW A LUMBANTORUAN /MANAJEMEN HUTAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin

HUBUNGAN AKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL DENGAN TINGKAT PENGETAHUAN PETERNAK SAPI POTONG

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBERADAAN INDUSTRI TEPUNG TAPIOKA DI KELURAHAN KENANGA KECAMATAN SUNGAILIAT KABUPATEN BANGKA SKRIPSI

ANALISIS TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HAYCKAL RIZKI H.

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN (LAND USE) DI KECAMATAN SINGKOHOR KABUPATEN ACEH SINGKIL TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang harus dilindungi keberadaannya. Selain sebagai gudang penyimpan

ANALISIS ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN KE NON PERTANIAN DI DESA AJIBARANG WETAN, KECAMATAN AJIBARANG, KABUPATEN BANYUMAS SKRIPSI

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DAMPAK PELAKSANAAN PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY

PERSEPSI KONSUMEN TENTANG MUTU PELAYANAN DAN PRODUK STEAK DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN MENGKONSUMSI (Kasus di Restoran Obonk Steak & Ribs Bogor)

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO

HUBUNGAN AKTIVITAS KOMUNIKASI ORGANISASI DENGAN PENGHAYATAN BUDAYA PERUSAHAAN (Kasus di PT. Madu Pramuka, Cibubur - Jakarta Timur)

KUANTIFIKASI KAYU SISA PENEBANGAN JATI PADA AREAL PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013

ABSTRACT. Keywords : Sago, Farmers Group Dynamics

EVALUASI PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI PADA SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (KASUS DI KONSESI HUTAN PT

TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, satuan budi

HUBUNGAN DINAMIKA KELOMPOK TANI DENGAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHA BUDIDAYA IKAN GURAMI

PENENTUAN LUASAN OPTIMAL HUTAN KOTA SEBAGAI ROSOT GAS KARBONDIOKSIDA (STUDI KASUS DI KOTA BOGOR) HERDIANSAH

EVALUASI PROGRAM PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT

TINGKAT KONSUMSI KAYU BAKAR MASYARAKAT DESA SEKITAR HUTAN (Kasus Desa Hegarmanah, Kecamatan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HUBUNGAN ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN DENGAN MOTIVASI KERJA KARYAWAN DALAM ORGANISASI PERUSAHAAN

KONTRIBUSI USAHA TERNAK DOMBA TERHADAP PENDAPATAN KELUARGA PETANI PETERNAK (Studi Kasus di Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut) SKRIPSI RUBEN RAHMAT

HUBUNGAN PERAN GANDA DENGAN PENGEMBANGAN KARIER WANITA (Kelurahan Menteng, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat)

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

Oleh : Apollonaris Ratu Daton A

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hutan menurut Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan

METODE PENELITIAN. Desain Penelitian

PERANAN PEKERJA ANAK DI INDUSTRI KECIL SANDAL TERHADAP PENDAPATAN RUMAHTANGGA DAN KESEJAHTERAAN DIRINYA

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HUBUNGAN PERILAKU KOMUNIKASI DENGAN EFEKTIVITAS KERJA KARYAWAN DIVISI PRODUKSI ( Studi Kasus di Divisi Produksi Susu Bubuk PT. Indomilk Jakarta )

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO

BAB I PENDAHULUAN. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO

PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) (Kasus Desa Tanjungsari, Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat)

PENGARUH BERBAGAI PENUTUPAN TUMBUHAN BAWAH DAN ARAH SADAP TERHADAP PRODUKTIVITAS GETAH PINUS (Pinus merkusii) EVA DANIAWATI

KONDISI KERJA KARYAWAN PEREMPUAN PERKEBUNAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KESEJAHTERAAN KELUARGA

HUBUNGAN SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA TANI DENGAN PENERAPAN AGROFORESTRI DI DESA KAYUUWI KECAMATAN KAWANGKOAN BARAT KABUPATEN MINAHASA

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PANGSA PENGELUARAN PANGAN RUMAH TANGGA PETANI DI KECAMATAN SURUH KABUPATEN SEMARANG SKRIPSI.

POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY

APLIKASI CRYSTAL SOIL DI LAPANGAN TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SUKUN (Artocarpus communis Forst)

PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI

PERSEPSI KUALITAS ESTETIKA DAN EKOLOGI PADA JALUR WISATA ALAM TAMAN NASIONAL GEDE PANGRANGO. Oleh DIDIK YULIANTO A

I. PENDAHULUAN. Hutan merupakan bagian penting dari negara Indonesia. Menurut angka

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

KARAKTERISTIK SIFAT ANATOMI DAN FISIS SMALL DIAMETER LOG SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) DAN GMELINA (Gmelina arborea Roxb.

PENGARUH POHON INDUK, NAUNGAN DAN PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SUREN (Toona sinensis Roem.) RIKA RUSTIKA

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PISANG AMBON MELALUI PROGRAM PRIMATANI (Kasus: Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat)

KEMANDIRIAN PEREMPUAN PENGOLAH HASIL PERIKANAN DI DESA MUARA, KECAMATAN WANASALAM, KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL KONVERSI TANAMAN KAYU MANIS MENJADI KAKAO DI KECAMATAN GUNUNG RAYA KABUPATEN KERINCI PROVINSI JAMBI

Transkripsi:

i PERSEPSI PETANI TERHADAP POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT DAN KONTRIBUSI HUTAN RAKYAT TERHADAP PENDAPATAN RUMAH TANGGA (Kasus di Kecamatan Cimalaka dan Conggeang Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat) DEVITA AYU DEWI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

ii PERSEPSI PETANI TERHADAP POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT DAN KONTRIBUSI HUTAN RAKYAT TERHADAP PENDAPATAN RUMAH TANGGA (Kasus di Kecamatan Cimalaka dan Conggeang Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat) DEVITA AYU DEWI Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

iii RINGKASAN DEVITA AYU DEWI. Persepsi Petani Terhadap Pola Pengelolaan Hutan Rakyat dan Kontribusi Hutan Rakyat Terhadap Pendapatan Rumah Tangga (Kasus di Kecamatan Cimalaka dan Conggeang Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat) di bawah bimbingan Leti Sundawati. Hutan rakyat dapat berperan dalam menjaga kelestarian hutan karena pembangunan hutan rakyat bertujuan untuk penyediaan bahan baku industri, sehingga tercipta kelestarian ekosistem lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Perkembangan hutan rakyat yang terus meningkat diharapkan dapat menekan laju eksploitasi yang dilakukan pada hutan alam. Menurut komposisi jenisnya pola pengelolaan hutan rakyat terdiri dari dua, yaitu: hutan rakyat monokultur dan hutan rakyat campuran. Pola pengelolaan yang berbeda tentunya akan memberikan manfaat yang berbeda pula. Untuk mengetahui perbedaan tersebut diperlukan persepsi petani tentang hutan rakyat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi petani dari pola hutan rakyat monokultur dan campuran, menghitung kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan rumah tangga, dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi petani hutan rakyat dilihat dari karakteristik petani. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2011 dengan pemilihan responden menggunakan metode purposive sampling. Responden yang diambil, yaitu: petani hutan rakyat monokultur 30 responden dan petani hutan rakyat campuran 30 responden. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dianalisis dengan menggunakan korelasi Rank Spearman dengan SPSS 16.0. Berdasarkan hasil penelitian bahwa persepsi petani terhadap manfaat ekologi dan sosial hutan rakyat baik yang monokultur maupun campuran ada pada kategori tinggi. Dilihat dari persentase jumlah responden, tingkat persepsi untuk manfaat ekologi lebih besar pada hutan rakyat monokultur dan tingkat persepsi untuk manfaat sosial lebih besar pada hutan rakyat campuran. Dari segi ekonomi, hutan rakyat saat ini masih memberikan manfaat yang kecil karena belum ada pemanenan dari hasil kayu. Pada hutan rakyat monokultur persepsi petani hutan rakyat dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu: tingkat pendidikan dan pekerjaan sampingan yang berpengaruh nyata terhadap tingkat persepsi. Pada jenjang pendidikan yang semakin tinggi dan semakin banyak pekerjaan sampingan pada usaha tani, maka akan semakin tinggi tingkat persepsinya. Pada hutan rakyat campuran persepsi petani dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu: luas kepemilikan lahan dan frekuensi bertemu petani yang berpengaruh nyata terhadap tingkat persepsi. Semakin luas lahan yang dimiliki dan semakin jarang frekuensi bertemu dengan sesama petani, maka akan semakin tinggi tingkat persepsinya. Kata kunci : Persepsi Petani, Hutan Rakyat, Pola Pengelolaan, Monokultur, Campuran.

iv ABSTRACT DEVITA AYU DEWI. Perception Of Farmer On The Management Of Community Forests and It s Contribution To Household Income (A Case in Cimalaka and Conggeang Sub-district Sumedang Regency West Java Province). Supervised by Leti Sundawati. Community forest can play a vital role to sustain the forest because the ains provide raw materials for forestry industry, so create a sustainable environment ecosystem and improve the community welfare. This concept is also expected to be able to decrease the exploitation rate of natural forests. Based on it s composition types, there are two management patterns of community forest monoculture and mixed. Different patterns certainly have different benefits. To find out the benefits, it is necessary to learn about the perception of farmers. This study was aimed to learn about the perception of farmers regarding the patterns of community forest, contribution of community forest to household income, and to analyze the factors which influenced their perception. This research was conducted from July to August 2011 using method of purposive sampling for the selection of the respondents. Number of respondent is 30 respondents of monoculture forest owner and 30 respondents of mixed forest owner. The factor which influenced the perception were analyzed using a correlation of Rank Spearman with SPSS 16.0. The research results showed that the farmer perception to ecological benefit and social of monoculture and mixed forest has high category. Seen from calculating respondent percentage, the level of perception for ecological benefit more large on monoculture forest and the level of perception for social benefit more large on mixed forest. From the economic aspect, at the moment community forest fill give little benefit because there s not harvest from the wood. The perception of farmer on monoculture forest is influenced by internal factor, such as: education level and extra jobs. The higher education level of a farmer is the more extra jobs in the field of agriculture will make the higher perception level. The perception of farmer on mixed forest is influenced by external factors, such as: the size of land and the frequency of meeting farmers. The larger land of a farmer owns and the less frequently meets other farmers will make the higher perception level. Keywords: Farmer s Perception, Community Forest, Management, Monoculture, Mixed.

v PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Persepsi Petani Terhadap Pola Pengelolaan Hutan Rakyat dan Kontribusi Hutan Rakyat Terhadap Pendapatan Rumah Tangga (Kasus di Kecamatan Cimalaka dan Conggeang Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan Dosen Pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Desember 2011 Devita Ayu Dewi NRP E14070087

vi Judul Skripsi Nama Mahasiswa NRP : Persepsi Petani Terhadap Pola Pengelolaan Hutan Rakyat dan Kontribusi Hutan Rakyat Terhadap Pendapatan Rumah Tangga (Kasus di Kecamatan Cimalaka dan Conggeang Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat) : Devita Ayu Dewi : E14070087 Menyetujui, Dosen Pembimbing, Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc NIP 19640830 199003 2 001 Mengetahui, Ketua Departemen Manajemen Hutan IPB, Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP 19630401 199403 1 001 Tanggal Lulus:

i KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul Persepsi Petani Terhadap Pola Pengelolaan Hutan Rakyat dan Kontribusi Hutan Rakyat Terhadap Pendapatan Rumah Tangga (Kasus di Kecamatan Cimalaka dan Conggeang Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat). Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di Desa Naluk Kecamatan Cimalaka dan Desa Karanglayung Kecamatan Conggeang, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat pada bulan Juli sampai Agustus 2011. Pola pengelolaan hutan rakyat ada dua jenis, yaitu: hutan rakyat monokultur dan hutan rakyat campuran. Kedua pola tersebut tentunya memberikan manfaat yang berbeda, karena komposisi jenis yang ditanam berbeda. Manfaat yang dirasakan dari kedua pola hutan hutan rakyat penting untuk diketahui agar masyarakat mempunyai pilihan untuk mengembangkan hutan rakyat monokultur atau campuran. Perkembangan hutan rakyat yang terus meningkat diharapkan dapat menekan laju eksploitasi terhadap hutan alam, sehingga kelestarian hutan tetap terjaga. Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan masukan dan saran yang membangun dari semua pembaca untuk menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis, pembaca, dan dunia pendidikan, serta dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat. Bogor, Desember 2011 Penulis

ii RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sumedang pada tanggal 9 Desember 1988 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Udin Tajudin dan Ibu Popong Nani Nuryani. Jenjang pendidikan yang dilalui, yaitu: TK AM Budi Rahayu (1994-1995), SD Negeri Cijambe 2 (1995-2001), SMP Negeri 1 Paseh (2001-2004) dan SMA Negeri 1 Cimalaka (2004-2007). Pada tahun 2007 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan SMA, kemudian melanjutkan pendidikan ke Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada tahun pertama penulis mengikuti Tingkat Persiapan Bersama (TPB) dan pada tahun kedua penulis masuk di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB. Kemudian pada semester 6 penulis mengambil bidang keahlian kebijakan hutan. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan, antara lain: Anggota OMDA WAPEMALA (Warga Pelajar Mahasiswa Lingga) 2007-2011 dan Anggota UKM LISES Gentra Kaheman IPB tahun 2007-2008. Selama masa perkuliahan penulis aktif dalam kegiatan kampus diantaranya panitia MPKMB tahun 2008, panitia OMI tahun 2008, panitia Forester Cup tahun 2009, Panitia E-Green tahun 2009 dan Panitia Temu Manajer tahun 2009. Penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Gunung Sawal dan Pangandaran tahun 2009, Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) tahun 2010, dan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Erna Djuliawati di Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2011. Dalam rangka menyelesaikan pendidikan dan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul Persepsi Petani Terhadap Pola Pengelolaan Hutan Rakyat dan Kontribusi Hutan Rakyat Terhadap Pendapatan Rumah Tangga (Kasus di Kecamatan Cimalaka dan Conggeang Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat di bawah bimbingan Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc.

iii UCAPAN TERIMAKASIH Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu, memberikan masukan, motivasi, dukungan, dan semangat kepada penulis baik selama penyusunan proposal, penelitian di lapangan dan sampai selesainya skripsi ini. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada : 1. Ibu Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, motivasi, kesabaran, dan waktu dalam penyusunan skripsi. 2. Ayah tercinta Udin Tajudin dan Ibu tercinta Popong Nani Nuryani, adikadikku tercinta (Dinda Silvia Dewi dan Fitri Aprilyanti) yang telah memberikan dukungan spirit maupun materi, nasihat, dan doa. 3. Iwan Eri Rustandi atas segala dukungan, semangat, dan motivasi. 4. Bapak Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Sumedang, Kepala UPTD Kehutanan Kecamatan Cimalaka dan Kepala UPTD Kehutanan Kecamatan Conggeang beserta jajarannya yang telah memberikan data dan informasi serta bantuan yang sangat berguna bagi penulis. 5. Bapak Nana dan bapak Ujin Sutarji atas segala bantuan dalam pengambilan data dan informasi selama melakukan penelitian. 6. Sahabat-sahabat terdekat Lia Herliana, Konny Rusdianti, Puty Fitria, Nenden Meitasari, Cutrisni, Lilis Yati Febriani atas kebersamaan dan dukungannya. 7. Rekan-rekan seperjuanganku MNH 44 atas rasa kekeluargaannya yang tinggi dan teman-teman yang telah bersedia penulis ajak untuk berdiskusi mengenai penelitian ini. 8. Seluruh pihak yang telah membantu kelancaran penulisan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Bogor, Desember 2011 Penulis

i DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iv DAFTAR GAMBAR... vi DAFTAR LAMPIRAN... vii BAB I. PENDAHULUAN.... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Tujuan... 2 1.2 Manfaat Penelitian... 2 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 4 2.1 Hutan Rakyat... 4 2.1.1 Pengertian Hutan Rakyat... 4 2.1.2 Ciri-ciri Pengusahaan Hutan Rakyat... 5 2.1.3 Bentuk Hutan Rakyat... 5 2.1.4 Peran dan Manfaat Hutan Rakyat... 6 2.2 Konsep Persepsi... 6 2.3 Manfaat Ekologi... 10 2.4 Manfaat Ekonomi... 11 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN... 12 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian... 12 3.2 Sasaran Penelitian... 12 3.3 Alat dan Bahan... 12 3.4 Kerangka Pemikiran... 12 3.5 Sumber Data... 14 3.6 Jenis Data... 14 3.7 Metode Pengumpulan Data... 15 3.8 Metode Pemilihan Responden... 15 3.9 Metode Pengambilan Data... 16 3.9.1 Persepsi Responden terhadap Pola Pengelolaan Hutan Rakyat... 16

ii 3.9.2 Manfaat Ekonomi... 16 3.10 Metode Pengolahan dan Analisis Data... 17 3.10.1 Persepsi Responden terhadap Pola Pengelolaan Hutan Rakyat... 17 3.10.2 Manfaat Ekonomi... 18 3.10.3 Pengolahan Data Karakteristik Responden... 20 3.10.4 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi... 22 BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN... 25 4.1 Kondisi Geografis... 25 4.1.1 Desa Naluk... 25 4.1.2 Desa Karanglayung... 25 4.2 Kondisi Biofisik... 26 4.2.1 Topografi... 26 4.2.2 Iklim... 27 4.2.3 Jenis Tanah... 27 4.3 Kondisi Demografi... 27 4.3.1 Kependudukan... 27 4.3.2 Mata Pencaharian... 28 4.3.3 Pendidikan... 29 4.3.4 Sarana dan Prasarana... 30 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN... 32 5.1 Pengelolaan Hutan Rakyat di Kabupaten Sumedang... 32 5.1.1 Hutan Rakyat Monokultur... 32 5.1.2 Hutan Rakyat Campuran... 34 5.2 Karakteristik Petani Hutan Rakyat... 35 5.2.1 Umur Responden... 36 5.2.2 Tingkat Pendidikan Responden... 37 5.2.3 Pengalaman Bertani Responden... 38 5.2.4 Jenis Pekerjaan Responden... 39 5.2.5 Jumlah Tanggungan Responden... 41 5.2.6 Pendapatan Bersih Responden... 42 5.2.7 Luas Kepemilikan Lahan... 43 5.2.8 Kekosmopolitan... 44

iii 5.2.9 Kontak dengan Penyuluh... 45 5.2.10 Frekuensi Bertemu Petani... 46 5.2.11 Bantuan Pemerintah... 46 5.3 Persepsi Petani Hutan Rakyat... 47 5.3.1 Persepsi Petani terhadap Manfaat Ekologi Hutan Rakyat. 48 5.3.2 Persepsi Petani terhadap Manfaat Sosial Hutan Rakyat... 53 5.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi... 57 5.4.1 Faktor-Faktor Internal yang Mempengaruhi Persepsi terhadap Pola Pengelolaan Hutan Rakyat... 58 5.4.2 Faktor-Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Persepsi terhadap Pola Pengelolaan Hutan Rakyat... 59 5.5 Kontribusi Hutan Rakyat terhadap Pendapatan Rumah Tangga 61 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 64 6.1 Kesimpulan... 64 6.2 Saran... 64 DAFTAR PUSTAKA... 65 LAMPIRAN... 68

iv DAFTAR TABEL No Halaman 1. Tingkatan persepsi dari manfaat ekologi dan sosial berdasarkan rataan nilai terboboti... 18 2. Pengolahan data karakteristik responden... 21 3. Tingkat keeratan hubungan antar variabel... 22 4. Klasifikasi penduduk Desa Naluk dan Desa Karanglayung berdasarkan umur... 28 5. Klasifikasi penduduk Desa Naluk dan Desa Karanglayung berdasarkan mata pencaharian... 29 6. Tingkat pendidikan penduduk Desa Karanglayung dan Desa Naluk... 30 7. Sarana dan prasarana Desa Naluk dan Desa Karanglayung... 31 8. Distribusi responden berdasarkan umur... 36 9. Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan... 37 10. Distribusi responden berdasarkan pengalaman bertani... 38 11. Distribusi responden berdasarkan pekerjaan pokok... 40 12. Distribusi responden berdasarkan pekerjaan sampingan... 40 13. Distribusi responden berdasarkan jumlah tanggungan keluarga... 42 14. Distribusi responden berdasarkan pendapatan rumah tangga... 42 15. Distribusi responden berdasarkan luas kepemilikan lahan... 44 16. Distribusi responden berdasarkan tingkat kekosmopolitan... 44 17. Distribusi responden berdasarkan tingkat kontak dengan penyuluh... 46 18. Distribusi responden berdasarkan tingkat frekuensi bertemu petani... 46 19. Distribusi responden berdasarkan tanggapan terhadap bantuan pemerintah... 47 20. Nilai dari pertanyaan persepsi responden terhadap manfaat ekologi hutan rakyat... 49 21. Tingkatan persepsi responden terhadap manfaat ekologi pengelolaan hutan rakyat... 51 22 Nilai dari pertanyaan persepsi responden terhadap manfaat sosial hutan rakyat... 54 23. Tingkatan persepsi responden terhadap manfaat sosial pengelolaan hutan rakyat... 56

v 24. Hubungan faktor internal dengan persepsi petani hutan rakyat menggunakan uji Spearman... 58 24. Hubungan faktor eksternal dengan persepsi petani hutan rakyat menggunakan uji Spearman... 60 25. Persentase jumlah pendapatan petani dari tiap kegiatan... 62

vi DAFTAR GAMBAR No Halaman 1. Kerangka pemikiran konseptual... 13 2. Peta lokasi Desa Naluk... 25 3. Peta lokasi Desa Karanglayung... 26 4. Kondisi tanaman pada hutan rakyat monokultur... 34 5. Hutan rakyat campuran dengan tanaman utama jati dan mahoni... 35 6. Kondisi hutan rakyat monokultur yang lebih terbuka dengan jenis tanaman mahoni... 50 7. Kondisi hutan rakyat campuran yang dekat dengan cagar alam... 51

vii DAFTAR LAMPIRAN No Halaman 1. Kuesioner penelitian untuk petani hutan rakyat monokultur dan campuran... 69 2. Pengkodean karakteristik responden dan persepsi pada hutan rakyat monokutur... 78 3. Pengkodean karakteristik responden dan persepsi pada hutan rakyat campuran... 80 4. Pendapatan bersih petani pada hutan rakyat monokultur... 82 5. Pendapatan bersih petani pada hutan rakyat campuran... 84 6. Hasil print out SPSS korelasi Rank Spearman untuk faktor internal pada hutan rakyat monokultur... 86 7. Hasil print out SPSS korelasi Rank Spearman untuk faktor internal pada hutan rakyat campuran... 88 8. Hasil print out SPSS korelasi Rank Spearman untuk faktor eksternal pada hutan rakyat monokultur... 90 9. Hasil print out SPSS korelasi Rank Spearman untuk faktor eksternal pada hutan rakyat campuran... 92

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alamnya. Salah satu sumberdaya alam yang mempunyai peran penting dalam kehidupan manusia adalah hutan. Hutan dapat dimanfaatkan oleh manusia sebagai pelindung ekosistem dan plasma nutfah maupun dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Bagi masyarakat sekitar hutan, hutan memiliki peran sebagai tempat penyangga kehidupan sosial, ekonomi dan budaya. Peran hutan sebagai penyangga kehidupan akan optimal bila hutan dikelola secara lestari. Hutan rakyat dapat berperan dalam menjaga kelestarian hutan, karena pembangunan hutan rakyat bertujuan untuk penyediaan bahan baku industri, sehingga tercipta kelestarian ekosistem lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Perkembangan hutan rakyat yang terus meningkat diharapkan dapat menekan laju eksploitasi yang dilakukan pada hutan alam, sehingga kelestarian hutan tetap terjaga. Menurut Suharjito (2000) bahwa hutan rakyat dalam pengertian menurut peraturan perundang-undangan adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Artinya hutan tersebut dibangun, dikelola dan dimanfaatkan oleh rakyat di atas tanah milik atau tanah adat, sehingga dalam pengelolaannya petani atau masyarakat yang mengelola hutan tersebut memiliki peran yang besar. Petani hutan rakyat mengelola hutan rakyat tersebut dengan berbagai macam model pengelolaan. Menurut Awang (2001), dilihat dari susunan jenisnya terdapat dua model pengelolaan hutan rakyat, yaitu: (1) Hutan rakyat monokultur atau sebagian besar didominasi satu jenis tanaman keras saja. Pada hutan ini cenderung tidak ada tanaman pangan di dalam hutan rakyat; (2) Hutan rakyat campuran, hutan rakyat ini ditumbuhi lebih dari satu jenis tanaman. Pada hutan ini mungkin ditanami tanaman pangan, buah-buahan, dan sayur-sayuran (agroforestri). Hutan rakyat yang dikelola tersebut dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, khususnya bagi petani hutan rakyat yang berupa manfaat tangible dan intangible. Manfaat tangible merupakan manfaat yang berbentuk material,

2 sedangkan manfaat intangible merupakan manfaat yang berbentuk immaterial. Pada hutan rakyat manfaat tangible yang dirasakan dapat berupa manfaat berbentuk kayu, rotan, getah dan sebagainya. Sedangkan manfaat intangible dapat berupa jasa lingkungan, pemandangan, pendidikan, plasma nutfah, dan lain-lain. Kabupaten Sumedang merupakan salah satu kabupaten yang menerapkan pola hutan rakyat berbeda-beda. Petani hutan rakyat di Kabupaten Sumedang tentunya mempunyai pertimbangan untuk mengelola hutan rakyat dalam bentuk monokultur atau campuran. Pertimbangan yang dilakukan tersebut muncul dari manfaat yang dirasakan petani yang berinteraksi secara langsung selama mengelola hutan rakyat monokultur dan hutan rakyat campuran. Pola hutan rakyat yang berbeda akan memberikan manfaat yang berbeda bagi petani hutan rakyat bila dilihat dari hasil yang diperoleh oleh petani, baik dari manfaat ekonomi, ekologi maupun sosial. Hal tersebut dapat terjadi karena komposisi jenis yang ditanam di hutan rakyat monokultur dan campuran berbeda. Perbedaan dari manfaat yang dirasakan oleh masing-masing petani dapat diketahui dari persepsi petani hutan rakyat monokultur dan petani hutan rakyat campuran. Namun apakah benar perbedaan tersebut dapat membawa dampak yang berbeda pula terhadap kehidupan petani hutan rakyat. Dengan demikian, penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui perbedaan manfaat dari pola hutan rakyat antara hutan rakyat monokultur dan hutan rakyat campuran yang dirasakan oleh petani hutan rakyat dari manfaat ekonomi, sosial, maupun ekologi. 1.2 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui persepsi petani hutan rakyat terhadap pola hutan rakyat monokultur dan hutan rakyat campuran dari manfaat ekologi dan sosial 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi petani hutan rakyat dilihat dari karakteristik masing-masing petani 3. Menghitung kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan rumah tangga. 1.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat dan instansi terkait, mengenai manfaat ekologi, ekonomi dan sosial dari pola

3 pengelolaan hutan rakyat monokultur dan hutan rakyat campuran. Sehingga masyarakat dan instansi terkait dapat lebih mengembangkan ataupun memperbaiki pola pengelolaan hutan rakyat tersebut untuk kesejahteraan masyarakat khususnya petani hutan rakyat dan untuk lebih mengembangkan kerjasama dengan pihak luar agar hutan rakyat di daerah tersebut dapat lebih berkembang dan memberikan manfaat yang banyak bagi petani hutan rakyat.

4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Rakyat 2.1.1 Pengertian Hutan Rakyat Hutan rakyat sangat berperan penting dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam membantu perekonomian masyarakat. Menurut SK. Menteri Kehutanan Nomor 49/kpts-11/1997, hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luasan minimal 0,25 ha dengan penutupan tajuk tanaman tahunan pertama dengan tanaman sebanyak 500 tanaman tiap hektar. Sedangkan menurut Hardjanto (1990), hutan rakyat merupakan hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan oleh kepemilikan lahan, karenanya hutan rakyat juga disebut hutan milik. Terdapat beberapa karakteristik hutan rakyat menurut Ditjen RRL (2005) dalam Tinambunan (2008), sebagai berikut: 1. Lokasi hutan rakyat terbatas pada lahan milik, lahan marga atau adat, kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi yang tidak berhutan dan tanah negara yang terlantar 2. Usaha hutan rakyat ditinjau dari segi usaha, sebagian besar berskala kecil sampai menengah yang dalam pengembangannya menghadapi masalah pemilikan lahan yang sempit (Pulau Jawa) dan status lahan sering belum jelas 3. Pelaksanaan pengelolaan hutan rakyat biasanya adalah stratum masyarakat paling bawah yang mempunyai kemampuan teknis, ekonomis dan manajemen minimal 4. Pola penanaman hutan rakyat tidak monokultur (homogen) tetapi bersifat heterogen, yaitu penanaman berbagai jenis tanaman di satu areal lahan pada waktu bersamaan 5. Pelaksana pengelolaan hutan rakyat umumnya kurang mempunyai keterampilan dalam pengelolaan hutan 6. Kelembagaan pengelolaan hutan rakyat belum berkembang ke taraf yang mantap

5 7. Dalam peraturan perundangan yang ada, seperti dalam uraian kegiatan pelaksanaan pengelolaan hutan rakyat yang mencapai 10 butir, tidak ada yang mencakup keteknikan hutan 8. Dimensi kayu yang dipanen biasanya kecil, sebagai contoh dibeberapa hutan rakyat Jawa Barat terlihat bahwa diameter maksimum hanya mencapai sekitar 35 cm 9. Pola penanaman lain yang khas terdapat di Gunung Kidul, seperti dikemukakan Simon (1995) dalam Tinambunan (2008), ada tiga pola, yaitu: (1) Penanaman pohon di sepanjang batas lahan milik; (2) Penanaman pohon di teras bangku; dan (3) Penanaman pohon diseluruh lahan milik. 2.1.2 Ciri-ciri Hutan Rakyat Balai Informasi Pertanian (1982) menyebutkan bahwa hutan rakyat mempunyai beberapa ciri yang khas, sebagai berikut: 1. Tidak merupakan kawasan yang kompak, tetapi terpencar-pencar diantara lahan-lahan pedesaan lainnya 2. Bentuk usahanya tidak selalu murni berupa kayu-kayuan tetapi terpadu atau dikombinasikan dengan barbagai tanaman seperti tanaman pertanian, tanaman perkebunan, rumput makanan ternak dan tanaman pangan. Usaha seperti ini sering juga disebut sistem wanatani (agroforestry) 3. Terdiri dari tanaman yang mudah cepat tumbuh, cepat memberikan hasil bagi pemiliknya. 2.1.3 Bentuk Hutan Rakyat Bentuk hutan rakyat yang terdapat di Indonesia terdiri dari berbagai macam. Menurut Balai Informasi Pertanian (1987) terdapat tiga bentuk hutan rakyat, sebagai berikut: 1. Hutan rakyat murni, yaitu hutan rakyat yang hanya terdiri dari satu jenis tanaman pokok berkayu yang ditanam dan diusahakan secara homogen atau monokultur 2. Hutan rakyat campuran, yaitu hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis pohon-pohonan yang ditanam secara campuran.

6 3. Hutan rakyat agroforestry, hutan yang mempunyai bentuk usaha kombinasi kehutanan dengan cabang usaha tani lainnya seperti perkebunan, pertanian tanaman pangan, peternakan dan lain-lain secara terpadu. 2.1.4 Peran dan Manfaat Hutan Rakyat Retna (2001) menjelaskan bahwa pembangunan hutan rakyat merupakan salah satu program andalan Departemen Kehutanan yang telah digalakkan mulai Pelita VI yang diharapkan dapat memberikan manfaat, sebagai berikut: 1. Meningkatkan pendapatan petani sekaligus kesejahteraan hidupnya 2. Memanfaatkan secara maksimal dan lestari lahan yang tidak produktif dan mengelolanya agar menjadi lahan yang subur 3. Meningkatkan produksi kayu bakar dan menyediakan kayu perkakas, bahan bangunan dan alat rumah tangga 4. Menyediakan bahan baku industri seperti kertas, korek api dan lain-lain. 5. Menambah lapangan kerja bagi penduduk pedesaan 6. Membantu mempercepat usaha rehabilitasi lahan kritis dan meningkatkan kualitas lingkungan demi terwujudnya kelestarian sumberdaya alam. 2.2 Konsep Persepsi Keberadaan hutan rakyat sangat berpengaruh terhadap kehidupan petani hutan rakyat, terutama dalam pemenuhan kehidupan hidup petani. Untuk mengetahui manfaat dari hutan rakyat tersebut, maka diperlukan persepsi dari petani hutan rakyat. Penelitian Fitriani (2010) menjelaskan bahwa persepsi masyarakat Desa Burat terhadap hutan rakyat adalah lahan yang dikelola oleh masyarakat untuk menopang kebutuhan hidup. Masyarakat beranggapan bahwa dengan mengusahakan hutan rakyat mereka mampu memenuhi kebutuhan hidup terlebih yang sifatnya mendesak karena kayu rakyat mudah dipasarkan dengan harga jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil pertanian. Selain itu hutan rakyat juga dinilai sebagai salah satu upaya penyelamatan lingkungan yang berperan dalam mengatur tata air dan mencegah erosi. Menurut Harihanto (2001), makna persepsi adalah pandangan, penilaian, interpretasi, harapan, atau aspirasi seseorang terhadap obyek. Persepsi dibentuk

7 melalui serangkaian proses (kognisi) yang diawali dengan menerima rangsangan atau stimulus dari obyek oleh indera (mata, hidung, telinga, kulit, dan mulut) dan dipahami dengan interpretasi atau penafsiran tentang obyek yang dimaksud. Bakat, minat, kemauan, perasaan, fantasi, kebutuhan, motivasi, jenis kelamin, umur, kepribadian, kebiasaan, dan lain-lain serta sifat lain yang khas dimiliki oleh seseorang. Persepsi dipengaruhi oleh faktor budaya dan sosial ekonomi seperti pendidikan lingkungan tempat tinggal dan suku bangsa. Menurut Kayam (1985) dalam Puspasari (2010) menyatakan bahwa persepsi juga merupakan pandangan seseorang terhadap suatu obyek sehingga individu tersebut memberikan reaksi tertentu yang dihasilkan dari kemampuan mengorganisasikan pengamatan dan berhubungan dengan penerimaan atau penolakan. Selain itu Twikromo et al. (1995) menjelaskan bahwa terbentuknya suatu persepsi tidak dapat dilepaskan dari berbagai macam proses fisik, fisiologi dan psikologi yang terjadi dalam kehidupan manusia. Pengalaman masa lalu memberikan dasar pada pemahaman, penerimaan, pandangan atau tanggapan manusia. Dengan demikian akan terbangun suatu pemikiran, keinginan, kehendak dan cita-cita dalam alam pikiran manusia pada khususnya dan masyarakat pada umumnya tentang kehidupan di alam kodrati. Hal tersebut akan diwujudkan dan tercermin dalam perilaku kehidupan sehari-hari mereka. Rahmat (2007) menjelaskan bahwa persepsi dapat berupa kesan, penafsiran atau penilaian berdasarkan pengalaman yang diperoleh dan suatu proses pengambilan keputusan tentang pemahaman seseorang kaitannya dengan suatu obyek, stimuli atau individu yang lain. Kesan stimuli tersebut dapat dipandang sebagai pengalaman tentang obyek, peristiwa atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Asngari (1984) dalam Puspasari (2010), menyatakan proses pembentukan suatu persepsi diawali dari perolehan informasi kemudian orang tersebut membentuk persepsi dari pemilihan atau penyaringan, kemudian informasi tersebut disusun menjadi satu kesatuan yang bermakna dan akhirnya diinterpretasikan mengenai fakta dari keseluruhan informasi. Pada fase interpretasi ini, pengalaman masa silam memegang peranan penting guna meningkatkan pengertian dan pemahaman terhadap obyek yang diamati.

8 Informasi yang sampai pada seseorang merupakan stimulus, kemudian diteruskan ke otak oleh syaraf sensoris, sehingga seseorang akan memahami dan menyadari stimulus tersebut, selanjutnya orang tersebut melakukan tindakan. Menurut Calhoun dan Acocella (1990) persepsi memiliki tiga dimensi yang menandai konsep dirinya, sebagai berikut: 1. Pengetahuan merupakan apa yang kita ketahui (atau kita anggap tahu) tentang pribadi lain-wujud lahiriah, perilaku, masa lalu, perasaan motif dan sebagainya 2. Penghargaan merupakan gagasan kita tentang orang itu menjadi apa dan mau melakukan apa yang dipadukan dengan gagasan kita tentang seharusnya dia menjadi apa dan melakukan apa 3. Evaluasi merupakan kesimpulan kita tentang seseorang didasarkan pada bagaimana seseorang (menurut pengetahuan kita tentang mereka) memenuhi pengharapan kita tentang dia. Menurut Sadli (1976) dalam Susiatik (1988) terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang, sebagai berikut: 1. Faktor obyek rangsangan dengan ciri khas sebagai berikut: a. Nilai, yaitu ciri-ciri dari rangsangan seperti nilai bagi subyek yang mempengaruhi cara rangsangan tersebut dipersepsi b. Arti emosional, yaitu sampai seberapa jauh rangsangan tertentu merupakan sesuatu yang mempengaruhi persepsi individu yang bersangkutan c. Familiaritas, yaitu pengenalan seberapa jauh rangsangan yang mengakibatkan rangsangan tersebut dipersepsi lebih akurat d. Intensitas, yaitu ciri-ciri yang berhubungan dengan derajat kesadaran seseorang mengenai rangsangan tersebut. 2. Faktor pribadi Faktor pribadi yang dapat memberikan persepsi yang berbeda seperti tingkat kecerdasan, minat, emosional dan lain-lain. 3. Faktor pengaruh kelompok Dalam suatu kelompok manusia, respons orang lain akan memberikan arah terhadap tingkah laku seseorang.

9 4. Faktor latar belakang kultural Orang dapat memberikan suatu persepsi yang berbeda terhadap obyek karena latar belakang kultural yang berbeda. Asngari (1984) dalam Puspasari (2010) berpendapat bahwa persepsi bukan hanya dipengaruhi oleh karakteristik pengalaman masa silam, tetapi karakteristik responden seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status sosial berhubungan dengan persepsi responden, karena persepsi merupakan proses pengamatan serapan yang berasal dari kemampuan kognisi orang tersebut. Selain itu ada faktor eksternal yang mempengaruhi persepsi, terutama untuk persepsi petani hutan rakyat. Salah satu faktor tersebut adalah kekosmopolitan. Kekosmopolitan adalah keterbukaan petani pada informasi melalui hubungan mereka dengan berbagai sumber informasi yang dibutuhkan. Kekosmopolitan individu dicirikan dengan sejumlah atribut yang membedakan mereka dari orang lain di dalam komunitasnya, yaitu: 1) Individu tersebut memiliki status sosial, 2) Partisipasi sosial lebih tinggi, 3) Lebih banyak berhubungan dengan pihak luar, 4) lebih banyak menggunakan media massa, 5) Memiliki lebih banyak hubungan dengan orang lain maupun lembaga yang berada di luar komunitasnya (Rogers 1989). Mosher (1987) berpendapat bahwa keterbukaan seseorang berhubungan dengan penerimaan perubahan-perubahan seseorang untuk meningkatkan perbaikan usaha tani mereka. Menurut Agussabti (2002) perilaku petani dalam mengelola usahatani berhubungan dengan frekuensi interaksi sesama petani. Semakin intensif mereka berinteraksi maka semakin banyak mendapatkan informasi baru untuk mengembangkan usaha taninya. Demikian pula pendapat Pambudy (1999) bahwa keterbukaan terhadap informasi peternak berhubungan dengan perilaku mereka. Dijelaskan pula bahwa semakin banyak media massa yang dipergunakan dan semakin banyak kontak interpersonal dalam mencari informasi maka akan semakin banyak pilihan cara-cara untuk meningkatkan kualitas usahatani mereka. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa tingkat kekosmopolitan berhubungan dengan perilaku melestarikan hutan, karena berkaitan dengan banyaknya informasi yang didapatkan oleh petani. Langevelt (1996) dalam Puspasari (2010) menyatakan, adanya persepsi berakibat terhadap timbulnya motivasi, kemauan, tanggapan, perasaan, fantasi

10 dari stimulasi yang diterima. Namun persepsi dua orang mengenai suatu obyek yang sama dapat berbeda. Hal tersebut dapat terjadi karena tiap orang berbeda kebutuhan, motif, minat dan lain-lain. Sedangkan Myers (1988) dalam Puspasari (2010) berpendapat, terbentuknya persepsi cenderung menurut kebutuhan, minat dan latar belakang masing-masing. Menurut Susiatik (1998) hubungan dengan pelaksanaan kegiatan, tinggi rendahnya tingkat persepsi seseorang atau kelompok akan mendasari atau mempengaruhi tingkat peran serta dalam kegiatan. Tingkat persepsi yang tinggi akan merupakan dasar dukungan dan motivasi positif untuk berperan serta, begitu pula sebaliknya tingkat persepsi yang rendah atau kurang dapat merupakan penghambat bagi seseorang atau kelompok orang untuk berperan serta dalam pelaksanaan kegiatan. 2.3 Manfaat Ekologi Menurut Ewusie (1990) dalam Sundawiati (2004), faktor-faktor ekologi digolongkan kedalam faktor abiotik dan faktor biotik. Faktor abiotik terdiri atas curah hujan, suhu, kelembaban relatif (RH), angin, cahaya, kesetimbangan energi, topografi, tanah dan geologi. Sedangkan faktor biotik terdiri atas tumbuhan hijau atau tumbuhan lain, interaksi (seperti pemangsaan, simbiosis, parasitisme) hewan dan manusia. Irwan (1992) menyatakan bahwa ekologi adalah pengkajian hubungan organisme-organisme atau kelompok organisme terhadap lingkungan. Lingkungan adalah suatu kombinasi khusus dari keadaan luar yang mempengaruhi organisme. Pertumbuhan, perkembangan dan reproduksi organisme dipengaruhi oleh lingkungan. Lingkungan berarti semua faktor ekternal yang bersifat biologis dan fisik. Menurut Irwan (1992) ekologi terbagi menjadi dua macam, yaitu: autekologi dan sinekologi. Autekologi membahas pengkajian individu organisme atau individu spesies yang penekanannya pada sejarah-sejarah hidup dan kelakuan dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan, sedangkan sinekologi membahas pengkajian golongan atau kumpulan organisme-organisme yang berasosiasi bersama sebagai satuan.

11 2.4 Manfaat Ekonomi Manfaat ekonomi dapat dirasakan dari kesejahteraan yang dirasakan oleh petani hutan rakyat. Menurut Twikromo et al. (1995) kesejahteraan dapat diartikan sebagai suatu kondisi kehidupan dimana keseimbangan lahir dan batin manusia dapat tercipta dalam kaitannya dengan usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani mereka.

12 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua Desa dengan pola hutan rakyat yang berbeda dimana, desa tersebut terletak di kecamatan yang berbeda juga, yaitu: Desa Naluk dengan pola hutan rakyat monokultur yang terletak di Kecamatan Cimalaka dan Desa Karanglayung dengan pola hutan rakyat campuran yang terletak di Kecamatan Conggeang Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli sampai bulan Agustus 2011. 3.2 Sasaran Penelitian Sasaran dalam penelitian ini adalah petani hutan rakyat yang pola hutan rakyatnya monokultur dan hutan rakyat campuran. 3.3 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: alat tulis, alat hitung, kamera, daftar pertanyaan (kuisioner), alat perekam dan komputer. 3.4 Kerangka Pemikiran Seiring dengan perkembangan teknologi, pola hutan rakyat yang berkembang berbeda-beda, ada hutan rakyat dengan pola hutan rakyat monokultur, campuran, dan ada juga hutan rakyat dengan pola agroforestri. Pada penelitian ini terdapat dua pola pengelolaan hutan rakyat yang dikembangkan di Kabupaten Sumedang, yaitu: hutan rakyat monokulur dan hutan rakyat campuran. Perbedaan pola pengelolaan hutan rakyat tersebut tentunya memberikan pengaruh yang berbeda antara petani hutan rakyat monokultur dan petani hutan rakyat campuran dilihat dari manfaat ekologi, ekonomi dan sosial. Pola pengelolaan hutan rakyat monokultur dan campuran dikatakan berhasil apabila manfaat yang dirasakan petani hutan rakyat membawa dampak positif bagi kehidupan mereka. Alur kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.

13 HUTAN RAKYAT HUTAN RAKYAT MONOKULTUR HUTAN RAKYAT CAMPURAN Faktor Internal PERSEPSI PETANI HUTAN RAKYAT Faktor Eksternal MANFAAT EKONOMI MANFAAT EKOLOGI MANFAAT SOSIAL Pengaruh lingkungan terhadap kehidupan petani Pengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat Kontribusi terhadap pendapatan rumah tangga petani Wawancara Wawancara Wawancara Pengamatan 1. Air 2.Suhu udara 3.Bencana alam 4.Keberadaan satwa liar 5. Kenyamanan Interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat, baik dengan sesama warga ataupun pihak luar 1.Perbandingan pendapatan total dengan pengeluaran total 2.Perbandingan pendapatan hutan rakyat monokultur dan hutan rakyat campuran 3.Tingkat Kesejahteraan petani Dampak Positif Gambar 1 Kerangka pemikiran konseptual.

14 3.5 Sumber Data Sumber data yang dikumpukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Petani hutan rakyat (responden) 2. Instansi yang terkait dalam perolehan data penelitian 3. Studi pustaka. 3.6 Jenis Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah sebagai berikut: 1. Karakteristik responden, meliputi: nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan, pengalaman berusaha tani, pekerjaan pokok, pekerjaan sampingan, pekerjaan pasangan, jumlah tanggungan keluarga 2. Data potensi ekonomi rumah tangga, meliputi: luas kepemilikan lahan, luas pemilikan lahan hutan rakyat, usaha di bidang pertanian, kehutanan, peternakan dan sebagainya 3. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan hutan rakyat 4. Pendapatan rumah tangga, meliputi: besarnya pendapatan dan sumber-sumber pendapatan (dari hutan rakyat dan dari luar hutan rakyat seperti pertanian, peternakan dan pekerjaan sampingan atau sumber pendapatan lain) 5. Data biaya pengusahaan hutan rakyat, meliputi: biaya tetap (sewa tanah, peralatan penanaman dan sebagainya), biaya variabel (upah, pembelian bibit dan pupuk), pajak tanah dan biaya lainnya 6. Pengeluaran rumah tangga, meliputi: konsumsi untuk makanan beras dan non beras, pendidikan, sumbangan atau iuran dan kebutuhan lain seperti pakaian, transportasi, kesehatan 7. Data usaha tani, meliputi: pola tanam dan produktivitas usaha tani 8. Persepsi petani hutan rakyat monokultur dan hutan rakyat campuran terhadap pola pengelolaan hutan rakyat yang dirasakan dari manfaat ekologi dan sosial.

15 Data Sekundernya adalah sebagai berikut: 1. Keadaan umum lokasi penelitian, meliputi: letak, keadaan fisik lingkungan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat 2. Keadaan lahan, meliputi: jenis tanah, topografi, kelerengan lahan dan luasan lahan berdasarkan pemilikannya dan fungsi lahan 3. Keadaan penduduk, meliputi: umur, jenis kelamin, mata pencaharian masyarakat dan tingkat pendidikan 4. Data sekunder lain yang menunjang penelitian. 3.7 Metode Pengumpulan Data Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan cara sebagai berikut: 1. Teknik Observasi dengan cara mengadakan pengamatan langsung terhadap objek peneliti 2. Teknik Wawancara dengan cara melakukan wawancara terstruktur dan bebas dengan petani hutan rakyat (responden) serta pihak-pihak yang terkait dengan menggunakan responden 3. Studi Pustaka dengan cara mempelajari literatur, laporan, karya ilmiah dan hasil penelitian yang ada hubungannya dengan penelitian. 3.8 Metode Pemilihan Responden Responden dipilih secara purposive sampling. Menurut Danim (2004), metode purposive sampling adalah metode dalam pengambilan sampel dengan atas dasar pertimbangan pribadi peneliti. Responden yang terpilih adalah petani hutan rakyat pola monokultur dan campuran yang aktif dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat. Untuk petani hutan rakyat monokultur 30 responden dan petani hutan rakyat campuran 30 responden, dengan total responden yang dipilih adalah sebanyak 60 responden. Selain itu ada informan dari pihak instansi terkait yang memberikan informasi tambahan yaitu data-data yang dibutuhkan dalam penelitian.

16 3.9 Metode Pengambilan Data 3.9.1 Persepsi Responden terhadap Pola Pengelolaan Hutan Rakyat Untuk mengetahui persepsi responden terhadap pengelolaan hutan rakyat dapat dilakukan dengan cara melakukan wawancara menggunakan kuisioner dan pengamatan di lapangan mengenai manfaat ekologi dan sosial yang dirasakan petani hutan rakyat dari pola pengelolaan hutan rakyat monokultur dan campuran. Untuk manfaat ekologi, pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam kuisioner tersebut mengenai persepsi responden tentang pengaruh pengelolaan terhadap perubahan lingkungan, dimana responden tersebut adalah petani hutan rakyat murni dan petani hutan rakyat campuran. Sehingga didapatkan manfaat yang berbeda antara hutan rakyat monokultur dan hutan rakyat campuran. Untuk data yang diperoleh dari hasil pengamatan di lapangan meliputi data-data fisik dari keadaan lokasi penelitian hutan rakyat monokultur dan hutan rakyat campuran (dari data sekunder dan wawancara bebas). Sedangkan untuk variabel yang diamati, meliputi: air, suhu udara, bencana alam dan jumlah satwa. Untuk manfaat sosial, pernyataan-pernyataan yang terdapat dalam kuisioner tersebut mengenai persepsi responden terhadap manfaat sosial yang diperoleh dari data interaksi yang terjadi antara petani hutan rakyat dengan petani hutan rakyat, petani hutan rakyat dengan warga desa maupun dengan pihak luar. Baik hutan rakyat monokultur maupun hutan rakyat campuran. Data yang diperoleh dapat berupa pengambilan keputusan dalam rumah tangga petani, sedangkan data interaksi antara petani maupun dengan masyarakat desa diperoleh dari wawancara secara bebas kepada pihak-pihak yang diperkirakan mempunyai kedudukan yang kuat/petinggi-petinggi dalam masyarakat desa maupun anggota suatu organisasi atau lembaga desa. Interaksi dalam masyarakat desa dapat berupa sistem kelembagaan yang terdapat dalam desa tersebut, khususnya yang berhubungan dengan hutan rakyat. 3.9.2 Manfaat Ekonomi Manfaat ekonomi dari pola pengelolaan hutan rakyat monokultur dan campuran tersebut dapat dirasakan petani hutan rakyat dari kontribusinya terhadap pendapatan rumah tangga petani hutan rakyat. Untuk data manfaat ekonomi tidak

17 dicari dengan menggunakan persepsi, karena data yang diperoleh bukan merupakan sebuah pernyataan berupa pendapat. Data dikumpulkan dengan melakukan wawancara secara langsung terhadap responden dan juga instansi yang terkait. Daftar pertanyaan dalam kuisioner mengenai hal-hal yang berhubungan dengan penelitian. Besarnya pendapatan rumah tangga menggunakan variabel besarnya pendapatan dan sumber-sumber pendapatan (dari hutan rakyat dan dari luar hutan rakyat, antara lain: pertanian, peternakan dan pekerjaan sampingan atau sumber pendapatan lain) serta pengeluaran rumah tangga. 3.10 Metode Pengolahan dan Analisis Data 3.10.1 Persepsi Responden terhadap Pola Pengelolaan Hutan Rakyat Persepsi petani hutan rakyat terhadap pola pengelolaan hutan rakyat dapat diketahui dari manfaat ekologi dan sosial yang dirasakan petani. Persepsi manfaat ekologi dan sosial dari pengelolaan lahan hutan rakyat monokultur dan hutan rakyat campuran dijawab dengan mengajukan pertanyaan yang disajikan dalam bentuk kuisioner, kemudian dari jawaban-jawaban tersebut diberikan skor. Penentuan skors dapat dilakukan dengan menggunakan Skala Likert, dimana cara pengukuran adalah dengan menghadapkan seorang responden dengan sebuah pertanyaan berupa sebuah kuesioner pernyataan terlampir dan diminta untuk memberikan jawaban sangat setuju, setuju, kurang setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju. Jawaban-jawaban ini diberi skors 5, 4, 3, 2, 1 secara berurutan. Setelah dibuat skors dari jawaban tersebut, kemudian dibuat skala. Dalam menentukan skala, terlebih dahulu dicari nilai intervalnya dengan menggunakan perhitungan sebagai berikut: Bobot nilai tertinggi Bobot nilai terendah 5-1 Interval = = = 0,8 Banyaknya Kelas 5 Setelah besarnya nilai interval diketahui, kemudian dibuat skala untuk mengetahui tingkatan persepsi, sehingga dapat diketahui dimana letak penilaian respon terhadap setiap unsur. Skala tingkatan persepsi tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

18 Tabel 1 Tingkatan persepsi dari manfaat ekologi dan sosial berdasarkan rataan nilai terboboti No Interval Nilai Tanggapan Tingkat Persepsi 1 4,21-5,00 Sangat Tinggi 2 3,41-4,20 Tinggi 3 2,61-3,40 Sedang 4 1,81-2,60 Rendah 5 1,00-1,80 Sangat Rendah Data yang diperoleh dari hasil kuisioner kemudian dicari nilai total skor dari setiap pertanyaan dengan cara menjumlahkan nilai dari setiap jawaban responden. Penentuan tingkat persepsi dikelompokan secara ordinal menjadi lima kategori yakni sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah seperti tabel di atas, sehingga dapat diketahui tingkat persepsi dari tiap responden. Kemudian data tersebut diolah dan dianalisis secara deskriptif dengan membandingkan data persepsi petani hutan rakyat monokultur dengan petani hutan rakyat campuran. Untuk manfaat sosial, data diolah dan dianalisis secara deskriptif dengan membandingkan interaksi yang terjadi dalam masyarakat antara sistem pengelolaan hutan rakyat monokultur dengan sistem pengelolaan hutan rakyat campuran, baik sesama petani hutan rakyat, petani dengan masyarakat maupun dengan pihak luar. Sedangkan data hasil wawancara dengan mengajukan pertanyaan secara bebas kepada petani hutan rakyat dan instansi terkait diolah juga secara deskriptif sehingga tergambar interaksi yang terjadi antara petani hutan rakyat, petani dengan warga masyarakat ataupun pihak luar. 3.10.2 Manfaat Ekonomi Manfaat ekonomi dari pola pengelolaan hutan rakyat monokultur dan hutan rakyat campuran tersebut dapat dirasakan dari kontribusinya terhadap pendapatan rumah tangga petani, dengan cara menghitung pendapatan yang diterima dari usaha hutan rakyat, usaha tani non hutan rakyat dan non usaha tani. Untuk manfaat ekonomi dicari dengan metode perhitungan sederhana, tidak menggunakan persepsi karena data yang diperoleh bukan berupa pendapat, melainkan berupa data angka yang harus dihitung dengan menggunakan rumus tertentu. Perhitungan pendapatan petani dilakukan dengan menggunakan

19 perhitungan sederhana. Data yang diperoleh disusun dan diolah dalam bentuk tabulasi untuk mendapatkan informasi yang diinginkan. Analisis data dilakukan secara deskriptif berdasarkan hasil tabulasi tersebut. Untuk menghitung pendapatan rumah tangga petani menggunakan rumus-rumus sebagai berikut : 1. Pendapatan petani dari hutan rakyat I = Σ Pendapatan petani dari produk hutan rakyat Keterangan : I = Pendapatan total petani dari produk hutan rakyat per tahun (Rp) Pendapatan petani dari produk hutan rakyat = Pendapatan yang diperoleh dari hasil penjualan kayu dan tanaman tumpangsari. 2. Pendapatan petani dari non hutan rakyat I = Σ Pendapatan petani dari produk non hutan rakyat Keterangan : I = Pendapatan total petani dari produk non hutan rakyat per tahun (Rp) Pendapatan dari produk non hutan rakyat = Pendapatan yang diperoleh dari hasil pertanian dan perkebunan. 3. Pendapatan petani dari non usaha tani I = Σ Pendapatan petani dari produk non usaha tani Keterangan : I = Pendapatan total petani dari produk non usaha tani (Rp) Pendapatan dari produk non usaha tani = Pendapatan yang diperoleh dari hasil peternakan, perdagangan, serta upah atau gaji dan sumber pendapatan lainnya. 4. Pendapatan total petani I = I + I + I Keterangan : I = Jumlah pendapatan total rumah tangga petani I = Pendapatan total dari produk hutan rakyat I = Pendapatan total dari produk non hutan rakyat I = Pendapatan total dari produk non usaha tani

20 5. Persentase pendapatan dari tiap kegiatan terhadap total pendapatan I % = I I 100 % Keterangan: I % = Persentase pendapatan dari tiap kegiatan (n = hr, nhr, nut) I = Pendapatan total dari tiap kegiatan (n = hr, nhr, nut) = Pendapatan total dari rumah tangga petani I 6. Menghitung total pengeluaran C = Σ C Keterangan : C = Total pengeluaran rumah tangga selama periode satu tahun Σ C = Jumlah biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan Data yang telah disusun dan diolah dalam bentuk tabulasi dianalisis secara deskriptif untuk mendapatkan informasi dan gambaran yang diinginkan yaitu data pendapatan rumah tangga tersebut dibandingkan antara pendapatan hutan rakyat monokultur dengan pendapatan hutan rakyat campuran, sehingga diketahui sistem pengelolaan mana yang memberikan kontribusi cukup besar bagi pendapatan rumah tangga petani. 3.10.3 Pengolahan Data Karakteristik Responden Data karakteristik dari tiap responden diolah untuk menentukan skor dari tiap kategori. Skor tersebut akan digunakan dalam pengolahan data selanjutnya yaitu untuk mengetahui peubah yang mempengaruhi persepsi. Untuk lebih jelasnya data dapat dilihat pada Tabel 2.

21 Tabel 2 Pengolahan data karakteristik responden No. Variabel Kategori Ranking Dasar Pengukuran Faktor Internal 1. Umur 1. 30-39 tahun 2. 40-49 tahun 3. 50-59 tahun 4. 60-69 tahun 5. 70 tahun 2. Tingkat pendidikan 3. Pengalaman bertani 1. Tidak sekolah 2. Sekolah Dasar 3. Sekolah Menengah Pertama 4. Sekolah Menengah Atas 5.Perguruan Tinggi 1. 15 tahun - 21 tahun 2. 22 tahun - 28 tahun 3. 29 tahun - 35 tahun 4. 36 tahun - 42 tahun 5. 43 tahun 4. Pekerjaan pokok 1. Petani 2. Buruh 3. Wiraswasta 4. Pegawai Negeri 5. Pekerjaan sampingan 6. Jumlah tanggungan keluarga 1. Tidak ada 2. Petani 3. Buruh 4. Wiraswasta 1. 0-1 orang 2. 2-3 orang 3. 4 orang 7. Pendapatan 1. Rp.0 - Rp.2.000.000 2. Rp.2.100.000 - Rp.4.000.000 3. Rp.4.100.000 - Rp.6.000.000 4. Rp.6.100.000 - Rp.8.000.000 5. Rp.8.100.000 Faktor Eksternal 8. Luas Kepemilikan Lahan 9. Kekosmopolitan 1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi 10. Kontak dengan penyuluh 11. Frekuensi bertemu petani 12. Bantuan pemerintah 1. 700 m² - 1.900 m² 2. 2.000 m² - 3.200 m² 3. 3.300 m² - 4.500 m² 4. 4.600 m² - 5.800 m² 5. 5.900 m² 1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi 1. Jarang 2. Sering 1. Tidak ada 2. Ada 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 1 2 3 1 2 1 2 Sebaran contoh Sebaran Contoh Sebaran Contoh Sebaran contoh Sebaran contoh Sebaran Contoh Sebaran Contoh Sebaran Contoh Sebaran Contoh Sebaran Contoh Sebaran Contoh Sebaran Contoh

22 3.10.4 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi, data diolah dengan analisis korelasi Rank Spearman dengan menggunakan program SPSS 16.0 FOR WINDOWS karena data tersebut berupa data kuantitatif. Menurut Sarwono (2006), untuk analisis kuantitatif digunakan uji hipotesa dengan uji korelasi peringkat Spearman. Korelasi Rank Spearman digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara dua variabel, yaitu variabel bebas dan variabel tergantung yang berskala ordinal (non-parametrik). Hasil uji korelasi tersebut dapat menghasilkan angka positif (+) atau negatif (-). Jika korelasi menghasilkan angka positif, maka hubungan kedua variabel bersifat searah, artinya jika variabel bebas besar maka variabel tergantung juga besar. Jika menghasilkan angka negatif maka hubungan kedua variabel tersebut tidak searah, artinya jika variabel bebas besar maka variabel tergantung akan kecil. Angka korelasi yang dihasilkan berkisar antara 0 s/d 1, dengan ketentuan jika angka mendekati satu maka hubungan kedua variabel semakin kuat dan jika angka mendekati 0 maka hubungan kedua variabel semakin lemah. Berikut ini adalah rumus uji korelasi dengan menggunakan Rank Spearman (Irianto 2008) : rs (rho) = 1- Keterangan : rs (rho) = Koefisien Rank Spearman n = Banyaknya sampel pengamatan di = Beda peringkat variabel X dan Y Menurut Sarwono (2006), agar penafsiran dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan maka diperlukan kriteria yang menunjukkan korelasi kuat atau lemah, yang dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Tingkat keeratan hubungan antar variabel Interval Koefisien Tingkat Hubungan 0 0,25 Korelasi sangat lemah >0,25 0,5 Korelasi cukup >0,5 0,75 Korelasi kuat >0,75 1 Korelasi sangat kuat Sumber : Sarwono (2006) Variabel tergantung yang akan di uji adalah persepsi dan variabel bebasnya adalah faktor internal dan eksternal yang diduga mempengaruhi

23 persepsi. Faktor internal terdiri dari umur, tingkat pendidikan pengalaman bertani, pekerjaan pokok, pekerjaan sampingan, jumlah tanggungan keluarga dan pendapatan rumah tangga petani. Faktor eksternal terdiri dari luas kepemilikan lahan, kekosmopolitan, kontak dengan penyuluh dan frekuensi bertemu petani. Faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi persepsi tersebut diperoleh dari hasil wawancara mengenai karakteristik responden. Untuk faktor eksternal yang mempengaruhi persepsi yaitu tingkat kekosmopolitan dan kontak dengan penyuluh dihitung dengan menggunakan kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi. Berdasarkan hasil penelitian Budiono (2006), bahwa tingkat kekosmopolitan yang dimaksud ialah keterbukaan petani tepi hutan terhadap informasi yang berkaitan dengan pelestarian hutan dan pertanian konservasi dengan berbagai sumber informasi. Tingkat kekosmopolitan diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu: 1) rendah, 2) sedang, dan 3) tinggi. Dikatakan mempunyai kategori tingkat kekosmopolitan rendah bila dalam sebulan tidak lebih satu kali keluar kampungnya, media cetak yang dibaca tidak lebih dari 2 kali dalam sebulan (bobot 20%), mendengarkan radio (bobot 20%), melihat dan mendengar Televisi (bobot 30%) dan lainnya (bobot 30%) tidak lebih dari 3 jam tiap harinya. Kategori tingkat kekosmopolitan sedang, jika dalam sebulan 3-6 kali ke luar kampungnya, media cetak yang dibaca 3-5 kali dalam sebulan, dan melihat dan mendengar Televisi/ Radio 4-7 jam tiap harinya. Sedangkan kategori tingkat kekosmopolitan tinggi apabila dalam sebulan lebih 7 kali keluar kampungnya, media cetak yang dibaca lebih dari 6 kali dalam sebulan, dan melihat dan mendengar TV/ Radio lebih dari 8 jam tiap harinya. Faktor eksternal yang selanjutnya adalah kontak dengan penyuluh. Berdasarkan hasil penelitian Budiono (2006), kontak dengan penyuluh yaitu frekuensi petani tepi hutan berhubungan dengan penyuluh kehutanan dalam suatu pertemuan. Kontak penyuluh diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu: 1) rendah, 2) sedang, dan 3) tinggi. Adapun kategori rendah adalah 0-1 kali kontak dengan PPL dalam tiga bulan terakhir, sedang adalah 2 3 kali dalam tiga bulan terakhir dan kategori tinggi adalah lebih dari 4 kali dalam tiga bulan terakhir. Pengertian kontak disini adalah ikut hadir dalam forum pertemuan kelompok. Untuk frekuensi bertemu dengan petani hanya ditentukan sering atau jarang,

24 sedangkan untuk bantuan dari pemerintah ditentukan dengan ada atau tidaknya bantuan dan besar bantuan yang diberikan. Setelah dilihat korelasinya kemudian dilakukan penarikan kesimpulan apakah asumsi dapat diterima atau ditolak dengan melihat nilai P value. 1. Jika P value (Sig 2-tailed) 0,05 maka tolak Ho dan terima H1 pada α = 5% 2. Jika P value (Sig 2-tailed) 0,05 maka terima Ho dan tolak H1 pada α = 5% Asumsi yang digunakan pada penelitian ini: Ho = Tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel yang diuji H1 = Terdapat hubungan yang signifikan antara variabel yang diuji Selanjutnya dengan melihat kesimpulan tersebut, maka dapat diambil keputusan untuk menentukan variabel mana yang berhubungan erat.

25 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis 4.1.1 Desa Naluk Desa Naluk terletak di Kecamatan Cimalaka Kabupaten Sumedang, dimana luas wilayahnya sebesar 294 ha. Masyarakat Desa Naluk melakukan budidaya hutan rakyat secara monokultur. Jarak dari kecamatan menuju kabupaten sekitar 5 km. Peta desa Naluk dapat diihat pada Gambar 2. Peta Desa Naluk Keterangan :.. = Batas desa = Jalan desa......... = Batas dusun = Balai desa = Jalan kabupaten Gambar 2 Peta lokasi Desa Naluk. 4.1.2 Desa Karanglayung Desa Karanglayung terletak di Kecamatan Conggeang Kabupaten Sumedang, dimana luas wilayahnya sebesar 699,67 ha. Jarak dari kecamatan menuju kabupaten sekitar 22,5 km. Masyarakat desa Karanglayung melakukan

26 budidaya hutan rakyat secara campuran. Lokasi Desa Karanglayung dapat dilihat pada Gambar 3. Peta Desa Karanglayung Keterangan :.. = Batas kecamatan = Jalan desa - - - - - - - - = Batas desa = Balai desa - - - - - - - - = Jalan kabupaten = Lokasi desa Gambar 3 Peta lokasi Desa Karanglayung. 4.2 Kondisi Biofisik 4.2.1 Topografi Kondisi topografi desa-desa tempat penelitian berbeda, yaitu: antara Desa Naluk dengan Desa Karanglayung. Berdasarkan data potensi desa dan kelurahan (2010), Desa Naluk secara umum merupakan wilayah berbukit-bukit dengan ketinggian 400-500 mdpl, sedangkan Desa Karanglayung terbagi ke dalam 3 wilayah yaitu wilayah dataran rendah, berbukit-bukit dan dataran tinggi dengan ketinggian 50-350 mdpl. Lahan di Desa Naluk didominasi oleh lahan persawahan (pertanian) seluas 105 ha dari total luas wilayah desa, sedangkan lahan Desa Karanglayung didominasi oleh lahan hutan dengan luas 307,45 ha dari total luas wilayah desa. Kedua desa tersebut memiliki kelerengan datar, agak curam dan curam. Untuk wilayah yang datar ditanami oleh tanaman pertanian dan kebun

27 campuran seperti padi, jeruk dan cengkeh sedangkan untuk wilayah yang agak curam dan curam dijadikan wilayah hutan dan ditanami mahoni, jati dan sengon. 4.2.2 Iklim Menurut data potensi desa dan kelurahan (2010), curah hujan rata-rata di Desa Naluk Kecamatan Cimalaka adalah 100-200 mm/bulan dengan temperatur antara 24-36 C, sedangkan Desa Karanglayung Kecamatan Conggeang curah hujan rata-ratanya sebesar 200-300 mm/bulan dengan temperatur 27 C. Berdasarkan hasil dari data yang dikumpulkan bahwa Kecamatan Cimalaka memiliki curah hujan rata-rata per tahun adalah 2188 mm/tahun atau rata-rata curah hujan per bulan adalah 182,3 mm/bulan dengan hari hujan sebanyak 103 hari. Untuk Kecamatan Conggeang, curah hujan rata-ratanya adalah 3092 mm/tahun atau rata-rata curah hujan per bulan adalah 257 mm/bulan dengan jumlah hari hujan sebanyak 114 hari. 4.2.3 Jenis Tanah Berdasarkan data potensi desa dan kelurahan (2010) kedua desa tempat penelitian memiliki tiga jenis tanah yaitu aluvial, latosol coklat dan podsolik merah kuning. Tanah aluvial terdapat pada lahan basah (persawahan). Sedangkan untuk tanah latosol dan podsolik merah kuning terdapat pada lahan kering, yaitu: tanah hutan dan kebun campuran. 4.3 Kondisi Demografi 4.3.1 Kependudukan Menurut data potensi desa dan kelurahan (2010) bahwa jumlah penduduk di Desa Naluk pada tahun 2010 adalah 3.193 jiwa yang terdiri dari 1.584 orang laki-laki (49,61%) dan 1.609 orang perempuan (50,39%) dengan jumlah Kepala Keluarga 1065 KK. Desa Naluk memiliki kepadatan penduduk sebesar 103 jiwa/ km. Sedangkan jumlah penduduk di Desa Karanglayung pada tahun 2010 adalah 3.131 jiwa yang terdiri dari 1.546 orang laki-laki (49,38%) dan 1.585 orang perempuan (50,62%) dengan jumlah Kepala Keluarga 1069 KK. Desa

28 Karanglayung memiliki kepadatan penduduk sebesar 184 jiwa/ km. Adapun klasifikasi jumlah penduduk berdasarkan umur dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Klasifikasi penduduk Desa Naluk dan Desa Karanglayung berdasarkan umur Jumlah Jiwa Jumlah Persentase (%) Umur Laki-laki Perempuan No (tahun) Desa Naluk Desa Karanglayung Desa Naluk Desa Karanglayung Desa Naluk Desa Karang- Layung Desa Naluk Desa Karanglayung 1 0-4 135 86 106 85 241 171 7,55 5,46 2 5-9 140 80 109 82 249 162 7,80 5,17 3 10-14 101 83 118 85 219 168 6,86 5,37 4 15-19 112 75 113 91 225 166 7,05 5,30 5 20-24 129 85 152 93 281 178 8,80 5,68 6 25-29 120 99 109 97 229 196 7,17 6,26 7 30-34 130 96 138 89 268 185 8,39 5,91 8 35-39 127 100 132 90 259 190 8,11 6,07 9 40-44 90 96 110 94 200 190 6,26 6,07 10 45-49 113 95 116 96 229 191 7,17 6,10 11 50-54 113 88 120 98 233 186 7,30 5,94 12 55-59 107 88 99 86 206 174 6,45 5,56 13 60-64 58 85 72 94 130 179 4,07 5,72 14 65-69 50 85 42 81 92 166 2,88 5,30 15 70-75 24 76 30 88 54 164 1,69 5,24 16 75 35 229 43 236 78 465 2,44 14,85 Jumlah 1.584 1.546 1.609 1.585 3.193 3.131 100 100 Sumber : Data potensi Desa Naluk dan Desa Karanglayung (2010) 4.3.2 Mata Pencaharian Masyarakat Desa Naluk memiliki mata pencaharian pokok yang beragam. Sebagian besar masyarakatnya mempunyai mata pencaharian sebagai petani karena jumlah lahan pribadi yang dijadikan areal persawahan tinggi. Desa Karanglayung memiliki mata pencaharian pokok yang beragam juga. Sama halnya dengan Desa Naluk, masyarakat Desa Karanglayung sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani, karena lahan milik yang dijadikan wilayah persawahan tinggi. Mata pencaharian masyarakat Desa Naluk dan Desa Karanglayung dapat dilihat pada Tabel 5.

29 Tabel 5 Klasifikasi penduduk Desa Naluk dan Karanglayung berdasarkan mata pencaharian Jumlah Jiwa Jumlah Persentase (%) Jenis Laki-laki Perempuan No Pekerjaan Desa Desa Desa Desa Desa Desa Desa Desa Karanglayunlayunlayunlayung Karang- Karang- Karang- Naluk Naluk Naluk Naluk 1 Petani 956 519 965 502 1.921 1.021 76,17 55,67 2 Buruh Tani 158 312 160 209 318 521 12,61 28,41 3 Buruh - 3-156 - 159-8,67 Migran 4 Pegawai 28 29 28 17 56 46 2,22 2,51 Negeri Sipil 5 Pengrajin 2 13 - - 2 13 0,08 0,71 industri rumah tangga 6 Pedagang - 3 9 5 9 8 0,36 0,44 keliling 7 Peternak 2 21-5 2 26 0,08 1,42 8 Montir 6 - - - 6-0,24-9 Pembantu - - 2-2 - 0,08 - rumah tangga 10 TNI 10 6 - - 10 6 0,40 0,33 11 POLRI 3 2 - - 3 2 0,12 0,11 12 Pensiunan 65 17 63 4 128 21 5,07 1,14 PNS/TNI/ POLRI 13 Pengusaha 4 6 - - 4 6 0,16 0,33 kecil dan menengah 14 Dukun - - 1-1 - 0,04 - kampung terlatih 15 Jasa - 3-1 - 4-0,22 pengobatan alternatif 16 Karyawan 42-18 - 60-2,38 - perusahaan swasta 17 Seniman/ - 1 - - - 1-0,05 Artis Jumlah 1.276 935 1.246 899 2.522 1.834 100 100 Sumber : Data potensi Desa Naluk dan Desa Karanglayung (2010) 4.3.3 Pendidikan Tingkat pendidikan merupakan jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh masyarakat desa mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Mayoritas pendidikan masyarakat Desa Naluk adalah sekolah dasar. Hal ini dapat dipengaruhi dari mata pencaharian masyarakat yang sebagian besar petani,

30 sehingga ekonominya rendah dan tidak mampu membiayai sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Desa kedua yang dijadikan lokasi penelitian adalah Desa Karanglayung. Desa ini letaknya lebih jauh dari kabupaten dibandingkan dengan Desa Naluk. Sebagian besar masyarakat Desa Karanglayung tingkat pendidikanya adalah sekolah dasar, sama dengan masyarakat Desa Naluk. Selain disebabkan oleh mata pencaharian penduduk yang sebagian besar petani, hal ini disebabkan juga oleh jauhnya akses menuju kota. Data tingkat pendidikan di Desa Naluk dan Desa Karanglayung dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Tingkat pendidikan penduduk Desa Naluk dan Desa Karanglayung Jumlah Jiwa Jumlah Persentase (%) Tingkat Laki-laki Perempuan No Pendidikan Desa Desa Desa Desa Desa Desa Desa Desa Karanglayunlayunlayunlayung Karang- Karang- Karang- Naluk Naluk Naluk Naluk 1 SD/ Sederajat 590 669 876 682 1.466 1.351 52,39 65,36 2 SMP/ 261 175 271 184 532 359 19,01 17,37 Sederajat 3 SMA/ 316 143 307 152 623 295 22,27 14,27 Sederajat 4 Akademi dan 75 37 102 25 177 62 6,33 3,00 Perguruan Tinggi Jumlah 1.242 1.024 1.556 1.043 2.798 2.067 100 100 Sumber : Data potensi Desa Naluk dan Desa Karanglayung (2010) 4.3.4 Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana adalah alat penunjang keberhasilan suatu proses upaya yang dilakukan di dalam pelayanan publik, karena apabila kedua hal ini tidak tersedia maka semua kegiatan yang dilakukan tidak akan dapat mencapai hasil yang diharapkan sesuai rencana. Kegiatan di Desa Naluk dan Karanglayung akan berlangsung dengan baik apabila sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan tersedia. Sarana dan prasarana umum di Desa Naluk dan Desa Karanglayung dapat dilihat pada Tabel 7.

31 Tabel 7 Sarana dan prasarana Desa Naluk dan Desa Karanglayung No Sarana dan Prasarana 1 Peribadatan Jumlah masjid Jumlah mushola 2 Kesehatan Balai pengobatan Posyandu 3 Pendidikan Gedung SD/sederajat Gedung SMP/sederajat Gedung TK Lembaga pendidikan agama 4 Olahraga Lapangan sepak bola Lapangan voli Lapangan basket Sumber : Data potensi Desa Naluk dan Desa Karanglayung (2010) Desa Naluk 4 15 1 1 1-1 3 1 2 1 Jumlah (buah) Desa Karanglayung 6 23 1 1 1 1 2 6-1 2 1

32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengelolaan Hutan Rakyat di Kabupaten Sumedang Kabupaten Sumedang memiliki luas wilayah sebesar 155.871,98 ha yang terdiri dari 26 kecamatan dengan 272 desa dan 7 kelurahan. Berdasarkan data statistik Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumedang (2010), luas lahan pertanian yaitu sekitar 51.906,02 ha, sedangkan luas hutan rakyat sekitar 14.338.72 ha. Melihat luas pemanfaatan lahan tersebut, berarti masyarakat lebih memilih lahannya untuk dimanfaatkan menjadi lahan pertanian. Seiring dengan perkembangan zaman, kebutuhan kayu semakin meningkat sehingga stok kayu berkurang dan harga kayu semakin mahal. Melihat keadaan seperti itu masyarakat berpikir bahwa hutan rakyat memiliki prospek yang bagus kedepannya karena diharapkan kayu rakyat dapat memenuhi kebutuhan kayu yang semakin meningkat. Jika dilihat dari susunan jenisnya terdapat dua pola pengelolaan hutan rakyat yang dikembangkan di Kabupaten Sumedang yaitu hutan rakyat monokultur dan hutan rakyat campuran. 5.1.1 Hutan Rakyat Monokultur Hutan rakyat monokultur merupakan hutan rakyat yang terdiri dari satu jenis tanaman yang dikembangkan. Desa yang terpilih sebagai tempat penelitian dengan bentuk hutan rakyat monokultur adalah Desa Naluk yang terletak di Kecamatan Cimalaka dengan luas hutan rakyat sebesar 78 ha. Hutan rakyat monokultur ini dikembangkan diatas lahan milik pribadi. Kelompok tani hutan rakyat yang terdapat di Desa ini bernama kelompok tani Sariwangi dengan jumlah petani hutan rakyat sebanyak 300 orang tetapi yang aktif sebagai anggota kelompok tani hanya 30 orang. Terbentuknya kelompok tani Sariwangi ini pada tahun 1991, tetapi mulai bergerak di bidang hutan rakyat pada tahun 1999 dengan ketuanya yang bernama Bapak Nana. Pada awalnya sebelum menjadi kelompok tani hutan rakyat, kelompok tani ini lebih menonjolkan komoditas pertaniannya yaitu vanili dan pada waktu itu ketuanya adalah Bapak Syarif. Setelah harga vanili anjlok, kemudian kepengurusan berganti dan menjadi

33 perkumpulan petani hutan rakyat karena semua petani beralih ke hutan rakyat. Hal tersebut terjadi karena menurut ketua kelompok tani yaitu Bapak Nana, bahwa harga kayu memiliki prospek yang tinggi kedepannya dan sampai saat ini tidak ada harga kayu yang turun karena harga kayu tersebut tidak tergantung pada nilai tukar dolar dan makin bertambah harganya karena kebutuhan terhadap kayu semakin meningkat. Komoditas yang dikembangkan di hutan rakyat monokultur yaitu mahoni, jati dan sengon. Kondisi hutan rakyat monokultur dapat dilihat pada Gambar 4. a. Tanaman utama mahoni b. Tanaman utama jati c. Tanaman utama sengon Gambar 4 Kondisi tanaman pada hutan rakyat monokultur.

34 Jenis utama yang dikembangkan di hutan rakyat ini pada awalnya adalah pohon sengon (Paraserianthes falcataria). Tapi setelah pohon sengon mulai gampang terserang oleh hama penyakit, banyak petani yang berlalih untuk menanam pohon mahoni (Swietenia mahagoni) karena harga jualnya lebih tinggi. Selain itu dalam pemeliharaan lahannya tidak terlalu sulit, petani tidak perlu repot-repot untuk membersihkan lahan karena jarang rumput yang tumbuh di bawah tegakan mahoni akibat dari tumpukan daun mahoni yang tebal bisa menghambat pertumbuhan rumput. Sehingga komoditas utama yang dikembangkan di hutan rakyat monokultur ini adalah pohon mahoni. 5.1.2 Hutan Rakyat Campuran Hutan rakyat campuran adalah hutan rakyat yang di dalamnya terdiri dari lebih satu jenis pohon. Desa yang terpilih sebagai tempat penelitian untuk jenis hutan rakyat campuran adalah Desa Karanglayung dengan luas hutan rakyat sebesar 60 ha. Hutan rakyat ini dikembangkan di atas lahan desa bukan lahan milik pribadi karena hutan rakyat ini terbentuk melalui program penghijauan yang diadakan di desa tersebut. Pada awalnya sebelum hutan rakyat terbentuk lahan yang terdapat di desa ini merupakan lahan desa yang terbengkalai yang dipenuhi oleh rerumputan dan alang-alang serta tanaman buah yang tidak terawat. Pada tahun 2004 Dinas Perkebunan dan Kehutanan setempat melaksanakan program penghijauan dan mengubah lahan desa yang terbengkalai menjadi hutan rakyat. Bibit pohon yang ditanam di hutan rakyat tersebut berasal dari Dinas Kehutanan setempat. Tujuan dari pembentukan hutan rakyat ini adalah untuk menghijaukan lahan desa, karena ketika tidak ada hutan kondisi udara dan lingkungan disekitar menjadi panas dan kering. Selain itu untuk membantu warga setempat yang mengalami kesulitan ekonomi. Setelah itu dibentuklah kelompok tani hutan rakyat dengan nama kelompok Tani Bahagia II yang diketuai oleh Bapak Ujin Sutarji. Jumlah anggota kelompok tani tersebut sebanyak 43 orang. Hasil kayu yang didapat dari hutan rakyat tersebut nantinya di bagi hasil dengan pemerintah desa karena tanah yang digunakan adalah tanah desa. Pembagian hasil tersebut adalah 30% dari hasil penjualan kayu akan diberikan kepada pemerintah desa dan sisanya untuk petani.

35 Petani juga bisa menanami hutan rakyat tersebut dengan tanaman tumpang sari dan buah-buahan. Hasil dari tanaman tumpang sari ini sepenuhnya milik petani dan pemerintah desa setempat tidak akan memungut hasil. Pada program penghijauan ini komoditas tanaman utama yang diberikan adalah jati (Tectona grandis) dan mahoni (Swietenia mahagoni). Selain itu pemerintah juga memberikan tanaman tumpang sari yaitu kelapa, jagung, mangga dan petai tetapi tanaman tumpang sari itu tidak tumbuh dengan baik karena dirusak oleh babi hutan. Tanaman tumpang sari yang tumbuh hanya petai dan mangga dan itupun hanya 2-3 pohon saja, sehingga petani lebih banyak memanfaatkan kayu bakarnya saja karena kayu yang ditanam belum bisa dimanfaatkan mengingat umur tanaman tersebut baru sekitar 7 tahun. Kondisi hutan rakyat campuran dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5 Hutan rakyat campuran dengan tanaman utama jati dan mahoni. 5.2 Karakteristik Petani Hutan Rakyat Karakteristik yang dipilih dari tiap petani hutan rakyat monokultur di Desa Naluk dan hutan rakyat campuran di Desa Karanglayung, meliputi: umur, tingkat pendidikan, pengalaman bertani, pekerjaan pokok, pekerjaan sampingan, jumlah tanggungan keluarga, pendapatan rumah tangga, luas kepemilikan lahan, kekosmopolitan, kontak dengan penyuluh, frekuensi bertemu petani dan bantuan pemerintah. Karakteristik tersebut merupakan faktor internal dan eksternal yang berhubungan dengan persepsi petani hutan rakyat terhadap pengelolaan hutan

36 rakyat. Jumlah responden yang terpilih untuk tiap desa sebanyak 30 responden, sehingga jumlah keseluruhan responden untuk dua desa sebanyak 60 responden. 5.2.1 Umur Responden Umur responden yaitu usia yang diukur dengan menghitung selisih antara tahun responden dilahirkan hingga tahun pada saat dilakukan penelitian. Dalam menentukan kategori umur responden yaitu berdasarkan sebaran umur responden dan usia produktif. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di hutan rakyat monokultur bahwa sebaran umur tertinggi responden, yaitu: terdapat pada umur 50-59 tahun sebanyak 13 responden (43,33) dan terendah antara umur 40-49 tahun sebanyak 2 responden (6,67%). Sama halnya dengan hasil penelitian yang dilakukan di hutan rakyat campuran bahwa sebaran umur responden tertinggi terdapat pada umur 50-59 tahun sebanyak 10 responden (33,33%), tetapi untuk sebaran umur terendah yaitu antara umur 30-39 tahun sebanyak 2 responden (6,67%), berbeda dengan sebaran umur terendah pada hutan rakyat monokultur (Tabel 8). Tabel 8 Distribusi responden berdasarkan umur Umur (tahun) Petani HR Monokultur Petani HR Campuran n % n % 30-39 0 0,00 2 6,67 40-49 2 6,67 6 20,00 50-59 13 43,33 10 33,33 60-69 9 30,00 9 30,00 70 6 20,00 3 10,00 Total 30 100,00 30 100,00 Tabel 8 menunjukkan bahwa di hutan rakyat monokultur dan campuran rata-rata masyarakat yang bertanggung jawab mengelola hutan rakyat ada pada umur produktif antara 50-59 tahun. Hal ini berarti bahwa umur tua produktif paling banyak menjadi petani hutan rakyat dan berperan dalam mengelola hutan rakyat dibandingkan dengan umur muda. Rendahnya umur muda dibandingkan dengan umur tua karena umur muda lebih memilih mengadu nasib diluar kota dibandingkan menjadi petani dan tinggal di desa. Selain itu petani yang berumur tua mempunyai pengalaman yang lebih banyak dalam hal bertani karena sejak

37 mereka muda sudah bertani. Menurut Budiarti (2011), bahwa umur juga merupakan salah satu indikator kematangan berpikir, pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh seseorang. Biasanya kematangan berpikir, pengetahuan dan pengalaman seseorang berbanding lurus terhadap umur yang dimilikinya. Salah satu kriteria dalam penokohan seseorang dimasyarakat adalah kematangan seseorang dilihat dari segi usianya. Oleh sebab itu petani yang lebih banyak berperan aktif dalam mengelola hutan rakyat adalah yang berumur tua. 5.2.2 Tingkat Pendidikan Responden Tingkat pendidikan responden adalah jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh responden. Tingkat pendidikan merupakan salah satu karakteristik petani hutan rakyat yang mempengaruhi persepsi petani karena bisa dijadikan tolak ukur kualitas sumberdaya manusia dalam memberikan pendapat mengenai pengelolaan hutan rakyat yang baik. Tingkat pendidikan responden pada hutan rakyat monokultur yang terbanyak adalah pada tingkat pendidikan sekolah dasar (SD) sebanyak 17 responden (56,67%) dan yang terendah pada tingkat pendidikan perguruan tinggi sebanyak 2 responden (6,67%). Begitu juga dengan tingkat pendidikan responden di hutan rakyat campuran, paling banyak jenjang pendidikan responden adalah sekolah dasar sebanyak 26 responden (86,67%), tetapi untuk yang paling sedikit ada pada tingkat pendidikan sekolah menengah atas yaitu sebanyak 2 responden (6,67%) (Tabel 9). Tabel 9 Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan Pendidikan Terakhir Petani HR Monokultur Petani HR Campuran n % n % Tidak sekolah 0 0,00 0 0,00 SD 17 56,67 26 86,67 SMP 3 10,00 2 6,67 SMA 8 26,67 2 6,67 PT 2 6,67 0 0,00 Total 30 100,00 30 100,00 Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan petani di hutan rakyat monokultur dan campuran tergolong rendah karena rata-rata responden tingkat pendidikannya sampai sekolah dasar. Namun jika dilihat dari jumlah persentase,

38 hutan rakyat campuran memiliki persentase yang paling besar pada tingkat pendidikan sekolah dasar dibandingkan dengan hutan rakyat monokultur. Selain itu pada hutan rakyat campuran tidak ada responden yang tingkat pendidikannya perguruan tinggi. Hal ini disebabkan tingkat perekonomian petani di hutan rakyat campuran lebih rendah dibandingkan dengan petani di hutan rakyat monokultur karena lahan yang dijadikan hutan rakyat merupakan lahan desa untuk membantu masyarakat yang kekurangan dalam hal ekonomi, sedangkan pada hutan rakyat monokultur semua lahannya merupakan lahan milik pribadi. Bantuan tersebut diharapkan dapat membantu meningkatkan perekonomian, karena dengan meningkatnya tingkat perekonomian diharapkan dapat meningkatkan tingkat pendidikan masyarakat sehingga kualitas sumberdaya manusia dalam mengelola hutan akan lebih baik. 5.2.3 Pengalaman Bertani Responden Pengalaman bertani yaitu waktu yang ditempuh oleh responden dalam melakukan kegiatan bertani dari pertama menjadi petani hingga saat ini. Pengalaman bertani merupakan salah satu karakteristik yang mempengaruhi persepsi responden, karena merupakan unsur yang ada dalam diri pribadi yang dapat menambah ilmu pengetahuan sehingga mempengaruhi seseorang dalam mengambil tindakan. Pengalaman bertani responden di hutan rakyat monokultur dan hutan rakyat campuran berbeda-beda dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Distribusi responden berdasarkan pengalaman bertani Pengalaman Petani HR Monokultur Petani HR Campuran Bertani (tahun) n % n % 15-21 11 36,67 7 23,33 22-28 9 30,00 4 13,33 29-35 6 20,00 13 43,33 36-42 3 10,00 4 13,33 43 1 3,33 2 6,67 Total 30 100,00 30 100,00 Tabel 10 memperlihatkan bahwa pengalaman bertani di desa yang pengelolaan hutannya monokultur paling tinggi adalah antara 15-21 tahun berjumlah 11 responden (36,67%) dan yang paling rendah jumlah respondennya

39 43 tahun, yaitu: sebanyak 1 responden (3,33%). Di desa yang pengelolaan hutannya campuran memiliki pengalaman bertani yang berbeda dengan desa yang pengelolaan hutannya monokultur. Pada hutan rakyat campuran pengalaman bertani tertinggi ada di antara 29-35 tahun sebanyak 13 reponden (43,33%) dan yang paling rendah jumlah respondennya sama dengan hutan rakyat monokultur 43 tahun sebanyak 2 responden (6,67%). Perbedaan pengalaman bertani antara hutan rakyat monokultur dan campuran dapat terjadi karena pada hutan rakyat monokultur jumlah rata-rata pekerjaan pokok responden di bidang usaha tani paling kecil dibandingkan dengan hutan rakyat campuran yang jumlah pekerjaan pokok responden di bidang usaha tani jauh lebih banyak karena pada hutan rakyat campuran rata-rata responden sejak masih muda dan lajang sudah menjadi petani. 5.2.4 Jenis Pekerjaan Responden Jenis pekerjaan responden merupakan pekerjaan yang menjadi sumber mata pencaharian. Jenis pekerjaan ini terdiri dari dua, yaitu: pekerjaan pokok dan pekerjaan sampingan. 1. Pekerjaan Pokok Pekerjaan pokok merupakan sumber mata pencaharian pokok responden dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pekerjaan pokok di kedua tempat penelitian ini digolongkan menjadi 4, yaitu: buruh, petani, wiraswasta dan pegawai negeri. Pekerjaan sebagai buruh, yaitu: buruh tani dan buruh serabutan. Untuk wiraswasta jenis pekerjaannya diusahakan sendiri terdiri dari usaha ternak, dagang, dan lain-lain. Pada hutan rakyat monokultur, responden yang bekerja sebagai petani memiliki jumlah yang paling tinggi, yaitu: sebanyak 19 responden (63,33%) dan jumlah responden yang paling rendah bekerja sebagai wiraswasta sebanyak 2 responden (6,67%). Pada hutan rakyat campuran jumlah responden yang bekerja sebagai petani memiliki jumlah responden yang paling banyak yaitu sebanyak 28 responden (93,33%) dan jumlah responden yang paling sedikit bekerja sebagai pegawai negeri yaitu sebanyak 1 responden (3,33%). Tapi pekerjaan pokok sebagai petani lebih banyak dilakukan oleh responden pada hutan rakyat campuran dibandingkan dengan hutan rakyat monokultur. Hal ini dapat terjadi

40 karena rendahnya tingkat pendidikan dan perekonomian pada desa yang pengelolaan hutan rakyatnya campuran, sehingga masyarakatnya lebih memilih bekerja sebagai petani. Tabel 11 Distribusi responden berdasarkan pekerjaan pokok Pekerjaan Pokok Petani HR Monokultur Petani HR Campuran n % n % Petani 19 63,33 28 93,33 Buruh 0 0,00 0 0,00 Wiraswasta 2 6,67 1 3,33 Pegawai Negeri 9 30,00 1 3,33 Total 30 100,00 30 100,00 2. Pekerjaan Sampingan Pekerjaan sampingan merupakan sumber mata pencaharian sampingan responden dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pekerjaan ini dapat menunjang pekerjaan pokok, sehingga menambah pendapatan keluarga. Sama halnya dengan pekerjaan pokok, pekerjaan sampingan di kedua tempat penelitian ini digolongkan menjadi 4 kategori, yaitu: tidak ada pekerjaan, buruh, petani dan wiraswasta. Tidak semua responden memiliki pekerjaan sampingan sehingga ada penggolongan yang tidak memiliki pekerjaan sampingan. Untuk jenis pekerjaan yang termasuk sebagai buruh sama halnya pada pekerjaan pokok yaitu buruh tani dan buruh serabutan. Jenis pekerjaan yang termasuk wiraswasta pun sama yaitu usaha ternak, dagang dan lain-lain (Tabel 12). Tabel 12 Distribusi responden berdasarkan pekerjaan sampingan Pekerjaan Petani HR Monokultur Petani HR Campuran Sampingan n % n % Tidak ada 2 6,67 3 10,00 Petani 11 36,67 2 6,67 Buruh 11 36,67 15 50,00 Wiraswasta 6 20,00 10 33,33 Total 30 100,00 30 100,00 Tabel 12 menunjukkan bahwa pada hutan rakyat monokultur, responden terbanyak bekerja sebagai buruh dan petani yaitu sebanyak 11 responden (36,67%) dan jumlah responden yang paling sedikit tidak mempunyai pekerjaan sampingan sebanyak 2 responden (6,67%). Berbeda dengan pekerjaan sampingan

41 pada hutan rakyat campuran, responden terbanyak bekerja sebagai buruh yaitu sebanyak 15 responden (50,00%) dan jumlah responden yang paling rendah mempunyai pekerjaan sampingan sebagai petani sebanyak 2 responden (6,67%). Pada hutan rakyat campuran, pekerjaan sampingan sebagai buruh lebih banyak dibandingkan pada hutan rakyat monokultur. Hal tersebut terjadi karena pada hutan rakyat campuran pekerjaan pokok responden lebih banyak bekerja sebagai petani, selain itu tingkat perekonomiannya lebih rendah dibandingkan dengan hutan rakyat monokultur. 5.2.5 Jumlah Tanggungan Responden Karakteristik responden selanjutnya adalah jumlah tanggungan responden. Jumlah tanggungan responden adalah jumlah individu dalam keluarga responden yang masih menjadi tanggungan responden, terdiri dari istri, anak, cucu dan saudara. Sebaran jumlah tanggungan responden yang dapat dilihat pada Tabel 13 bahwa pada hutan rakyat monokultur jumlah responden terbanyak memiliki jumlah tanggungan antara 0-1 orang sebanyak 20 responden (66,67%) dan jumlah responden yang paling sedikit memiliki jumlah tanggungan 4 orang sebanyak 3 responden (10%). Jumlah tanggungan responden pada hutan rakyat campuran berbeda dengan hutan rakyat monokultur. Pada hutan rakyat campuran jumlah responden tertinggi memiliki jumlah tanggungan antara 2-3 orang sebanyak 17 responden (56,67%), tetapi untuk jumlah responden terendah sama dengan hutan rakyat monokultur memiliki jumlah tanggungan 4 orang yaitu sebanyak 1 responden (3,33%). Dari tabel 17 dapat dilihat bahwa petani di desa yang pengelolaan hutan rakyatnya campuran memiliki jumlah tanggungan keluarga lebih besar dibandingkan dengan petani di desa yang pengelolaan hutan rakyatnya monokultur.

42 Tabel 13 Distribusi responden berdasarkan jumlah tanggungan keluarga Jumlah Petani HR Monokultur Petani HR Campuran Tanggungan (Jiwa) n % n % 0-1 20 66,67 12 40,00 2-3 7 23,33 17 56,67 4 3 10,00 1 3,33 Total 30 100,00 30 100,00 5.2.6 Pendapatan Bersih Responden Pendapatan yang diterima oleh responden merupakan manfaat ekonomi terhadap kontribusi pendapatan rumah tangga petani hutan rakyat. Menurut Budiarti (2011), pendapatan responden merupakan penerimaan ataupun pemasukan berupa uang yang diterima karena telah melakukan kegiatan (bekerja) dalam kurun waktu tertentu dengan perhitungan tertentu pula. Pendapatan ini dapat menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat desa dengan terpenuhinya kebutuhan hidup. Pendapatan responden berasal dari tiga kegiatan yaitu hutan rakyat, non hutan rakyat usaha tani dan non usaha tani. Karakteristik pendapatan yang dimaksud adalah pendapatan bersih karena pendapatan total telah dikurangi pengeluaran rumah tangga petani (Tabel 14). Tabel 14 Distribusi responden berdasarkan pendapatan bersih rumah tangga Pendapatan Petani HR Monokultur Petani HR Campuran (Juta Rp/tahun) n % n % 0 2 10 33,33 12 40,00 2,1 4 3 10,00 7 23,33 4,1 6 3 10,00 4 13,33 6,1 8 0 0,00 2 6,67 8,1 14 46,67 5 16,67 Total 30 100,00 30 100,00 Tabel 14 menunjukkan bahwa pada hutan rakyat monokultur, jumlah responden terbanyak memiliki pendapatan Rp 8.100.000/tahun sebanyak 14 responden (46,67%) dan jumlah responden terendah memiliki pendapatan antara Rp 2.100.000 Rp 4.000.000/tahun dan Rp 4.100.000 Rp 6.000.000/tahun yaitu sebanyak 3 responden (10%). Berbeda dengan pendapatan responden pada hutan rakyat campuran, bahwa jumlah responden terbanyak memiliki pendapatan antara Rp 0 Rp 2.000.000/tahun yaitu sebanyak 12 responden (40%) dan jumlah

43 responden terendah memiliki pendapatan Rp 6.100.000 Rp 8.000.000/tahun yaitu sebanyak 2 responden (6,67%). Pada Tabel 14 dapat dilihat juga bahwa pendapatan rumah tangga yang paling tinggi adalah pendapatan rumah tangga petani hutan rakyat monokultur dibandingkan dengan pendapatan rumah tangga petani hutan rakyat campuran. Hal tersebut terjadi karena faktor mata pencaharian petani, pendidikan dan jarak ke pusat kota lebih baik pada desa yang pengelolaan hutan rakyatnya monokultur dibandingkan dengan desa yang pengelolaan hutan rakyatnya campuran. 5.2.7 Luas Kepemilikan Lahan Luas kepemilikan lahan adalah luas lahan yang dimiliki oleh responden. Pada hutan rakyat monokultur, luas kepemilikan lahan yang dimiliki oleh masingmasing responden bervariasi, ditunjukkan oleh Tabel 15. Luas kepemilikan lahan antara 700-1.900 m² memiliki jumlah responden yang paling banyak, 16 responden (53,33%) dan luas lahan antara 4.600-5.800 m² dan 3.500 m² memiliki jumlah responden yang paling sedikit 1 responden (3,33%). Untuk hutan rakyat campuran, luas lahan antara 3.300-4.500 m² memiliki jumlah responden yang terbanyak 11 responden (36,67%) dan luas lahan antara 2.000-3.200 m² dan 3.500 m² memiliki jumlah responden yang paling sedikit 6 responden (20%). Pada hutan rakyat monokultur lebih banyak petani yang memiliki luas lahan antara 700-1.900 m². Hal ini berarti bahwa petani pada hutan rakyat campuran memiliki luas lahan yang lebih luas dibandingkan dengan petani pada hutan rakyat monokultur, karena lahan yang dimiliki oleh petani pada hutan rakyat campuran merupakan lahan milik desa atau pemerintah untuk membantu masyarakat yang kurang mampu agar memiliki pendapatan tambahan dari hasil hutan. Selain itu potensi lahan desa tersebut untuk dijadikan hutan rakyat luas, maka pembagian luasan untuk tiap petani cukup luas.

44 Tabel 15 Distribusi responden berdasarkan luas kepemilikan lahan Luas Petani HR Monokultur Petani HR Campuran Kepemilikan Lahan (m²) n % n % 700-1900 16 53,33 0 0,00 2000-3200 10 33,33 6 20,00 3300-4500 2 6,67 11 36,67 4600-5800 1 3,33 7 23,33 5900 1 3,33 6 20,00 Total 30 100,00 30 100,00 5.2.8 Kekosmopolitan Kekosmopolitan merupakan karakteristik petani yang termasuk faktor eksternal yang mempengaruhi persepsi petani terhadap pengelolaan hutan rakyat campuran dan monokultur. Kekosmopolitan adalah interaksi petani dengan dunia luar. Tingkat kekosmopolitan petani ini dibagi menjadi 3 kategori yaitu tinggi, sedang dan rendah. Untuk lebih jelasnya tingkat kekosmopolitan petani pada hutan rakyat monokultur dan campuran dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Distribusi responden berdasarkan tingkat kekosmopolitan Tingkat Petani HR Monokultur Petani HR Campuran Kekosmopolitan n % n % Tinggi 7 23,33 5 16,67 Sedang 6 20,00 6 20,00 Rendah 17 56,67 19 63,33 Total 30 100,00 30 100,00 Pada hutan rakyat monokultur jumlah responden terbanyak ada pada kategori rendah sebanyak 17 responden (56,67%) dan jumlah responden yang paling sedikit ada pada kategori sedang sebanyak 6 responden (20%). Begitu juga tingkat kekosmopolitan pada hutan rakyat campuran, jumlah responden terbanyak ada pada kategori rendah sebanyak 19 responden (63,33%) dan jumlah responden terendah ada pada kategori tinggi sebanyak 5 responden (16,67%). Rata-rata tingkat kekosmopolian di kedua pengelolaan hutan rakyat tergolong rendah karena seluruh aktivitas sehari-hari petani adalah berladang ataupun mencari rumput untuk ternak dari pagi hari sampai sore hari, sehingga tidak ada waktu untuk keluar desa. Saat sore hari ketika berada di rumah petani lebih memilih untuk beristirahat dan menonton televisi juga tidak lama karena aktivitas

45 berladang membuat lelah dan tidur pun lebih awal. Selain itu karena letak desa jauh dari kota sehingga media cetak seperti koran jarang dibaca oleh petani karena tidak ada yang berjualan koran ke desa-desa tersebut. Akibatnya interaksi dengan dunia luar pun jarang dan pengetahuan petani tentang kemajuan di dunia luar kurang. Faktor umur juga menyebabkan tingkat kekosmopolitan rendah karena semakin tinggi umur maka kemampuan untuk membaca ataupun melihat akan semakin kurang. 5.2.9 Kontak dengan Penyuluh Kontak dengan penyuluh adalah bertatap muka langsung dengan penyuluh pada suatu pertemuan atau perkumpulan yang berhubungan dengan kegiatan pengelolaan hutan rakyat dalam tiga bulan terakhir. Kontak dengan penyuluh disini terdiri dari 3 kategori, yaitu: tinggi sedang, dan rendah. Pada hutan rakyat monokultur, jumlah responden terbanyak memiliki kategori sedang dalam hal bertemu atau kontak dengan penyuluh sebanyak 16 responden (53,33%). Sama halnya pada hutan rakyat campuran, jumlah responden terbanyak ada pada kategori sedang sebanyak 13 responden (43,33%). Hal ini berarti baik pada hutan rakyat monokultur maupun campuran, kontak petani dengan penyuluh tergolong sedang, karena rata-rata petani menjawab bahwa dalam 1 bulan mereka bertemu dengan penyuluh sebanyak 1 kali, berarti dalam 3 bulan terakhir 3 kali bertemu dengan penyuluh. Menurut petani jika ada kegiatan di hutan rakyat, 1 bulan bisa 2 atau 3 kali bertemu dengan penyuluh. Sebaiknya kegiatan penyuluhan harus lebih sering lagi dilakukan dan tidak hanya jika ada kegiatan saja, agar pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan hutan lebih bertambah dan semakin banyak masyarakat yang mengelola hutan karena peran hutan sangat penting bagi kehidupan manusia salah satunya dalam mengatasi masalah cuaca yang tidak menentu sekarang-sekarang ini akibat lahan hutan sebagai penyedia oksigen dan penyerap karbondioksida semakin berkurang. Kontak dengan penyuluh tersebut dapat dilihat pada Tabel 17.

46 Tabel 17 Distribusi responden berdasarkan tingkat kontak dengan penyuluh Kontak Petani HR Monokultur Petani HR Campuran dengan Penyuluh n % n % Tinggi 7 23,33 12 40,00 Sedang 16 53,33 13 43,33 Rendah 7 23,33 5 16,67 Total 30 100,00 30 100,00 5.2.10 Frekuensi Bertemu Petani Frekuensi bertemu petani adalah intensitas bertatap muka langsung dengan petani. Frekuensi bertemu dengan petani merupakan salah satu karakteristik faktor eksternal yang mempengaruhi persepsi, dimana frekuensi bertemu dengan petani terdiri dari dua kategori, yaitu: sering dan jarang. Rata-rata responden di kedua pola pengelolaan hutan rakyat yaitu monokultur dan campuran mempunyai kategori sering bertemu, untuk hutan rakyat monokultur sebanyak 21 (70%) dan hutan rakyat campuran sebanyak 18 responden (60%), ditunjukkan pada Tabel 18. Hal ini terjadi karena jarak rumah petani yang berdekatan dan masih tinggal dalam satu desa, kadang-kadang bertemu di mesjid dan ladang. Tapi yang paling sering mereka bertemu di ladang karena aktivitas sehari-hari mereka dari pagi hingga sore hari berada di ladang. Tabel 18 Distribusi responden berdasarkan tingkat frekuensi bertemu petani Frekuensi Petani HR Monokultur Petani HR Campuran Bertemu Petani n % n % Sering 21 70,00 18 60,00 Jarang 9 30,00 12 40,00 Total 30 100,00 30 100,00 5.2.11 Bantuan Pemerintah Bantuan pemerintah termasuk karakteristik faktor eksternal yang mempengaruhi persepsi petani, karena semakin banyak bantuan yang diberikan pemerintah kepada petani berupa fasilitas yang menunjang keberhasilan pengelolaan hutan rakyat, maka akan semakin baik pengelolaan hutan rakyat tersebut. Tanggapan petani mengenai adanya bantuan dari pemerintah dapat dilihat pada Tabel 19.

47 Tabel 19 Distribusi responden berdasarkan tanggapan terhadap bantuan pemerintah Bantuan Petani HR Monokultur Petani HR Campuran Pemerintah n % n % Ada 23 76,67 21 70,00 Tidak ada 7 23,33 9 30,00 Total 30 100,00 30 100,00 Rata-rata petani untuk masing-masing pola hutan rakyat, menjawab bahwa ada bantuan dari pemerintah yang diberikan kepada petani hutan rakyat. Pada hutan rakyat monokultur jumlah responden yang menjawab ada bantuan sebanyak 23 responden (76,67%) dan pada hutan rakyat campuran sebanyak 21 responden (70%). Bantuan pemerintah tersebut berupa bibit, pupuk dan dana. Untuk hutan rakyat monokultur, banyaknya bibit yang diberikan tergantung dari kebutuhan petani karena untuk saat ini tidak semua petani mendapatkan bibit dari pemerintah karena kebanyakan petani sudah bisa membuat bibit sendiri. Sedangkan untuk hutan rakyat campuran, rata-rata petani masih mendapatkan bibit dari pemerintah untuk kegiatan penyulaman, jadi banyaknya bibit yang diberikan pemerintah tergantung banyaknya tanaman yang mati. Untuk bantuan pupuk anorganik diberikan pemerintah pada saat tanaman masih berumur kurang dari 1 tahun. Banyaknya pupuk yang diberikan tergantung dari luasan hutan rakyat yang dimiliki petani. Jika tanaman sudah berumur lebih dari tahun, petani lebih memilih menggunakan pupuk kandang. Dana dari pemerintah tersebut digunakan oleh petani untuk keperluan membeli obat-obatan jika tanaman terserang hama dan juga digunakan untuk kegiatan di hutan rakyat seperti GNRHL (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan). Banyaknya dana yang diberikan tergantung dari seberapa banyak obat yang dibutuhkan dan seberapa besar kegiatan yang dilaksanakan. 5.3 Persepsi Petani Hutan Rakyat Persepsi petani hutan rakyat terhadap pengelolaan hutan rakyat monokultur dan campuran terdiri dari dua, yaitu persepsi ekologi dan persepsi sosial. Persepsi ekologi dicari yaitu untuk mengetahui manfaat ekologi yang dirasakan petani dari pengelolaan hutan rakyat monokultur dan campuran.

48 Persepsi sosial juga dicari untuk mengetahui manfaat sosial yang dirasakan oleh petani hutan rakyat dari pengelolaan hutan rakyat monokultur dan campuran. Untuk persepsi ekonomi tidak dicari karena manfaat ekonomi dicari dari perhitungan pendapatan rumah tangga petani melalui perhitungan tertentu. Jika dicari dari persepsi maka data yang di dapat tidak dapat menjawab seberapa besar pendapatan rumah tangga petani yang didapat dari pengelolaan hutan rakyat. 5.3.1 Persepsi Petani terhadap Manfaat Ekologi Hutan Rakyat Persepsi petani hutan rakyat mengenai manfaat ekologi hutan rakyat campuran dan monokultur dapat diketahui dengan melakukan wawancara menggunakan kuesioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai kondisi ekologi dari pengelolaan hutan rakyat monokultur dan campuran. Pertanyaanpertanyaan tersebut digunakan untuk mengukur persepsi petani mengenai manfaat ekologi hutan rakyat. Manfaat hutan rakyat, keberadaan hutan rakyat, pengaruh hutan rakyat, sampai dampak hutan rakyat terhadap kehidupan petani merupakan indikator pertanyaan untuk persepsi petani hutan rakyat terhadap pengelolaan hutan rakyat campuran dan monokultur. Selanjutnya dari indikator tersebut dibuat skoring untuk mengetahui tingkat persepsi petani terhadap pengelolaan hutan rakyat campuran dan monokultur dengan 5 kategori berdasarkan skala likert, yaitu: sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah. Terdapat 11 pertanyaan yang digunakan untuk mengukur persepsi petani hutan rakyat terhadap pengelolaan hutan rakyat monokultur dan campuran. Pertanyaan tersebut ditanyakan kepada petani hutan rakyat monokultur sebanyak 30 responden dan petani hutan rakyat campuran sebanyak 30 responden, kemudian diukur nilai dari setiap pertanyaan. Pertanyaanpertanyaan yang ditanyakan kepada 60 responden disajikan pada Tabel 20.

49 Tabel 20 Nilai dari pertanyaan persepsi responden terhadap manfaat ekologi hutan rakyat No. Indikator Persepsi Nilai HR Nilai HR Monokultur Campuran 1 Pengelolaan lahan menjadi lebih baik 4,57 4,20 2 Dapat menimbulkan longsor dan banjir 1,93 1,77 3 Ada satwa liar di sekitar hutan rakyat 2,13 4,00 4 Air menjadi jernih 4,63 4,30 5 Udara terasa sejuk 4,47 4,10 6 Tidak ada pohon untuk berteduh 1,97 1,80 7 Memberi kenyamanan 4,60 4,03 8 Tanah menjadi lebih subur 4,30 3,87 9 Dapat menimbulkan hama dan penyakit pada tanaman 2,00 3,70 10 Tanaman tumbuh dengan baik 4,43 3,73 11 Ada pemanfaatan untuk kayu bakar dari pohon lain 4,03 3,83 Terdapat dua pertanyaan yang mempunyai nilai yang berbeda antara hutan rakyat monokultur dan hutan rakyat campuran. Pertanyaan tersebut, yaitu: ada satwa liar di sekitar hutan dan hutan rakyat dapat menimbulkan hama dan penyakit. Untuk hutan rakyat monokultur kedua pertanyaan tersebut bernilai rendah, berarti keberadaan hutan rakyat tidak menimbulkan adanya satwa liar serta hama dan penyakit karena semua responden tidak setuju dengan pertanyaan tersebut. Pada hutan rakyat campuran pertanyaan tersebut bernilai tinggi, berarti keberadaan hutan rakyat menimbulkan adanya satwa liar serta hama dan penyakit karena hampir semua responden setuju dengan pertanyaan tersebut. Hal tersebut terjadi, karena pada hutan rakyat campuran terdapat satwa liar yaitu babi hutan yang menimbulkan kerusakan pada tanaman tumpang sari yang ditanam di hutan rakyat, sehingga babi hutan tersebut dianggap hama yang merusak tanaman oleh masyarakat sekitar. Timbulnya babi hutan tersebut pada hutan rakyat campuran karena kondisi hutan rakyat sebelum menjadi hutan rakyat merupakan sebuah lahan yang terbengkalai yang cukup luas dimana habitat babi hutan hidup disana. Banyaknya babi hutan yang hidup disana karena kondisi hutan yang banyak terdapat semak belukar sehingga memudahkan babi hutan untuk berkembang biak dan kondisi hutan yang banyak semak belukar mengakibatkan jauh dari jangkauan manusia. Selain itu wilayahnya terdapat pada ketinggian 50-350 mdpl. Menurut Ramdhani (2008) bahwa babi hutan hidup pada ketinggian

50 800 mdpl, habitat yang disukai adalah dataran rendah dengan vegetasi sekunder yang luas, terutama tumbuhan jati, dimana terdapat campuran pohon-pohon dengan umur pertumbuhan yang berbeda-beda dan tanah berumput dengan semak-semak belukar atau hutan yang terganggu berat. Sesudah dijadikan hutan rakyat dan dipelihara oleh petani, habitat babi hutan tetap ada dan merusak tanaman tumpang sari yang ada di hutan rakyat tersebut, karena tanaman utama yang ditanam di hutan rakyat campuran adalah jati dan mahoni. Selain itu terdapat tanaman tumpang sari dengan umur pertumbuhan berbeda-beda, seperti kelapa, petai dan jagung. Letak hutan rakyat juga dekat dengan cagar alam yang dipenuhi semak belukar. Berbeda dengan kondisi hutan rakyat campuran, hutan rakyat monokultur tidak ada hewan liar yang merusak tanaman dan menjadi hama bagi keberadaan hutan rakyat. Hal tersebut terjadi karena kondisi hutan rakyat monokultur hanya terdapat satu jenis pohon yang ditanam, yaitu mahoni sehingga babi hutan tidak menyukai kondisi hutan rakyat monokultur. Berdasarkan literatur diatas bahwa babi hutan lebih menyukai kondisi hutan yang ditanami oleh jati. Selain itu kondisi hutan rakyat monokulur tidak dipenuhi oleh semak belukar sehingga kondisinya lebih terbuka dan letaknya dekat dengan pemukiman penduduk. Kondisi hutan rakyat pada hutan rakyat monokultur dan campuran dapat dilihat pada Gambar 6 dan Gambar 7. Gambar 6 Kondisi hutan rakyat monokultur yang lebih terbuka dengan jenis tanaman mahoni.

51 a. Cagar alam b. Lokasi hutan rakyat dekat cagar alam Gambar 7 Kondisi hutan rakyat campuran yang dekat dengan cagar alam. Setelah dilakukan penilaian dari seluruh responden terhadap setiap pertanyaan kemudian dilakukan analisis tingkat persepsi dari setiap responden untuk semua pertanyaan. Setelah dilakukan analisis maka dapat disimpulkan bahwa persepsi petani hutan rakyat terhadap pengelolaan hutan rakyat monokultur dan campuran berada pada kategori tinggi. Tingkat persepsi dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Tingkatan persepsi responden terhadap manfaat ekologi pengelolaan hutan rakyat Kategori Nilai HR Monokultur HR Campuran Total Persepsi n % n % Responden (%) Sangat Tinggi 4,20-5,00 0 0,00 0 0,00 Tinggi 3,40-4,20 23 76,67 22 73,33 75,00 Sedang 2,60-3,40 7 23,33 8 26,67 25,00 Rendah 1,80-2,60 0 0,00 0 0,00 Sangat Rendah 1,00-1,80 0 0,00 0 0,00 Total 30 100,00 30 100,00 100,00 Persepsi petani di hutan rakyat monokultur dan campuran mengenai manfaat ekologi yang dirasakan dari pengelolaan hutan rakyat adalah sama, dimana ada pada kategori tinggi. Jumlah responden yang memiliki persepsi tinggi pada hutan rakyat monokultur, yaitu: sebanyak 23 responden (76,67%) dan pada hutan rakyat campuran yaitu sebanyak 22 responden (73,33%). Tetapi jika dilihat