KARAKTERISTIK FILAMEN SUTERA (Attacus atlas) PADA USIA KOKON YANG BERBEDA SKRIPSI YULIANA FAJAR

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA Biologi Attacus atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5. Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Komplek Kandang C

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus Hidup dan Morfologi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ulat Sutera Liar (Attacus atlas)

MATERI DAN METODE. Prosedur

HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMBAHASAN. Tabel 11 Hubungan jenis murbei dengan persentase filamen Jenis Murbei

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VII PEMBAHASAN UMUM. Dari rangkaian penelitian yang dilakukan, nampak bahwa ulat sutera liar Attacus

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera

MATERI DAN METODE. Materi

BAB I PENDAHULUAN. benua Asia hingga mencapai benua Eropa melalui Jalur Sutera. Para ilmuwan mulai

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

BAB IV. Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua

Morfometri Kokon Attacus atlas Hasil Pemeliharaan di Laboratorium. Cocoon Morphometry Attacus atlas has Grown in the Laboratory

PENGAMATAN KELUARNYA NGENGAT Attacus atlas BERDASARKAN BOBOT KOKON PADA BERBAGAI KONDISI LINGKUNGAN

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Hewan Percobaan Bahan dan Peralatan

KARAKTERISTIK KOKON ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) HASIL PENGOKONAN DI LABORATORIUM LAPANG FAKULTAS PETERNAKAN IPB

PELUANG AGROBISNIS SUTERA ALAM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa

TINJAUAN PUSTAKA. Ulat Sutera (Bombyx mori L.)

Karakteristik Kulit Kokon Segar Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) dari Perkebunan Teh di Daerah Purwakarta

TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Ulat Sutera Bahan-Bahan Alat

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi tegas, kering, berwarna terang segar bertepung. Lembab-berdaging jenis

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and

BAB II LANDASAN TEORI

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo

ABSTRACT. Keywords: Graphium agamemnon, Graphium doson, Mechelia champaca, Annona muricata, life cycle, food consumption.

Parameter yang Diamati:

Oleh : Lincah Andadari

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus

PERSUTERAAN ALAM. UPAYA PENINGKATAN KUALITAS MURBEI DAN KOKON ULAT SUTERA Bombyx mori L. DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

PRODUKTIVITAS DAN DAYA TETAS TELUR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) ASAL PURWAKARTA PADA BERBAGAI JENIS KANDANG PENGAWINAN

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Buah Naga

KARAKTERISTIK KULIT KOKON SEGAR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) DARI PERKEBUNAN TEH DI DAERAH PURWAKARTA SKRIPSI ARYOKO BASKORO

PENDAHULUAN. salah satunya pemenuhan gizi yang berasal dari protein hewani. Terlepas dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Manggis dengan nama latin Garcinia mangostana L. merupakan tanaman buah

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Pengadaan dan Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti

BAB IV KAJIAN KULIT BUAH KAKAO SEBAGAI PEWARNA ALAMI PADA TEKSTIL

PENGARUH PAKAN DAN BAHAN PELURUH SERISIN TERHADAP FILAMEN TERURAI KOKON ULAT SUTERA EMAS Cricula trifenestrata Helf. TERRY M.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae)

4 PENGETAHUAN BAHAN DAN ALAT

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

TINJAUAN PUSTAKA. Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang

TINJAUAN PUSTAKA Asal-usul dan Penyebaran Geografis Sifat Botani

Jurnal Sainsmat, Maret 2012, Halaman 1-12 Vol. I, No. 1 ISSN

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Deskripsi Tanaman Sukun (Artocarpus communis Frost) Dalam sistematika tumbuh-tumbuhan tanaman sukun dapat

untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

Gambar 3. Kondisi Kandang yang Digunakan pada Pemeliharaan Puyuh

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun

Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Tikus

TINJAUAN PUSTAKA Botani

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. konstruksi khusus sesuai dengan kapasitas produksi, kandang dan ruangan

TINJAUAN PUSTAKA Botani

Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : tali rafia. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memperoleh mutu yang lebih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Kacang Panjang (Vigna sinensis L.)

SERAT ALAMI DAN SERAT BUATAN (SINTETIS) SERAT ALAMI DAN SERAT BUATAN (SINTETIS)

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan

2016 PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI MACAM PAKAN ALAMI TERHAD APPERTUMBUHAN D AN PERKEMBANGAN FASE LARVA

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan

Penyiapan Mesin Tetas

ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Muhammadiyah Yogyakarta di Desa Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten

PRODUKTIVITAS ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA FASE LARVA DENGAN MEDIA MENGANDUNG ONGGOK SKRIPSI ACHMAD RIZAL

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman mahkota dewa memiliki nama ilmiah Phaleria macrocarpa Boerl.,

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental. Rancangan yang

Lampiran I. Bagan Penelitian Menurut Rancangan Acak Lengkap (RAL) Vol. Volll. Vol! Villi. V,ll. Villi. Vdll V.I. Keterangan : Vi V2V3V4V5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Percobaan

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Tanaman Cabai Botani Tanaman Cabai

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill) memiliki sistem perakaran yang

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae)

Attacus atlas SKRIPSI

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat

MATERI DAN METODE. Materi

Perbandingan produktifitas ulat Sutra dari dua tempat pembibitan yang berbeda pada kondisi lingkungan pemeliharaan panas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

KARAKTERISTIK FILAMEN SUTERA (Attacus atlas) PADA USIA KOKON YANG BERBEDA SKRIPSI YULIANA FAJAR DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

KARAKTERISTIK FILAMEN SUTERA (Attacus atlas) PADA USIA KOKON YANG BERBEDA YULIANA FAJAR D14062271 Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

RINGKASAN Yuliana Fajar. D14062271. 2011. Karakteristik Filamen Sutera Attacus atlas pada Usia Kokon yang Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Asnath M. Fuah, M.S. Pembimbing Anggota : Ir. Hotnida C. H. Siregar, M.Si. Sutera liar dari spesies ulat sutera Attacus atlas telah dikenal sebagai komoditi pertanian yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Komponen utama sutera yang telah banyak digunakan dalam berbagai industri adalah filamen atau serat sutera. Filamen sutera A. atlas diperoleh dari penguraian kulit kokon melalui beberapa tahap pemrosesan. Filamen sutera ini memiliki banyak keunggulan dibandingkan filamen sutera domestik Bombyx mori. Karakter kain sutera liar lebih sejuk saat dipakai, tahan kusut, anti alergi, lebih halus, dan memiliki variasi warna eksklusif. Penggunaan sutera yang meluas, tidak terbatas dalam dunia tekstil saja membuat kualitas sutera penting untuk dipertahankan dan ditingkatkan. Kualitas sutera sangat bergantung kepada karakteristik kokon dan filamennya. Salah satu hal yang diduga dapat mempengaruhi karakteristik kokon dan filamen adalah usia kokon saat diolah. Belum diketahui berapa usia kokon maksimum tanpa mengurangi atau mengubah mutu karakteristik kokon dan filamen. Biasanya pengolahan kokon dilakukan segera setelah dipanen, karena dikhawatirkan kualitas karakteristik filamen menurun. Akibatnya, setelah panen, kokon yang harus segera diolah secara bersamaan cukup banyak, sehingga dapat mengurangi efektivitas pengolahan kokon. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh usia kokon yang berbeda-beda terhadap karakteristik filamen sutera A. atlas. Penelitian ini menggunakan kokon ulat sutera liar A. atlas yang indukannya berasal dari perkebunan teh Walini, Purwakarta. Pemeliharaan larva dilakukan di Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa Harapan, Institut Pertanian Bogor. Perlakuan pada penelitian ini terdiri atas kokon usia 30 hari, kokon usia 45 hari, kokon usia 60 hari, dan kokon usia 75 hari. Setiap taraf perlakuan terdiri atas 3 ulangan, sehingga terdapat 12 unit percobaan. Peubah yang diamati adalah bobot kulit kokon, panjang filamen, bobot filamen, tebal filamen, persentase filamen, dan panjang filamen sekali putus. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan ukuran pemusatan data dan disajikan dalam bentuk tabel. Hasil analisis data menunjukkan usia kokon terbaik yang ditunjukkan dengan nilai keragaman terendah terdapat pada usia kokon 45 dan 60 hari, akan tetapi nilai maksimum panjang filamen sekali putus yang sangat penting dalam usaha pemintalan terdapat pada usia kokon 30 hari. Jika mengabaikan keberlangsungan reproduktif A. atlas, kokon berusia 30 hari dapat diolah dengan dikeringkan terlebih dahulu untuk menyeragamkan kandungan air kokon. Rata-rata bobot kokon yang diperoleh sebesar 0,8±0,2 g/kokon, panjang filamen 798,47±189,99 m, bobot filamen 0,4±0,14 g, persentase filamen 50,05±11,06 %, ketebalan filamen 4,49±0,84 d, dan panjang filamen sekali putus sebesar 2,69±0,91 m. Kesimpulan yang dapat diambil adalah karakteristik filamen dengan kualitas seragam dan tinggi serta mempertimbangkan kelangsungan regenerasi A. atlas dapat diperoleh pada usia kokon 45-60 hari. Selama penyimpanan kokon dilakukan dalam ruangan bersirkulasi

udara lancar dan dalam tempat yang minim kontak dengan udara, tidak terjadi perubahan berarti dalam karakteristik filamen sutera. Kata-kata kunci: Attacus atlas, sutera, karakteristik filamen, usia kokon

ABSTRACT The Characteristics of Attacus atlas Filament Silk at Various Cocoon Age Fajar, Y., A. M. Fuah and H. C. H. Siregar Attacus atlas wild silk has been known as the commodity with a variety of economic usefulness, such as in the textile industry, crafts, medical devices, cosmetics, electronics production, and so on. Due to the nature of this multifunction, silk quality became very important. The quality of the silk depends on the characteristics of the cocoon skin and filament. It is important to know the maximum cocoon age that does not change cocoon filaments quality. The purpose of this study was to analyze the influence of the cocoon age on silk filament characteristics. As many as 12 cocoonswere divided into four age groups (30, 45, 60, and 75 days). The cocoons were degummed using Kato's method(2000).the results showed that the age of 45 and 60 days were the best cocoon age to yield qualified silk filament. The observed silk filament characteristics were cocoon skin weights (0.8 ± 0.2 g), the total length of the filament (798.47 ± 189.99 m), the weight of the filaments (0.4 ± 0.14 g), the percentage of the filaments (50.05±11.06%), the thickness of the filament (4.49 ± 0.84 d), and the length of each filament (2.69 ± 0.91 m). It can be concluded that the characteristics of filament hang on to good quality does not exceed 60 days cocoon age. Keywords: Attacus atlas, wild silk, filament characteristics, cocoon age

Judul : Karakteristik Filamen Sutera (Attacus atlas) pada Usia Kokon yang Berbeda Nama : Yuliana Fajar NIM : D14062271 Menyetujui, Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota, (Dr. Ir. Asnath M. Fuah, M.S.) NIP. 19541018 197903 2 001 (Ir. Hotnida C.H. Siregar, M.Si.) NIP. 19620617 199003 2 001 Mengetahui: Ketua Departemen, Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.) NIP. 19591212 198603 1 004 Tanggal Ujian: 24 Oktober 2011 Tanggal Lulus:

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 2 Juli 1988 di Pamijahan, Kabupaten Bogor. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Andi Suhandi dan Ibu Diah. Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN Gunung Picung V dan SDN Gunung Picung VII pada tahun 1994 dan selesai pada tahun 2000. Pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2003 di SMP PGRI Gunung Picung dan pendidikan menengah atas diselesaikan pada tahun 2006 di SMAN 1 Cibungbulang, Bogor. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Tahun 2007 Penulis diterima sebagai mahasiswa Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti pendidikan di Institut Pertanian Bogor, Penulis aktif dalam beberapa organisasi mahasiswa diantaranya Ikatan Pengurus Mushala Asrama Putri TPB IPB tahun kepengurusan 2006-2007 sebagai staf Divisi Syi ar, Unit Kegiatan Mahasiswa Pramuka IPB (Racana Surya Tirta Kencana-Inggita Puspa Kirana) sebagai Koordinator Divisi Rumah Tangga tahun kepengurusan 2007-2008 dan sebagai Kerani Putri tahun kepengurusan 2008-2009, Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Peternakan (DPM-D) sebagai sekretaris Komisi Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa tahun kepengurusan 2007-2008, dan Himpunan Mahasiswa Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (Himaproter) sebagai staf Divisi Peduli Pangan Peternakan tahun kepengurusan 2008-2009. Penulis juga pernah terlibat dalam beberapa kegiatan profesional dan kepanitiaan. Penulis merupakan penerima beasiswa Supersemar (2007-2008), beasiswa Karya Salemba Empat (KSE) tahun 2008-2010 dan berhasil mendapatkan pendanaan penelitian serta bantuan biaya hidup selama satu tahun dari PT Wide and Pin untuk menyelesaikan tugas akhir skripsi ini.

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, nikmat dan karunia-nya sehingga Penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul Karakteristik Filamen Sutera Attacus atlas pada Usia Kokon yang Berbeda merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Attacus atlas merupakan ulat sutera liar asli Indonesia yang sudah mulai disadari manfaatnya sebagai penghasil sutera. Budidaya A. atlas sampai saat ini belum berhasil dilakukan karena informasi tentang kebutuhan mikroklimat dan tingkah lakunya masih minim. Hal ini menyebabkan masyarakat melakukan pemanenan kokon dari alam. Kokon di alam biasanya berbeda-beda umurnya, ada kokon yang baru, bahkan ada kokon yang sudah lama/tua. Kokon yang sudah lama biasanya tidak dipanen karena dianggap rendah kualitasnya. Sistem pilih kokon ini belum diketahui keakuratannya, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik filamen sutera A. atlas pada usia kokon yang berbeda-beda. Penulis menyadari terdapat banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Akhir kata Penulis mengucapkan terimakasih, semoga tulisan ini bermanfaat terutama kepada pihak-pihak yang memerlukan informasi mengenai Attacus atlas dan pembaca pada umumnya. Bogor, Desember 2011 Penulis

DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN... ii ABSTRACT... iv LEMBAR PENGESAHAN... v RIWAYAT HIDUP... vi KATA PENGANTAR... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xii PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 2 TINJAUAN PUSTAKA... 3 Biologi Attacus atlas... 3 Telur... 4 Larva... 4 Pupa... 6 Imago... 6 Keistimewaan Sutera... 6 Karakter Kokon dan Filamen Sutera... 7 Penyimpanan Kokon... 11 Pemasakan Kokon... 11 Tanaman Sirsak... 13 METODE... 14 Lokasi dan Waktu... 14 Materi... 14 Prosedur Penelitian... 14 Analisis Data... 18 HASIL DAN PEMBAHASAN... 20 Kondisi Umum Lokasi Penelitian... 20 Performa Filamen... 21 Bobot Kulit Kokon... 23 Panjang filamen... 26 Bobot filamen... 28 Persentase filamen... 29 Ketebalan filamen... 31 Panjang Filamen Sekali Putus... 33 Masa Penyimpanan Kokon Terbaik... 34 KESIMPULAN... 36

Kesimpulan... 36 Saran... 36 UCAPAN TERIMA KASIH... 37 DAFTAR PUSTAKA... 39

DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Metode Degumisasi Kokon Anaphe, Cricula trifenestrata dan Attacus atlas... 12 2. Rata-rata Kandungan Nutrien Daun Sirsak... 13 3. Rata-rata dan Keragaman Bobot Kulit Kokon... 24 4. Rata-rata dan Keragaman Panjang Filamen... 27 5. Rata-rata dan Keragaman Bobot Filamen... 28 6. Rata-rata dan Keragaman Persentase Filamen... 30 7. Rata-rata dan Keragaman Tebal Filamen... 31 8. Rata-rata dan Keragaman Panjang Filamen Setiap Putus... 33

DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Siklus Hidup Attacus atlas... 5 2. Kokon Mentah... 8 3. Alat penggulung manual (hand spun) kokon... 16 4. Prosedur Penelitian... 17 5. Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Komplek Kandang C... 20 6. Hasil Penggulungan Filamen Sutera... 21 7. Kokon Segar dan Setelah Disimpan... 22

PENDAHULUAN Latar Belakang Sutera liar Attacus atlas merupakan komoditi bernilai ekonomi tinggi yang dihasilkan serangga asli Indonesia. Serat sutera yang dihasilkan dari kokon A. atlas ini memiliki keistimewaan berupa warna keemasan dan memiliki variasi warna alami yang khas, dari warna cokelat gelap sampai cokelat terang yang berkilau. Dibandingkan dengan kokon sutera murbei, harga kokon ulat sutera A. atlas mencapai Rp 600.000 per kg, dengan harga benang Rp 1.500.000 sedang harga kokon ulat sutera murbei (Bombyx mori) hanya Rp 25.000 per kg dengan harga benang Rp 300.000 per kg (Solihin & Fuah, 2010). Kebutuhan terhadap kokon ulat sutera liar jenis A. atlas untuk dijadikan benang sangat tinggi namun pemenuhannya masih terbatas. Dewasa ini penggunaan komponen sutera A. atlas tidak hanya dalam dunia tekstil dan fashion kelas atas, tetapi juga sudah digunakan dalam dunia elektronik, bahan kosmetik, perlengkapan medis, dan lain sebagainya. Berdasarkan harga pasaran sutera A. atlas yang tinggi dan kebutuhan pasar yang belum terpenuhi, potensi pengembangan A. atlas masih sangat besar dan cukup menjanjikan. Kemampuan A. atlas yang dapat hidup lebih dari dua generasi dalam setahun merupakan keunggulan lain dari ulat sutera ini. Ulat sutera murbei hanya dapat hidup dua generasi dalam setahun dan hanya dapat memakan pakan daun murbei. Attacus atlas dapat hidup pada sekitar lebih dari 90 tanaman inang dari 48 famili, salah satunya adalah tanaman sirsak (Peigler, 1989). Larva A. Atlas ditemukan hidup pada tanaman inang sirsak di banyak tempat. Ketersediaan daun sirsak yang melimpah di Indonesia berpotensi untuk mendukung keberlangsungan penyediaan pakan dalam budidaya A. atlas. Pakan merupakan faktor yang sangat penting dalam pemeliharaan ulat sutera dan harus selalu tersedia pada fase larva (ulat). Pertumbuhan, perkembangan dan reproduksi A. atlas sangat bergantung pada kualitas dan kuantitas pakan yang dikonsumsi, yang secara langsung berpengaruh terhadap kualitas sutera yang dihasilkan. Pakan yang memenuhi kebutuhan pokok, produksi dan reproduksi A. atlas akan menghasilkan kokon dengan karakteristik sutera yang berkualitas tinggi. Penilaian kualitas sutera ditentukan oleh dua faktor, yaitu karakteristik kokon dan karakteristik seratnya. Bobot kokon merupakan salah satu faktor penentu nilai

komersial karena harga jual kokon didasarkan pada bobotnya, yakni semakin tinggi bobot kokon, semakin tinggi harganya. Karakteristik kokon menentukan kualitas serat sutera, yang terdiri dari beberapa parameter, diantaranya yaitu panjang filamen, bobot filamen, persentase filamen, tebal filamen, dan daya urai filamen. Kokon sutera diharapkan memiliki panjang dan bobot filamen yang tinggi dalam produksi benang dan kain sutera dalam dunia tekstil. Semakin tinggi panjang dan bobot filamen, semakin banyak benang dan kain yang dihasilkan. Persentase filamen menandakan banyaknya filamen yang diperoleh dari sebutir kokon. Persentase filamen yang tinggi lebih menguntungkan dalam produksi sutera, karena mengindikasikan lebih banyak kandungan fibroin yang merupakan komponen utama filamen sutera dalam kokon. Ketebalan filamen berbanding lurus dengan bobot filamen. Filamen yang tebal juga menurunkan jumlah filamen yang digunakan dalam pembuatan benang sehingga lebih efisien. Daya urai filamen yang tinggi memudahkan dan mempersingkat waktu penguraian filamen. Karakteristik kokon dan filamen tersebut dapat dipengaruhi oleh pakan, genetik, kesehatan larva saat mengokon, dan kondisi lingkungan. Salah satu hal yang juga diduga dapat mempengaruhi kualitas filamen sutera adalah usia kokon sebelum diproses menjadi filamen. Biasanya, kokon diproses menjadi filamen pada waktu seminggu setelah pengokonan sehingga akan sangat banyak kokon yang harus diolah secara bersamaan. Pengolahan kokon dalam jumlah besar secara bersamaan dalam usaha pemintalan benang sutera dinilai kurang efektif untuk memperoleh hasil penguraian yang kualitasnya seragam. Selain itu, batas usia maksimum pada kokon A. atlas yang tidak mengubah kualitas kokon dan filamen belum diketahui sehingga perlu dilakukan penelitian untuk menganalisis pengaruh usia kokon yang berbeda terhadap karakteristik serat sutera A. atlas. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri performa karakteristik filamen A. atlas pada usia kokon yang berbeda yang berkaitan dengan dunia tekstil.

TINJAUAN PUSTAKA Biologi Attacus atlas Ulat sutera liar Attacus atlas adalah salah satu serangga yang berukuran besar dan banyak ditemukan di wilayah Asia (Peigler, 1989). A. atlas memiliki tahapan metamorfosis sempurna yang terdiri dari telur (embrio), larva, pupa, dan tahap dewasa (Chapman, 1971). Secara ilmiah, klasifikasi A. atlas menurut Triplehorn dan Johnson (2005) adalah sebagai berikut: Kelas : Heksapoda (Insecta) Ordo : Lepidoptera Super familia : Bombycoidea Familia : Saturniidae Genus : Attacus Spesies : Attacus atlas Attacus atlas dikenal sebagai ngengat sutera raksasa atau si rama-rama dan merupakan ngengat terbesar di Asia dengan bentang sayap mencapai 250 mm. Spesies A. atlas banyak ditemukan di hutan tropis dan tersebar di Asia Tenggara, daerah selatan Cina, dan India (Peigler, 1989). Penyebaran A. atlas hampir di seluruh wilayah Indonesia diantaranya Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua (Awan, 2007). Di daerah Jawa Barat khususnya ulat sutera liar A. atlas sering disebut hileud (ulat) badori, hileud orok (bayi), atau ulat gajah karena larvanya yang besar, adapun kupu-kupunya disebut kupu-kupu sirama-rama atau kupu-kupu gajah (Saleh, 2000). Di Yogyakarta dan sekitarnya serta daerah Temanggung, Wonosari, dan Wonogiri (Jawa Tengah), ngengat dari A. atlas ini disebut kupu gajah atau kupu sirama-rama (Situmorang, 1996). Larva A. atlas dapat memakan daun dari 90 jenis tumbuh-tumbuhan dari 48 famili tanaman (Peigler, 1989). Ulat sutera liar A. atlas merupakan serangga polivoltin yaitu dapat hidup lebih dari dua generasi dalam satu tahun. Sifat polivoltin ini menguntungkan bagi usaha pembudidayaan ulat sutera A. atlas karena: a) bibit dalam bentuk ketersediaan telur dapat dipenuhi sepanjang tahun, b) musim berkembang biak terjadi sepanjang tahun, c) pada musim hujan maupun musim kemarau dapat dipelihara, d) produksi kokon akan ada sepanjang tahun, e) produksi benang akan dapat ditingkatkan jika jumlah populasi tinggi, f) Perkawinan dapat

dilakukan secara kontinyu sehingga pemuliaan ke arah peningkatan produktivitas dapat dicapai (Awan, 2007). Attacus atlas merupakan serangga yang mengalami metamorfosis sempurna yang biasa disebut holometabola terdiri dari telur (embrio), larva, pupa, dan tahap dewasa (Chapman, 1971). Lama periode tiap fase hidup A. atlas seperti dilaporkan Awan (2007) dan Mulyani (2008), masa inkubasi telur A. Atlas 10-12 hari, lama periode larva dengan pakan daun sirsak 30-42 hari, lama periode pupa adalah 20-29 hari, lama periode imago betina dan jantan masing-masing adalah 2-10 hari dan 2-4 hari. Total waktu yang diperlukan A. Atlas yang diberi pakan daun sirsak untuk menyelesaikan sekali daur hidupnya, mulai dari telur sampai imago bertelur lagi memerlukan waktu 63-82 hari (Awan, 2007). Telur. Telur dihasilkan oleh imago betina baik yang kawin maupun tidak, tetapi telur yang dapat menetas adalah telur yang telah dibuahi. Imago betina yang tidak melakukan perkawinan akan menghasilkan telur steril yang tidak menetas menjadi larva (Awan, 2007). Telur yang dibuahi (fertil) berwarna cokelat gelap, sedangkan telur yang tidak dibuahi (infertil) berwarna kuning pucat (Mulyani, 2008). Ukuran telur dari ngengat A. atlas yaitu panjang 2,7 mm, lebar 2,3 mm dan tinggi 2,1 mm (Peigler, 1989); berbentuk oval, agak pipih dan hampir selalu ditutupi cairan agak kental berwarna merah kecokelatan yang disekresikan oleh ngengat betina agar telur melekat pada substrat (Mulyani, 2008) dengan masa inkubasi telur antara 7-13 hari (Adria dan Idris, 1997). Larva. Larva A. atlas melalui 6 tahapan instar, dimana pada setiap instar, ciri-ciri, ukuran dan tingkah laku larva berbeda sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan larva. Pergantian masa instar ditandai dengan pergantian kulit (molting) pada larva instar pertama sampai instar keenam (Awan, 2007). Larva instar pertama dimulai saat larva menetas dari telur dan memiliki ciri-ciri kepala dan badan berwarna hitam dan seluruh tubuh berbulu kuning yang tumbuh tegak kecuali bulu pada bagian punggung berupa duri halus berwarna coklat kehitaman (Nazar, 1990). Larva instar kedua memiliki kepala yang berwarna coklat tua, kaki berwarna hitam, badan ditutupi oleh serbuk putih, bagian tubuh samping memiliki tanda berwarna jingga pada bagian metathoraks di segmen 8-10, tanda ini akan ada sampai instar ketiga dan keempat. Instar keempat memiliki ciri-ciri kepala berwarna hijau

kekuningan dan tubuhnya ditutupi oleh tepung putih. Instar lima dan enam memiliki ciri-ciri kepala dan tubuh yang berkilau warna hijau terang (Peigler, 1989), terdapat tonjolan-tonjolan seperti bulu kasar yang jarang pada beberapa ruas abdomen (Nazar, 1990) dan panjang segmen badan bisa mencapai ± 15 cm (Pracaya, 2005). Imago Telur Larva Instar 1 Pupa Larva Instar II Larva Instar Larva Instar III Larva Instar V Gambar 1. Siklus Hidup Attacus atlas Sumber: Koleksi pribadi Larva Instar IV Pupa. Kokon terbentuk saat instar keenam mulai mengeluarkan cairan sutera yang ukurannya disesuaikan dengan ukuran tubuhnya. Cairan sutera yang dikeluarkan oleh instar enam berfungsi sebagai alat untuk melekatkan kokon pada daun atau ranting. Larva akan meneruskan pembuatan kokon sampai sempurna, biasanya daun dilipat di bagian ujung atau tepi daun kemudian dihubungkan dengan serat-serat sutera sehingga akan terbentuk suatu rongga tempat pupa. Bagian kokon yang menghadap

ke atas biasanya terdapat lubang sebagai tempat keluar imago. Posisi larva sebelum berubah menjadi pupa biasanya dengan kepala di bagian atas, posisi ini akan menguntungkan ketika imago keluar dari kokon. Pupa telah sempurna apabila isi kokon bergeser jika digoyangkan dan terdapat rongga antar isi kokon dengan kokon, sedangkan apabila kokon tidak dapat bergeser berarti isi di dalam kokon masih berbentuk larva (Awan, 2007). Imago. Setelah masa pupasi berakhir, biasanya pada siang hari imago A. atlas akan muncul dari kokon. Imago yang muncul umurnya pendek, tidak makan, dan biasanya istirahat pada siang hari (Peigler, 1989). Ngengat ulat sutera merupakan hewan yang cenderung aktif pada malam hari atau biasa disebut nokturnal (Beck, 1980). Ngengat jantan memiliki sayap dengan ujung yang lebih runcing dan panjang antenanya 23-30 mm serta lebar 10-13 mm; betina memiliki panjang antena 17-21 mm dan lebar 3 mm. Imago A. atlas memiliki umur yang singkat, imago jantan berumur 2-4 hari sedangkan imago betina berumur 2-10 hari (Peigler, 1989; Awan, 2007). Imago betina yang telah kawin akan bertelur setelah beberapa jam dan akan menghasilkan telur sebanyak 100 sampai 360 butir (Awan, 2007). Keistimewaan Sutera Sutera merupakan serat yang istimewa. Tujuan asli dari pembentukan sutera pada kokon di alam liar adalah untuk melindungi pupa dari gangguan alam dan predator selama proses metamorfosis menjadi ngengat. Sutera diproduksi dalam sebuah kelenjar di kepala ulat, dikeluarkan dan dibentuk dengan pola angka delapan yang diulangi ribuan kali pada seluruh kokon (Cook, 2005). Secara umum, sutera tersusun dari dua jenis protein: fibroin dan serisin. Fibroin adalah inti dari filamen sutera, sedangkan serisin adalah protein berupa perekat yang mengelilingi serat dan menyatukannya menjadi kulit kokon (Nogueira et al., 2010). Serisin pada sutera liar sebagian besar terikat dengan tanin, zat warna, lilin, dan lain-lain (Kato et al., 1997). Serisin terdapat pada lapisan luar filamen yang merekatkan filamen satu dengan yang lain membentuk dinding (Rukaesih, 1990). Fibroin dan serisin merupakan serangkaian asam-asam amino yang terdiri atas: glisin, alanin, lisin, asam aspartat, asam glutamat, serin, prolin, oksiprolin, tirosin, dan fenilalanin (JOVC, 1975). Sutera yang telah diolah menjadi bentuk produk tekstil memiliki beberapa kelebihan bila dibandingkan dengan bahan sandang lainnya. Dari karakteristiknya

keistimewaan kain sutera antara lain: ringan, kepadatan sutera relatif lebih ringan jika dibandingkan dengan wool atau katun; tidak mudah kusut, karena sifat sutera yang liat dan elastis; mempunyai daya menahan panas dan meresap air, karena sifat inilah maka bila kita memakai bahan sutera akan merasa hangat pada suhu dingin dan sejuk pada waktu panas; daya menahan warna kuat sehingga warna tidak cepat pudar; seperti wool jika sutera kontak dengan api tidak akan menjalarkan api, sutera akan hangus dan mengkerut tidak mudah menimbulkan kebakaran (P3H, 1992). Indonesia memiliki 5 jenis ulat sutera liar, antara lain: A. atlas, Samia cynthia ricini, Cricula alaezea, Cricula trifenestrata, dan Antherae pernyi yang semuanya termasuk dalam familia Saturniidae. Kekayaan ini belum banyak dimanfaatkan dan didayagunakan secara maksimal untuk industri tekstil Indonesia (Situmorang, 1996). Menurut Akai (1997), ulat sutera liar seperti A. atlas dan S.c. ricini menghasilkan jenis sutera yang berbeda dengan sutera B. mori. Sifat yang dimiliki serat sutera liar jauh lebih lembut, tahan panas, dan anti bakteri. Keunggulan lainnya adalah adanya macam sutera yang bervariasi, filamen kokon banyak yang mengandung pori dan tidak menyebabkan alergi bagi pemakainya. Kelebihan serat sutera yang dihasilkan dari kokon A. atlas menurut Gusa et al. (2002) memiliki warna yang beragam dari cokelat tua, cokelat keputihan dan cokelat kehitaman. Keragaman warna serat sutera, dapat menambah kekayaan warna alami dan tidak perlu dilakukan pewarnaan. Karakter Kokon dan Serat Sutera Hasil akhir dari proses pemeliharaan ulat sutera adalah kokon. Kokon inilah yang akan diproses lebih lanjut untuk menjadi benang dan kain. Kualitas dari produk tersebut ditentukan oleh beberapa faktor yang saling terkait dan yang paling menentukan kualitas produk adalah kokon itu sendiri. Kokon yang berkualitas baik ditentukan oleh beberapa faktor antara lain bibit ulat sutera, teknik pemeliharaan, temperatur, kelembaban, dan proses pengokonan (Sampe, 1991). Kokon diselimuti filamen sutera yang kusut, yang disebut cocoon floss (serabut serat). Di bawahnya terdapat lapisan sutera, atau cocoon shell (kulit kokon), yang terdiri dari lapisan filamen, yang didalamnya terdapat pupa dan kulit ulat sutera yang sudah lepas. Makin berat kulit kokon, makin besar kandungan suteranya. Hal ini bervariasi, sesuai dengan varietas ulat, dan kondisi pemeliharaan dan pengokonan (Atmosoedarjo et al., 2000).

A B Gambar 2. Kokon (A) Kokon Mentah; (B) Kulit Kokon Sumber: Koleksi pribadi Syarat kokon yang baik menurut Samsijah dan Andadari (1995) adalah sehat (tidak cacat), bersih, bagian dalamnya (pupa) tidak hancur, bagian kulit kokon keras dan terbukti kalau ditekan sedikit berat sedangkan kokon berkualitas rendah adalah kokon rangkap, kokon berlubang, kokon kotor di bagian dalam, kotor di bagian luar, kulit kokon tipis, kokon berbentuk aneh, kokon berbulu, kulit kokon berlapis dan kokon berlekuk. Kokon yang terbentuk sempurna menurut Awan (2007) berbentuk elips, ujungnya membulat, dan pada ujung anteriornya terdapat celah. Kokon berwarna coklat keemasan, kokon yang baru terbentuk masih agak lemah dan agak basah, oleh pengaruh sinar matahari dan gerakan angin, lama kelamaan akan lebih kuat dan lebih kering. Beberapa karakter sutera yang penting untuk penilaian kualitasnya, antara lain adalah karakter kokon dan karakter seratnya. Berat kokon merupakan karakter kokon yang paling penting secara komersial. Hal ini disebabkan karena penjualan kokon di pasaran berdasarkan beratnya. Semakin berat kokon yang dihasilkan maka semakin bagus kualitas kokon yang dihasilkan (Lee, 1999). Pembentukan lapisan filamen kokon B. mori terdiri dari 75% fibroin dan 25% serisin. Selebihnya mengandung sedikit malam, lemak, karbohidrat, abu, dan zat warna. Fibroin dan serisin seluruhnya terbentuk dari protein murni yang mengandung berbagai macam asam amino. Namun fibroin tidak larut di dalam air, karena struktur molekul yang longgar dan kaya akan asam amino yang hidrofobik. Fibroin merupakan bagian utama filamen, sedang serisin merupakan pelindung yang mengelilingi fibroin dan menyatukan filamennya (Atmosoedarjo et al., 2000).

Filamen sutera yang dihasilkan tentunya diharapkan memenuhi mutu standar. Berat filamen kokon yang diurai dari satu kokon tunggal, proporsional dengan berat kulit kokon, tetapi berbeda sesuai daya urainya. Beratnya berkisar antara 30-45 centigram dan 80-90 % dari berat kulit kokon (Atmosoedarjo et al., 2000). Filamen kokon Bombyx mori terdiri dari sepasang serat yang dikeluarkan oleh larvanya. Rata-rata filamen B. mori berukuran sekitar 2-3 denier yang setara dengan ketebalan sekitar 20-30 mikron dan struktur bagian dalam padat. Serat sutera liar ukurannya 2-3 kali lebih tebal dari serat sutera mori. Serat sutera liar memiliki keragaman ukuran dan diameter yang tinggi dan menunjukkan penampang melintang yang seragam. Terdapat banyak jenis sutera liar yang tidak seperti sutera mori, ketebalan filamen kokonnya sangat beragam, memiliki penampang melintang filamen yang sama dan ukuran struktur yang bervariasi. Sutera liar berbeda dengan sutera mori dalam hal sifat sutera, kemampuan menyerap kelembaban, sifat insulasi panas, hand feel dan lain-lain. Sehingga, serat sutera liar menunjukkan materi serat dengan banyak potensi aplikasi selain sebagai penggunaannya dalam busana gaya barat (Kato et al., 1997). Ukuran atau ketebalan filamen kokon A. atlas yang diperkirakan dari mikrograf SEM dalam Kato et al. (1997) adalah sekitar 30 µm. Ukuran kehalusan filamen dinyatakan dengan satuan denier (d). Apabila panjang serat 9000 meter dengan berat 1 g, maka kehalusan filamen adalah satu denier. Ukuran kehalusan filamen kokon B. mori berkisar antara 2,5-3,5 denier. Kehalusan filamen sutera dipengaruhi beberapa faktor: (1) suhu dan kelembaban: filamen mempunyai tendensi ukuran denier yang tinggi (lebih besar seratnya) apabila ulatnya dipelihara selama instar I dan II, dengan suhu dan kelembaban udara yang tinggi. Selain itu, suhu yang tinggi pada waktu pengokonan ulat yang belum dewasa, membuat denier filamennya rendah; (2) musim pemeliharaan: pemeliharaan ulat sutera pada musim semi di Jepang menghasilkan denier filamen lebih besar daripada pada pemeliharaan musim gugur; (3) pakan dan kepadatan populasi: pemberian pakan dengan daun yang lunak dan pemeliharaan yang jarang, akan menghasilkan filamen yang lebih besar dibandingkan dengan pada pemeliharaan yang lebih padat; (4) ukuran larva: ulat yang bertubuh besar cenderung menghasilkan pola denier yang lebih besar pula (Atmosoedarjo et al., 2000).

Berdasarkan fenomena di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa faktor lingkungan yang menunjang kesehatan ulat, akan menghasilkan denier yang lebih tinggi (lebih tebal). Ukuran filamen berbeda sesuai dengan bagian dari kokon, lazimnya lebih besar pada lapisan luar dibanding dengan lapisan dalam kulit kokon. Kokon dengan deviasi di antara lapisan-lapisan kulit kokon akan sangat menguntungkan proses reeling (Atmosoedarjo et al., 2000). Gusa et al. (2002) menyatakan pada pengembangan industri serat sutera perlu dilakukan pengkajian tentang berbagai hal, termasuk pengujian terhadap kualitas serat yang meliputi kumuluran, beban putus, kekuatan tarik dan kehalusan serat serta pengamatan foto morfologi serat dengan menggunakan mikroskop elektron. Karakter serat yang digunakan dalam menilai kualitas sutera antara lain adalah kekuatan serat dan daya serap terhadap kelembaban. Pustaka dari Prachayawarakorn dan Klairatsamee (2005) menyataan kekuatan serat dan daya serap terhadap kelembaban merupakan parameter penting dalam penilaian karakter dan kenampakan serat secara fungsional, seperti: pemeliharaan, kenyamanan dan penanganannya. Penyimpanan Kokon Pengeringan dilakukan pada kokon Bombyx mori sebelum pengolahan kokon dilaksanakan. Selain untuk mematikan pupa di dalam kokon agar kokon tidak rusak, pengeringan juga dilakukan agar kokon kering serta dapat disimpan lama dalam jangka waktu 6-12 bulan sebelum diolah (Cahyadi, 2008). Berbeda dengan pustaka LPE Al Syura (2003), setelah kokon dikeringkan, kokon dapat bertahan dengan kualitas baik paling lama sekitar 1 bulan. Kokon yang tidak dikeringkan hanya mampu bertahan disimpan selama 1 minggu saja. Menurut hasil penelitian Kaomini dan Bertha (1988) dalam Samsijah dan Lincah Andadari (1992) menyatakan bahwa penyimpanan kokon dalam ruangan yang mempunyai kelembaban 65-75% selama 4-6 minggu akan mnurunkan daya gulung, akan tetapi tidak mempengaruhi persentase benang. Bahkan BGI (2010) menjelaskan bahwa kokon yang sudah disortasi dan dibersihkan dari floss dimasukkan dalam bag yang disesuaikan masa panennya, karena maksimum 6 hari setelah panen, kokon harus direbus dan direeling.

Pemasakan Kokon Pemasakan kokon dapat dilakukan dengan beberapa metode. Pemasakan kokon dilakukan untuk memudahkan penguraian dan penggunaan fibroin setelah pelepasan serisin yang merekatkan filamen. Serisin merupakan protein yang tidak larut dalam air dingin, tetapi menjadi lunak dan larut dalam alkali lemah dan sabun. Sutera dari B. mori biasa dimasak dengan cara direbus atau diuapi saja sebelum diurai dan dipintal. Kenyataannya serisin pada sutera liar lebih sedikit, namun bahanbahan yang perlu dihilangkan tidak hanya serisin, tetapi juga bahan lainnya seperti lilin, garam-garam mineral, dan zat warna lain seperti pigmen alam berwarna kekuningan. (Saleh, 2000). Degumisasi pada beberapa jenis sutera yang dilakukan dalam penelitian Kato (2000) dilakukan dalam beberapa tahapan seperti tercantum dalam Tabel 1. Tabel 1. Metode Degumisasi Kokon Anaphe, Cricula trifenestrata dan A. atlas Lapisan tengah Lapisan luar dan Cricula Proses Attacus atlas Anaphe dalam Anaphe trifenestrata Pra- 95-98 o C 95-98 o C 95-98 o C 95-98 o C perlakuan air panas air panas air panas air panas Degumisasi Na 2 CO 3 3g/l Na 2 CO 3 4g/l Na 2 CO 3 2g/l Na 2 CO 3 3g/l 4-5 jam 3-4 jam 2 jam 3 jam 98-100 o C 98-100 o C 98-100 o C 98-100 o C Na 2 CO 3 3g/l 4-5 jam 98-100 o C Finishing pencucian air panas pencucian air panas pencucian air panas pencucian air panas Sumber: Kato (2000) Serisin pada sutera liar terikat pada tannin dan zat-zat lainnya, sehingga pemasakan kokon harus dengan metode yang benar-benar tepat sehingga degumisasi dapat terjadi dengan sempurna. Degumisasi merupakan proses pelepasan serisin dan zat lainnya yang merekat pada filamen fibroin (Kato, 2000). Lebih lanjut, Kato (2000) menjelaskan setelah didegumisasi, kokon dicuci dengan air hangat yang

bersuhu sekitar 40 o C dan diekstraksi dengan etanol selama lima hari sebelum filamen dianalisis karakteristiknya. Sampel yang digunakan dalam penelitian tersebut (kokon Anaphe, C. trifenestrata dan A. atlas) diperlakukan sebagai sutera liar. Pengamatan di bawah SEM terhadap filamen A. atlas yang didegumisasi dengan metode di atas menunjukkan struktur permukaan sutera A. atlas sangat halus dikarenakan hampir seluruh serisin telah dihilangkan pada proses degumisasi. Metode pemasakan kokon lain yang banyak digunakan seperti dalam penelitian Awan (2007) menggunakan bahan plot 1:20 (1 gram kokon 20 ml air), sabun netral 15-20 g/l, soda kaustik (NaOH) 2 cc/l, dengan suhu sampai mendidih dalam waktu 1 jam. Selesai proses pemasakan, kokon dikeluarkan untuk dicuci secara bertahap, yaitu dengan air panas, air hangat kemudian dengan air dingin, selanjutnya kokon tersebut disimpan di atas saringan untuk diperas. Setelah proses pemerasan, barulah kokon diurai satu persatu menggunakan hand spun. Tanaman Sirsak Sirsak (Annona muricata L.) disebut juga nangka belanda atau nangka seberang, merupakan tanaman buah-buahan tropis dari famili Annonaceae, yang dicirikan dengan bau yang tidak sedap dari daunnya. Di Indonesia hanya dikenal dua jenis yaitu sirsak manis dan sirsak asam yang secara morfologis susah dibedakan (Radi, 1997). Habitat pohon sirsak di kawasan beriklim tropis yang hangat dan lembab, pada ketinggian sampai 1000 m dpl. Tumbuh pada semua jenis tanah yang gembur dan sedikit asam dan tidak tahan terhadap genangan. Musim berbunga dan berbuah sirsak sepanjang tahun (LIPI, 2000) Daun sirsak merupakan daun tunggal, berbentuk bulat telur dengan panjang 8-16 cm dan lebar 3-7 cm (LIPI, 2000). Daun sirsak berbentuk bulat panjang dengan ujung runcing, warna daun bagian atas hijau tua, sedangkan bagian bawah hijau kekuningan. Daun sirsak tebal dan agak kaku dengan urat daun tegak pada urat daun utama. Daun mahkota berwarna hijau muda, jumlahnya enam helai yang terbagi dalam dua lapis, tiga daun mahkota lingkaran dalam ukurannya lebih kecil. Bila mendekati mekar mahkota bunga ini berubah menjadi kuning muda (Radi, 1997).

Rata-rata kandungan nutrisi daun sirsak disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Rata-rata Kandungan Nutrien pada Daun Sirsak Nutrien Kandungan (%) Air 65,46 Protein 6,59 Lemak 1,24 Karbohidrat 8,80 Abu 1,08 Sumber: Awan (2007)

METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama empat bulan (November 2010-Februari 2011) dengan tahapan sebagai berikut: November 2010 persiapan penelitian, Desember 2010 sampai Februari 2011 pelaksanaan penelitian. Penelitian dilakukan di Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas Kandang Blok C dan Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH), Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Materi Materi penelitian yang digunakan adalah 12 kokon ulat sutera liar A. atlas berkualitas baik yang dipilih secara acak dari 31 kokon di Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas Kandang Blok C Bagian Non Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH), Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bahan tambahan yang digunakan berupa serbuk Na 2 CO 3, etanol 96% dan air. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 12 buah kotak plastik berukuran 30 x 30 x 30 cm 3, timbangan digital merk ADAM (kapasitas 200 g dengan ketelitian 0.01 g), termohigrometer (pengukur suhu dan kelembaban ruangan), 12 kotak plastik kedap air dengan volume 350 ml, panci, kompor, gelas ukur, termometer, penggulung manual filamen sutera, pipa paralon PVC diameter 5,34 cm, pita ukur, kamera digital, kertas pencatatan, alat tulis, kantong plastik, dan kertas label. Prosedur Penelitian Tahap Persiapan Pada tahap persiapan, kokon yang masih mengandung pupa diambil dari perkebunan teh Walini di Purwakarta. Kokon diambil bersama daun teh tempat kokon melekat dengan cara digunting. Kokon tersebut kemudian dipelihara sampai menghasilkan generasi selanjutnya (F1) di Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas Kandang Blok C Bagian Non Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH). Larva instar 1-3 dipelihara di dalam kandang dan diberi pakan daun sirsak. Memasuki instar 4-6, larva dipindahkan ke pohon sirsak sebagai pohon inang,

sumber pakan, dan tempat mengokon. Kokon yang sudah berumur tujuh hari kemudian dipindahkan ke dalam kandang untuk pengamatan dan dibedakan berdasarkan tanggal pada hari pertama mengokon. Secara keseluruhan terdapat 31 kokon, akan tetapi hanya dipilih 12 kokon yang kualitasnya baik yaitu kokon tunggal, berkulit keras, tebal, permukaan kompak dan kering, tidak berlubang, berbentuk bulat lonjong, bersih, dan tidak berbau. Semua kokon disimpan dalam kotak plastik yang diberikan lubang udara untuk pernafasan pupa. Kokon yang terpilih ini kemudian dibagi menjadi empat kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari tiga kokon berumur 30, 45, 60, dan 75 hari yang dihitung berdasarkan hari pertama pengokonan. Pupa dalam kokon tersebut dibiarkan keluar menjadi ngengat, akan tetapi beberapa pupa yang sampai batas usia pengamatan yang ditetapkan masih belum bermetamorfosis menjadi ngengat, pupa dikeluarkan dari kokon melalui lubang anterior kokon. Tahap Pengumpulan Data Pengamatan dan pengumpulan data dilakukan pada seluruh kokon A. atlas yang terpilih. Kelompok kokon yang sudah berusia 30, 45, 60, dan 75 hari dibersihkan dari floss, pupa, dan sisa pupa di dalam kokon, lalu ditimbang bobot kulit kokonnya. Kokon kemudian didegumisasi mengikuti metode Kato (2000) dengan tahapan sebagai berikut: perlakuan pendahuluan berupa pencelupan (dipping) kokon dalam air hangat bersuhu 40 o C untuk memisahkan kotoran asing dan sisa pupa dari kokon. Kokon dicelupkan kembali ke dalam air dengan suhu 95-98 o C untuk mengurangi pigmen yang berasal dari luar filamen. Perebusan kokon dengan larutan Na 2 CO 3 3 g/l pada suhu 98-100 o C selama tiga jam berfungsi sebagai degumisasi (penghilangan serisin yang merekatkan filamen sutera A. atlas satu dengan yang lainnya dalam sebutir kokon). Selama proses perebusan, kokon diupayakan tidak berdekatan satu sama lain dan tidak dilakukan pengadukan untuk menghindari terjalinnya filamen-filamen yang berasal dari kokon yang berbeda. Pencucian dengan air bersuhu 95-98 o C kembali dilakukan setelah kokon direbus untuk menghilangkan sisa serisin dan larutan Na 2 CO 3 pada kokon. Kokon dicuci kembali dengan air bersuhu 40 o C untuk mengkondisikan temperatur kokon sebelum diekstraksi dalam larutan etanol 96% selama lima hari. Ekstraksi kokon dalam larutan etanol 96% bertujuan untuk menyerap kadar air, menarik partikel-partikel

selain fibroin yang mungkin masih tersisa pada fibroin dan menambah kristalinitas filamen sutera sehingga lebih kuat dan tidak rapuh selama proses penggulungan. Gambar 3. Alat penggulung manual (hand spun) kokon Filamen sutera A. atlas yang telah diekstraksi selanjutnya digulung secara manual dengan alat penggulung sederhana pada sebuah pipa paralon yang sudah ditimbang bobotnya. Kecepatan putaran penggulungan diupayakan stabil, misalnya pada kecepatan dua putaran setiap detik. Jumlah setiap putaran pipa dihitung sampai filamen terputus, kemudian dilakukan penggulungan kembali dengan hitungan putaran yang kembali dimulai dari satu, demikian seterusnya sampai tersisa selongsong tipis dari kokon yang sudah tidak dapat diurai. Total seluruh putaran penggulungan yang dijumlahkan dan kemudian dikalikan dengan keliling pipa dalam satuan meter merupakan panjang filamen sutera dari sebutir kokon. Filamen yang telah digulung ditimbang beserta pipa, dan bobot yang dihasilkan dikurangi bobot pipa, hasil pengurangan inilah yang merupakan bobot filamen sutera. Penghitungan persentase filamen dilakukan dengan membagi bobot filamen dengan bobot kulit kokon tanpa floss lalu dikalikan 100%. Ketebalan filamen sutera dihitung dalam satuan denier dengan cara membagi bobot filamen dengan panjangnya kemudian dikalikan 9000. Panjang filamen dalam sekali putus diperoleh dengan membagi panjang filamen dengan jumlah putus pada penguraian sebutir kokon.

Seleksi kokon berkualitas baik (kokon tunggal, bersih, tebal, keras) Pengelompokan kokon menjadi empat kelompok dan penempatan kokon Penyimpanan kokon (lama penyimpanan 30, 45, 60, dan 75 hari) Pembersihan kokon dari sisa pupa dan floss Penimbangan kulit kokon Pencelupan kokon dengan air hangat 40 o C; air panas 95-98 o C Degumisasi kokon dalam larutan Na 2 CO 3 suhu 98-100 o C selama 3 jam Pencucian dengan air panas 95-98 o C; air hangat 40 o C Ekstraksi filamen dalam larutan etanol 96% selama 5 hari Penirisan kokon dari etanol 96% Penggulungan filamen dengan penggulung manual Penimbangan filamen Penghitungan panjang, persentase, ketebalan, dan panjang filamen sekali putus Karakteristik filamen Gambar 4. Tahapan Penelitian

Analisis Data Penelitian ini didesain secara eksploratif karena merupakan penelusuran awal mengenai performa karakteristik filamen pada usia kokon yang berbeda. Karakteristik filamen dalam penelitian ini lebih dititikberatkan pada karakteristik filamen yang diperlukan dalam bidang tekstil karena di Indonesia bidang tersebut merupakan bidang yang paling banyak menggunakan filamen sutera. Data diolah menggunakan ukuran pemusatan dan penyebaran data. Sebanyak 12 filamen sutera yang telah terbagi ke dalam 4 golongan usia kokon berbeda (30, 45, 60, dan 75 hari yang dihitung dari hari pertama pengokonan) diamati karakteristiknya yang meliputi panjang filamen, bobot filamen, persentase filamen, ketebalan filamen, dan panjang filamen setiap kali putus. Peubah yang diamati dalam karakteristik filamen adalah sebagai berikut: 1. Bobot Kulit Kokon (g) Kulit kokon adalah kokon yang sudah tidak mengandung floss dan pupa. Bobot kulit kokon ditimbang menggunakan timbangan digital. 2. Panjang Filamen (m) Panjang filamen diperoleh dari jumlah penggulungan dari sebutir kokon dikalikan keliling pipa (5,34 cm) dan dikonversi ke satuan meter. 3. Bobot Filamen (g) Bobot filamen diperoleh dari pengurangan bobot pipa dan filamen yang selesai digulung dengan bobot pipa sebelum penggulungan. 4. Persentase Filamen (%) Persentase filamen dihitung berdasarkan bobot filamen dibagi bobot kulit kokon kemudian dikalikan 100%. Persentase filamen (%) = x 100% 5. Tebal Filamen (denier) Ketebalan filamen (d) merupakan ukuran filamen yang biasanya memiliki satuan µm, dan dapat dihitung dengan menggunakan satuan denier yang didapat dengan menggunakan rumus: Tebal Filamen (d) = 9000

Apabila panjang filamen 9000 meter dengan berat 1 gram, maka kehalusan filamen adalah 1 denier (Atmosoedarjo et al., 2000). 6. Panjang Filamen Sekali Putus (m) Rataan panjang filamen setiap sekali putus dihitung dengan cara membagi panjang filamen dengan jumlah putus dari sebutir kokon. Panjang filamen sekali putus (m) =

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Lokasi pemeliharaan larva, pengokonan, dan pengamatan kokon adalah Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Kompleks Kandang Blok C. Lokasi pengolahan kokon sendiri dilakukan di Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH), Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kokon disimpan dalam box plastik untuk melindungi kokon dari pengaruh udara, parasit, dan mikroorganisme secara langsung selama penelitian. Gambar 5. Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Komplek Kandang C Konstruksi bangunan di atas sebagian besar merupakan kisi-kisi dari kawat dengan bagian bawah dinding terbuat dari tembok yang memungkinkan sirkulasi udara berjalan dengan sangat lancar. Rata-rata suhu dan kelembaban selama penelitian dari bulan November 2010 sampai Januari 2011 berturut-turut adalah 25,9 o C dan 85%, 25,5 o C dan 83%, dan 25,4 o C dengan kelembaban 83%. Kisaran suhu selama penelitian ini yaitu 22,8 o C (Januari 2011) hingga 31,6 o C (November 2010), sedangkan kisaran kelembaban relatif sebesar 71% (Desember 2010) hingga 95% (November 2010). Kisaran suhu ini melewati batas nyaman larva A. atlas seperti dinyatakan oleh Awan (2007) yang menyatakan bahwa suhu nyaman ulat berada pada kisaran 20-30 ºC. Namun apabila suhu lebih tinggi dari 30 ºC atau kurang dari 20 ºC dapat menyebabkan mortalitas yang tinggi karena terganggunya proses fisiologis dan pertumbuhan ulat sutera. Sebagaimana halnya dengan suhu, kisaran kelembaban juga

berada di luar batas nyaman untuk larva A. atlas sesuai dengan pendapat Veda et al. (1997) yang menyatakan bahwa kelembaban yang baik untuk larva instar I dan II berkisar 80%-95% sedangkan untuk larva instar III, IV dan V adalah 70%. Kisaran suhu dan kelembaban di luar batas nyaman selama penelitian ini terbukti menyebabkan mortalitas larva yang tinggi selama masa persiapan penelitian. Larva yang dapat bertahan hidup sampai membentuk kokon hanya mencapai 31 ekor dari ratusan larva instar I yang dipelihara. Kelembaban udara juga mempengaruhi karakteristik filamen sutera, Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan bahwa kelembaban yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat mengakibatkan filamen sutera terputus-putus. Performa Filamen Sampel penelitian berupa 12 gulung filamen dari kokon A. atlas dengan usia berbeda ditunjukkan pada Gambar 6. (A) (B) (C) (D) Gambar 6. Filamen dari Kokon dengan Empat Usia yang Berbeda. (A) 30 Hari, (B) 45 Hari, (C) 60 Hari, dan (D) 75 Hari

Gambar 6 menunjukkan warna dari gulungan filamen yang bervariasi dari cokelat terang sampai cokelat kehitaman yang berkilau keemasan. Warna filamen menurut Saleh (2000) merupakan pigmen alami yang diproduksi oleh larva A. atlas pada saat pengokonan. Variasi warna yang dihasilkan dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu kandungan nutrien pakan, kondisi fisiologis, dan genetik dari masing-masing larva (Awan, 2007). Selain itu, belum didomestikasinya ulat sutera ini turut mempengaruhi tidak seragamnya warna filamen. Tidak ditemukan kecenderungan peningkatan atau penurunan tonase warna filamen yang beraturan seiring bertambahnya usia kokon seperti tampak pada Gambar 6. Akan tetapi, intensitas warna filamen pada usia kokon 75 hari tampak lebih pudar dibandingkan dengan warna filamen pada usia kokon lainnya. Hal ini dapat disebabkan oleh warna awal kokon yang memang lebih pudar dan pertambahan usia kokon. Sebagai perbandingan, dalam Gambar 7 ditampilkan gambar kokon berusia satu minggu dan kokon yang berusia 75 hari. (A) (A) (B) Gambar 7. Kokon mentah sebelum didegumisasi: (A) Kokon segar usia satu minggu, (B) Kokon usia 75 hari. Kokon yang usianya lebih tinggi tampak lebih kering, permukaan floss sangat berkerut dan berwarna pucat dibandingkan dengan kokon yang usianya lebih muda. Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya kandungan air selama pertambahan usia kokon yang boleh jadi mempengaruhi pigmentasi kokon dan filamen. Kontak udara yang lebih lama sedikit demi sedikit dapat menguapkan kandungan air kokon, apalagi didukung data suhu selama penelitian yang menunjukkan seiring pertambahan usia kokon, kelembaban udara semakin kering yang diduga turut berkaitan dengan berkurangnya kandungan air kokon. Perlu dilakukan uji lanjutan

untuk mengetahui apakah warna yang lebih terang ini benar-benar dipengaruhi usia kokon yang lebih lama tersebut. Permukaan filamen yang telah digulung sangat halus saat disentuh (hand feel). Hasil ini sesuai pernyataan Kato (2000) bahwa setelah melalui proses degumisasi menggunakan larutan Na 2 CO 3 3g/l dan ekstraksi menggunakan etanol pada waktu dan suhu yang ditetapkan, permukaan filamen A. atlas sangat halus karena hampir seluruh serisin dan zat lainnya telah hilang dari filamen. Serisin yang merupakan gum (perekat) antar filamen dalam kokon dan zat lainnya jika tertinggal pada filamen akan meninggalkan tekstur yang tidak halus setelah degumisasi. Bobot Kulit Kokon Kulit kokon merupakan bagian kokon yang telah dipisahkan dari floss dan pupa. Kulit kokon inilah yang diolah dan diurai menjadi filamen sutera. Penimbangan kulit kokon dilakukan untuk mengetahui bobot kokon yang telah terbentuk sempurna dan dapat diurai sebelum dimasak dan digulung. Bobot kulit kokon dapat digunakan untuk menentukan kualitas kokon yang dihasilkan, karena menurut Lee (1999) berat kokon merupakan karakter kokon yang paling penting secara komersial. Hal ini dikarenakan penjualan kokon didasarkan pada beratnya, semakin berat bobot kokon yang dihasilkan maka semakin bagus kualitas kokon. Kokon yang bobotnya tinggi cenderung menghasilkan filamen atau benang sutera yang lebih panjang dan tebal. Rata-rata bobot kulit kokon yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah 0,80±0,19 g/kokon. Hasil ini lebih besar dibandingkan dengan bobot kulit kokon pada penelitian Baskoro (2004) yakni sebesar 0,5±0,2 g/kokon, penelitian Setiorini (2009) sebesar 0,62±0,35 g/kokon, dan penelitian Erliyani (2011) sebesar 0,46±0,08 g/kokon. Hasil penelitian tersebut menggunakan kokon yang dihasilkan oleh larva dengan pakan daun teh dan diperoleh dari alam, sedangkan dalam penelitian ini larva yang dipelihara merupakan keturunan dari larva yang diperoleh di alam, dengan pakan daun sirsak. Larva dipelihara di kandang pada tiga instar pertama, dan tiga instar berikutnya dipelihara di pohon sirsak. Bobot kulit kokon generasi F3 hasil domestikasi Awan (2007) dengan pakan daun sirsak dan teh memiliki rataan sebesar 1,66±0,4 g/kokon. Berdasarkan uraian di atas, faktor yang juga dapat mempengaruhi bobot kulit kokon diantaranya adalah kualitas dan jenis pakan, kondisi mikroklimat