BAB V KESIMPULAN Perubahan fokus REDD+ dari pengurangan emisi ke arah program penguatan ekonomi membawa implikasi yang beragam di tingkat lokal, di Buntoi. Secara umum program-program REDD+ yang berbau peningkatan ekonomi digambarkan sebuah penerimaan dan dukungan penuh dari masyarakat. Namun narasi penerimaan REDD+ ini tidak sepenuhnya memperlihatkan dukungan, faktanya ada suara-suara yang tidak dimunculkan yang berada di pinggiran-pinggiran desa. Menjawab pertanyaan utama dari tesis ini adalah mengapa REDD+ diterima di desa Buntoi? saya mencoba membongkar logika rasional aktor di Buntoi dengan logika REDD+ melalui konsep-konsep Gudeman. Logika basis ekonomi masyarakat menunjukkan hubungan sosial dan perdagangan sekaligus yang diikat melalui perhitungan-perhitungan rasional. Sejarah panjang terbentuknya masyarakat Buntoi menunjukkan adanya perubahan mata pencarian. Awalnya bertani dan berladang kemudian dipengaruhi oleh pemerintahan Belanda pada awal akhir abad ke 19, masyarakat mulai mengenal komoditas kebun yang memiliki nilai yaitu karet dan rotan. Pasca merdeka, sekitar tahun 70-an perekonomian Indonesia menggeliat dengan melambungnya harga kayu tertentu seperti kayu ulin dan meranti. Akibatnya Indonesia memfasilitasi perusahaan HPH untuk mengeskploitasi hutan. Masyarakat yang awalnya menggunakan hasil hutan seperlunya kini harus frustasi dengan cara perusahan membabat habis hutan mereka. Selain perubahan ekologis terhadap hutan
juga terjadi degradasi sikap masyarakat yang awalnya menjaga hutan dihadapkan kepada ketimpangan dan peluang untuk turut merambah hutan. Tidak sampai disitu, masih pada pemerintahan presiden yang sama pada tahun 1997 dikenalkan proyek Eks-PLG. Program yang berniat baik mengubah ekosistem gambut menjadi cetakancetakan sawah dan membuat kanal-kanal yang begitu lebar. Lagi-lagi, proyek ini menimbulkan kerusakan ekosistem dan kebakaran sepanjang tahun. Kawasan eks-plg inilah yang kemudian digadang-gadangkan menjadi wilayah implementasi REDD+. Berbagai wacana global menyebutkan kawasan gambut sebagai area yang dianggap menyimpan karbon sekaligus berpotensi mengeluarkan karbon ketika terbakar. Namun, pada kenyataannya program-program REDD+ di kawasan gambut eks-plg bukannya mengurusi perbaikan ekosistem, malah menjadi pusat program peningkatan mata pencarian alternatif untuk meningkatan perekonomian. Kontradiksi logika besar REDD+ untuk menyelamatkan hutan dan pengurangan emisi karbon sama sekali berbeda dengan program-program non-karbon di area eks-plg. Pada konteks REDD+ inilah, saya berupaya melihat hubungan global-lokal antara fasilitator proyek dengan stakeholder dari masyarakat dan pemerintah serta swasta di Buntoi. Sebuah desa dimana terdapat kedua bentuk program REDD+ baik yang terfokus pada proyek karbon dan non karbon. Proyek karbon diwakili oleh program hutan desa, sedangkan proyek non karbon berubentuk pembangunan PIL. Misalnya pada program hutan desa, alih-alih membicarakan karbon, masyarakat malah mengajukan proyek pembuatan jalan ke Hutan Desa yang melalui kebun-kebun karet mereka. Ada pula yang menginginkan kayu, padahal status dari hutan desa di Buntoi adalah hutan lindung yang hanya diperbolehkan mengambil sumber daya non kayu. Mendudukkan visi menuju penghitungan karbon sudah begitu 189
memusingkan petani karet. Mereka hidup dari setiap tetes karet yang mengalir ke tempurung-tempurung mereka, bukan dari karbon yang tak terjangkau dan tak berwujud. Lain lagi dengan PIL, ia menawarkan proyek non-karbon berupa programprogram yang mendukung mata pencarian alternatif. Program seperti mendirikan bangunan mewah bernama PIL untuk gedung pertemuan yang pendapatannya tergantung kepada frekuensi penyewaan yang tidak datang tiap hari. Alokasi dana pembangunan PIL pun sebagian besar dihibahkan kepada kontraktor proyek yang sebagian besar berasal dari luar kampung, sementara masyarakat hanya mengelola dana sebesar 1% saja. Sehingga akumulasi dari proses diimplementasikannya REDD+ yang bertujuan meningkatkan ekonomi hanya menyentuh sebagian kecil dari masyarakat saja. Tidak hanya itu, kehadiran PIL menyebabkan kesenjangan antar penduduk atas akses PIL. Sehingga walaupun faktanya memberi tambahan pekerjaan dan upah, namun proyek PIL tersebut tidak mampu meningkatkan tingkat perekonomian masyarakat secara keseluruhan. Permasalahan yang dihadapi masyarakat di desa-desa tidak pernah habishabisnya. Persoalan persatuan dan kesatuan masyarakat terganggu dan terkatungkatung perkembangan ekonominya. Masyarakat yang sebagian besar petani karet harus tergantung pada pasar, harus tergantung kepada fasilitator proyek untuk menentukan ekonomi apa yang cocok yang bahkan tidak mengenal kemelaratan dan basis ekonomi masyarakat pedesaan. Sayangnya sejarah proyek di Buntoi tidak dimaknai sebagai sebuah rujukan terpercaya bagi suatu proyek perubahan. Alih-alih mempersiapkan distribusi penyebaran keuntungan proyek yang adil pada seluruh masyarakat Buntoi, akses keuntungan malah diperoleh oleh elit masyarakat terutama pemerintah desa. 190
Formula yang ditawarkan fasilitator tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap perkembangan basis ekonomi masyarakat. Saya bukan hendak mengagungkan sejarah masa lalu dan kejayaannya dan membandingkannya dengan masa sekarang. Saya paham telah banyak perubahan yang dialami masyarakat dan mereka tumbuh sebagai seorang individu-individu yang rasional. Tapi perlu diketahui, motif masyarakat menerima program-program REDD+ sangat beragam dari sebuah strategi ekonomi, rasa percaya akan ada perubahan, bahkan sikap skeptis. Masyarakat yang memandang proyek dengan sikap pragmatis adalah suatu akumulasi rasa lelah menerima berbagai program yang terus menerus tidak membuat kehidupan mereka berubah menjadi lebih baik. Di balik penerimaan REDD+ di Buntoi, terdapat sekelompok masyarakat yang terpinggirkan baik secara geografis maupun akses informasi. Mereka adalah masyaraka yang sinis terhadap program REDD+. Pengabaian yang berulang-ulang terhadap kelompok masyarakat terpinggirkan ini terjadi terus menerus. Ditambah lagi pemerintah ataupun aktor yang memegang kontrol terhadap program REDD+ tidak begitu berpihak pada masyarakat yang terpinggirkan ini. Distribusi atau pemerataan jatah keuntungan program terhadap masyarakat secara adil tidak merata. Sehingga sikap apatis lahir dari masyarakat terpinggirkan sebagai akibat dari pemerintahan yang abai. Sikap apatis juga muncul karena masyarkat sudah beradaptasi terhadap penyingkiran. Buntoi adalah desa percontohan yang dikelilingi oleh program karbon dan non karbon. Kedua program tersebut sebenarnya sama sekali tidak menyentuh basis ekonomi masyarakat Buntoi. Namun demikian, progam Hutan Desa dan PIL yang telah ada hendaknya menjadi bagian yang integral dalam perencanaan desa. Desa 191
hendaknya harus dilihat dalam pendekatan sistem pengembangan basis ekonomi masyarakat. 192