BAB VIII PENUTUP. Penelitian dengan tema kebijakan hutan rakyat dan dinamika sosial

Transkripsi

1 BAB VIII PENUTUP Penelitian dengan tema kebijakan hutan rakyat dan dinamika sosial ekonomi masyarakat di Kabupaten Banyumas ini mengambil tiga fokus kajian yakni ekonomi politik kebijakan hutan rakyat, perubahan ekologis, serta dinamika sosial ekonomi masyarakat. Dari pembahasan yang telah dilakukan dihasilkan beberapa kesimpulan dan saran Kesimpulan a. Dari sisi kebijakan didapatkan temuan bahwa regulasi yang mengatur tentang hutan rakyat lebih banyak dikeluarkan oleh institusi pemerintah di tingkat pusat, dalam hal ini Kementerian Kehutanan sebagai lini pemerintahan yang diserahi urusan di bidang kehutanan. Pada level pemerintah daerah, dalam hal ini pemerintah Kabupaten Banyumas relatif tidak banyak menelorkan kebijakan meskipun yang sifatnya operasionalisasi/turunan dari peraturan yang berada di atasnya. Peneliti mencatat hanya ada satu peraturan yang langsung berkaitan dan mengatur tentang hutan rakyat. b. Kendala dalam pengembangan hutan rakyat antara lain minimnya bantuan pinjaman permodalan, tidak adanya jaminan saluran pemasaran dan harga, rendahnya kepemilikan dan penguasaan lahan, dan minimnya pelatihan dan pendampingan masyarakat. Sementara itu insentif yang ada baru dalam bentuk 185

2 pemberian bantuan pembibitan dengan pelbagai programnya, pelatihan, kemudahan dalam prosedur pemanenan dan pemasaran hasil hutan rakyat, dan desentralisasi pengambilan keputusan dalam birokrasi pengurusan hutan rakyat. Di samping adanya insentif, ada juga sesuatu yang bersifat disinsentif bagi pengembangan hutan rakyat. Beberapa disinsentif itu yakni, tumpang tindihnya bantuan pemerintah, dan program yang tidak berkelanjutan. c. Dilihat dari perspektif ekonomi politik kebijakan maka akan terlihat pihakpihak yang berperan dan berkepentingan dengan hutan rakyat di Desa Watuagung yakni petani/kelompok tani, elit pemerintah desa, pengusaha, lembaga pendamping, dan elit pemerintah di tingkat kabupaten. Penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun petani menjadi sasaran dari program hutan rakyat, namun dilihat dari persketif kepentingan para pihak, maka petani menjadi pihak yang paling kurang beruntung. Program pemerintah bagi petani ini juga menjadi semacam media mendapatkan rente bagi elit pemerintah, sementara bagi pengusaha menjadi sarana akumulasi kapital. d. Dilihat dari perubahan ekologis yang terjadi dapat disimpulkan bahwa pada awalnya di Desa Watuagung hanya dikenal teknik budaya tanaman sederhana dengan pola campuran (wanatani). Dalam perkembangannya kemudian dikenal teknik budidaya yang lebih intensif dan dikenal pula pola penanaman monokultur. Ini dimulai pada tahun 1976 ketika diintroduksi tanaman cengkeh, dan selanjutnya semakin terlihat pasca reformasi dengan banyaknya bantuan. Terdapat tiga jenis tanaman monokultur yang dominan yakni cengkeh, ganitri, dan sengon. Namaun kecenderungan yang terjadi di lapangan masyarakat 186

3 masih lebih dominan menanam dengan pola campuran, namun dari sisi teknik budidaya sudah lebih baik. e. Struktur penguasaan lahan di Desa Watuagung tergolong timpang. Hal ini bisa dilihat dengan adanya segelintir pemilik lahan yang memilki lahan di atas dua hektar, namun lebih dari 50 persen yang lain justru hanya memiliki lahan ratarata 0,18-0,28 ha. Di samping itu juga banyak yang tidak memiliki lahan (tunakisma), padahal mereka menggantungkan hidupnya dari pertanian dengan menjadi buruh tani. f. Dengan menggunakan pendekatan James Scott, pandangan ekonomi petani atas lahan dan produksi hutan rakyat dapat dikatakan masih dalam taraf subsistensi. Jadi pengolahan lahan dan produksi hasil pertanian yang didapatkan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan sendiri meskipun pemenuhan kebutuhan itu juga ada yang dengan jalan dijual. Namun penjualan tersebut tidak dalam rangka akumulasi kapital. Subsistensi itu terlihat dari prinsip (1) safety first yakni mendahulukan keselamatan diri dan keluarganya dalam mengelola pertaniannya, (2) tidak mau ambil resiko, dan (3) adanya hubungan patron-klien. Sementara itu berdasarkan pandangan Samuel L Popkin, petani di Desa Watuagung sebenarnya masuk kategori rasional. Hal ini ditandai oleh adanya motif mencari untung yakni dengan jalan memilih tanaman yang memiliki nilai jual tinggi untuk ditanam. Demi mendapatkan nilai yang tinggi, petani dipandang akan mau untuk mengambil resiko sejauh dalam kalkulasinya akan menguntungkan. Di samping itu petani juga mencari jalan untuk meminimalisasi biaya yang dikeluarkan untuk pengolahan lahan maupun 187

4 produk pertaniannya. Dengan kedua hal ini, petani dipandang sebagai manusia yang rasional. Selanjutnya jika dilihat dari taraf perkembangan ekonomi masyarakat, maka petani di Desa Watuagung masih lebih berorientasi untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Petani yang mengelola lahan dan menjual produk hasil pertaniannya untuk kepentingan komersial dan akumulasi kapital belum terbentuk. g. Rantai tataniaga dibedakan atas komoditas hutan rakyat yang ada. Secara sederhana dapat digolongkan ke dalam tiga komoditas yakni komoditas tanaman kayu, perkebunan, dan buah-buahan. Karakteristik rantai tataniaga untuk tanaman kayu cenderung lebih beragam dan lebih panjang, namaun fluktuasi harganya dapat dikatakan tidak ada karena nilai jual kayu dapat dikatakan selalu meningkat. Rantai tataniaga tanaman perkebunan relatif lebih homogen meskipun jalurnya lebih panjang dibandingkan tanaman buahbuahan. Tanaman perkebunan khususnya ganitri lebih untuk kebutuhan ekspor daripada untuk dijual di dalam negeri. Tanaman buah-buahan rantai tataniaganya relatif paling sederhana dan hanya diperdagangkan di dalam negeri. Yang perlu menjadi catatan di sini adalah bahwa petani sebagai mata rantai tataniaga pertama selalu mendapatkan keuntungan terkecil dan menanggung resiko yang besar. h. Jika dilihat dalam konteks ekologi politik secara lebih luas, maka akan terlihat kaitan antara politik kebijakan pemerintah, dinamika sosial ekonomi masyarakat, dan perubahan lingkungan yang terjadi. Pertama, pengaruh kebijakan pemerintah atas konteks perubahan ekologis yang berlangsung, dan 188

5 dinamika sosial ekonomi masyarakat. Pemerintah yang begitu gencar menjalankan program hutan rakyat dalam bentuk antara lain pemberian bantuan bibit dan asistensi teknis kemudian menghasilkan perubahan ekologis dalam bentuk berkembangnya hutan rakyat di Desa Watuagung. Kebijakan ini juga berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dari perekonomian berbasis hutan rakyat. Dinamika perekonomian berbasis hutan rakyat juga berkembang pesat. Meskipun demikian kebijakan ini memiliki berdampak lain yakni menurunnya diversifikasi pangan dan berlanjut pada meningkatnya ketergantungan pasar dalam pemenuhan sumber bahan pangan. Kedua, dinamika sosial ekonomi masyarakat merespon kebijakan. Kebijakan ini di satu sisi memberikan manfaat bagi masyarakat dalam bentuk peningkatan kesejahteraan, namun dari proporsinya petani mendapatkan tingkat keuntungan yang paling kecil dibandingkan aktor lainnya. Dinamika sosial ekonomi mayarakat dalam merespon kebijakan menunjukkan bahwa respon masyarakat tidak selalu sejalan dengan harapan dan arahan pemerintah. Tingkat kepemilikan lahan yang sempit mengharuskan masyarakat mengatur setiap bantuan yang datang agar dapat tertampung pada lahan mereka. Akhirnya arahan pemerintah untuk menanam tanaman sesuai jarak tanam yang dianjurkan banyak yang tidak dijalankan masyarakat. Persoalan ini juga disebabkan oleh perilaku elit yang mengambil rente atas kebijakan yang ada. Akhirnya kebijakan yang berjalan kurang optimal. 189

6 8.2. Saran a. Perlu dikembangkannya insentif yang memadai agar perkembangan hutan rakyat semakin meningkat. Beberapa insentif yang penting antara lain, (1) perlu adanya regulasi yang mengatur dan memperkuat akses petani atas lahan sehingga kendala sempitnya lahan teratasi, (2) perlunya pelatihan dan pendampingan yang berkelanjutan, (3) perlunya regulasi yang mengatur tataniaga hasil hutan rakyat yang memihak kepentingan petani, (4) adanya bantuan permodalan. b. Melihat konteks ekologi politik yang berjalan terlihat bahwa kebijakan hutan rakyat meskipun menghasilkan perubahan ekologis yang penting, namun petani sebagai kelompok sasaran tetap menjadi pihak yang mendapatkan keuntungan kecil. Oleh karena itu perlu dibangun kebijakan yang memihak pada petani, dan mencegah pihak lain untuk mengambil rente atas kebijakan tersebut. c. Pada beberapa kasus yang diangkat dalam pembahasan terlihat bahwa perubahan ekologis yang terjadi banyak disebabkan oleh adanya kondisi yang merugikan petani (seperti penurunan harga komoditas) sehingga petani kemudian melakukan penebangan dan mengganti dengan tanaman lainnya. Untuk itu saran pada poin a, khsusunya butir (2), (3), dan (4) perlu ditekankan di sini. Kasus yang lain menunjukkan bahwa meskipun terjadi perubahan ekologis dalam bentuk perubahan jenis tanaman yang ditanam, namun pola tanamnya secara umum masih belum berubah, khususnya terkait dengan jarak tanam yang terlalu rapat. Untuk itu saran pada poin a butir (1) dan (2) sangat 190

7 perlu ditekankan karena permasalahan petani tidak hanya faktor ketidaktahuan dalam teknik budidaya tanaman, namun faktor sempitnya lahan lebih dominan. d. Sistem pertanian subsisten merupakan ciri yang khas pada sebagian besar masyarakat pedesaan di Indonesia daan bahkan di Asia Tenggara (Scott, 1982). Namun persoalannya selama ini pertanian subsisten yang berjalan dipandang belum cukup mampu meningkatkan kesejahteraan petani, bahkan petani terkesan seringkali menjadi korban. Oleh karena itu perlu adanya pengembangan kelembagaan di tingkat petani untuk memperkuat posisi petani atas pihak lain sehingga kesejahteraan petani tetap terjamin meskipun masih dalam kerangka subsistensi tersebut. e. Pada rantai tataniaga komoditas apapun dapat dikatakan bahwa petani hanya menjadi price taker, artinya petani tidak mampu menentukan tingkat harga tertentu yang bagi dia lebih menguntungkan. Harga lebih banyak ditentukan oleh interaksi pihak-pihak lain dalam jaringan rantai tataniaga tersebut. Di pihak lain petani seringkali tidak mengetahui informasi pasar sehingga seringkali justru ditekan oleh pihak lain agar harganya semakin rendah. Dari sini terlihat bahwa petani selalu menjadi pihak yang dirugikan sementara ia harus menanggung ongkos yang tidak sedikit. Oleh karena itu perlu ada regulasi yang mengatur tataniaga produk hasil pertanian yang memihak petani. Hal itu kemudian ditindaklanjuti dengan pelatihan dan pendampingan kepada petani sehingga petani lebih mampu meng-upgrade dirinya di hadapan pihak lain dalam jaringan rantai tataniaga. 191