Bab IV. Hasil dan Pembahasan

dokumen-dokumen yang mirip
Bab III Metodologi Penelitian

4 Hasil dan pembahasan

ASPEK STRUKTUR DAN KONDUKTIVITAS La 1-x (Sr,Ca) x FeO 3-δ SEBAGAI BAHAN KATODA PADA SEL BAHAN BAKAR PADATAN TESIS

Petunjuk Refinement. Analisis Pola Difraksi Sinar-X Serbuk Menggunakan Metode Le Bail Pada Program Rietica

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II

SINTESIS DAN KARAKTERISASI SENYAWA PEROVSKIT GANDA Sr 2 Mg 1-X Fe X MoO 6-δ SEBAGAI MATERIAL ANODA PADA SEL BAHAN BAKAR DENGAN METODA SOL-GEL

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Suhu Sinter Terhadap Struktur Kristal

3 Metodologi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC)

I. PENDAHULUAN. oleh H.K Onnes pada tahun 1911 dengan mendinginkan merkuri (Hg) menggunakan helium cair pada temperatur 4,2 K (Darminto dkk, 1999).

HASIL DAN PEMBAHASAN. dengan menggunakan kamera yang dihubungkan dengan komputer.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. hal ini memiliki nilai konduktifitas yang memadai sebagai komponen sensor gas

Bab IV Hasil Dan Pembahasan

Bab III Metoda Penelitian

dengan panjang a. Ukuran kristal dapat ditentukan dengan menggunakan Persamaan Debye Scherrer. Dilanjutkan dengan sintering pada suhu

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian ini dilakukan pembuatan keramik Ni-CSZ dengan metode kompaksi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan di Kelompok Bidang Bahan Dasar PTNBR-

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil preparasi bahan baku larutan MgO, larutan NH 4 H 2 PO 4, dan larutan

HASIL DAN PEMBAHASAN. didalamnya dilakukan karakterisasi XRD. 20%, 30%, 40%, dan 50%. Kemudian larutan yang dihasilkan diendapkan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai dengan Juni 2013 di

I. PENDAHULUAN. komposit. Jenis material ini menjadi fokus perhatian karena pemaduan dua bahan

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Februari sampai Juni 2013 di

PENGARUH VARIASI MILLING TIME dan TEMPERATUR KALSINASI pada MEKANISME DOPING 5%wt AL NANOMATERIAL TiO 2 HASIL PROSES MECHANICAL MILLING

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab III Metodologi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pori

350 0 C 1 jam C. 10 jam. 20 jam. Pelet YBCO. Uji Konduktivitas IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Ba(NO 3 ) Cu(NO 3 ) 2 Y(NO 3 ) 2

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. sol-gel, dan mempelajari aktivitas katalitik Fe 3 O 4 untuk reaksi konversi gas

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR ISTILAH DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG BAB I

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 3.1 Efisiensi proses kalsinasi cangkang telur ayam pada suhu 1000 o C selama 5 jam Massa cangkang telur ayam. Sesudah kalsinasi (g)

METODE SOL-GEL RISDIYANI CHASANAH M

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

SINTESIS SERBUK MgTiO 3 DENGAN ADITIF Ca DARI BATU KAPUR ALAM DENGAN METODE PENCAMPURAN LARUTAN

4 Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan

2 Tinjauan Pustaka. 2.1 Sel Bahan Bakar

PENENTUAN TEMPERATUR CURIE SENYAWA OKSIDA LOGAM BERSTRUKTUR AURIVILLIUS TIPE CuBi 4 Ti 4 O 15 (CBT) EMPAT LAPIS

HASIL DAN PEMBAHASAN

PASI NA R SI NO L SI IK LI A KA

Karakterisasi XRD. Pengukuran

2 SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOSTRUKTUR ZnO

Gambar 4.2 Larutan magnesium klorida hasil reaksi antara bubuk hidromagnesit dengan larutan HCl

SINTESIS SERBUK MgTiO 3 DENGAN METODE PENCAMPURAN DAN PENGGILINGAN SERBUK. Abstrak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 4.7. SEM Gelas BG-2 setelah perendaman di dalam SBF Ringer

LOGO. STUDI EKSPANSI TERMAL KERAMIK PADAT Al 2(1-x) Mg x Ti 1+x O 5 PRESENTASI TESIS. Djunaidi Dwi Pudji Abdullah NRP

I. PENDAHULUAN. kinerjanya adalah pemrosesan, modifikasi struktur dan sifat-sifat material.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis proses preparasi, aktivasi dan modifikasi terhadap zeolit

Uji Kekerasan Sintesis Sintesis BCP HASIL DAN PEMBAHASAN Preparasi Bahan Dasar

I. PENDAHULUAN. Superkonduktor merupakan suatu bahan dengan konduktivitas tak hingga, karena

Sintesis Nanopartikel ZnO dengan Metode Kopresipitasi

III. METODOLOGI PENELITIAN. analisis komposisi unsur (EDX) dilakukan di. Laboratorium Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir (PTBIN) Batan Serpong,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang berada dikawasan Asia

STUDI PENGUJIAN SEM DAN EDX HIDROKSIAPATIT DARI GIPSUM ALAM CIKALONG DENGAN 0

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.5 Karakterisasi Sampel Hasil Sintesis

SINTESIS DAN KARAKTERISASI PARTIKEL NANO La 1-x Sr x CoO 3 DENGAN METODE KOPRESIPITASI

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian ini dilakukan pembuatan keramik CSZ-NiO untuk elektrolit padat

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMA KASIH... ABSTRAK... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SINTESIS DAN KARAKTERISASI PARTIKEL NANO La 1-x Sr x CoO 3 DENGAN METODE KOPRESIPITASI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Superkonduktor Eu 2-x Ce x CuO 4+α-δ

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Telah disadari bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi harus

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil XRD

Efek Atmosfer Udara dan Oksigen Terhadap Struktur Kristal dan Kristalografi Material Superkonduktor (Bi0,40Pb0,45)Sr2(Ca0,40Y0,70)Cu2Oz

BAB IV HASIL dan PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian ini dilakukan pembuatan keramik komposit CSZ-Ni dengan

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimen

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Modifikasi Ca-Bentonit menjadi kitosan-bentonit bertujuan untuk

4 Hasil dan Pembahasan

BAB V ANALISIS HASIL PERCOBAAN DAN DISKUSI

BAB I PENDAHULUAN. energi listrik. Pemanfaatan energi listrik terus berkembang tidak hanya berfokus

KERAMIK Mimin Sukarmin, S.Si., M.Pd.

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI MEMBRAN KERAMIK ZrSiO 4 -V 2 O 5 TESIS. ERFAN PRIYAMBODO NIM : Program Studi Kimia

SINTESIS DAN KARAKTERISASI UNDER-DOPED SUPERKONDUKTOR DOPING ELEKTRON Eu 2-x Ce x CuO 4+α-δ

SINTESIS DAN KARAKTERISASI KRISTAL NANO ZnO

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengujian Densitas Abu Vulkanik Milling 2 jam. Sampel Milling 2 Jam. Suhu C

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metoda eksperimen.

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat mempengaruhi peradaban

θ HASIL DAN PEMBAHASAN. oksida besi yang terkomposit pada struktur karbon aktif.

EFEK CuI TERHADAP KONDUKTIVITAS DAN ENERGI AKTIVASI (CuI) x (AgI ) 1-x (x = 0,5-0,9)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dihasilkan sebanyak 5 gram. Perbandingan ini dipilih karena peneliti ingin

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu pemanfaatan tenaga nuklir dalam bidang energi adalah

BAB IV ANALISA DATA & PEMBAHASAN

BAB III EKSPERIMEN & KARAKTERISASI

SINTESIS SUPERKONDUKTOR BSCCO DENGAN VARIASI Bi DAN Pb MELALUI METODE SOL GEL DAN ANALISIS POLA DIFRAKSI SINAR X MENGGUNAKAN METODE RIETVELD FULLPROF

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh waktu annealing terhadap diameter dan jarak antar butir

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Hubungan kristalinitas sampel CaO sintesis, CaO pada CaOZnO 0,08 dan CaO pada CaOZnO 0,25

Transkripsi:

Bab IV. Hasil dan Pembahasan Bab ini memaparkan hasil sintesis, karakterisasi konduktivitas listrik dan struktur kirstal dari senyawa perovskit La 1-x Sr x FeO 3-δ (LSFO) dengan x = 0,2 ; 0,4 ; 0,5 ; 0,6 ; 0,8 dan La 1-x (Sr,Ca) x FeO 3-δ (LSCFO) dengan x = 0,1 ; 0,3 ; 0,5. Karakterisasi untuk menentukan struktur kristal dilakukan pengukuran XRD dengan alat X-ray diffractometer dan hasilnya di-refine dengan menggunakan metode Le Bail melalui program Rietica. Selain pengukuran difraksi sinar-x, karakterisasi juga dilakukan dengan menggunakan SEM untuk melihat morfologi permukaan LSFO dan LSCFO yang dilengkapi dengan EDX untuk mengetahui komposisi unsurunsur dalam senyawa. Kemudian akhir dari karakterisasi dilakukan pengukuran konduktivitas listrik dengan menggunakan metode 4 titik (four point probes method). IV.1 Hasil Sintesis dan Penentuan Struktur Senyawa Sintesis dari senyawa perovskit LSFO dan LSCFO telah dilakukan dengan menggunakan metode sol gel. Adapun komposisi awal berdasarkan perhitungan komposisi pereaksi-pereaksinya dapat dilihat pada tabel IV. 1 di bawah ini. Tabel IV.1 Komposisi Awal Sintesis LSFO dan LSCFO Komposisi Awal Zat Simbol La 0,8 Sr 0,2 FeO 3-δ LSFO (1) La 0,6 Sr 0,4 FeO 3-δ LSFO (2) La 0,5 Sr 0,5 FeO 3-δ LSFO (3) La 0,4 Sr 0,6 FeO 3-δ LSFO (4) La 0,2 Sr 0,8 FeO 3-δ LSFO (5) La 0,9 Sr 0,1 Ca 0,1 FeO 3-δ LSCFO (6) La 0,7 Sr 0,3 Ca 0,3 FeO 3-δ LSCFO (7) La 0,5 Sr 0,5 Ca 0,5 FeO 3-δ LSCFO (8)

Sintesis pada senyawa LSFO dan LSCFO dilakukan dengan pemanasan pada suhu 500 o C selama 1 jam pada proses kalsinasi dan pada suhu 900 o C selama 24 jam dalam bentuk pelet pada proses sintering. Lalu dilakukan karakterisasi terhadap hasil sintesis melalui pengukuran sinar-x serbuk (XRD), pengukuran SEM yang dilengkapi dengan EDX dan pengukuran konduktivitas listrik melalui metode 4 titik (four point probes method). Senyawa perovskit LSFO dan LSCFO adalah turunan dari senyawa LaFeO 3 (lantanum ferit). Berdasarkan data Powder Diffraction File (PDF), LaFeO 3 mempunyai struktur kristal yang berbentuk ortorombik dengan panjang sumbu a = 5,557 Å, b = 5,565 Å, c = 7,854 Å dengan sudut α = β = γ = 90 o (PCPDFWIN, 1998). Adapun pola difraksi dari LaFeO 3 yang diperlihatkan di Gambar IV.1. Gambar IV. 1 Pola difraksi sinar-x pada struktur perovskit LaFeO 3 15). Adapun posisi puncak-puncak pada harga 2θ yang merupakan kekhasan dari struktur perovskit LaFeO 3 sekitar 22, 32, 39, 46, 52, 57, 67, dan 72 o. Gambar IV. 2, di bawah ini, memperlihatkan pola difraksi sinar-x untuk La 1- xsr x FeO 3-δ yang telah disintesis dengan komposisi x = 0,2; 0,4; 0,5; 0,6: 0,8 dan La 1-x (Sr,Ca) x FeO 3-δ dengan komposisi x = 0,1; 0,3 dan 0,5 sebelum dilakukan refinement.

Gambar IV.2 Pola difraksi sinar-x sebelum refinement dari La 1-x Sr x FeO 3-δ (atas) dan La 1-x (Sr,Ca) x FeO 3-δ (bawah). Dari pola difraksi LSFO yang telah diukur dengan XRD di atas memperlihatkan posisi-posisi 2θ yang menjadi ciri khas dari senyawa perovskit La 1-x Sr x FeO 3-δ dan La 1-x (Sr,Ca) x FeO 3-δ yaitu di sekitar 22, 32, 39, 46, 52, 57, 67, dan 72 o. Intensitas difraksi sinar-x tertinggi dari senyawa LSFO dan LSCFO pada setiap komposisi terletak pada posisi 2θ di sekitar 32 o. Kemudian dilakukan pengecekan pada data Powder Diffraction File (PDF) untuk melihat kecocokan antara pola difraksi dari data PDF dengan pola difraksi dari senyawa LSFO yang telah disintesis. Salah

satu data pola difraksi LSFO dengan harga x = 0,2 dari data PDF terdapat pada Gambar IV.3 berikut ini. GambarIV.3 Pola difraksi sinar-x pada senyawa perovskit La 0,8 Sr 0,2 FeO 3-δ dari data PCPDFWIN (PDF, 82-1960) Adapun posisi puncak-puncak pada harga 2θ yang merupakan kekhasan dari struktur perovskit La 1-x Sr x FeO 3-δ sekitar 22, 32, 39, 46, 52, 57, 67, dan 72 o. Dari puncak-puncak khas yang muncul pada harga 2θ untuk senyawa LSFO dan LSCFO menghasilkan puncak yang mirip dengan puncak-puncak yang dihasilkan oleh senyawa perovskit LaFeO 3 (LFO). Hal ini menunjukkan bahwa LSFO dan LSCFO adalah turunan dari senyawa perovskit LaFeO 3 yang disisipi dengan ion logam stronsium (Sr 2+ ) dan ion logam kalsium (Ca 2+ ). Hal ini menimbulkan cacat kristal akibat penyisipan ion Sr 2+ dan Ca 2+ pada posisi ion La 3+ yang menyebabkan terjadinya kekosongan atau interstisi pada senyawa LSFO dan LSCFO. Terhadap data yang diperoleh dari hasil difraksi sinar-x, kemudian dilakukan refinement dengan menggunakan metode Le Bail melalui program Rietica. Program Rietica ini akan memberikan nilai R p (%) dan R wp (%) yang menunjukkan kesesuaian pola difraksi hasil kalkulasi dengan pola difraksi hasil pengukuran. Nilai yang diterima dari R p (%) dan R wp (%) pada proses refinement adalah 10% 16). Selain itu, melalui hasil refinement dapat menentukan puncakpuncak pengotor dari senyawa yang telah disintesis. Berikut ini pola difraksi

sinar-x dari hasil refinement senyawa La 1-x Sr x FeO 3-δ dengan harga x = 0,2 dan 0,4 yang terdapat pada Gambar IV.4. a b Gambar IV. 4 Plot Le Bail untuk La 0,8 Sr 0,2 FeO 3-δ (a) dan La 0,6 Sr 0,4 FeO 3-δ (b). Tanda berwarna hitam merupakan data pengamatan hasil difraksi sinar-x, garis merah adalah hasil kalkulasi, garis vertikal berwarna biru adalah posisi Bragg yang diharapkan, garis hijau adalah perbedaan antara hasil kalkulasi dan data hasil pengamatan difraksi sinar-x (perbedaan antara tanda berwarna hitam dengan garis merah).

Hasil refinement dari data difraksi sinar-x untuk La 0,8 Sr 0,2 FeO 3-δ pada rentang 2θ antara 10-80 o menunjukkan bahwa kristal memiliki sistem berupa ortorombik dengan grup ruang Pbnm dengan Z = 4, parameter sel masing-masing adalah a = 5,575(2) Å, b = 5,559(1) Å, c = 7,8502(8) Å, dan V = 243,3(1) Å 3 dengan nilai R p (%) = 2,96 dan R wp (%) = 3,22. Dari harga R p dan R wp yang kurang dari 10 % menunjukkan adanya kecocokan struktur antara data hasil pengamatan sinar-x dengan hasil kalkulasi. Berdasarkan data PDF, senyawa La 0,8 Sr 0,2 FeO 3-δ masih terdapat pengotor yaitu puncak 2θ disekitar 44 o berupa senyawa La 4 Sr 3 O 15) 9. Parameter sel untuk La 0,6 Sr 0,4 FeO 3-δ dari hasil refinement terhadap pola difraksi sinar-x pada rentang 2θ antara 10-80 o menunjukkan bahwa kristal memiliki sistem kristal rombohedral dengan grup ruang R3c dan nilai Z = 6, menunjukkan harga a = 5,537(2) Å, b = 5,537(2) Å, c = 5,537(2) Å dan V = 360,3(3) Å 3. Nilai dari R p (%) dan R wp (%) adalah 2,86 dan 3,46. Dari harga R p dan R wp yang kurang dari 10% menunjukkan adanya kecocokan struktur antara data hasil pengamatan sinar-x dengan hasil kalkulasi. Berdasarkan data PDF, senyawa La 0,6 Sr 0,4 FeO 3-δ masih terdapat pengotor yaitu puncak pada harga 2θ disekitar 44 o yaitu berupa La 4 Sr 3 O 15) 9. Parameter sel untuk senyawa LSFO (1), LSFO (2), LSFO (3), LSFO (4), LSFO (5) berdasarkan hasil refinement dari program Rietica dapat dilihat pada Tabel IV. 2. Pada gambar IV. 5 di bawah ini, memperlihatkan hasil refinement pola difraksi sinar-x untuk LSFO dengan komposisi x = 0,5 ; 0,6 dan 0,8.

a b b c Gambar IV. 5 Plot Le Bail untuk La 0,5 Sr 0,5 FeO 3-δ (a), La 0,4 Sr 0,6 FeO 3-δ (b) dan La 0,2 Sr 0,8 FeO 3-δ (c). Keterangan garis dapat dilihat pada keterangan Gambar IV.4.

Tabel IV. 2 Parameter sel dari La 1-x Sr, x FeO 3-δ Parameter Sel LSFO (1) (x = 0,2) LSFO (2) (x = 0,4) LSFO (3) (x = 0,5) LSFO (4) (x = 0,6) LSFO (5) (x = 0,8) Sistem Kristal Ortorombik Rombohedral Rombohedral Rombohedral Rombohedral Grup Ruang Pbnm R3c R3c R3c R3c a (Ǻ) 5,575(2) 5,537(2) 5,497(1) 5,477(1) 5,4388(8) b (Ǻ) 5,559(1) 5,537(2) 5,497(1) 5,477(1) 5,4388(8) c (Ǻ) 7,8502(8) 13,567(9) 13,517(5) 13,471(5) 13,389(3) V (Ǻ 3 ) 243,3(1) 360,3(3) 353,7(1) 350,0(1) 343,0(1) R p (%) 2,96 2,86 2,16 2,97 2,71 R wp (%) 3,22 3,46 2,60 3,16 4,70 Z 4 6 6 6 6 Dari Tabel IV.2 di atas, senyawa perovskit LSFO (2), LSFO (3), LSFO (4) dan LSFO (5) menunjukkan bahwa kristal-kristal tersebut memiliki sistem kristal yang sama yaitu rombohedral dengan grup ruangnya adalah R3c. Senyawa perovskit untuk LSFO (5) menunjukkan nilai parameter a, b dan c lebih kecil dibandingkan dengan senyawa perovskit LSFO (4), LSFO (3) dan LSFO (2), sehingga volume ruang untuk senyawa perovskit LSFO (5) lebih kecil dibandingkan dengan LSFO (4), LSFO (3) dan LSFO (2). Hal ini disebabkan karena pengaruh komposisi dari interstisi (penyisipan) ion logam stronsium (Sr 2+ ) pada senyawa LSFO (5) lebih banyak dibandingkan dengan senyawa LSFO (4) dan LSFO (3). Menurut Striker dkk, dengan meningkatnya komposisi ion stronsium (Sr 2+ ) pada senyawa perovskit akan memperkecil volume selnya 17). Dari faktor komposisi dari Sr akan mempengaruhi nilai parameter sel a, b dan c adalah yang menyebabkan terjadinya defesiensi oksigen. Hal ini dapat dijelaskan, bahwa semakin banyak komposisi Sr yang ditambahkan pada senyawa LSFO maka semakin besar pula parameter

stoikiometri oksigen (δ) karena muatan kation Sr semakin besar. Dengan semakin besar nilai δ, maka semakin berkurang oksigen yang menyebabkan defesiensi oksigen semakin besar. Dengan defesiensi oksigen yang semakin besar mengakibatkan volume sel semakin kecil dengan bertambahnya komposisi Sr. Pada Gambar IV. 6 di bawah ini memperlihatkan grafik hubungan antara volume sel untuk senyawa LSFO (1), LSFO (2), LSFO (3), LSFO (4) dan LSFO (5) dengan seiring dengan bertambahnya nilai (x). 400 350 Volume sel (A 3 ) 300 250 200 150 100 50 0 0,2 0,4 0,5 0,6 0,8 komposisi x Gambar IV.6 Grafik volume sel senyawa LSFO 1 (x = 0,2), LSFO 2 (x = 0,4), LSFO 3 (x = 0,5), LSFO 4 (x = 0,6) dan LSFO 5 (x = 0,8) terhadap bertambahnya nilai (x). Dari Tabel IV.2 memperlihatkan nilai R p dan R wp dari senyawa perovskit LSFO (3), LSFO (4) dan LSFO (5) <10% dengan masing-masing nilai Z = 6. Hal ini berarti senyawa-senyawa perovskit tersebut yang telah disintesis, menunjukkan kecocokan struktur antara data hasil pengamatan sinar-x dengan hasil kalkulasi. Pada hasil refinement terhadap senyawa-senyawa perovskit tersebut masih mengandung zat pengotor dengan intensitas yang relatif kecil. Adapun zat pengotor yang terdapat pada senyawa perovskit LSFO (1), LSFO (2), LSFO (3), LSFO (4) dan LSFO (5) terdapat pada Tabel IV.3 berikut ini.

Tabel IV. 3 Zat Pengotor pada Senyawa Hasil Sintesis La 1-x Sr x FeO 3-δ Senyawa Hasil Sintesis Zat Pengotor Daerah 2Ө LSFO 1 (x = 0,2) La 4 Sr 3 O 9 44 o LSFO 2 (x = 0,4) La 4 Sr 3 O 9 44 o LSFO 3 (x = 0,5) La 4 Sr 3 O 9 44 o LSFO 4 (x = 0,6) La 2 Sr 2 O 5 La 4 Sr 3 O 9 Fe 2 O 3 38 o 44 o 64 o LSFO 5 (x = 0,8) La 4 Sr 3 O 9 La 2 Sr 2 O 5 Fe 2 O 3 42, 44 o 67 o 78 o Pada Tabel IV.3 menunjukkan bahwa zat pengotor yang terdapat pada senyawa LSFO adalah berupa La 4 Sr 3 O 9, La 2 Sr 2 O 5, dan Fe 2 O 3. Hal ini menunjukkan bahwa zat-zat pengotor tersebut adalah logis karena mengandung unsur-unsur yang terdapat pada senyawa LSFO. Setelah melakukan refinement pada senyawa LSFO, kemudian dilakukan refinement pada senyawa LSCFO dengan x = 0,1; 0,3 dan 0,5 (Gambar IV.7). Dari hasil refinement yang telah dilakukan, kemudian ditentukan parameter selnya untuk mengetahui nilai a, b, c, Z, R p dan R wp, sistem kristal dan grup ruang serta nilai volume sel dari senyawa LSCFO dengan berbagai konsentrasi yang terdapat pada Tabel IV.4.

a b c Gambar IV.7 Plot Le Bail LSCFO 6 (a), LSCFO 7 (b), dan LSCFO 8 (c). Keterangan garis dapat dilihat pada keterangan Gambar IV. 4.

Tabel IV. 4 Parameter Sel dari La 1-x (Sr,Ca) x FeO 3-δ Parameter Sel LSCFO (6) (x = 0,1) LSCFO (7) (x = 0,3) LSCFO (8) (x = 0,5) Sistem Kristal Ortorombik Ortorombik Ortorombik Grup Ruang Pbnm Pbnm Pbnm a (Ǻ) 5,5517(2) 5,5084(8) 5,463(2) b (Ǻ) 5,5226(1) 5,513(3) 5,492(1) c (Ǻ) 7,7893(5) 7,795(2) 7,803(1) V (Ǻ 3 ) 238,82(2) 236,7(1) 234,1(1) R p (%) 2,35 2,67 2,19 R wp (%) 3,07 4,25 3,06 Z 4 4 4 Pada Tabel IV. 4, senyawa LSCFO (6), LSCFO (7) dan LSCFO (8) menunjukkan tidak ada perubahan sistem kristal yaitu berupa ortorombik dengan grup ruangnya adalah Pbnm. Sistem kristal yang dimiliki oleh senyawa perovskit LSCFO ini sama halnya dengan sistem kristal yang dimiliki oleh senyawa perovskit LaFeO 3 (lantanum ferit). Jika dilihat dari nilai parameter sel a, b, dan c, volume sel senyawa LSCFO (3), LSCFO (4) dan LSCFO (5) mengalami pengurangan seiring dengan bertambahnya komposisi x yang berupa ion logam stronsium (Sr 2+ ) dan kalsium (Ca 2+ ). Hal ini sama halnya dengan senyawa LSFO, volume sel semakin kecil dengan bertambahnya nilai x, kemungkinan disebabkan adanya defisiensi pada oksigen yang kekurangan elektron. Defiesiensi ini kemungkinan disebabkan adanya komposisi dari Sr dan Ca yang semakin bertambah yang menyebabkan parameter stoikiometri oksigen (δ) semakin besar sehingga mengakibatkan muatan kation semakin besar pula. Dengan semakin besar nilai δ, maka semakin banyak berkurangnya oksigen yang menyebabkan terjadinya defesiensi oksigen semakin besar. Hal ini yang membuat volume sel pada LSCFO semakin kecil seiring dengan bertambahnya nilai x. Pada Gambar IV.8 berikut ini, memperlihatkan pengaruh bertambahnya nilai x terhadap volume sel dari senyawa LSCFO.

volume sel (A 3 ) 240 239 238 237 236 235 234 233 232 231 0,1 0,3 0,5 komposisi x Gambar IV. 8 Grafik volume sel senyawa LSCFO 6 (x = 0,1), LSCFO 7 (x = 0,3) dan LSCFO 8 (x = 0,5) terhadap komposisi ion stronsium dan kalsium (x). Dengan meningkatnya komposisi x menyebabkan volume sel semakin kecil. Pada hasil refinement dari senyawa LSCFO dengan berbagai komposisi, diperoleh harga R p (%) dan R wp (%) < 10% dengan masing-masing Z = 4. Hal ini menunjukkan kecocokan struktur antara data hasil pengamatan difraksi sinar-x dengan hasil kalkulasi. Dari hasil refinement ini juga dapat diidentifikasi zat pengotor yang terdapat pada senyawa LSCFO. Pada Tabel IV. 5 berikut ini memperlihatkan beberapa zat pengotor yang terdapat pada senyawa LSCFO. Tabel IV.5 Zat pengotor pada Senyawa Hasil Sintesis La 1-x (Sr,Ca) x FeO 3-δ Senyawa Hasil Sintesis Zat Pengotor Daerah 2Ө LSCFO 6 (x = 0,1) La 4 Sr 3 O 9 31 o Fe 2 O 3 24 o LSCFO 7 (x = 0,3) La 4 Sr 3 O 9 31, 42, 44 o Fe 3 O 4 53 o CaO 37 o LSCFO 8 (x = 0,5) La 4 Sr 3 O 9 31, 42, 44 o CaO 37 o

IV.2 Hasil Analisis SEM/EDX Pengamatan bentuk morfologi dan analisa komposisi unsur dalam senyawa yang disintesis dilakukan dengan Scanning Electron Microscope (SEM) yang dilengkapi dengan Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy (EDX). Adapun hasil SEM seperti pada Gambar IV. 9 di bawah ini. (a) (b) (c) (d) (e) (f) Gambar IV.9 Gambar SEM dari a) LSFO (1), b) LSFO (3), c) LSFO (5), d) LSCFO (6), e) LSCFO (7), dan f) LSCFO (8) dengan perbesaran 10.000X.

Dari gambar SEM terlihat semua senyawa LSFO dan LSCFO memiliki morfologi kristal yang sangat berbeda. Pada senyawa LSFO (5) dengan x = 0,8 memiliki morfologi kristal yang lebih homogen daripada senyawa LSFO (1) dengan x = 0,1 dan LSFO (3) dengan x = 0,5. Morfologi kristal dari LSFO (5) dengan x = 0,8 lebih homogen karena ukuran kristal yang hampir sama dan merata serta penambahan komposisi ion Sr 2+ yang semakin besar. Pada senyawa LSCFO, yang memiliki morfologi kristal yang lebih homogen adalah senyawa LSCFO (8) dengan x = 0,5 daripada LSCFO (7) dengan x = 0,3 dan LSCFO (6) dengan x = 0,1. Hal ini disebabkan karena penambahan komposisi ion Sr 2+ dan Ca 2+ yang semakin besar. Bila dibandingkan ukuran butiran antara senyawa LSFO dan LSCFO, maka ukuran butiran LSCFO lebih kecil daripada LSFO seiring dengan penambahan komposisi ion Sr 2+ dan Ca 2+. Untuk mengetahui penambahan komposisi unsur stronsium (Sr) dalam senyawa LSFO dan komposisi unsur stronsium (Sr), kalsium (Ca) pada senyawa LSCFO, diperoleh dari data EDX. Pada Tabel IV.6 memperlihatkan perbandingan komposisi massa unsur-unsur dalam senyawa LSFO dan LSCFO berdasarkan kalkulasi dan pengukuran EDX. Data EDX menunjukkan terjadinya kenaikan % massa unsur Sr pada senyawa LSFO dan % massa unsur Sr dan Ca pada senyawa LSCFO setelah penyisipan serta berkurangnya % massa unsur La baik pada senyawa LSFO dan LSCFO. Terjadi perbedaan % massa dari data pengamatan dan data perhitungan, hal ini diperkirakan karena adanya error pada alat yang digunakan saat melakukan pengukuran. Bila dilihat dari perbandingan komposisi Sr sebagai dopan antara % massa kalkulasi pada senyawa LSFO dengan % massa pengukuran memiliki perbedaan yang relatif kecil. Hal ini berarti, komposisi Sr dalam LSFO belum disisipi semua pada posisi La. Hal ini disebabkan kemungkinan komposisi Sr yang tidak tersisipi karena terbentuknya zat pengotor. Jadi massa unsur La, Sr dan Fe yang tidak sesuai dengan massa kalkulasi disebabkan mengalami dekomposisi membentuk zat lain yaitu zat pengotor. Untuk data EDX LSCFO, menunjukkan perbedaaan yang cukup besar antara % massa kalkulasi dengan % massa perhitungan terutama pada Sr dan Ca sebagai dopan dengan x = 0,1 dan 0,3. Hal

ini kemungkinan massa Sr dan Ca yang tidak tersisipi dalam senyawa LSCFO mengalami dekomposisi membentuk zat lain yaitu berupa zat pengotor. Tabel IV.6 Perbandingan komposisi massa unsur-unsur dalam senyawa La 1-x Sr x FeO 3-δ dan La 1-x (Sr,Ca) x FeO 3-δ berdasarkan kalkulasi dan pengukuran EDX. Senyawa LSFO 1(x = 0,2) LSFO 3 (x = 0,5) LSFO 5 (x = 0,8) LSCFO 6 (x = 0,1) LSCFO 7 (x = 0,3) LSCFO 8 (x= 0,5) Unsur La Sr Fe La Sr Fe La Sr Fe La Sr Ca Fe La Sr Ca Fe La Sr Ca Fe Massa Kalkulasi (%) 47,83 7,53 24,02 29,89 18,84 24,02 11,95 30,14 24,02 51,74 3,63 1,66 23,11 39,09 11,26 5,15 23,11 29,28 18,47 8,45 23,11 Massa Pengukuran (%) 52,73 5,21 24,87 35,49 18,31 28,54 15,57 33,92 32,36 56,01 2,51 0,84 23,45 42,53 9,64 3,94 25,71 31,99 15,45 8,12 25,54 Error (%) 0,60 0,48 0,45 0,82 0,59 0,59 0,98 0,61 0,68 0,74 0,60 0,26 0,56 1,07 0,80 0,37 0,79 0,78 0,53 0,27 0,56 IV. 3 Hasil Pengukuran Konduktivitas Listrik Pengukuran konduktivitas listrik dilakukan dengan menggunakan metode 4 titik (four point probes method). Pengukuran dilakukan pada sampel dengan ketebalan sekitar 0,1 cm dengan jarak masing-masing elektroda sekitar 0,3-0,4 cm. Rentang suhu pengukuran dilakukan antara suhu 51-375 o C. Dari data pengukuran, akan dilakukan plot antara suhu (K) dengan nilai konduktivitas (σ). Plot pengukuran

konduktivitas listrik pada senyawa LSFO dan LSCFO menghasilkan grafik seperti pada Gambar IV. 10 berikut ini. a b Gambar IV.10 Grafik konduktivitas listrik senyawa LSFO (a) dan LSCFO (b). Dari gambar IV.10 menunjukkan bahwa konduktivitas tertinggi pada senyawa LSFO dengan x = 0,2 dan LSCFO dengan x = 0,1. Jika dilihat dari nilai konduktivitas yang dihasilkan pada LSFO dan LSCFO menunjukkan nilai konduktivitasnya kecil dan dapat digolongkan bahwa senyawa LSFO ini dalam berbagai komposisi termasuk senyawa yang bersifat semikonduktor. Hal ini diketahui bahwa batas nilai konduktivitas untuk material semikonduktor adalah

10-5 -10 2 S/cm 1). Untuk senyawa LSCFO dengan nilai x = 0,1 termasuk senyawa bersifat konduktor. Hal ini diketahui bahwa batas nilai konduktivitas untuk material bersifat konduktor adalah 10 3-10 5 S/cm 1). Untuk senyawa LSCFO dengan x = 0,3 dengan nilai konduktivitasnya adalah 103,1207 S/cm termasuk senyawa yang bersifat semikonduktor sedangkan LSCFO dengan x = 0,5 memiliki nilai konduktivitas yang sangat kecil yaitu 3,9.10-6 S/cm menujukkan senyawa tersebut bersifat isolator. Material yang bersifat isolator apabila material memiliki batas nilai konduktivitas yaitu < 10-12 S/cm 1). Pada gambar IV.10 menunjukkan bahwa nilai konduktivitas tertinggi baik senyawa LSFO maupun LSCFO terdapat pada temperatur tertinggi yaitu 638 K. Hal ini disebabkan karena konduktivitas terjadi hanya pada temperatur yang tinggi yang mengakibatkan konsentrasi cacat kristal menjadi semakin besar sehingga ion-ion oksida memiliki cukup energi termal untuk dapat berpindah/mengalami aktivasi. Nilai konduktivitas dan energi aktivasi dari LSFO dan LSCFO terdapat pada tabel IV.7 berikut ini. Tabel IV.7 Nilai konduktivitas dan energi aktivasi LSFO dan LSCFO Senyawa σ (S/cm) Ea (ev) La 0,8 Sr 0,2 FeO 3-δ 54,872 0,2912.10-5 La 0,6 Sr 0,4 FeO 3-δ 6,0964 0,1818.10-5 La 0,5 Sr 0,5 FeO 3-δ 0,0203 0,2835.10-5 La 0,4 Sr 0,6 FeO 3-δ 5,2640 0,1629.10-5 La 0,2 Sr 0,8 FeO 3-δ 0,9335 0,6774.10-1 La 0,9 Sr 0,1 Ca 0,1 FeO 3-δ 5721,0063 1,4234.10-1 La 0,7 Sr 0,3 Ca 0,3 FeO 3-δ 103,1207 1,6228.10-1 La 0,5 Sr 0,5 Ca 0,5 FeO 3-δ 3,9.10-6 0,0916.10-1 Pada Tabel IV.7 menunjukkan nilai konduktivitas yang tertinggi dari kedua senyawa adalah LSCFO dengan x = 0,1. Dengan nilai konduktivitas yang tinggi akan memiliki nilai energi aktivasi yang kecil sehingga ion-ion tersebut dalam senyawa dapat melakukan migrasi dengan mudah. Pada umumnya, dengan melakukan penyisipan (doping) dan bertambahnya komposisi dopan dalam suatu

senyawa diharapkan dapat meningkatkan konduktivitas. Hal ini dapat dilihat pada tabel IV.7, bahwa senyawa LSCFO yang disisipi dengan stronsium dan kalsium memiliki konduktivitas yang lebih tinggi daripada senyawa LSFO yang disisipi dengan stronsium saja. Pada penambahan komposisi dopan memperlihatkan nilai konduktivitas yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Untuk senyawa LSFO, diharapkan senyawa LSFO dengan x = 0,8 memiliki nilai konduktivitas tertinggi tetapi dalam hasil penelitian memperlihatkan nilai konduktivitas tertinggi terdapat pada senyawa LSFO dengan x = 0,2. Sedangkan senyawa LSCFO, diharapkan dengan x = 0,5 memiliki nilai konduktivitas tertinggi tetapi pada hasil penelitian menujukkan nilai konduktivitas tertinggi dengan x = 0,1. Hal ini disebabkan kemungkinan faktor dari defesiensi oksigen yang mengakibatkan muatan pada kationnya semakin besar. Faktor lain yang dapat mempengaruhi konduktivas adalah morfologi permukaan senyawa LSFO dan LSCFO. LSCFO dengan x = 0,1 memiliki nilai konduktivitas tertinggi karena memiliki morfologi yang cukup baik, karena jarak antara partikel-partikel sudah mengalami penyatuan (sintering). Sedangkan LSCFO memiliki konduktivitas yang sangat kecil karena memiliki rongga-rongga kosong antarpartikel. Hal ini sangat mempengaruhi nilai konduktivitasnya karena migrasi ion-ion yang terjadi akan semakin lambat sehingga diperlukan energi termal yang cukup besar untuk dapat berpindah/mengalami aktivasi.