BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. LANDASAN TEORI 1. Perilaku Kewarganegaraan Organisasional (Organizational Citizenship Behavior) a. Pengertian Perilaku Kewarganegaraan Organisasional Definisi menurut Organ (1988) Perilaku Kewarganegaraan Organisasional (PKO)adalahperilaku individu yang dilakukannya secarasukarela, tidak berhubungan langsung dengansistem penghargaan (reward) dan secara keseluruhan dapat mendukung efektivitasdan efisiensi fungsi organisasi. Demikian pula pengertian PKO menurut Appelabaum et al. (2004) yaitu sebagai perilaku karyawan yang dilakukan secara bebas yang tidak termasuk dalam job requirement karyawan, meskipun demikian perilaku tersebut meningkatan efektivitas fungsi organisasi. Sedangkan pengertian PKO menurut Robbins (2006) adalah perilaku pilihan yang tidak menjadi bagian dari kewajiban kerja formal, namun mendukung berfungsinya organisasi tersebut secara efektif. PKO juga didefinisikan sebagai perilaku individu yang sifatnya functional, pro social, extra-role yang diarahkan atau ditujukan kepada individu, kelompok dan atau organisasi (Schnake, 1991 dalam Alotaibi, 2003). Menurut Wright (dalam Rachmawati, 2000) bahwa elemen penting yang perlu 12
diperhatikan dalam organisasi adalah perilaku di luar aturan formal organisasi (extra-role). Dibandingkan dengan perilaku inrole, yaitu melakukan pekerjaan sesuai dengan tugas yang ada dalam job description, yang dihubungkan dengan penghargaan ekstrinsik atau penghargaan moneter, maka perilaku extra-role lebih dihubungkan dengan pehargaan intrinsik. Perilaku ini mucul karena perasaan sebagai anggota organisasi dan merasa puas apabila dapat melakukan sesuatu yang lebih kepada organisasi. b. Dimensi Perilaku Kewarganegaraan Organisasional (PKO) Dimensi Perilaku Kewarganegaraan Organisasional (PKO) yang banyak dikenal dan banyak digunakan dalam penelitian adalah dimensi PKO yang dikemukakan oleh Organ (1988) adalah: 1) Altruism yaitu perilaku membantu rekan kerja dalam menyelesaikan pekerjaannya, misalnya bersedia secara sukarela membantu rekan kerja yang kurang paham dan rekan kerja baru, membantu rekan kerja yang mendapat pekerjaan overload, mengerjakan pekerjaan rekan kerja yang tidak masuk. 2) Courtesy yaitu perilaku untuk terjadinya masalah yang berkaitan dengan hubungan pekerjaan, misalnya mendorong rekan kerja yang bekerja malas-malasan. 3) Sportmanship yaitu perilaku menerima kondisi atau keadaan yang tidak menyenangkan dan kurang ideal, misalnya tidak suka mengeluh secara picik, tidak suka melalaikan realitas. 13
4) Civic virtue yaitu perilaku tanggungjawab untuk berpartisipasi dalam aktivitas kehidupan perusahaan, misalnya menghadiri pertemuan yang tidak diperlukan bagi dirinya tetapi bermanfaat bagi perusahaan, bersedia mengikuti atau mentaati perubahan-perubahan yang terjadi dalam perusahaan, memiliki inisiatif untuk meningkatkan produktivitas perusahaan. 5) Conscientiousness atau generalized compliance yaitu dedikasi untuk bekerja dan mencapai hasil di atas standar yang ditetapkan, misalnya bekerja sepanjang hari, tidak membuang-buang waktu, mentaati semua peraturan perusahaan, secara sukarela bersedia melakukan pekerjaan yang tidak menjadi tanggungjawabnya. 2. Keadilan Organisasional (Organizational Justice) a. Definisi Keadilan Organisasional(Organizational Justice) Teori keadilan organisasional pada awalnya berasal dari teori kesamaan dikembangkan oleh Adams pada tahun 1965 (dalam Greenberg, 1990) mengemukakan bahwa setiap karyawan akan membandingkan rasio input dan out comes yang diterimanya serta membandingkan out comes yang diterimanya dengan out comes dari comparison persons. Apabila tercapai perimbangan antara input dan out comes serta comparison persons maka out comes bisa dikatakan adil. 14
Penjelasan ini sering dikenal dengan teori keadilan (equity theory). Dalam teori keadilan, setiap individu membandingkan masukan dan keluaran yang ia lakukan dengan masukan dan keluaran pekerja yang lain. Perbandingan tersebut kemudian menimbulkan persepsi, seberapa tinggi tingkat keadilan organisasional yang dia dapatkan dari organisasi. (Robbins, 2006). Berdasarkan teori keadilan tersebut, maka ketika karyawan mempersepsikan adanya ketidakadilan, mereka dapat diprediksi melakukan salah satu dari enam pilihan (Robbins, 2006), yaitu: 1) Merubah input yang bersedia diberikan kepada organisasi. 2) Merubah hasil pekerjaan. 3) Persepsi yang keliru mengenai apa yang telah dilakukan. 4) Salah persepsi terhadap apa yang dilakukan orang lain. 5) Memilih sumber rujukan orang yang lain. 6) Meninggalkan pekrjaan tersebut. Keadilan organisasional berfokus pada bagaimana para pekerja menyimpulkan apakah mereka telah diperlakukan secara adil dalam pekerjaannya dan bagaimana kesimpulan tersebut kemudian mempengaruhi variabel-variabel lain yang berhubungan dengan pekerjaan (Moorman, 1991). Greenberg (1990) mengatakan keadilan organisasional merupakan sebuah konsep yang menyatakan persepsi karyawan mengenai sejauh mana mereka diperlakukan secara wajar, dalam organisasi dan 15
bagaimana persepsi tersebut mempengaruhi hasil organisasi seperti komitmen dan kepuasan. Secara lebih lanjut, penelitian pada persepsi keadilan organisasional yang berfokus pada peran keadilan di tempat kerja telah menunjukkan bahwa persepsi keadilan organisasional sangat mempengaruhi sikap para pekerja seperti kepuasan kerja, turnover intentions dan komitmen organisasional dan juga perilaku kerja seperti absensi dan perilaku kewarganegaraan organisasional (Bhakshi, Kumar, dan Rani, 2009). b. Dimensi Keadilan Organisasional(Organizational Justice) Dimensi Keadilan Organisasional (Organizational Justice), fokus pada tiga dimensi utama untuk menilai keadilan organisasional: hasil, proses, dan interaksi interpersonal (Luthans, 2006). Dimensi-dimensi tersebut adalah sebagai berikut: 1) Keadilan yang berkaitan dengan kewajaran atau keadilan alokasi hasil disebut keadilan distributif (Greenberg, 1990). Keadilan Distributif (distributive justice), merupakan persepsi karyawan mengenai keadilan dan kelayakan dalam jumlah ataupun alokasi imbalan yang ia dapatkan bila dibandingkan dengan apa yang telah ia keluarkan ataupun dibandingkan dengan karyawan lain. Dimensi ini didasarkan dari equity theory yang dikemukakan oleh Adams pada tahun 1965, bahwasannya setiap karyawan akan membandingkan rasio input dan out comes yang diterimanya serta 16
membandingkan out comes yang diterimanya dengan out comes dari comparison persons. Apabila tercapai perimbangan antara input dan out comes serta comparison persons maka out comes bisa dikatakan adil. 2) Kedua adalah penilaian keadilan organisasional mengacu pada proses elemen, dan disebut keadilan prosedural. Keadilan prosedural mengacu pada keadilan proses di mana keputusan diambil (Konovsky, 2000). Keadilan Prosedural (procedural justice), merupakan persepsi karyawan mengenai keadilan dan kelayakan prosedur-prosedur yang digunakan untuk mengalokasikan distribusi imbalan dan keputusan-keputusan yang ia dapatkan. 3) Ketiga adalah penilaian keadilan terhadap hubungan interpersonal disebut sebagai keadilan interaksional. Dalam studi ini, penggunaan teori keadilan organisasional mengacu pada Greenberg (1990) bahwa keadilan organisasional merupakan pandangan anggota organisasi terhadap keadilan dalam mendistribusikan sumber daya yang tersedia. Teori ini digunakan sebagai garis besar karyawan untuk mengevaluasi keadilan dari tiga klasifikasi peristiwa (Greenberg, 1990), yaitu: (1) keadilan distributif (hasil yang mereka terima dari organisasi), (2) keadilan prosedural (kebijakan formal atau proses dalam mencapai sesuatu yang telah dialokasikan oleh organisasi), (3) keadilan interaksional 17
(pendekatan yang diambil oleh pengambil keputusan dalam organisasi antarpribadi). 3. Komitmen Organisasional (Organizational Commitment) a. Definisi Komitmen Organisasional (Organizational Commitment) Menurut Luthans (2006) mendefinisikan komitmen organisasional sebagai (1) keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu, (2) keinginan untuk berusaha keras sesuai dengan keinginan organisasi, dan (3) keyakinan kuat dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi. Secara lebih lanjut komitmen organisasional merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan di mana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan (Luthans, 2006). b. Fokus Komitmen Dengan meningkatnya popularitas konsep komitmen, dalam beberapa tahun terakhir peneliti telah mengalihkan perhatian mereka ke beberapa komitmen (Becker, 1992). Selain organisasi sebagai fokus komitmen, beberapa (foci) fokus lainnya telah disarankan, yang meliputi pekerjaan, manajemen puncak, supervisor, rekan kerja, unit kerja dan pelanggan (Becker, 1992; Becker commit & Billings, to user 1993). 18
c. Komitmen pada Supervisor (Commitment to Supervisor) Di antara fokus (foci) komitmen, supervisor merupakan foci paling penting bagi karyawan. Supervisor bertindak sebagai agen dari organisasi, supervisor sering berinteraksi dengan karyawan setiap hari, memberlakukan prosedur formal dan informal, menyelenggarakan kegiatan dan yang paling penting melayani sebagai administrator penghargaan kepada bawahan (Farh, Podsakoff, & Organ, 1990). Cheng (1995) menjelaskan bahwa komitmen/ loyalitas kepada supervisor yaitu menerima tujuan/ nilai-nilai supervisor, setia dan bersedia untuk mengerahkan usaha ekstra, serta menunjukkan dedikasi tanpa ragu. Sedangkan Lee (1992) menemukan bahwa karyawan yang loyal kepada supervisor cenderung teliti, antusias pekerjaan mereka, dan bersedia untuk mematuhi keputusan supervisor. Selain menurutbecker et al. (1996) dan Gregersen (1993) yang fokus dalam komitmen kepada supervisor berdasarkan pada dua dimensi, yaitu: identifikasi dengan supervisor dan internalisasi nilai-nilai supervisor. Chen et al. (2002) dengan menambah 3 dimensi pada supervisor yaitu, dedikasi pada supervisor, usaha ekstra untuk supervisor, dan keterikatan pada supervisor. Sehingga Chen et al. (2002) mengusulkan lima dimensi untuk konstruksi ini, meliputi: 19
1. Identifikasi, terjadi ketika seorang bawahan mengagumi sifat tertentu dari supervisor, seperti sikap dan perilaku supervisor, kepribadian atau prestasi. Mereka mungkin merasa bangga dikaitkan dengan supervisor yang memiliki sifat yang dihormati (penyebab loyalitas). 2. Internalisasi, terjadi ketika bawahan mengadopsi sikap dan perilaku supervisor karena sikap dan perilaku supervisor sesuai dengan nilai sistem bawahan, dengan kata lain, nilainilai bawahan dan atasannya serupa. 3. Kesediaan untuk mendedikasikan kepada supervisor atau mencari dan mempromosikan kesejahteraan supervisor dengan mengorbankan kepentingan pribadi; 4. Kemauan untuk mengerahkan upaya ekstra atas nama supervisor, dan 5. Keinginan harus dekat atau mengikuti supervisor. 20
B. HIPOTESIS 1. Pengaruh Keadilan Organisasional pada Perilaku Kewarganegaraan Organisasional (PKO) Hubungan keadilan organisasional pada PKO secara teoretis berakar pada teori ekuitas (Adams, 1965) yang menyatakan bahwa karyawan mengevaluasi situasi kerjanya dengan membandingkan secara kognitif masukan mereka kepada organisasi dengan hasil yang mereka terima sebagai imbalan. Jika karyawan merasa bahwa organisasi tersebut memperlakukan mereka dengan adil, maka mereka cenderung untuk membalas organisasi dengan terlibat dalam perilaku kewarganegaraan organisasional.tampaknya, bagaimanapun bahwa bentuk kepastian atau keadilan memprediksi PKO lebih baik daripada yang lain.ketika hasil yang diterima individu dirasa adil, hal tersebut adalah sinyal bahwa kemampuan individu dihargai oleh organisasi (Moon et al., 2008). Ketika seseorang dianggap sebagai anggota yang dihargai dari sebuah organisasi, dia lebih cenderung menunjukkan perilaku yang membantu organisasi untuk mencapai tujuannya sebagai bentuk pertukaran sosial (Eisenberger et al., 1990). Beberapa peneliti (Farh et al, 1997;. George, 1991) menemukan bahwa keadilan distributif berkorelasi positif dengan PKO. Menurut Skarlicki dan Folger (1997), konsekuensi dari keadilan prosedural dapat mencakup perilaku yang menguntungkan seperti komitmen organisasional, kepercayaan dalam pemerintahan, 21
kepuasan, dan perilaku warga organisasi. Selain itu, perilaku warga organisasi terus telah terbukti menjadi konsekuensi dari keadilan prosedural (Folger dan Konovsky, 1989; Moornan, 1999). Selain itu, jika karyawan mempercayai bahwa prosedur yang digunakan dalam alokasi hasil organisasi adil, mereka akan merasa puas dan lebih untuk terlibat dalam perilaku PKO (Konovsky dan Pugh, 1994) Ketika karyawan percaya bahwa mereka sedang diperlakukan tidak adil oleh organisasi atau atasan mereka, mereka akan percaya bahwa pertukaran sosial telah dilanggar. Jika karyawan tersebut merasa bahwa kerugian yang didapat dalam hubungan melebihi manfaat yang diperoleh, mereka cenderung menarik diri dari hubungan tersebut. Penarikan ini bisa datang dalam bentuk kinerja yang lebih rendah (Cowherd, Levine, dalam Erkutlu 2011), perilaku menyimpang (Skarlicki et al., 1999) dan mengurangi citizenship behavior (Konovsky, Pugh & Moorman dalam Erkutlu 2011). Ketika karyawan merasa lingkungan kerja yang adil, kemungkinan besar mereka akan merespon sesuai dengan pertukaran sosial dan melakukan PKO yang lebih (Erkutlu 2011). H1a. Keadilan Distributif berpengaruh positif signifikan pada Perilaku Kewarganegaraan Organisasional H1b. Keadilan Prosedural berpengaruh positif signifikan pada Perilaku Kewarganegaraan Organisasional 22
2. Pengaruh Keadilan Organisasional pada Komitmen pada dosen Penelitian pada persepsi keadilan organisasional (keadilan distributif dan keadilan prosedural) yang berfokus pada peran keadilan di tempat kerja telah menunjukkan bahwa persepsi keadilan organisasional (keadilan distributif dan keadilan prosedural) sangat mempengaruhi sikap para pekerja seperti kepuasan kerja, turnover intentions dan komitmen (Bhakshi, Kumar, dan Rani, 2009). Tang dan Sarsfield-Baldwin (1996) menyimpulkan bahwa individu-individu yang mempersepsikan adanya keadilan distributif dalam organisasi tempat ia bekerja, akan memperlihatkan komitmen tinggi. Konovsky (2000) mencatat bahwa penggunaan praktik prosedural yang adil akan mempengaruhi motif tingkat tinggi karyawan seperti komitmen karena penggunaan prosedur yang adil menunjukkan bahwa pihak berwenang dalam organisasi menghormati martabat dan hak setiap karyawan. Ketika individu merasa bahwa mereka mendapatkan perlakuan dari organisasi dengan jujur, rasa hormat, dan keterbukaan, mereka merasa lebih loyal kepada supervisor/ atasan mereka dan dengan demikian akan menampilkan perilaku yang lebih kooperatif (Becker, Billings & Masterson dalam Manrique 2008 ), sedangkan penelitian menurut Lind dan Tyler, (1988) yang menyatakan bahwa penggunaan prosedur yang adil dalam pengambilan keputusan memberikan bukti nyata kepedulian dan perhatian dari organisasi untuk kesejahteraan karyawan, hal ini, 23
pada gilirannya, memotivasi karyawan untuk melanjutkan hubungan mereka dengan organisasi atau atasan mereka saat ini. H2a. Keadilan Distributif berpengaruh positif signifikan pada komitmen pada dosen H2b. Keadilan Prosedural berpengaruh positif signifikan pada komitmen pada dosen 3. Pengaruh Komitmen pada dosen terhadap Perilaku Kewarganegaraan Organisasional Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa variabel psikologis anteseden hasil sikap dan perilaku (O'Reilly, Chatman, & Williams, Anderson dalam Jun Jo 2011) menemukan hubungan positif antara kinerja dan perilaku keterikatan emosional. Mengingat bahwa keterikatan psikologis melibatkan hubungan individu dan anggota sosial lainnya, yang akan berpengaruh positif terhadap perilaku menguntungkan bagi organisasi. Sebuah meta-analisis oleh Organ dan Ryan (1995) menunjukkan bahwa komitmen berkorelasi dengan altruisme dan kepatuhan yang merupakan dimensi dari PKO. Becker (1992), yang menemukan bahwa fokus (foci) komitmen selain organisasi (manajemen puncak, supervisor, kelompok kerja), sebagai satu set yang menjelaskan varians dalam PKO. Dengan demikian, ada beberapa dukungan untuk gagasan bahwa perhatian ke beberapa 24
fokus komitmen juga dapat mengklarifikasi dan meningkatkan pemahaman tentang peran komitmen karyawan dalam performance PKO. H3. Komitmen pada dosen berpengaruh positif dan signifikan pada PKO 4. Pengaruh Mediasi Komitmen pada dosen terhadap hubungan antara keadilan organisasional dan PKO Kebanyakan penelitian tentang PKO telah difokuskan pada anteseden individual. Para peneliti menyatakan bahwa ada hubungan antara PKO dan keadilan organisasional (Moorman, 1991; Skarlicki & Latham, 1996), kepuasan kerja, komitmen dan komitmen organisasional (O'Reilly & Chatman, 1986; Organ, 1990). Menurut Chen (2002) dalam konteks cina, komitmen/ loyalitas pada supervisor juga dapat dikaitkan dengan keinginan untuk membalas individu lain atas perilaku yang telah diberikan (diasumsikan sebagai keadilan yang diterima oleh bawahan), sehingga menimbulkan dedikasi pada supervisor karena norma sosial, dan menunjukkan peran kewajiban dengan bersedia untuk mengerahkan usaha ekstra. Penelitian yang dilakukan oleh Mariam (2007) kepada karyawan bea cukai di Uganda menyatakan bahwa terdapat 25
hubungan positif antara dimensi keadilan organisasional (distributif dan prosedural) dengan komitmen, sedangkan menurut Lowe dan Vodanovich (1995) dan Greenberg (1994) yang menemukan hubungan kuat antara keadilan distributif dan komitmen, sedangkan Masterson, Lewis, et al (2000) menemukan keadilan prosedural menjadi prediktor kuat dari komitmen daripada keadilan interaksional. Penelitian yang dilakukan olehwilliams & Anderson (1991) dan referensi Weiner (1982) mendukung komitmen dalam memprediksi PKO, hal tersebut diperkuat oleh Gregersen (1993) yang menemukan hubungan antara komitmen pada supervisor dan perilaku extra-role lebih baik daripada hubungan antara komitmen organisasional dan perilaku extra-role. Menurut Scholl (1981) mendefinisikan komitmen dalam hal hubungan keadilan pada PKO: "menstabilisasi kekuatan yang bertindak untuk menjaga arah perilaku ketika harapan / kondisi ekuitas tidak terpenuhi dan tidak berfungsi. Hal tersebut juga diperkuat oleh Karriker (2005) berpendapat bahwa komitmen akan berfungsi untuk mempertahankan fokus individu pada organisasi sebagai reaksi dari perilaku persepsi keadilan, sehingga komitmen memediasi hubungan antara keadilan distributif, keadilan prosedural dan PKO. 26
Dengan adanya temuan tersebut mengindikasikan pengaruh keadilan organisasional pada komitmen (Mariam, 2007; Lowe & Vodanovich, 1995; Greenberg, 1994) dan pengaruh komitmen padaperilaku kewarganegaraan organisasional (Gregersen, 1993; Williams & Anderson, 1991; Weiner 1982)bahwa komitmen pada supervisor memediasi pengaruh keadilan organisasional (keadilan distributif dan keadilan prosedural) pada perilaku kewarganegaraan organisasional (PKO). H4a. Komitmen pada dosen memediasi pengaruh keadilan distributif pada Perilaku Kewarganegaraan Organisasional. H4b. Komitmen pada dosen memediasi pengaruh keadilan prosedural pada Perilaku Kewarganegaraan Organisasional. 27
C. KERANGKA PEMIKIRAN H1a Keadilan Organisasional Keadilan Distributif Keadilan Prosedural H2a H2b H4a, H4b Komitmen pada Dosen H3 H3 Perilaku Kewarganegaraan Organisasional H1b Gambar 1. Kerangka Pemikiran Sumber: Organizational Justice, Organizational Commitment and Trust in Manager as predictor of Organizational Citizenship Behavior (Sjahruddin & Armanu, 2013) Variabel independen : Keadilan distributif dan Keadilan prosedural Variabel dependen : Perilaku Kewarganegaraan Organisasional Variabel mediator : Komitmen pada dosen Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, dapat diketahui bahwa penelitian ini akan menguji pengaruh keadilan organisasional (keadilan distributif dan keadilan prosedural) pada Perilaku Kewarganegaraan Organisasional dengan mediasi komitmen pada dosen. 28