planned behavior). Teori ini berusaha untukmemprediksi dan menjelaskan perilaku manusia

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Pengertian Tentang Manajemen Sumber Daya Manusia. Beberapa pendapat ahli manajemen memberikan pengertian manajemen

BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II LANDASAN TEORI. Peninjauan kembali pustaka-pustaka yang terkait (review of related

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Intensi Turnover. Definisi Intensi turnover menurut Harnoto (2002) adalah kadar atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Intention to quit adalah kecenderungan atau niat karyawan untuk berhenti

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. (Mahdi et al., 2012). Widjaja et al. (2011) mengungkapkan bahwa proses turnover

BAB 6 PEMBAHASAN. Aspek penting dari kualitas kerja adalah rasa percaya diri terhadap kontinuitas

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. Konsep tentang Locus of control pertama kali dikemukakan oleh Rotter

Daniel Andries Binus University, Jakarta, DKI Jakarta Indonesia. Abstrak

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Menurut Noe, Hollenbeck, Gerhart, dan Wright (2008, p4), manajemen

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam menggerakkan roda perkembangan dan laju produktivitas perusahaan,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang dilakukan oleh Roskies dan Guerin (1998) dalam. Greenglass, Burke dan Fiksenbaum (2002:hal 2-3) menyimpulkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan persaingan yang ketat diantara perusahaan-perusahaan untuk

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

PENGARUH KETIDAKAMANAN KERJA, KEPUASAN KERJA DAN KOMITMEN ORGANISASIONAL TERHADAP PENGUNDURAN DIRI PEKERJA

BAB I PENDAHULUAN. maupun keunggulan lebih dari para pesaing, sehingga perusahaan dapat

PENDAHULUAN. terhadap efisiensi dan efektifitas organisasi (Simamora, 2006). Mesin-mesin atau

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAWA TIMUR 2011

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Gaya Kepemimpinan Transaksional Definisi Gaya kepemimpinan Transaksional

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. Strategi outsourcing terutama untuk sumberdaya manusia merupakan sesuatu

BAB I PENDAHULUAN. Jumlah tenaga kerja yang berlebih di Indonesia, membuat beberapa

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Menurut werther (2002:5). Yang menyatakan bahwa Kunci memenangkan. senantiasa melakukan investasi untuk merekrut, menyeleksi dan

BAB I PENDAHULUAN. Job insecurity adalah suatu keadaan yang tidak nyaman dan rancu yang dialami para UKDW

BAB I PENDAHULUAN. bisnis dengan tujuan utama untuk mencari keuntungan semaksimal. keuntungan yang lebih besar. Akan tetapi permasalahan-permasalahan

BAB II LANDASAN TEORI DAN PEMBAHASAN HIPOTESIS. Dengan menjadi bagian dari perusahaan, karyawan dididik untuk berkomitmen

BAB I PENDAHULUAN. sangat dibutuhkan sistem manajamen yang dapat mendorong organisasi agar dapat

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Harman et al. (2009) mengemukakan teori tradisional turnover ini menunjukkan

PENGARUH KETIDAKAMANAN KERJA, KEPUASAN KERJA, DAN KOMITMEN ORGANISASIONAL TERHADAP PENGUNDURAN DIRI PEKERJA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. organisasi tersebut (Mathis & Jackson, 2006). Menurut Velnampy (2013)

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. ketidakpuasannya akan pekerjaannya saat ini. Keinginanan keluar atau turnover

BAB I PENDAHULUAN. salah satu diantaranya adalah turnover intention. Turnover menurut Robbins dan

BAB I PENDAHULUAN. selalu berubah sehingga menuntut perusahaan untuk mampu beradaptasi dengan

BAB II URAIAN TEORITIS. a. Komitmen Organisasi paling sering didefinisikan yaitu:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penjelasan Teoritis

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. (Suartana, 2010). Menurut Luthans, 2006 (dalam Harini et al., 2010), teori ini

BAB II. LANDASAN TEORI dan KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI. karyawan yang handal. Proses ini tidak hanya membutuhkan biaya dari sisi

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia dipandang sebagai salah satu aset perusahaan yang penting,

BAB I PENDAHULUAN. laba semaksimal mungkin (disamping misi lainnya) harus siap untuk

BAB II LANDASAN TEORI. Standar Auditing (PSAP No. 01; 2011) dan Kode Etik Akuntan Indonesia.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

HUBUNGAN KOMITMEN ORGANISASI DAN KEPUASAN KERJA TERHADAP INTENSI KELUAR KARYAWAN PADA PT. PURNA GRAHA ABADI TASIKMALAYA. Oleh: Reza Rizky Aditya

BAB I PENDAHULUAN. sangat cepat. Globalisasi, liberalisasi perdagangan, deregulasi dan. organisasi dihadapkan pada lingkungan yang serba tidak pasti.

BAB I PENDAHULUAN. organisasi (Arthur, 1994). Menurut Samad (2006) bahwa karakteristik pekerjaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Komitmen Organisasi paling sering didefinisikan yaitu: 2. Keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi;

BAB I PENDAHULUAN. tersebut berbentuk perusahaan. Perusahaan merupakan badan usaha yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Teori motivasi Vroom (1964) tentang cognitive of motivation menjelaskan mengapa

HUBUNGAN ANTARA JOB INSECURITY DENGAN KOMITMEN KONTINUAN PADA KARYAWAN PELAKSANA PRODUKSI PT. SARI WARNA ASLI UNIT V KUDUS

BAB II LANDASAN TEORI & KERANGKA PEMIKIRAN. pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya (Hasibuan,

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan aset terpenting dalam sebuah

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TURNOVER INTENTIONS PADA STAF KANTOR AKUNTAN PUBLIK *

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh. pekerjaan, dan kombinasi dalam dan luar pekerjaan.

BAB I PENDAHULUAN. gigi. Setiap roda gigi mempenyuai tugas masing masing, tetapi harus saling

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya persaingan kompetensi antar individu menyebabkan banyak

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB 2 KAJIAN TEORETIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mereka yang memiliki komitmen tinggi cenderung lebih bertahan dan rendah

Kuesioner (Job Insecurity) A. Arti Penting Aspek Kerja 1. Sangat Tidak Penting (STP) 2. Tidak Penting (TP) 3. Tidak Tahu, Apakah penting atau tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan salah satu aset berharga yang dimiliki sebuah

BAB I PENDAHULUAN. menarik perhatian kalangan organisasi. Perputaran karyawan memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Karyawan merupakan aset yang paling berharga dalam perusahaan karena

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. Peranan sumber daya manusia semakin penting artinya di dalam menentukan

BAB 2 KAJIAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, RANCANGAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumber daya manusia merupakan faktor dominan dalam penentuan jalannya

BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kepuasan kerja merupakan salah satu studi yang secara luas dipelajari

BAB I PENDAHULUAN. mendukung upaya kesehatan puskesmas (Andini, 2006). Suatu Rumah Sakit akan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berbagai pengaruh lingkungan seperti lingkungan psikologis, pengaruh sosial,

BAB II LANDASAN TEORI. dan tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi

BAB II KAJIAN PUSTAKA,KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terpenting di dalamnya. Tanpa adanya manusia, organisasi tidak mungkin dapat

BAB I PENDAHULUAN. tujuannya adalah tersedianya karyawan/sumber daya manusia (SDM) yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. bagaimana seorang individu terpuaskan atau tidak terpuaskan terhadap suatu

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Perilaku organisasi merupakan suatu bidang ilmu mengenai bagaimana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. akan menghadapi tantangan yang berat. Hal ini terjadi karena negara-negara berkembang

BAB I PENDAHULUAN. perubahan, salah satunya ditekankan pada faktor-faktor paling penting atas

III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian mengenai hubungan kepuasan kerja terhadap turnover intention

BAB II LANDASAN TEORI. memperkirakan perilaku dari pengukuran sikap. Teori ini dinamakan reason action karena

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Rousseau (2000) teori kontrak psikologi (Psychological Contract Theory) diartikan sebagai

BAB II KAJIAN PUSTAKA Definisi Keinginan Untuk Keluar (Turnover intention) Sutanto dan Gunawan (2013) mengemukakan bahwa turnover intention

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. Organisasi modern meyakini bahwa manusia merupakan faktor penting

BAB I PENDAHULUAN. pembagian karyawan menjadi karyawan tetap dan karyawan kontrak, baik perusahaan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. pandangan karyawan ketika mereka telah diperlakukan dengan baik oleh

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

1 PENDAHULUAN Latar belakang

PENDAHULUAN. mampu untuk bekerja sama dan membantu rekan kerja serta melakukan. Orgnizational Citizenship Behavior (OCB) (Steve dan Thomas, 2014)

INTENSI TURNOVER DITINJAU DARI KOMITMEN ORGANISASI PADA KARYAWAN RUMAH SAKIT QOLBU INSAN MULIA (QIM) BATANG

BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

Transkripsi:

BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Keinginan Berpindah (Turnover Intentions) a. Intensi Intensi merupakan fungsi dari tiga determinan dasar, yaitu pertama sikap individu terhadap perilaku, ke dua adalah persepsi individu terhadap tekanan sosial untuk melakukan atau untuk tidak melakukan perilaku yang bersangkutan, dan yang ke tiga adalah aspek kontrol perilaku yang dihayati (Azwar, 2002, p 10-11). Penjelasan mengenai munculnya perilaku spesifik dalam diri individudijelaskan oleh Ajzen dan Fishbein dalam bentuk teori yang dinamakan teoriperilaku terencana (theory of planned behavior). Teori ini berusaha untukmemprediksi dan menjelaskan perilaku manusia dalam konteks tertentu. MenurutAjzen dan Fishbein, sikap dan kepribadian seseorang berpengaruh terhadapperilaku tertentu hanya jika secara tidak langsung dipengaruhi oleh beberapafaktor yang berkaitan erat dengan perilaku (Ajzen, 2002, p 2, http://home.comcast.net/~aizen/tpb.obdp) Dalam teori perilaku terencana, faktor utama dari suatu perilaku yang ditampilkan individu adalah intensi untuk menampilkan perilaku tertentu (Ajzen, 2002, p 5). Intensi diasumsikan sebagai faktor motivasional yang mempengaruhi perilaku. Intensi merupakan indikasi seberapa keras seseorang berusaha atau seberapa banyak usaha yang dilakukan untuk menampilkan suatu perilaku. Sebagai aturan umum, semakin keras intensi seseorang untuk terlibat dalam suatu perilaku, semakin besar kecenderungan ia untuk benar-benar melakukan perilaku tersebut (http://home.comcast.net/~aizen/tpb.obdp). Intensi untuk berperilaku dapat menjadi perilaku sebenarnya hanya jika perilaku tersebut ada di bawah kontrol individu yang bersangkutan. Individu tersebut memiliki pilihan

untuk memutuskan menampilkan perilaku terterntu atau tidak sama sekali. (Ajzen, 2002, p 6). Sampai seberapa jauh individu akan menampilkan perilaku, juga tergantung pada faktorfaktor non motivasional. Salah satu contoh dari faktor non motivasional adalah ketersediaan kesempatan dan sumber yang dimiliki ( misal, uang, waktu dan bantuan dari pihak lain). Secara kolektif, faktor-faktor ini mencerminkan kontrol aktual terhadap perilaku. Jika kesempatan dan sumber-sumber yang dimiliki tersedia dan terdapat intense untuk menmapilkan perilaku, maka kemungkinan perilaku itu muncul, sangatlah besar. Dengan kata lain, suatu perilaku akan muncul,jika terdapat motivasi (intensi) dan kemampuan (kontrol perilaku) (http://home.comcast.net/~aizen/tpb.obdp). Ada dua hal penting yang yang mendasari pernyataan tersebut. Pertama, jika intensi dianggap sebagai faktor yang konstan, maka usaha-usaha untuk menampilkan perilaku tertentu tergantung pada sejauh mana kontrol yang dimiliki individu tersebut. Misalkan jika ada dua karyawan ( Karyawan A dan B) yang memiliki intensi untuk keluar dari pekerjaan. Jika Karyawan A memiliki keyakinan kuat bahwa kemampuan dan ketrampilan yang dimilikinya akan memudahkan ia mencari pekerjaan baru sementara karyawan B kurang yakin bias diterima kerja di tempat lain karena ia kurang trampil, maka Karyawan A memiliki kemungkinan terbesar untuk benar-benar mengaktualisasikan intensinya tersebut dalam bentuk perilaku keluar dari pekerjaan (turnover). Hal penting kedua yang mendasari pernyataan bahwa ada hubungan langsung antara control terhadap perilaku yang dihayati (perceived behavioral control) dan perilaku nyatanya, seringkali dapat digunakan sebagai pengganti atau subtitusi untuk mengukur kontrol nyata (actual control). b. Intensi dan perilaku. Dalam aturan umumnya (general rule) dapat dikatakan bahwa jika perilaku tidak memiliki masalah terhadap kontrol, maka perilaku yang ditampilkan tersebut dapat

diramalkan secara akurat dari intensinya (Ajzen, 2002, p 10, http://home.comcast.net/~aizen/tpb.obdp). Berdasar teori tentang perilaku terencana, ada 3 konsep yang saling tidak berkaitan sebagai determinan dari intensi. Pertama adalah sikap terhadap perilaku (attitude toward the behavir) yang merujuk pada tingkatan yang dimiliki oleh individu dalam membuat evaluasi yang sifatnya favorabel atau unfavorable terhadap suatu perilaku. Determinan kedua adalah norma subyekif (subjectivenorm), yang merujuk pada tekanan sosial yang dihadapi individu untuk dapat menampilkan perilaku terterntu ataupun tidak menampilkannya. Determinan ketiga dari intensi adalah tingkatan atas kontrol perilaku yang dihayati (the degree of perceived behavioral control) yang merujuk pada kemudahan atau kesulitan untuk menampilkan perilaku tertentu serta asumsi yang dibuat oleh individu yang mencerminkan pengalaman masa lalu sebagai bahan antisipasi dalam menghadapi rintangan. Sebagai aturan umum, semakin favorabel suatu sikap dan norma subyektif terhadap perilaku, serta semakin besar kontrol terhadap perilaku yang diterima, maka akan semakin besar intensi individu untuk menampilkan suatu perilaku. Sejauh mana pentingnya sikap, norma subyektif dan kontrol perilaku dalam membuat prediksi tentang intensi adalah tergantung pada perilaku dan situasi yang dihadapi (Ajzen, 2002, p 10, http://home.comcast.net/~aizen/tpb.obdp) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa diantara bebrbagai keyakinan yang akhirnya akan menentukan intensi dan perilaku terterntu adalah keyakinan mengenai tersedia atau tidaknya kesempatan dan sumber yang diperlukan. Keyakinan ini dapat berasal dari penglaman dengan perilaku yang bersangkutan di masa lalu, dapat juga dipengaruhi oleh informasi tak langsung mengenai perilaku itu misalkan dengan melihat pengalaman teman atau orang lain yang pernah melakukannya, dan dapat juga dipengaruhi oleh faktor-

faktor lain yang mengurangi atau menambah kesan kesukaran untuk melakukan perbuatan yang bersangkutan. c. Intensi Turnover Arti intensi adalah niat atau keinginan yang timbul pada individu untuk melakukan sesuatu. Sementara turnover adalah berhentinya seseorang karyawan dari tempatnya bekerja secara sukarela. Dapat didefinisikan bahwa intense turnover adalah kecenderungan atau niat karyawan untuk berhenti bekerja dari pekerjaannya secara sukarela menurut pilihannya sendiri (Zeffane,2003, p 24-25). Model konseptual dan model empiris tentang intensi turnover memberikan dukungan kuat terhadap proposisi yang menyatakan bahwa intensi perilaku membentuk determinan paling penting dari perilaku sebenarnya (actual behavior) (Lee & Mowday, O Reilly & Cadwell, 1981) dalam Pare and Trembaly (2001, p 1-3). Sementara itu menurut Steel (2002) dalam Mueller (2003, p 2), penelitian mengenai proses turnover sebaiknya dimulai ketika karyawan baru mulai bekerja atau menjadi anggota organisasi. (www.emeraldinsight.com) Intensi turnover ada di bawah kontrol individu, sehingga dapat memberikan hasil penelitian yang lebih cepat dan relatif mudah diprediksi dibanding perilaku turnover nya. Menurut Zeffane (2003, p 27-31) ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya turnover, diantaranya adalah faktor eksternal, yakni pasar tenaga kerja,faktor institusi yakni kondisi ruang kerja, upah, ketrampilan kerja, dan supervsi, karakteristik personal dari karyawan seperti intelegensi, sikap, masa lalu, jenis kelamin, minat, umur, dan lama bekerja serta reaksi individu terhadap pekerjaanya. Menurut Mobley (2000) dalam Muchinsky (2002, p 85-89) tentang employee turnover, terdapat hubungan antara kepuasan dan berhenti bekerja. Hubungan itu dimulai dari adanya pikiran untuk berhenti bekerja (thinking of quitting), usaha-usaha untuk mencari

pekerjaan baru, berintensi untuk berhenti bekerja atau tetap bertahan dan yang terakhir adalah memutuskan untuk berhenti bekerja. Menurut Mobley, perasaan tidak puas akan memicu rencana untuk berhenti bekerja, yang kemudian akan mengarahkan pada usaha mencari pekerjaan baru. Namun model Mobley yang membahas mengenai turnover ini harus memperhatikan setting ekonomi yang sedang terjadi. Jika perekonomian dalam kondisi baik sehingga pengangguran rendah, maka karyawan akan lebih mempermasalahkan kepuasan kerja dibanding jika perekonomian buruk dan pengangguran melimpah. Jika ongkos atau pengorbanan yang harus dibayar terlalu tinggi sementara alternatif pekerjaan yang ada memiliki prospek yang lebih baik, maka akan timbul intensi untuk berhenti bekerja dan hal ini diaktualisasikan dalam bentuk perilaku atau tindakan berhenti atau berpindah di pekerjaan lain.jika alternatif pekerjaan yang tersedia tidak terlalu baik atau menjanjikan, situasi tersebut akan menstimulasi individu untuk tetap bertahan. Model Mobley dapat dipakai untuk menunjukkan bahwa kognisi dan perilaku bisa menjembatani kepuasan akan pekerjaan dan tindakan berhenti bekerja. Kepuasan adalah determinan dari turnover, namun konteks ekonomi harus diperhatikan. Kepuasan akan menjadi prediktor dari turnover, jika kondisi ekonomi dalam keadaan baik. Jika kondisi perekonomian kurang menguntungkan, akan berpengaruh terhadap jumlah pengangguran yang melimpah. Kondisi semacam ini akan memaksa individu untuk tetap bertahan di pekerjaan atau organisasinya, meski ia merasa tidak puas dengan kondisi yang ada. Perusahaan yang memiliki angka turnover yang tinggi mengindikasikan bahwa karyawan tidak betah bekerja di perusahaan tersebut. Jika dilihat dari segi ekonomi tentu perusahaan akan mengeluarkan cost yang cukup besar karena perusahaan sering melakukan rekrutmen yang biayanya sangat tinggi, pelatihan dan menguras tenaga serta biaya dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi suasana kerja menjadi kurang menyenangkan. Selain itu, adanya turnover menurut Dalton & Todor (2000) dalam Feinstein & Harrah (2002, p 4-5)

dapat menggangu proses komunikasi, produktivitas serta menurunkan kepuasan kerja bagi karyawan yang masih bertahan (www.emeraldinsight.com). Organisasi selalu berusaha mencari cara menurunkan tingkat perputaran karyawan, terutama dysfunctional turnover yang menimbulkan berbagai potensi biaya seperti biaya pelatihan yang sudah diinvestasikan pada karyawan, tingkat kinerja yang mesti dikorbankan, serta biaya rekrutmen dan pelatihan kembali. Walaupun pada kasus tertentu perputaran kerja terutama terdiri dari karyawan dengan kinerja rendah tetapi tingkat perpindahan kerja karyawan yang terlalu tinggi mengakibatkan biaya yang ditanggung organisasi jauh lebih tinggi dibanding kesempatan memperoleh peningkatan kinerja dari karyawan baru (Hollenbeck & Williams, 2001) dalam Suwandi dan Indriartoro (2003, p 3-6). Berbagai studi telah menunjukkan bahwa keinginan berpindah merupakan variabel yang paling berhubungan dan lebih banyak menerangkan varians perilaku turnover. Tingkat turnover adalah kriteria yang cukup baik untuk mengukur stabilitas yang terjadi di organisasi tersebut, dan juga bisa mencerminkan kinerja dari organisasi menurut Mobley (2000) dalam Muchinsky, (2002, p 325) Turnover mengarah pada kenyataan akhir yang dihadapi organisasi berupa jumlah karyawan yang meninggalkan organisasi pada periode tertentu, sedangkan keinginan berpindah mengacu pada hasil evaluasi individu mengenai kelanjutan hubungannya dengan organisasi dan belum diwujudkan dalam tindakan pasti meninggalkan organisasi. Pengertian turnover tradisional mengasumsikan bahwa orang meninggalkan organisasi karena alasan yang sukarela dan yang tidak menurut abelson (2000). Dalam penelitian voluntary turnover yang menggunakan variabel tingkat perputaran sesungguhnya yang dihadapi perusahaan, maka jumlahkaryawan yang meninggalkan organisasi karena alasan suka rela dengan sama akan mengalami kelemahan metodologi. Dengan menggunakan taksonomi turnover yang membedakan perilaku berpindah kerja suka rela

(voluntary turnover) dalam dua kelompok, yang dapat dihindari (avoidable) dan yang tidak dapat dihindari (unavoidable) perusahaan, maka studi tersebut akan lebih berguna bagi pengembangan teori turnover. Menurut Abelson (2000), antara karyawan yang meninggalkan organisasi secara suka rela tetapi tidak dapat dihindari dan karyawan yang tetap tinggal pada organisasi (stayers) tidak dapat dibedakan karakteristik tingkat kepuasan dan komitmennya. Akibatnya hasil studi yang menggunakan angka voluntary turnover yang tidak membedakan kedua kelompok ini cenderung lemah hubungan antar variabelnya dalam Suwandi & Indriartoro (2003, p 4-7). Perpindahan kerja sukarela yang dapat dihindari disebabkan karena alas an-alasan : upah yang lebih baik di tempat lain, kondisi kerja yang lebih baik di organisasi lain, masalah dengan kepemimpinan / administrasi yang ada, serta adanya organisasi lain yang lebih baik. Sedangkan perpindahan kerja suka rela yang tidak dapat dihindari disebabkan oleh alasanalasan : pindah ke daerah lain karena mengikuti pasangan, perubahan arah karir individu, harus tinggal di rumah untuk menjaga pasangan / anak, dan kehamilan dalam Suwandi & Indriartoro (2003, p 4-9). Tindakan penarikan diri menurut Abelson (2000) dalam Suwandi & Indriartoro (2003, p 4-9) terdiri atas beberapa komponen yang secara simultan muncul dalam individu berupa adanya pikiran untuk keluar, keinginan untuk mencari lowongan pekerjaan lain, mengevaluasi kemungkinan untuk menemukan pekerjaan yang layak di tempat lain, dan adanya keinginan untuk meninggalkan organisasi. 2.2 JOB INSECURITY Penelitian yang dilakukan oleh Roskies dan Guerin (2000) dalam Greenglass, Burke dan Fiksenbaum (2002:hal 2-3) menyimpulkan bahwa penurunan kondisi kerja seperti rasa tidak aman dalam bekerja akan mempengaruhi karyawan lebih dari sekedar kehilangan

pekerjaan semata. Kondisi ini juga mengarahkan pada munculnya emosi, menurunnya kondisi psikologis dan akan mempengaruhi kepuasan kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Greenhalgh (2000) dalam Greenglass, Burke dan Fiksenbaum, (2002:hal 3) berusaha menguji efek dari job insecurity terhadap komitmen kerja dan perilaku kerja. Dari hasil penelitian ini didapatkan hasil yang menyatakan bahwa karyawan yang bisa melalui atau melewati tahapan rasa tidak aman ini, menunjukkan komitmen kerja yang makin rendah dari waktu ke waktu. Penelitian yang dilakukan oleh Barling dan Fiksenbaum menyatakan bahwa terdapat hubungan antara job insecurity dengan turnover intention, karena job insecurity yang terjadi secara terus menerus akan mempengaruhi kondisi psikologis karyawan (Greenglass, Burke dan Fiksenbaum, 2002: hal 3). Greenhalgh dan Rosenblatt (2002) mendefinisikan Job insecurity sebagai ketidakberdayaan untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam kondisi kerja yang terancam (dalam Suwandi dan Indriartoro,2003, p 3-4 ). Sementara Smithson dan Lewis (2000, p 680-683) mengartikan job insecurity sebagai kondisi psikologis seseorang (karyawan) yang menunjukkan rasa bingung atau merasa tidak aman dikarenakan kondisi lingkungan yang berubah-ubah (perceived impermanance). Kondisi ini muncul karena banyaknya jenis pekerjaan yang sifatnya sesaat atau pekerjaan kontrak. Makin banyaknya jenis pekerjaan dengan durasi waktu yang sementara atau tidak permanen, menyebabkan semakin banyaknya karyawan yang mengalami job insecurity (Smithson & Lewis, 2000, p 681-685). Menurut Salmon dan Heery (2000) dalam Bryson and Harvey (2000, p 5-7) karyawan di negara majupun mengalami rasa tidak aman yang makin meningkat karena ketidakstabilan terhadap status kepegawaian mereka dan tingkat pendapatan yang makin tidak bisa diramalkan Dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam organisasi, karyawan

sangat mungkin merasa terancam, gelisah, dan tidak aman karena potensi perubahan untuk mempengaruhi kondisi kerja dan kelanjutan hubungan serta balas jasa yang diterimanya dari organisasi. Pasewark dan Strawser (2001) menerangkan mengenai empat variabel pendahulu (anteseden), yang oleh Suwandi dan Indriantoro (2003) disebut prediktor, dari job insecurity berdasarkan hasil studi sebelumnya, yaitu : konflik peran (role conflict), ketidakjelasan peran (role ambiguity), perubahan organisasi (organizational change), dan pusat pengendalian (locus of control). Sedangkan konsekuensi dari job insecurity tersebut adalah komitmen organisasional, kepuasan kerja, dan kepercayaan organisasi. 1. Konflik peran (role conflict) Ketika seorang individu dihadapkan dengan ekspetasi peran yang berlainan, hasilnya adalah konflik peran (role conflict). Konflik inimuncul ketika seorang individu menemukan bahwa untuk memenuhi syarat satu peran dapat membuatnya lebih sulit untuk memenuhi peran lain. Pada tingkat ekstrem, hal ini dapat meliputi situasi-situasi di mana dua atau lebih ekspetasi peran saling bertentangan (Stephen P. Robbins, Timothy A. Judge, 2008 p 364). 2. Ketidakjelasan peran (role ambiguity) Ketidakjelasan tugas, wewenang, dan tanggung jawab terhadap pekerjaan (Jerald Greenberg, Robert A. Baron, 2007, p 124) 3. Perubahan Organisasi (organizational change) Merupakan berbagai kejadian yang yang secara potensial dapat mempengaruhi sikap dan persepsi karyawan sehingga dapat menyebabkan perubahan yang signifikan dalam organisasi. Kejadian-kejadian tersebut antara lain meliputi merger, perampingan (downsizing), reorganisasi, teknologi baru, dan pergantian manajemen (Greenhalg dan Rosenblatt 2002).

4. Pusat pengendalian (locus of control) Lokus kendali merupakan tingkat di mana individu yakin bahwa mereka adalah penentu nasib mereka sendiri. Internal (internals) adalah individu yang yakin bahwa mereka merupakan pemegang kendali atas apa pun yang terjadi pada diri mereka. Eksternal (exsternals) adalah individu yang yakin bahwa apa pun yang terjadi pada diri mereka dikendalikan oleh kekuatan luar seperti keberuntungan atau kesempatan. Lokus kendali merupakan suatu indikator evaluasi inti diri karena individu yang berfikir bahwa mereka kurang memiliki kendali atas hidupmereka cenderung kurang memilki kepercayaan diri (Stephen P. Robbins, Timothy A. Judge, 2008 p 138) 5. Komitmen organisasi ( organization Commitment) Komitmen organisasi menurut (Stephen P. Robbins, Timothy A. Judge, 2008, p 100) adalah tingkat samapai mana seseorang karyawan memihak sebuah organisasi serta tujuantujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Jadi, keterlibatan pekerjaan yang tinggi berarti memihak pada pekerjaan tertentu seorang individu, sementara komitmen organisasi yang tinggi berarti memihak organisasi yang merekrut individu tersebut. Komitmen organisasi menurut (Jerald Greenberg, Robert A. Baron, 2003, p 124) merupakan tingkat kekerapan identifikasi dan keterikatan individu terhadap organisasi yang dimasukinya, dimana karakteristik komitmen organisasional antara lain adalah: loyalitas seseorang terhadap organisasi, kemauan untuk mempergunakan usaha atas nama organisasi, kesesuaian antara tujuan seseorang dengan tujuan organisasi (goal congruence), dan keinginan untuk menjadi anggota organisasi. Karena hubungan kepuasan kerja dan keinginan berpindah hanya menerangkan sebagian kecil varian, maka jelas model proses turnover karyawan harus menggunakan variabel lain di luar kepuasan kerja sebagai satu-satunya variabel penjelas. Sebagai bentuk

perilaku, komitmen organisasional dapat dibedakan dari kepuasan kerja. Komitmen mengacu pada respon emosional (affective) individu kepada keseluruhan organisasi, sedangkan kepuasan mengarah pada respon emosional atas aspek khusus dari pekerjaan (Mobley 2000). Menurut (Stephen P. Robbins, Timothy A. Judge, 2008 p 101-103) ada tiga komponen yang mempengaruhi komitmen organisasi, sehingga karyawan memilih tetap atau meninggalkan organisasi berdasar norma yang dimilikinya. Tiga komponen tersebut adalah : a. Komitment afektif (affective commitment) adalah perasaan emosional untuk organisasi dan keyakinan dalam nilai-nilainya. b. Komitment berkelanjutan (continuance commitment) adalah nilai ekonomi yang dirasa dari bertahan dalam suatu organisasi bila dibandingkan dengan meninggalkan organisasi tersebut. Seorang karyawan mungkin berkomitmen kepada seorang pemberi kerja karena ia dibayar tinggi dan merasa bahwa pengunduran diri dari perusahaan akan menghancurkan keluarganya. c. Komitmen normatif (normative commitment) adalah kewajiban untuk bertahan dalam organisasi untuk alasan-alasan moral atau etis. Satu penelitian menemukan bahwa komitmen afektif adalah pemrediksi berbagai hasil (persepsi karakteristik tugas, kepuasan karir, niat untuk pergi) dalam 72 persen kasus, dibandingkan dengan hanya 36 persen untuk komitmen normtif dan 7 persen untuk komitmen berkelanjutan. Hasil-hasil yang lemah untuk komitmen berkelanjutan adalah masuk akal karena hal ini sebenarnya bukan merupakan sebuah komitmen yang kuat. Dibandingkan dengan kesetiaan (komitmen afektif) atau kewajiban (komitmen normatif) untuk seorang pemberi kerja, sebuah komitmen berkelanjutan mendeskripsikan seorang

karyawan yang terikat dengan seorang pemberi kerja hanya karena tidak ada hal lain yang lebih baik. Konsep komitmen mungkin tidak begitu penting bagi pemberi kerja dan karyawan bila dibandingkan dengan masa sebelumnya. Kontrak kesetiaan tak tertulis antara karyawan dan pemberi kerja yang 30 tahun lalu ada kini telah sangat berbeda, dan pemikiran karyawan yang tinggal dengan satu oranisasi untuk sebagian besar karier mereka telah menjadi semakin kuno. Begitu pun, ukuran-ukuran keterikatan karyawan perusahaan, seperti komitmen, merupakan hal yang poblematik untuk hubungan pekerjaan baru. Ini menunjukkan bahwa komitmen organisasi sebagai sikap yang berkaitan dengan pekerjaan bila dibandingkan dengan sebelumnya mungkin tidak begitu penting. Di tempat tersebut, kita mungkin mengharapkan sesuatu yang sama dengan komitmen pekerjaan untuk menjadi sebuah variabel yang lebih relevan karena hal ini mencerminkan angkatan kerja yang berubah-ubah dengan lebih baik pada zaman sekarang. 6. Kepuasan kerja (job satisfaction) Kepuasan kerja adalah sikap yang paling berpengaruh terhadap turnover. Hasil studi menunjukkan bahwa kepuasan kerja berkaitan erat dengan proses kognisi menarik diri (prewithdrawl cognition), intensi untuk pergi dan tindakan nyata berupa turnover (Kinicki, McKee-Ryan, Schriesheim, & Carson, 2002) dalam Mueller (2003, p 2-5) Menurut (Stephen P. Robbins, Timothy A. Judge, 2008 p 40) kepuasan kerja adalah perasan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakn hasil dari evaluasi karakteristiknya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi memiliki perasaanperasaan positif tentang pekerjaan tersebut, sementara seseorang yang tidak puas memiliki perasaan-perasaan yang negatif tentang pekerjaan. Keyakinan bahwa karyawan yang merasa puas jauh lebih produktif bila dibandingkan dengan karyawan yang tidak puas telah menjadi prinsip dasar di antara para manajer selama bertahun-tahun.

Menurut Malayu S,P, Hasibuan (2007, p 202-203) kepuasan kerja (job statisfaction) karyawan harus diciptakan sebaik-baiknya supaya moral kerja, dedikasi, kecintaan, dan kedisiplinan karyawan meningkat. Kepuasan kerja adalah silap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisilplinan, dan prestasi kerja. Kepuasan kerja dinikmati dalam pekerjaan, luar pekerjaan, dan kombinasi dalam dan luar pekerjaan. a. Kepuasan kerja dalam pekerjaan Kepuasan kerja yang dinikmati dalam pekerjaan dengan memperoleh pujian hasil kerja, penempatan, perlakuan, peralatan, dan suasana limgkungan kerja yang baik. Karyawan yang lebih suka menikmati kepuasan kerja dalam pekerjaan akan lebih mengutamakan pekerjaannya daripada balas jasa walaupun balas jasa itu penting. b. Kepuasan di luar pekerjaan Kepuasan kerja karyawan yang dinikmati di luar pekerjaan dengan besarnya balas jasa yang akan diterima dari hasil kerjanya, agar dia dapat mambeli kebutuhankebutuhannya. Karyawan yang lebih suka menikmati kepuasaannya di luar pekerjaan lebih mempersoalkan balas jasa daripada pelaksanaan tugas-tugasnya. c. Kepuasan kerja kombinasi dalam dan luar pekerjaan Kepuasan kerja yang dicerminkan oleh sikap emosional yang seimbang antara balas jasa dengan pelaksanaan pekejaannya. Karyawan yang lebih menikmati kepuasan kerja kombinasi dalam dan luar pekerjaannya akan nerasa puas jika hasil kerja dan balas jasanya dirasa adil dan layak. Tolak ukur tingkat kepuasaan yang mutlak tidak ada karena setiap individu karyawan berbeda standar kepuasaanya. Indikator kepuasan kerja hanya diukur dengan kedisiplinan, moral kerja, dan turnover kecil maka secara relative kepuasan kerja karyawan baik.

Sebaliknya jika kedisiplinan, moral kerja, dan turnover karyawan besar maka kepuasan kerja karyawan di perusahaan kurang. Kepuasan kerja karyawan dipengaruhi factor-faktor berikut ( Malayu S,P, Hasibuan, 2007, p 202-203): Balas jasa yang adil dan layak Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian Berat ringannya pekerjaan Suasana dan lingkungan pekerjaan Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan Sikap pemimpin dalam kepemimpinannya Sifat pekerjaan monoton atau tidak. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa karyawan dengan kepuasan kerja akan merasa senang dan bahagia dalam melakukan pekerjaannya dan tidak berusaha mengevaluasi alternatif pekerjaan lain. Sebaliknya karyawan yang merasa tidak puas dalam pekerjaannya cenderung mempunyai pikiran untuk keluar, mengevaluasi alternatif pekerjaan lain, dan berkeinginan untuk keluar karena berharap menemukan pekerjaan yang lebih memuaskan. 7. Kepercayaan Organisasi Merupakan gambaran umum dari kemampuan yang diperlihatkan oleh karyawannya (Steers 2000).Kepercayaan Organisasi, jika komitmen organisasi menekankan bagaimana tingkat loyalitas karyawan, maka kepercayaan organisasi menunjukan bahwa karyawan merasa percaya terhadap perusahaan dan juga manajemennya, sehingga karyawan tersebut merasa komitmennya telah dipenuhi. Jika tidak tercapai, maka karyawan akan merasa gagal dan diabaikan atas peran dan hasil yang telah dicapai oleh karyawan tersebut. Namun jika perusahaan memenuhi

komitmennya terhadap karyawan, maka antara kedua belah pihak sama-sama tercapai kepuasan dalam bentuk komitmen dan kepercayaan. Pasewark dan Strawser (2001) menguji model turnover dengan menggunakan konstruk kepercayaan organisasional. Variabel ini ditemukan hanya mempengaruhi keinginan berpindah secara tidak langsung melalui komitmen (dalam Suwandi dan Indriartoro,2003, p 6-7). 2.3 KERANGKA PEMIKIRAN Untuk dapat meminimumkan niat atau keinginan karyawan untuk keluar, sebaiknya antara organisasi dengan karyawan ada keseimbangan antara hasil dan keinginan. Untuk mencapai hal tersebut, organisasi dapat membuat kebijakan tentang karyawan yang hasilnya dapat memuaskan keinginan karyawan itu sendiri didasari pada kinerja dan hasil yang dicapai oleh karyawan. Hasil kinerja karyawan yang dapat mencapai target perusahaan tersebut, hendaknya karyawan pertahankan. Timbal balik perusahaan yaitu dengan memperhatikan apa yang karyawan inginkan untuk dirinya, baik dari segi kepuasan kerja yang ingin dicapai, membangun komitmen organisasi dari karyawan, kejelasan peranan karyawan, atau memperhatikan kondisi psikologi karyawan atas beban pekerjaan yang terangkum dalam pusat pengendalian diri karyawan yang terbagi atas internal dan eksternal.

PREDIKTOR KONSEKUENSI KONFLIK PERAN KOMITMEN ORGANISASI KETIDAKJELASAN PERAN PERUBAHAN ORGANISASI JOB INSECURITY KEPUASAN KERJA KEPERCAYAN ORGANISASI PUSAT PENGENDALIAN TURNOVER INTENTION Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran