VII. MODEL PERMINTAAN IKAN DI INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lapangan kerja, memeratakan pembagian pendapatan masyarakat, meningkatkan

Penerapan model Almost Ideal Demand System ( AIDS ) pada pola konsumsi pangan rumah tangga nelayan di Kecamatan Tambak Kabupaten Banyumas

II. LANDASAN TEORI A.

ANALISIS KETERKAITAN ANTAR KOMODITAS PROTEIN DENGAN MENGGUNAKAN MODEL ALMOST IDEAL DEMAND SYSTEM (AIDS)

Konsep Dasar Elastisitas Elastisitas Permintaan ( Price Elasticity of Demand Permintaan Inelastis Sempurna (E = 0) tidak berpengaruh

ANALISIS PERMINTAAN IKAN DI INDONESIA: PENDEKATAN MODEL QUADRATIC ALMOST IDEAL DEMAND SYSTEM (QUAIDS)

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

KAJIAN PENGARUH HARGA DAN PENDAPATAN TERHADAP PROPORSI PENGELUARAN MAKANAN RUMAH TANGGA (PENDEKATAN MODEL LINIER PERMINTAAN LENGKAP)

BAB III METODELOGI PENELTIAN. Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Jawa Timur,

TEORI ELASTISITAS. Tata Tachman

ELASTISITAS PERMINTAAN DAN PENAWARAN Pertemuan 9

PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT

VI. PERILAKU PRODUKSI RUMAHTANGGA PETANI PADI DI SULAWESI TENGGARA

Modul 3. Elastisitas Permintaan Dan Penawaran

ELASTISITAS PERMINTAAN. LECTURE NOTE AGRONIAGA By: Tatiek Koerniawati

Elastisitas Permintaan dan Penawaran. Pengantar Ilmu Ekonomi TIP FTP UB

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Ketimpangan Pendapatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Kata Kunci : Konsumsi Pangan Hewani, Almost Ideal Demand System (AIDS), Elastisitas, Konsumen Rumatangga.

III. METODE PENELITIAN. Semangka merah tanpa biji adalah salah satu buah tropik yang diproduksi dan

PROPOSAL SKRIPSI. : ANALISIS PERMINTAAN KONSUMSI SAYURAN DI JAWA TENGAH

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beras merupakan salah satu komoditas penting dalam kehidupan sosial

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PROSIDING SEMINAR NASIONAL STATISTIKA UNIVERSITAS DIPONEGORO 2013 ISBN:

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN

PROYEKSI PERMINTAAN KEDELAI DI KOTA SURAKARTA

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

III. METODE PENELITIAN. series dan (2) cross section. Data time series yang digunakan adalah data tahunan

Boks.1 PENGARUH PERUBAHAN HARGA TERHADAP JUMLAH PERMINTAAN KOMODITI BAHAN MAKANAN DI KOTA JAMBI

POKOK BAHASAN: ELASTISITAS DAN PENAWARAN. Suharyanto

RESPON PERMINTAAN IKAN DI PROVINSI RIAU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Teori Permintaan dan Kurva Permintaan. permintaan akan suatu barang atau jasa berdasarkan hukum permintaan.

Elastisitas. SRI SULASMIYATI, S.SOS., MAP

BAB II URAIAN TEORITIS

4 METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Metode Pengolahan dan Analisis Data

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

A. ELASTISITAS PERMINTAAN DAN ELASTISITAS PENAWARAN

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI

BAB II LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS. Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini maka dicantumkan

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Teori Penawaran

I. PENDAHULUAN. umumnya, khususnya sebagai sumber penyediaan energi dan protein. Neraca

EKONOMI & MANAJEMEN 2 BAB 3 ELASTISITAS

III. METODE PENELITIAN A.

Elastisitas. SRI SULASMIYATI, S.SOS., MAP

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. antara permintaan dan harga. Teori ini lebih dikenal dengan hukum permintaan,

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

PROPOSAL SKRIPSI. : Analisis Permintaan Konsumsi Sayuran di Jawa Tengah

5. DETERMINAN KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN RUMAH TANGGA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN. disusun, ditabulasi, dianalisis, kemudian diterangkan hubungan dan dilakukan uji

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Umum Cabai Merah

ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN DAERAH PERKOTAAN DAN PEDESAAN SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

METODE PENELITIAN. Setiabudi 8

BAB I PENDAHULUAN. menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

POLA KONSUMSI MASYARAKAT PERKOTAAN BERDASARKAN TINGKAT PENDAPATAN DAN UKURAN KELUARGA STUDI KASUS DI KOTA MATARAM

BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

V. FAKTOR PENENTU KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

2.5. Nilai Tukar Nelayan dan Nilai Tukar Pembudidaya Ikan

ELASTISITAS. Ngatindriatun PERTEMUAN 4 & 5

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. kandang dan bibit terhadap penerimaan usaha, dengan subjek penelitian peternak

Kata kunci : jumlah alumni KKD, opini audit BPK, kinerja pembangunan daerah.

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori-Teori Teori Permintaan

METODE ANALISIS HARGA PANGAN 1

BAB VI PENUTUP. 6.1 Kesimpulan

BAB V HASIL ESTIMASI DAN ANALISIS MODEL. Tabel 5.1. Output regresi model persentase penduduk miskin absolut (P 0 )

III. METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pertumbuhan

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN BERAS DI KOTA SURAKARTA

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dihadapi oleh semua negara di dunia. Amerika Serikat yang tergolong sebagai

BAB III METODE PENELITIAN. mengambil objek di seluruh provinsi di Indonesia, yang berjumlah 33 provinsi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan

III. METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Upah

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2011

VI. HASIL PENDUGAAN FUNGSI KEUNTUNGAN, ELASTISITAS PENAWARAN OUTPUT DAN PERMINTAAN INPUT

III. METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

III. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder deret waktu

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BAB 2 LANDASAN TEORI

ELASTISITAS TEAM TEACHING I. ELASTISITAS PERMINTAAN

V. ANALISIS PENGARUH BANTUAN STIMULUS INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN, KETIMPANGAN DAN KEMISKINAN KABUPATEN TERTINGGAL

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Oleh sebab itu produksi telur ayam ras diartikan sebagai proses untuk

III METODE PENELITIAN. dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan provinsi ini merupakan wilayah

III. ELASTISITAS PERMINTAAN DAN PENAWARAN

Pada umumnya ilmu ekonomi mempelajari hubungan-hubungan antara. variabel ekonomi. Hubungan-hubungan yang fungsional tersebut mendefinisikan

PERMINTAAN DAN PENAWARAN HASIL PERTANIAN

VI. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN

PERMINTAAN KEDELAI DI KOTA SAMARINDA

VI. FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN RUMAH TANGGA TERHADAP CABAI MERAH KERITING

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2017

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

KAJIAN PERMINTAAN MINYAK GORENG PADA BERBAGAI GOLONGAN PENDAPATAN DAN SEGMEN PASAR DI INDONESIA ')

METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data

Transkripsi:

161 VII. MODEL PERMINTAAN IKAN DI INDONESIA Pemodelan suatu fenomena seringkali tidak cukup hanya dengan satu persamaan, namun diperlukan beberapa persamaan. Pada Bab IV telah disebutkan bahwa ditinjau dari sifat hubungan antar persamaan terdapat model persamaan tunggal dan model persamaan simultan. Penggunaan metode Ordinary Least Square (OLS) untuk menduga parameter persamaan tungga sangat populer karena penggunaannya yang relatif mudah. Namun penggunaan metode ini seringkali dihadapkan pada masalah heteroskedastisitas dan autokorelasi. Masalah heteroskedastisitas sering terjadi pada analisis data yang bersifat cross section, sedangkan masalah autokorelasi sering terjadi pada data runtun waktu. Pelanggaran terhadap asumsi tersebut mengakibatkan dugaan yang dihasilkan tetap tak bias tapi tidak efisien (Gujarati, 1986). Masalah heteroskedastisitas sering terjadi pada analisis fungsi konsumsi (permintaan). Hal ini terjadi karena pada fungsi tersebut besarnya konsumsi (permintaan) terhadap suatu barang dipengaruhi oleh besarnya pendapatan. Di sisi lain, semakin besar pendapatan, semakin banyak alternatif untuk menggunakan pendapatannya tersebut atau semakin beragam pengeluaran untuk konsumsi. Oleh karena itu untuk membuat model yang menggambarkan fenomena tersebut, diperlukan beberapa persamaan konsumsi yang harus dipandang sebagai suatu sistem karena saling terkait. Adanya saling keterkaitan diantara permintaan komoditas membuat fungsi permintaan bersifat sistem menimbulkan masalah dalam pendugaan parameternya. Metode pendugaan yang digunakan harus berupa metode sistem, dengan kata lain semua persamaan dalam model digunakan secara bersama-sama dan akan memberikan hasil pendugaan parameter secara simultan. Pada penelitian ini,

162 model yang digunakan untuk menganalisis permintaan terhadap produk ikan adalah model Quadratic Almost Ideal Demand System (QUAIDS) dengan pendekatan multistage budgeting approach. Studi pendahuluan yang dilakukan oleh Virgantari et al (2010) menunjukkan bahwa model QUAIDS memberikan hasil yang lebih baik daripada model LA/AIDS. Selain terlihat dari peningkatan nilai koefisien determinasi sistem, hal tersebut juga diindikasikan oleh kurva Engel masing-masing komoditas yang tidak linear berdasarkan hasil pengujian (Lampiran 28). Ketidaklinearan kurva Engel ini sering dijumpai pada studi permintaan empiris, seperti ditunjukkan oleh Banks et.al (1997), Dey (2000), Katchova dan Chern (2004). Pada penelitian ini diasumsikan bahwa seorang konsumen mengalokasikan pendapatannya secara bertahap. Pada tahap pertama konsumen mengalokasikan pendapatannya untuk pengeluaran makanan dan bukan makanan. Tahap kedua konsumen mengalokasikan porsi pengeluaran untuk makanan ke dalam kelompok ikan dan bukan ikan. Sedangkan pada tahap ketiga konsumen mengalokasikan porsi pengeluaran ikan berdasarkan kelompok ikan yang digunakan yaitu ikan segar (kelompok 1), udang/hewan air lain yang segar (kelompok 2), ikan awetan (kelompok 3), udang/hewan air lain yang diawetkan (kelompok 4). Penggolongan jenis ikan secara lebih rinci dapat dilihat pada Bab V. Pada tahap pertama (stage 1) pendugaan parameter model dilakukan dengan metode kuadrat terkecil (Ordinary least Square/OLS). Selanjutnya nilai dugaan dari tahap pertama tersebut digunakan untuk melakukan pendugaan pada tahap 2 (stage 2) dengan menggunakan metode kemungkinan maksimum. Nilai dugaan dari tahap ini selanjutnya digunakan untuk menduga fungsi permintaan setiap jenis kelompok ikan dengan pendekatan sistem (stage 3). Nilai dugaan dari ketiga tahap tersebut akan

163 dibahas pada sub bab berikut. Sub bab berikutnya membahas nilai elastisitas pendapatan, elastisitas harga sendiri dan elastisitas harga silang. 7.1. Dugaan Parameter Model Permintaan 7.1.1. Dugaan Parameter Model Permintaan pada Stage-1 Dugaan parameter fungsi pengeluaran pangan pada stage 1 disajikan pada Tabel 34, sedangkan program dan outputnya dapat dilihat pada Lampiran 29. Model yang diperoleh dari stage-1 terlihat cukup baik seperti terlihat dari nilai koefisien determinasi lebih dari 70 persen. Pada tahap ini diperoleh dugaan koefisien dummy wilayah desa-kota bertanda positif dan signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pengeluaran pangan masyarakat perkotaan secara signifikan lebih tinggi dibandingkan masyarakat perdesaan. Koefisien jumlah anggota rumah tangga juga berpengaruh secara signifikan dan bertanda positif, yang mengindikasikan bahwa semakin banyak anggota rumah tangga, maka semakin besar pula tingkat pengeluaran pangannya. Pada tahap pertama ini, golongan pengeluaran ternyata tidak berpengaruh secara signifikan. Dummy wilayah Sumatera, Jawa-Bali dan Sulawesi bertanda positif dan signifikan, sedangkan koefisien wilayah Maluku bertanda negatif dan signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pengeluaran di ketiga wilayah tersebut termasuk paling tinggi dan lebih tinggi daripada wilayah Papua, sedangkan wilayah Maluku adalah yang paling rendah. Dummy 3 (Nusa Tenggara) dan dummy 4 (Kalimantan) tidak berpengaruh secara signifikan. Koefisien indeks harga pangan bertanda negatif dan berpengaruh signifikan, menunjukkan bahwa semakin tinggi harga suatu komoditas pangan, maka tingkat pengeluarannya akan semakin kecil. Pada tahap ini terlihat bahwa faktor kuadratik dari logaritma

164 pengeluaran per kapita berpengaruh secara signifikan, hal ini menunjukkan bahwa respon pengeluaran pangan terhadap total pendapatan tidak linear. Tabel 34. Dugaan Koefisien Fungsi Permintaan Pangan (Stage 1) Berdasarkan Data Susenas Tahun 2008 Peubah Intersep Wilayah(desa-kota) Jumlah anggota RT Golongan Pengeluaran Dummy 1 (Sumatera) Dummy 2 (Jawa-Bali) Dummy 3 (NT) Dummy 4 (Kalimantan) Dummy 5 (Sulawesi) Dummy 6 (Maluku) Indeks Harga pangan Log Pengeluaran non-pangan Log Pengeluaran Kuadrat Log Pengeluaran Dugaan Parameter -2.4057 0.0055 0.0414-0.0001 0.1615 0.1540 0.0353 0.0329 0.0372-0.0394-0.2234 0.5726 1.7899-0.1722 tn tn tn ** Koefisien Determinasi 70.7% Keterangan: ** : signifikan pada taraf =1%, : signifikan pada taraf =5%, tn : tidak signifikan 7.1.2. Dugaan Parameter Model Permintaan pada Stage-2 Tabel 35 menyajikan dugaan koefisien fungsi permintaan ikan (stage 2), sedangkan program dan output analisis dapat dilihat pada Lampiran 30. Pada tahap ini, seluruh peubah berpengaruh signifikan terhadap permintaan ikan. Koefisien wilayah desa-kota bertanda positif, menunjukkan bahwa secara signifikan permintaan ikan di kota lebih besar daripada di desa. Koefisien jumlah anggota rumahtangga bertanda positif, menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah anggota tumahtangga semakin besar pula tingkat permintaan ikan. Dummy wilayah kepulauan semua bertanda negatif, menunjukkan bahwa tingkat permintaan di semua wilayah berbeda nyata dengan permintaan ikan di Papua, dengan permintaan tertinggi adalah wilayah Maluku dan terendah adalah wilayah Sumatera. Indeks harga ikan bertanda negatif dengan angka yang cukup besar,

165 menunjukkan bahwa bila harga ikan menurun, makan tingkat permintaan akan naik dan sebaliknya. Bentuk kuadratik dari logaritma pengeluaran pangan juga berpengaruh signifikan dan bertanda negatif. Hal ini menunjukkan bahwa respon pengeluaran ikan terhadap perubahan pengeluaran pangan tidak linear dengan arah sebaliknya. Tabel 35. Dugaan Koefisien Fungsi Permintaan Ikan (Stage 2) Berdasarkan Data Susenas Tahun 2008 Peubah Intersep Wilayah(desa-kota) Jumlah anggota RT Golongan pengeluaran Dummy 1 (Sumatera) Dummy 2 (Jawa-Bali) Dummy 3 (NT) Dummy 4 (Kalimantan) Dummy 5 (Sulawesi) Dummy 6 (Maluku) Indeks Harga Ikan Log Pengeluaran Pangan Kuadrat Log Pengeluaran Pangan Keterangan: : signifikan pada taraf =1%, Dugaan Koefisien -52.3120 0.0992 0.2694-0.1167-5.6136-4.6710-3.9837-3.0727-1.9146-0.7375-13.0292 20.5353 1.6994 7.1.3. Dugaan Parameter Model Permintaan pada Stage-3 Tabel 36 menyajikan nilai dugaan koefisien sistem permintaan ikan (ikan segar, udang/hewan air lain yang segar, ikan awetan, dan udang/hewan air lain yang diawetkan) dari tahap ketiga, sedangkan program dan output analaisis dapat dilihat pada Lampiran 31. Dari tahap ini terlihat bahwa semua peubah berpengaruh signifikan terhadap fungsi permintaan masing-masing kelompok ikan dengan nilai koefisien determinasi sistem 67.3%. Pada fungsi permintaan ikan segar terlihat bahwa koefisien wilayah desakota bertanda positif, menunjukkan bahwa tingkat pengeluaran ikan di perkotaan lebih besar daripada di perdesaan. Peubah jumlah anggota rumah tangga juga

166 berpengaruh positif, yang menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah anggota rumahtangga semakin tinggi permintaan terhadap ikan segar. Dummy wilayah kepulauan semua bertanda positif, menunjukkan bahwa pemintaan rumahtangga terhadap kelompok ikan segar di Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku semuanya lebih besar daripada di Papua dan Papua Barat. Semua koefisien dummy wilayah pada fungsi permintaan keempat kelompok ikan menunjukkan angka tertinggi di wilayah Kalimantan dan terendah di wilayah Jawa-Bali. Koefisien harga sendiri bertanda negatif, menunjukkan bahwa semakin tinggi harga ikan segar, maka permintaannya semakin rendah, dan sebaliknya semakin rendah harga ikan segar, maka permintaannya semakin tinggi, dan hal tersebut sesuai dengan hukum Ekonomi mengenai teori permintaan. Koefisien pengeluaran ikan bertanda negatif, sedangkan bentuk kuadratiknya bertanda positif dan signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa kurva Engel untuk komoditas ikan segar tidak bersifat linear, artinya bahwa tingkat pendapatan mengalami kenaikan yang lebih cepat daripada tingkat permintaan ikan segar. Pada fungsi permintaan udang segar terlihat bahwa koefisien wilayah desa-kota bertanda positif, menunjukkan bahwa tingkat pengeluaran udang segar di perkotaan lebih besar daripada di perdesaan. Peubah jumlah anggota rumah tangga juga berpengaruh positif, yang menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah anggota rumahtangga semakin tinggi permintaan terhadap udang segar. Dummy wilayah kepulauan semua bertanda positif, menunjukkan bahwa pemintaan rumahtangga terhadap kelompok udang segar di Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku semuanya lebih besar daripada di Papua dan Papua Barat.

167 Tabel 36. Dugaan koefisien sistem permintaan ikan segar, udang/hewan air lain yang segar, ikan awetan, dan udang/hewan air lain yang diawetkan dengan model QUAIDS Koefisien Komoditas Ikan Segar Udang Ikan awetan Segar Intersep -0.3209 0.6854-0.3076 ** Wilayah(desa-kota) 0.1276 0.0743 0.0880 Jumlah anggota RT 0.0091-0.0064 0.0253 Golongan pengeluaran 0.0461 0.0013 0.0496 ** Dummy 1 (Sumatera) 0.7452 0.1643 0.7753 Dummy 2 (Jawa-Bali) 0.7022 0.1129 0.7649 ** Dummy 3 (NT) 0.9337 0.2841 0.8452 Dummy 4 (Kalimantan) 0.9573 0.3017 0.8747 Dummy 5 (Sulawesi) 0.7294 0.1377 0.7697 Dummy 6 (Maluku) 0.7905 0.2572 0.8894 Log Pikan segar -0.6352 0.2689 0.2224 Log Pudang segar 0.2869-0.5613 0.1424 Log Pikan awetan 0.2224 0.1424-0.4312 ** Log Pudang awetan 0.1439 0.1499 0.0668 Log Pengeluaran ikan -0.2925-0.2001-0.3632 Kuadrat Log 0.0513 0.0317 0.0801 Pengeluaran ikan 2 R sistem 67.3% Keterangan: : signifikan pada taraf =1%, ** : signifikan pada taraf =5% Udang awetan 0.9431-0.0362-0.0060-0.0043 0.0218 0.0060 0.0784 0.0962 0.0185 0.0744 0.1439 0.1499 0.0667-0.3607-0.1136 0.0179 ** ** ** ** ** ** Koefisien harga sendiri semuanya bertanda negatif, menunjukkan bahwa semakin tinggi harga udang segar, maka permintaannya semakin rendah, dan sebaliknya semakin rendah harga udang segar, maka permintaannya semakin tinggi, dan hal tersebut sesuai dengan hukum Ekonomi mengenai teori permintaan. Koefisien pengeluaran udang segar bertanda negatif, sedangkan bentuk kuadratiknya bertanda positif dan signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa kurva Engel untuk komoditas udang segar tidak bersifat linear, artinya bahwa tingkat pendapatan mengalami kenaikan yang lebih cepat daripada tingkat permintaan udang segar. Pada fungsi permintaan ikan awetan terlihat bahwa koefisien wilayah desa-kota juga bertanda positif, menunjukkan bahwa tingkat pengeluaran ikan awetan di perkotaan lebih besar daripada di perdesaan. Peubah jumlah anggota

168 rumah tangga juga berpengaruh positif, yang menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah anggota rumahtangga semakin tinggi permintaan terhadap ikan awetan. Dummy wilayah kepulauan semua bertanda positif, menunjukkan bahwa pemintaan rumahtangga terhadap kelompok ikan awetan di Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku semuanya lebih besar daripada di Papua dan Papua Barat. Koefisien harga sendiri bertanda negatif, menunjukkan bahwa semakin tinggi harga ikan awetan, maka permintaannya semakin rendah, dan sebaliknya semakin rendah harga ikan awetan, maka permintaannya semakin tinggi, dan hal tersebut sesuai dengan hukum Ekonomi mengenai teori permintaan. Koefisien pengeluaran ikan awetan bertanda negatif, sedangkan bentuk kuadratiknya bertanda positif dan signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa kurva Engel untuk komoditas ikan awetan juga tidak bersifat linear. Berbeda dengan fungsi permintaan ikan segar, ikan awetan dan udang segar, pada fungsi permintaan udang awetan terlihat bahwa koefisien wilayah desa-kota bertanda negatif, menunjukkan bahwa tingkat pengeluaran udang awetan di perkotaan lebih kecil daripada di perdesaan. Peubah jumlah anggota rumah tangga berpengaruh negatif, yang menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah anggota rumahtangga semakin rendah permintaan terhadap udang awetan. Dummy wilayah kepulauan semua bertanda positif, menunjukkan bahwa pemintaan rumahtangga terhadap kelompok udang awetan di Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku semuanya lebih besar daripada di Papua dan Papua Barat. Koefisien harga sendiri bertanda negatif, menunjukkan bahwa semakin tinggi harga udang awetan, maka permintaannya semakin rendah, dan sebaliknya semakin rendah harga udang awetan, maka permintaannya semakin tinggi, dan hal tersebut sesuai dengan hukum Ekonomi mengenai teori permintaan. Koefisien pengeluaran udang

169 awetan bertanda negatif, sedangkan bentuk kuadratiknya bertanda positif dan signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa kurva Engel untuk komoditas udang awetan juga tidak bersifat linear, artinya bahwa tingkat pendapatan mengalami kenaikan yang lebih cepat daripada tingkat permintaanudang awetan. 7.2. Elastisitas Permintaan Elastisitas merupakan salah satu konsep penting untuk memahami beragam permasalahan di bidang ekonomi. Kondisi ekonomi selalu mengalami perubahan, misalnya perubahan pendapatan, perubahan harga, perubahan anggota keluarga, dan lain-lain. Dari fungsi permintaan dapat diperoleh gambaran bagaimana pengaruh perubahan-perubahan tersebut terhadap kuantitas permintaan. Namun dalam prakteknya, seringkali tidak cukup hanya sekedar mengetahui apakah kuantitas permintaan tersebut naik atau turun sebagai akibat perubahan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam hal ini pengukuran seberapa jauh besarnya reaksi perubahan kuantitas permintaan tersebut terhadap perubahan harga dan faktor lainnya merupakan informasi yang berguna, baik bagi produsen maupun bagi pemerintah. Elastisitas permintaan mengukur seberapa seberapa banyak permintaan barang dan jasa (konsumsi) berubah ketika harga atau pendapatan berubah. Elastisitas permintaan ditunjukkan dalam bentuk persentase perubahan atas kuantitas yang diminta sebagai akibat dari satu persen perubahan harga atau pendapatan. Pada bagian ini akan disajikan dan dibahas tiga macam elastisitas yang sering digunakan, yaitu elastisitas pendapatan, elastisitas harga sendiri, dan elastisitas harga silang dari komoditas ikan segar, udang segar, ikan awetan dan udang awetan.

170 7.2.1. Elastisitas Pendapatan Tabel 37 menyajikan nilai elastisitas pengeluaran pangan, pengeluaran ikan dan pengeluaran setiap jenis ikan berdasarkan tingkat pendapatan. Elastisitas permintaan pangan yang diperoleh dari stage-1 terlihat semakin besar dengan semakin meningkatnya pendapatan. Pada tingkat pendapatan 1 sampai 5 (kurang dari Rp. 500 000/kapita/bulan) permintaan pangan tidak responsif terhadap perubahan tingkat pendapatan, dengan nilai elastisitas berkisar dari 0.1 sampai 0.2. Mulai kelompok pendapatan ke-6 (di atas Rp.500 000/kapita/bulan) permintaan terhadap pangan baru terlihat elastis dengan koefisien elastisitas berkisar dari 1.3 sampai 1.4. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar tingkat pendapatan semakin besar pula bagian pendapatan yang digunakan untuk membelanjakan komoditas pangan, sehingga permintaannya semakin elastis. Elastisitas permintaan ikan yang diperoleh berdasarkan pendugaan parameter pada stage-2, nilainya berkisar dari 1.7 sampai 3.9, menunjukkan bahwa permintaan ikan secara umum sangat responsif (elastis) terhadap perubahan tingkat pendapatan pada semua golongan pengeluaran. Hal ini menunjukkan bahwa ikan secara umum merupakan barang mewah (luxury goods), di mana permintaannya dipengaruhi oleh perubahan pendapatan. Tabel 31 juga menunjukkan pola elastisitas permintaan ikan yang nilainya semakin kecil dengan semakin meningkatnya pendapatan. Hasil kajian Rachman (1999) mengenai pola konsumsi pangan di wilayah Indonesia bagian timur dengan data Susenas 1996, menunjukkan pola yang serupa, di mana nilai elastisitas pendapatan untuk komoditas ikan pada kelompok pendapatan rendah adalah 0.721, kelompok pendapatan sedang 0.673, dan kelompok pendapatan tinggi 0.589. Kaelan (2005) berdasarkan data Susenas 2005 juga menyimpulkan bahwa, elastisitas pendapatan ikan laut semakin rendah dengan semakin

171 meningkatnya pendapatan. Studi yang dilakukan oleh Dey (2000), Piumsombun et.al (2003), Quang (2005) juga menunjukkan pola yang sama, elastisitas pendapatan untuk komoditas ikan semakin rendah dengan semakin meningkatnya pendapatan (Lampiran 32). Fenomena ini mengindikasikan bahwa permintaan terhadap ikan pada rumahtangga berpendapatan rendah lebih responsif terhadap perubahan pendapatan dibanding pada kelompok pendapatan tinggi. Implikasi dari temuan ini adalah perlunya prioritas kebijakan yang mendorong peningkatan pendapatan (dan atau stabilisasi harga) bagi kelompok penduduk pendapatan rendah. Hal ini untuk menjamin tercukupinya kebutuhan konsumsi ikan dari sisi kuantitas maupun kualitas. Bila dibandingkan dengan beberapa studi sebelumnya seperti yang dilakukan oleh Kuntjoro (1984) dengan data Susenas 1978, Teklu and Johnson (1988) dengan data Susenas 1980, Rachman (2001) dengan data Susenas 1996, Kusumastanto dan Joly (1997) dengan data runtun waktu tahun 1967-1988, terlihat adanya perubahan elastisitas pendapatan. Hasil kajian dari empat penelitian tersebut menunjukkan bahwa elastisitas pendapatan untuk komoditas ikan bernilai kurang dari 1 atau tidak elastis, sedangkan hasil penelitian dengan data Susenas 2008 menunjukkan bahwa elastisitas pendapatan untuk komoditas ikan secara umum bernilai lebih dari 1 untuk semua kelompok pendapatan, yang berarti kenaikan pendapatan 1 persen akan direspon dengan kenaikan permintaan ikan yang lebih dari 1 persen, dan sebaliknya bila pendapatan turun 1 persen akan direspon pula dengan penurunan permintaan ikan lebih dari 1 persen.

172 Tabel 37. Elastisitas Pengeluaran Pangan, Pengeluaran Ikan dan Tiap Kelompok Ikan, 2008 *) Jenis Elastisitas Golongan Pengeluaran 1 2 3 4 5 6 7 8 Elastisitas Pengeluaran Pangan terhadap Total Pendapatan (stage 1) 0,298 0,247 0,207 0,163 0,106 1,435 1,389 1,319 Elastisitas Pengeluaran Ikan terhadap Total Pengeluaran Pangan (stage 2) 3,919 3,472 3,222 2,851 2,435 2,097 1,928 1,744 Elastisitas Pengeluaran Kelompok Ikan terhadap Total Pengeluaran Ikan (stage 3) Ikan segar 0,46 0,43 0,40 0,44 0,46 0,49 0,49 0,51 Udang/hewan air lain yang segar 1,27 1,71 1,64 1,84 1,81 1,54 1,32 1,17 Ikan awetan 1,38 1,42 1,42 1,52 1,62 1,67 1,62 1,61 Udang/hewan air lain yang diawetkan 1,62 2,24 1,99 2,42 2,69 2,40 2,11 1,63 Elastisitas Permintaan (Stage1x Stage 2xStage 3) Ikan segar 0,53 0,37 0,27 0,20 0,12 1,48 1,32 1,18 Udang/hewan air lain yang segar 1,49 1,47 1,09 0,85 0,47 4,65 3,55 2,70 Ikan awetan 1,61 1,22 0,95 0,70 0,42 5,03 4,33 3,71 Udang/hewan air lain yang diawetkan 1,89 1,92 *): Data dasar dari Susenas (2008), diolah 1,33 1,12 0,69 5,22 4,65 3,75 Elastisitas pengeluaran setiap kelompok ikan yang diperoleh dari stage-3 terhadap total pengeluaran ikan semua juga bertanda positif dengan nilai berkisar dari 0.4 sampai 2,69. Hal ini menunjukkan bahwa keempat kelompok ikan yang dianalisis merupakan barang normal, bukan barang inferior. Elastisitas kelompok ikan segar terlihat semakin besar dengan semakin meningkatnya pendapatan dengan nilai berkisar dari 0.4 sampai 0.5 pada semua golongan pengeluaran atau bersifat inelastis. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan ikan segar tidak dipengaruhi oleh perubahan pendapatan atau dapat dikatakan bahwa ikan segar merupakan barang kebutuhan (necessity) dalam susunan menu keluarga di Indonesia.

173 Elastisitas permintaan udang segar untuk semua golongan pengeluaran bernilai 1.2 sampai 1.8 atau bersifat elastis, artinya bahwa permintaan udang segar dipengaruhi oleh perubahan pendapatan. Bila pendapatan naik satu persen, maka permintaan udang segar akan naik sebesar 1.2 sampai 1.8 persen. Berdasarkan angka elastisitas, terlihat bahwa kelompok pendapatan 4 dan 5 (Rp.200 000/kap/bulan sampai Rp.500 000 kap/bulan) paling responsif terhadap permintaan udang segar bila terjadi perubahan tingkat pendapatan. Tahun 2000an, di Thailand elastisitas pendapatan untuk komoditas udang segar juga bersifat elastis, sedangkan di Bangladesh elastis untuk kelompok pendapatan rendah dan tidak elastis untuk kelompok pendapatan menengah ke atas. Di Philipina elastisitas pendapatan untuk komoditas udang segar sangat tinggi (lebih dari 3), baik bagi kelompok miskin (poor) maupun kaya (non-poor). Hal ini menunjukkan bahwa di Indonesia, Thailand dan Philipina udang segar termasuk luxury goods untuk semua kelompok pendapatan, sedangkan di Bangladesh udang segar termasuk luxury goods bagi golongan miskin dan necessity goods bagi golongan kaya. Elastisitas permintaan ikan awetan pada semua golongan pengeluaran bernilai 1.3 sampai 1.7 atau bersifat elastis, seperti halnya udang segar; artinya bahwa permintaan ikan awetan dipengaruhi oleh perubahan pendapatan. Bila pendapatan naik satu persen, maka permintaan ikan awetan akan naik sebesar 1.3 sampai 1.7 persen. Berdasarkan angka elastisitas, terlihat bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan, semakin besar nilai elastisitasnya, atau semakin responsif permintaan ikan awetan terhadap perubahan tingkat pendapatan. Tahun 2000an di Thailand dried fish juga elastis terhadap perubahan pendapatan pada semua kelompok pendapatan dengan nilai elastisitas berkisar dari 1.3 sampai 1.5; sedangkan di Bangladesh dried fish elastis pada kelompok

174 pendapatan rendah dan tidak elastis pada kelompok pendapatan menengah ke atas, seperti halnya udang segar. Elastisitas permintaan udang awetan pada semua golongan pengeluaran bernilai 1.6 sampai 2.7 atau bersifat elastis, seperti halnya udang segar dan ikan awetan; artinya bahwa permintaan udang awetan sangat dipengaruhi oleh perubahan pendapatan. Bila pendapatan naik satu persen, maka permintaan ikan awetan akan naik sebesar 1.6 sampai 2.7 persen. Berdasarkan angka elastisitas, terlihat bahwa kelompok pendapatan 4 sampai kelompok pendapatan 6 (Rp.200 000/kap/bulan sampai Rp.750 000 kap/bulan) paling responsif terhadap permintaan udang awetan apabila terjadi perubahan tingkat pendapatan. Elastisitas pendapatan total (dari stage 1, stage 2, dan stage 3) untuk semua kelompok ikan semua juga bertanda positif dengan nilai berkisar dari 0.12 sampai 5.22. Hal ini menunjukkan bahwa keempat kelompok ikan yang dianalisis merupakan barang normal, bukan barang inferior. Nilai elastisitas keempat kelompok ikan tersebut menunjukkan pola yang sama, yaitu semakin kecil dari kelompok pendapatan satu sampai kelompok pendapatan kelima, kemudian naik tajam, dan menurun lagi dari kelompok pendapatan keenam sampai kedelapan. Hal ini menunjukkan bahwa pada rumah tangga dengan pendapatan di atas Rp.2 000 000,- per bulan lebih responsif terhadap perubahan pendapatan. Jika pendapatan meningkat 1 persen, maka permintaan terhadap ikan segar dan awetan serta udang/hewan air yang segar dan yang diawetkan akan meningkat lebih dari 1 persen. Elastisitas kelompok ikan segar berkisar dari 0.12 sampai 1.48. Pada kelompok pendapatan kesatu sampai kelima permintaan ikan segar terlihat inelastis dengan kisaran 0.12 sampai 0.53 dan nilainya semakin kecil dengan semakin meningkatnya pendapatan. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok

175 pendapatan rendah dan menengah (kurang dari Rp. 500 000/kapita/bulan) permintaan ikan segar tidak responsif terhadap perubahan pendapatan atau dapat dikatakan bahwa ikan segar merupakan barang kebutuhan (necessity) dalam susunan menu keluarga di Indonesia pada kelompok pendapatan satu sampai lima. Pada kelompok pendapatan di atas Rp. 500 000/kapita/bulan permintaan ikan segar lebih elastis dengan nilai elastisitas 1.18 sampai 1.48 dan nilainya semakin kecil dengan semakin meningkatnya pendapatan. Hal ini mengindikasikan bahwa pada kelompok pendapatan tinggi komoditas ikan segar lebih dianggap sebagai barang mewah. Elastisitas kelompok udang segar berkisar dari 0.47 sampai 4.85. Pada kelompok pendapatan keempat sampai kelima permintaan udang segar terlihat inelastis dengan kisaran 0.47 sampai 0.85, sedangkan pada kelompok pendapatan rendah dan tinggi permintaannya elastis. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok pendapatan menengah permintaan udang segar tidak responsif terhadap perubahan pendapatan, sedangkan pada kelompok pendapatan rendah dan tinggi lebih responsif. Dapat dikatakan bahwa udang segar merupakan barang kebutuhan (necessity) dalam susunan menu keluarga di Indonesia pada kelompok pendapatan menengah dan merupakan barang mewah pada kelompok pendapatan rendah dan tinggi. Tahun 2000an, di Thailand elastisitas pendapatan untuk komoditas udang segar juga bersifat elastis, sedangkan di Bangladesh elastis untuk kelompok pendapatan rendah dan tidak elastis untuk kelompok pendapatan menengah ke atas. Di Philipina elastisitas pendapatan untuk komoditas udang segar sangat tinggi (lebih dari 3), baik bagi kelompok miskin (poor) maupun kaya (non-poor). Hal ini menunjukkan bahwa di Indonesia, Thailand dan Philipina udang segar termasuk luxury goods untuk beberapa kelompok pendapatan, sedangkan di Bangladesh udang segar

176 termasuk luxury goods bagi golongan miskin dan necessity goods bagi golongan kaya. Elastisitas permintaan ikan awetan berkisar 0.42 sampai 5.03. Pada kelompok pendapatan ketiga sampai kelima permintaan ikan awetan terlihat inelastis dengan kisaran 0.42 sampai 0.95, sedangkan pada kelompok pendapatan rendah dan tinggi permintaannya elastis. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok pendapatan menengah permintaan ikan awetan tidak responsif terhadap perubahan pendapatan, sedangkan pada kelompok pendapatan rendah dan tinggi lebih responsif dengan kisaran 1.2 sampai 5.03. Dapat dikatakan bahwa ikan awetan merupakan barang kebutuhan (necessity) dalam susunan menu keluarga di Indonesia pada kelompok pendapatan menengah dan merupakan barang mewah pada kelompok pendapatan rendah dan tinggi. Tahun 2000an di Thailand dried fish juga elastis terhadap perubahan pendapatan pada semua kelompok pendapatan dengan nilai elastisitas berkisar dari 1.3 sampai 1.5; sedangkan di Bangladesh dried fish elastis pada kelompok pendapatan rendah dan tidak elastis pada kelompok pendapatan menengah ke atas, seperti halnya udang segar. Elastisitas permintaan udang awetan bernilai 0.69 sampai 5.2. Pada kelompok pendapatan kelima permintaan udang awetan terlihat inelastis dengan nilai elastisitas 0.69, sedangkan pada kelompok pendapatan rendah dan tinggi permintaannya elastis dengan kisaran 1.1 sampai 5.2. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok pendapatan menengah permintaan udang awetan tidak responsif terhadap perubahan pendapatan, sedangkan pada kelompok pendapatan rendah dan tinggi lebih responsif. Dapat dikatakan bahwa udang awetan merupakan barang kebutuhan (necessity) dalam susunan menu keluarga di Indonesia pada kelompok pendapatan menengah dan merupakan barang mewah pada kelompok pendapatan rendah dan tinggi.

177 7.2.2. Elastisitas Harga Sendiri Untuk melihat bagaimana respon permintaan keempat kelompok ikan apabila terjadi perubahan harga, maka berikut disajikan nilai elastisitas harga sendiri (Tabel 38). Tabel tersebut menunjukkan bahwa tanda dari elastisitas harga sendiri semuanya negatif, sesuai dengan hukum permintaan yang menyatakan bahwa apabila harga naik, maka permintaan akan turun, dan sebaliknya. Elastisitas harga ikan segar, baik uncompensated maupun compensated bernilai kurang dari satu atau inelastis dengan kisaran -0.3 sampai -0.9, artinya bahwa kenaikan harga ikan segar akan diikuti oleh penurunan permintaan dengan proporsi yang lebih kecil, sebaliknya bila terjadi penurunan harga ikan segar maka akan diikuti pula oleh kenaikan permintaan dengan proporsi yang lebih kecil; dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa permintaan terhadap ikan segar tidak terlalu dipengaruhi oleh perubahan harganya. Dari tabel tersebut juga dapat dilihat bahwa pada komoditas ikan segar, semakin tinggi tingkat pendapatan, semakin responsif terhadap perubahan harga ikan, seperti terlihat dari nilai elastisitas uncompensated maupun compensated. Konsumen yang tinggi tingkat pendapatannya merespon dengan kuat setiap perubahan harga ikan mungkin disebabkan karena ada kelebihan pendapatan untuk realokasi anggaran pembelanjaan ikan segar yang sudah menjadi kebutuhan dalam susunan menu sehari-hari. Sementara itu dengan semakin rendahnya tingkat pendapatan secara umum kebutuhan minimal akan protein ikan sudah terpenuhi sehingga adanya perubahan harga tidak besar responnya terhadap permintaan komoditas yang bersangkutan. Beberapa jenis ikan segar di Thailand, Philipina maupun Bangladesh mempunyai elastisitas lebih kecil dari satu (nilai mutlak),

178 dan nilainya semakin rendah dengan semakin meningkatnya pendapatan (Lampiran 32). Elastisitas harga udang segar juga terlihat semakin besar dengan semakin tingginya tingkat pendapatan, baik pada nilai uncompensated maupun compensated, dengan kisaran nilai yang tidak terlalu bervariasi yaitu -0.9 sampai -1. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan harga udang segar akan diikuti oleh penurunan permintaan dengan proporsi yang bisa dikatakan sama, sebaliknya bila terjadi penurunan harga udang segar maka akan diikuti pula oleh kenaikan permintaan dengan proporsi yang kira-kira juga sama. Di Philipina dan Bangladesh komoditas udang segar tidak elastis (tidak responsif) terhadap perubahan harga. Pada semua kelompok pendapatan nilai elastisitasnya kurang dari 1. Sedangkan di Thailand elastisitas harga udang segar bersifat elastis pada semua kelompok pendapatan, baik compensated maupun uncompensated. Elastisitas harga ikan awetan bernilai kurang dari satu atau inelastis dengan kisaran -0.4 sampai -1.2. Pada elastisitas uncompensated terlihat nilainya semua lebih kecil dari satu (secara mutlak) atau inelastis, sedangkan elastisitas compensated semua bernilai lebih besar atau sama dengan satu (elastis), dapat diartikan bahwa kenaikan harga ikan awetan akan diikuti oleh penurunan permintaan dengan proporsi yang lebih kecil atau sama besar, sebaliknya bila terjadi penurunan harga maka akan diikuti pula oleh kenaikan permintaan dengan proporsi yang lebih kecil atau sama. Hal ini bisa terjadi karena pada komoditas ikan asin elastisitas pendapatan dan share kelompok ikan atau udang yang lain ikut berpengaruh. Tidak terlihat pola yang spesifik, namun secara umum dapat dikatakan nilai elastisitas semakin kecil dengan semakin meningkatnya pendapatan. Hal serupa dapat dijumpai di Thailand dan Bangladesh. Nilai elastisitas harga dari beberapa studi dapat dilihat pada Lampiran 32.

179 Tabel 38. Elastisitas Harga Sendiri Kelompok Ikan Segar, Udang Segar, Ikan Awetan, dan Udang Awetan, 2008 *) Golongan Kelompok Ikan Pengeluaran Ikan Segar Udang Segar Ikan Awetan Udang Awetan Compensated 1-0.33-0.88-0.52-0.99 2-0.35-0.88-0.50-0.99 3-0.37-0.89-0.49-0.99 4-0.35-0.90-0.52-0.99 5-0.33-0.90-0.55-0.99 6-0.73-0.88-0.44-0.98 7-0.73-0.86-0.46-0.98 8-0.72-0.84-0.52-0.97 Uncompensated 1-0.58-0.92-1.11-1.00 2-0.57-0.92-1.14-1.01 3-0.57-0.94-1.15-1.01 4-0.57-0.97-1.17-1.02 5-0.58-0.99-1.19-1.02 6-0.99-1.00-1.00-1.02 7-0.99-1.00-1.00-1.01 8-0.99-1.00-1.00-1.01 *): Data dasar dari Susenas (2008), diolah Sedangkan untuk udang/hewan air lain yang diawetkan dapat dikatakan bahwa nilai elastisitasnya adalah -1 (elastisitas uniter), baik compensated maupun uncompensated, yang artinya bahwa kenaikan harga dalam persentase tertentu akan diikuti oleh penurunan jumlah yang diminta dalam persentase yang sama, dan sebaliknya penurunan harga udang awetan akan diikuti oleh kenaikan jumlah yang diminta dalam persentase yang sama. Secara umum, semakin banyak suatu komoditas mempunyai substitusinya maka semakin elastis permintaannya. Selain itu, semakin besar bagian pendapatan yang dibelanjakan untuk membeli suatu barang, maka semakin elastis pula permintaannya. Mungkin hal inilah yang menyebabkan secara umum, nilai elastisitas semua jenis ikan yang dianalisis semakin besar dengan semakin meningkatnya kelas pendapatan, khususnya ikan segar dan udang segar.

180 7.2.3. Elastisitas Harga Silang Elastisitas harga silang menunjukkan hubungan antara jumlah barang yang diminta terhadap perubahan harga barang lain yang mempunyai hubungan dengan barang tersebut. Hubungan tersebut dapat bersifat pengganti, dapat pula bersifat pelengkap. Terdapat tiga macam respons perubahan permintaan suatu barang karena perubahan harga barang lain, yaitu positif, negatif, dan nol. Elastisitas silang bernilai menunjukkan hubungan dua barang yang dapat saling menggantikan (barang substitutif). Elastisitas silang bernilai negatif menunjukkan hubungan dua jenis barang tersebut yang bersifat komplementer (pelengkap). Elastisitas silang bernilai nol menunukkan bahwa kedua macam barang tidak saling berkaitan. Elastisitas silang antar jenis kelompok ikan yang mewakili golongan pendapatan rendah, sedang, dan tinggi dapat dilihat pada Tabel 39. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa sebagian besar (sekitar 58 persen) nilai elastisitas silang bertanda positif, sebagian bertanda negatif (22 persen) dan sisanya bernilai nol (20 persen). Namun nilai elastisitas yang bertanda positif pun sebagian besar bernilai sangat kecil, mendekati nol. Hal ini merupakan indikasi bahwa diantara keempat jenis komoditas ikan yang dianalisis sebagian besar tidak saling berkaitan. Nilai elastisitas yang sebagian besar bertanda positif menunjukkan bahwa diantara kedua kelompok ikan yang dianalisis bersifat saling menggantikan. Pada golongan pendapatan rendah kenaikan harga ikan segar sebesar 1 persen saja akan direspon dengan kenaikan harga udang awetan sebesar 1.3 persen (compensated). Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok pendapatan rendah, ikan segar dan udang awetan bersifat substitusi, namun tidak berlaku sebaliknya.

181 Tabel 39. Elastisitas Silang Kelompok Ikan Segar, Udang Segar, Ikan Awetan, dan Udang Awetan, 2008 *) Kelompok Ikan Pendapatan Rendah Kelompok Ikan Ikan Segar Udang Segar Ikan Awetan Udang Awetan Compensated Ikan Segar - -10.82-0.55 1.30 Udang Segar 0.09-0.05 0.10 Ikan Awetan 0.40 0.60 - -27.38 Udang Awetan 0.01 0.01 0.01 - Uncompensated Ikan Segar - -11.80-1.42-0.15 Udang Segar 0.07 - -0.03-0.03 Ikan Awetan 0.22-0.12 - -28.44 Udang Awetan 0.01-0.01-0.01 - Pendapatan Menengah Compensated Ikan Segar - 5.87 1.47 0.74 Udang Segar 0.03-0.11 0.08 Ikan Awetan 0.16 0.63-0.45 Udang Awetan 0.01 0.03 0.02 - Uncompensated Ikan Segar - 4.83 0.54-0.80 Udang Segar 0.00-0.00-0.09 Ikan Awetan 0.00 0.00 - -0.48 Udang Awetan 0.00 0.00 0.00 - Pendapatan Tinggi Compensated Ikan Segar - 4.57 1.60 1.24 Udang Segar 0.04-0.15 0.19 Ikan Awetan 0.14 0.54-0.61 Udang Awetan 0.01 0.02 0.02 - Uncompensated Ikan Segar - 3.49 0.63-0.38 Udang Segar 0.00-0.00-0.06 Ikan Awetan 0.00 0.00 - -0.19 Udang Awetan 0.00 *): Data dasar dari Susenas (2008), diolah 0.00 0.00 - Pada golongan pendapatan menengah kenaikan harga ikan segar tersebut akan direspon dengan kenaikan permintaan udang segar sebesar 5.9 persen atau kenaikan permintaan ikan awetan sebesar 1.5 persen. Sedangkan pada golongan pendapatan tinggi, kenaikan harga ikan segar akan direspon

182 dengan kenaikan permintaan udang segar sebesar 4.5 persen (compensated) atau 1.6 persen kenaikan ikan awetan, sedang nilai elastisitas uncompensated kenaikan harga ikan segar tersebut hanya direspon oleh kenaikan permintaan udang segar sebesar 3.5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pada golongan menengah ke atas ikan segar dan udang segar merupakan barang yang bersifat saling menggantikan (substitusi), namun tidak berlaku sebaliknya. Elastisitas silang ikan segar udang segar pada golongan pendapatan rendah terlihat bertanda negatif dengan nilai yang cukup besar, yaitu sekitar -11 pada elastisitas compensated maupun uncompensated. Artinya bila terjadi kenaikan harga ikan segar akan direspon dengan penurunan permintaan udang segar, sebaliknya bila terjadi penurunan harga ikan segar akan direspon dengan kenaikan permintaan udang segar, dengan kata lain ikan segar dan udang segar bersifat saling melengkapi. Hal ini mungkin terjadi karena kemungkinan pada golongan pendapatan rendah (kurang dari Rp.600 000/kap/bulan) mereka mendapatkan ikan atau udang tidak dari pembelian, namun menangkap sendiri atau pemberian. Angka negatif yang sangat besar tersebut juga menunjukkan bahwa efek pendapatan jauh lebih besar dibandingkan efek substitusi. Nilai elastisitas silang yang cukup besar juga dijumpai pada komoditas udang awetan-ikan awetan, yaitu sebesar -27 dan -28 (compensated dan uncompensated) pada golongan pendapatan rendah. Artinya bila terjadi kenaikan harga ikan awetan akan direspon dengan penurunan permintaan udang awetan, sebaliknya bila terjadi penurunan harga ikan awetan akan direspon dengan kenaikan permintaan udang awetan, dengan kata lain ikan awetan dan udang awetan bersifat saling melengkapi. Hal ini juga mungkin terjadi karena pada golongan pendapatan rendah (kurang dari Rp.600 000/kap/bulan) mereka mendapatkan ikan atau udang tidak dari pembelian, namun menangkap sendiri atau pemberian, dan kemudian dikonsumsi dalam bentuk awetan. Angka negatif

183 yang sangat besar tersebut juga menunjukkan bahwa efek pendapatan jauh lebih besar dibandingkan efek substitusi. Di Bangladesh, pada umumnya antar jenis ikan bersifat saling menggantikan (substitusi), demikian juga udang dan ikan awetan dengan jenis ikan lain. Sedangkan di Philipina dan Thailand antar kelompok jenis ikan umumnya bersifat saling melengkapi (komplemen). Di Indonesia, data Susenas tahun 2005 menunjukkan hubungan komplemen ditemukan antara ikan laut dan ikan darat serta ditemukan bahwa ikan awetan adalah komoditas subtitusi dari ikan segar (Kaelan, 2005). Pada golongan pendapatan menengah sampai tinggi, secara umum terlihat bahwa diantara komoditas ikan segar, udang segar, ikan awetan, dan udang awetan tidak saling berkaitan, kecuali yang sudah dibahas.

184