1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS RISIKO USAHA PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL DI PALABUHANRATU DEWI EKASARI

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara dengan garis pantai terpanjang ke-4 di

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Tabel 1. Perkembangan Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Menurut Skala Usaha Tahun Atas Dasar Harga Konstan 2000

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

V. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Teluk Pelabuhanratu Kabupaten Sukabumi, merupakan salah satu daerah

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

7 SOLUSI KEBIJAKAN YANG DITERAPKAN PEMERINTAH TERKAIT SISTEM BAGI HASIL NELAYAN DAN PELELANGAN

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat

I. PENDAHULUAN. dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

6 BESARAN KERUGIAN NELAYAN DALAM PEMASARAN TANPA LELANG

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pertambangan. Industri Pengolah-an (Rp Milyar) (Rp Milyar) na

4. HASIL PENELITIAN. 4.1 Identifikasi Risiko Usaha Perikanan Tangkap Skala Kecil

4 KEADAAN UMUM. 4.1Keadaan umum Kabupaten Sukabumi

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 4.1 Keadaan Umum Daerah Kabupaten Sukabumi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dalam PDB (Produk Domestik Bruto) nasional Indonesia. Kontribusi sektor

I.PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Jumlah (Unit) Perkembangan Skala Usaha. Tahun 2009*) 5 Usaha Besar (UB) ,43

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dan sekaligus menjadi tumpuan sumber pendapatan sebagian besar masyarakat dalam

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia. Hai ini mengingat wilayah Indonesia merupakan negara kepulauan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERANCANGAN PROGRAM. 6.5 Visi, Misi dan Tujuan Pembangunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Barat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

REKOMENDASI SEMINAR STRATEGI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI JANGKA MENENGAH PROVINSI JAMBI 22 DESEMBER 2005

Indonesia merupakan negara kepulauan dan maritim yang. menyimpan kekayaan sumber daya alam laut yang besar dan. belum di manfaatkan secara optimal.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki potensi sumber daya alam

VII. PENGELOAAN SUMBERDAYA IKAN DI PERAIRAN PELABUHANRATU Analisis Stakeholder dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Di Pelabuhanratu

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian KUESIONER

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Sub sektor perikanan menjadi salah satu sub sektor andalan dalam

VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP. Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. meningkatkan produksi pertanian guna memenuhi kebutuhan pangan dan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Wilayah laut dewasa ini mendapat perhatian cukup besar dari pemerintah dan

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

5 KETERLIBATAN TENGKULAK DALAM PENYEDIAAN MODAL NELAYAN

BAB I PENDAHULUAN. udang, kakap, baronang, tenggiri, kerang, kepiting, cumi-cumi dan rumput laut yang tersebar

I. PENDAHULUAN. 1 Suara Karya, 2007, Pertumbuhan Ekonomi Tidak Berkualitas, Jum at 13 Juli Dalam artikel

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Suatu negara yang melakukan kegiatan perekonomian biasanya ditujukan

BAB I PENDAHULUAN. memiliki ekonomi yang rendah, dan hal ini sangat bertolak belakang dengan peran

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. usaha. Kredit tersebut mempunyai suatu kedudukan yang strategis dimana sebagai salah satu

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya, petani dan nelayan selalu lebih miskin dibandingkan penduduk

6 KINERJA OPERASIONAL PPN PALABUHANRATU

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Adaptasi Perikanan Tangkap terhadap Perubahan dan Variabilitas Iklim di Wilayah Pesisir Selatan Pulau Jawa Berbasis Kajian Risiko

Pengembangan BADAN USAHA MILIK DESA (BUM DESA) Dalam Mendukung Poros Maritim

BAB I PENDAHULUAN. ikan atau nelayan yang bekerja pada subsektor tersebut.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Negara memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan masyarakatnya,

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi perikanan. Artinya, kurang lebih 70 persen dari wilayah Indonesia terdiri

I.PENDAHULUAN A.LATAR BELAKANG

4 KEADAAN UMUM. 25 o -29 o C, curah hujan antara November samapai dengan Mei. Setiap tahun

PERAN KELEMBAGAAN PERBANKAN DALAM PENGEMBANGAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH NASIONAL BANK MANDIRI

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi, tidak hanya di negara-negara sedang berkembang, tetapi

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kerja yang baru, jumlah unit usaha bordir yang tercatat selama tahun 2015 adalah

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. pangan, dimana kebutuhan protein dunia dapat dipenuhi oleh sumber daya

2 penelitian berjudul Pola Pemanfaatan Sumberdaya Udang Dogol (Metapenaeus ensis de Haan) Secara Berkelanjutan di Perairan Cilacap dan Sekitarnya ; Su

IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis dan Iklim

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAGAIMANA MENAKAR PEMBANGUNAN EKONOMI LOKAL DI ERA OTONOMI DAERAH*)

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi yang menyita pikiran pemerintah untuk segera dipecahkan. Krisis

Ketimpangan Komposisi Kredit Perbankan. Oleh M. Firdaus (Deputy SEN ASPPUK)

Transkripsi:

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis ekonomi secara nyata telah menyebabkan jatuhnya ekonomi nasional khususnya usaha-usaha skala besar. Dampak nyata dari kondisi tersebut adalah terjadinya peningkatan jumlah pengangguran secara signifikan. Pada akhir tahun 2003, tercatat sebanyak 11,4 juta pengganggur (11,63% dari jumlah angkatan kerja), dengan pertumbuhan sektor industri hanya mencapai 3,41% (BPS, 2003). Sektor usaha kecil dan menengah (UKM) pada kenyataannya mampu menunjukkan kinerja yang lebih tangguh dalam menghadapi masa krisis. Kontribusi sektor ini pada ekonomi nasional pun cukup siginifikan, mencakup 53,3% dari pendapatan domestik bruto nasional (PDB) pada tahun 2006. Jumlah UKM yang tercatat pada tahun 2006 mencapai 48,9 juta unit usaha. Jumlah tersebut meningkat 3,9% dibandingkan tahun 2005. Keseluruhan UKM tersebut mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 85,4 juta atau 96,18% dari seluruh tenaga kerja Indonesia. Dibandingkan tahun sebelumnya terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja sebesar 2,6% (BPS, 2007). Berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil dikemukakan bahwa definisi usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan. Kriteria usaha kecil adalah (1) memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp.200.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan; (2) memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000; (3) milik warga negara Indonesia; (4) berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung ataupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar dan (5) berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum termasuk koperasi. Mengacu pada kriteria yang telah disebutkan, dapat dikatakan bahwa sebahagian besar usaha yang dilakukan di Indonesia masih tergolong usaha kecil.

2 Data yang diperoleh dari indikator makro UKM tahun 2007 menyebutkan bahwa jumlah usaha kecil di Indonesia mencapai 99,98% dari keseluruhan unit usaha ekonomi yang ada (BPS, 2007). Salah satu sektor usaha yang didominasi skala usaha kecil adalah usaha perikanan tangkap. Ada berbagai cara membedakan skala usaha perikanan tangkap. Menurut Smith (1983), dasar perbedaan tersebut mencakup perikanan skala kecil atau skala besar, perikanan pantai atau lepas pantai dan perikanan artisanal atau komersil. Penggolongan tersebut masih menjadi perdebatan hingga saat ini mengingat luasnya dimensi yang dilingkupi. Pengelompokan skala usaha sering pula didasarkan pada ukuran kapal atau besarnya tenaga, tipe alat tangkap dan jarak daerah penangkapan (fishing ground) dari pantai. Penggolongan skala usaha perikanan tangkap di Indonesia umumnya dilakukan berdasarkan ukuran kapal dan jenis atau tipe mesin. Berdasarkan data statistik perikanan dan kelautan, jumlah usaha perikanan tangkap skala kecil yang dicirikan dengan penggunaan sarana penangkapan perahu tanpa motor, perahu motor tempel serta kapal motor berukuran < 10 GT tahun 2004 berjumlah 535.232 unit atau 97,65% dari keseluruhan unit kapal yang ada. (DKP, 2005). Persentase tersebut meningkat dibandingkan jumlah usaha perikanan tangkap skala kecil pada tahun 2003 yang mencapai 96,92%. Usaha perikanan tangkap skala kecil memiliki karakteristik unik yang berbeda dengan usaha di sektor lain. Kegiatan perikanan tangkap penuh dengan tantangan serta dihadapkan pada risiko dan ketidakpastian. Alasan inilah yang menjadi hambatan terbesar nelayan untuk mengakses sumber-sumber permodalan dalam rangka peningkatan skala usaha. Terkait dengan hambatan tersebut, dipandang perlu dilakukan suatu kajian tentang risiko-risiko usaha perikanan tangkap skala kecil. Luasnya ruang lingkup kajian risiko usaha perikanan tangkap menyebabkan perlunya pembatasan kajian risiko pada beberapa jenis alat tangkap di suatu daerah. Proses ini diharapkan dapat menjadi langkah awal bagi pengkajian risiko usaha perikanan tangkap secara menyeluruh. Palabuhanratu merupakan salah satu basis perikanan tangkap di selatan Jawa yang berbentuk teluk. Berjarak 180 km dari Jakarta, secara geografis wilayah

3 Palabuhanratu berada pada posisi 6 o 54 12-7 o 5 57,48 LS dan 106 o 20 57,48-106 O 36 0,36 BT. Luas wilayah Palabuhanratu sekitar 27.210,130 Ha. Banyaknya sungai yang bermuara di Teluk Palabuhanratu menyebabkan topografi perairan sampai jarak 300 m dari garis pantai menjadi dangkal. Meskipun merupakan sentra perikanan tangkap, pengaruh musim tetap mempengaruhi kegiatan penangkapan ikan di wilayah Palabuhanratu. Ada dua musim utama yang umumnya dikenal di Palabuhanratu, yaitu musim barat yang terjadi selama bulan Desember sampai Maret dan musim timur yang terjadi selama bulan Juni hingga Agustus. Diantara kedua musim tersebut dikenal adanya musim peralihan yang oleh masyarakat setempat disebut dengan istilah musim liwung (Yundari, 2005). Kegiatan penangkapan ikan di Palabuhanratu dilakukan dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap. Selama periode 1996 sampai 2006, empat jenis alat tangkap yang dominan digunakan nelayan di wilayah ini adalah (1) pancing ulur, (2) bagan, (3) payang, dan (4) rampus. Persentase penggunaan pancing ulur dan rampus pada tahun 2006 masing-masing 25% dan 5%. Jumlah alat tangkap yang dioperasikan selama periode tersebut berfluktuasi setiap tahunnya dengan kenaikan rata-rata 0,10% per tahun. Jumlah alat tangkap yang memiliki tingkat operasional paling tinggi terjadi pada tahun 2006 yaitu sebanyak 923 unit, sedangkan yang terendah terjadi pada tahun 1998 dengan jumlah penggunaan 497 unit (PPN Palabuhanratu, 2007). Armada penangkapan yang dioperasikan di Palabuhanratu ada dua jenis yaitu kapal motor dan perahu motor tempel. Kapal motor umumnya berukuran <10 GT->30 GT dan digerakkan oleh mesin dalam (in board engine) sedangkan perahu motor tempel digerakkan oleh mesin tempel dan umumnya berukuran <10 GT. Kapal motor banyak digunakan untuk mengoperasikan alat tangkap gillnet dan rawai. Adapun perahu motor tempel banyak digunakan untuk operasi alat tangkap pancing, payang dan jaring (PPN Palabuhanratu, 2007). Konfigurasi skala usaha perikanan tangkap di Palabuhanratu yang diindikasikan dengan penggunaan armada penangkapan masih didominasi usaha kecil, meskipun secara kuantitas jumlah alat tangkap yang dioperasikan relatif

4 banyak. Selama periode 1996-2006 armada penangkapan didominasi kapal/perahu bertenaga penggerak motor tempel dengan ukuran kapal <10 GT serta kapal motor berukuran <10 GT. Persentase armada penangkapan skala kecil bahkan mencapai 83,21% dari jumlah armada penangkapan sebanyak 798 unit (PPN Palabuhanratu, 2007). Mengacu pada gambaran awal kondisi perikanan tangkap yang dimiliki, maka Palabuhanratu dinilai memenuhi syarat sebagai daerah penelitian. Fokus analisis dititik beratkan pada alat tangkap pancing ulur, bagan, payang dan rampus yang merupakan alat tangkap dominan yang digunakan nelayan serta status usaha perikanan tangkapnya didominasi usaha perikanan tangkap skala kecil. 1.2 Perumusan Masalah Aktor penting dalam pengembangan usaha perikanan tangkap adalah nelayan. Saat ini kondisi nelayan Indonesia dapat dikatakan memprihatinkan dan masih tergolong masyarakat miskin serta secara ekonomi dianggap sebagai kelompok dengan opportunity cost yang rendah. Nikijuluw (2001) mengatakan bahwa kategori kemiskinan nelayan dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu: 1) kemiskinan struktural, 2) kemiskinan super-struktural, dan 3) kemiskinan kultural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor di luar individu nelayan yaitu sosial ekonomi masyarakat, ketersediaan insentif dan disinsentif pembangunan, ketersediaan fasilitas pembangunan, ketersediaan teknologi dan ketersediaan sumberdaya pembangunan khususnya sumberdaya alam. Kemiskinan super struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel kebijakan makro yang tidak begitu kuat berpihak kepada pembangunan nelayan. Adapun kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan variabel-variabel yang melekat, inhern dan menjadi gaya hidup tertentu. Menyadari penyebab kemiskinan nelayan, pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pembangunan sarana dan prasarana penangkapan dilakukan untuk mengatasi kemiskinan struktural, sedangkan untuk mengatasi kemiskinan kultural pemerintah telah menetapkan

5 kebijakan pembinaan dan pelatihan kepada nelayan. Khusus untuk solusi mengatasi kemiskinan super struktural pemerintah telah meluncurkan berbagai program pemberian kredit bagi nelayan dengan berbagai skema seperti kredit mina mandiri (KMM) dari Bank Mandiri dan kredit ketahanan pangan (KKP) yang disalurkan oleh BNI, Bank Bukopin, Bank Danamon dan seluruh Bank Pembangunan Daerah di Indonesia. Total pembiayaan kedua program tersebut tidak sedikit jumlahnya karena dapat mencapai sekitar Rp. 3.000.000.000.000 (DKP, 2005). Ditetapkannya program pemberian kredit bagi nelayan dilaksanakan karena pemerintah menyadari bahwa salah satu problem kemiskinan nelayan disebabkan rendahnya aksesibilitas terhadap sumber permodalan. Program pembiayaan usaha perikanan dan kelautan sudah ada namun realisasi penggunaan dana belum optimal yaitu sekitar 66% plafon kredit yang dialokasikan (DKP, 2005). Bahkan jika ditelusuri secara mendalam maka dari 66% realisasi kredit, yang digunakan untuk kegiatan perikanan (perikanan dan budidaya) hanya 40,50 % sedangkan sisanya disalurkan untuk kegiatan industri perikanan, pergudangan, perdagangan dan konstruksi pelabuhan. Secara makro, kondisi yang dihadapi sektor perikanan lebih tragis lagi. Berdasarkan data Bank Indonesia, sampai triwulan II tahun 2007 ekspansi kredit perbankan untuk UKM baru mencapai 34,2 trilyun atau setara dengan 39% dari rencana penyaluran kredit tahun 2007 yang besarnya 87,6 trilyun. Ironisnya sektor pertanian termasuk perikanan hanya mampu menyerap 1,1 trilyun kredit perbankan atau 3,20% jumlah ekspansi kredit triwulan II tahun 2007 (Bank Indonesia, 2007). Rendahnya realisasi kredit bukan disebabkan oleh keenganan nelayan untuk meminjam kredit namun lebih disebabkan minimnya dukungan perbankan. Kondisi ini tentu saja merupakan suatu paradoks yang perlu dicarikan solusinya. Menurut Direktur UMKM BRI, Sulaiman Arief Arinto, minimnya dukungan perbankan terhadap usaha perikanan dipicu oleh empat faktor yaitu (1) pembudidaya dan nelayan belum bisa memenuhi persyaratan formal perbankan seperti agunan, (2) usaha perikanan termasuk jenis kegiatan yang berisiko tinggi karena sangat bergantung pada kondisi alam, (3) mekanisme dan struktur pasar yang belum tertata dengan baik dan (4) belum adanya perusahaan penjamin (Kompas, 2007).

6 Sebagai katalisator dan dinamisator pembangunan, pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan untuk meminimalisir keempat faktor yang telah disebutkan diatas. Permasalahan persyaratan formal coba diatasi dengan ditetapkannya program pendampingan teknis bagi usaha perikanan tangkap skala kecil baik dalam bentuk KUB maupun individu. Kebijakan lain yang terkait dengan permasalahan persyaratan formal adalah adanya program sertifikasi kapal nelayan. Permasalahan belum tertatanya struktur pasar diminimalisir oleh pemerintah melalui program bantuan pemasaran produk perikanan, pendirian lembaga-lembaga pemasaran. Adapun permasalahan belum adanya perusahaan penjamin diatasi pemerintah melalui pengalokasian dana jaminan pada perbankan. Upaya mengatasi Permasalahan faktor alam relatif sulit untuk diatasi dengan kebijakan pemerintah. Selama ini kebijakan yang diambil pemerintah terkait dengan faktor alam adalah pemberian bantuan biaya hidup pada saat paceklik dan pendistribusian tabungan nelayan di koperasi. Langkah-langkah tersebut diatas sudah cukup baik namun tentu saja belum menjawab keinginan dari pihak perbankan. Menurut hemat penulis, akar permasalahan rendahnya aksesibilitas permodalan nelayan adalah anggapan perbankan tentang risiko usaha perikanan tangkap yang sangat tinggi. Oleh karena itu pihak perbankan harus diberikan gambaran yang riil tentang risiko usaha perikanan tangkap terutama yang terkait dengan cash flow usaha dan kecenderungan sikap nelayan untuk menghadapi risiko tersebut. Kedua aspek tersebut merupakan kriteria penilaian perbankan terhadap kelayakan permodalan. Menurut Ritonga (2004), beberapa risiko yang melekat pada usaha perikanan tangkap antara lain: 1) production risk, yaitu meliputi risiko atas hasil tangkapan nelayan yang diharapkan, seperti gangguan alam (cuaca, arus), stok ikan yang makin tipis; 2) natural risk, yaitu risiko akibat kondisi alam, biasanya merupakan salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya risiko produksi, seperti terjadinya angin badai atau topan; 3) price risk, yaitu harga hasil tangkapan ikan tidak sesuai dengan yang diharapkan, misalnya karena ada permainan tengkulak; 4) technology risk, yaitu perubahan-perubahan yang terjadi oleh pesatnya kemajuan teknologi, yang dapat menimbulkan ketidakpastian; 5) other risk, yaitu macam risiko lainnya.

7 Subsektor Perikanan Tangkap Kebijakan Pengembangan Subsektor Perikanan Tangkap Kredit untuk Nelayan Alokasi Realisasi Kesenjangan Kurangnya Pemahaman Risiko Usaha Perikanan Tangkap Gambar 1 Kerangka perumusan masalah. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah menggambarkan profil risiko usaha perikanan tangkap skala kecil secara komprehensif di Palabuhanratu, termasuk solusi pemecahan yang ditawarkan. Tujuan tersebut dapat dicapai melaui beberapa tahapan kegiatan yaitu: (1) Mengidentifikasi dan memetakan risiko usaha perikanan tangkap (2) Menghitung besaran risiko serta dampaknya bagi produksi, harga dan pendapatan nelayan (3) Mengukur sikap nelayan terhadap risiko (4) Merancang solusi kemudahan bagi nelayan untuk mendapatkan modal usaha

8 1.4 Hipotesis Hipotesis umum yang menyusun penelitian ini adalah anggapan perbankan yang mengkategorikan usaha perikanan tangkap sebagai usaha yang penuh risiko tidak sepenuhnya benar karena kegiatan perikanan tangkap bersifat unik dan spesifik tergantung kondisi sumberdaya ikan yang dieksploitasi. Adapun hipotesis khusus dalam penelitian ini adalah: 1) Ada perbedaan jenis risiko usaha perikanan yang melekat pada alat tangkap pancing, payang, bagan dan rampus; 2) Ada perbedaan besaran dan dampak risiko diantara alat tangkap pancing, payang, bagan dan rampus; serta 3) Ada perbedaan sikap nelayan terhadap risiko diantara alat tangkap pancing, payang, bagan dan rampus. 1.5 Manfaat Penelitian Keluaran yang dihasilkan dari penelitian ini berupa gambaran rinci tentang risiko usaha perikanan tangkap skala kecil serta solusi kemudahan aksesibilitas terhadap sumber permodalan bagi nelayan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan oleh Pemerintah Kabupaten Sukabumi, pihak perbankan, pihak investor serta Departemen Kelautan dan Perikanan dalam rangka mengembangkan usaha perikanan tangkap skala kecil. Dipandang dari perspektif ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan dapat menjadi katalisator bagi penelitianpenelitian sejenis sehingga niat untuk menggambarkan risiko usaha perikanan tangkap skala kecil diseluruh Indonesia dapat terpenuhi. 1.6 Kerangka Pemikiran Anggapan tentang besarnya risiko usaha perikanan tangkap memang tidak sepenuhnya salah namun juga tingkat ketepatannya masih perlu ditelaah lebih lanjut. Alasan logis yang mendukung hal tersebut adalah relatif bervariasinya kegiatan usaha penangkapan ikan sehingga tidak biasa digeneralisasikan. Satu satunya cara untuk mengetahui kondisi riil risiko usaha perikanan tangkap adalah melakukan pengkajian secara komprehensif.

9 Poin penting yang perlu diketahui dalam proses pengkajian adalah jenisjenis risiko yang melekat pada masing-masing usaha perikanan tangkap, besaran risiko serta sikap nelayan dalam menghadapi risiko yang ada. Ketiga poin tersebut dapat dijadikan pertimbangan dalam pencarian solusi untuk mengatasi kesulitan nelayan mendapatkan modal usaha. Menurut Kountur (2006), untuk mengetahui jenis-jenis risiko yang melekat pada suatu usaha dapat dilakukan tahapan sebagai berikut (1) penentuan pendekatan yang akan digunakan, (2) penentuan sasaran yang ingin dicapai, (3) penentuan produk yang dihasilkan, (4) penentuan kegiatan yang fatal, (5) penentuan BOUP (barang, orang, uang dan prosedur) yang fatal, (6) penentuan kejadian beresiko dan (7) penentuan penyebab risiko. Risiko pada umumnya disebabkan oleh faktor operasional (manusia, teknologi, alam dan aturan) serta faktor keuangan seperti perubahan harga, perubahan mata uang dan perubahan tingkat bunga. Terkait dengan penanganan risiko maka infomasi tentang besaran risiko serta sikap nelayan dalam menghadapi risiko mutlak diperlukan. Masing-masing risiko yang terjadi memiliki besaran yang berbeda, demikian pula dengan variasi sikap nelayan dalam menghadapi risiko.

Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian. 10