Gambar 5 Peta administrasi DKI Jakarta (Sumber : Jakarta.go.id)

dokumen-dokumen yang mirip
HUBUNGAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DAN SUHU PERMUKAAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : DKI JAKARTA) DIAN KUSUMAWARDANI

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

BAB III Data Lokasi 3.1. Tinjauan Umum DKI Jakarta Kondisi Geografis

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KONDISI UMUM. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 12. Peta Adminstratif Kecamatan Beji, Kota Depok

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 10. Peta Jakarta dan Teluk Jakarta

IV KONDISI UMUM TAPAK

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. KONDISI UMUM PENELITIAN

ix

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi DKI Jakarta terletak pada posisi Lintang Selatan dan Bujur

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

GAMBARAN UMUM KOTA TANGERANG SELATAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan

KONDISI UMUM. Tabel 13 Letak geografis Jakarta Pusat

BAB 3 METODE PEMETAAN DAERAH BANJIR

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak terkecuali pada daerah-daerah di Indonesia. Peningkatan urbanisasi ini akan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

LOKASI PENELITIAN 12/20/2011. Latar Belakang. Tujuan. Manfaat. Kondisi Umum

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

BAB II TINJAUAN UMUM

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

KAJIAN UMUM WILAYAH Wilayah Administrasi, Letak Geografis dan Aksesbilitas

KONDISI UMUM WILAYAH. Administrasi dan Teknis

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

BAB III METODA ANALISIS. desa. Jumlah desa di setiap kecamatan berkisar antara 6 hingga 13 desa.

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Geografis LS dan BT. Beriklim tropis dengan

Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 )

KONDISI UMUM BANJARMASIN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kota Palembang adalah 102,47 Km² dengan ketinggian rata-rata 8 meter dari

KONDISI UMUM LOKASI. Gambaran Umum Kabupaten Cirebon

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TUNTANG, PROPINSI JAWA TENGAH

FENOMENA URBAN HEAT ISLAND (UHI) PADA BEBERAPA KOTA BESAR DI INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN GLOBAL. Erwin Hermawan.

KAJIAN PELUANG PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN HUTAN KOTA SRENGSENG JAKARTA BARAT TUGAS AKHIR

lib.archiplan.ugm.ac.id

Perubahan Penggunaan Tanah Sebelum dan Sesudah Dibangun Jalan Tol Ulujami-Serpong Tahun di Kota Tangerang Selatan

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

BAB 4 SEGMENTASI WILAYAH POTENSI BANJIR MENGGUNAKAN DATA DEM DAN DATA SATELIT

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.1.

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

BAB I. PENDAHULUAN. Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup,

HASIL DAN PEMBAHASAN. Identifikasi dan Analisis Kondisi Bantaran

KEADAAN UMUM. Gambaran Umum Kota Depok

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

ANALISIS PENINGKATAN SUHU PERMUKAAN AKIBAT KONVERSI LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT ETM + (Studi Kasus : Jakarta) GEMA NUSANTARA BAKRY

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

IV. KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

Gambar 1. Peta Prakiraan Cuaca Hujan Mei 2018 (Sumber : Stasiun Klimatologi Karangploso Malang)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V KESIMPULAN. wilayahnya yang sebelumnya berbasis agraris menjadi Industri. Masuknya Industri

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. prioritas utama dalam pemenuhannya. Seiring dengan perkembangan jaman dan

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kota dan Hutan Kota ( Permasalahan Lingkungan Kota

IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak Geografis dan Aksesibilitas

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

Transkripsi:

6 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Wilayah Kajian Jakarta terletak pada lintang 106 o 22 42 BT s.d. 106 o 58 18 BT dan 5 o 10 12 LS s.d. 6 o 23 54 LS. Berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 1227 Tahun 1989, luas wilayah Provinsi DKI Jakarta adalah 649.8 km 2 Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi 5 wilayah kotamadya dan satu kabupaten administratif, yakni: Kotamadya Jakarta Pusat dengan luas 47.9 km 2, Jakarta Utara dengan luas 142.2 km 2, Jakarta Barat dengan luas 126.2 km 2, Jakarta Selatan dengan luas 145.7 km 2, dan Kotamadya Jakarta Timur dengan luas 187.7 km 2 (Bappeda 2011). Jakarta termasuk dalam wilayah dataran rendah dengan ketinggian 0-30 m, Jakarta memiliki 4 stasiun iklim, diantaranya Tanjung Priuk dengan ketinggian 2 mdpl, Halim Perdanakusuma dengan ketinggian 30 mdpl, Kemayoran dengan ketinggian 5 mdpl, dan Soekarno-Hatta dengan ketinggian 8 mdpl. Gambar 5 Peta administrasi DKI Jakarta (Sumber : Jakarta.go.id) Secara geografis, di sebelah utara Jakarta membentang pantai sepanjang 35 km, yang menjadi tempat bermuaranya 13 buah sungai dan 2 buah kanal. Di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan Kota Depok, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi, sebelah barat dengan Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang, serta di sebelah utara dengan Laut Jawa. Secara geologis, seluruh dataran terdiri dari endapan pleistocene yang terdapat pada ± 50 m di bawah permukaan tanah. Bagian selatan terdiri atas lapisan alluvial, sedang dataran rendah pantai merentang ke bagian pedalaman sekitar 10 km. Di bawahnya terdapat lapisan endapan yang lebih tua yang tidak tampak pada permukaan tanah karena tertimbun seluruhnya oleh endapan alluvium (Suwargana 2005).

7 Gambar 6 Sebaran suhu udara ( o C) dan CH (mm) tahun 2009 stasiun Observatory DKI Jakarta (Sumber : BMKG 2009) Jakarta merupakan wilayah beriklim tropis, dengan suhu rata-rata 28-29 o C, dan curah hujan per tahun 1303 mm (pada tahun 2009) seperti yang tercatat pada data iklim yang diplotkan Gambar 6 diatas, terlihat suhu udara di Jakarta tertinggi diwakili oleh bulan Agustus s.d. bulan Oktober, dan curah hujan tertinggi diwakili oleh bulan November hingga Januari. Laju pertumbuhan penduduk pada periode tahun 1980-1990 sebesar 2.4 persen per tahun, menurun pada periode 1990-2000 dengan laju 0.2 persen. Pada periode 2000-2005, laju pertumbuhan penduduk sebesar 1.1 persen per tahun (Bappeda 2011). 4.2 Pengolahan klasifikasi penutupan lahan pada LANDSAT Penentuan nilai RTH menggunakan penginderaan jauh dilakukan analisis menggunakan klasifikasi penutupan lahan dari citra Satelit LANDSAT TM/ETM+ menggunakan kanal 542 (RGB) true colour agar secara visualisasi terlihat jelas dan tajam perbedaan antara RTH, RTB, dan badan air. Diperoleh 6 jenis penutupan lahan dengan jenis yang berbeda pada setiap tipe penutupan lahan, dengan melihat tingkat kecerahan warnanya. Berdasarkan tingkat kecerahannya, terdapat diantaranya mempunyai jenis penutupan lahan yang sama, oleh karena itu diklasifikasi ulang kedalam tiga kelas diantaranya, RTH, lahan terbangun, dan badan air. RTH itu sendiri mempunyai tingkat kecerahan warna hijau yang terdiri dari hijau tua, hijau muda, dan hijau muda sangat halus, meliputi berbagai jenis vegetasi diantaranya pertamanan kota, pertanian kota, lapangan olahraga (golf, sepak bola, pacuan kuda), pemakaman, kebun campuran perkampungan warga, dsb. Lahan terbangun diwakili oleh tingkat kecerahan warna merah tua, merah muda, dan violet, meliputi: pemukiman, gedung, industri, dsb. Serta badan air diwakili oleh tingkat kecerahan warna biru tua dan hitam meliputi: laut, danau, sungai, dan situ. (a) (b) Gambar 7 (a) GPS, (b) citra LANDSAT RGB True color Penentuan tipe penutupan lahan digunakan teknik pengklasifikasian secara terbimbing (supervised clasification) dengan terjun langsung ke lapang, untuk melakukan training area atau pengecekan lapang dengan menggunakan alat Global Positioning system (GPS). Pengecekan lapang menggunakan GPS dilakukan untuk mengetahui koordinat penutupan lahan yang

8 sebenarnya terhadap kondisi penutupan lahan yang akan dilakukan klasifikasi pada citra yang diinterpretasi. Adapun terjun lapang harus memperhatikan wilayah mana yang akan dilakukan kunjungan untuk pengecekan lapang. Wilayah yang dilakukan pengecekan lapang yaitu wilayah yang terlihat kontras perbedaannya dari tahun 1992 ke tahun-tahun berikutnya, dengan mengetahui perbedaannya tingkat rona kecerahan pada landsat, dan juga memastikannya menggunakan data historis dari penduduk setempat sudah dapat diketahui kondisi lapang yang sebenarnya pada tahun akuisisi tersebut. Adapun wilayah yang dilakukan pengecekan yaitu wilayah yang mempunyai perubahan besar pada RTH, RTB, dan badan air. Untuk pemekaran RTB yaitu pada wilayah Jakarta timur, barat, dan selatan. Dimana pada wilayah Jakarta timur yaitu pada wilayah pondok kopi yang dahulu merupakan kebun campuran perkampungan pada tahun 1990-1998, sekarang telah menjadi pemukiman padat dan akses jalan baru. Dan wilayah Jakarta selatan yaitu di tebet yang merupakan pemakaman dan kebun campuran namun telah didirikan gedung apartemen dan pemukiman lainnya, sedangkan untuk wilayah cibubur yang dahulunya merupakan perkampungan yang terdiri dari berbagai kebun campuran sekarang menjadi kawasan perumahan elit dan sentra pertokoan. Untuk perubahan badan air dilakukan kunjungan ke wilayah utara yang mengalami perubahan besar, yaitu wilayah pantai indah kapuk dan pluit terjadinya pengurukan rawa dan air laut untuk pusat kawasan pemukiman elit dan sentra bisnis, sedangkan untuk wilayah yang masih terdapat badan air yaitu sunter dengan waduk dan danaunya. Tabel 1 Koordinat pengecekan lapang No S E Nama Tempat Keterangan 1 06 o 05'43.9" 106 o 43'04.5" Kamal Muara Pertambakan ikan 2 06 o 06'45.1" 106 o 45'12.7" PIK, Pluit Perubahan Badan air menjadi RTB (Pengurukan Rawa dan air laut menjadi pemukiman) 3 06 o 10'22.0" 106 o 43'54.0" Waduk Sunter Badan air (waduk buatan untuk rekreasi 4 06 o 09'32.0" 106 o 45'41.5" Sunter dan kawasan penyangga) Perubahan kebun campuran menjadi Jalan tol dan pemukiman 5 06 o 10'41.8" 106 o 49'32.2" Silang Monas RTH (Taman kota, Hutan kota, JHJ) 6 06 o 12'13.8" 106 o 48'41.3" Taman Suropati Taman Kota 7 06 o 13'41.8" 106 o 50'12.2" Taman Menteng Taman Kota 8 06 o 14'36.8" 106 o 56'10.6" Tebet Perubahan pemakaman menjadi RTB 9 06 o 11'58.2" 106 o 55'37.8" Pondok Kopi 10 06 o 11'42.2" 106 o 54'38.1" Penggilingan Perubahan kebun campuran menjadi pemukiman Perubahan kebun campuran menjadi pemukiman 4.3 Nilai RTH dari Citra Satelit LANDSAT TM/ETM+ Untuk menentukan nilai luasan RTH pada LANDSAT hal yang harus dilakukan yaitu pengklasifikasian penutupan lahan yang telah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya diperoleh tiga jenis tipe penutupan lahan diantaranya RTH, RTB, dan Badan air. Berikut merupakan hasil klasifikasi dari LANDSAT yang dibagi menjadi tiga jenis penutupan lahan di DKI Jakarta, sebagai berikut, Tabel 2 Luasan wilayah klasifikasi lahan LANDSAT DKI Jakarta (ha) Tahun RTH Lahan Badan Terbangun air 1992 28002.4 36290.4 2046.7 1997 21283.3 43904.7 1151.9 1999 19735.2 45280.3 1324.4 2000 18191.3 46844.8 1303.8 2001 17462.8 47163.5 1713.6 2004 14905.5 49573.0 1861.4 2006 12778.3 51616.1 1945.5

9 Tabel 3 Luasan wilayah klasifikasi lahan LANDSAT DKI Jakarta (%) Lahan Badan Tahun RTH Terbangun air 1992 42.2 54.7 3.1 1997 32.1 66.2 1.7 1999 29.7 68.3 2.0 2000 27.4 70.6 2.0 2001 26.3 71.1 2.6 2004 22.5 74.7 2.8 2006 19.3 77.8 2.9 Luasan wilayah DKI Jakarta yang diperoleh dari pengolahan LANDSAT yaitu sebesar 663.4 km2, hal ini sedikit berbeda dengan luasan wilayah sesuai dengan Keputusan Gubernur Nomor 1227 Tahun 1989, karena luasan cropping pada LANDSAT sedikit lebih melebar, sehingga luasannya terakumulasi. Dari perolehan klasifikasi LANDSAT, nilai diatas menunjukkan, luasan RTH terus mengalami penurunan dari tahun 1992 hingga tahun 2006, yaitu dari 28002.4 Ha menjadi 12778.3 Ha, Hal ini menjelaskan bahwa, wilayah Jakarta mengalami pengurangan RTH sebesar 15224.1 Ha atau sebesar 22.9 % dari luasan total wilayah Jakarta. Dan sebaliknya, luasan lahan terbangun semakin meningkat dari tahun 1992 hingga tahun 2006, yaitu dari 36290.4 Ha menjadi 51616.1 Ha, yang berarti lahan terbangun mengalami peningkatan sebesar 15325.6 Ha atau sebesar 23.1% dari luasan total wilayah Jakarta. Gambar 8 Dinamika tutupan lahan DKI Jakarta (a) (b) (c) Gambar 9 Tiga jenis bentuk penutupan lahan di wilayah DKI Jakarta: (a) RTH (lokasi : Taman Suropati), (b) Lahan terbangun (lokasi : Kota Jakarta) (c) Badan air (lokasi: Waduk Sunter). Perubahan yang terjadi di DKI Jakarta pada periode tahun 1992 s.d tahun 2006 diantaranya Urban atau penambahan RTB yang terjadi melalui pemekaran pemukiman yang semakin bertambah ke wilayah Jakarta timur, Barat, dan Selatan, distribusinya terlihat pada Gambar 10 s.d gambar 16 terutama sekitar perbatasan Bekasi, Tanggerang dan Bogor. Untuk perubahan RTH terlihat perbedaan yang cukup

10 mencolok dari tahun 1992 ke tahun 1997 dst. Terlihat warna hijau masih cukup luas pada tahun 1992 namun sudah berkurang menjadi warna bekas RTH menjadi merah, hal ini hampir di seluruh wilayah DKI Jakarta banyak mengalami perubahan menjadi urban, terutama wilayah Jakarta Pusat dan Utara keberadaan RTH semakin sedikit. Untuk Badan air seperti danau, sungai, rawa yang merupakan daerah penyangga air nampak semakin kritis kondisinya, lingkungannya sudah tercemar, dan sungai yang melewati kota semakin kotor, sehingga sering terjadi genangan air terutama di wilayah sekitar bantaran sungai dan sekitar muara sungai akibat proses sedimentasi endapan lumpur akibat sampah/limbah, sedangkan untuk danau dan rawa semakin berkurang karena semakin bertambahnya bangunan yang diperuntukkan untuk pemukiman yang secara besar-besaran terjadi pada wilayah Jakarta utara yaitu daerah sunter, pulo mas, pluit dan pantai indah kapuk dimana rawa dan danau diuruk menjadi pemukiman. Dan pada tahun 2006, terdapatnya sedikit penambahan badan air dikarenakan dibangunnya beberapa banjir kanal dibeberapa wilayah. Gambar 10 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ Tahun 1992 DKI Jakarta. Gambar 11 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ Tahun 1997 DKI Jakarta. Gambar 12 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ Tahun 1999 DKI Jakarta. Gambar 13 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ Tahun 2000 DKI Jakarta Gambar 14 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ Tahun 2001 DKI Jakarta. Gambar 15 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ Tahun 2004 DKI Jakarta.

11 Gambar 16 Klasifikasi lahan citra LANDSAT TM/ETM+ Tahun 2006 DKI Jakarta. Luasan RTH pada tahun 1992 sebesar 42.2 % (Tabel 3), hal ini menunjukkan wilayah DKI Jakarta pada tahun tersebut masih dinyatakan layak, karena Moll (1997) merekomendasikan bahwa suatu kota akan lebih efektif bila luasan RTH 40% dari luasan kota. Namun luasan RTH sebesar 42.2 % di Jakarta, tidak mewakili wilayahwilayah lainnya di bagian kotamadya Jakarta. Hal ini dikarenakan pada umumya wilayah yang mengalami pembangunan pesat yaitu wilayah pusat, hampir di wilayah tersebut sangat sedikit luasan RTH, bahkan dari tahun 1992 wilayah Jakarta pusat sudah dipadati oleh pemukiman dan bangunan dibandingkan dengan wilayah jakarta lainnya. Seperti yang tercatat pada Dinas Tata Ruang (2006), Luasan RTH yang paling sedikit yaitu terdapat pada wilayah Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan, luasnya berturutturut sebesar 5.6 % dan 3.0 % dari luasan total wilayah kotamadya tersebut, sedangkan untuk wilayah Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Jakarta Barat masih memiliki luasan RTH yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah Jakarta Pusat dan Selatan, yaitu berturut-turut sebesar 12.0 %, 16.9 %, dan 13.4 %, seperti pada tabel berikut, Tabel 4 Luasan wilayah DKI Jakarta tahun 2006 (%) Wilayah RTH Lahan Badan terbangun air Pusat 5.6 92.1 2.2 Selatan 3.0 95.3 1.6 Timur 12.0 85.9 2.0 Utara 16.9 76.6 6.3 Barat 13.4 84.5 1.9 (Sumber : Dinas Tata Ruang 2006) Dinamika penutupan lahan Jakarta digambarkan pada Gambar 8, dimana grafik RTH semakin menunjukkan penurunan dan Grafik Lahan terbangun semakin menunjukkan peningkatan secara signifikan. Hal ini merupakan kebutuhan pembangunan suatu ibukota yang semakin meningkat setiap tahunnya untuk mengikuti tren perkembangan zaman. Suatu wilayah perkotaan menjadi wilayah yang semakin maju dan berkembang, disamping itu padatnya lahan dan area pemukiman disebabkan karena meningkatnya akan permintaan lahan bagi penduduk untuk menempati wilayah. Walaupun terdapat penambahan beberapa RTH di beberapa wilayah di Jakarta, tetapi penambahan tersebut tidak berpengaruh, hal ini dikarenakan, luasan penambahan lahan terbangun lebih besar dibandingkan dengan luasan penambahan RTH. Hal ini telah diupayakan oleh pemerintah dalam menata pembangunan tatakota yang lebih nyaman, yaitu dengan dibangunnya beberapa RTH pada suatu wilayah tertentu oleh Dinas tata ruang Jakarta seperti taman kota atau hutan kota, namun penambahan luasan RTH tersebut belum memenuhi syarat dan kriteria luasan kenyamanan suatu kota yang efektif yaitu pengadaan RTH sebesar 40 % dari luasan total suatu kota tersebut (Moll 1997). 4.4 Nilai Suhu Permukaan dari Citra LANDSAT TM/ETM+ Penentuan suhu permukaan di wilayah Jakarta digunakan ekstraksi LANDSAT. Ekstraksi LANDSAT memberikan informasi yang relatif banyak dengan cakupan wilayah yang luas, karena LANDSAT dapat memberikan informasi per piksel pada setiap wilayahnya. Ekstraksi suhu pada LANDSAT hanya dapat digunakan pada kanal thermal yaitu kanal 6, suhu yang terbaca pada LANDSAT merupakan permukaan bagian terluar dari objek yang tertangkap oleh citra, sehingga setiap penutupan lahan dalam citra LANDSAT mempengaruhi nilai suhu permukaannya. Hal ini dikarenakan oleh sifat emisivitas dan konduktifitas termal pada suatu penutupan lahan. Suhu permukaan berpengaruh terhadap fluks bahang terasa (sensible heat), terutama pada siang hari, hal ini dikarenakan suhu permukaan suatu benda lebih tinggi dari suhu udara (Mannstein 1987). Suhu permukaan dalam citra digambarkan dalam

12 cakupan suatu pixel dengan berbagai tipe permukaan yang berbeda. Dalam menentukan nilai suhu permukaan yang terdapat pada LANDSAT, dilakukan dengan merata-ratakan selang interval pada masing-masing histogramnya yang merupakan output dari suhu permukaan secara keseluruhan pada wilayah kajian, dimana suhu yang terdapat pada histogram menginterpretasikan nilai suhu permukaan yang tertinggi hingga terendah. Tabel 5 Interval suhu permukaan LANDSAT pada histogram Interval suhu Tahun permukaan 1992 21-42 oc 1997 19-37 oc 1999 25-40 oc 2000 21-36 oc 2001 22-32 oc 2004 17-33 oc 2006 19-37 oc untuk nilai suhu permukaan tertinggi dengan gradasi warna kuning hingga merah diwakili oleh RTB. Gambar 18 Sebaran suhu permukaan (oc) LANDSAT tahun 1992. Gambar 19 Sebaran suhu permukaan (oc) LANDSAT tahun 1997. Gambar 17 Contoh Interval suhu permukaan pada histogram (gambar akuisisi : 18 Mei 2006). Nilai suhu permukaan pada histogram merupakan nilai suhu permukaan secara keseluruhan pada wilayah Jakarta, dimana selang suhu permukaan pada histogram mewakili semua jenis penutupan lahan (RTH, RTB, Badan air) yang diwakili oleh tingkat kecerahan warna atau rona, selang tersebut menyatakan nilai suhu permukaan dari terendah hingga tertinggi dengan tingkat kecerahan warna atau rona dari biru hingga merah (Gambar 17), sehingga untuk nilai suhu permukaan yang rendah dengan gradasi warna biru tua hingga biru muda diwakili oleh badan air dan penutupan awan, dan Gambar 20 Sebaran suhu permukaan (oc) LANDSAT tahun 1999. Gambar 21 Sebaran suhu permukaan (oc) LANDSAT tahun 2000.

13 Gambar 22 Sebaran suhu permukaan ( o C) LANDSAT tahun 2001. Tabel 6 Sebaran suhu ( o C) permukaan pada penutupan lahan di Jakarta dari LANDSAT. Tahun RTH Lahan Badan terbangun air 1992 27.0 29.0 25.0 1997 27.5 30.0 25.0 1999 27.0 32.0 24.0 2000 28.5 31.0 24.5 2001 28.0 30.0 24.0 2004 30.0 33.0 26.5 2006 30.5 32.5 26.0 Gambar 23 Sebaran suhu permukaan ( o C) LANDSAT tahun 2004. Gambar 24 Sebaran suhu permukaan ( o C) LANDSAT tahun 2006. Dari gambar diatas menunjukkan, hasil suhu permukaan dari suhu tinggi ke rendah yaitu terdapat pada gradasi warna dari biru, hijau, kuning, dan merah. Warna merah secara umum mempresentasikan lahan terbangun dengan suhu yang sangat tinggi yaitu kisaran 29 o C-42 o C, sedangkan untuk RTH yaitu kisaran 27 o C-30 o C, dan untuk badan air yaitu berkisar 17-26 o C. Penentuan nilai suhu permukaan RTH, RTB, dan badan air pada LANDSAT, dilakukan dengan merata-ratakan suhu permukaan penutupan lahan tersebut pada setiap piksel dengan mengklik pada area penutupan lahan tersebut, lalu dirata-ratakan per pikselnya. Gambar 25 Sebaran suhu permukaan ( o C) pada setiap penutupan lahan. Dari penutupan lahan diatas, didapatkan pada RTH mempunyai nilai suhu permukaan yang lebih rendah dibandingkan dengan lahan terbangun (RTB) hal ini dikarenakan RTH mempunyai kapasitas panas yang lebih besar dibandingkan dengan RTB, sedangkan untuk badan air, mempunyai kapasitas panas terbesar karena terjadi penyerapan kalornya tinggi dan pelepasannya secara lambat melalui evaporasi sehingga suhu permukaan pada badan air yang tertangkap oleh citra nilainya sangat rendah dibandingkan dengan penutupan lahan lainnya. Sifat emisivitas suatu objek sangat berpengaruh terhadap suhu permukaannya, emissivitas merupakan kemampuan benda untuk menyerap radiasi dimana untuk setiap permukaan nilai emissivitas berbeda-beda, bergantung dari kemampuan benda tersebut menyerap radiasi matahari. Suatu obyek dipermukaan yang memiliki emisivitas dan kapasitas panas jenis rendah, sedangkan konduktivitas termalnya tinggi akan menyebabkan suhu permukaannya meningkat, dan sebaliknya. Suhu permukaan akan mempengaruhi jumlah energi untuk memindahkan panas dari permukaan ke udara (Lillesand dan Kiefer 1997). Untuk RTH memiliki emisivitas 0.95, sedangkan untuk RTB 0.92, hal ini menunjukkan RTH mempunyai nilai emissivitas yang lebih besar dibandingkan

14 dengan RTB, sehingga RTH mempunyai kemampuan yang lebih besar dalam menyerap radiasi surya dibandingkan dengan RTB, oleh karenanya, RTH mempunyai nilai suhu permukaan yang lebih rendah dibandingkan dengan RTB. Sedangkan untuk badan air, nilai emisivitasnya terbesar dibandingkan dengan RTH dan RTB sehingga suhu permukaan badan air dinilai sangat rendah dibandingkan dengan penutupan lahan lainnya. 4.5 Hubungan Suhu Permukaan ( o C) dengan RTH (%) Dengan memperoleh hasil keluaran berupa nilai RTH dengan suhu permukaan dari pengolahan LANDSAT tahun 1992 s.d 2006 secara sekaligus, dapat diketahui hubungan antara nilai RTH dan suhu permukaan dengan mengkorelasikan nilainya, nilai RTH yang digunakan untuk dikorelasikan dengan suhu permukaan yaitu luasan RTH pada masing-masing akuisisi yang dihasilkan dalam persen (%). Tabel 7 Luasan RTH (%) pada LANDSAT Tahun RTH 1992 42.2 1997 32.1 1999 29.7 2000 27.4 2001 26.3 2004 22.5 2006 19.3 Suhu permukaan yang digunakan untuk dikorelasikan dengan RTH merupakan suhu permukaan yang di rata-ratakan per piksel dari satu titik stasiun, dilakukan penitikan pada radius stasiun tertentu dengan tujuan untuk mewakili sebaran suhu di wilayah seluruh Jakarta, yaitu stasiun Soekarno-hatta yang diwakili pada radius point A, stasiun Tj. Priuk diwakili oleh point B, stasiun Kemayoran diwakili oleh point C, dan Halim Perdanakusuma diwakili oleh point D. Dalam satu penitikan menghasilkan sembilan nilai suhu permukaan sehingga dirata-ratakan itu merupakan hasil dari nilai suhu permukaan pada stasiun tersebut, Gambar 26 Penentuan suhu permukaan di empat titik (gambar akuisisi : 21 Juni 2004). Tabel 8 Nilai suhu permukaan ( o C) LANDSAT pada masing-masing stasiun. Tahun Kemayoran Priuk Halim PK Sukarno Hatta 1992 28.1 29.0 28.0 27.0 1997 29.5 28.5 27.5 28.5 1999 33.0 28.5 31.0 30.0 2000 33.5 30.5 29.5 29.0 2001 30.0 29.5 28.0 29.5 2004 29.0 31.5 31.5 31.0 2006 30.5 30.0 30.0 30.0 Dengan merata-ratakan nilai suhu permukaan pada masing-masing stasiun pada tabel diatas (Tabel 8), diperoleh nilai rataan per akuisisi untuk dikorelasikan dengan luasan RTH (%) yang terdapat pada tabel 9 berikut, Tabel 9 Nilai suhu permukaan dan RTH Tahun Ts ( o C) RTH (%) 1992 28.0 42.2 1997 28.5 32.1 1999 30.6 29.7 2000 30.6 27.4 2001 29.3 26.3 2004 30.8 22.5 2006 30.1 19.3

15 mendapat tahun yang lebih terbaru, karena data citra satelit LANDSAT yang terbaru mempunyai kerusakan pada sensornya. Upaya mewujudkan ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan, maka diperlukan perencanaan tata ruang kota Jakarta, serta penambahan luasan RTH sesuai dengan syarat keefektifan suatu kota guna menambah kenyamanan dan menjaga unsur komponen iklim disekitarnya. Gambar 27 Korelasi hubungan suhu permukaan ( o C) dengan RTH (%) Terlihat pada Gambar 27 grafik hubungan antara RTH dan suhu permukaan apabila nilai RTH rendah maka suhu permukaan tinggi dan sebaliknya, sehingga untuk mendapatkan nilai suhu permukaan yang rendah, diperlukan luasan RTH yang besar. Suhu permukaan sangat bergantung terhadap jenis penutupan lahannya, RTH mempunyai suhu permukaan yang rendah dibandingkan dengan RTB, sehingga untuk menurunkan suhu permukaan suatu wilayah perlu dilakukan penambahan luasan RTH. V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Luasan RTH dari tahun 1992 s.d 2006 mengalami penurunan sebesar 20.9 %. Penurunan ini dibarengi dengan peningkatan lahan terbangun (RTB). Suhu permukaan dari ekstraksi LANDSAT, tertinggi diinterpretasikan dengan RTB, kemudian RTH dan suhu permukaan terendah diwakili oleh badan air. Peningkatan (RTB), menyebabkan terjadinya peningkatan suhu permukaan. Suhu permukaan sangat dipengaruhi oleh kondisi tutupan lahannya. Hubungan RTH dengan suhu permukaan diantaranya apabila untuk mencapai suhu permukaan yang rendah maka diperlukan luasan RTH (%) yang lebih besar. 5.2 Saran Dalam penelitian ini sebaiknya dilakukan pengecekan lapang menggunakan koordinat bumi yang lebih banyak guna mengetahui kondisi lapang yang sebenarnya, dan penggunaan analisis suhu permukaan lebih ditekankan, serta sebaiknya menggunakan data citra satelit lain guna VI. DAFTAR PUSTAKA Atkinson, B. W. 2003. Numerical Modelling Of Urban Heat Island Intensity. Boundary-Layer Meteorology 109 (3): 285-310. Bappeda. 2011. DKI Jakarta. [Terhubung berkala : Jakarta.go.id] (30 Juli 2011). Dinas Tata Ruang. 2006. Tematik DKI Jakarta. Jakarta : Dinas Tata Ruang. Effendy, S. 2007. Keterkaitan Ruang Terbuka Hijau Dengan Urban Heat Island Wilayah JABOTABEK. [Disertasi] Program Pascasarjana- IPB. Bogor. Handoko. 1993. Klimatologi Dasar. Pustaka Jaya: Jakarta. Irwan, Z. D. 1994. Peranan Bentuk Dan Struktur Hutan Kota Terhadap Kualitas Lingkungan Kota: Studi Kasus Lokasi Pemukiman Kota Jakarta. [Disertasi] Program Pascasarjana-IPB. Bogor. Lab. Perencanaan Lanskap (LPL). 2005. Ruang Terbuka Hijau (RTH) Wilayah Perkotaan. (Makalah Lokakarya PENGEMBANGAN SISTEM RTH DI PERKOTAAN Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum). Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian IPB. Lillesand, TM dan Kiefer, RW. 1997. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra Penginderaan Jauh [Terjemahan] UGM Press. Yogyakarta.