HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 9. Pola penyusunan acak

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 8 Kardus tipe RSC yang digunakan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. dan mempertahankan kesegaran buah. Pada suhu dingin aktivitas metabolisme

Kajian Ventilasi Dan Perubahan Suhu Dalam Kemasan Karton Dengan Komoditas Tomat

METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Spektra Buah Belimbing

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN

BAB I PENDAHULUAN. Tomat termasuk tanaman sayuran buah, yang berasal dari benua Amerika

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum

I. PENDAHULUAN. Stroberi berasal dari benua Amerika, jenis stroberi pertama kali yang ditanam di

III. METODOLOGI PENELITIAN

Teknologi Penanganan Panen Dan Pascapanen Tanaman Jeruk

III. METODOLOGI PENELITIAN

RANCANGAN KEMASAN BERBASIS INDIVIDU BUAH ALPUKAT UNTUK DISTRIBUSI DAN PENYIMPANAN DINGIN

I PENDAHULUAN. Mangga merupakan buah tropis yang populer di berbagai belahan dunia,

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. interaksi antara perlakuan umur pemanenan dengan konsentrasi KMnO 4. Berikut

PERUBAHAN KUALITAS BUAH MANGGIS (Garcinia mangosiana L.) SETELAH PROSES TRANSPORTASI DAN PENYIMPANAN DINGIN

Beberapa ciri yang membedakan antara bahan baku agroindustri dengan bahan baku industri lain antara lain : bahan baku agroindustri bersifat musiman,

I. PENDAHULUAN. Produksi buah pisang di Lampung setiap tahunnya semakin meningkat. Lampung

RANCANGAN KEMASAN KARTON BERGELOMBANG DENGAN BAHAN PENGISI UNTUK BUAH BELIMBING (Averrhoa carambola L.) RISKA DWI WAHYUNINGTYAS

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara dengan penghasil komoditi pertanian yang

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam pada lampiran 3a, bahwa pemberian KMnO 4 berpengaruh terhadap

PENYIMPANAN BUAH DAN SAYUR. Cara-cara penyimpanan meliputi : FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYIMPANAN BAHAN MAKANAN SEGAR (BUAH, SAYUR DAN UMBI)

PENGATURAN PENYIMPANAN KOMODITI PERTANIAN PASCA PANEN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENYIMPANAN SAYUR DAN BUAH TITIS SARI KUSUMA

METODE PENELITIAN III. A. Lokasi dan Waktu. B. Bahan dan Alat

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Panen dan Pascapanen Pisang Cavendish' Pisang Cavendish yang dipanen oleh P.T Nusantara Tropical Farm (NTF)

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

MATA KULIAH TPPHP UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2013 TIM DOSEN PENGAMPU TPPHP

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu buah yang memiliki produktivitas tinggi di Indonesia adalah

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Pola Respirasi Buah Klimakterik dan Non Klimakterik Jeruk (blanko: 24,5 ml) Warna Hijau kekuningan (+) Hijau kekuningan (++)

I. PENDAHULUAN. Buah jambu biji (Psidium guajava L.) merupakan salah satu produk hortikultura

TINJAUAN PUSTAKA Buah Naga

Buah-buahan dan Sayur-sayuran

I. PENDAHULUAN. dikenal adalah ubi jalar (Ipomoea batatas). Ubi jalar merupakan jenis umbi

I. PENDAHULUAN. terus meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan pasar. Pada umumnya

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pati bahan edible coating berpengaruh terhadap kualitas stroberi (Fragaria x

TEKNIK PENANGANAN PASCA PANEN R i n i Y u l i a n i n g s i h

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman dan Buah Manggis (Garcinia mangostana L.)

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Peluang Usaha Budidaya Cabai?

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. dari sekian banyak varietas jeruk yang sudah dikenal dan dibudidayakan. Buahnya

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan salah satu jenis buah segar yang disenangi masyarakat. Pisang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA A. TOMAT

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. IDENTIFIKASI KERUSAKAN BUAH APEL FUJI SUN MOON. IDENTIFIKASI KERUSAKAN MERUPAKAN TAHAPAN AWAL PENANGANAN SORTASI BUAH

I. PENDAHULUAN. Buah jambu biji (Psidium guajava L.) merupakan salah satu produk hortikultura.

RANCANGAN KEMASAN TUNGGAL PADA BUAH PEPAYA (Carica Papaya L.) VARIETAS IPB 9 (CALLINA) DENGAN BAHAN PENGISI SELAMA PROSES DISTRIBUSI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Identifikasi Kerusakan Buah Apel Fuji Sun Moon. Identifikasi kerusakan merupakan tahapan awal penanganan sortasi buah

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman terung belanda berbentuk perdu yang rapuh dengan

TINJAUAN PUSTAKA. baik tumbuhan, manusia maupun hewan. Menurut Winarno (2004), respirasi

III. METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Laju Respirasi Wortel Terolah Minimal

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. penghasil pisang terbesar yaitu ton buah pisang per tahun. Buah. dan B yang penting bagi tubuh (Anonim, 1999).

TINJAUAN PUSTAKA. A. Alpukat

BAB I PENDAHULUAN. yang seharusnya kita dapat mempelajari dan bersyukur kepadanya. Kekayaan yang

Umur Simpan Dan Mutu Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) Dalam Berbagai Jenis Kemasan dan Suhu Penyimpanan Pada Simulasi Transportasi

PENANGANAN PASCA PANEN

KARAKTERISTIK EDIBLE FILM BERBAHAN DASAR KULIT DAN PATI BIJI DURIAN (Durio sp) UNTUK PENGEMASAN BUAH STRAWBERRY

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

RANCANGAN KEMASAN TUNGGAL PADA BUAH JAMBU KRISTAL (Psidium guajava L.) SELAMA TRANSPORTASI MOHAMAD ROFI ASSGAF

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENANGANAN PASCA PANEN HORTIKULTURA

KAJIAN PERUBAHAN MUTU BUAH MANGGA GEDONG GINCU SELAMA PENYIMPANAN DAN PEMATANGAN BUATAN OLEH : NUR RATIH PARAMITHA F

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Konsentrasi dan Lama Perendaman dalam CaCl 2 terhadap Susut

Nova Nurfauziawati Kelompok 11A VI. PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENANGANAN PASCA PANEN MANGGIS. Nafi Ananda Utama. Disampaikan dalam siaran Radio Republik Indonesia 20 Januari 2017

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

TINJAUAN PUSTAKA Botani Buah Naga

I. PENDAHULUAN. Jagung manis atau dikenal juga dengan sebutan sweet corn merupakan

HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kemasan Alpukat Hasil Rancangan Kemasan distribusi dirancang dan dipilih terutama untuk mengatasi faktor getaran (vibrasi) dan kejutan (shock) karena faktor ini sangat berpengaruh terhadap besar kecilnya kerusakan yang terjadi. Sementara pengaruh yang lain seperti RH dan suhu dapat diatasi dengan modifikasi kecil dari rancangan yang ada (Maezawa, 1990). Kemasan alpukat untuk pasar lokal berbeda dengan kemasan untuk tujuan ekspor. Untuk pasar lokal, pendistribusian alpukat dari kebun ke pedagang pengumpul menggunakan karung-karung plastik atau peti kayu albasia dengan kapasitas 40-50 kg dan diangkut dengan truk. Sedangkan untuk kemasan ekspor umumnya menggunakan kotak karton berventilasi. Bentuk peti kemasan ada tiga jenis yaitu kemasan kapasitas 5.7 kg, 11.3 kg, dan 14.5 kg. Namun umumnya pasar dunia menyukai kemasan dengan kapasitas 5 kg. Setelah dilakukan grading, didalam peti buah hanya disusun selapis saja dan setiap buah diberi penyekat karton berbentuk H atau bentuk Z dengan tujuan agar tidak terjadi gesekan antar buah (Supriyono,2003). Pada proses pendistribusian buah sering terjadi kerusakan akibat penanganan selama transportasi sehingga buah mengalami tekanan fisik, getaran, gesekan yang memacu proses pelayuan. Kerusakan fisik yang terjadi seperti adanya memar, luka tusukan, terpotong, lecet, dan bagian yang pecah. Kerusakan fisik juga memacu kerusakan fisiologis maupun patologis (serangan mikroorganisme pembusuk). Dalam penelitian ini, dilakukan beberapa perbaikan terhadap penanganan buah alpukat yaitu perancangan kemasan karton buah alpukat dengan penambahan lubang ventilasi, layer dan sekat - sekat antar buah, serta penyimpanan pada suhu dingin untuk mengurangi kerusakan mekanis dan kerusakan fisik buah alpukat selama distribusi. Informasi yang dibutuhkan dalam perancangan kemasan adalah dimensi, berat, dan jumlah buah yang dikemas. Tahap selanjutnya adalah memilih bahan kemasan dengan karakteristik tertentu yang disesuaikan dengan kondisi buah dan menentukan tipe kemasan. Pemilihan tipe kemasan yang tepat berdampak pada meningkatnya efektifitas dan efisiensi kemasan (Sukmana, 2011). Alpukat memiliki beberapa jenis varietas, namun alpukat yang digunakan sebagai acuan untuk perancangan kemasan adalah alpukat mentega ras Mexico, dan termasuk alpukat kecil dengan berat 100-225 g. Data rataan dimensi dan berat buah alpukat ditunjukkan pada Tabel 8. Sample dimensi dan berat masing-masing buah alpukat dicantumkan pada Lampiran 1. Tabel 8. Data rataan dimensi dan berat buah alpukat No. Data Pengukuran Rataan 1 Berat (gram) ± 172.51 2 Tinggi (cm) ± 8.46 3 Diameter (cm) ± 6.66 Perancangan kemasan untuk pengangkutan dan distribusi diutamakan pada penentuan dimensi kemasan yang dinyatakan dalam tiga macam dimensi yaitu dimensi dalam (inner dimension), dimensi pola (design dimension) dan dimensi luar (outer dimension). Dari data diatas, kemasan hasil rancangan berukuran (pxlxt) adalah 370 mm x 230 mm x 210 mm dengan dua layer. Perhitungan perancangan dimensi kemasan karton terdapat pada Lampiran 2. Desain kemasan memiliki perkiraan 25

berat bersih alpukat 5-6 kg, dengan kapasitas 30 buah yaitu pada masing-masing layer sebanyak 15 buah. Kemasan karton yang digunakan yaitu tipe Regular Slotted Container (RSC). Tipe RSC merupakan kemasan distribusi yang paling banyak digunakan karena memiliki bentuk yang sederhana dan ekonomis dalam penggunaan material, karena bahan yang digunakan minimal tetapi volumenya maksimal walaupun tidak memiliki kekuatan yang baik. Jenis karton gelombang yang digunakan yaitu double wall board sehingga kemasan karton dapat lebih kokoh dan dapat menahan tumpukan lebih banyak, serta dapat meredam goncangan yang terjadi selama poses transportasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Silvia (2006) bahwa tipe kemasan peti karton yang banyak digunakan di Indonesia adalah tipe RSC dan FTC dengan ventilasi tipe oblong ventilation dan circle ventilation selain itu tipe flute kemasan yang digunakan yaitu tipe flute AB karena banyak digunakan untuk kemasan distribusi, seperti dapat dilihat pada Gambar 12. Gambar 12. Flute AB kemasan outer Selain kemasan outer, terdapat kemasan inner berupa tambahan sekat karton dengan dua layer. Penambahan inner bertujuan untuk membatasi kontak antar buah alpukat yang berpotensi menimbulkan kerusakan mekanis buah. Sekat-sekat antar buah ini dibuat dari karton tipe flute BC. Buah alpukat disusun secara teratur dengan arah vertikal agar dapat mengurangi kerusakan mekanis akibat benturan pada dinding kemasan, dan memperkecil ukuran kemasan. Pola susunan alpukat dalam kemasan ditunjukkan pada Gambar 13. Gambar 13. Penyusunan buah alpukat dalam kemasan tumpukan bawah Kemasan untuk produk holtikultura terutama untuk buah-buahan sangat membutuhkan lubang ventilasi, karena buah-buahan selama proses pematangan menghasilkan gas etilen dan panas respirasi. Jika gas etilen dan panas respirasi terakumulasi mengakibatkan proses pematangan buah semakin cepat berdampak pada penurunan mutu dan umur simpan buah. Adanya ventilasi ini menyebabkan 26

sirkulasi udara yang baik dalam kemasan sehingga dapat menghindari kerusakan komoditas akibat akumulasi CO 2 pada suhu tinggi (Hidayati,1993). Oleh karena itu selain penambahan sekat, masing-masing kemasan juga diberi lubang ventilasi. Gambar 14 menunjukkan empat jenis rancangan kemasan alpukat yaitu kemasan berventilasi tipe circle, tipe oblong, ventilasi searah sekat, dan kemasan tanpa ventilasi. Penentuan luas ventilasi kemasan harus mempertimbangkan kemungkinan penurunan kekutan kemasan. Penggunaan ventilasi dan hand hold sebesar 2% dari bidang vertikal kemasan akan mengurangi kekuatan kemasan karton sebesar 10 % dari kemasan tanpa ventilasi dan hand hole (Singh, 2008). Luasan lubang ventilasi yang digunakan dalam perancangan sebesar 2% dari total luasan dinding kemasan, karena penggunaan ventilasi dan hand hole melebihi 2 % dapat mengurangi kekuatan tekan vertikal kemasan yang cukup signifikan. Selain kemasan outer yang diberi lubang ventilasi, kemasan inner atau sekat-sekat antar buah juga diberi lubang ventilasi agar udara didalam kemasan tetap mengalir walaupun adanya sekat. Perhitungan luasan ventilasi kemasan terdapat pada Lampiran 3. (a) (b) (c) (d) Gambar 14. Rancangan Kemasan Alpukat model (a) tanpa ventilasi, (b) tipe ventilasi circle, (c) ventilasi oblong, dan (d) ventilasi searah sekat. B. Pola Kestabilan Suhu Dalam Kemasan Suhu merupakan salah satu faktor penting pada sistem kemasan produk holtikultura, karena suhu mempengaruhi proses respirasi produk. Oleh karena itu dalam perancangan kemasan untuk produk hasil pertanian diperlukan ventilasi yang cukup untuk mengeluarkan panas hasil metabolisme. Dengan ventilasi sirkulasi udara dalam kemasan menjadi lebih baik dan menghindarkan kerusakan komoditas akibat akumulasi CO 2 pada suhu tinggi (Hidayati, 1993). Udara dalam kemasan perlu 27

disirkulasikan agar suhunya merata. Suhu dalam kemasan selama penyimpanan dapat bervariasi karena peningkatan suhu akibat mengambil panas dari komoditi atau adanya kebocoran pada beberapa bagian dalam ruang penyimpanan. Penentuan sebaran suhu dalam kemasan saat penyimpanan digunakan untuk mengetahui kemampuan kemasan dalam beradaptasi terhadap suhu penyimpanan. Buah alpukat, pisang, nangka, jambu, mangga, papaya, dan markisa termasuk kedalam buah klimakterik (Winarno,2002). Buah klimakterik merupakan buah yang masih mengalami proses pematangan, dan mengalami peningkatan respirasi. Sehingga untuk menghambat proses respirasi, diperlukan penyimpanan dingin yang sesuai. Oleh karena itu, suhu dalam kemasan harus sesuai dengan suhu ruang penyimpanan yang diharapkan. Kebutuhan untuk sirkulasi udara yang cepat terutama pada saat penyesuaian suhu produk dengan suhu penyimpanan dingin untuk menghilangkan panas lapangan. Posisi titik pengukuran suhu dalam kemasan ditunjukkan pada Gambar 15. Gambar 15. Posisi titik pengukuran suhu dalam kemasan 32,0 Suhu ( C ) 31,0 30,0 29,0 28,0 27,0 K1T1 K2T1 K3T1 K4T1 TLingkungan 26,0 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 waktu ( menit ) Gambar 16. Sebaran suhu dalam kemasan pada awal penyimpanan suhu ruang Gambar 16. menunjukkan pola sebaran suhu masing-masing kemasan dan suhu lingkungan pada penyimpanan suhu ruang selama 24 jam dari awal penyimpanan. Dari grafik dapat dilihat bahwa semua perlakuan kemasan menunjukkan pola sebaran suhu yang sama, terjadi peningkatan sampai waktu tertentu, kemudian turun kembali mengikuti penurunan suhu lingkungan. Pada menit ke-265 hingga menit ke-415 terjadi peningkatan suhu lingkungan, namun tidak diikuti oleh suhu masingmasing kemasan. Fluktuasi suhu dalam kemasan tersebut disebabkan pengaruh suhu lingkungan atau 28

ruangan berpendingin (AC) yang tidak kontinyu. Suhu kemasan tanpa ventilasi lebih tinggi dari suhu kemasan berventilasi, karena tidak terjadinya pertukaran udara dari lingkungan ke dalam kemasan atau sebaliknya. Oleh karenaa itu, suhu didalam kemasan tidak dapat bergerak bebas keluar dan menyebabkan terjadinya suhu yang tinggi di dalam ruang kemasan. Suhu pada perlakuan K1T1 yaitu kemasan tanpa ventilasi, membutuhkan waktu yang paling lama untuk mencapai suhu yang stabil yaitu 540 menit (9 jam). Hal ini terjadi karena proses pemindahan udara lingkungan ke dalam kemasan atau udara dalam kemasan ke lingkungan sulit terjadi karena tidak adanya ventilasi. Untuk perlakuan K2T1 (kemasan dengan ventilasi tipe circle) waktu yang dibutuhkan yaitu 265 menit (± 4 jam), K3T1 (ventilasi tipe oblong) memerlukan waktu 210 menit (3.5 jam), dan K4T1 (ventilasi searah sekat) memerlukan waktu 495 menit (± 8 jam) pada kestabilan suhu berkisar 28-29.1 o C. Dengan demikian pola perubahan suhu lingkungan lebih cepat daripada suhu dalam kemasan. Hal ini disebabkan oleh udara pada bagian lingkungan lebih bebas dari pada pergerakan udara dalam kemasan. Keadaan ventilasi berpengaruh pada proses perubahan suhu dalam kemasan terhadap suhu lingkungan untuk mencapai kondisi seimbang. Adanya ventilasi pertukaran udara lebih mudah dilakukan daripada tanpa ventilasi (Adhinata, 2008). 30,0 Suhu ( C) 25,0 20,0 15,0 10,0 5,0 K1T2 K2T2 K3T2 K4T2 TLingkungan 0,0 0 200 400 600 800 1000 1200 Waktu (menit) Gambar 17. Sebaran suhu dalam kemasan pada awal penyimpanan suhu 8 o C Gambar 17. menunjukkan pola sebaran suhu masing-masing kemasan dan suhu lingkungan pada penyimpanan suhu dingin. Pengukuran suhu dilakukan dari awal penyimpanan (suhu 27 o C) hingga mencapai suhu 8 o C, dimana tiap kemasan membutuhkan waktu yang berbeda untuk mencapai suhu optimum yang diharapkan. Suhu pada perlakuan K1T2 yaitu kemasan tanpa ventilasi, membutuhkan waktu yang paling lama untuk mencapai suhu pendingin yang diharapkan. Pada perlakuan tersebut diperlukan waktu 1120 menit (± 18 jam) untuk mencapai kondisi suhu 8 o C yang stabil. Hal serupa untuk kemasan tanpa ventilasi pada penyimpanan suhu ruang, proses pemindahan udara lingkungan ke dalam kemasan atau udara dalam kemasan ke lingkungan sulit terjadi karena tidak adanya ventilasi. Untuk perlakuan K2T2 (kemasan dengan ventilasi tipe circle) waktu yang dibutuhkan yaitu 715 menit (± 12 jam), K3T2 (ventilasi tipe oblong) selama 580 menit (± 10 jam), dan K4T2 (ventilasi searah sekat) selama 915 menit (± 15 jam) untuk mencapai kestabilan suhu pendingin yang diharapkan. Kestabilan suhu awal penyimpanan yang didapat berkisar pada suhu 7.4-8 o C. Suhu pada kemasan dengan tipe ventilasi oblong, lebih cepat mencapai suhu penyimpanan yang diharapkan. Semakin cepat suhu dalam kemasan mencapai kondisi ruang penyimpanan, maka laju respirasi buah dapat diperlambat, sehingga dapat memperpanjang umur simpan buah tersebut. 29

Dari keempat tipe kemasan, ternyata kemasan dengan ventilasi tipe oblong merupakan kemasan yang paling cepat menyesuaikan suhu kemasan di dalamnya dengan suhu lingkungan. Perbedaan waktu kemasan ventilasi tipe oblong dengan ventilasi circle dalam menyesuaikan dengan suhu lingkungan tidak begitu jauh. Kemasan dengan ventilasi tipe oblong paling cepat menyesuaikan dengan suhu lingkungan dikarenakan kemasan tersebut memiliki lubang ventilasi pada empat bagian sisinya yaitu bagian depan belakang dan samping kiri dan kanan, sehingga dengan adanya lubang ventilasi di empat bagian sisinya lebih memudahkan terjadinya pertukaran udara dan penyebaran udara didalam kemasan. Grafik sebaran suhu masing-masing kemasan pada awal penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 6. C. Pengaruh Tipe Ventilasi Terhadap Sebaran Suhu dalam Kemasan Suhu tiap kemasan selama penyimpanan pada suhu ruang mengalami kenaikan dari awal penyimpanan hingga akhir penyimpanan, seperti ditunjukkan pada Gambar 17. Hal ini disebabkan alpukat selama penyimpanan terus mengalami respirasi, sehingga timbul panas di dalam ruang kemasan. Suhu yang paling tinggi yaitu pada kemasan tanpa ventilasi (K1T1) karena panas hasil respirasi alpukat tidak dapat keluar dari dalam ruang kemasan, sehingga terjadi akumulasi panas di dalam kemasan. Selain karena proses respirasi dari alpukat, peningkatan suhu rata-rata selama penyimpanan juga dipengaruhi oleh suhu lingkungan yang mengalami kenaikan. Suhu kemasan yang tinggi dengan kelembaban yang rendah mempengaruhi mutu produk didalamnya. Karena dengan suhu ruang penyimpanan yang tinggi dapat mempercepat laju respirasi, sehingga mempercepat proses pematangan yang tidak sempurna. 31 Suhu ( C ) 30,5 30 29,5 29 28,5 K1T1 K2T1 K3T1 K4T1 TLingkungan 28 0 3 6 Hari ke- Gambar 18. Suhu rata-rata masing kemasan selama penyimpanan pada suhu ruang Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, tipe ventilasi kemasan sangat berpengaruh nyata terhadap suhu dalam kemasan, karena nilai p < α = 0.05. Dari hasil uji lanjut Duncan (Tabel.9), pada penyimpanan hari ke-0 kemasan K1T1 (kemasan tanpa ventilasi) dengan K2T1 ( ventilasi tipe circle ) tidak menghasilkan suhu yang berbeda nyata. Pada penyimpanan hari ke-3 hingga hari ke-6, perlakuan K1T1 berbeda nyata dibandingkan perlakuan lainnya, tetapi kemasan berventilasi menunjukkan suhu yang tidak berbeda nyata. 30

Tabel 9. Pengaruh tipe ventilasi kemasan terhadap sebaran suhu dalam kemasan selama penyimpanan pada suhu ruang Tipe Kemasan suhu ( C ) H-0 H-3 H-6 K1T1 28.98 a 30.68 a 30.72 a K2T1 28.98 a 30.12 b 30.22 b K3T1 28.78 ab 29.68 bc 29.98 bc K4T1 28.56 b 29.48 c 29.8 c Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5% Suhu rata-rata masing-masing kemasan pada suhu penyimpanan 8 C selama 12 hari penyimpanan terlihat stabil (Gambar 21). Penurunan suhu terjadi pada awal penyimpanan hingga mencapai suhu dingin optimum yang diharapkan. Namun suhu rata-rata selama penyimpanan yang dicapai pada masing-masing kemasan hanya berkisar antara 7.1-7.6 C, hal ini dikarenakan suhu rata-rata penyimpanan/refrigerator diperoleh dari pengukuran proses perubahan suhu dalam refrigerator, karena kondisi pendingin mengalami on-off. Dapat dilihat bahwa suhu kemasan tertinggi, sama seperti pada penyimpanan suhu ruang yaitu kemasan tanpa ventilasi. Grafik suhu yang dibentuk oleh kemasan K2T2 (tipe ventilasi circle) dan K3T2 (tipe ventilasi oblong) membentuk garis yang berhimpitan berarti menunjukkan suhu rata-rata yang sama hingga akhir penyimpanan. Suhu kemasan K2T2 dan K3T2 lebih rendah dibandingkan suhu pada kemasan K1T2 dan K4T2, namun suhu pada kemasan K2T2 dan K3T2 cenderung mendekati suhu lingkungan selama penyimpanan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemasan K2T2 dan K3T2 merupakan kemasan yang cepat menyesuaikan dengan suhu lingkungan penyimpanan. 9,5 Suhu ( C ) 9 8,5 8 7,5 7 6,5 6 0 3 6 9 12 Hari ke- K1T2 K2T2 K3T2 K4T2 TLingkungan Gambar 19. Suhu rata-rata masing-masing kemasan selama penyimpanan pada suhu 8 C Berdasarkan analisa sidik ragam nilai p < α = 0.05 sehingga tipe ventilasi kemasan berpengaruh nyata terhadap sebaran suhu dalam kemasan selama penyimpanan pada suhu dingin. Dari hasil uji lanjut Duncan (Tabel. 10), pada hari ke-0 suhu dalam kemasan tanpa ventilasi (K1T2) berbeda nyata dengan K2T2, K3T2, dan K4T2. Sedangkan untuk hari ke-3 hingga hari ke-12, hanya suhu dalam 31

kemasan K2T2 dan K3T2 yang tidak berbeda nyata. Jadi penggunaan tipe ventilasi circle dan oblong pada penyimpanan suhu dingin, tidak menghasilkan beda nyata pada suhu dalam kemasan. Tabel 10. Pengaruh tipe ventilasi kemasan terhadap sebaran suhu dalam kemasan selama penyimpanan pada suhu 8 C Tipe Kemasan suhu ( C) H-0 H-3 H-6 H-9 H-12 K1T2 9.2 a 7.64 a 7.5 a 7.54 a 7.56 a K2T2 8 bc 7.2 c 7.16 b 7.24 c 7.24 c K3T2 7.52 c 7.2 c 7.1 b 7.18 c 7.16 c K4T2 8.18 b 7.44 b 7.36 a 7.42 b 7.44 b Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5% Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Adhinata (2008), dimana pola grafik hubungan waktu terhadap suhu pada kemasan berventilasi lingkaran dan oval memiliki pola yang sama, sedangkan kemasan berventilasi campuran cenderung memiliki pola yang sama dengan kemasan tanpa ventilasi. Hasil simulasi juga menunjukkan pola sebaran suhu dipengaruhi oleh bentuk ventilasi. Keadaan suhu pada daerah yang searah dengan ventilasi menghasilkan sebaran suhu yang relatif sama dengan suhu lingkungan. Data suhu rata-rata selama penyimpanan dapat dilihat di Lampiran 7. D. Tingkat Kerusakan Mekanis Setelah Simulasi Transportasi Simulasi transportasi dilakukan menggunakan meja getar dengan tujuan untuk mendapatkan kondisi yang homogen pada tiap ulangan yang sulit diperoleh pada kondisi real di jalan, dan untuk mendapatkan gambaran kerusakan mekanis buah alpukat apabila mengalami goncangan dan getaran selama transportasi. Simulasi transportasi dilakukan selama dua jam, berdasarkan lama pengiriman buah alpukat yang dilakukan oleh pedagang pengumpul kecil di Sukabumi ke pengumpul besar di Jakarta. Gambar 20. Simulasi transportasi disain kemasan alpukat Hasil konversi frekuensi dan amplitudo selama simulasi transportasi penggetaran berdasarkan konversi angkutan truk selama dua jam pada alat simulasi transportasi (terdapat pada Lampiran 5) 32

setara dengan 184.82 km dijalan luar kota atau lebih kurang 3.08 jam perjalanan truk dengan kecepatan 60 km/jam. Pada jalan buruk beraspal jarak yang ditempuh 89.6 km atau lebih kurang 2.98 jam perjalanan truk dengan kecepatan 30 km/jam. Hal ini cukup sesuai dengan jarak yang ditempuh oleh pedagang pengumpul kecil di Sukabumi ke pengumpul besar di Jakarta yaitu ±115 km. Dalam pengangkutan juga perlu diperhatikan kondisi lingkungan. Pengangkutan dengan truk tanpa pendingin, sebaiknya dilakukan pada malam hari untuk menghindari suhu lingkungan yang terlalu tinggi. Karena hal ini akan berpengaruh pada umur simpan buah alpukat. Pada malam hari suhu udara relatif lebih rendah dan dapat mengurangi resiko kerusakan mekanis akibat kenaikan suhu. Pengukuran tingkat kerusakan mekanis buah alpukat setelah simulasi transportasi dilakukan secara visual pada penampakan luar buah alpukat dan jumlah buah yang rusak pada tiap kemasan. Buah dinyatakan rusak jika terjadi penyimpangan tekstur dari keadaan normal. Parameter kerusakan buah alpukat dapat dilihat dari adanya luka memar, luka gores, dan luka pecah pada kulit. Kerusakan mekanis akibat memar ditandai dengan terbentuknya bagian dengan warna agak berbeda dan lunak, sedangkan luka gores ditandai dengan adanya luka seperti sayatan pada kulit buah, dan luka pecah ditandai dengan kulit buah alpukat yang berwarna agak berbeda namun keras (Destiyani, 2010). Dari hasil studi lapang transportasi buah alpukat yang didistribusikan dengan menggunakan peti kayu berkapasitas 44 Kg pada suhu ruang memiliki tingkat kerusakan mekanis sebesar 26.81 %, sedangkan pengemasan alpukat dengan menggunakan kemasan karton berkapasitas 15 Kg tanpa bahan pengisi pada suhu ruang memiliki kerusakan mekanis sebesar 12.93 % dan pengemasan alpukat dengan menggunakan karton berkapasitas 7 Kg dengan bahan pengisi berupa potongan karton cacah pada suhu ruang memiliki tingkat kerusakan mekanis sebesar 4.05 % (Destiyani, 2010). Dari hasil pengamatan secara visual pada buah alpukat setelah simulasi transportasi pada empat macam kemasan dengan tipe ventilasi yang berbeda-beda, tidak ditemukan kerusakan mekanis seperti luka memar, luka gores, dan luka pecah pada kulit alpukat. Karena adanya kemasan inner berupa sekat-sekat pada ruang kemasan tidak menyebabkan terjadinya benturan antar buah alpukat yang dapat mengakibatkan luka memar. Permukaan karton gelombang yang halus dibandingkan kemasan kayu juga dapat memperkecil terjadinya luka gores pada kulit alpukat. Kemungkinan kerusakan dapat terjadi akibat benturan buah terhadap permukaan kemasan. Namun belum dapat terlihat karena kulit alpukat yang keras. Kerusakan fisik dari alpukat dapat dilihat setelah penyimpanan pada berbagai kondisi seperti suhu ruang dan 8 C. E. Pengaruh Tipe Ventilasi dan Suhu Penyimpanan Terhadap Mutu Buah Alpukat 1. Susut Bobot Susut bobot terjadi karena selama proses penyimpanan menuju pematangan terjadi perubahan fisiokimia berupa penyerapan dan pelepasan air dari dan ke lingkungan penyimpanan. Kehilangan air pada bahan tersimpan selama periode penyimpanan tidak hanya menyebabkan kehilangan berat, tetapi dapat juga menyebabkan kerusakan dan penurunan kualitas. Kehilangan berat dalam jumlah sedikit yang terjadi secara perlahan mungkin saja tidak berarti bagi bahan tersebut, tetapi kehilangan yang besar dan terjadi secara cepat akan menyebabkan pengkeriputan dan pelayuan. (Muchtadi, 1988). Susut bobot setelah transportasi disebabkan oleh faktor metabolisme buah, yaitu proses transpirasi dan respirasi. Proses transpirasi adalah proses penguapan air dari komoditi segar keluar melalui permukaan luar komoditi. Proses transpirasi ini dapat menurunkan tekstur, menyebabkan pelayuan, dan pengerutan. Jika kerusakan mekanis pasca transportasi yang terjadi pada permukaan 33

buah relatif besar maka penguapan dan kehilangan air dapat terjadi lebih cepat sebaliknya jika kerusakan mekanis pasca transportasi yang terjadi pada permukaan buah relatif kecil maka penguapan dan kehilangan air yang terjadi selama penyimpanan akan berjalan lambat. Hal ini disebabkan buah kehilangan pelindung alaminya sehingga proses transpirasi berlangsung lebih cepat. Pola perubahan persentase susut bobot buah alpukat yang dikemas dalam berbagai tipe kemasan selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 21 dan 22. 18 Susut Bobot (%) 15 12 9 6 3 0 0 3 6 9 Lama Penyimpanan (Hari) K1T1 K2T1 K3T1 K4T1 Gambar 21. Perubahan persentase susut bobot alpukat dalam kemasan selama penyimpanan pada suhu ruang (28-30 o C) Susut Bobot (%) 7 6 5 4 3 2 1 0 0 3 6 9 12 14 Lama Penyimpanan (Hari) K1T2 K2T2 K3T2 K4T2 Gambar 22. Perubahan persentase susut bobot alpukat dalam kemasan selama penyimpanan pada suhu 8 o C. Berdasarkan Gambar 21 dan 22. terlihat bahwa semakin lama penyimpanan maka susut bobot buah pada setiap perlakuan semakin meningkat. Dari Gambar 21. Persentase susut bobot buah alpukat tertinggi pada penyimpanan suhu ruang (28-30 o C ) yaitu kemasan tanpa ventilasi (K1T1) sebesar 14.84 %. Hal ini dapat terjadi karena suhu di dalam kemasan yang tinggi dibandingkan kemasan berventilasi. Pada kemasan berventilasi terjadi pertukaran udara dari lingkungan dengan suhu dalam kemasan. Umumnya semakin tinggi suhu ruang penyimpanan maka semakin tinggi laju penurunan bobot buah, karena transpirasi yang terjadi semakin besar. Kehilangan air 5 10 % dari berat semula melalui transpirasi dianggap tidak laku dijual sehingga merugikan pada tingkat penjualan eceran (Pantastico, 1989). 34

Transpirasi yang tinggi dapat menurunkan kadar air buah alpukat sehingga susut bobot menjadi tinggi. Selain itu suhu tinggi menyebabkan respirasi meningkat, substrat yang dihasilkan pada proses fotosintesis diuraikan menjadi gula sederhana sehingga dihasilkan CO 2 dan air pada proses respirasi, akibatnya terjadi penurunan air dalam bahan yang menyebabkan penurunan bobot. Sedangkan persentase susut bobot terkecil pada penyimpanan suhu ruang adalah pada kemasan dengan ventilasi tipe circle (K2T1) sebesar 11.74 %. Hal ini dikarenakan dengan adanya ventilasi pada bagian sisi kemasan, terjadi sirkulasi udara dari dalam kemasan ke luar lingkungan sehingga tidak terjadi akumulasi panas dalam kemasan yang dapat mempercepat laju respirasi alpukat. Berdasarkan Gambar 22. Dapat dilihat bahwa persentase susut bobot buah alpukat terkecil pada penyimpanan suhu 8 o C yaitu kemasan tanpa ventilasi (K1T2) sebesar 4.85%. Sama seperti halnya pada kemasan ventilasi yang disimpan pada suhu ruang, perubahan suhu lingkungan kurang berpengaruh terhadap suhu dalam kemasan tanpa ventilasi. Sehingga saat suhu lingkungan lebih rendah dari suhu penyimpanan dingin yang diharapkan, suhu pada ruang kemasan tanpa ventilasi tidak mengalami penurunan yang drastis dari suhu yang diharapkan. Kemasan tanpa ventilasi (K1T2) memiliki persentase susut bobot paling kecil dikarenakan tidak adanya lubang ventilasi menyebabkan kandungan oksigen rendah didalam kemasan akan menghambat laju respirasi, sehingga proses perombakan senyawa makromolekul seperti karbohidrat, lemak, dan protein menjadi gula sederhana terhambat, CO 2 dan air yang dikeluarkan pun berkurang. Buah yang disimpan pada suhu ruang (28-30 o C) sebagian sudah mengalami pembusukan pada hari ke-6 sehingga tidak dapat bertahan hingga hari ke-12. Hal ini sesuai dengan Sudarminto (1992) bahwa alpukat pada kondisi penyimpanan udara normal dengan suhu 25-32 o C hanya dapat bertahan selama 5-8 hari. Oleh karena itu penting dijaga agar suhu dan kelembaban ruang penyimpanan relatif tetap. Karena perubahan suhu penyimpanan sebesar 2-3 o C lebih tinggi dari suhu yang dikehendaki sangat memungkinkan terjadinya pembusukan atau proses pematangan yang tidak baik dan kelembaban udara yang rendah dapat mempercepat terjadinya transpirasi atau penguapan yang dapat menyebabkan kehilangan bobot yang cukup besar. Susut bobot pada penyimpanan suhu 8 o C lebih kecil daripada penyimpanan pada suhu ruang (28-30 o C). Hal ini disebabkan perbedaan kelembapan relatif pada suhu ruang penyimpanan. Ryali dan Pentzer (1982) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi susut bobot salah satunya adalah kelembapan relative (RH) pada ruang simpan. Kelembapan udara yang rendah dapat mempercepat terjadinya transpirasi atau penguapan sehingga dapat menyebabkan kehilangan bobot yang cukup besar selama penyimpanan. Apabila ruang simpan memiliki RH tinggi maka susut bobot yang dialami lebih kecil dibandingkan dengan ruang simpan yang memiliki RH rendah. Kelembaban relatif (RH) pada suhu 8 o C sebesar 85-95 %, sedangkan RH pada suhu ruang 28 o C sebesar 60 70 %. Meskipun kelembapan yang tinggi mencegah terjadinya pembusukan, namun kelembapan yang tinggi juga dapat mengakibatkan penyusutan yang berlebihan, pengkeriputan, dan kerusakan kulit (Pantastico, 1989). Dari hasil analisis sidik ragam, terbukti bahwa model (interaksi antara kemasan, suhu, danlama penyimpanan) berpengaruh nyata terhadap susut bobot buah alpukat selama penyimpanan. Ternyata dari hasil analisis sidik ragam, tipe ventilasi kemasan tidak berpengaruh signifikan terhadap susut bobot, tetapi suhu penyimpanan berpengaruh secara signifikan terhadap susut bobot, karena p value <.0001. Dari hasil uji lanjut Duncan (Tabel 11 dan 12), ternyata kemasan dan interaksi dari tiap-tiap faktor perlakuan tidak berbeda nyata pada susut bobot, sehingga penggunaan tipe ventilasi yang berbeda atau tanpa penggunaan ventilasi pada kemasan tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap perubahan susut bobot buah alpukat. Sedangkan interaksi antara suhu terhadap waktu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap susut bobot sehingga memberikan perbedaan yang signifikan terhadap perubahan susut bobot buah alpukat pada tiap suhu penyimpanan yang berbeda. 35

Hal ini berarti bahwa susut bobot termasuk parameter mutu yang tidak dapat menggambarkan pengaruh ragam perlakuan pada tipe ventilasi kemasan, tetapi menggambarkan ragam perlakuan pada suhu penyimpanan. Dengan demikian penggunaan kemasan dengan tipe ventilasi kemasan yang berbeda ataupun tanpa menggunakan ventilasi, tidak terlalu menghasilkan perbedaan peningkatan susut bobot yang signifikan, tetapi suhu penyimpanan justru yang sangat berpengaruh terhadap susut bobot. Hasil analisa sidik ragam dan uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Lampiran 12. Tabel 11. Pengaruh tipe ventilasi kemasan terhadap susut bobot alpukat Tipe Kemasan Susut Bobot (%) H-3 H-6 H-9 H-12 K1 2.1542 a 8.8575 a 3.8350 a 4.8450 a K2 2.0658 a 7.5300 a 4.4450 a 5.6500 a K3 2.0394 a 7.6200 a 4.1850 a 5.4100 a K4 2.0984 a 8.0875 a 4.7850 a 5.8500 a Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5% Tabel 12. Pengaruh suhu penyimpanan terhadap susut bobot buah alpukat Suhu Penyimpanan T1 ( 28 o C ) 2.5864 a 12.8913 a Susut bobot (%) H-3 H-6 H-9 H-12 T2 ( 8 o C) 1.5925 b 3.1563 b 4.3125 5.4387 Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5% 2. Kekerasan Kekerasan merupakan salah satu parameter yang menunjukan kualitas tekstural produk segar holtikultura. Pengukuran uji kekerasan dilakukan sebagai salah satu indikasi terjadinya kerusakan pada suatu komoditi, dimana semakin kecil nilai tekan buah maka akan semakin rusak buah tersebut. Buah yang matang dan siap konsumsi relatif lebih lunak daripada buah yang masih mentah (Sjaifullah,1996). Menurut Pantastico (1986), ketegangan disebabkan oleh tekanan isi sel pada dinding sel dan bergantung pada konsentrasi zat-zat osmotic aktif pada vakuola, permeabilitas protoplasma, dan elastisitas dinding sel. Buah-buahan akan kehilangan airnya karena proses transpirasi dan respirasi setelah pemanenan, sehingga tekanan turgornya menjadi semakin kecil dan menyebabkan komoditas tersebut menjadi lunak. Air sel yang menguap membuat sel menciut sehingga ruangan antar sel menyatu dan zat pectin menjadi saling berikatan. Pengaruh dari kerusakan mekanis selama transportasi, mengakibatkan buah mengalami penurunan kekerasan karena beberapa jenis luka menyebabkan struktur permukaan buah terjadi kerusakan sel-sel penyusun jaringan dan akan terpisah ikatannya. Menurut Pantastico (1989), parahnya tingkat kerusakan dapat memicu respirasi. Hal ini akan menyebabkan proses metabolisme buah tersebut akan berlangsung lebih cepat dari yang seharusnya (buah yang tidak rusak). Selain itu tingginya susut bobot buah juga mempengaruhi tingkat kekerasan suatu buah. Perubahan kekerasan buah alpukat pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada gambar berikut ini. 36

4,00 Kekerasan buah (Kgf) 3,00 2,00 1,00 K1T1 K2T1 K3T1 K4T1 0,00 0 3 6 9 Lama Penyimpanan (Hari) Gambar 23. Perubahan kekerasan buah alpukat selama penyimpanan pada suhu ruang (28-30 o C) 4,00 Kekerasan Buah (Kgf) 3,50 3,00 2,50 2,00 K1T2 K2T2 K3T2 K4T2 1,50 0 3 6 9 12 14 Lama Penyimpanan (Hari ke-) Gambar 24. Perubahan kekerasan buah alpukat selama penyimpanan pada suhu 8 o C Dari Gambar 23. dapat dilihat bahwa pola perubahan kekerasan pada penyimpanan suhu ruang terjadi penurunan kekerasan, yang menandakan bahwa buah alpukat semakin lunak. Penurunan kekerasan disebabkan oleh proses respirasi yang membutuhkan air dari sel sehingga terjadinya pengurangan air pada sel yang berakibat sel kehilangan kekerasannya. Semakin tinggi laju respirasi, maka kekerasanya akan semakin menurun. Berdasarkan hasil penelitian Soesarsono (1989) pada penyimpanan suhu ruang, laju respirasi alpukat yang ditempatkan dalam wadah kedap udara menunjukkan puncak respirasi terjadi pada hari kedua penyimpanan dengan jumlah 342.42 mg/kg.jam, sedangkan pada penyimpanan semi kedap udara mengalami puncak respirasi pada hari ketiga dengan laju respirasi 350 mg/kg.jam. Laju penurunan kekerasan yang lambat pada penyimpanan ruang adalah pada kemasan ventilasi tipe circle (K2T1), pada akhir penyimpanan kekerasannya lebih tinggi dibandingkan dengan kemasan lain yaitu sebesar 0.69 Kgf, hal ini sesuai dengan penurunan susut bobot yang rendah pada kemasan K2T1 dibandingkan dengan kemasan lainnya. Menurut Muchtadi (1988) proses pelunakan buah alpukat terjadi karena buah mengalami pemasakan dan pembongkaran protopectin tak larut menjadi asam pektat dan pectin yang lebih mudah 37

larut, maupun terjadinya hidrolisi pati (seperti pada buah squash ) atau lemak (pada buah alpukat). Kecepatan reaksi pematangan (ripening) sampai dengan pembusukan (deterioration) buah alpukat pada suhu ruang jauh lebih cepat dibandingkan dengan suhu dingin. Pada suhu diantara (0 35 o C) kecepatan respirasi pada sayuran dan buah-buahan 2-3 kali lipatnya untuk tiap kenaikan suhu sebesar 10 o C, yang menunjukkan adanya pengaruh proses biologis maupun kimia. Pada hari ke-3 pada penyimpanan suhu ruang, nilai kekerasan buah alpukat mengalami penurunan. Hal ini disebabkan buah mulai mengalami kerusakan akibat pemanasan, sehingga terjadi perubahan warna dan aroma. Menurut Pantastico (1986) pemberian suhu diatas 25 o C terlalu lama menyebabkan kerusakan pada buah alpukat. Buah yang disimpan pada suhu 27-30 o C memiliki ciri antara lain : tidak matang secara normal, penampakan fisik buruk, daging buah lunak secara tidak merata, timbulnya noda-noda berwarna kecoklatan pada kulit, serta timbulnya rasa dan bau yang tidak dikehendaki. Pada suhu 32 o C daging buah alpukat menjadi kenyal, dan muncul gejala-gejala pengkeriputan pada kulit. Pada akhir penyimpanan (hari ke-6) semakin terjadinya penurunan kekerasan yang drastis, hal ini berarti buah alpukat semakin lunak. Pelunakan buah alpukat pada akhir penyimpanan disebabkan terjadinya pembusukan, dan pertumbuhan jamur pada pangkal dan ujung buah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 25. Gambar 25. Perubahan warna kecoklatan dan timbul jamur pada alpukat untuk penyimpanan 6 hari pada suhu ruang (28-30 C) Gambar 24. Menunjukkan perubahan kekerasan buah alpukat pada penyimpanan suhu 8 C cenderung mengalami penurunan hingga pertengahan hari penyimpanan yang terjadi tidak signifikan. Namun pada perlakuan K2T2 dan K3T2 kekerasan buah alpukat mengalami kenaikan pada penyimpanan hari ke-9 hingga hari akhir penyimpanan yaitu pada hari ke-12. Nilai kekerasan pada K2T2 sebesar 3.03 Kgf dan K3T2 sebesar 2.97 Kgf. Kenaikan nilai kekerasan ini diikuti dengan adanya sedikit pengkeriputan kulit buah akibat penyimpanan suhu rendah yang terlalu lama. Kenaikan nilai kekerasan ini disebabkan kulit buah yang menjadi keriput, sehingga nilai tekannya semakin besar. Menurut Pantastico (1986), buah alpukat dapat mengalami kerusakan apabila disimpan pada waktu cukup lama pada suhu rendah. Gejala kerusakan yang dialami oleh alpukat antara lain : pengeriputan, timbul warna kuning kecoklatan pada daging buah sekitar biji atau pada jaringan dipertengahan biji dan kulit, aroma dan rasa yang tidak dikehendaki, serta jaringan pembuluh tampak berwarna kuning kecoklatan. Penurunan kekerasan pada kemasan K1T2 dan K4T2 menunjukkan pola yang hampir sama, tidak mengalami peningkatan kekerasan seperti K2T2 dan K3T2. Nilai kekerasan pada K1T2 sebesar 2 Kgf dan K4T2 sebesar 2.33 Kgf yang masih dapat diterima konsumen. 38

Hasil analisis sidik ragam didapat bahwa tipe kemasan tidak berpengaruh nyata pada tingkat kekerasan buah alpukat, sedangkan suhu penyimpanan memberikan pengaruh nyata pada tingkat kekerasan alpukat masing-masing kemasan dengan nilai p < α=0.05. Berdasarkan hasil analisa uji lanjut Duncan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 13 dan 14, tipe kemasan tidak menghasilkan perbedaan kekerasan yang signifikan, sedangkan pengaruh suhu penyimpanan terhadap kekerasan buah alpukat menunjukkan perbedaan yang signifikan antara penyimpanan pada suhu ruang dengan penyimpanan suhu dingin 8 o C. Hasil analisa sidik ragam dan uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Lampiran 13. Tabel 13. Pengaruh tipe kemasan berventilasi terhadap kekerasan buah alpukat Tipe Kemasan Kekerasan (Kgf) H-0 H-3 H-6 H-9 H-12 K1 3.2200 b 2.7300 a 1.8255 a 2.5550 b 1.9950 a K2 3.3550 a 2.9325 a 1.9250 a 2.8700 a 3.0250 a K3 3.4500 a 2.2650 a 1.6850 a 2.5650 b 2.9700 a K4 3.2125 b 2.5300 a 1.8850 a 2.91 a 2.3250 a Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5% Tabel 14. Pengaruh suhu penyimpanan terhadap kekerasan buah alpukat Suhu Penyimpanan Kekerasan hari ke- (Kgf) H-0 H-3 H-6 H-9 H-12 T1 ( 28 o C ) 3.24125 b 1.8800 b 0.49150 b T2 ( 8 o C) 3.37750 a 3.3488 a 3.16875 a 2.7250 2.57875 Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5 % 3. Total Padatan Terlarut Kandungan total padatan terlarut (TPT) pada suatu bahan menunjukkan kandungan gula yang terdapat pada bahan tersebut (Sjaifullah, 1996). Pengamatan kandungan gula pada buah termasuk ke dalam indikator dari rusaknya buah tersebut karena buah semakin lama semakin berkurang kadar gulanya diiringi proses respirasi dari buah tersebut. Pada saat respirasi, terjadi pemecahan oksidatif dari bahan-bahan yang kompleks seperti karbohidrat, lemak, dan protein (Muchtadi, 1988). Total Padatan Terlarut ( Brix ) 9 8,5 8 K1T1 K2T1 7,5 K3T1 7 K4T1 6,5 6 0 3 6 9 Lama Penyimpanan ( Hari ) Gambar 26. Perubahan total padatan terlarut selama penyimpanan pada suhu ruang (28-30 o C) 39

Total padatan terlarut (Brix) 9 8,5 8 7,5 7 6,5 0 3 6 9 12 14 Lama Penyimpanan (Hari) K1T2 K2T2 K3T2 K4T2 Gambar 27. Perubahan total padatan terlarut selama penyimpanan pada suhu 8 o C Pola perubahan total padatan terlarut pada penyimpanan suhu ruang menunjukkan terjadinya kecenderungan menurun sejak awal hingga akhir penyimpanan (Gambar 26). Penurunan total padatan terlarut terjadi karena kematangan yang tidak sempurna pada buah alpukat. Penyimpanan pada suhu ruang (28-30 o C) selama 6 hari menunjukkan penurunan total padatan terlarut yang drastis, diikuti dengan busuknya buah alpukat. Hal ini karena adanya perombakan gula dalam alpukat menjadi alkohol. Proses ini ditandai dengan munculnya senyawa volatile seperti aroma tidak sedap ( busuk ). Selain itu, akan timbul pula jamur pada bonggol dan kulit alpukat. Hal ini sesuai pendapat Biale dan Young (1962) di dalam Kartasapoetra (1994), bahwa penyimpanan pada suhu 30 o C dapat mengakibatkan buah alpukat tidak masak. Berdasarkan Gambar 27. dapat dilihat bahwa total padatan terlarut pada penyimpanan suhu dingin menunjukan kenaikan diawal proses penyimpanan di hari ke-3, dan mengalami penurunan pada pertengahan penyimpanan (hari ke-6 dan hari ke-9), kemudian mengalami kenaikan di akhir penyimpanan (hari ke 12). Pola peningkatan total padatan terlarut pada hari ke-12 disebabkan terjadinya hidrolisis pati menjadi gula. Pola perubahan total padatan terlarut selama penyimpanan tersebut merupakan indikasi perubahan komposisi total padatan terlarut buah alpukat dipengaruhi laju respirasi klimaterik buah alpukat. Menurut Pantastico (1986), terdapatnya kecenderungan kenaikan dan penurunan dalam proses pemasakan merupakan sifat khas dari buah dalam keadaan klimakterik. Secara umum selama proses pematangan terjadi peningkatan kadar gula buah-buahan karena terjadi proses hidrolisa pati menjadi zat gula baik dalam bentuk sukrosa, glukosa, maupun fruktosa. Kondisi ruang penyimpanan buah alpukat yang tertutup dan bersuhu rendah mempengaruhi perubahan komposisi total gula daging buah alpukat karena menurunkan kadar oksigen dan meningkatkan kadar karbondioksida. Menurut Ulrich di dalam Pantastico (1986), konsentrasi oksigen yang rendah berpengaruh terhadap penundaan proses pematangan, sedangkan peningkatan kadar karbondioksida berpengaruh terhadap penurunan reaksi sintesis pematangan dan perubahan perbandingan berbagai gula. Nilai total padatan terlarut terbesar dimiliki oleh perlakuan K3T2 yaitu kemasan dengan ventilasi tipe oblong pada suhu penyimpanan dingin 8 o C selama 12 hari sebesar 8.655 Brix. Sedangkan total padatan terlarut terendah dimiliki oleh buah alpukat pada perlakuan K2T1 yaitu pada kemasan dengan ventilasi tipe circle pada penyimpanan suhu ruang sebesar 6.12 Brix setelah enam hari penyimpanan. 40

Total padatan terlarut akan meningkat dengan cepat ketika buah mengalami pematangan dan akan terus menurun seiring lama penyimpanan. hal ini disebabkan terjadinya hidrolisis pati yang tidak larut dalam air menjadi gula yang larut dalam air. Selanjutnya dalam proses penuaan semakin berlanjut kadar gula menurun, hal ini diduga karena hidrolisis pati sedikit sekali, sehingga proses respirasi meningkat dan sintesa asam yang mendegradasi gula berjalan terus. Hasil analisa sidik ragam dan uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Lampiran 14. Tabel 15. Pengaruh tipe ventilasi kemasan terhadap total padatan terlarut (TPT) buah alpukat Tipe Kemasan Total Padatan Terlarut ( Brix) H-0 H-3 H-6 H-9 H-12 K1 8.0000 a 7.7450 a 6.9675 a 7.7100 a 7.9400 a K2 7.5825 a 7.4550 a 7.0300 a 7.9850 a 8.1500 a K3 8.0275 a 7.7950 a 7.1250 a 8.2050 a 8.6550 a K4 7.4300 a 7.5500 a 6.6900 a 7.8150 a 8.2200 a Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5 % Tabel 16. Pengaruh suhu penyimpanan terhadap total padatan terlarut (TPT) buah alpukat Suhu Penyimpanan Total Padatan Terlarut hari ke- ( Brix) H-0 H-3 H-6 H-9 H-12 T1 (28 o C) 7.8 a 7.1575 b 6.2125b T2 (8 o C) 7.72 a 8.1150 a 7.6938 a 7.92875 8.24125 Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5 % Berdasarkan hasil analisa sidik ragam, hubungan antara tipe ventilasi kemasan, suhu penyimpanan, dan waktu tidak berpengaruh nyata terhadap total padatan terlarut, sedangkan suhu penyimpanan berpengaruh nyata karena P value < α=0.05. Perlakuan tipe ventilasi kemasan tidak berpengaruh nyata pada total padatan terlarut. Berdasarkan uji lanjut Duncan (Tabel 15 dan 16) suhu penyimpanan memberikan perbedaan yang nyata terhadap perubahan pada total padatan terlarut buah alpukat. Hal ini berarti perubahan total padatan terlarut buah alpukat hanya dipengaruhi oleh suhu penyimpanan, sedangkan tipe kemasan tidak memberikan perbedaan yang signifikan. Buah alpukat merupakan produk pertanian yang sulit dicari keseragaman dari tingkat kematangannya sehingga total padatan terlarut termasuk parameter mutu yang tidak dapat menggambarkan pengaruh ragam perlakuan, yaitu tipe ventilasi kemasan. Kandungan gula atau total padatan terlarut merupakan refleksi dari manis, yang juga menunjukkan tingkat ketuaan dan kematangan. Umumnya, total padatan terlarut pada buah-buahan akan meningkat cepat ketika buah mengalami pematangan dan terus menurun seiring dengan lama penyimpanan buah. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan pati yang tidak larut dalam air menjadi gula yang larut dalam air. Menurut Wilson (1989), beberapa penyebab perubahan total padatan terlarut diantaranya karena proses pematangan, pemecahan pati menjadi gula dan karena adanya penumpukan substrat sebagai akibat dari respirasi. Aktivitas etilen dalam pematangan buah akan menurun dengan menurunnya suhu. Selain suhu, salah satu faktor yang mempercepat proses 41

pematangan adalah kerusakan mekanis pada buah. Kecepatan proses pematangan buah akan meningkatkan total padatan terlarut buah. 4. Kerusakan Buah Alpukat Selama Penyimpanan Kerusakan produk holtikultura selama penyimpanan dapat berupa kerusakan fisik dan kerusakan biologis. Kerusakan fisik yang terjadi dapat disebabkan oleh kerusakan mekanis, sedangkan kerusakan biologis dapat dipengaruhi oleh laju respirasi yang tergantung kondisi suhu dan lama simpan. Kerusakan mekanis yang terjadi setelah simulasi transportasi belum terlihat pada masingmasing perlakuan tipe kemasan, namun mulai tampak terjadi perubahan pada alpukat setelah pengamatan di hari ke-3 hingga akhir penyimpanan seperti ditunjukkan pada gambar berikut ini. kerusakan fisik (%) 25 20 15 10 5 0 0 3 6 Lama Penyimpanan (Hari) K1T1 K2T1 K3T1 K4T1 Gambar 28. Presentasi kerusakan fisik buah alpukat selama penyimpanan pada suhu ruang Berdasarkan Gambar 28. kerusakan tertinggi buah alpukat pada penyimpanan suhu ruang terdapat pada perlakuan KIT1 (kemasan tanpa ventilasi) dengan persentasi kerusakan sebesar 21.67 %. Pada penyimpanan hari ke-3 pada suhu ruang, mulai terlihat luka memar dan timbul warna kecoklatan pada bagian ujung buah seperti di tunjukkan pada Gambar 29. Luka memar tersebut diakibatkan oleh benturan alpukat dengan dinding kemasan yang baru terlihat setelah dilakukan penyimpanan. Luka atau memar yang terjadi pada buah-buahan akan meningkatkan sintesa etilen. Dengan demikian secara tidak langsung akan meningkatkan kecepatan respirasi, karena etilen dapat menstimulir reaksi enzimatis dalam buah-buahan (Muchtadi,1988) Gambar 29. Kerusakan buah alpukat pada kemasan K1T1 setelah penyimpanan hari ke-3 42

Pada penyimpanan hari ke-6 pada suhu ruang, kerusakan pada buah semakin meningkat. Buah mulai layu, mengkerut, bahkan terdapat buah yang busuk dan ditumbuhi kapang atau jamur pada bagian bonggol dan kulit buah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 29. Kerusakan ini dipengaruhi oleh suhu ruang kemasan yang tinggi, dan relative lembab, sehingga mempercepat laju respirasi dan kebusukan. Kerusakan tertinggi pada K1T1 (tanpa ventilasi) dikarenakan dengan tidak adanya lubang ventilasi, suhu didalam kemasan akan tinggi dan mempercepat laju respirasi dan kandungan CO 2 yang meningkat didalam kemasan, yang akan merusak buah dan mempercepat kebusukan. (a) (b) (c) Gambar 30. Perubahan buah alpukat (a) kerutan pada kulit, (b). busuk bagian ujung, dan (c) pertumbuhan jamur 43

Kerusakan Mekanis (%) 12 10 8 6 4 2 0 0 3 6 9 12 Lama Penyimpanan (Hari) K1T2 K2T2 K3T2 K4T2 Gambar 31. Presentasi kerusakan fisik buah alpukat selama penyimpanan pada suhu 8 C Berdasarkan Gambar 31. perlakuan tiap kemasan yang disimpan di suhu 8 C kerusakan mekanis hanya terdapat pada perlakuan K3T2 (ventilasi tipe oblong). Kerusakan yang terjadi berupa luka pecah dan memar akibat penggetaran saat transportasi yang baru terlihat setelah penyimpanan di hari ke-3 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 32. Pada penyimpanan dingin tidak terdapat kerusakan akibat jamur atau busuk hingga di akhir penyimpanan, karena suhu dingin dapat menghambat pertumbuhan jamur atau kapang. (a) (b) Gambar 32. Jenis kerusakan buah yang berupa (a) Luka pecah dan (b) Luka memar Penampilan buah alpukat pada penyimpanan suhu dingin masih tampak terlihat segar, tidak terjadi kerusakan seperti pada penyimpanan di suhu ruang. Namun pada masing-masing kemasan terdapat beberapa buah alpukat mengalami keriput pada kulit. Hal ini terjadi karena suhu dalam ruang pendingin yang tercapai dibawah suhu optimum yang diharapkan yaitu 8 C, karena pengaturan suhu seharusnya diset pada suhu 10 C sehingga ketika terjadi on-off pada refrigerator, suhunya tidak dibawah 8 C. Meskipun penampilan buah yang disimpan pada kemasan tanpa ventilasi terlihat baik lebih lama daripada buah yang berada didalam kemasan berventilasi, hal ini dikarenakan termodifikasinya udara menjadi udara dengan kandungan oksigen rendah, dan karbondioksida yang meningkat. Namun bau dan rasa yang tidak diinginkan dapat timbul dalam kemasan yang tertutup rapat, meskipun 44

penampilannya terlihat baik. Penampilan fisik buah alpukat pada akhir penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 17. F. Pemilihan Kemasan yang Sesuai Berdasarkan hasil penelitian Destiyani (2010), kemasan karton dengan ukuran 38 cm x 26 cm x 18 cm dengan kapasitas 7 kg yang memiliki tumpukan dua layer dengan bahan pengisi potongan atau cacahan kertas koran yang disimpan pada suhu 5 o C merupakan kemasan yang paling baik digunakan kemasan distribusi buah alpukat, namun masih terjadi kerusakan mekanis sebesar 3.65%. Berdasarkan hasil penelitian, kemasan berukuran 37 cm x 23 cm x 21 cm dari bahan karton gelombang dengan double wall, flute tipe AB, dua layer dan penambahan sekat/inner pada tiap buah, dapat mengurangi kerusakan mekanis selama transportasi. Dengan pemberian sekat, buah dalam kemasan tidak saling berbenturan, dan dengan penambahan karton gelombang sebagai alas layer juga dapat mengurangi kerusakan akibat tertindih atau tertekan buah lainnya. Dengan pemberian lubang ventilasi memungkinkan masuknya oksigen yang cukup dan menghindarkan kerusakan karena akumulasi karbondioksida selama penyimpanan pada suhu tinggi. Dilihat dari waktu yang digunakan untuk mencapai suhu optimum yang diharapkan, kemasan dengan ventilasi oblong merupakan kemasan yang mencapai suhu optimum yang lebih cepat dibandingkan kemasan dengan tipe ventilasi lainnya. Namun waktu yang dicapai antara kemasan ventilasi tipe oblong dengan kemasan ventilasi tipe circle tidak berbeda jauh. Walaupun kemasan dengan ventilasi oblong lebih baik dalam sebaran suhu dalam kemasan, tetapi secara keseluruhan, perubahan penurunan mutu buah alpukat yang disimpan pada kemasan dengan ventilasi circle lebih lambat. Nilai persentase susut bobot yang dihasilkan lebih kecil di bandingkan kemasan lainnya, kekerasan yang masih tinggi, persentase kerusakan selama penyimpanan yang rendah, dan penampilan yang masih dapat diterima konsumen. Oleh karena itu, kemasan yang sesuai untuk distribusi alpukat adalah kemasan dengan ventilasi tipe circle, dengan suhu penyimpanan 8 C. 45