BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

dokumen-dokumen yang mirip
PULAU BAHANG KOTA (URBAN HEAT ISLAND) DI YOGYAKARTA HASIL INTERPRETASI CITRA LANDSAT TM TANGGAL 28 MEI 2012

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan pemukiman. Sebagaimana kota menurut pengertian Bintarto (1977:9)

BAB I PENDAHULUAN Urban Heat Island Sebagai Dampak Dari Pembangunan Perkotaan

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak terkecuali pada daerah-daerah di Indonesia. Peningkatan urbanisasi ini akan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. 18% dari luas wilayah DIY, terbentang di antara 110 o dan 110 o 33 00

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk yang memerlukan banyak bangunan baru untuk mendukung

I PENDAHULUAN. (Dipayana dkk, 2012; DNPI, 2009; Harvell dkk 2002; IPCC, 2007; Sudarmadji

lib.archiplan.ugm.ac.id

Jurnal Geografi. Media Informasi Pengembangan Ilmu dan Profesi Kegeografian

GAMBARAN UMUM KOTA TANGERANG SELATAN

ke segala arah dan melepaskan panas pada malam hari. cukup pesat. Luas wilayah kota Pematangsiantar adalah km 2 dan

FENOMENA URBAN HEAT ISLAND (UHI) PADA BEBERAPA KOTA BESAR DI INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN GLOBAL. Erwin Hermawan.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. penyedia fasilitas pelayanan bagi masyarakat. Lingkungan perkotaan merupakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 TINJAUAN UMUM

GEDUNG KEDUTAAN BERPALING DARI JALAN UTAMA. Tidak lazim bagi bangunan di koridor Thamrin, Jakarta, memalingkan wajahnya dari jalan.

BAB III TINJAUAN KOTA BEKASI

Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota ISSN:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana S-1 Program Studi Geografi

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh besarnya tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman,

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III TINJAUAN LOKASI. 3.1 Tinjauan Umum Kabupaten Kulon Progo sebagai Wilayah Sasaran Proyek

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

LAMPIRAN 1 PERAN ENERGI DALAM ARSITEKTUR

BAB 3 TINJAUAN WILAYAH

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan aktivitas masyarakat perkotaan dalam berbagai kegiatan

DAMPAK PENGGUNAAN DOUBLE SKIN FACADE TERHADAP PENGGUNAAN ENERGI LISTRIK UNTUK PENERANGAN DI RUANG KULIAH FPTK BARU UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA:

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Eksistensi Proyek. kota besar di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan jumlah

BAB III METODE PENELITIAN. yang mempengaruhi penyebaran penyakit demam berdarah dengue yang

Perumahan Golf Residence 2 Graha Candi Golf Semarang (dengan Penekanan Desain Arsitektur Tropis)

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. daerah perkotaan adalah efek dari kondisi iklim artifisial, yang terjadi pada

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. repository.unisba.ac.id

BAB IV GAMBARAN UMUM. A. Kondisi Geografis Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki luas wilayah 3.

I. PENDAHULUAN. pertumbuhan sebesar 1,49 % pada tahun Badan Pusat Statistik (BPS,

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kondisi ekonomi, sosial dan pertumbuhan penduduk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IV. KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Apartemen di D.I. Yogyakarta. Tabel 1. 1 Jumlah Penduduk DIY menurut Kabupaten/Kota Tahun (000 jiwa)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DAFTAR ISI... PARAKATA... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. meningkat dengan tajam, sementara itu pertambahan jaringan jalan tidak sesuai

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB III TINJAUAN WILAYAH YOGYAKARTA

Tabel 1.1. Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk Provinsi D.I. Yogyakarta Tahun

BAB I PENDAHULUAN. 1

HUBUNGAN ANTARA INDEKS LUAS DAUN DENGAN IKLIM MIKRO DAN INDEKS KENYAMANAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Kebutuhan Parkir dan Kajian Dampak Lalu Lintas Gedung Pusat Perbelanjaan Ramayana Makassar

ANALISIS URBAN HEAT ISLAND

BAB III: GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI

BAB I PENDAHULUAN KABUPATEN KUPANG KABUPATEN KUPANG

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikim Kota Daerah Tropis

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

BAB IV TINJAUAN WILAYAH KOTA YOGYAKARTA

Gambar 1. Peta Prakiraan Cuaca Hujan Mei 2018 (Sumber : Stasiun Klimatologi Karangploso Malang)

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI

ANALISIS TUNDAAN PADA RUAS JALAN MAJAPAHIT KOTA SEMARANG DAN PENGARUHNYA TERHADAP KONSUMSI BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) TUGAS AKHIR

BAB III: DATA DAN ANALISA PERENCANAAN

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. beragam adat istiadat, bahasa, agama serta memiliki kekayaan alam, baik yang ada di

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan

BAB III TINJAUAN WILAYAH

KARAKTERISTIK KONDISI URBAN HEAT ISLAND DKI JAKARTA. (Characteristics of Urban Heat Island Condition in DKI Jakarta)

IV KONDISI UMUM TAPAK

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. banyak sekali dampak yang ditimbulkan oleh pemanasan global ini.

PENDAHULUAN. didirikan sebagai tempat kedudukan resmi pusat pemerintahan setempat. Pada

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Kota adalah pusat pertumbuhan yang ditandai dengan perkembangan jumlah penduduk (baik karena proses alami maupun migrasi), serta pesatnya pembangunan sarana dan prasaran fisik sebagai pendukung kegiatan ekonomi, tempat tinggal, industri, dan transportasi (Lauhatta, 2007). Pesatnya pembangunan diantaranya tercermin dalam jumlah dan geometri bangunan yang kompleks. Pembangunan fisik dan kepadatan populasi di perkotaan, selain merupakan sumberdaya yang potensial, sekaligus melahirkan berbagai dampak yang berpengaruh terhadap kualitas kehidupan di dalamnya. Pulau Bahang Kota atau Urban Heat Island yaitu fenomena suhu di daerah perkotaan yang lebih tinggi daripada daerah sekitarnya (id.wikipedia.org). Schwarz, dkk, 2012 menyebutkan urban heat island sebagai deskripsi untuk suhu yang terjadi di perkotaan dibandingkan daerah pedesaan sekitarnya. Intensitas pulau bahang kota adalah perbedaan suhu antara kota dengan daerah bersuhu rendah di pedesaan sekitarnya (Giridharan, dkk, 2004). Suhu dan kelembaban udara adalah salah satu penentu kenyamanan manusia terhadap lingkungan (Tursilowati, 2007). Pulau bahang kota berpengaruh terhadap kenyaman, kesehatan manusia, dan keberadaan kota sebagai relung ekologi (Schwarz, dkk, 2012). Keadaan tersebut menjadikan studi tentang pulau bahang kota dinilai penting. Tingginya suhu di daerah perkotaan menjadi kendala di daerah lintang rendah karena meningkatkan beban untuk pendinginan (di bangunan/ruangan), ketidaknyamanan termal, dan polusi udara. Sedangkan di daerah lintang tinggi, adanya panas di kota justru mampu mengurangi biaya pemanas ruangan (Taha, 1997). Studi di beberapa kota besar di Asia menyebutkan intensitas pulau bahang kota maksimum sebesar 8 o C di

2 Bangkok, 7 o C di Shanghai, 7 o C di Manila, dan 12 o C di Tokyo (Hung, dkk., 2005). Faktor manusia atau kondisi yang berpengaruh terhadap efek pulau bahang kota diantaranya struktur kota, ukuran kota, jumlah penduduk, kepadatan area terbangun, perbandingan antara tinggi dan jarak antarbangunan, lebar jalan, bahan/material bangunan, dan jenis permukaan lahan (Giridharan, dkk., 2004). Pulau Bahang Kota disebabkan oleh struktur kota dan panas antropogenik (dari aktivitas manusia) (Rizwan, dkk, 2008), sedangkan menurut Tursilawati adalah aktivitas penghasil emisi udara yang lebih besar di daerah perkotaan, geometri perkotaan, dan keberadaan vegetasi (Tursilowati, 2007). Hung, dkk., 2005 menyebutkan intensitas pulau bahang kota berkorelasi dengan jumlah populasi suatu kota. Sumber panas antropogenik terdiri dari aktivitas rumah tangga, lalu lintas dan industri. Kepadatan populasi di perkotaan dibandingkan daerah sekitarnya menyebabkan aktivitas rumah tangga dan transportasi lebih intensif di perkotaan. Migrasi ulang alik baik karena alasan pendidikan maupun pekerjaan juga menambah padatnya lalu lintas perkotaan. Aktivitas industri tumbuh di daerah perkotaan karena dalam perkembangannya, lokasi industri dipilih secara ekonomis. Selain tenaga kerja yang melimpah, keuntungan dimaksimalkan melalui penghematan yang diperoleh dari pendeknya jalur perolehan bahan baku, proses produksi, dan pemasaran komoditi (Farid, 2004). Keadaan geometri perkotaan lebih kompleks jika dibandingkan daerah sekitarnya. Gedung-gedung tinggi di daerah perkotaan menghalangi radiasi panas ke atmosfir. Panas yang tertahan dipancarkan kembali diantara bangunan menjadi simpanan panas dan berpotensi meningkatkan suhu di daerah perkotaan (Tursilawati, 2007). Vegetasi adalah salah satu faktor penentu pulau panas perkotaan. Peran vegetasi adalah meminimalkan suhu udara dengan memanfaatkan sinar matahari untuk fotosintesis, menahan sinar matahari di atas kanopi sehingga suhu di bawah tegakan lebih rendah karena naungan, dan

3 memanfaatkan proses evapotranspirasi untuk mendinginkan diri dan lingkungan (Galveston-Houston Association for Smog Prevention, 1999). Vegetasi di daerah perkotaan umumnya lebih sedikit sehingga suhu perkotaan lebih tinggi daripada daerah sekitarnya. Hasil studi di Singapura menyebutkan meskipun tidak ada batas antara urban dan rural yang jelas, secara umum terdapat perbedaan suhu sebesar 4,01 o C. Penurunan suhu dalam studi ini berkorelasi terhadap keberadaan ruang hijau kota (Wong dan Yu, 2005). Kota di Indonesia yang sudah menunjukkan gejala efek pulau bahang kota adalah Jakarta, Surabaya, Semarang, Kota dan Kabupaten Bandung (Rushayati, 2012). Pulau bahang kota di Jakarta menghasilkan pusat suhu maksimum di Jakarta Pusat dan Jakarta Utara dan semakin menurun ke arah selatan. Perbedaan suhu antara Jakarta dengan Bogor mencapai 1 3 o C (Irwan, 2008 dalam Rushayati 2012). Di wilayah Kabupaten Bandung telah terjadi fenomena pulau bahang kota dengan perbedaan suhu mencapai 7 o C (Rushayati, 2012). Hasil interpretasi citra, di Kota Semarang terjadi fenomena pulau bahang kota dengan selisih suhu lebih dari 14 o C (Waluyo, 2009). Tabel 1. Perbandingan Luas Wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kota/Kab. Luas (km 2 ) Jumlah Penduduk *) Kepadatan Penduduk (jiwa) (jiwa/km 2 ) Jakarta 649,81 9.607.787 14.785 Semarang 373,67 1.890.984 5.060 Surabaya 326,37 2.765.487 8.473 Bandung 167,30 2.394.873 14.314 Bandung (kab) 176,24 3.215.548 18.245 Yogyakarta 32,50 388.627 11.957 *) hasil sensus 2010 Sumber : id.wikipedia.org Yogyakarta adalah salah satu kota besar di Jawa. Kota besar lainnya adalah Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Perbandingan luas dan jumlah penduduk Kota Yogyakarta dengan kota kota yang telah

4 menunjukkan gejala pulau bahang kota, menurut Rushayati, 2012 ditampilkan pada Tabel 1. Jumlah dan kepadatan penduduk menjadi salah satu pemicu untuk terjadinya aktivitas lain, seperti aktivitas lalu lintas dan kebutuhan sarana prasarana seperti jalur jalan, pemukiman, gedung sekolah, dan perkantoran. Dari tabel 1 terlihat bahwa kepadatan penduduk Kota Yogyakarta lebih tinggi daripada Kota Surabaya dan Bandung. Hanya saja luas wilayah jauh lebih kecil dibanding kota yang telah menunjukkan gejala pulau bahang kota. Penelitian mengenai fenomena pulau bahang kota ini akan dilaksanakan di Kota Yogyakarta. Sebagai kejadian alami, pulau bahang kota tidak terbatas oleh wilayah administratif. Demikian pula penelitian ini tidak akan dibatasi di wilayah Kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta secara geografis terletak diantara 7 o 49 26 hingga 7 o 15 24 LS dan 110 o 24 19 hingga 110 o 28 53 dengan ketinggian rata-rata 114 meter di atas permukaan air laut. Luas wilayah adalah 32,5 km 2 atau sebesar 1,02% dari luas wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara administratif Kota Yogyakarta terdiri dari 14 kecamatan atau 45 kelurahan. Kota Yogyakarta di sebelah utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Sleman, di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul, di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bantul, dan di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul.

5 Gambar 1. Peta Kota Yogyakarta Sumber : potensidaerah.ugm.ic.id 1.2. PERUMUSAN MASALAH Perumusan Masalah : 1. Apakah ada kejadian pulau bahang kota di Kota Yogyakarta dan sekitarnya 2. Berapa perbedaan suhu pada kejadian pulau bahang kota 3. Bagaimana peran vegetasi dan faktor tutupan lahan, penduduk, industri, lalu lintas di Kota Yogyakarta dan sekitarnya terhadap efek pulau bahang kota. 1.3. TUJUAN Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menganalis keberadaan pulau bahang kota (urban heat island) di Kota Yogyakarta, baik itu atmospheric urban heat island maupun surface urban heat island dan menganalisis kisaran perbedaan suhunya

6 2. Menganalisis perbedaan dan nilai atmospheric urban heat island dan surface urban heat island 3. Menganalisis peran vegetasi dan faktor tutupan lahan, penduduk, industri, lalu lintas di Kota Yogyakarta dan sekitarnya terhadap efek pulau bahang kota. 1.4. OUTPUT Output dari penelitian nantinya berupa laporan yang dilengkapi dengan data dan pembahasan. Data yang dicantumkan terdiri dari : 1. Sebaran tutupan lahan dan suhu hasil interpretasi citra 2. Data suhu dan kondisi vegetasi, keterbukaan lahan, serta bangunan yang mendukung hasil pengukuran dan pengamatan lapangan. 3. Hasil analisis peran vegetasi dan faktor lain (tutupan lahan, penduduk, industri, lalu lintas) dalam mengurangi efek pulau bahang kota. 1.5. MANFAAT Hasil penelitian ini dapat dipergunakan untuk : 1. Mengetahui arti penting vegetasi sebagai penurun suhu di daerah perkotaan. 2. Salah satu dasar memberikan solusi dalam menangani keberadan pulau bahang kota berupa vegetasi, distribusi tutupan lahan, atau upaya lain yang mendukung berdasar hasil penelitian yang diperoleh. 3. Sebagai bahan studi lebih lanjut mengenai pulau bahang kota di Kota Yogyakarta.