MODEL BIO-EKONOMI OPSI REHABILITASI SUMBER DAYA PERIKANAN DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM I N D R A

dokumen-dokumen yang mirip
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

MODEL BIO-EKONOMI OPSI REHABILITASI SUMBER DAYA PERIKANAN DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM I N D R A

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P.

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ABSTRACT. Key word : bio-economic analysis, lemuru resources, bali strait, purse seine, resource rent tax, user fee

Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 18. No. 2, April 2013 ISSN

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

ANALISIS INVESTASI OPTIMAL PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN LAYANG (Decapterus spp) DI KABUPATEN POHUWATO PROVINSI GORONTALO

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

PENILAIAN DEPRESIASI SUMBERDAYA PERIKANAN DI SELAT MADURA PROVINSI JAWA TIMUR RIZAL BAHTIAR

PENDAHULUAN Latar Belakang

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

1 PENDAHULUAN. Potensi lestari dan tingkat pemanfaatan sumberdaya udang laut di Indonesia dan Laut Jawa. Pemanfaatan (%) 131,93 49,58

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

I. PENDAHULUAN. dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari belasan ribu

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN SEKTOR PERIKANAN DI SELATAN JAWA TIMUR

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing).

KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah

2 KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMlKIRAN DAN HIPOTESIS

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

C E =... 8 FPI =... 9 P

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI

PENGARUH AKTIVITAS PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA WISATA PADA OBYEK WISATA PAI KOTA TEGAL TUGAS AKHIR

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

ANALISIS BIOEKONOMI(MAXIMUM SUSTAINABLE YIELD DAN MAXIMUM ECONOMIC YIELD) MULTI SPESIES PERIKANAN LAUT DI PPI KOTA DUMAI PROVINSI RIAU

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pada 8 februari 2010 pukul Data dari diakses

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS KAPASITAS PERIKANAN PELAGIS DI PERAIRAN PESISIR PROPINSI SUMATERA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pengelolaan SD Pulih -SD Ikan- Luh Putu Suciati

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

JURNAL PEMANFAATAN SUBERDAYA PERIKANAN

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI

Transkripsi:

MODEL BIO-EKONOMI OPSI REHABILITASI SUMBER DAYA PERIKANAN DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM I N D R A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Bio- Ekonomi Opsi Rehabilitasi Sumber Daya Perikanan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Februari 2007 Indra Nrp. C261020011

ABSTRAK INDRA. Model Bio-Ekonomi Opsi Rehabilitasi Sumber Daya Perikanan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI, JOHN HALUAN dan MENNOFATRIA BOER. Proses rehabilitasi sektor perikanan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) banyak menemukan kendala sehingga proses rehabilitasi tersebut menjadi lambat. Salah satu faktor penyebabnya adalah tidak tersedianya data yang akurat tentang kerusakan ekosistem pesisir dan lautan akibat tsunami, yang meliputi mulai dari kerusakan fisik perikanan hingga meng-update dan menyempurnakan pendugaan stok sumber daya. Hal ini penting dilakukan, karena kegagalan pembangunan perikanan selama ini disebabkan tidak adanya investasi dibidang data collection dan perhitungan stok sumber daya yang salah. Penelitian ini mencoba memberikan kontribusi dalam kerangka rehabilitasi sektor perikanan di Provinsi NAD. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) melakukan perbandingan (compare) model perikanan equilibrium (tanpa shock) dan disequilibrium (dengan shock) terhadap biomas, hasil tangkapan, effort, dan rente ekonomi, (2) mengetahui dampak kesejahteraan (welfare effect) model Gordon-Schaefer tanpa shock dan dengan shock, (3) menganalisis tingkat efisiensi dan kapasitas perikanan tangkap dan implikasi kebijakannya, (4) menganalisis interaksi antara sumber daya perikanan dengan ekosistem mangrove, dan (5) melakukan kajian ekonomi budidaya tambak pasca tsunami, upaya rehabilitasi dan pengembangannya di daerah penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kondisi aktual selama periode pengamatan telah terjadi degradasi dan depresiasi sumber daya pelagis dengan pola yang terus meningkat. Pengelolaan perikanan di Provinsi NAD semakin akhir periode pengamatan semakin tidak efisien. Untuk mencapai efisien perlu dikurangi effort 0 34.0% di Pantai Timur dan 0 46.3 % di Pantai Barat. Jumlah armada baru untuk menggantikan armada rusak/hilang karena tsunami berkisar 3 570 5 131 unit. Ekosistem mangrove memberikan kontribusi terhadap produksi perikanan tangkap di Provinsi NAD sekitar 27.21%. Estimasi luas mangrove optimal di Pantai Timur 100 946.70 ha dan Pantai Barat 13 029.91 ha, sedangkan estimasi jumlah effort optimal di Pantai Timur 105 950.00 trip dan Pantai Barat 74 456 trip. Dampak jangka pendek dari tsunami adalah berkurangnya input dan hasil tangkapan (catch). Namun secara ekonomi, telah meningkatkan penerimaan hingga 50%, rente 16% 41%, dan nilai surplus produsen lebih dari 100%. Hal ini menunjukkan perlu adanya rasionalisasi input di Provinsi NAD. Kebutuhan biaya rehabilitasi per hektar tambak berkisar antara Rp. 5.9 juta 32.8 juta tergantung tingkat kerusakan, sedangkan biaya operasional berkisar 12.6 juta 26.77 juta tergantung teknologi budidaya. Dalam rehabilitasi tambak diharapkan menggunakan pedoman lingkungan dari DKP/FAO/NACA. Kata kunci: Pengelolaan, sumber daya perikanan, tsunami, dan rehabilitasi.

ABSTRACT INDRA. Bioeconomic Model of Rehabilitation Fishery Resources in Nanggroe Aceh Darussalam, under supervision of AKHMAD FAUZI, JOHN HALUAN and MENNOFATRIA BOER. Fishery rehabilitation faced some problems that affected rehabilitation process in The Province of Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Such a problem is no accurate data about coastal and marine ecosystems which had been destroyed by the tsunami. The data included bio-physics and non physic of fishery, for example updated stock assessment. This step is very importance for rehabilitation fishery sector. As a matter of fact that failure of fishery development is due to disinvestation on data collection and invalid stok assessment. The research attempts to contribute data and information to project workers, so that the rehabilitation process can work properly. The aim the research are: (1) to compare Gordon-Schaefer model with and without shock and its effect to biomass, catch, effort, and economic rent, (2) to determine the welfare effect of GS model with and without shock, (3) to analyze the relative efficiency and capacity of capture fishery, (4) to analyze interaction between mangrove ecosystem and fisheries harvest (5) to analyze economic aspects of capture fishery and its rehabilitation strategies. The results of the research showed that effort and harvest increased gradually, but catch per unit effort (CPUE) decreased from year to year. At certain years actual yield exceeded sustainable yield. Based on actual yield, the degradation and depreciations of pelagic has increased. Harvesting of fishery was not efficient, especially at the end of observation period. To be efficient, effort must be reduced from 0 34.0% in the east coast and 0 46.3% in the west coast. The NAD needs 3 570 5 131 unit boats to replace some boats that have broken/lost because of tsunami. Mangrove ecosystem contribute 27.21% on capture fisheries yield in NAD. In short run, tsunami impact had decreased effort gradually in NAD. Economically, it has increased total revenue (TR) until 50%, economic rent 16-41%, and producer s surplus >100%. This is also an indication that input rationalization on capture fishery was needed quickly in NAD. The cost requirement to rehabilitation a hectare of brackish water is Rp. 5.9 million Rp. 32.8 million depend on damage levels and operational cost was 12.6 million Rp. 26.77 million depend on brackish water technologies. It is suggested that on rehabilitation process of brackish water used environmental rule created by DKP/FAO/NACA. Key Words : management, fisheries resources, tsunami, and rehabilitation

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya

MODEL BIO-EKONOMI OPSI REHABILITASI SUMBER DAYA PERIKANAN DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM I N D R A Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

Judul Disertasi N a m a Nrp : Model Bio-Ekonomi Opsi Rehabilitasi Sumber Daya Perikanan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam : Indra : C261020011 Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. Ketua Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Anggota Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA. Anggota Diketahui Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian : 26 Februari 2007 Tanggal Lulus :

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilakukan di Pantai Barat dan Timur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) mulai bulan Oktober 2004 Desember 2005, berjudul Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Proses rehabilitasi sektor perikanan di NAD banyak menemukan kendala sehingga proses rehabilitasi tersebut menjadi lambat. Salah satu faktor penyebabnya adalah tidak tersedianya data yang akurat tentang kerusakan ekosistem pesisir dan lautan akibat tsunami, yang meliputi mulai dari kerusakan fisik perikanan hingga meng-update dan menyempurnakan pendugaan stok sumber daya. Hal ini penting dilakukan, karena kegagalan pembangunan perikanan selama ini disebabkan tidak adanya investasi dibidang data collection dan perhitungan stok sumber daya yang salah. Penelitian ini mencoba memberikan kontribusi dalam kerangka rehabilitasi sektor perikanan di Provinsi NAD. Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Ahmad Fauzi, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. dan Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan saran. Disamping itu, terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pemda NAD dan ICRAF Bogor yang telah membantu biaya penelitian, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD, Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Bireun, Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, dan Lembaga Panglima Laot Provinsi NAD yang telah memberikan data-data dan informasi lainnya untuk keperluan penelitian ini. Terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua (H. Zainun Ibrahim (Alm) dan Hj. Maryamu Ali), istri (Halimursyadah, SP., M.Si.), anak-anak (Rayya dan Qassim), dan seluruh saudaraku atas doa dan kasih sayangnya. Kepada teman-teman dan pihak-pihak lainnya yang telah membantu penelitian ini penulis ucapkan terima kasih. Semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya. Bogor, Februari 2007 Indra

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Desa Siem Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada tanggal 9 September 1963 sebagai anak ketiga dari pasangan H. Zainun Ibrahim (Alm) dan Hj. Maryamu Ali. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), lulus pada tahun 1989. Pada tahun 1995, penulis diterima di Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung dan menamatkannya pada tahun 1997. Beasiswa pendidikan Pascasarjana diperoleh dari BPPS Dikti. Penulis bekerja sebagai Staf Pengajar pada Prodi Agribisnis Fakultas Pertanian Unsyiah sejak tahun 1990. Mata Kuliah yang penulis asuh adalah ekonomi produksi, evaluasi proyek, metode kuantitatif I (Analisis Regresi), Kuantitatif II (Linear Programming), dan Ekonomi Mikro.

UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih serta penghargaan yang tinggi kepada: 1. Yth. Bapak Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. sebagai ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc., dan Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku anggota komisi pembimbing atas curahan waktu, perhatian, sumbangan pikiran dalam penyusunan disertasi ini. 2. Universitas Syiah Kuala dan Fakultas Pertanian Unsyiah yang telah memberikan peluang sekolah untuk saya. 3. Departemen Pendidikan Nasional melalui Beasiswa Program Pascasarjana yang telah memberikan beasiswa pendidikan program doktor. 4. Pemerintah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Pemerintah Kabupaten Aceh Besar atas bantuan beasiswa NAD. 5. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi NAD, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Bireun, Aceh Utara, dan Kota Lhokseumawe, atas bantuan dalam penyediaan data. 6. Direktur ICRAF Bogor, khususnya Pak Suseneno, Mbak Diah, Ibu Josephin, yang telah membantu biaya penelitian dan fasilitas lainnya. 7. Seluruh staf pengajar dan karyawan PS-SPL Sekolah Pascasarja IPB Bogor. 8. Yang terhormat dan tercinta kedua orang tua H.Zainun Ibrahim (Alm) dan Hj. Maryamu Ali, istriku Halimursyadah, SP., M.Si., kedua anakku Rayya Filza Indria dan Qassim Albar Indra, Cut Abang (Sabirin Zainun, S.Sos), Kak Dah (Dahlia Zainun), Awi (Asnawi Zainun, SH), Adi (Aswadi Zainun, SH), dan seluruh keluarga atas segala do a dan kasih sayangnya. 9. Teman-teman dari Aceh dibawah FORUM UNSYIAH dan IKAMAPA. 10. Teman-teman angkatan VII S3 SPL dan teman-teman satu bimbingan yaitu: Dr. Suzy Anna, Dr. Armen Zulham, Dr. Georgina, Dr. Sofyan, Dr. T. Efrizal, Dr. Parwinia, dan Dr. Desniarti. 11. Seluruh teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian disertasi ini. Mudah-mudahan disertasi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang membutuhkan. Bogor, Februari 2007 Indra

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xiii xvi xix 1. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Perumusan Masalah... 4 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 7 2. TINJAUAN PUSTAKA... 9 2.1 Sumber daya Pesisir... 9 2.2 Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development)... 11 2.3 Teori Optimisasi Sumber daya Perikanan... 16 2.4 Teori Degradasi Sumber daya... 23 2.5 Surplus Konsumen dan Surplus Produsen... 27 2.6 Konsep Efisiensi Perikanan Tangkap... 32 3. METODE PENELITIAN... 36 3.1 Kerangka Pendekatan Penelitian... 36 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian... 37 3.3 Metode Pengumpulan Data... 38 3.4 Analisis Data... 40 3.4.1 Standarisasi Effort... 40 3.4.2 Uji Stationary... 41 3.4.3 Model Bio-Ekonomi Sumber daya Perikanan... 42 3.4.4 Estimasi Parameter Ekonomi... 45 3.4.5 Laju Degradasi dan Depresiasi Sumber daya Perikanan... 48 3.4.6 Optimalisasi Pengelolaan Sumber daya Perikanan... 49 3.4.7 Analisis Rezim Pengelolaan... 52 3.4.8 Interaksi Mangrove dan Perikanan... 54 3.4.9 Aspek Kesejahteraan... 56 3.4.10 Model Analisis Kebijakan... 57 3.4.11 Analisis Finansial dan Usahatani Tambak... 59 4. HASIL DAN PEMBAHASAN... 62 4.1 Produksi Perikanan... 62 4.2 Standarisasi Unit Effort... 67 4.3 Estimasi Parameter Biologi... 70 4.4 Estimasi Produksi Lestari (Sustainable Yield)... 71 4.5 Degradasi Sumber daya Perikanan... 77 xi

4.6 Estimasi Parameter Ekonomi... 80 4.6.1 Struktur Biaya... 80 4.6.2 Estimasi Discount Rate... 82 4.7 Depresiasi Sumber daya Perikanan... 83 4.8 Pengelolaan Sumber daya yang Optimal... 88 4.9 Analisis Instrumen Kebijakan (Efisiensi)... 101 4.10 Kondisi Perikanan Tangkap Setelah Tsunami... 114 4.10.1 Kerusakan Fisik dan Sumber daya Manusia... 114 4.10.2 Perkembangan Produksi... 116 4.10.3 Rehabilitasi Perikanan... 120 4.11 Analisis Perikanan Budidaya... 125 4.11.1 Keragaan Tambak Sebelum Tsunami... 126 4.11.2 Dampak Tsunami Terhadap Usahatani Tambak... 134 4.11.3 Upaya Rehabilitasi Tambak... 135 4.11.4 Opsi Teknologi... 141 4.11.5 Analisis Sensitivitas... 144 4.11.6 Permasalahan Pengelolaan Tambak di NAD... 148 4.11.7 Strategi Rehabilitasi Tambak... 149 4.12 Konflik lahan Tambak dan Mangrove... 153 4.13 Interaksi Mangrove dan Sumber daya Perikanan... 157 4.14 Integrasi Analisis Bio-Ekonomi Perikanan di NAD... 166 5. SIMPULAN DAN SARAN... 179 5.1 Simpulan... 179 5.2 Saran-saran... 180 DAFTAR PUSTAKA... 182 LAMPIRAN... 192 xii

DAFTAR TABEL Halaman 1. Data produksi ikan pelagis (ton) sebagai target spesies yang digunakan dalam penelitian, Tahun 1984 2004 di Provinsi NAD... 63 2. Share produksi ikan pelagis tongkol dan cakalang dari alat tangkap pukat cincin dan pancing tonda di daerah penelitian periode 1984 2004... 66 3. Standarisasi effort dari alat tangkap yang digunakan dalam analisis untuk Pantai Timur Aceh. 68 4. Standarisasi effort dari alat tangkap yang digunakan dalam analisis untuk Pantai Barat Aceh... 69 5. Hasil uji Dickey Fuller di Pantai Timur dan Pantai Barat... 70 6. Hasil analisis nilai parameter biologi... 71 7. Perbandingan produksi aktual dan lestari di Pantai Timur dan Pantai Barat Aceh... 72 8. Rata-rata biaya rill penangkapan ikan per unit effort menurut lokasi penelitian (Rp. ribu per trip), tahun 1984-2004... 81 9. Perubahan rente ekonomi (depresiasi) sumber daya perikanan (Rp. Milyar)... 84 10. Nilai biomas, hasil tangkapan dan effort optimal ikan pelagis di Pantai Timur dengan market dan Kula Discount Rate... 89 11. Nilai biomas, hasil tangkapan dan effort optimal ikan pelagis di Pantai Barat dengan market dan Kula Discount Rate... 90 12. Rente optimal lestari di Pantai Timur Aceh (Rp. Milyar)... 95 13. Rente optimal lestari di Pantai Barat Aceh (Rp. Milyar)... 95 14. Perbedaan present value rente optimal dan lestari di Pantai Timur Aceh (Rp. Milyar).. 97 15. Perbedaan present value rente optimal dan lestari di Pantai Barat Aceh (Rp. Milyar) 97 16. Perbandingan effort optimal dan aktual serta rente optimal dan lestari (δ=15%)... 99 17. Skor efisiensi unit fisik DEA Pantai Timur dan Barat Aceh... 102 18. Potensi perbaikan efisiensi dari Decision Making Unit (DMU).... 105 19. Kapasitas perikanan tangkap di Pantai Timur dan Pantai Barat Provinsi NAD (Rp juta)... 107 20. Efisiensi armada di Provinsi NAD.. 109 21. Performance armada di Provinsi NAD... 111 xiii

22. Jumlah kapal yang hilang dan rusak di Pantai Barat dan Timur Aceh akibat tsunami 26 Desember 2004... 115 23. Dampak tsunami terhadap nelayan dan kapal/boat di Provinsi NAD.. 116 24. Perkembangan produksi beberapa jenis krustacea dan moluska di Provinsi NAD... 119 25. Rehabilitasi sektor perikanan di Provinsi NAD... 121 26. Distribusi boat di Pantai Barat dan Provinsi NAD (2004-2006)... 122 27. Jumlah Boat/Kapal yang sudah didistribusikan di Provinsi NAD (22 September 2005).. 123 28. Jumlah Boat yang sedang dibuat dan tahap janji (kontrak) untuk didistribusi di Provinsi NAD (Data pada 22 September 2005) 124 29. Rata-rata Produksi dan Nilai Hasil Produksi per Hektar per Tahun dari Usaha Tambak Tradisional Plus di Daerah Studi. 129 30. Tingkat pendapatan usaha tambak, perikanan tangkap (nelayan) dan usahatani padi sawah di daerah studi... 130 31. Margin pemasaran udang windu di lokasi studi... 133 32. Estimasi tingkat kerusakan tambak (dalam ha) pasca tsunami di Provinsi NAD dan daerah studi 134 33. Prediksi kerugian produksi perikanan budidaya (tambak) di Provinsi NAD... 135 34. Estimasi kebutuhan biaya rehabilitasi tambak berdasarkan tingkat kerusakan... 137 35. Kebutuhan tenaga kerja (hok) untuk rehabilitasi dan operasional pada budidaya tambak menurut teknologi dan tingkat kerusakan tambak.. 139 36. Nilai return to labor budidaya tambak menurut jenis teknologi tambak dan tingkat kerusakan di daerah studi.. 140 37. Parameter finansial budidaya tambak pada Discount Rate = 15%... 142 38. Parameter finansial (Discount Rate = 15%) budidaya tambak jika harga benur Rp. 100/ekor dan harga pakan meningkat 20 % (scenario-1) 145 39. Parameter finansial (Discount Rate = 15%) budidaya tambak jika tingkat survival rate turun 20% (scenario-2) 146 40. Parameter finansial (Discount Rate = 15%) budidaya tambak jika harga jual output turun 20% (scenario-3)... 147 41. Perbedaan antara produksi sumber daya perikanan baseline dengan Model Fozal... 158 42. Perkiraan luas hutan mangrove di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).. 161 xiv

43. Perkiraan luas hutan mangrove di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) tahun 2003 162 44. Rehabilitasi mangrove di Provinsi NAD (2005-2006)... 163 45. Luas Mangrove dan effort aktual dan optimal di Provinsi NAD... 46. Hasil perhitungan bio-ekonomi perikanan di Provinsi NAD... 172 166 xv

DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran... 7 2. Batasan wilayah pesisir (Pernetta and Milliman 1995, diacu dalam Dahuri 2002).. 9 3. Kurva yield effort..... 19 4. Model Gordon-Schaefer. 19 5. Pendekatan "bang-bang" optimisasi sumber daya perikanan... 22 6. Kurva Permintaan dan Willingness to Pay. 28 7. Pengukuran surplus konsumen... 29 8. Penurunan surplus Konsumen.... 30 9. Producer s surplus (PS) dan distribusinya surplus..... 32 10. Peta Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)... 38 11. Alur Penelitian... 39 12. Market Discount Rate 47 13. Perkembangan data produksi ikan pelagis yang digunakan dalam penelitian di Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b) 64 14. Perbandingan hasil tangkapan dari masing-masing alat tangkap di Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)... 66 15. Jumlah alat tangkap di Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)... 69 16. Produksi aktual dan lestari di Pantai Timur (a) dan di Pantai Barat (b). 73 17. Fungsi produksi lestari Gompertz di daerah penelitian... 74 18. Kurva lestari Gompertz dan produksi aktual di Pantai Timur Aceh... 74 19. Copes Eye Ball loop fungsi produksi lestari Gompertz Pantai Timur Aceh... 75 20. Kurva lestari Gompertz dan produksi aktual di Pantai Barat Aceh... 75 21. Copes eye ball loop fungsi produksi lestari Gompertz di Pantai Barat Aceh... 75 22. Laju degradasi sumber daya perikanan dengan menggunakan produksi aktual untuk Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b) 78 23. Laju degradasi sumber daya perikanan dengan menggunakan produksi lestari untuk Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)... 79 24. Perbandingan laju degradasi dengan produksi aktual... 79 25. Perbandingan laju degradasi sumber daya perikanan dengan effort untuk Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)... 80 xvi

26. Biaya penangkapan ikan per unit effort periode 1984 2004... 82 27. Present value rente dan depresiasi di Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)... 28. Hubungan effort dan depresiasi sumber daya ikan pelagis di Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)... 86 29. Trajektori biomas dan produksi optimal (100 ton) dengan nilai δ yang berbeda untuk Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)... 91 30. Trajektori produksi aktual, lestari, dan optimal (100 ton) dengan nilai δ yang berbeda untuk Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)... 92 31. Trajektori effort aktual dan optimal (1000 trip) dengan nilai δ yang berbeda untuk Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)... 93 32. Trajektori rente optimal lestari dengan nilai δ yang berbeda untuk Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)... 96 33. Trajektori rente optimal lestari dengan nilai δ yang berbeda untuk Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)... 98 34. Trajektori perbedaan effort optimal dan aktual di Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)... 100 35. Trajektori perbedaan rente optimal dan lestari di Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)... 100 36. Skor efisiensi DMU untuk Pantai Timur Aceh... 102 37. Skor efisiensi DMU untuk Pantai Barat Aceh... 103 38. Trajektori skor efisiensi DEA Pantai Timur dan Barat Aceh... 104 39. Potensi perbaikan effort (a) produksi aktual (b) di Pantai Timur dan Barat Aceh.. 106 40. Trajektori jumlah aktual armada dan efisiensi armada di Provinsi NAD... 110 41. Perbandingan jumlah armada dan produksi perikanan tangkap sebelum dan setelah tsunami di Provinsi NAD.... 111 42. Perbandingan produksi perikanan tangkap sebelum dan setelah tsunami di Provinsi NAD... 117 43. Luas tambak dan rumah tangga perikanan budidaya (RT) di Pantai Timur dan Barat Aceh, tahun 2003... 127 44. Rantai pemasaran udang di Provinsi NAD... 132 45. Kebutuhan biaya operasional usahatani tambak berdasarkan tingkat teknologi di daerah studi. 138 46. Nilai return to labor dari usahatani tambak pada berbagai tingkat penggunaan teknologi dan tingkat kerusakan di daerah studi... 140 86 xvii

47. Nilai NPV usahatani tambak pada berbagai tingkat penggunaan teknologi dan tingkat kerusakan tambak di daerah studi 143 48. Langkah-langkah Rehabilitasi dan Rekonstruksi Tambak di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)... 151 49. Perkembangan Luas Tambak di Provinsi Nanggroe Darussalam (NAD) Tahun 1969 2003... 154 50. Trajektori sustainable yield baseline dan Model Fozal dari tahun 1984 2004... 159 51. Yield-effort curves tanpa dan dengan tsunami di Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)... 168 52. Model Gordon-Schaefer (GS) tanpa dan dengan tsunami di Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b)... 169 53. Korelasi antara effort dan biomas dari model GS... 171 54. Rezim pengelolaan biomas di Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b) 173 55. Kurva Gordon-Schaefer dalam Biomas... 174 56. Perbedaan effort, produksi, dan rente berdasarkan rezim pengelolaan di Pantai Timur tanpa tsunami (a), dengan tsunami (b) dan Pantai Barat tanpa tsunami (c) dan dengan tsunami (d)... 175 57. Surplus Produsen tanpa shock dan dengan shock... 176 xviii

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Disagregasi produksi perikanan pelagik di Pantai Timur Aceh... 192 2. Disagregasi produksi perikanan pelagik di Pantai Barat Aceh... 193 3. Standarisasi unit effort (trip) perikanan pelagik di Pantai Timur Aceh... 194 4. Standarisasi unit effort (trip) perikanan pelagik di Pantai Timur Aceh... 195 5. Print out analisis CYP Pantai Timur Aceh. 196 6. Print out analisis CYP Pantai Barat Aceh.. 198 7. Perhitungan koefisien degradasi (dengan menggunakan produksi lestari) di Pantai Timur Aceh. 200 8. Perhitungan koefisien degradasi (dengan menggunakan rata-rata geometrik produksi aktual) di Pantai Timur Aceh... 201 9. Perhitungan koefisien degradasi (dengan menggunakan produksi lestari) di Pantai Barat Aceh.. 202 10. Perhitungan Koefisien Degradasi (Dengan Menggunakan Rata-rata Geometrik Produksi Aktual) di Pantai Barat Aceh... 203 11. Print Out Perhitungan Discount Rate Kulla... 204 12. Maple Output untuk Biomas, Produksi, dan Effort Optimal di Pantai Timur Aceh ( = 15%)... 205 13. Maple Output untuk Biomas, Produksi, dan Effort Optimal di Pantai Timur Aceh ( = 5,68%) 207 14. Maple Output untuk Biomas, Produksi, dan Effort Optimal di Pantai Barat Aceh ( = 15%) 209 15. Maple Output untuk Biomas, Produksi, dan Effort Optimal di Pantai Barat Aceh ( = 5,68%). 211 16. Maple Output untuk Perhitungan Surplus Produsen di Pantai Timur Aceh... 213 17. Maple Output untuk Perhitungan Surplus Produsen di Pantai Barat Aceh... 215 18. Potensi Perbaikan Efisiensi dari DMU Pantai Timur Aceh... 217 19. Potensi Perbaikan Efisiensi dari DMU Pantai Barat Aceh... 218 20. Potensi Perbaikan Efisiensi dari DMU di Pantai Timur dan Barat Aceh... 219 21. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional (Severely damage, Back Hoe) 220 xix

22. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional (Medium damage, Back Hoe) 221 23. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional (Medium damage, Manual).. 222 24. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional (Minor damage, Back Hoe) 223 25. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional (Minor damage. Manual.. 224 26. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional Plus (Severely damage, Back Hoe).. 225 27. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional Plus (Medium damage, Back Hoe).. 226 28. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional Plus (Medium damage, Manual).. 227 29. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional Plus (Minor damage, Back Hoe) 228 30. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional Plus (Minor damage, Manual).. 229 31. Arus Manfaat-Biaya Tambak Semi Intensive (Severely Damage, Back Hoe).. 230 32. Arus Manfaat-Biaya Tambak Semi Intensif (Medium damage, Back Hoe) 231 33. Arus Manfaat-Biaya Tambak Semi Intensif (Medium damage, Manual).. 232 34. Arus Manfaat-Biaya Tambak Semi Intensif (Minor damage, Back Hoe) 233 35. Arus Manfaat-Biaya Tambak Semi Intensif (Minor damage, Manual).. 234 36. Analisis Interaksi Mangrove dan Sumber daya Perikanan (Model Fozal)... 235 37. Print Out Perhitungan Model Fozal.. 236 38. Persamaan Model Fozal... 238 39. Dampak tsunami pada nelayan dan kapal/boat di Provinsi NAD... 239 40. Kapasitas Perikanan Tangkap di Pantai Timur Aceh... 240 41. Kapasitas Perikanan Tangkap di Pantai Barat Aceh... 241 42. Maple output model Fozin-1 Pantai Timur......... 242 43. Maple output model Fozin-1 Pantai Barat... 246 xx

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor perikanan dan kelautan diharapkan menjadi prime mover bagi pemulihan ekonomi Indonesia, karena prospek pasar komoditas perikanan dan kelautan ini terus meningkat dan Indonesia dikenal memiliki sumber daya pesisir dan lautan yang cukup melimpah, seperti: mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan estuaria yang menghasilkan sumber daya ikan dan biota lainnya, migas, mineral, dan jasa-jasa lingkungan. Indonesia mempunyai banyak perairan, teluk, dan pulau kecil yang relatif tenang dan bersih, lebih dari 12 genera hutan mangrove (diperkirakan luas areal mangrove di Indonesia 2.25 4.45 juta ha), 70 genus terumbu karang yang tersebar dalam hamparan seluas 85.000 km 2 (terluas di dunia), dan padang lamun yang cukup luas, walaupun sebagian dari sumber daya di atas berada dalam kondisi rusak akibat campur tangan manusia. Indonesia mempunyai panjang garis pantai 81 000 km (14 persen dari total garis pantai bumi dan merupakan garis pantai kedua di dunia terpanjang setelah Kanada), perairan darat 0.55 juta km 2, luas laut 5.8 juta km 2, potensi (ikan) lestari atau Maximum Sustainable Yield (MSY) 6.4 juta ton/tahun, jumlah tangkapan (tahun 2001) 4.0 juta ton, artinya masih punya peluang untuk meningkatkan produksi 1.12 2.40 juta ton/tahun. Indonesia juga mempunyai 141 820 ha perairan umum dengan potensi produksi 356 020 ton ikan/tahun (Dahuri 2002). Untuk perikanan budidaya, Indonesia mempunyai potensi luas budidaya laut (marikultur) lebih dari 2 juta ha, yang dapat dibudidaya ikan kakap, kerapu, tiram, kepiting, teripang, dan lain-lain dengan potensi produksi mencapai ± 46.73 juta ton/tahun. Disamping itu, Indonesia juga potensi lahan tambak 866 550 ha yang hingga kini baru dimanfaatkan sekitar 40 persen. Menurut Dahuri (2002), jika dari luas potensi tambak tersebut dapat dimanfaatkan 500.000 ha saja dengan produksi rata-rata 2 ton/ha/tahun, maka Indonesia akan menghasilkan udang 1 juta ton/tahun, dan jika nilai ekspor udang US$ 2/kg, maka akan menghasilkan devisa US$ 10 milyar.

2 Melimpahnya sumber daya di kawasan pesisir seperti disebutkan di atas, tidak tercermin pada penerimaan PDB dan keadaan sosial ekonomi masyarakat pesisir (nelayan) yang berkaitan langsung dengan sumber daya tersebut. Kenyataan menunjukkan bahwa lebih dari 80 persen masyarakat pesisir masih tergolong miskin (BPS 1998). Paradoks kemiskinan nelayan Indonesia identik dengan apa yang pernah diucapkan Peter Pearse, seorang ekonom Kanada, ketika melihat kenyataan pahit nelayan di pantai timur Kanada yang terbelenggu oleh kemiskinan di tengah melimpahnya sumber daya perikanan di daerah tersebut. Kondisi yang sama dialami oleh nelayan Indonesia. Sebuah ironi kehidupan masyarakat pesisir, yaitu miskin di tengah kekayaan potensi sumber daya perikanan yang ada di sekitarnya. Berbagai pertanyaan kemudian muncul mengapa hal ini bisa terjadi?. Apakah ini semata-mata karena natural resource curse? (kutukan sumber daya alam), yakni suatu fenomena dimana wilayah dengan sumber daya alam yang melimpah justru mengalami pertumbuhan ekonomi yang lamban yang pada akhirnya menyebabkan kemiskinan bagi penduduknya? (Fauzi 2003). Dari sisi penerimaan, kontribusi sektor kelautan terhadap PDB nasional pada Tahun 1998 sebesar 20.06 persen dan kontribusi sektor perikanan saja hanya 2.16 persen dengan nilai ekspor US$ 1.76 milyar jauh lebih kecil dibanding negara Irlandia, Norwegia, Cina dan Jepang dengan kontribusi sektor perikanan terhadap PDB masing-masing sebesar 65%, 25%, 48%, dan 54% (Dahuri 2002). Thailand dengan panjang garis pantai 2.600 km mempunyai nilai ekspor perikanan US$ 4.2 milyar dan dengan luas lahan tambak 80 000 ha menghasilkan 300 000 ton udang pada Tahun 2000, pada periode yang sama Indonesia dengan luas lahan tambak 344 759 ha hanya menghasilkan 120 000 ton udang. Ketidaksesuaian antara kelimpahan sumber daya dan kondisi sosial ekonomi masyarakat, pada tingkat regional juga terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Aceh juga dikenal mempunyai sumber daya pesisir dan lautan yang melimpah. Terdapat 17 Kabupaten/Kota yang berbatasan dengan pantai, panjang garis pantai 2 467 km (Medrilzam et al. 2005), potensi lestari (MSY) di Pantai Barat 366 260 ton/tahun dan Pantai Timur 127 670 ton/tahun (PT. Oxalis Subur 2006). Luas areal budidaya 43 173.5 ha, yang terdiri dari tambak 36 615 ha dan selebihnya merupakan perairan umum, produksi perikanan

3 budidaya 30 572.9 ton dengan nilai 637 milyar (DKP 2004b). Disamping itu, Aceh juga mempunyai sumber daya budidaya laut yang cukup baik, terumbu karang, ekosistem mangrove, dan lain-lain. Dari tahun 70-an, Aceh dikenal dengan keunggulan udang windu dan udang putih yang diekspor ke Eropah sebagai udang pealed (sudah dikupas kulitnya) untuk dihidangkan sebagai shrimp cocktail (FP Unsyiah 2000). Kekayaan sumber daya alam di atas masih belum mampu mengangkat harkat masyarakat Aceh. Tahun 1996 persentase orang miskin di NAD 10.79 persen dan tahun 2000 meningkat menjadi 26.50 persen, lebih tinggi dari rata-rata nasional pada periode yang sama, yaitu 16.07 persen (Abidin 2004). Pada Tahun 2004, jumlah penduduk NAD 4.2 juta orang dan diperkirakan jumlah penduduk miskin mencapai 40 persen, sekitar 1.7 juta orang (Nazamuddin 2004), dan sebagian besar penduduk yang bertempat tinggal di kawasan pesisir adalah tergolong miskin, karenanya hampir seluruh desa di kawasan pesisir termasuk desa tertinggal. Sebelum tsunami, penduduk miskin di Aceh mencapai 29% dari jumlah penduduk dan merupakan provinsi ke-4 termiskin di Indonesia dan setelah tsunami penduduk miskin meningkat menjadi 36%, daerah termiskin ke di Indonesia (Word Bank 2006). Akibat gempa bumi dan gelombang tsunami pada 26 Desember 2004, telah menimbulkan kerusakan yang luar biasa pada sektor perikanan di Provinsi NAD. Diperkirakan sekitar 1000 km garis pantai tersapu tsunami, hampir setara dengan jarak Jakarta Surabaya jalan darat (Mangkusubroto 2006), 17 552 nelayan hilang/tewas atau 22.8% dari total nelayan di NAD yang berjumlah 76 970 orang pada tahun 2004 (DKP 2005a), 11 124 armada hilang/rusak (FAO 2005a), 38 PPI rusak/hilang (Meldrilzam et al. 2005), 20 429 ha tambak rusak atau 42.9% dari total luas tambak di NAD 47 621 ha dan paling kurang 40 000 pembudidaya tambak kehilangan pekerjaan (FAO 2005b), 105 260 ha hutan mangrove rusak (Dephut 2005, diacu dalam Meldrilzam et al. 2005). Proses rehabilitasi dan rekonstruksi sedang dilakukan di Provinsi NAD, namun sejauh ini belum memberikan hasil yang optimal. Salah satu penyebabnya adalah informasi dan data yang digunakan dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi tersebut belum mendekati kondisi riel. Penelitian ini dilakukan

4 untuk menggambarkan secara menyeluruh tentang keragaan (performance) sumber daya perikanan tangkap dan budidaya (tambak) di Provinsi NAD. Keragaan sumber daya ini penting diketahui karena akan menentukan konsep dan strategi kebijakan yang tepat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan para stakeholder khususnya dan masyarakat pesisir pada umumnya di lokasi penelitian. Yang diharapkan adalah setiap kegiatan pembangunan dalam zona pemanfaatan hendaknya ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik sesuai, sehingga membentuk suatu mozaik yang harmonis. Untuk pemanfaatan sumber daya yang dapat pulih (renewable resources), laju ekstraksinya tidak boleh melebihi kemampuannya untuk memulihkan diri pada suatu periode tertentu, sedangkan pemanfaatan sumber daya pesisir yang tak dapat pulih (non-renewable resources) harus dilakukan dengan cermat sehingga efeknya tidak merusak lingkungan sekitarnya. 1.2. Perumusan Masalah Seperti telah disebutkan di atas, Provinsi NAD memiliki potensi produksi perikanan, baik perikanan tangkap maupun budidaya, yang cukup tinggi. Namun tingginya potensi ini tidak tercermin dari kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir, khususnya para nelayan. Hampir semua desa nelayan di Indonesia dan juga di NAD tergolong dalam desa tertinggal dan berpenduduk miskin. Ada beberapa hal yang menyebabkan rendahnya produktivitas di sektor perikanan, antara lain adalah : (1) kapasitas (stok) sumber daya ikan yang telah menurun di beberapa daerah penangkapan ikan, (2) sumber ekonomi perikanan mengalami terdistorsi, dimana beberapa produk perikanan memiliki pasar monopsoni sedangkan inputnya bersifat monopolistik, (3) kualitas sumber daya manusia di sektor perikanan relatif rendah dibandingkan dengan sektor lainnya, (4) eksploitasi perikanan di beberapa daerah telah melebihi kapasitas sumber dayanya, (5) di beberapa daerah penangkapan, diduga telah terjadi degradasi dan depresiasi sumber daya ikan, (6) belum terintegrasi pengembangan wilayah pesisir dengan pembangunan sektor perikanan. Masalah tangkap lebih (overfishing) merupakan isu pokok yang terjadi di beberapa daerah penangkapan ikan. Gordon (1954), diacu dalam Fauzi (2004)

5 menyatakan bahwa sumber daya ikan pada umumnya open access. Tidak seperti sumber daya alam lainnya, seperti pertanian dan peternakan yang sifat kepemilikannya jelas, sumber daya ikan relatif bersifat terbuka. Siapa saja bisa berpartisipasi tanpa harus memiliki sumber daya tersebut. Gordon menyatakan bahwa tangkap lebih secara ekonomi (economic overfishing) akan terjadi pada perikanan yang tidak terkontrol ini. Menurut beberapa hasil penelitian, di Selat Malaka dan Laut Jawa telah terjadi tangkap lebih, biological overfishing. Namun, yang umum terjadi di Indonesia, termasuk di NAD, adalah economical overfishing yang ditandai dengan tingginya penggunaan input, tetapi tidak dibarengi dengan peningkatan output dan returns secara proporsional. Gordon memulai analisisnya berdasarkan asumsi konsep produksi biologi kuadratik yang dikembangkan oleh Verhulst pada tahun 1883 yang kemudian diterapkan dalam bidang perikanan oleh Schaefer pada tahun 1957. Dari sinilah teori Gordon-Schaefer kemudian dikenal. Secara eksplisit model Gordon- Schaefer (GS) menjelaskan bahwa dalam kondisi pengelolaan yang bersifat terbuka (open access), keseimbangan akan tercapai pada tingkat upaya E, dimana penerimaan total (TR) sama dengan biaya total (TC). Dalam hal ini pelaku perikanan sudah tidak menerima rente ekonomi sumber daya (manfaat ekonomi), karena seluruh rente ekonomi telah terkuras habis (driven to zero) sehingga tidak lagi intensif untuk masuk (entry) dan keluar (exit) serta tidak ada perubahan pada tingkat upaya yang sudah ada. Tingkat upaya pada posisi ini adalah upaya dalam kondisi keseimbangan yang oleh Gordon disebut sebagai Bioeconomic Equilibrium of Open Access Fishery atau keseimbangan bionomik dalam kondisi akses terbuka (Fauzi 2004). Keuntungan lestari yang maksimum diperoleh pada tingkat upaya dimana jarak antara TR dan TC paling besar, tingkat upaya ini disebut dengan Maximum Economic Yield (MEY). Tingkat upaya pada keseimbangan open access (E ) jauh lebih tinggi dari tingkat upaya MEY (E o ). Dari sudut pandang ekonomi, keseimbangan open access menimbulkan terjadinya alokasi sumber daya alam yang tidak tepat (misallocation) karena kelebihan faktor produksi (tenaga kerja, modal) tersebut seharusnya bisa dialokasikan untuk kegiatan ekonomi lainnya

6 yang lebih produktif. Hal inilah inti prediksi Gordon bahwa perikanan yang open access akan menimbulkan kondisi economic overfishing. Model GS seperti dijelaskan di atas mengasumsikan sumber daya dalam kondisi keseimbangan (equilibrium). Namun, dalam kenyataannya kondisi sumber daya tidak selalu equilibrium. Dengan faktor shock (seperti tsunami) dapat menyebabkan sumber daya tidak seimbang (disequilibrium). Disamping itu, model GS hanya melihat perikanan dalam suatu perairan. Pada kenyataannya kondisi perairan dipengaruhi oleh ekosistem pantai, seperti hutan mangrove, yang berfungsi selain sebagai tempat pemijahan (spawning ground), tempat mencari makan (feeding ground), dan tempat berlindung beberapa biota laut (termasuk ikan) juga dengan produksi serasah (bahan organik) dapat menyuburkan perairan sehingga akan mempengaruhi tingkat populasi ikan (tingkat biomas) di perairan tersebut. Pertanyaan umum yang muncul dari bahasan di atas adalah bagaimana model Gordon-Schaefer (GS) melihat kondisi perikanan yang mengalami shock?. Beberapa pertanyaan yang dapat diturunkan secara khusus adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana perbandingan model perikanan equilibrium (tanpa shock) dan disequilibrium (dengan shock) terhadap biomas, hasil tangkapan, effort, dan rente ekonomi serta trajektori kontraksi dan ekspansi input akibat adanya shock tersebut? 2. Bagaimana dampak kesejahteraan (welfare effect) model Gordon-Schaefer tanpa shock dan dengan shock? 3. Apakah pengelolaan perikanan tangkap di daerah penelitian sudah efisien? 4. Bagaimana kontribusi ekosistem mangrove terhadap perikanan dan kondisi perubahan ekosistem akibat adanya shock? 5. Bagaimana keragaan perikanan budidaya (tambak), permasalahan, strategi rehabilitasi dan pengembangannya di daerah penelitian serta apakah perikanan budidaya tersebut dapat menjadi substitusi dan komplementer ketika perikanan tangkap mengalami shock? Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka dibuat alur pemikiran yang sistematis seperti terlihat pada Gambar 1.

7 Equilibrium Input Analisis Degradasi dan Depresiasi Disequilibrium TSUNAMI Input?? Teori Gordon- Schaefer (GS) Output Gordon Schaefer Equilibrium Analisis Comparative Model Copes Analisis DEA Interaksi Mangrove-Sumber Daya Ikan Output?? Rehabilitasi Rekonstruksi Output Baru Gordon-Schaefer Disequilibrium Mangrove Tambak Assessment dan Analisis Ekonomi Opsi Rehabilitasi Perikanan Budidaya Kebijakan Gambar 1. Kerangka pemikiran 1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model bioekonomi perikanan akibat adanya eksternal shock serta kebijakan dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi sektor perikanan di Provinsi NAD yang harmonis, lestari, dan memberikan manfaat ekonomi dan sosial kepada masyarakat di daerah penelitian. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk : 1. Melakukan analisis perbandingan model perikanan equilibrium (tanpa shock) dan disequilibrium (dengan shock) terhadap biomas, hasil tangkapan, effort, dan rente ekonomi serta trajektori kontraksi dan ekspansi input akibat adanya shock tersebut. 2. Mengetahui dampak kesejahteraan (welfare effect) model Gordon-Schaefer tanpa shock dan dengan shock. 3. Menganalisis tingkat efisiensi perikanan tangkap dan implikasi kebijakannya.

8 4. Menganalisis kontribusi ekosistem mangrove terhadap perikanan dan kondisi perubahan ekosistem akibat adanya shock. 5. Melakukan kajian ekonomi budidaya tambak pasca tsunami, upaya rehabilitasi dan pengembangan serta hubungannya dengan produksi perikanan tangkap setelah shock. Dari penelitian ini diharapkan akan terciptanya suatu analisis yang komprehensif menyangkut pengelolaan sumber daya perikanan yang dapat dijadikan masukan dan acuan kebijakan dalam rehabilitasi sektor perikanan di Provinsi NAD.

9 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumber Daya Pesisir Pesisir merupakan suatu jalur daratan yang kering dan ruang laut dekatnya, termasuk kolom air dan daratan dibawahnya, dimana ekosistem darat dan penggunaannya berdampak terhadap ekosistem laut dan sebaliknya (Rais 2002). Wilayah pesisir merupakan wilayah dimana daratan berbatasan dengan laut, batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang maupun yang tidak tergenang air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang surut, angin laut, dan intrusi garam sedangkan batas di laut ialah daerah-daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan (Bengen 2002). Secara ekologis, batasan kawasan pesisir dapat dilihat pada Gambar 2. CONTINENTAL INTERIOR UPLAND LOWLAND RIVER BASIN COASTAL ZONE SHELF SEA NEARSHORE WATERS ESTUARINE WATERS ESTUARINE PLUME ESTUARY SALTMARSH DUNES NEARSHORE INNER SHELF CONTINENTAL SHELF LAND / SEA INTERFACE SHORE LINE OUTER SHELF OPEN OCEAN SHELF EDGE ZONE CONTINENTAL OCEAN SLOPE FLOOR SHELF SEA / OCEAN INTERFACE SHELF BREAK Gambar 2. Batasan Wilayah Pesisir (Pernetta and Milliman 1995, diacu dalam Dahuri 2001) Karakteristik utama wilayah pesisir adalah : (1) terdiri dari berbagai macam habitat/ekosistem (seperti pantai, mangrove, padang lamun, terumbu karang, dan estuaria) yang menghasilkan berbagai sumber daya (ikan, migas,

10 mineral, dan lain-lain) dan jasa-jasa lingkungan (seperti proteksi alamiah terhadap badai dan gelombang, rekreasi, dan penyerapan limbah) bagi masyarakat, khususnya yang bermukim di pesisir, (2) kompetisi pemanfaatan sumber daya lahan dan laut oleh berbagai stakeholders yang seringkali mengakibatkan konflik/pertikaian diantara mereka serta perusakan integritas fungsional dari ekosistem, (3) biasanya berkepadatan penduduk tinggi dan lokasi yang disukai untuk pengembangan perkotaan, dan (4) sumber utama ekonomi nasional, di mana menyumbang devisa negara secara signifikan (Dahuri et al. 2001). Secara umum, wilayah pesisir (yang termasuk kedalamnya estuaria, coastal wetlands, mangrove, karang, continental shelves, dan lain-lain) memberikan penghidupan yang cukup besar bagi manusia yang ditandai dengan 50 70% manusia hidup dan bekerja di wilayah ini. Walaupun luas wilayah pesisir hanya 8% dari permukaan bumi, namun memberikan kontribusi produksi biologi global sebesar 26%. Angka ini cukup besar bila dibandingkan dengan luas daratan yang mencapai 27% dari permukaan bumi dengan produksi biologis 41% dan luas lautan 65% dengan produksi biologis 33% (Rais 2002). Lebih jauh, Odum (1976), Berwick (1983), dan FAO (1998), diacu dalam Dahuri (2002) menyatakan bahwa 85% kehidupan biota tropis tergantung pada ekosistem pesisir dan 90% hasil tangkap ikan berasal dari laut dangkal/pesisir. Beberapa pernyataan di atas menunjukkan bahwa kawasan pesisir sangat produktif dan mengandung potensi pembangunan yang cukup tinggi, karenanya menjadi pilihan tempat tinggal dan mencari nafkah potensial bagi manusia. Wilayah pesisir, sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut, merupakan kawasan di permukaan bumi yang paling padat dihuni oleh manusia. Bengen (1999), diacu dalam Sjafi i (2000) mengatakan terkonsentrasinya kehidupan di wilayah pesisir disebabkan oleh tiga alasan yaitu : (1) wilayah pesisir merupakan salah satu kawasan yang secara biologi sangat produktif, (2) wilayah pesisir menyediakan berbagai kemudahan praktis dan relatif lebih murah bagi kegiatan industri, pemukiman, dan lainnya, dibandingkan dengan daerah lahan atas, (3) wilayah pesisir pada umumnya memiliki panorama keindahan yang dapat dijadikan objek rekreasi dan pariwisata yang sangat menarik dan menguntungkan. Oleh karena itu, maka wilayah ini akhirnya mendapatkan

11 tekanan yang serius dan membahayakan kelestariannya. Tekanan-tekanan ini dapat berupa eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya hayati, polusi dari aktivitas di darat dan laut serta degradasi fisik dari habitat pesisir. Melihat pentingnya wilayah pesisir untuk kehidupan manusia, maka eksistensinya harus dijaga dan dipelihara. Oleh karena itu, pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan ini harus mengarah kepada pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). 2.2. Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) Istilah pembangunan berkelanjutan mulai dikenal setelah diterbitkan laporan mengenai pembangunan dan lingkungan serta sumber daya alam oleh Komisi Dunia untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan - PBB (UN World on Environment and Development - WCED) yang diketuai oleh Harlem Brundtland (Conrad 1999). Dalam laporan tersebut didefinisikan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Lebih jauh, dikatakan bahwa pada tingkat yang minimum, pembangunan berkelanjutan tidak boleh membahayakan sistem alam yang mendukung semua kehidupan di muka bumi. Pada tahun 1992, dalam Konferensi Bumi di Rio de Janeiro, pembangunan berkelanjutan menjadi tema umum yang mengaitkan sejumlah konvensi yang bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan untuk melestarikan keanekaragaman hayati. Konvensi ini dihadiri oleh lebih dari 140 negara sehingga dapat disimpulkan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan dapat diterima di seluruh dunia. Menurut Perman et al. (1996), setidaknya ada tiga alasan mengapa pembangunan ekonomi harus berkelanjutan. Pertama, menyangkut alasan moral. Generasi kini yang menikmati barang dan jasa yang dihasilkan dari sumber daya alam dan lingkungan memiliki kewajiban moral untuk menyisakan layanan sumber daya tersebut untuk generasi mendatang. Kewajiban tersebut mencakup

12 tidak mengekstraksi sumber daya alam yang merusak lingkungan sehingga menghilangkan kesempatan bagi generasi yang akan datang untuk menikmatinya. Kedua, menyangkut alasan ekologi. Keanekaragaman hayati, misalnya, memiliki nilai ekologi yang sangat tinggi sehingga aktivitas ekonomi semestinya tidak diarahkan pada yang mengancam fungsi ekologi tersebut. Ketiga, adalah alasan ekonomi. Alasan dari sisi ekonomi memang masih menjadi perdebatan karena tidak diketahui apakah aktivitas ekonomi selama ini sudah atau belum memenuhi kriteria keberlanjutan. Disisi lain, dimensi ekonomi keberlanjutan sendiri cukup komplek, sehingga sering aspek keberlanjutan dari sisi ekonomi ini hanya dibatasi pada kesejahteraan antar generasi (inter generation welfare maximization) Selanjutnya Perman et al. (1996), mencoba mengelaborasi konseptual keberlanjutan dengan mengajukan lima alternatif pengertian, yaitu : 1. Suatu kondisi dikatakan berkelanjutan (sustainable) jika utilitas yang diperoleh masyarakat tidak berkurang sepanjang waktu dan konsumsi tidak menurun sepanjang waktu (non declining consumption). 2. Keberlanjutan adalah kondisi dimana sumber daya alam dikelola sedemikian rupa untuk memelihara kesempatan produksi di masa mendatang. 3. Keberlanjutan adalah kondisi dimana sumber daya alam (natural capital stok) tidak berkurang sepanjang waktu (non declining). 4. Keberlanjutan adalah kondisi dimana sumber daya alam dikelola untuk mempertahankan produksi jasa sumber daya alam. 5. Keberlanjutan adalah kondisi dimana kondisi minimum keseimbangan dan daya tahan (resilience) ekosistem terpenuhi. Senada dengan pemahaman di atas, Daly (1990), diacu dalam Fauzi (2004) menambahkan beberapa aspek mengenai definisi pembangunan berkelanjutan, antara lain: 1. Untuk sumber daya alam yang terbarukan (renewable resources): Laju pemanenan paling tinggi harus sama dengan laju regenerasi (produksi lestari). 2. Untuk masalah lingkungan: Laju pembuangan limbah harus setara dengan kapasitas assimilasi lingkungan.

13 3. Sumber daya energi yang tidak terbarukan (non renewable resources) harus dieksploitasi secara quasi sustainable, yakni mengurangi laju deplesi dengan cara menciptakan energi substitusi. Haris (2000), diacu dalam Fauzi (2004) melihat konsep keberlanjutan dapat dirinci menjadi tiga aspek pemahaman, yaitu: 1. Keberlanjutan ekonomi yang diartikan sebagai pembangunan yang mampu menghasilkan barang dan jasa secara kontinyu untuk memelihara keberlanjutan pemerintahan dan menghindari terjadinya ketidakseimbangan sektoral yang dapat merusak produksi pertanian dan industri. 2. keberlanjutan lingkungan: Sistem yang berkelanjutan secara lingkungan harus mampu memelihara sumber daya yang stabil, menghindari eksploitasi sumber daya alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep ini juga menyangkut pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas ruang udara, dan fungsi ekosistem lainnya yang tidak termasuk kategori sumber-sumber ekonomi. 3. Keberlanjutan sosial: Keberlanjutan secara sosial diartikan sebagai sistem yang mampu mencapai kesetaraan, menyediakan layanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, gender, dan akuntabilitas politik. Arti berkelanjutan secara ekstrim dapat dikatakan sebagai keseimbangan statis, dimana dalam keseimbangan tersebut tidak terdapat perubahan, meskipun tentu saja terdapat perubahan dalam lokasi dari waktu ke waktu (Boulding 1991 dan Pezzey 1992). Berkelanjutan dapat pula berarti keseimbangan yang dinamis (Clark 1989) yang memiliki dua arti. Pertama, keseimbangan sistem yang mengalami perubahan, dimana parameter perubahan dalam keseimbangan tersebut bersifat konstan. Kedua, keseimbangan suatu sistem yang setiap parameternya mengalami perubahan, sehingga setiap perubahan, misalnya, dalam populasi akan memicu restorasi nilai populasi awal tersebut. Ekonomi seringkali didefinisikan sebagai ilmu pengalokasian sumber daya di antara pihak-pihak yang berkepentingan (Clark 1989). Tujuan ekonomis dari alokasi sumber daya (alam) adalah efisiensi, yaitu mendapatkan hasil yang tertinggi dari pemanfaatan dan ekstraksi sumber daya tersebut. Sumber daya diasumsikan tidak terbatas karena kemajuan teknologi dan preferensi individual dipandang sebagai given dan merupakan faktor dominan. Dengan demikian,

14 dalam kerangka ekonomi, pembangunan berkelanjutan merupakan suatu kerangka yang statis dan mengacu pada konsep keseimbangan (steady state) sebagai perangkat optimisasi (Daly 1991). Lebih jauh, steady state mengacu pada karakteristik sistem sumber daya alam dimana laju produksi/ekstraksi dibatasi pada aliran komponen sistem dan sediaan sumber daya alam tidak berubah sepanjang waktu (Burt and Cummings 1977). Optimisasi statis kemudian dikembangkan untuk menggambarkan trade-off yang tercakup dalam alokasi sumber daya, antara konsumsi (pemanfaatan) dan sediaan (stock). Karakteristik dari sumber daya alam adalah dinamis, demikian pula halnya dengan implikasi sosial dari pemanfaatan sumber daya. Dengan demikian, ekstraksi optimal dari sumber daya alam secara inherent adalah dinamis. Pada kenyataannya, efisiensi tidak dapat menjadi ukuran suatu pembangunan yang berkelanjutan. Dalam ukuran ekonomi, pembangunan berkelanjutan bermakna sediaan total dari sumber daya digunakan dalam sistem ekonomi menentukan kesempatan ekonomi yang luas, yang juga berarti jaminan kesejahteraan bagi generasi kini dan yang akan datang. Seringkali, efisiensi ekonomi dan sustainability dianggap memiliki obyektif yang sama, yaitu menyinambungkan pembangunan dengan memastikan bahwa generasi yang akan datang memiliki kesempatan ekonomi yang sama. Sehingga efisiensi ekonomi (inter temporal) merupakan isu utama pembangunan berkelanjutan. Meskipun suatu pembangunan dapat bersifat efisien secara ekonomi dan berkelanjutan pada saat yang sama, efisiensi tidak menjamin sustainability. Dengan demikian, bila kegiatan pembangunan ekonomi bertujuan berkelanjutan dan efisien, alokasi optimal dari sumber daya ekonomi dan lingkungan harus memenuhi kriteria yang bertujuan untuk mencapai kedua objektif ini. Pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir dan laut secara berkelanjutan mengharuskan adanya keseimbangan antara kegiatan ekonomi dan pelestarian lingkungan, sebagaimana dijelaskan oleh Djajadiningrat (1997), diacu dalam Efrizal (2005) bahwa apabila semua kegiatan ekonomi dihentikan dengan harapan melindungi lingkungan, maka tindakan ini dapat menimbulkan proses degradasi lingkungan, terutama dalam kaitannya dengan pertumbuhan penduduk. Sebaliknya, kerusakan lingkungan juga terjadi apabila pertumbuhan ekonomi

15 berjalan dengan cepat, tanpa mengindahkan pelestarian sumber daya alam dan pengendalian pencemaran. Untuk menyelaraskan hal tersebut, maka tujuan kebijakan pengelolaan ekonomi harus difokuskan pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dengan cara menyeimbangkan antara kebijakan pertumbuhan mutu lingkungan dan pertumbuhan ekonomi. Howart dan Norgard (1990), diacu dalam Fauzi (2004) memperlihatkan konsep keberlanjutan ini dengan mengembangkan kerangka Overlapping Generation Model (OLG). Dengan memasukkan aspek antar generasi, tampak bahwa pemenuhan konsumsi sepanjang waktu akan sangat diperbaharui oleh distribusi kesejahteraan antar generasi. Secara matematis, formula OLG dapat ditulis sebagai berikut : ch 1 1 cht + 1 max π + α t = p ht p ht + 1 (2.1) x t 1+ x t + 1 dengan kendala : x ( x t ) ht t +1 = x t + F (2.2) Dimana F(x t ) adalah fungsi pertumbuhan sumber daya alam, dan (1/(1+ )) adalah discount factor sebagai konsekuensi perbandingan manfaat antar generasi. Dengan mensubstitusi persamaan (2.2) kedalam persamaan (2.1), maka diperoleh persamaan manfaat ekonomi generasi sekarang yang telah mempertimbangkan konsumsi dan ketersediaan stok untuk generasi mendatang dalam bentuk: max π t ch = p x t 1 h t 1 αp + 1+ 4c 2 ( x + F ( x ) h ) t t t (2.3) Jika diasumsikan bahwa variabel sumber daya alam bersifat given (eksogen), maka persamaan (2.3) dapat dipecahkan untuk menentukan tingkat panen generasi kini yang tidak akan mengurangi tingkat panen generasi mendatang. Dengan menurunkan persamaan (2.3) terhadap h t akan diperoleh solusi optimal dari h t sebesar: [ 4c ( 1+ ) αp] 8c ( 1+ ) p x t ht = (2.4)

16 Solusi optimal di atas menggambarkan tingkat panen yang harus dilakukan oleh generasi t yang didasarkan pada harapan untuk mewariskan panen yang positif pada generasi mendatang. Dengan mengetahui fungsi F(x) yang eksplisit, kita dapat menentukan solusi biomas yang optimal untuk generasi kini yang kemudian, dengan teknik substitusi, akan kita ketahui nilai panen yang optimal generasi mendatang. Aspek keberlanjutan dapat juga diukur dengan pendekatan depresiasi. Konsep ini telah pernah dilakukan oleh Fauzi dan Anna (2002) yang mengukur keberlanjutan sumber daya perikanan. 2.3. Teori Optimasi Sumber daya Perikanan Perikanan, seperti halnya sektor ekonomi lainnya, merupakan salah satu aktivitas yang memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan terhadap suatu bangsa. Sebagai salah satu sumber daya alam yang bersifat dapat diperbaharui (renewable), pengelolaan sumber daya ini memerlukan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati-hati. Jika tidak, maka ketersediaan (stok) sumber daya ini dipastikan akan berkurang atau bahkan, pada spesies (ikan) tertentu, akan habis. Telah banyak penelitian yang menyatakan bahwa sebagian daerah penangkapan ikan, baik di dunia maupun di Indonesia, telah mengalami kelebihan tangkap (over fishing). Pertanyaan bagaimana sebaiknya mengelola sumber daya ini telah menjadi topik yang hangat dibidang pengelolaan sumber daya perikanan. Pada awalnya, pengelolaan sumber daya perikanan banyak didasarkan pada faktor biologis semata dengan pendekatan Maximum Sustainable Yield (MSY) atau tangkap maksimum yang lestari. MSY adalah penangkapan rata-rata tertinggi yang dapat diambil secara kontinyu (sustained) dari suatu stok ikan dibawah kondisi lingkungan rata-rata. MSY ini sering digunakan sebagai suatu tujuan pengelolaan sumber daya. Inti pendekatan ini adalah bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini dipanen (tidak lebih dan tidak kurang) maka stok ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable) (Fauzi 2004).

Dalam model surplus produksi, dinamika dari biomas digambarkan sebagai selisih antara produksi dan mortalitas alami (Biomas pada t + 1 = biomas pada t + produksi - mortalitas alami). Artinya, jika produksi melebihi mortalitas alami, maka biomas akan meningkat, sebaliknya jika mortalitas alami lebih tinggi dari pada produksi, maka biomas akan menurun. Istilah surplus produksi sendiri menggambarkan perbedaan atau selisih antara produksi dan mortalitas alami di atas. Hal ini senada dikemukakan oleh Hilborn and Walter (1992), diacu dalam Anna (2003), bahwa surplus produksi menggambarkan jumlah peningkatan stok ikan dalam kondisi tidak ada aktivitas penangkapan atau dengan kata lain jumlah yang bisa ditangkap, jika biomas dipertahankan dalam tingkat yang tetap. Salah satu tipe surplus produksi yang biasa digunakan adalah yang dikembangkan oleh Schaefer (1954). Model Schaefer ini dapat dijelaskan sebagai berikut : Jika dimisalkan x adalah biomas dari stok, r adalah laju pertumbuhan alami dari populasi, K adalah daya dukung lingkungan, maka dalam kondisi tidak ada aktivitas penangkapan (non-fishing), laju perubahan biomas sepanjang waktu dapat diformulasikan: dx = f (x) (2.5) dt dimana f(x) adalah fungsi pertumbuhan. Salah satu fungsi pertumbuhan yang sering digunakan adalah fungsi pertumbuhan logistik, yang dapat diformulasikan sebagai berikut : dx dt x = rx(1 ) (2.6) K dengan mengintroduksi fungsi penangkapan, H=qxE ke dalam model di atas, kemudian diasumsikan bahwa penangkapan berkorelasi linier terhadap biomas (x) dan input produksi (E), maka laju pertumbuhan biomas menjadi : dx dt x = rx( 1 ) qxe (2.7) K Kemudian apabila diasumsikan bahwa laju pertumbuhan mendekati nol (dx/dt = 0), maka diperoleh suatu hubungan antara hasil tangkapan lestari dengan input yang digunakan. Secara grafik dapat dilihat pada Gambar 3. 17

18 H(E) H msy MSY Produksi Lestari E msy Effort (E) Gambar 3. Kurva Yield Effort (Fauzi 2004) Kurva di atas dapat dilihat bahwa jika tidak ada aktivitas perikanan (effort = 0), maka produksi nol. Kemudian effort akan mencapai titik maksimum pada E MSY kaitannya dengan tangkap maksimum lestari (H MSY ). Dalam pendekatan ini, pengelolaan sumber daya perikanan yang optimal dilakukan pada titik H MSY, karena pada titik ini diperoleh tingkat produksi yang maksimum. Konsep pengelolaan sumber daya perikanan dengan pendekatan MSY seperti yang disebutkan di atas, belakangan banyak dikritik oleh berbagai pihak sebagai pendekatan yang terlalu sederhana dan tidak mencukupi. Kritik yang paling mendasar di antaranya adalah karena pendekatan MSY tidak mempertimbangkan sama sekali aspek-aspek sosial ekonomi pengelolaan sumber daya alam. Conrad dan Clark (1987), diacu dalam Fauzi (2004), menyatakan bahwa beberapa kelemahan pendekatan MSY antara lain: 1. tidak bersifat stabil, karena perkiraan stok yang meleset sedikit saja bisa mengarah ke pengurasan stok (stock depletion), 2. didasarkan pada konsep steady state (keseimbangan) semata, sehingga tidak berlaku pada kondisi non-steady state, 3. tidak memperhitungkan nilai ekonomis apabila stok ikan tidak dipanen (imputed value), 4. mengabaikan aspek interdependensi dari sumber daya, dan 5. sulit diterapkan pada kondisi dimana perikanan memiliki ciri ragam jenis (multi species)

19 Menyadari beberapa kelemahan dari konsep MSY seperti yang dikemukakan di atas, maka pada tahun 1950-an, Gordon mengembangkan model Schaefer di atas dengan memasukkan faktor ekonomi, harga dari output (harga ikan per satuan berat) dan biaya dari input (cost per unit effort). Gordon mentransformasikan kurva yield effort dari Schaefer menjadi kurva yang menggambarkan manfaat bersih, yaitu selisih antara Total Revenue (TR) yang dihasilkan dari sumber daya perikanan dan Total Cost (TC) dari input produksi (effort) yang digunakan. Model Gordon-Schaefer adalah model ekonomi perikanan yang didasarkan pada faktor input (effort). Model ini kemudian dikenal dengan model Gordon-Schaefer, yang secara grafik dapat dilihat pada Gambar 4. Inti dari teori Gordon berawal dari sintesis Hardin (1968) mengenai Tragedy of the Common yang menyatakan bahwa sumber daya alam yang berada dalam rezim common property dengan akses yang terbuka (open access) akan menyebabkan hilangnya rente ekonomi optimal (dissipated) yang semestinya diperoleh. Gambar 4 menunjukkan bahwa dalam kondisi open access, sumber daya perikanan akan mencapai titik keseimbangan pada tingkat E OA dimana Total Revenue (TR) sama dengan Total Cost (TC). Dalam hal ini pelaku perikanan hanya menerima biaya opportunitas saja dan rente ekonomi sumber daya atau profit tidak ada. Tingkat effort pada posisi ini disebut sebagai tingkat effort keseimbangan yang dikenal sebagai bio-economic equilibrium of open access fishery (keseimbangan bionomic dalam kondisi akses terbuka). Revenue-Cost MEY C A MSY B TC=c.E TR=p.Y(E) E* E msy E OA Effort (E) Gambar 4. Model Gordon-Schaefer

20 Dari Gambar 4 dapat dijelaskan bahwa pada setiap tingkat effort di bawah E OA, penerimaan total akan melebihi biaya total sehingga para pelaku perikanan (nelayan) akan berusaha (lebih tertarik) untuk masuk dalam usaha perikanan. Sementara sebaliknya, pada tingkat effort di atas E OA, biaya total akan melebihi penerimaan total, sehingga banyak pelaku perikanan (nelayan) akan keluar dari usaha perikanan. Keuntungan maksimum secara lestari akan diperoleh pada tingkat effort E*. Pada titik ini rente ekonomi yang diperoleh pelaku perikanan (nelayan) adalah maksimal, yang pada Gambar 4 di atas ditunjukkan oleh selisih TR dan TC terbesar (garis AC). Tingkat upaya ini disebut sebagai Maximum Economic Yield (MEY). Dengan demikian konsep MEY menggambarkan kondisi pengelolaan perikanan yang optimal secara ekonomi, dimana faktor input yang dimanfaatkan seefisien mungkin sehingga diperoleh rente sumber daya yang maksimum. Kondisi MEY diperoleh pada tingkat effort yang lebih rendah dibandingkan dengan titik keseimbangan pada kondisi open access. Biomas yang dipertahankan (menjadi stok) relatif lebih banyak, tangkapan per unit effort tinggi, dan profit juga tinggi. Perikanan yang dikelola untuk mendapatkan MEY disebut juga perikanan yang dikelola dengan cara yang sangat conservative secara biologi. Jika dibandingkan dengan model pendekatan biologi di atas, model Gordon-Schaefer lebih baik, karena menekankan pada efisiensi input dengan rente ekonomi yang maksimum mengingat jumlah input produksi yang digunakan pada model ini sedikit jauh lebih daripada E MSY dan E OA. Jika dibandingkan tingkat upaya pada keseimbangan open akses dengan tingkat upaya optimal secara sosial (E*), maka dapat dilihat bahwa pada kondisi open access tingkat upaya yang dibutuhkan jauh lebih banyak dari yang semestinya untuk mencapai keuntungan optimal yang lestari. Sehingga keseimbangan open access ini dapat menyebabkan timbulnya alokasi sumber daya alam yang tidak benar, karena kelebihan sumber daya input (tenaga kerja, modal) yang dibutuhkan untuk perikanan seharusnya bisa dialokasikan untuk kegiatan ekonomi lainnya yang lebih produktif. Hal inilah yang merupakan inti prediksi Gordon bahwa kondisi open access akan menimbulkan economic overfishing. Kemudian dari gambar di atas juga dapat

21 disimpulkan bahwa tingkat effort E mey terlihat lebih conservative minded dibandingkan dengan tingkat effort E msy. Dalam kaitannya dengan depresiasi sumber daya, pada pendekatan biologi, depresiasi sumber daya tidak diperhitungkan sama sekali, sementara pada model Gordon, depresiasi sumber daya perikanan dilihat sebagai hilangnya rente ekonomi (dissipated) akibat mismanagement sumber daya perikanan yang open access. Copes (1972) mencoba mengisi kekurangan model Gordon dengan memasukkan faktor welfare effect di dalam modelnya, berdasarkan keterkaitan antara output dari sumber daya perikanan (ikan) dengan biaya dan harga. Dengan demikian, pengelolaan sumber daya perikanan yang optimal bisa dilihat dari berbagai sisi stakeholder yakni, pemerintah, masyarakat (konsumen) dan pelaku sendiri (produsen). Dari ketiga aspek ini, Copes melihat surplus yang mungkin dihasilkan dari pengelolaan sumber daya perikanan. Salah satu hal yang penting dari teori Copes adalah mengenai "back ward bending supply curve" dari perikanan. Kurva itu menggambarkan bahwa suplai dari produk perikanan tidak tak terbatas karena faktor daya dukung lingkungan tidak akan mampu terus menerus mendukung produksi. Dengan demikian pengelolaan perikanan juga sangat ditentukan oleh ketersediaan sumber daya. Sebagaimana dikemukakan di atas, baik model Gordon maupun model Copes menganalisis pengelolaan perikanan di dalam framework statis. Artinya aspek intertemporal (antar waktu) yang terkait dengan sumber daya perikanan maupun pelaku industri sendiri tidak diperhitungkan. Misalnya, di dalam model Gordon, pengalihan excess effort dari kondisi open access ke E MEY dilakukan seketika tanpa memperhitungkan faktor penyesuaian. Padahal, stok ikan sendiri memerlukan waktu untuk tumbuh, demikian juga pengurangan input dari tingkat E OA ke E MSY memerlukan waktu untuk penyesuaian. Menyadari kelemahan inilah Clark dan Munro mengembangkan model dinamis pengelolaan sumber daya perikanan yang optimal. Di dalam model mereka, sumber daya ikan diperlakukan sebagai aset yang memiliki opportunity cost atau biaya korbanan. Artinya di dalam mengelola sumber daya ikan kita dihadapkan pada pilihan intertemporal, apakah akan dipanen saat ini dengan menghasilkan nilai ekonomi kini, atau

22 dibiarkan diperairan sehingga bisa tumbuh dan bisa dipanen di masa mendatang sehingga bisa menghasilkan manfaat ekonomi yang lebih besar. Trade-off antara memanen stok saat ini atau nanti inilah yang menjadi ciri khas dalam model intertemporal yang dikembangkan oleh Clark dan Munro. Salah satu solusi dari model Clark dan Munro adalah fenomena yang disebut sebagai most rapid approach (MRAP) atau "bang-bang approach yang menyatakan bahwa penyesuaian ke arah tingkat eksploitasi yang optimal (biomas, tangkap dan input) harus dilakukan secepat mungkin (Gambar 5). Dari Gambar 5 terlihat bahwa jika x* adalah kondisi optimal biomas yang lestari, maka pada pendekatan "bang-bang", strategi yang optimal adalah melakukan eksploitasi yang maksimurn (h=h max ) pada saat x > x* (dimulai dari titik B). Sebaliknya jika x < x* (dimulai dari titik A), strategi optimal adalah tidak melakukan eksploitasi. Melihat model ini, depresiasi sumber daya perikanan sebenarnya akan terjadi secara cepat jika strategi pertama dilakukan. Clark dan Munro secara implisit menyatakan bahwa deplesi akan terjadi manakala strategi pertama dilakukan dan dimana kondisi parameter harga per satuan output jauh lebih besar dari biaya per satuan input. Stok B h = h max x* A h=0 Waktu, t Gambar 5. Pendekatan "bang-bang" optimisasi sumber daya perikanan Secara umum dapat dikatakan bahwa keseluruhan model dasar optimisasi pengelolaan sumber daya perikanan yang dikemukakan di atas, tidak secara

23 eksplisit membahas depresiasi sumber daya perikanan. Model-model dasar di atas melihat bahwa depresiasi terjadi manakala input yang digunakan atau output yang dihasilkan terlalu belebihan (model Gordon dan Copes). Pada model Clark dan Munro melihat bahwa depresiasi sumber daya akan terjadi manakala penggunaan input maupun tingkat panen tidak mengikuti trajektori optimal yang ditentukan oleh aspek intertemporal sumber daya ikan itu sendiri. 2.4. Teori Degradasi Sumber daya Definisi degradasi agak bersifat subjektif, memiliki arti yang berbeda tergantung pada suatu kelompok masyarakat. Misalnya, untuk sumber daya hutan, sebagian orang mengatakan bahwa hutan yang terdegradasi adalah hutan yang telah mengalami kerusakan sampai pada suatu point/titik dimana penebangan kayu maupun non kayu pada periode yang akan datang menjadi tertunda atau terhambat semuanya. Sedangkan sebagian lainnya mendefinisikan hutan yang terdegradasi adalah suatu keadaan dimana fungsi ekologis, ekonomis dan sosial hutan tidak terpenuhi. Sedangkan menurut Oldeman (1992) mengatakan bahwa degradasi adalah suatu proses dimana terjadi penurunan kapasitas baik saat ini maupun masa mendatang dalam memberikan hasil. Degradasi sumber daya dapat terjadi karena berbagai sebab, antara lain karena permintaan yang tinggi terhadap jasa ekosistem akibat pesatnya pertumbuhan ekonomi, perubahan demografis dan pilihan-pilihan individu (individual choice), serta mekanisme pasar yang tidak menjamin keberlangsungan jasa konservasi ekosistem. Wilayah pesisir memiliki potensi sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya, seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, berikut sumber daya hayati dan non-hayati yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi kekayaan sumber daya pesisir tersebut mulai mengalami kerusakan. Sejak awal tahun 1990-an phenomena degradasi biogeofisik sumber daya pesisir semakin berkembang dan meluas. Laju kerusakan sumber daya pesisir telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, terutama pada ekosistem mangrove terumbu karang dan estuari (muara sungai).

24 Ada beberapa sumber daya perikanan yang telah dieksploitir secara berlebihan (overfishing), termasuk udang, ikan demersal, pelagis kecil, dan ikan karang. Hal ini terjadi terutama di daerah-daerah dengan penduduk padat, misalnya di Selat Malaka, pantai utara Pulau Jawa, Selat Bali, dan Sulawesi Selatan. Menipisnya stok sumber daya tersebut, selain karena overfishing juga dipicu oleh aktivitas ekonomi yang baik secara langsung atau tidak merusak ekosistem dan lingkungan sehingga perkembangan sumber daya perikanan terganggu. Penggunaan teknologi penangkapan yang tidak ramah lingkungan. Penggunaan teknologi penangkapan semacam ini banyak terjadi di daerah-daerah. Teknologi penangkapan yang digunakan umumnya menyebabkan kerusakan dan kehancuran sumber daya perikanan. Teknologi tersebut misalnya penggunaan alat tangkap trawl, potassium cyanide, dan penggunaan bom ikan. Dari hasil penelitian para peneliti ekonomi sumber daya dari International Center for Living Aquatic Resource Management (ICLARM) yang melakukan kajian tentang hal tersebut. Salah satu kesimpulan dari kajiannya adalah nelayan terdorong atau terpaksa menangkap ikan dengan cara-cara merusak (destructive) karena kesalahan manajemen sumber daya perikanan (ICLARM 1992). Selanjutnya dikatakan bahwa jika manajemen sumber daya perikanan itu tidak dilakukan dengan baik, akhirnya akan terjadi kelebihan penangkapan ikan (overfishing). Tangkap lebih ini dibagi dalam beberapa tipe bergantung pada tingkat keseriusannya, yaitu: 1. Recruitment overfishing, yaitu kondisi ikan-ikan muda (juvenile) yang ditangkap secara berlebihan sehingga tidak ada pertumbuhan stok ikan dewasa yang berasal dari ikan dengan kelompok usia yang lebih muda. Dengan kata lain, pertumbuhan stok ikan dewasa hanya terjadi melalui penambahan ukuran berat ikan dewasa yang tersisa. 2. Biologically overfishing, yaitu kondisi penangkapan ikan yang telah mencapai tahap melebihi hasil tangkapan maksimum lestari (MSY). Hal ini berarti ikan yang ditangkap melebihi kemampuan maksimum stok ikan untuk tumbuh secara alami dan berkelanjutan. Biologically overfishing akan membuat stok

25 sumber daya ikan menurun secara drastis dan akhirnya membuat perikanan berhenti secara total. 3. Economically overfishing, dimana upaya penangkapan ikan secara berlebihan melalui investasi armada penangkapan secara besar-besaran, namun hasil tangkapan ikan yang diperoleh secara agregat hanya pada tingkat sub optimum (lebih rendah dari tingkat maksimum yang dapat dihasilkan). Pada kondisi seperti ini, berarti industri penangkapan ikan beroperasi melebihi potensi maksimumnya secara ekonomi, oleh karena itu kondisi seperti tidak lagi efisien. 4. Malthusian overfishing. Kondisinya sama seperti yang dikemukakan Malthus, yaitu pertumbuhan penduduk begitu cepat, sedangkan pertumbuhan produksi pangan untuk menghidupi penduduk sangat lambat. Dalam perikanan kondisi ini berarti ada sedikit ikan yang tersedia di laut dan diperebutkan oleh banyak nelayan. Malthusian overfishing terjadi ketika pemerintah sebagai manajer sumber daya perikanan tidak mampu dan tidak berhasil menata dan mengelola kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan rakyatnya. Akibatnya, setiap nelayan berkompetisi secara bebas, maka timbul daya kreasi setiap orang untuk mendapatkan ikan dalam jumlah banyak dan cepat. Daya kreasi itu diwujudkan dengan dihasilkannya atau direkayasakannya metode dan teknik menangkap ikan yang cepat dan efisien secara ekonomi, namun ternyata merusak dan merugikan lingkungan. Metode dan teknik yang digunakan antara lain: bom, dinamit, racun, aliran listrik, serta alat-alat penangkap ikan yang kontemporer bersifat merusak. Hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan, jika tidak dilakukan, orang lain yang akan melakukannya (tragedy of common) Malthusian overfishing adalah perlombaan untuk meraih keuntungan dengan cara yang salah dan membawa dampak kerugian bagi semua orang (Nikijuluw 2002). Permasalahan degradasi sumber daya perikanan dan kemiskinan di wilayah pesisir sangat kompleks dan melibatkan berbagai kepentingan, degradasi dapat terjadi akibat tangkap lebih dan kemiskinan. Namun degradasi juga dapat menjadi sebab terjadinya kemiskinan. Beberapa variabel kunci yang

26 menyebabkan terjadinya hubungan timbal balik antara kemiskinan dan degradasi sumber daya pesisir dan laut, yaitu: ketidakstabilan pendapatan, rendahnya akses masyarakat dan rendahnya kontrol mereka dalam pengelolaan sumber daya laut. Belajar dari kelemahan masyarakat tersebut maka upaya pemberdayaan harus mengacu pada upaya mengatasi kelemahan-kelemahan pokok masyarakat pesisir agar mereka berdaya dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya perikanan secara berkelanjutan (Hidayati 2000). Seperti diketahui bahwa sebagian besar sumber daya pesisir dan lautan di Indonesia telah mengalami degradasi, dimana faktor penyebabnya yang dominan adalah karena aktivitas manusia. Namun demikian pada dasarnya masih belum banyak dilakukan penilaian seberapa besar sebenarnya laju dari degradasi dan depresiasi dari sumber daya pesisir dan laut ini termasuk sumber daya perikanan, hal ini disebabkan karena memang belum ada teknik pengukuran besaran laju degradasi/depresiasi khusus untuk sumber daya perikanan. Model matematis untuk menghitung besaran laju degradasi sumber daya lahan yang dilakukan oleh Amman and Durraipah (2001) dalam penelitian mengenai "Land Tenure and Conflict Resolution: A Game Theoretic Approach in the Narok District in Kenya", adalah sebagai berikut: φ = 1 + 1 qi q e Avg i,t (2.8) q i,t Avg = q it jika V j dl jt i 0 (2.9) Avg qi,t = qitd (2.10) Variabel q i,t adalah komponen degradasi yang disebabkan oleh agent i dari seluas lahan tertentu. Jika output q i,t (seluas tertentu ha) lebih besar dari kemampuan daya dukung lingkungan (carrying capacity) pada waktu t, maka kehilangan efisiensi dalam bentuk faktor degradasi akan muncul. Peneliti menggunakan fungsi logistik untuk menjelaskan hal ini, seperti persamaan di atas. Variabel Avg qi,t secara mendasar akan menangkap efek degradasi bersama dari pemilik dan penyewa lahan (Anna 2003).

Untuk aplikasi bidang perikanan, laju degradasi Amman dan Durraipah dimodifikasi sebagai berikut (Anna 2003) : D% h h δ α = (2.11) dimana : D = persentase degradasi hδ hα h δ = Produksi sustainable = Produksi aktual Sementara koefisien degradasi dihitung berdasarkan persamaan di bawah ini : 1 Φ D = (2.12) hδ hα 1+ e Untuk laju depresiasi pada dasarnya sama dengan laju degradasi, hanya menggunakan parameter-parameter ekonomi, sebagai berikut : Φ D = 1 1+ e Π Π Dimana : φ, = Laju depresiasi Π δ = Rente sustainable Π = Rente aktual. α δ α 27 (2.13) 2.5. Surplus Konsumen dan Surplus Produsen. Surplus Konsumen (Consumer s Surplus) Surplus konsumen atau Dupuit s consumers surplus, yang pertama kali diperkenalkan oleh Dupuit tahun 1952, adalah pengukuran kesejahteraan ditingkat konsumen yang diukur berdasarkan selisih keinginan membayar dari seseorang dengan berapa yang sebenarnya ia bayar (Fauzi 2000a). Dengan kata lain, surplus konsumen diartikan sebagai perbedaan antara keinginan marjinal seorang konsumen untuk membayar (marginal willingness to pay) kepada barang dan atau jasa yang akan dibelinya dengan harga yang berlaku di pasar. Jadi surplus konsumen merupakan ukuran tingkat kepuasan (utility) konsumen yang dapat diperoleh dari barang dan jasa dalam bentuk uang. Secara grafik konsep surplus konsumen dapat dilihat pada Gambar 6.

28 P A P* CS E D 0 Q* Q CS = Consumers Surplus Gambar 6. Kurva Permintaan dan Willingness to Pay Pada Gambar 6. terlihat ada kurva permintaan D terhadap barang Q yang ditarik dari kiri atas ke kanan bawah dengan slope negatif. Kurva tersebut menunjukkan keinginan konsumen untuk mengkonsumsi sejumlah barang pada setiap harga yang berbeda sepanjang sumbu P. Seluruh daerah di bawah kurva permintaan tersebut menunjukkan keinginan membayar (willingness to pay) dari individu terhadap barang Q. Titik-titik sepanjang kurva permintaan D menunjukkan keinginan membayar untuk setiap tambahan barang Q, atau disebut marginal willingness to pay. Jika keseimbangan harga di pasar adalah pada P*, maka konsumen akan mengkonsumsi barang sebesar Q*. Walaupun konsumen ingin membayar lebih dari P*, namun yang sebenarnya ia bayar adalah sebesar P*. Berarti ada kelebihan keinginan membayar yang ditunjukkan oleh daerah yang di shading, yaitu sebesar P*EA. Dalam ekonomi klasik daerah ini disebut dengan surplus konsumen (consumers surplus). Nilai surplus konsumen dapat berubah, misalnya karena perubahan harga barang atau peningkatan pendapatan konsumen. Secara grafik dapat dilihat pada Gambar 7.

29 P Po P 1 a b c d e D 0 Q o Q 1 Q Gambar 7. Pengukuran surplus konsumen Pada harga P o konsumen akan membeli barang sebesar Qo. Keinginan membayar (WTP) konsumen adalah sebesar a + b c, namun yang benar-benar dibayar sebesar b + c, maka surplus konsumen dicerminkan luas segitiga a. Jika harga barang turun dari P o ke P1, maka konsumen akan membeli barang sebanyak Q1. Namun, konsumen tidak ingin membeli pada jumlah Q1, akan tapi dia (konsumen) tetap membeli sejumlah unit yang sama seperti sebelumnya Qo. Maka konsumen akan membayar dengan jumlah bayaran yang lebih kecil, karena harganya turun menjadi P1. Oleh karena itu konsumen menjadi lebih beruntung sebesar b, yang merupakan selisih antara sejumlah uang yang dibayarkan untuk memperoleh barang Q o pada harga P o dan jumlah uang yang dibayarkan pada harga P1. Jika konsumen menambah jumlah pembelian komoditas dari Qo menjadi Q1, maka dia sebenarnya hanya membayar tambahan sebanyak e, namun memperoleh nilai yang lebih tinggi yaitu sebesar d + e. Oleh karenanya dengan membeli lebih banyak (dari Qo ke Q1 ) konsumen beruntung sebesar d. Jadi perubahan dalam surplus konsumen terjadi merupakan akibat dari penurunan harga komoditas adalah b + d. Sedangkan total surplus konsumen dari pembelian sebanyak Q1 pada harga P1 ditunjukkan oleh nilai sebesar a + b + d.

30 Dalam ekonomi sumber daya, konsep surplus konsumen dapat digunakan untuk menghitung tingkat kehilangan akibat kerusakan ekosistem. Contoh praktisnya adalah sebagai berikut (Fauzi 2000b) : Dimisalkan bahwa dalam kondisi lingkungan yang belum rusak, konsumen membayar harga ikan sebesar Rp 500 per kg, dengan keinginan membayar maksimum (maximum willingness to pay) sebesar Rp 1000 per kg. Pada tingkat harga tersebut, konsumen mampu membeli sebanyak 10 kg per bulan atau 120 kg per tahun. Meskipun konsumen mampu membayar Rp 1000 per kg, tapi yang sebenarnya ia bayar hanya Rp 500 per kg. Dengan demikian terjadi surplus konsumen sebesar selisih antara keinginan membayar dengan yang sebenarnya dia bayar. Selisih tersebut dapat dilihat pada Gambar 8. berikut yang merupakan luas segitiga PoEoM atau 60 x 500 = Rp 30 000. P M =1000 P 1 =750 E 1 P 0 = 500 E 0 D 100 120 Q Gambar 8. Penurunan Surplus Konsumen Dimisalkan sekarang bahwa, hutan mangrove sebagai tempat memijah ikan rusak sehingga ikan/udang semakin susah ditangkap. Kondisi ini akan menyebabkan kenaikan harga ikan karena supply yang berkurang. Katakanlah akibat kerusakan ini menyebabkan harga ikan naik menjadi Rp 750 per kg. Pada tingkat harga ini, konsumen hanya mampu membeli sebanyak 100 kg per tahun. Dengan demikian surplus konsumen berkurang menjadi daerah P 1 E 1 M atau 50 x 250 = Rp 10 250. Sehingga kita bisa menghitung akibat perubahan kondisi

sumber daya ini mengakibatkan perubahan surplus konsumen sebesar Rp 30 000 Rp 10 250 = Rp 10.750 unit moneter. 31 Surplus Produsen (Producer s Surplus) Berbeda dengan pengukuran surplus konsumen, surplus produsen diukur dari sisi manfaat dan kehilangan dari sisi produsen atau pelaku ekonomi (Fauzi 2000b). Surplus produsen adalah ukuran keuntungan yang diperoleh produsen karena mereka beroperasi pada suatu pasar komoditas (Sugiarto et al. 2002). Surplus produsen pada dasarnya adalah surplus yang diperoleh produsen yang merupakan selisih antara harga yang diterima oleh produsen dengan biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi output (Anna 2003). Identik dengan surplus konsumen, besaran surplus produsen juga akan tergantung dari perubahan harga dan biaya. Secara grafik surplus produsen dapat dijelaskan pada Gambar 9. Dari Gambar 9, dapat dijelaskan bahwa surplus produsen ditunjukkan oleh area P*EB, di atas garis supply dan di bawah garis harga. Oleh karena kurva supply menunjukkan biaya marginal dari tiap unit barang yang diproduksi, maka area OBEQ* adalah total biaya variabel. Area OP*EQ* adalah penerimaan kotor (Sadoulet dan Janvry 1995). Area P*EA adalah surplus konsumen pada kondisi awal, sementara P*EB merupakan daerah surplus produsen pada kondisi awal. Jika tidak ada kebijakan menyangkut harga atau output, keseimbangan, terjadi pada P* dan Q*. Jika pemerintah kemudian melakukan kebijakan yang menyebabkan output bergeser ke Q1 (misalnya karena pajak), maka surplus konsumen dan produsen akan berubah. Perubahan kedua surplus tersebut menyebabkan redistribusi surplus dari produsen dan konsumen ke pemerintah sebagai pemilik sumber daya mewakili publik. Dengan adanya redistribusi surplus tersebut, terbentuk rente sumber daya sebesar CFGP 1 yang merupakan transfer dari kedua pihak tersebut.

32 P A P 1 G S P* C B CS PS F E D O Q 1 Q* Q 1 Gambar 9. Producer s Surplus (PS) dan Retribusinya Surplus Dampak terhadap consumers welfare dicerminkan oleh perubahan dari consumers surplus (ΔCS) dan dampak dari producer welfare diukur dengan perubahan producer surplus (ΔPS) (Sadoulet dan Janvry 1995). Analisa ini dapat dipisahkan antar kelompok produsen dan konsumen jika keduanya mempunyai share awal yang berbeda terhadap produksi dan konsumsi total dan atau mempunyai elastisitas harga yang berbeda terhadap supply dan demand. Sebagai contoh, konsumen miskin mempunyai elastisitas yang lebih tinggi terhadap permintaan makanan karena untuk membeli makanan tersebut mereka mengeluarkan bagian pendapatan yang tinggi dibandingkan dengan konsumen kaya. Petani kecil mempunyai elastisitas yang rendah dalam merespon supply food crops dibanding petani besar. 2.6. Konsep Efisiensi Perikanan Tangkap Apabila suatu ketika di suatu perairan terjadi gejala penurunan produksi perikanan tangkap, dengan asumsi input yang digunakan sama atau lebih tinggi dari periode sebelumnya, maka biasanya kita menduga bahwa di sana telah terjadi overfishing, namun tidak jelas overfishing apa yang terjadi, apakah Malthusian overfishing, biological overfishing, recruitment overfishing, atau economical overfishing. Disinilah pentingnya dilakukan perhitungan kapasitas perikanan, yaitu untuk mengetahui apakah perikanan tersebut sudah efisien dalam kaitannya

33 dengan economic overfishing. Dengan mengetahui hal tersebut, maka dapat dibuat suatu diagnosa terhadap permasalahan di atas, sehingga solusi kebijakan yang akan diterapkan akan lebih tepat. Berbagai metode telah diaplikasikan oleh para peneliti untuk mengukur efisiensi perikanan tangkap, diantaranya dengan metode Atkinson, metode utilitarian, metode Dalton, dan lain-lain (Simkin 1998). Metode-metode tersebut pada dasarnya lebih kepada penilaian mengenai seberapa efisien suatu kebijakan terhadap perubahan kesejahteraan masyarakat dalam konteks ketidakmerataan (inequality). Pendekatan ekonometrik biasa pada dasarnya tidak mampu menjadi solusi untuk memecahkan masalah efisiensi, khususnya jika yang menjadi variabel pertimbangan memiliki multiple inputs dan output (Seiford and Thrall 1990). Penilaian terhadap kebijakan yang menyangkut efisiensi, pada dasarnya dapat dilakukan dengan Data Envelopment Analysis (DEA), juga biasa disebut Frontier Analysis (Charnes, Cooper, and Rhodes 1978). Teknik ini dikenal juga dengan CCR (singkatan nama depan ketiga penemunya), merupakan pengukuran/penilaian terhadap performance untuk mengevaluasi efisiensi relatif dari unit pengambil keputusan (Decision Making Unit, DMU) dalam suatu analisis. Sejak teknik ini diperkenalkan, sudah banyak analisis teoritis dan empiris yang dikembangkan dan diaplikasikan pada perbankan, rumah sakit, perpajakan, sekolah, juga sumber daya alam (Beasley 2000). Pada prinsipnya DEA merupakan pengukuran efisiensi yang bersifat bebas nilai (value free) karena didasarkan pada data yang tersedia tanpa harus mempertimbangkan penilaian (judgment) dari pengambil keputusan. Teknik ini didasarkan pada pemograman matematis (mathematical programming) untuk menentukan solusi optimal yang berkaitan dengan sejumlah kendala. DEA bertujuan mengukur keragaan relatif (relative performance) dari unit analisis pada kondisi keberadaan multiple input dan output (Dyson et al. 1990, diacu dalam Fauzi dan Anna 2005). Kelebihan DEA adalah (1) dapat mengestimasi kapasitas di bawah kendala penerapan kebijakan tertentu, seperti pajak, Total Allowable Catch (TAC), distribusi regional atau ukuran kapal, larangan penangkapan pada waktu tertentu, dan kendala sosial ekonomi lainnya, (2) mampu mengakomodasi multiple outputs

dan multiple inputs, serta tingkat input atau output yang riil maupun non-diskret, (3) dapat menentukan tingkat potensial maksimum dari effort atau variabel input secara umum dan laju utilitas optimalnya. Dalam DEA, efisiensi diartikan sebagai target untuk mencapai efisiensi yang maksimum, dengan kendala relatif efisiensi seluruh unit tidak boleh melebihi 100%. Secara matematis, efisiensi dalam DEA merupakan solusi dari persamaan berikut : Dengan kendala : w i y ijm i MaxE m = (2.14) v y i k w v k i y y ijm kjm w i, v k ε k k kjm 1 untuk setiap unit ke-j Pemecahan masalah pemograman matematis di atas akan menghasilkan nilai E m yang maksimum, sekaligus nilai bobot (w dan v ) yang mengarah ke efisiensi. Jadi, jika nilai E m = 1 artinya unit ke-m tersebut dikatakan efisien relatif terhadap unit yang lain. Sebaliknya, jika nilai E m < 1, maka unit lain lebih efisien relatif terhadap unit m, meskipun pembobotan dipilih untuk memaksimasi unit m. Salah satu kendala dari pemecahan persamaan (2.14) adalah persamaan tersebut berbentuk fractional sehingga sulit dipecahkan melalui pemograman linear. Namun dengan melakukan linearisasi, persamaan tersebut dapat diubah menjadi persamaan linear (linear programming), sebagai berikut : Dengan kendala: MaxE m = w i y ijm (2.15) i k v k x kjm = ϖ i y ijm v k x kjm i w 1 w i, v k ε k 34

35 Dalam model DEA yang dikembangkan oleh CCR, efisiensi diukur dengan asumsi bahwa fungsi produksi bersifat constant returns to scale (CRS). Artinya, jika input dinaikkan dua kali lipat, maka output juga meningkat secara proporsional (dua kali lipat juga). Model ini sangat bersifat linear dan sangat mudah diformulasikan serta dikerjakan dalam program linear. Namun, model yang didasarkan pada constant return to scale ini tidak selalu tepat bila diaplikasi pada aktivitas produksi yang mengalami non-constant return to scale. Beberapa fungsi produksi, seperti produksi perikanan, bersifat decreasing returns to scale. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, model asal dari CCR ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Banker, Charnes, and Cooper (1984) dan dikenal dengan BCC DEA, yang memungkinkan dilakukan analisis efisiensi bagi aktivitas ekonomi yang bersifat variable return to scale (Fauzi dan Anna 2005). Aplikasi model DEA meliputi proses yang terdiri dari 3 tahapan, yaitu : (1) mendefinisikan DMU yang akan dianalisis, yaitu seluruh unit yang menjadi bahan pertimbangan harus mewakili tugas sama dengan tujuan yang sama, dan berada pada set kondisi market yang sama serta harus menggunakan input yang sama untuk memproduksi jenis output yang sama, (2) menentukan variabel input dan output yang akan digunakan dalam menganalisis efisiensi relatif dari DMU yang terpilih, (3) mengaplikasikan salah satu model DEA dan menganalisis hasilnya (Golany and Roll 1989, diacu dalam Anna 2003).

36 3. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pendekatan Penelitian Untuk mencapai tujuan penelitian seperti tercantum dalam Bab 1, maka dibuatlah suatu alur fikir (road map) penelitian seperti terlihat pada Gambar 1. Alur ini mencoba melihat permasalahan pesisir dan lautan di daerah studi secara menyeluruh (comprehensive) dan interaksi antar sumber daya yang ada di kawasan pesisir dan lautan. Sumber daya yang dimaksud adalah sumber daya ikan (perikanan tangkap), perikanan budidaya (tambak), dan ekosistem hutan mangrove. Langkah awal yang dilakukan adalah melakukan assessment terhadap sumber daya-sumber daya tersebut. Untuk perikanan tangkap, penilaian dilakukan dengan model bio-ekonomi. Dengan analisis model bio-ekonomi akan diketahui produksi aktual dan lestari (sustainable), stok biomas, effort dan tangkapan (catch) optimal serta rente ekonomi dari sumber daya ikan. Besaran nilai-nilai di atas dipengaruhi oleh tiga parameter biofisik, yaitu pertumbuhan intrinsic (r), carrying capacity (K), dan catch-ability coefficient (q). Ketiga parameter ini akan sangat menentukan besaran stok dan jumlah ikan yang ditangkap serta manfaat ekonomi yang diperoleh. Selain itu, juga dilakukan analisis surplus produsen, dan analisis efisiensi relatif dan kapasitas perikanan tangkap. Semua analisis di atas dikaitkan dengan proses rehabilitasi dan rekonstruksi perikanan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Secara fisik, ada keterkaitan yang jelas antara ekosistem mangrove dan produksi ikan dari perikanan tangkap. Hal ini disebabkan karena ekosistem mangrove merupakan tempat pemijahan (spawning ground), tempat mencari makan (feeding ground), dan tempat pembesaran beberapa spesies biota laut termasuk ikan, udang, dan kepiting. Untuk melihat interaksi antara ekosistem mangrove dan produksi perikanan tangkap dilakukan dengan menggunakan model interaksi hutan mangrove dengan stok dan tangkapan ikan, yaitu dengan memasukkan variabel keberadaan (ha) dalam model carrying capacity. Dengan model tersebut dapat dihitung tingkat kontribusi (%) hutan mangrove terhadap

37 produksi ikan di suatu wilayah pesisir. Disamping itu, juga dapat dihitung biomas, tangkapan lestari, dan effort dengan masukkan variabel hutan bakau dalam model. Selanjutnya, dilakukan penilaian (assessment) terhadap perikanan budidaya (tambak) yang meliputi, luasan, produksi dan produktivitas, rente ekonomi, dan return to labor pada kondisi tambak sebelum terjadi tsunami. Pada kondisi setelah tsunami, dihitung jumlah (ha) tambak dengan berbagai tingkat kerusakan (dikelompokkan dalam rusak berat, sedang, dan ringan serta tambak yang tidak mengalami kerusakan). Kemudian dihitung jumlah biaya yang dibutuhkan untuk rehabilitasi (memperbaiki) tambak-tambak tersebut dengan berbagai tingkat kerusakan. Pada akhir analisis, dihitung biaya dan manfaat dari usaha tambak di Aceh dengan berbagai opsi teknologi (tradisional, tradisional plus, semi intensif, dan intensif). Disamping itu, juga dianalisis permasalahan, konsep dan strategi pengembangan tambak ke depan. 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pantai Timur dan Pantai Barat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Pantai Timur Aceh dimulai dari Kabupaten Pidie, Bireuen, Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Aceh Timur, Kota Langsa, dan Tamiang. Sedangkan Pantai Barat meliputi Kabupaten Aceh Besar, Kota Sabang, Kota Banda Aceh, Aceh Jaya, Nagan Raya, Barat Daya, Aceh Barat, Singkil, Aceh Selatan, dan Simeulu. Penelitian ini dilakukan mulai pada bulan Oktober 2004 sampai Desember 2005. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 10.

38 Pantai Timur Aceh Pantai Barat Aceh Gambar 10. Peta Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) 3.3. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan metode survey. Ada 2 jenis data yang diperlukan, yaitu data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara, pengisian kuisioner, dan partisipasi langsung di lapangan. Data primer yang diperlukan meliputi struktur biaya dari upaya penangkapan ikan dan harga komoditas perikanan. Data ini merupakan data cross section yang diperoleh melalui survei dengan teknik cluster random sampling. Cluster sampling adalah teknik memilih sebuah sampel dari kelompok-kelompok unit yang kecil atau cluster. Unsur-unsur dalam cluster sifatnya tidak homogen (heterogen) (Nazir 1999). Untuk Pantai Timur terpilih Kabupaten Pidie dan Aceh Utara, sedangkan

39 untuk Pantai Barat diwakili oleh Kabupaten Aceh Besar dan Kota Banda Aceh. Data struktur biaya dibagi dalam beberapa kelas kapal/boat/armada (fleet) dan kemudian dilakukan pembobotan untuk memperoleh rataan tertimbang (weighted average). Secara umum, struktur biaya perikanan dihitung dengan menggunakan formula berikut (Anna 2003) : n C = w j c j (3.1) j= 1 Dimana bobot (weighted) didasarkan pada rasio landing antar armada j dengan total lending atau w = h / h. j j j j Jumlah sampel responden yang diambil didasarkan pada formula Fauzi (2001) sebagai berikut: 2 NZ (0.25) s = (3.2) 2 2 { d ( N 1) } + { Z (0.25)} dimana: s = Jumlah sampel yang diambil N = Jumlah populasi Z = Nilai standar deviasi (dari tabel statistik) d = tingkat ketelitian Penelitian ini banyak menggunakan data sekunder, berupa data urut waktu (time series) meliputi data hasil tangkapan (catch) dan input yang digunakan (effort), jumlah trip dari masing-masing alat tangkap (fishing gear) pertahun, data luasan hutan mangrove, data Indeks Harga Konsumen (IHK) ikan segar (fresh fish) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) serta data penunjang lainnya. Data sekunder diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), beberapa Kantor DKP di tiap kabupaten/kota di Pantai Timur dan Barat, Biro Pusat Statistik (BPS) Provinsi NAD, BPS Jakarta, Kantor Panglima Laot Aceh, dan lain-lain. Secara skematis jenis data dan metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 11.

40 Tujuan Umum Tujuan Khusus Jenis Data Metode Analisis Keluaran Mengembangkan model bio-ekonomi perikanan akibat adanya eksternal shock serta kebijakan dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi sektor perikanan di Provinsi NAD Melakukan analisis perbandingan model perikanan equilibrium (tanpa shock) dan disequilibrium (dengan shock) terhadap x, h, E, dan rente ekonomi serta trajektori kontraksi dan ekspansi input akibat shock tersebut. Mengetahui dampak kesejahteraan (welfare effect) model Gordon-Schaefer tanpa shock dan dengan shock Menganalisis tingkat efisiensi perikanan tangkap dan implikasi kebijakannya Menganalisis kontribusi ekosistem mangrove terhadap perikanan dan kondisi perubahan ekosistem akibat adanya shock Melakukan kajian ekonomi budidaya tambak pasca tsunami, upaya rehabilitasi dan pengembangannya Time series Catch, Effort, Struktur biaya, dan harga Endogenous Endogenous Catch, Effort, Coverage Data Primer dan Sekunder Model Bioeconomic, Model Copes, dan Model Fozin-1 Surplus Produsen DEA Analysis Model Fozal dan Fozin-2 deskripsi dan Economic dan Financial Analysis Terciptanya suatu analisis yang komprehensif menyangkut pengelolaan sumber daya perikanan yang dapat dijadikan masukan dan acuan kebijakan dalam rehabilitasi sektor perikanan di Provinsi NAD Gambar 11. Alur Penelitian 3.4. Analisis Data 3.4.1. Standarisasi Effort Dalam melakukan pendugaan parameter biologi, terlebih dahulu dilakukan standarisasi unit upaya, mengingat beragamnya alat tangkap yang beroperasi di wilayah penelitian. Standarisasi alat tangkap diperlukan untuk menyeragamkan satuan upaya penangkapan dari berbagai alat tangkap dengan menggunakan salah satu alat tangkap yang paling dominan sebagai alat tangkap standar. Penentuan standarisasi unit upaya (effort) dalam penelitian ini digunakan jumlah trip per tahun dari dua alat tangkap, yaitu pukat cincin (purse seine) dan pancing tonda. Alasan penggunaan trip sebagai upaya daripada jumlah alat

41 tangkap adalah untuk menghilangkan bias dari alat tangkap yang tidak beropresi. Teknik standarisasi effort antar alat tangkap digunakan formula yang dikembangkan oleh King (1995), dengan formula sebagai berikut : E jt = ϑ jt D jt (3.3) Dimana : dimana: E jt D jt u jt ϑ jt = (3.4) ust = Effort dari alat tangkap j pada waktu t yang distandarisasi = Jumlah trip dari alat tangkap j pada waktu t ϑ jt = Nilai fishing power dari alat tangkap j pada periode t u jt u st = Catch per unit effort (CPUE) dari alat tangkap j pada waktu t = Catch per unit effort (CPUE) dari alat tangkap yang dijadikan basis standarisasi Untuk memperoleh nilai upaya, maka seluruh unit effort distandarisasi berdasarkan alat tangkap pukat cincin (purse seine). 3.4.2. Uji Stationary Untuk data time series, sebelum dilakukan estimasi regresi perlu terlebih dahulu dilakukan uji stationer (stationary test). Uji ini mutlak diperlukan karena hanya data yang bersifat stationer yang bisa menggunakan Ordinary Least Square (OLS). Sedangkan data yang tidak stasioner (non stationary), penggunaan OLS akan bersifat spurious regression akibat terjadi autokorelasi, artinya koefisien hasil estimasi regresi tidak valid dan tidak dapat digunakan. Untuk menganalisis sifat stationary dari data time series digunakan Dickey Fuller unit root test (Dickey et al. 1994) sebagai berikut : y = a 1 y t-1 + ε t (3.5) Persamaan di atas bermakna bahwa viriabel y t tergantung pada nilai y pada periode sebelumnya dan error term. Variabel y t tersebut bersifat stationery jika

42 a 1 < 1 dan non stationary jika a 1 = 1. Jika kedua sisi persamaan di atas dikurangi dengan y t-1, maka dihasilkan persamaan berikut : y t y t-1 =(a 1 1) y t-1 + ε t (3.6) atau disederhanakan menjadi : Δy t = γ y t-1 + ε t (3.7) Hipotesis null dari Dickey Fuller test adalah γ = 0, artinya jika nilai t-statistik dari γ lebih kecil dari nilai critical value, maka variabel y t bersifat non-stationary dan parameter yang dihasilkan tidak reliable. Untuk mengetahui nilai-nilai tersebut dilakukan dengan Software SHAZAM 8.0. Dengan perangkat lunak ini juga, melalui beberapa kali iterasi pengaruh auto correlation dapat dihilangkan, sehingga parameter yang dihasilkan menjadi reliable. 3.4.3. Model Bio-Ekonomi Sumber daya Perikanan Dalam penilaian sumber daya perikanan, hal terpenting yang perlu diketahui adalah nilai estimasi tangkapan lestari dari stok ikan. Nilai-nilai ini idealnya dihitung pada setiap spesies (stock-by-stock basis), namun karena keterbatasan waktu dan dana, maka dalam penelitian ini dibatasi pada 2 spesies saja, yaitu tongkol dan cakalang. Dipilihnya kedua spesies ini karena keduanya merupakan spesies pelagis yang paling dominan yang ditangkap di Pantai Timur dan Barat Aceh. Untuk mengetahui nilai estimasi tangkapan lestari, terlebih dahulu perlu diketahui produktivitas dari stok ikan. Untuk menganalisis stok ikan digunakan model surplus produksi (surplus production models). Model ini mengasumsikan stok ikan sebagai penjumlahan biomas dengan persamaan : x t = F( x t ) h t (3.8) dimana F(x t ) adalah laju pertumbuhan alami atau laju penambahan asset biomas, h t adalah laju penangkapan atau laju pengambilan. Ada dua bentuk model fungsional untuk menggambarkan stok biomas, yaitu bentuk Logistik (Schaefer, 1957) dan bentuk Gompertz (Fox, 1970), dengan persamaan sebagai berikut: Bentuk logistik:

43 x t t = rx x t t ( 1 ) ht (3.9) K Bentuk Gompertz: x t t = rx K t ln( ) ht (3.10) xt dimana r adalah laju pertumbuhan intrinsik, K adalah daya dukung lingkungan. Bentuk fungsional logistik adalah simetris, sementara Gompertz tidak. Selanjutnya diasumsikan bahwa laju penangkapan linear terhadap biomas dan effort dengan rumus sebagai berikut: h = qe x (3.11) t t t dimana q adalah koefisien kemampuan penangkapan dan E t adalah upaya penangkapan. Dengan mengasumsikan kondisi keseimbangan (equilibrium) maka kurva tangkapan-upaya lestari (yield-effort curve) dari fungsi di atas dapat ditulis sebagai berikut : Logistik: h t q K r 2 2 = qket E (3.12) Gompertz : qe r ht = qke t exp (3.13) Estimasi parameter r, K dan q untuk persamaan yield-effort dari kedua model di atas melibatkan teknik non linier. Namun demikian dengan menuliskan U = h / E, persamaan tersebut dapat ditransformasikan menjadi persamaan t t t linier sehingga metode regresi biasa dapat digunakan untuk mengestimasi parameter biologi dari fungsi di atas. Teknik estimasi parameter dikembangkan oleh Clarke, Yoshimoto dan Pooley (1992) atau sering dikenal dengan metode CYP, adalah sebagai berikut : 2r 2 r q ln( U t+ 1 ) = ln( qk) + ln( U t ) ( Et + Et+ 1) (3.14) ( 2 + r) 2 + r (2 + r)

Nilai parameter r, q, dan K pada persamaan (3.14) dapat diperoleh melalui persamaan berikut (Tinungki 2005): 44 r 2( 1 β) = ( 1 + β) q = γ( 2 + r ) (3.15) K e = α( 2+ r ) /( 2r ) q Dari data time series produksi selama 21 tahun (1984 2004) dijadikan basis untuk perhitungan kurva yield-effort dengan menggunakan perangkat lunak SHAZAM 8.0 Perhitungan nilai optimal produksi dan upaya serta rente ekonomi dilakukan secara numerik dengan menggunakan perangkat lunak MAPLE 9.5. Dalam penelitian ini ditentukan dua jenis alat tangkap yang paling dominan, yaitu pukat cincin (purse seine) dan pancing tonda. Alat tangkap pancing tonda distandarisasi ke alat tangkap pukat cincin untuk mendapatkan satu unit upaya yang terstandarisasi (standardized effort). Kurva produksi lestari (yield-effort curve) dengan adanya tsunami dihitung dengan menggunakan model Fozin-1 (singkatan dari nama Dr. Foz dan Indra). Model ini pada dasarnya merupakan pengembangan dari fungsi produksi sumber daya ikan, yaitu dengan memasukkan nilai lambda (λ) yang merupakan dampak tsunami terhadap penurunan produksi ikan kedalam persamaan (3.11), sebagai berikut : h = qxe (1 α) h = qxe 1 h = qxe (1-α) 1 λ = (1-α). x x = rx 1 λqxe K. x x = 0 r 1 = λqe K

h ds x λqe 1 = K r x λqe = 1 K r λq x = K 1 E r λq = λqek 1 E (3.16) r Dimana h sd adalah hasil tangkapan (yield) dengan tsunami. Dengan menggunakan Software Maple 9.5 yield-effort curves dengan tsunami dapat dihitung, sehingga diperoleh E, h, x, dan rente pada kondisi dengan tsunami. 45 3.4.4. Estimasi Parameter Ekonomi a) Struktur Biaya dan Harga Seperti telah dijelaskan di atas bahwa data biaya penangkapan dan harga ikan merupakan data primer (cross section) dari hasil survei lapangan. Data ini diperoleh dari interview terstuktur terhadap 44 armada dengan alat tangkap pukat cincin dan 42 armada dengan alat tangkap pancing tonda. Jumlah responden ini dianggap mewakili populasi nelayan dengan menggunakan perhitungan rumus (3.2), dengan tingkat kepercayaan 85%. Biaya per unit standard effort dari kelompok ikan pelagis pada tahun 2004 disesuaikan dengan indeks harga konsumen ikan segar (fresh fish) tahunan Badan Pusat Statistik, sehingga menghasilkan nilai biaya setiap tahun, mulai dari tahun 1984-2004. Secara matematis, biaya per unit standardized effort dapat ditulis sebagai berikut: C et 1 i it t = n ( ) + i = 1 Ei t= 1 hi h j 100 n TC n h 1 t 1 CPI (3.17) dimana: C et = biaya per unit standardized effort pada periode t TC i = biaya total untuk alat tangkap i untuk i=1,2,3 E i h it = total standardized effort untuk alat tangkap i = produksi alat tangkap i pada periode t

46 h i + h j = total produksi pelagis untuk seluruh alat N = jumlah alat tangkap CPI t = indeks harga konsumen pada periode t Hal yang sama dilakukan terhadap harga ikan, yaitu diambil harga rata-rata dari kedua jenis ikan spesies target (tongkol dan cakalang) dikalikan dengan IHK ikan segar (fresh fish), sehingga diperoleh data time series harga ikan mulai dari tahun 1984 2004. Estimasi harga ditentukan berdasarkan formula berikut: P t 1 t 2004 1 CPI = Pi Pj 2002 100 (3.18) dimana: P t = harga ikan pada periode t P i,p j = harga ikan pelagis jenis i dan j Pendekatan perhitungan biaya dan harga dengan mengkonversi dari data cross section ke data time series seperti tersebut di atas adalah mengikuti teknik yang telah dilakukan oleh Tai et al. (2000) dan Anna (2003). b) Estimasi Discount rate Prilaku umum pada eksploitasi sumber daya perikanan bahwa pada discount rate tinggi, jumlah effort dalam mengeksploitasi sumber daya ikan akan tinggi pula. Pada perikanan dengan rezim open access nilai discount rate-nya tak terhingga, karena jumlah effort untuk menangkap ikan tak terhingga pula (Clark 1990). Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan dua nilai discount rate, yaitu market discount rate (15%) dan discount rate dengan pendekatan Ramsey. Discount rate dengan pendekatan Ramsey ini digunakan untuk menggambarkan pure time preference, pengaruh pertumbuhan ekonomi, dan elastisitas pendapatan terhadap penggunaan sumber daya alam, khususnya sumber daya perikanan. Penentuan discount rate pertama yang didasarkan market rate, mengacu pada aspek teori first-best optimum dimana diasumsikan bahwa faktor yang mempengaruhi maksimasi kesejahteraan adalah fungsi produksi. Dalam teori ini dinyatakan sebagai berikut:

i = m = δ (3.19) yang berarti bahwa discount rate sosial (i) sama dengan market discount rate (m) dan sama dengan biaya oportunitas dari kapital (δ). Keseimbangan ketiga discount rate tersebut dapat dilihat pada Gambar 12. 47 M i C1 P E M P Co Gambar 12. Market discount rate Gambar 12 memperlihatkan bahwa kurva PP adalah production possibility frontier yang menggambarkan jumlah maksimum konsumsi periode yang akan datang yang dimungkinkan secara teknologi dengan mengurangi konsumsi sekarang (Brent 1997). Kemiringan dari kurva ini adalah 1+δ, dimana δ produk marjinal dari kapital atau sering dikenal dengan social opportunity cost rate (SOCR). Jika diasumsikan bahwa preferensi masyarakat dapat digambarkan dengan kurva indiferen i dengan kemiringan slope 1+i, dimana i adalah social time preference rate (STPR), maka pada keseimbangan, yakni untuk menghasilkan keseimbangan sosial yang optimum, kemiringan (slope) dari kurva indiferen masyarakat harus sama dengan kurva production possibility frontier atau 1+i=1+δ atau i=δ. Hal tersebut hanya dicapai pada titik E. Jika pasar finansial eksis, maka market budget line MM dengan kemiringan sama dengan 1+m akan melewati titik keseimbangan E, sehingga didapatkan persamaan berikut:

48 1+ i = 1+ δ = 1+ m (3.20) Secara umum, market discount rate bergerak antara 10 hingga 18% per tahun. Dengan demikian, penentuan nilai tengah sebesar 15% merupakan nilai rataan yang umum digunakan untuk sumber daya alam. Teknik penentuan yang sama telah digunakan oleh Reksosudarmo (1995), Fauzi (1998) dan Buchary (1999). Untuk menentukan tingkat discount rate dengan pendekatan Ramsey, penelitian ini mengadopsi teknik yang dikembangkan oleh Kula (1984), yang pada dasarnya menggunakan formula yang sama dengan formula Ramsey. Dimana Kula (1984) mendefinisikan real discount rate (r) sebagai: r = ρ ηg (3.21) dimana ρ menggambarkan pure time preference, η adalah elastisitas pendapatan terhadap konsumsi sumber daya alam dan g adalah pertumbuhan ekonomi (Newell and Pizer 2001). Kula (1984) mengestimasi laju pertumbuhan dengan meregresikan: ln ct = α o + α1 ln t (3.22) Dimana t adalah periode waktu dan c t konsumsi perkapita pada periode t. Hasil regresi di atas akan menghasilkan formula elastisitas dimana: ln c α t 1 = (3.23) ln t Yang kemudian dengan penyederhanaan matematis dapat ditulis sebagai: Δ c Δt (3.24) / = g c t 3.4.5. Laju Degradasi dan Depresiasi Sumber daya Perikanan Fungsi dari degradasi sumber daya perikanan dihitung berdasarkan formula Anna (2003) yang merupakan modifikasi dari Amman dan Duraiappah (2001), sebagai berikut:

49 Dimana 1 φ = (3.25) t 1 + e h h at st φ t adalah tingkat degradasi pada periode t, h at adalah produksi aktual pada periode t dan h st adalah produksi lestari pada periode t. Depresiasi dari sumber daya ikan dihitung dengan menggunakan metode present value. Artinya seluruh rente yang akan datang (future value of rent) yang diharapkan dari sumber daya perikanan dihitung dalam nilai sekarang (present value). Dalam penelitian ini, dilakukan dua skenario perhitungan depresiasi berdasarkan perbedaan nilai dari discount rate, yaitu social discount rate dan nominal discount rate dari Ramsey. Depresiasi sumber daya perikanan dihitung berdasarkan persamaan : π π t = [ ph ce ] [ ph ce ] t 1 st t st 1 t 1 ( c)( [ h h ) + ( E E )] = st st 1 t t 1 p (3.26) Dimana : π adalah rente sumber daya perikanan, p adalah harga ikan, h adalah tangkapan lestari, c adalah biaya per unit usaha, E adalah unit usaha (effort), dan t adalah periode waktu. 3.4.6. Optimalisasi Pengelolaan Sumber daya Perikanan Pengelolaaan sumber daya perikanan secara optimal merupakan harapan setiap orang, termasuk para nelayan dan investor dibidang perikanan. Pada tingkat eksploitasi optimal akan tercipta efisiensi usaha, keuntungan maksimum, dan pemborosan input dapat dihindari. Masalahnya, pada kondisi saat ini dimana rezim pengelolaan bersifat open access plus banyaknya daerah-daerah penangkapan ikan yang sudah terjadi over fishing, baik ecological atau economical over fishing, maka jarang sekali tercipta kondisi optimal pengelolaan sumber daya perikanan. Untuk mengetahui eksploitasi optimal dari sumber daya perikanan sepanjang waktu, dilakukan dengan menggunakan pendekatan teori kapital

50 ekonomi sumber daya yang dikembangkan oleh Clark and Munro (1975), dimana secara matematis manfaat dari eksploitasi sumber daya perikanan sepanjang waktu ditulis sebagai berikut: max V = π ( h, x, E ) e t t= 0 t t t t δt dt (3.27) dengan kendala x t = x = F( x ) h t 0 x x max 0 h h max Dengan memberlakukan Pontryagins Maximum Principle, masalah di atas dapat dipecahkan dengan teknik Hamiltonian, yaitu: H = e δ { F( x) h} t δt π ( x, h) + λe (3.28) Persamaan di atas menggambarkan present value Hamiltonian, dengan mentransformasikan persamaan di atas menjadi current value Hamiltonian, maka persamaan (3.30) akan berubah menjadi: H = e δt H = π ( x, h) + μ( F( x) h) (3.29) dimana δt μ = e λ adalah current value shadow price, dan H adalah current value Hamiltonian. Pontryagins Maximum Principle dari persamaan di atas menjadi: H π ( x, h) = μ = 0 (3.30) h h μ. H δμ = x = ( x h) π, F μ (3.31) x x

51. x = F( x) h (3.32). Dalam kondisi steady state, maka x = 0 dan μ = 0, sehingga dari persamaan (3.31) dan (3.32) menghasilkan: π ( x, h) μ = (3.33) h. dan F ( x) = h (3.34) Dengan menggunakan persamaan (3.30) menghasilkan : π ( x, h) F π ( x, h) 0 = h δ x x (3.35) Persamaan (3.35) dapat disederhanakan menjadi: π ( x, h) π ( x, h) π ( x, h F = δ ) x h h x (3.36) Dengan mengalikan kedua sisi persamaan (3.36) dan menyederhanakannya, maka akan diperoleh Modified Golden Rule yang digunakan untuk menghitung pemanfaatan sumber daya perikanan yang optimal, yaitu sebagai berikut : F x π ( x, h) / x + π ( x, h) / h = δ (3.37) Atau secara eksplisit dapat ditulis sebagai berikut : Dimana : F x cf( x ) + x [ qxp( F( x )) c ] = δ F (x) = pertumbuhan alami dari stok ikan, (3.38) π( h, x ) x π( h, x ) h = rente marginal akibat perubahan biomas, = rente marginal akibat perubahan produksi.

F / x = F ' 52 ( x) = produktivitas marginal dari biomas yang merupakan turunan pertama dari F(x). c = biaya per unit effort), p = harga ikan, δ = discount rate, dan q = koefisien penangkapan (catch ability coefficient). Hasil dari persamaan di atas menghasilkan x * (optimal) yang dapat digunakan untuk menghitung tingkat tangkapan dan upaya yang optimal. Dengan demikian maka dapat diketahui rente sumber daya perikanan yang merupakan hasil dari perkalian antara harga produk ikan dengan tangkapan optimal dikurangi biaya dari tingkat upaya optimal, atau: * * * * π = p( h ) h ce (3.39) Perhitungan nilai optimal produksi dan upaya serta rente ekonomi dilakukan secara numerik dengan perangkat lunak MAPLE 9.5. 3.4.7. Analisis Rezim Pengelolaan Untuk mengetahui keseimbangan dalam akses terbuka (open access) dan terkendali dilakukan dengan pendekatan bio-ekonomi statik yang pendekatan analitiknya diacu dari Fauzi (2004). Berdasarkan koefisien r, q, K, c (biaya per unit effort), dan p (harga output), maka dapat diketahui kondisi (rezim) pengelolaan perikanan, yaitu : a) Kondisi Maximum Economic Yield (MEY) Pengelolaan perikanan pada kondisi MEY disebut juga dengan rezim pengelolaan Sole Owner (Fauzi 2004). Manfaat ekonomi dari ekstraksi sumber daya ikan pada kondisi MEY adalah sebagai berikut : π = ph (3.40) mey ce mey

Dengan menggunakan hasil dari persamaan (3.40) terhadap effort (E) akan menghasilkan : 53 r c E* = 1 2q pqk (3.41) dengan tingkat panen optimal sebesar : rk c c h* = 1 + 1 4 pqk pqk (3.42) dan tingkat biomas optimal sebesar : K c x* = 1 + (3.43) 2 pqk Dengan mensubstitusikan persamaan (3.41) dan persamaan (3.42) kedalam persamaan (3.40) akan diperoleh manfaat (rente) optimal. b) Kondisi Maximum Sustainable Yield (MSY) Manfaat ekonomi dari ekstraksi sumber daya ikan pada kondisi pengelolaan MSY adalah (Tinungki 2005) : π = p.h c. (3.44) MSY E MSY Dengan menggunakan hasil dari persamaan (3.44) terhadap effort (E) akan menghasilkan : r E MSY = (3.45) 2q dengan tingkat panen lestari sebesar : rk h MSY = (3.46) 4 dan tingkat biomas lestari sebesar : hmsy x MSY = (3.47) qe msy

Dengan mensubstitusikan persamaan (3.45) dan persamaan (3.46) kedalam persamaan (3.44) akan diperoleh manfaat (rente) yang maksimal. 54 c) Kondisi Open Access (OA) Manfaat ekonomi dari ekstraksi sumber daya ikan pada kondisi pengelolaan OA adalah (Tinungki 2005) : π = p.h c. (3.48) OA E OA Dengan menggunakan hasil dari persamaan (3.48) terhadap effort (E) akan menghasilkan : r c E = OA 1 q pqk (3.49) dengan tingkat panen maksimal sebesar : rc c h OA = 1 (3.50) pq pqk dan tingkat biomas lestari sebesar : c x OA = (3.51) p.q Dengan mensubstitusikan persamaan (3.49) dan persamaan (3.50) kedalam persamaan (3.48) akan diperoleh manfaat (rente) yang maksimal. 3.4.8. Interaksi Mangrove dan Perikanan Untuk melihat interaksi antara ekosistem mangrove dan sumber daya perikanan digunakan model Fozal (Efrizal 2005). Pada model ini mangrove dimasukkan ke dalam model melalui fungsi daya dukung (carrying capacity). Model ini merupakan pengembangan dari model yield-effort berikut: q h = qke( 1 E) (3.52) r

55 Selanjutnya mangrove dimasukkan ke dalam persamaan melalui fungsi carrying capacity : K = α log M (3.53) Sehingga persamaannya menjadi: q h = q. α log M.E ( 1 E ) r (3.54) h q α.log M r 2 2 = α.q.log M.E E (3.55) Jika kedua sisi dari persamaan dibagi dengan effort, maka persamaan tersebut di atas akan menjadi: h E h E q = qα log M 2 α log M r E (3.56) = b1 log M b 2 log M.E (3.57) Keterangan: h = Produksi aktual E = Effort q = Koefisien catchability K = Daya dukung (carrying capacity) M = Luasan mangrove Untuk mengetahui luasan mangrove dan tingkat effort optimal digunakan model Fozin-2 (singkatan dari nama Dr. Foz dan Indra), yaitu sebagai berikut : Minimum w E + r M (3.58) i Kendala i i i i α β yi i i i αi βi L = w i E i + r M ( ) i i + λ i y i A i E i M i i dl de dl i i = A E M i = 1, 2; (3.59) = w i αλe i α 1 = 0 β = r βλ 1 i M i = 0 dm dl αi βi = y i A i E i M i = 0 dλ

Dimana : w i = biaya per unit effort, E i = effort (trip), r i = biaya rehabilitasi mangrove per hektar, M i = luasan mangrove, y i = produksi ikan, α = elastisitas effort, β = elastisitas mangrove. Dengan menggunakan Software GAMS, diperoleh nilai luas mangrove dan effort optimal. 56 3.4.9. Aspek Kesejahteraan Net Sosial Benefit dievaluasi dengan menggunakan analisis Produsen Surplus (PS), teknik ini pernah digunakan oleh Pattanayak and Kramer (1999). Untuk analisis surplus produsen pada sumber daya ikan, dilakukan melalui pendekatan backward-bending supply curve/variable price model (Cuningham et al. 1985). Hal ini disebabkan karena sifat suplai perikanan yang unik, dimana pada titik MSY akan terjadi melengkung ke belakang (backward-bending), khususnya dalam perikanan kuasi open access. Dengan demikian, kurva suplai dapat diturunkan dari biaya rata-rata jangka panjang (long run average cost) yang merupakan fungsi sustainable yield. Dengan mengetahui sustainable yield setiap tahunnya, kurva biaya rata-rata jangka panjang dapat direkonstruksi untuk menentukan surplus produsen dari industri perikanan. Perubahan surplus produsen tersebut dihitung dengan pendekatan numerik dengan menggunakan persamaan suplai perikanan sebagai berikut: 2c S = 2 (3.60) α ± 4βh + α Dimana c adalah biaya per unit effort, h adalah produksi lestari, α dan β adalah koefisien biofisik. Dengan mengetahui kurva penawaran tersebut, maka surplus produsen dapat ditulis sebagai berikut :

57 PS = p 0 h 0 h 0 0 α + 2c 2 4βh + α (3.61) Karena integral dari persamaan di atas menghasilkan bilangan yang kompleks, pemecahan integral dilakukan secara analitik dengan program MAPLE versi 9,5. Hasil integrasi dari persamaan tersebut menghasilkan surplus produsen (Fauzi dan Anna 2005), yang secara eksplisit adalah sebagai berikut: PS = P h 0 0 ( h) 2 1 cα ln c 4βh + α + 2 β β 0 2 h h 0 2 ( α 4βh + α ) 1 cα ln( α + βh α ) α + β 2 β 1 4 2 c ln 0 h 0 0 + 0 (3.62) 3.4.10. Model Analisis Kebijakan Model analisis kebijakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis efisiensi dengan menggunakan Data Envelopment Analysis (DEA) atau Frontier Analysis (Charnes et al. 1978, diacu dalam Anna 2003). DEA dilakukan untuk mengukur relative performance dan juga relative efficiency. Performance dapat berupa ratio ataupun dalam bentuk grafik. Pengukuran DEA dilakukan untuk melihat efisiensi relatif dari situasi aktual dengan investasi kebijakan over time. Contoh, jika output dari variabel x untuk tahun ke t dengan jenis output j dimisalkan sebagai x ij dan variabel input y tahun ke t dimisalkan y, maka efisiensi relatif dari variabel x terhadap variabel y dapat ditulis sebagai berikut : x y tj t * 100 (3.63) Sehingga untuk meningkatkan efisiensi dari variabel x tj dapat dilakukan dengan memaksimalkan efisiensi, yaitu : Max x tj (3.64) Dengan kendala : x tj = Σ aw tj x tj /bw tj y t 0 x tj 1; w tj 0

dimana a adalah output data, b adalah koefisien input data, dan w tj faktor pembobot. Pengukuran efisiensi dengan DEA, sebagaimana pengukuran efisiensi lain, terkait dengan aspek produksi dari aktivitas ekonomi yang diamati. Secara teoritis, fungsi produksi berkaitan erat dengan return to scale yang berhubungan bagaimana output bereaksi terhadap perubahan input. Di dalam model DEA yang dikembangkan oleh CCR (Charnes, Cooper, dan Rhodes), efisiensi diukur dengan asumsi fungsi produksi bersifat Constant Return to Scale (CRS). Namun, dalam model ini tidak selalu tepat digunakan karena beberapa fungsi produksi seperti produksi perikanan bersifat decreasing returns to scale. Untuk itu model CCR dikembangkan oleh Banker, Charnes, and Cooper (1984) dan dikenal dengan BCC DEA, yang memungkinkan dilakukan analisis efisiensi bagi aktivitas ekonomi yang bersifat variable return to scale (Fauzi 2005). Perumusan model tersebut adalah sebagai berikut (Sofyan 2006) : Min h k = θk ε σo s p (3.65) o p Dengan kendala : y oj λ j σo = y y pj λ j θk x pk + s p = 0 λ j = 1, ok 58 σ o, s p, λ j 0 Dimana : j = Decision Making Unit (DMU) o = Output p = Input y oj = Nilai dari output ke-o dari ke-j DMU x pj = Nilai dari input ke-p untuk DMU ke-j h k = Efisiensi relatif dari DMU Perhitungan model DEA ini dilakukan dengan menggunakan software DEA Solver dan Software Frontier Analysis.

59 3.4.11. Analisis Finansial dan Usahatani Tambak Sebelum dilakukan analisis finansial usahatani tambak yang ada di Aceh, kajian ini diawali dengan assessment usahatani tambak yang masih ada di Aceh, sebagaimana telah diketahui bahwa lebih dari 80% tambak di Aceh rusak karena tsunami pada 26 Desember 2004. Secara umum, kondisi tambak di Aceh pasca tsunami dikelompokkan menjadi 4 kategori, yaitu (1) rusak berat, (2) rusak sedang, (3) rusak ringan, dan (4) tidak rusak. Yang termasuk dalam kategori rusak berat adalah tingkat kerusakan unit tambak > 60 %, rusak sedang antara 30 60%, dan rusak ringan <30%. Setelah itu, dihitung biaya rehab per hektar tambak menurut tingkat kerusakan. Selanjutnya dihitung opsi pemanfaatan tambak ke depan di Aceh berdasarkan tingkat penggunaan teknologi, yaitu tambak tradisional, tradisional plus, semi intensif, dan intensif. Analisis ini dilakukan dengan pendekatan investment criteria, yaitu Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), dan Internal Rate of Returns (IRR). Terakhir akan dilakukan simulasi dengan perubahan harga, input atau output untuk mengukur sensitivitas dari usahatani tambak. Perhitungan NPV, Net B/C, dan IRR adalah sebagai berikut (Kadariah 2001): 1. Net Present Value (NPV) NPV adalah nilai kini dari keuntungan bersih yang akan diperoleh pada masa mendatang, merupakan selisih nilai kini dari benefit dengan nilai biaya, secara matematis sebagai berikut : NPV = Keterangan : n t t = 1 (1 + B - C i) t t (3.66) Bt = merupakan benefit kotor tahun ke-t. Ct = merupakan biaya kotor tahun ke-t, tidak dilihat apakah biaya tersebut dianggap bersifat modal atau rutin. n = adalah umur ekonomis dari proyek i = tingkat suku bunga (interest rate)

60 Kriteria keputusan : Jika NPV > 0, maka proyek dinyatakan layak (feasible). NPV = 0, maka proyek mengembalikan persis sebesar interest rate atau Social Opportunity Cost of Capital (SOCC). Artinya proyek pulang pokok (break event). NPV < 0, maka proyek ditolak sebab ada penggunaan lain yang lebih menguntungkan untuk sumber-sumber yang diperlukan oleh proyek. 2. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) Net B/C adalah perbandingan antara jumlah nilai kini dari keuntungan bersih pada tahun-tahun dimana keuntungan bersih bernilai negatif. Dengan kata lain, Net B/C adalah perbandingan antara PV positif dengan PV negatif. Net B/C = Keterangan : n t= 1 n t= 1 B t C t (1 + i) C B t (1+ i) t t t ; B t - C t B t C t > 0 (3.67) < 0 Bt = benefit bersih tahun ke-t Ct = biaya bersih tahun ke-t n = umur ekonomis dari proyek i = tingkat suku bunga (interest rate) Kriteria keputusan : Jika Net B/C > 1, usaha layak atau menguntungkan Net B/C = 1, usaha tidak rugi dan tidak untung (break event) Net B/C < 1, usaha tidak layak dilaksanakan 3. Internal Rate of Return (IRR) IRR merupakan tingkat suku bunga dari unit usaha dalam jangka waktu tertentu yang membuat NPV dari unit usaha sama dengan nol. Secara matematis IRR dapat dirumuskan :

61 ' NPV' IRR = i + ( i" i' ) (3.68) NPV' NPV" Keterangan : i' = tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV positif i" = tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV negatif N PV' = N PV pada tingkat suku bunga i' NPV" = NPV pada tingkat suku bunga i" Kriteria Keputusan : Jika IRR interest rate atau SOCC, maka usaha layak untuk dilaksanakan IRR < interest rate atau SOCC, usaha tidak layak untuk dilaksanakan

62 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Produksi Perikanan Secara umum ada 2 macam perikanan, yaitu perikanan tangkap (capture fishery) dan perikanan budidaya (culture fishery). Yang dimaksud dengan perikanan tangkap dalam penelitian ini adalah perikanan laut, tidak termasuk perikanan di perairan umum. Sedangkan yang dimaksud dengan perikanan budidaya adalah budidaya ikan atau udang di tambak (brackish water). Untuk perikanan tangkap, secara umum ada 2 kategori ikan dari perikanan tangkap, yaitu golongan ikan pelagis, yaitu ikan yang hidup di permukaan air laut dan ikan demersal, yaitu ikan yang hidup di kolom air atau dasar laut. Penelitian ini memfokuskan hanya pada ikan pelagis saja dengan target spesies ikan tongkol dan cakalang. Di perairan Aceh, baik pantai timur maupun pantai barat, terdapat lebih dari 20 jenis ikan pelagis, baik pelagis besar maupun kecil. Namun pelagis yang paling dominan adalah ikan tongkol dan cakalang. Data lima tahun terakhir sebelum tsunami, tahun 1999 2003, menunjukkan bahwa produksi total ikan pelagis (25 spesies ikan) di Aceh adalah 304 444.5 ton. Dari jumlah tersebut 75 532.3 ton atau 25% merupakan ikan tongkol dan cakalang. Sisanya merupakan share produksi dari 23 spesies lainnya (DKP NAD, 2004). Data ini sesuai dengan kenyataan bahwa jenis ikan laut yang paling populer di Aceh adalah ikan tongkol dan cakalang. Kedua ikan ini seolah-olah harus ada pada setiap acara pesta dan hajatan yang dilakukan di Aceh seperti pesta pernikahan, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, kenduri bulan puasa, dan lain sebagainya. Oleh karena dominasi pelagis tongkol dan cakalang di perairan Aceh seperti disebutkan di atas, maka kedua spesies ini dijadikan target spesies dari penelitian ini. Data produksi target spesies (tongkol dan cakalang) selama 21 tahun terakhir, mulai Tahun 1984 2004, adalah seperti terlihat pada Tabel 1.

Tahun Tabel 1. Data produksi ikan pelagis (ton) sebagai target spesies yang digunakan dalam penelitian, Tahun 1984 2004 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Pantai Timur Pantai Barat tongkol cakalang total tongkol cakalang total 1984 11 387.26 6 919.99 18 307.25 8 143.80 5 697.60 13 841.40 1985 12 187.49 6 879.57 19 067.06 7 819.80 7 745.40 15 565.20 1986 14 182.26 6 932.89 21 115.15 7 899.30 8 804.10 16 703.40 1987 14 733.95 8 534.21 23 268.16 16 098.00 6 709.20 22 807.20 1988 14 263.53 7 359.88 21 623.41 15 815.10 8 480.10 24 295.20 1989 11 461.10 6 467.30 17 928.40 17 584.80 8 058.30 25 643.10 1990 13 099.50 5 605.20 18 704.70 20 217.30 7 455.00 27 672.30 1991 12 291.60 6 638.00 18 929.60 18 886.50 7 842.60 26 729.10 1992 13 140.00 6 505.20 19 645.20 19 492.20 11 463.30 30 955.50 1993 11 146.80 6 871.60 18 018.40 20 078.40 10 998.00 31 076.40 1994 10 128.00 8 645.60 18 773.60 18 312.90 10 853.40 29 166.30 1995 14 451.64 7 372.75 21 824.39 18 240.02 8 875.20 27 115.22 1996 16 933.20 8 742.80 25 676.00 20 387.40 6 279.60 26 667.00 1997 16 048.80 11 104.20 27 153.00 23 761.80 10 767.30 34 529.10 1998 17 523.90 12 579.75 30 103.65 22 668.30 11 298.90 33 967.20 1999 19 615.95 15 832.35 35 448.30 17 522.40 10 437.60 27 960.00 2000 19 111.95 16 849.35 35 961.30 17 866.50 10 490.40 28 356.90 2001 22 202.40 14 404.80 36 607.20 20 018.10 12 719.70 32 737.80 2002 25 174.00 13 729.60 38 903.60 24 954.90 11 351.10 36 306.00 2003 26 434.34 14 592.72 41 027.06 24 374.40 15 549.90 39 924.30 2004 27 767.60 15 449.20 43 216.80 25 223.10 19 050.00 44 273.10 Rerata 16 346.92 9 905.57 26 252.49 18 350.72 10 044.13 28 394.84 Sumber : Diolah dari data DKP NAD 1984 2005 dan Data Primer (2004) *. *) beberapa data sekunder yang outlier di adjust dengan data primer Dari Tabel 1 terlihat bahwa ada perbedaan produksi rata-rata kedua target spesies (tongkol dan cakalang) di daerah penelitian. Produksi ikan dari pantai barat Aceh relatif lebih tinggi dibandingkan dengan produksi pantai timur. Hal ini disebabkan lokasi penangkapan ikan bagi nelayan di pantai barat tersebar mulai dari sekitar Laut Sabang (Burok) sampai Samudera Hindia, sedangkan lokasi 63

64 penangkapan ikan bagi nelayan di pesisir timur Aceh tersebar di Selat Malaka. Dari beberapa informasi dari Pawang Boat, Panglima Laot dan Panglima Laot Lhok bahwa keberadaan dan produksi ikan di pesisir barat Ace lebih banyak dibandingkan produksi ikan di pesisir timur Aceh. Hal ini sesuai dengan data potensi dan penyebaran ikan di beberapa lokasi penangkapan ikan di Indonesia bahwa produksi atau volume penangkapan ikan di Selat Malaka sudah melebihi potensinya atau dikatakan sudah over fishing, sedangkan potensi ikan di Samudera Hindia, secara umum, masih cukup tinggi dibandingkan produksinya (Dahuri 2002). Produksi kedua jenis ikan, tongkol dan cakalang tersebut dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dan berfluktuasi. Tinggi rendahnya produksi dalam tiap tahun dipengaruhi oleh tinggi rendahnya trip dan musim ikan. Ada dua musim yang sangat mempengaruhi aktivitas nelayan di Aceh, yaitu musim barat dan timur. Musim barat ditandai dengan angin kencang, ombak cukup besar dan tinggi, akibatnya produktivitas nelayan atau kapal/boat/armada relatif rendah. Sebaliknya pada musim timur, kekuatan angin relatif rendah dan laut terlihat lebih teduh, sehingga produktivitas nelayan dan kapal relatif lebih tinggi dibandingkan produktivitas di musim barat. Trend produksi ikan tongkol dan cakalang di Aceh selama periode 1984 2004 seperti terlihat pada Gambar 13. 25,000 25,000 20,000 20,000 Produksi (ton) 15,000 10,000 Produksi (ton) 15,000 10,000 5,000 5,000 0 0 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 Tahun Tahun Tongkol Cakalang Tongkol Cakalang (a) Gambar 13. Perkembangan data produksi ikan pelagis yang digunakan dalam penelitian di Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b). (b)

65 Dari Gambar 13 terlihat bahwa produksi ikan tongkol relatif lebih tinggi dibandingkan produksi ikan cakalang baik untuk pantai timur maupun pantai barat Aceh. Namun, dari tahun ke tahun kedua jenis ikan pelagis ini menunjukkan pola kenaikan yang sama dengan trend produksi yang terus meningkat. Peningkatan produksi ini lebih disebabkan karena peningkatan effort dan jumlah alat tangkap/boat yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. Kenaikan yang terus menerus ini akan menjadi masalah dalam analisis time series. Untuk menentukan apakah data bersifat trending (non stationary), maka dilakukan analisis stationary dengan uji Dickey Fuller serta handling data yang bersifat trending dengan menggunakan teknik co-integration (Anna 2003). Selanjutnya, alat tangkap yang paling dominan untuk menangkap kedua target spesies ini (tongkol dan cakalang) adalah pukat cincin dan pancing tonda. Hasil perhitungan berdasarkan data sekunder dan disesuaikan dengan data primer hasil interview dengan Pawang/ABK boat, Toke Bangku (lembaga pemasaran ikan) dan Panglima Laot Lhok diperoleh bahwa lebih dari 75% produksi tongkol dan cakalang di Aceh ditangkap dengan alat tangkap pukat cincin dan pancing tonda. Proporsi target spesies dari kedua alat tangkap (pukat cincin dan pancing tonda) seperti terlihat pada Tabel 2. Hasil perhitungan juga menunjukkan bahwa alat tangkap pukat cincin lebih dominan atau memberikan kontribusi produksi yang lebih tinggi dibandingkan produksi pancing tonda. Secara grafik kontribusi kedua alat tangkap tersebut seperti terlihat pada Gambar 14.

Tabel 2. Share produksi ikan pelagis tongkol dan cakalang dari alat tangkap pukat cincin dan pancing tonda di daerah penelitian periode 1984 2004. Tahun Pantai Timur Pantai Barat P.cincin Pc.tonda Total P.cincin Pc.tonda Total 1984 8 978.97 5 271.76 14 250.74 6 421.47 4 340.53 10 762.00 1985 9 609.96 5 240.97 14 850.93 6 165.99 5 900.58 12 066.57 1986 11 182.86 5 281.59 16 464.45 6 228.68 6 707.11 12 935.79 1987 11 617.87 6 501.50 18 119.38 12 693.44 5 111.18 17 804.62 1988 11 246.94 5 606.88 16 853.82 12 470.37 6 460.28 18 930.65 1989 9 037.20 4 926.90 13 964.09 13 865.80 6 138.95 20 004.74 1990 10 329.09 4 270.13 14 599.23 15 941.55 5 679.34 21 620.89 1991 9 692.05 5 056.94 14 748.99 14 892.20 5 974.62 20 866.82 1992 10 361.03 4 955.77 15 316.80 15 369.80 8 732.93 24 102.74 1993 8 789.37 5 234.90 14 024.27 15 832.03 8 378.46 24 210.49 1994 7 986.03 6 586.36 14 572.40 14 439.91 8 268.30 22 708.21 1995 11 395.27 5 616.68 17 011.95 14 382.45 6 761.28 21 143.72 1996 13 352.00 6 660.41 20 012.41 16 075.68 4 783.90 20 859.58 1997 12 654.65 8 459.36 21 114.01 18 736.43 8 202.71 26 939.13 1998 13 817.78 9 583.46 23 401.24 17 874.19 8 607.69 26 481.88 1999 15 467.38 12 061.35 27 528.73 13 816.59 7 951.54 21 768.13 2000 15 069.97 12 836.12 27 906.09 14 087.92 7 991.76 22 079.68 2001 17 506.82 10 973.82 28 480.64 15 784.48 9 690.08 25 474.56 2002 19 849.96 10 459.44 30 309.40 19 677.20 8 647.46 28 324.66 2003 20 843.75 11 116.98 31 960.73 19 219.47 11 846.17 31 065.64 2004 21 895.04 11 769.46 33 664.50 19 888.68 14 512.61 34 401.28 Rerata 12 889.71 7 546.23 20 435.94 14 469.73 7 651.78 22 121.51 Sumber : Diolah dari data DKP NAD 1984 2005 dan Data Primer (2004) *. *) beberapa data sekunder yang outlier di adjust dengan data primer 66 25,000 25,000 20,000 20,000 Produksi (ton) 15,000 10,000 Produksi (ton) 15,000 10,000 5,000 5,000 0 0 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 Tahun Tahun Pk.Cincin Pc.Tonda Pk.Cincin Pc.Tonda (a) Gambar 14. Perbandingan hasil tangkapan dari masing-masing alat tangkap di Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b). (b)

67 4.2. Standarisasi Unit Effort Yang dimaksud dengan unit effort dalam penelitian ini adalah trip atau banyaknya trip yang dilakukan oleh kapal/boat per satuan waktu. Standarisasi effort ini diperlukan untuk menyetarakan effort dari beberapa alat tangkap dalam kondisi perikanan yang multi-species dan multi-gear seperti di Aceh. Karena dalam kondisi seperti ini sulit untuk mendapatkan effort yang langsung untuk setiap spesies, karena dengan satu alat tangkap dapat menangkap ikan lebih dari satu spesies. Kalibrasi dilakukan mengingat data spesifik mengenai effort yang ditujukan khusus untuk spesifik target yang digunakan dalam penelitian ini tidak tersedia. Menurut Smith (1996), diacu dalam Fauzi (1998), agregasi effort adalah merupakan satu-satunya cara pengukuran effort yang dapat diandalkan pada perikanan multi-spesies. Jenis alat tangkap yang diamati dalam penelitian ini adalah pukat cincin dan pancing tonda. Dipilihnya kedua alat tangkap tersebut, karena keduanya sangat dominan dalam menangkap kedua target spesies, yaitu tongkol dan cakalang. Kedua alat tangkap ini mempunyai kemampuan yang berbeda dalam menangkap ikan, maka diperlukan standarisasi unit fishing effort. Alat tangkap pukat cincin lebih dominan atau lebih produktif dibandingkan alat pancing tonda, karenanya pukat cincin dijadikan dasar (baseline) dalam melakukan standarisasi. Standarisasi dilakukan dengan menggunakan formula yang ditulis pada persamaan (3.3), yang meliputi data dari tahun 1984 sampai 2004, dengan menggunakan pukat cincin sebagai baseline disajikan pada Tabel 3 dan 4. Selama periode pengamatan, secara umum rata-rata standar effort untuk Pantai Timur Aceh adalah 45 219.47 trip per tahun dengan range 30 087.56 trip 87 226.06 trip per tahun. Sama seperti produksi, jumlah effort (trip) pun terus meningkat dari tahun ke tahun, namun peningkatan yang drastis mulai terjadi setelah tahun 1995 hingga 2004. Peningkatan effort ini diduga ada kaitannya dengan produksi tambak yang sangat rendah mulai tahun 1995.

68 Tabel 3. Standarisasi effort dari alat tangkap yang digunakan dalam analisis untuk Pantai Timur Aceh. Tahun CPUE Std effort Total std Indeks Pk.Cincin Pc.Tonda Pk.Cincin Pc.Tonda effort 1984 0.391704 0.092107 0.235143 25 122.80 11 258.58 36 381.38 1985 0.409850 0.085559 0.208756 25 154.00 11 081.03 36 235.03 1986 0.454700 0.097625 0.214702 25 385.60 10 823.88 36 209.48 1987 0.474789 0.107559 0.226540 26 444.00 11 718.97 38 162.97 1988 0.504061 0.149908 0.297400 23 356.00 10 080.07 33 436.07 1989 0.433076 0.105690 0.244045 22 384.00 9 859.98 32 243.98 1990 0.480505 0.093612 0.194821 21 485.20 8 897.90 30 383.10 1991 0.435886 0.085200 0.195463 23 562.00 10 274.81 33 836.81 1992 0.431237 0.063869 0.148106 24 880.00 10 638.32 35 518.32 1993 0.426066 0.091761 0.215368 22 706.00 10 209.69 32 915.69 1994 0.434700 0.070132 0.161335 22 559.20 10 963.68 33 522.88 1995 0.565415 0.097801 0.172972 21 033.20 9 054.36 30 087.56 1996 0.537904 0.119894 0.222891 25 987.20 11 217.22 37 204.42 1997 0.615999 0.132046 0.214361 23 443.20 10 832.83 34 276.03 1998 0.556980 0.169519 0.304354 28 656.00 13 358.51 42 014.51 1999 0.479461 0.235522 0.491223 38 808.40 18 607.58 57 415.98 2000 0.471907 0.168111 0.356238 39 693.20 19 441.46 59 134.66 2001 0.417280 0.125912 0.301745 46 906.40 21 346.62 68 253.02 2002 0.413159 0.116009 0.280785 51 048.80 22 311.31 73 360.11 2003 0.390762 0.081791 0.209311 56 867.36 24 923.50 81 790.86 2004 0.385945 0.105405 0.273108 60 613.08 26 612.98 87 226.06 Sumber : Diolah dari data DKP NAD 1984 2005 dan Data Primer (2004) *. *) beberapa data sekunder yang outlier di adjust dengan data primer Hasil survey menunjukkan bahwa perkembangan luas dan produksi tambak (udang windu) meningkat tajam sejak tahun 80-an sampai awal 90-an. Ketika itu, harga udang di pasaran luar negeri cukup tinggi, akibatnya baik masyarakat pesisir maupun para pengusaha (investor) seolah berlomba melakukan budidaya udang, baik di tambak yang sudah ada atau membuka tambak baru dengan menebang hutan mangrove. Namun, sekitar tahun 1995 budidaya tambak udang diserang virus akibatnya sebagian besar lahan tambak gagal panen. Sejak saat itu, perhatian masyarakat terhadap tambak mulai berkurang dan bagi masyarakat pesisir memilih alternatif menjadi nelayan, baik sebagai nelayan penuh atau sambilan. Sama seperti perikanan di Pantai Timur, di Pantai Barat pun terjadi peningkatan effort yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. Namun secara umum, jumlah effort (trip) di pantai barat dari tahun ke tahun lebih kecil dibandingkan dengan trip di Pantai Timur. Salah satu penyebabnya adalah

jumlah kapal/boat di pantai timur relatif lebih banyak dibandingkan kapal/boat yang ada di Pantai Barat. Jumlah alat tangkap pukat cincin dan pancing tonda di dua lokasi penelitian seperti terlihat pada Gambar 15. Tabel 4. Standarisasi effort dari alat tangkap yang digunakan dalam analisis untuk Pantai Barat Aceh. Tahun CPUE Std effort Total std Indeks Pk.Cincin Pc.Tonda Pk.Cincin Pc.Tonda effort 1984 0.797777 0.065326 0.081885 9 218.80 4 271.18 13 489.98 1985 0.815852 0.066361 0.081339 9 835.60 4 954.54 14 790.14 1986 0.894838 0.081591 0.091179 9 522.00 4 934.01 14 456.01 1987 0.922728 0.066226 0.071772 13 667.20 5 628.44 19 295.64 1988 0.941945 0.097137 0.103123 14 001.60 6 095.81 20 097.41 1989 0.894551 0.128458 0.143601 15 744.80 6 618.10 22 362.90 1990 0.815601 0.119755 0.146830 18 915.20 7 593.95 26 509.15 1991 0.752644 0.108791 0.144545 19 642.00 8 082.70 27 724.70 1992 0.640913 0.105208 0.164153 26 030.40 11 576.48 37 606.88 1993 0.626103 0.109034 0.174148 26 900.00 11 768.53 38 668.53 1994 0.728522 0.086513 0.118751 21 563.20 9 607.06 31 170.26 1995 0.586474 0.092725 0.158106 25 283.20 10 769.07 36 052.27 1996 0.506371 0.076258 0.150598 29 688.00 11 506.26 41 194.26 1997 0.563608 0.077327 0.137200 33 676.80 14 120.85 47 797.65 1998 0.567565 0.110021 0.193847 32 668.80 13 989.97 46 658.77 1999 0.531556 0.071613 0.134724 28 319.60 12 632.13 40 951.73 2000 0.471051 0.079939 0.169703 32 448.00 14 425.19 46 873.19 2001 0.505696 0.113426 0.224296 34 673.20 15 702.01 50 375.21 2002 0.483081 0.080590 0.166826 41 301.20 17 332.20 58 633.40 2003 0.488866 0.141267 0.288969 43 726.00 19 820.33 63 546.33 2004 0.537317 0.107329 0.199751 43 498.40 20 525.80 64 024.20 Sumber : Diolah dari data DKP NAD 1984 2005 dan Data Primer (2004) *. *) beberapa data sekunder yang outlier di adjust dengan data primer 69 jumlah kapal/boat (unit) 800 700 600 500 400 300 200 100 0 1984 1986 1988 1990 1992 1994 pk.cincin Tahun 1996 1998 2000 pc.tonda 2002 2004 jumlah kapal/boat (unit) 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 1984 1986 1988 1990 1992 1994 Tahun pk.cincin 1996 1998 2000 pc.tonda 2002 2004 (a) Gambar 15. Jumlah alat tangkap di Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b). (b)

70 4.3. Estimasi Parameter Biologi Beberapa parameter biologi yang diperlukan dalam studi ini adalah parameter pertumbuhan (r), carrying capacity (K) dan koefisien daya tangkap (q). Pendugaan parameter biologi ini dilakukan dengan metode Clarke, Yoshimoto dan Pooley (CYP) seperti tercantum dalam persamaan (3.14) dan (3.15). Pendugaan parameter dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SHAZAM setelah terlebih dahulu dilakukan uji stationery dari data dan prosedur Cochran- Orcutt untuk menguji auto correlation dari variabel dengan menggunakan persamaan (3.7). Hasil uji Dickey Fuller dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil uji Dickey Fuller di Pantai Timur dan Pantai Barat No. Variabel Pantai Timur Pantai Barat Tanpa Trend Dengan Trend Tanpa Trend Dengan Trend 1 Ln CPUE -2.6469-2.3558-2.7276-2.6529 2 (E t + E t+1 ) -0.25439-1.4198 0.36206-2.3562 Asymptotic critical t-test at 10%: -2.57 untuk tanpa trend dan -3.13 untuk dengan trend. Hasil uji stationery dengan menggunakan prosedur Dickey-Fuller test menunjukkan bahwa ada gejala non stationary (trending) pada variabel effort, baik effort untuk pantai timur maupun pantai barat. Hal ini ditunjukkan dengan besaran nilai kritis dari Dickey-Fuller test yang lebih kecil dari nilai absolut 2.57 Sedangkan Log CPUE, baik untuk pantai timur maupun pantai barat, tanpa trend menunjukkan data stationer, karena nilai kritis Dickey-Fuller test lebih besar dari nilai absolut 2.57. Dengan hasil tersebut, maka dilakukan pendekatan teknik cointegration untuk menghadapi masalah non stationery dalam pendugaan parameter ini. Setelah dilakukan teknik co-integration dan melalui iterasi Cochran-Orcutt untuk menghilangkan autokorelasi, maka dihasilkan parameter biologi untuk analisis seperti disajikan pada Tabel 6.

71 Tabel 6. Hasil analisis nilai parameter biologi No Parameter Pantai Timur Pantai Barat 1. r 0.4241 0.5721 2. K 2 021.45 1 352.56 3. q 0.0032 0.0075 4. Durbin-Watson 1.8776 1.7767 5. R 2 0.5821 0.8588 Keterangan : r = pertumbuhan intrinsic, K = carrying capacity, q = koefisien daya tangkap, dan R 2 = koefisien determinasi 4.4. Estimasi Produksi Lestari (Sustainable Yield) Berdasarkan nilai parameter biologi seperti tercantum pada Tabel 6 di atas, maka dilakukan pendugaan fungsi produksi lestari dengan menggunakan fungsi produksi lestari (yield-effort curve) Gompertz dengan persamaan (3.13). Sebenarnya ada 2 model yield-effort curve yang berkembang dalam bidang perikanan, yaitu fungsi produksi logistik (persamaan 3.12), dan Gompertz (persamaan 3.13). Perbedaan mendasar keduanya adalah : fungsi produksi logistik berasumsi bahwa sumber daya ikan pada suatu kawasan yang dianalisis dapat habis, biomas mencapai nol (x = 0), sedangkan asumsi fungsi produksi Gompertz adalah sumber daya ikan tidak pernah habis, karenanya kurva yieldeffort tidak pernah menyentuh sumbu x. Namun, dalam penelitian ini hanya digunakan fungsi produksi lestari Gompertz karena nilai hasil perhitungan lebih reliable dibandingkan dengan fungsi produksi logistik. Hasil produksi lestari dari hasil perhitungan di atas dibandingkan dengan produksi aktual untuk melihat bagaimana keragaan (performance) dari produksi perikanan selama periode waktu 1984-2004. Perbandingan produksi aktual dan produksi lestari menurut lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Perbandingan produksi aktual dan lestari di Pantai Timur dan Pantai Barat Aceh. Pantai Timur Pantai Barat Tahun produksi produksi produksi produksi effort effort aktual lestari aktual lestari 1984 36 381.38 14 250.74 17 767.70 13 489.98 10 762.00 11 468.15 1985 36 235.03 14 850.93 17 715.61 14 790.14 12 066.57 12 360.92 1986 36 209.48 16 464.45 17 706.49 14 456.01 12 935.79 12 134.71 1987 38 162.97 18 119.38 18 391.15 19 295.64 17 804.62 15 201.37 1988 33 436.07 16 853.82 16 692.89 20 097.41 18 930.65 15 667.45 1989 32 243.98 13 964.09 16 241.87 22 362.90 20 004.74 16 923.34 1990 30 383.10 14 599.23 15 518.95 26 509.15 21 620.89 18 999.61 1991 33 836.81 14 748.99 16 842.42 27 724.70 20 866.82 19 556.64 1992 35 518.32 15 316.80 17 458.51 37 606.88 24 102.74 23 303.66 1993 32 915.69 14 024.27 16 497.16 38 668.53 24 210.49 23 630.30 1994 33 522.88 14 572.40 16 725.37 31 170.26 22 708.21 21 015.91 1995 30 087.56 17 011.95 15 401.99 36 052.27 21 143.72 22 800.35 1996 37 204.42 20 012.41 18 058.18 41 194.26 20 859.58 24 353.78 1997 34 276.03 21 114.01 17 005.10 47 797.65 26 939.13 25 914.07 1998 42 014.51 23 401.24 19 672.48 46 658.77 26 481.88 25 677.18 1999 57 415.98 27 528.73 23 959.61 40 951.73 21 768.13 24 287.51 2000 59 134.66 27 906.09 24 361.72 46 873.19 22 079.68 25 722.76 2001 68 253.02 28 480.64 26 265.03 50 375.21 25 474.56 26 403.95 2002 73 360.11 30 309.40 27 172.64 58 633.40 28 324.66 27 578.70 2003 81 790.86 31 960.73 28 444.59 63 546.33 31 065.64 28 024.92 2004 87 226.06 33 664.50 29 126.71 64 024.20 34 401.28 28 059.31 Sumber data diolah dari: DKP NAD, 1984-2005 72 Tabel 7 memperlihatkan bahwa baik produksi aktual maupun produksi lestari dari tahun ke tahun terus meningkat, namun ada perbedaan pola antara produksi di Pantai Timur dan Pantai Barat. Untuk Pantai Timur, di awal tahun pengamatan (tahun 80-an) hingga pertengahan 90-an (sekitar tahun 1995) perkembangan produksi (aktual dan lestari) relatif konstan, namun setelah tahun 1995 produksi meningkat drastis. Sedangkan untuk Pantai Barat, dari awal tahun pengamatan baik produksi aktual maupun lestari meningkat tajam. Fenomena ini secara jelas dapat dilihat pada Gambar 16.

73 400 400 350 350 300 300 produksi (ton) 250 200 150 produksi (ton) 250 200 150 100 10 0 50 50 0 produksi aktual 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 produksi lestari 0 produksi aktual 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 produksi lestari (a) (b) Gambar 16. Produksi aktual dan lestari di Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b). Gambar 16 menunjukkan bahwa untuk Pantai Timur, di awal Tahun 80-an sampai dengan Tahun 1995, produksi aktual masih di bawah produksi lestari, namun mulai Tahun 1996 produksi aktual berada di atas produksi lestari. Trajektori produksi aktual dan lestari lebih stabil dibandingkan dengan Pantai Barat, dimana terdapat dua titik keseimbangan antara produksi aktual dan lestari. Sedangkan untuk Pantai Barat, di awal Tahun 80-an, produksi aktual di bawah produksi lestari, namun mulai Tahun 1986 sampai 1995 dan Tahun 2001 sampai 2004, produksi aktual berada di atas produksi lestari. Trajektori produksi aktual dan lestari lebih fluktuasi dan terdapat lima titik keseimbangan antara keduanya. Jika nilai parameter biologi (Tabel 6) dimasukkan dalam persamaan (3.13), maka akan diperoleh kurva produksi lestari (yield-effort curve) Gompertz untuk Pantai Timur dan Barat Aceh sebagai berikut : Pantai Timur : ht = 6,4105Et exp (-0,00748Et) Pantai Barat : h t = 10,1460E t exp (-0,01311Et) Dengan menggunakan persamaan fungsi produksi di atas, maka kurva produksi lestari untuk Pantai Timur dan Barat Aceh dapat digambarkan sebagai berikut :

74 350 300 250 Produksi (00 ton) 200 150 100 50 0 0 100 200 300 400 500 600 Effort (000 trip) effort_brt vs prod lestrari_brt effort_tmr vs prod lestari_tmr Gambar 17. Fungsi produksi lestari Gompertz di daerah penelitian. Untuk melihat trajektori produksi aktual dan lestari secara jelas dapat dilakukan overlay antara keduanya sebagaimana disajikan pada Gambar 18, 19, 20 dan 21 berikut : 400 Produksi (00 ton) 300 200 98 97 96 87 95 88 86 9091 92 85 89 93 94 84 '03 '02 99 '00'01 '04 100 0 0 100 200 300 400 500 600 effort (000 trip) Gambar 18. Kurva lestari Gompertz dan produksi aktual di Pantai Timur Aceh. Gambar 18 menunjukkan bahwa grafik dengan garis biru adalah produksi lestari dan garis merah adalah produksi aktual. Terlihat bahwa pada awal Tahun

75 80-an terjadi kontraksi produksi aktual (loop), namun setelah Tahun 90-an terjadi ekspansi. Terjadi dua kali titik keseimbangan, yaitu tahun 1988 dan 1995. Sungguhpun produksi aktual meningkat tajam di atas produksi lestari, namun peningkatan tersebut belum melewati titik produksi sustainable. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada kurva Cope Eye Ball pada Gambar 19. Trajectory BRR Produksi Copes Theory Effort Gambar 19. Copes Eye Ball loop fungsi produksi lestari Gompertz Pantai Timur Aceh. Dari Gambar 19 terlihat bahwa pada akhir periode pengamatan telah terjadi ekspansi yang cukup tinggi dan trajektorinya menjauhi kurva keseimbangan. Oleh karena itu, dengan Copes Theory trajektori produksi aktual tersebut dikembalikan kepada kondisi keseimbangan melalui rasionalisasi input. Namun, melihat pengadaan dan distribusi armada baru yang cukup tinggi oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR), para NGOs, dan lembaga lainnya di Provinsi NAD, maka trajektori tersebut bukan hanya akan lebih menjauhi keseimbangan tapi juga melewati produksi sustainable. Jika hal ini terjadi, maka akan berbahaya bagi keberlanjutan sumber daya ikan di Provinsi NAD. Hal yang sama terjadi di Pantai Barat Aceh, seperti terlihat pada Gambar 20 dan 21 berikut :

76 400 '04 Produksi (00 ton) 300 200 100 '02 98 97 '01 92 93 94 90 99 91 95 '00 96 88 89 87 86 85 84 '03 0 0 100 200 300 effort (000 trip) Gambar 20. Kurva lestari Gompertz dan produksi aktual di Pantai Barat Aceh Trajectory BRR Produksi Copes Theory Effort Gambar 21. Copes eye ball loop fungsi produksi lestari Gompertz di Pantai Barat Aceh. Gambar 20 dan 21 menunjukkan bahwa di Pantai Barat Aceh, diawal pengamatan (tahun 80-an) telah terjadi ekspansi, namun setelah itu terjadi kontraksi sehingga kembali ke titik keseimbangan, kemudian tahun 2000-an kembali terjadi ekspansi. Disamping itu, di Pantai Barat terjadi lima kali titik keseimbangan, yaitu dimulai tahun 1985, 1995, 1997, 1998, dan 2002.

77 Walaupun, pada periode tertentu telah terjadi kelebihan produksi aktual dibanding produksi lestari dari perikanan pelagis di Aceh, namun tingkat ekspansinya masih relatif lebih kecil dibandingkan keragaan (performance) perikanan pelagis di Pantai Utara Jawa Barat dimana produksi aktual sudah jauh di atas produksi lestari (Sofyan 2006). Hal yang sama juga terjadi pada perikanan demersal di Kabupaten Bengkali (Efrizal 2005) dan demersal di Perairan DKI Jakarta (Anna 2003). Artinya performance perikanan pelagis di Aceh belum cukup mengkhawatirkan seperti di Pantai Utara Jawa, namun jika tingkat eksploitasi ikan yang terus menerus meningkat sepanjang tahun, maka kemungkinan overfishing dimasa yang akan datang tidak bisa dihindari. 4.5. Degradasi Sumber Daya Perikanan Pada perikanan dengan rezim open akses dimana berlaku first come first serve dan setiap pengusaha ingin mendapatkan keuntungan yang setinggitingginya dengan tingkat eksploitasi yang tinggi pula, dimana produksi aktual jauh di atas produksi lestari, maka konsekuensinya adalah terjadi degradasi sumber daya ikan. Seberapa besar tingkat degradasi sumber daya ikan dan pengaruhnya terhadap perubahan rente sumber daya serta produksi aktual dan lestari akan dikaji pada bagian tulisan ini dengan menggunakan persamaan (3.25). Degradasi diartikan sebagai penurunan kualitas atau kuantitas sumber daya alam dapat diperbaharui sehingga berkurang kemampuan alaminya untuk bergenerasi sesuai dengan kapasitas produksinya. Tingkat degradasi sumber daya perikanan menggambarkan adanya gejala penurunan potensi dari perikanan itu sendiri. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa rata-rata nilai degradasi per tahun selama periode pengamatan di Pantai Timur dan Pantai Barat relatif sama yaitu masingmasing 0,26% dan 0,27%. Laju degradasi sumber daya perikanan berdasarkan produksi aktual dan lestari dapat dilihat pada Gambar 22.

78 0.40 0.40 0.35 0.35 Koefisien Degradasi 0.30 0.25 0.20 0.15 0.10 0.05 0.00 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 Koefisien Degradasi 0.30 0.25 0.20 0.15 0.10 0.05 0.00 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 Tahun Tahun (a) (b) Gambar 22. Laju degradasi sumber daya perikanan dengan menggunakan produksi aktual untuk Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b). Dari Gambar 22 terlihat bahwa trajektori laju degradasi sumber daya ikan pelagis untuk Pantai Timur pada periode 80-an sampai awal 90-an relatif stabil, walaupun di awal pengamatan (tahun 1986) sempat terjadi peningkatan. Namun setelah tahun 1995, laju degradasi meningkat tajam. Hal ini sesuai dengan prilaku produksi aktual yang di awal periode pengamatan berada di bawah produksi lestari, namun setelah tahun 1995 produksi aktual meningkat tajam dan berada di atas produksi lestari. Berbeda dengan Pantai Timur, trajektori laju degradasi di Pantai Barat di awal periode pengamatan (tahun 80-an) meningkat tajam sampai tahun 1990, pada periode 90-an relatif stabil, namun mulai tahun 2000 trend-nya kembali meningkat. Hal ini sesuai dengan prilaku produksi aktual yang di awal periode pengamatan berada di atas kurva produksi lestari, setelah itu berfluktuasi, namun pada periode 2000-an meningkat kembali atas produksi lestari. Pola yang hampir sama terlihat pada Gambar 23 dimana laju degradasi dihitung berdasarkan produksi lestari. Namun trajektorinya lebih stabil dibandingkan dengan trajektori laju degradasi produksi aktual. Bahkan di Pantai Barat terjadi penurunan laju degradasi yang terus menerus mulai tahun 1988 sampai dengan tahun 1999.

79 0.35 0.35 0.30 0.30 Koefisien Degradasi 0.25 0.20 0.15 0.10 Koefisien Degradasi 0.25 0.20 0.15 0.10 0.05 0.05 0.00 0.00 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 Tahun Tahun (a) (b) Gambar 23. Laju degradasi sumber daya perikanan dengan menggunakan produksi lestari untuk Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b). Perbandingan antara laju degradasi dengan produksi aktual dapat dilihat pada Gambar 24. Dari gambar terlihat bahwa laju degradasi memiliki pola yang relatif sama dengan produksi aktual. Laju degradasi mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan produksi aktual, begitu juga sebaliknya, ketika terjadi penurunan produksi aktual maka laju degradasi juga mengalami penurunan. 400 0.40 400 0.40 Produksi (100 ton) 350 300 250 200 150 100 50 0 1984 1986 1988 1990 1992 1994 Produksi Aktual Tahun 1996 1998 2000 2002 2004 Koefisien Degradasi 0.35 0.30 0.25 0.20 0.15 0.10 Koefisien Degradasi Produksi (100 ton) 350 300 250 200 150 100 50 0 1984 1986 1988 1990 1992 1994 Produksi Aktual Tahun 1996 1998 2000 2002 2004 Koefisien Degradasi 0.35 0.30 0.25 0.20 0.15 0.10 Koefisien Degradasi (a) (b) Gambar 24. Perbandingan laju degradasi dengan produksi aktual.

80 Seperti hubungan laju degradasi dengan produksi aktual, pola yang sama terlihat pada hubungan laju degradasi dengan effort bahwa semakin tinggi effort maka akan semakin tinggi laju degradasi sumber daya. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan upaya akan dapat menjadi penyebab terjadinya peningkatan degradasi. Untuk itu diperlukan tindakan pengelolaan terhadap upaya sehingga laju degradasi sumber daya ikan bisa dikurangi atau dapat dikendalikan. Untuk lebih jelasnya hubungan kedua variabel tersebut dapat dilihat pada Gambar 25. Effort (000 trip) 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1984 1986 1988 1990 1992 Effort 1994 Tahun 1996 1998 2000 2002 2004 Koefisien Degradasi 0.40 0.35 0.30 0.25 0.20 0.15 0.10 Koefisien Degradasi Effort (000 trip) 70 60 50 40 30 20 10 0 1984 1986 1988 Effort 1990 1992 1994 Tahun 1996 1998 2000 2002 2004 Koefisien Degradasi 0.40 0.35 0.30 0.25 0.20 0.15 0.10 Koefisien Degradasi (a) (b) Gambar 25. Perbandingan laju degradasi sumber daya perikanan dengan effort untuk Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b). 4.6. Estimasi Parameter Ekonomi 4.6.1. Struktur Biaya Data biaya dalam penelitian ini merupakan data cross section yang diperoleh dari survey lapangan pada Tahun 2004. Data ini merupakan rata-rata biaya operasional rill yang dikeluarkan oleh alat tangkap pukat cincin dan pancing tonda untuk sekali melaut yang dihitung dalam rupiah per unit effort (trip). Komponen biaya dalam penelitian ini adalah minyak solar, oli, es, biaya makan (pangan), upah aneuk itek (pencuci dan perawat kapal). Perhitungan biaya ratarata per unit effort di lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan persamaan

(3.17). Hasil analisis terhadap perhitungan biaya per unit effort dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Rata-rata biaya rill penangkapan ikan per unit effort menurut lokasi penelitian (Rp ribu per trip), tahun 1984-2004. No. Tahun Pantai Timur Pantai Barat 1 1984 234.53 231.92 2 1985 257.81 254.94 3 1986 279.67 276.56 4 1987 373.48 369.32 5 1988 379.29 375.07 6 1989 487.60 482.17 7 1990 582.39 575.91 8 1991 534.60 528.66 9 1992 585.56 579.04 10 1993 623.20 616.27 11 1994 665.47 658.07 12 1995 744.47 736.18 13 1996 986.12 975.15 14 1997 1 027.03 1 015.60 15 1998 1 031.81 1 020.34 16 1999 1 040.21 1 028.64 17 2000 1 097.37 1 085.16 18 2001 1 154.53 1 141.68 19 2002 1 211.68 1 198.21 20 2003 1 268.84 1 254.73 21 2004 1 326.00 1 311.25 81 Biaya penangkapan ikan per unit effort seperti tercantum pada Tabel 8 merupakan biaya operasional rill setelah memperhitungkan nilai inflasi melalui Indeks Harga Konsumen ikan segar di Aceh. Tabel ini juga menggambarkan bahwa hampir tidak ada perbedaan biaya eksploitasi per trip antara Pantai Timur dan Pantai Barat Aceh. Untuk jelasnya perkembangan biaya operasional untuk penangkapan ikan dari alat tangkap yang sudah distandarisasi dapat dilihat pada Gambar 26.

82 1400 1200 Biaya (Rp.000/trip) 1000 800 600 400 200 0 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 Tahun Pantai Barat Pantai Timur Gambar 26. Biaya penangkapan ikan per unit effort periode 1984 2004. Gambar 26 memperlihatkan bahwa biaya operasional menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa seiring dengan pertambahan waktu maka biaya untuk melaut juga semakin meningkat. Peningkatan biaya sangat drastis terlihat pada tahun 1997, karena ketika hargaharga barang mulai naik akibat krisis ekonomi. 4.6.2. Estimasi Discount rate Ada 2 nilai discount rate yang digunakan dalam penelitian ini. Pertama nilai discount rate yang didasarkan pada rata-rata market discount rate sebesar 15% (selanjutnya disebut dengan MDR 15%) dijadikan basis dalam penentuan rente ekonomi baseline. Kedua penentuan discount rate yang didasarkan pada pendekatan Ramsey, dengan menggunakan persamaan (3.20). Pendekatan ini digunakan untuk menggambarkan pengaruh pertumbuhan ekonomi dan elastisitas pendapatan terhadap penggunaan sumber daya alam, khususnya sumber daya perikanan di daerah penelitian.

83 Hasil perhitungan diperoleh nilai estimasi g = 0.0932 (9.32%). Dengan mengikuti teknik yang dilakukan Brent, diacu dalam Anna (2003) dengan menggunakan standar elastisitas pendapatan terhadap konsumsi sumber daya alam sebesar 1, dan ρ diasumsikan sama dengan nilai nominal saat ini (current nominal discount rate) dari Kula, sebesar 15 % maka diperoleh nilai real discount rate (r) = 0.15 0.0932 = 0.0568 = 5.68 % (selanjutnya disingkat dengan RDR 5.68%). Nilai ini merupakan nilai yang cukup conservative untuk sumber daya alam, dan patut dipertimbangkan penggunaannya dalam eksploitasi sumber daya alam. Tentu saja, dalam hal ini sumber daya perikanan dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. 4.7. Depresiasi Sumber Daya Perikanan Keseluruhan hasil estimasi parameter biofisik dan ekonomi digunakan untuk menghitung nilai depresiasi sumber daya. Dengan menggunakan formula perhitungan depresiasi dari persamaan (3.26) serta menggunakan hasil perhitungan model Gompertz maka nilai depresiasi sumber daya perikanan dapat dihitung sebagaimana disajikan pada Tabel 9. Dari Tabel 9 terlihat bahwa di Pantai Timur Aceh, sepanjang periode pengamatan (1984 2004) dan pada MDR 15%, telah terjadi depresiasi sumber daya ikan pelagis diestimasi sebesar Rp 46.27 milyar. Depresiasi tersebut terjadi pada tahun 1988,1991 dan 1997, dengan besaran masing-masing sebesar Rp 27.15 milyar, Rp 4.98 milyar, dan Rp 14.14 milyar. Jika rata-rata nilai present value dari rente sumber daya sebesar Rp 877.09 milyar sepanjang periode pengamatan, maka besaran depresiasi tersebut cukup signifikan mengurangi nilai rente sumber daya yang sebenarnya. Jika discount rate yang digunakan adalah RDR 5.68% (discount rate yang lebih konservatif dari Kula), maka tingkat depresiasi sepanjang periode pengamatan akan lebih tinggi yaitu mencapai Rp 122.20 milyar. Kehilangan nilai sustainable rent tersebut cukup besar yaitu mencapai 23.20% dari rata-rata PDRB, atas dasar harga berlaku, sektor kelautan dan perikanan periode tahun 1998 2001, yaitu Rp 526.72 milyar (DKP NAD, 2002). Depresiasi ini seharusnya diperhitungkan dalam statistik pendapatan sektor

84 perikanan di Provinsi NAD. Jika tidak, maka nilai PDRB dari sektor perikanan ini akan terlalu rendah pada tahun-tahun dimana stok ikan terapresiasi dan terlalu tinggi pada tahun-tahun dimana stok ikan terdepresiasi. Tahun Tabel 9. Perubahan rente ekonomi (depresiasi) sumber daya perikanan (Rp milyar) Pantai Timur Pantai Barat PVSRa PVSRa PVSRb PVSRb PVSRa PVSRa PVSRb PVSRb 1984 234.73 234.73 619.87 619.87 159.21 159.21 420.44 420.44 1985 257.34 22.61 679.59 59.72 188.20 29.00 497.02 76.58 1986 279.03 21.69 736.87 57.28 200.55 12.34 529.61 32.59 1987 385.67 106.64 1 018.48 281.61 332.54 131.99 878.19 348.57 1988 358.51-27.15 946.78-71.71 347.54 15.00 917.81 39.62 1989 449.36 90.85 1 186.69 239.91 480.47 132.93 1 268.84 351.03 1990 514.46 65.10 1 358.61 171.92 638.83 158.36 1 687.06 418.21 1991 509.48-4.98 1 345.47-13.15 602.05-36.79 1 589.91-97.15 1992 576.74 67.26 1 523.09 177.62 767.93 165.89 2 027.99 438.08 1993 582.68 5.93 1 538.76 15.67 826.53 58.60 2 182.75 154.76 1994 630.14 47.47 1 664.11 125.35 799.24-27.29 2 110.67-72.08 1995 653.00 22.86 1 724.48 60.37 958.93 159.69 2 532.39 421.72 1996 1 001.61 348.60 2 645.09 920.60 1 339.09 380.16 3 536.32 1 003.93 1997 987.46-14.14 2 607.74-37.35 1 456.85 117.76 3 847.31 310.99 1998 1 131.61 144.15 2 988.41 380.67 1 455.09-1.76 3 842.66-4.66 1999 1 346.60 214.99 3 556.17 567.77 1 409.60-45.48 3 722.54-120.11 2000 1 438.98 92.37 3 800.12 243.94 1 549.32 139.72 4 091.51 368.97 2001 1 597.97 158.99 4 219.99 419.87 1 655.78 106.46 4 372.66 281.15 2002 1 713.08 115.11 4 523.97 303.98 1 766.47 110.68 4 664.96 292.30 2003 1 836.06 122.98 4 848.75 324.78 1 846.19 79.72 4 875.50 210.54 2004 1 934.42 98.36 5 108.50 259.74 1 928.19 82.00 5 092.04 216.54 Keterangan: PVRa = Present Value Sustainable Rent dengan δ market=15% PVRb = Present Value Sustainable Rent dengan δ Kulla= 5.68% PVRa = Perubahan Present Value Sustainable Rent (depresiasi) dengan δ market=15% PVRb = Perubahan Present value Sustainable Rent (depresiasi) dengan δ Kulla= 5.68% Untuk Pantai Barat Aceh, mengalami pola fenomena yang sama seperti Pantai Timur. Pada discount rate MDR 15% terjadi depresiasi sumber daya ikan pelagis diestimasi sebesar Rp 111.33 milyar. Jika discount rate yang digunakan adalah RDR 5.68%, maka tingkat depresiasi sepanjang periode pengamatan akan lebih tinggi yaitu mencapai Rp 294 milyar atau sebesar 55.82% dari rata-rata PDRB, atas dasar harga berlaku, sektor kelautan dan perikanan periode tahun 1998 2001.

85 Rente present value dan nilai depresiasi menjadi lebih tinggi jika dalam perhitungan digunakan RDR 5.68%, yang lebih konservatif dan merefleksikan pertumbuhan ekonomi di daerah penelitian. Dalam tahapan ini discount rate tidak dihitung berdasarkan Golden Rule sebagaimana seharusnya, sehingga dampak dari perubahan discount rate terhadap pengelolaan optimal yang berkaitan dengan stok sumber daya tidak dapat dibahas. Perubahan discount rate di sini hanya merupakan perubahan numeirare, sehingga tidak dapat dipakai sebagai suatu kesimpulan atau dijadikan suatu basis indikator untuk menentukan penyebab terjadinya perubahan nilai rente sumber daya dan depresiasi berdasarkan stock assessment, sebagaimana yang dilakukan oleh Clark (1990). Metode perhitungan seperti telah dilakukan oleh Anna (2003). Pola depresiasi sumber daya perikanan mengalami pola counter cyclical antara effort dan produksi aktual. Artinya, pada saat effort turun, produksi aktual tidak menunjukkan perilaku yang sama, malah sebaliknya jadi meningkat. Sebagai contoh ketika upaya menurun dari 33 522.88 trip ke 30 087.56 trip dari tahun 1994 ke 1995, maka produksi aktual justru meningkat dari 14 572.40 ton ke 17 011.95 ton. Perilaku counter cyclical ini, menyebabkan penurunan produksi lestari (sustainable yield) sehingga mengakibatkan terjadinya depresiasi rente pada sumber daya perikanan. Dengan demikian, implikasinya terhadap kebijakan adalah bahwa untuk meningkatkan nilai stok sumber daya ikan, kebijakan menurunkan level input (effort) adalah merupakan pilihan yang tepat. Pola depresiasi rente sumber daya perikanan terhadap present value dari rente sumber daya perikanan dapat dilihat pada Gambar 27.

86 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0-1000 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 Rente (milyar Rp) Tahun PVSR (a) Dep (a) PVSR (b) Dep (b) (a) 6000 5000 Rente (milyar Rp) 4000 3000 2000 1000 0-1000 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 Tahun PVSR (a) Dep (a) PVSR (b) Dep (b) (b) Gambar 27. Present value rente dan depresiasi di Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b).

Sedangkan keterkaitan antara perkembangan upaya (effort) dengan depresiasi dapat dilihat pada Gambar 28. 87 10 0 400 10 0 10 0 0 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 350 300 250 200 150 10 0 50 0-50 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 800 600 400 200 0-200 Tahun Tahun Depresiasi (15%) Effort Depresiasi (5.68) Effort (a) 70 60 50 40 450 400 350 300 250 200 70 60 50 40 12 0 0 10 0 0 800 600 30 20 10 0 150 10 0 50 0-50 -100 30 20 10 0 400 200 0-200 Tahun Tahun Depresiasi (15%) Effort Depresiasi (5.68) Effort (b) Gambar 28. Hubungan effort dan depresiasi sumber daya ikan pelagis di Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b). Dari Gambar 28 terlihat untuk Pantai Timur terjadi depresiasi selama periode pengamatan sebanyak tiga kali, yaitu tahun 1988, 1991, dan 1997. Sedangkan untuk Pantai Barat terjadi depresiasi 4 kali, yaitu tahun 1991, 1994, 1998, dan 1999. Nilai depresiasi semakin besar, jika digunakan RDR 5.68% dari Kula. Ada hubungan antara upaya (effort) dengan depresiasi yang tidak terjadi secara seketika. Artinya, ketika upaya (effort) tinggi, maka depresiasi sumber

88 daya perikanan tidak langsung terjadi pada saat itu, melainkan terjadi lag, sehingga depresiasi baru akan terjadi pada periode berikutnya. Walaupun effort pada tahun tertentu relatif rendah, namun masih mungkin terjadi depresiasi sumber daya, penyebabnya adalah karena effort yang berlebihan pada periode sebelumnya. 4.8. Pengelolaan Sumber daya yang Optimal Sama seperti sumber daya alam lainnya, sumber daya perikanan merupakan aset kapital yang perlu dikelola secara optimal dengan pendekatan kapital, sehingga dalam analisisnya dibutuhkan pertimbangan aspek intertemporal. Pada pendekatan kapital, biaya korbanan (opportunity cost) untuk mengeksploitasi sumber daya pada saat ini diperhitungkan melalui perhitungan rente ekonomi optimal (optimal rent) yang seharusnya didapat dari sumber daya perikanan, jika sumber daya tersebut dikelola secara optimal. Penelitian ini menggunakan market discount rate (MDR 15%) dan real discount rate (RDR 5.68%). Nominal discount rate menggambarkan tingkat eksploitasi sumber daya dimana biaya opportunity kapital ( ) sama dengan sosial discount rate (i). Tingkat pemanfaatan sumber daya perikanan yang optimal dihitung dengan Modified Golden Rule, persamaan (3.37) dan (3.38). Dari kedua persamaan tersebut, diperoleh biomas optimal ( x& ) yang digunakan untuk menghitung catch (h & ) dan effort (E & ) optimal. Dari hasil tersebut dapat dihitung rente optimal dengan persamaan (3.39). Kemudian, dengan menggunakan persamaan Gompertz diperoleh nilai optimal dari sumber daya perikanan persamaan berikut : r ln( k / cr ln( k x ) r + x{ pqx / x ) c } δ = 0 Nilai optimal biomas, hasil tangkapan (catch) dan effort dengan nilai δ yang berbeda untuk Pantai Timur dapat dilihat pada Tabel 10.

Tahun Tabel 10. Nilai biomas, hasil tangkapan dan effort optimal ikan pelagis di Pantai Timur dengan market dan Kula discount rate. Biomas Optimal (ton) Discount rate 15 % Discount rate 5.68 % Produksi Effort Biomas Produksi Optimal optimal Optimal Optimal (ton) (ribu trip) (ton) (ton) Effort optimal (ribu trip) 1984 72 013.80 31 524.11 138.04 80 046.65 31 450.25 123.89 1985 72 013.81 31 524.11 138.04 80 046.66 31 450.25 123.89 1986 72 013.82 31 524.11 138.04 80 046.66 31 450.25 123.89 1987 72 013.84 31 524.11 138.04 80 046.68 31 450.25 123.89 1988 72 013.82 31 524.11 138.04 80 046.66 31 450.25 123.89 1989 72 013.83 31 524.11 138.04 80 046.67 31 450.25 123.89 1990 72 013.83 31 524.11 138.04 80 046.67 31 450.25 123.89 1991 72 013.80 31 524.11 138.04 80 046.65 31 450.25 123.89 1992 72 013.82 31 524.11 138.04 80 046.66 31 450.25 123.89 1993 72 013.82 31 524.11 138.04 80 046.66 31 450.25 123.89 1994 72 013.82 31 524.11 138.04 80 046.67 31 450.25 123.89 1995 72 013.80 31 524.11 138.04 80 046.65 31 450.25 123.89 1996 72 013.80 31 524.11 138.04 80 046.65 31 450.25 123.89 1997 72 013.83 31 524.11 138.04 80 046.67 31 450.25 123.89 1998 72 013.81 31 524.11 138.04 80 046.66 31 450.25 123.89 1999 72 013.81 31 524.11 138.04 80 046.65 31 450.25 123.89 2000 72 013.82 31 524.11 138.04 80 046.66 31 450.25 123.89 2001 72 013.81 31 524.11 138.04 80 046.66 31 450.25 123.89 2002 72 013.81 31 524.11 138.04 80 046.65 31 450.25 123.89 2003 72 013.82 31 524.11 138.04 80 046.66 31 450.25 123.89 2004 72 013.81 31 524.11 138.04 80 046.66 31 450.25 123.89 89 Hasil perhitungan analisis optimal dengan menggunakan MDR 15%, untuk Pantai Timur, diperoleh nilai biomas optimal ( x& ) = 72 013.81 ton, produksi optimal ( h & ) = 31 524.11 ton, dan effort optimal ( E & ) = 138 037.8 trip. Sedangkan nilai optimal dengan menggunakan RDR 5.68% diperoleh biomas optimal ( x& ) = 80 046.66 ton, produksi optimal ( h & ) = 31 450.25 ton, dan effort optimal ( E & ) = 123 894.4 trip. Dari Tabel 10 terlihat bahwa dengan menggunakan nilai discount rate yang lebih kecil (RDR 5.68%), maka diperoleh nilai optimal biomas yang relatif lebih tinggi dan input yang relatif lebih rendah daripada perhitungan dengan menggunakan MDR 15%. Nilai biomas, produksi (catch), dan effort optimal selama periode pengamatan dengan discount rate yang berbeda di Pantai Barat Aceh dapat dilihat pada Tabel 11.

Tahun Tabel 11. Nilai biomas, hasil tangkapan dan effort optimal ikan pelagis di Pantai Barat dengan market dan Kula discount rate. Biomas Optimal Discount rate 15 % Discount rate 5.68 % Produksi Effort Produksi Biomas Optimal optimal Optimal Optimal (ton) (ribu trip) (ton) 90 Effort optimal (ribu trip) 1984 48 165.24 28 453.36 78.75 53 252.46 28 399.48 71.09 1985 48 165.27 28 453.36 78.75 53 252.48 28 399.48 71.09 1986 48 165.26 28 453.36 78.75 53 252.47 28 399.48 71.09 1987 48 165.23 28 453.36 78.75 53 252.45 28 399.48 71.09 1988 48 165.25 28 453.36 78.75 53 252.47 28 399.48 71.09 1989 48 165.25 28 453.36 78.75 53 252.47 28 399.48 71.09 1990 48 165.24 28 453.36 78.75 53 252.45 28 399.48 71.09 1991 48 165.23 28 453.36 78.75 53 252.45 28 399.48 71.09 1992 48 165.23 28 453.36 78.75 53 252.45 28 399.48 71.09 1993 48 165.25 28 453.36 78.75 53 252.46 28 399.48 71.09 1994 48 165.24 28 453.36 78.75 53 252.46 28 399.48 71.09 1995 48 165.24 28 453.36 78.75 53 252.46 28 399.48 71.09 1996 48 165.24 28 453.36 78.75 53 252.45 28 399.48 71.09 1997 48 165.24 28 453.36 78.75 53 252.45 28 399.48 71.09 1998 48 165.23 28 453.36 78.75 53 252.45 28 399.48 71.09 1999 48 165.24 28 453.36 78.75 53 252.45 28 399.48 71.09 2000 48 165.25 28 453.36 78.75 53 252.46 28 399.48 71.09 2001 48 165.24 28 453.36 78.75 53 252.46 28 399.48 71.09 2002 48 165.24 28 453.36 78.75 53 252.46 28 399.48 71.09 2003 48 165.23 28 453.36 78.75 53 252.45 28 399.48 71.09 2004 48 165.24 28 453.36 78.75 53 252.46 28 399.48 71.09 Berdasarkan Tabel 11, untuk Pantai Barat, dengan menggunakan MDR 15% diperoleh nilai biomas optimal ( x& ) = 48 165.24 ton, produksi optimal ( h & ) = 28 453.36 ton, dan effort optimal ( E & ) = 78 751.6 trip. Sedangkan nilai optimal dengan RDR 5.68% diperoleh biomas optimal ( x& ) = 53 252.46 ton, produksi optimal ( h & ) = 28 399.48 ton, dan effort optimal ( E & ) = 71 093.36 trip. Sama seperti Pantai Timur, dengan menggunakan nilai discount rate yang lebih kecil (RDR 5.68%), maka diperoleh nilai optimal biomas yang relatif lebih tinggi dan input yang relatif lebih rendah daripada perhitungan dengan menggunakan MDR 15%. Untuk lebih jelasnya perbedaan nilai biomas dan produksi yang optimal sepanjang tahun pengamatan untuk kedua nilai discount rate dapat dilihat pada Gambar 29.

91 900 800 700 600 500 400 300 200 10 0 0 600 500 400 300 200 10 0 0 Tahun boimass opt (5.68%) biomass opt (15%) prod opt (5.68%) prod opt (15%) Tahun boimass opt (5.68%) biomass opt (15%) prod opt (5.68%) prod opt (15%) (a) (b) Gambar 29. Trajektori biomas dan produksi optimal (100 ton) dengan nilai δ yang berbeda untuk Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b). Gambar 29 menunjukkan bahwa sepanjang tahun pengamatan nilai optimal biomas pada RDR 5.68% relatif lebih tinggi dibandingkan dengan optimal biomas pada MDR 15%. Namun sebaliknya produksi optimal pada MDR 15% relatif lebih tinggi dibandingkan dengan produksi optimal pada RDR 5.68%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Clark (1971), diacu dalam Hanesson (1987) dan Clark (1990) bahwa nilai discount rate yang lebih tinggi akan menyebabkan peningkatan laju optimal eksploitasi sumber daya yang terbaharukan. Untuk sumber daya terbaharukan seperti perikanan, yang memiliki fungsi pertumbuhan berbentuk cembung (concave), discount rate yang lebih tinggi akan menyebabkan stok biomas menjadi lebih sedikit. Pada sisi lain, discount rate juga mengekspresikan opportunity cost dari kapital untuk diinvestasikan pada peralatan produksi. Semakin tinggi discount rate, akan menyebabkan biaya produksi menjadi lebih tinggi. Pada akhirnya akan menyebabkan produksi intensif optimal menjadi lebih rendah dari stok yang semakin tinggi. Penurunan level biomas pada discount rate yang lebih tinggi dapat dipahami karena penelitian ini menggunakan parameter real cost yang disesuaikan dengan indeks harga konsumen, sehingga price ratio menjadi relatif konstan. Dengan demikian, yang lebih berpengaruh dalam hal ini adalah fungsi produksi

92 itu sendiri yang menyebabkan penurunan biomas pada tingkat discount rate yang lebih tinggi. Perbandingan produksi optimal dengan produksi aktual dan lestari Gompertz pada perikanan pelagis di Pantai Timur dan Barat Aceh, dengan menggunakan RDR 5.68% dan MDR 15% dapat dilihat pada Gambar 30. 400 400 350 350 300 300 250 250 200 200 150 150 100 10 0 50 50 0 0 Tahun prod opt (5.68%) prod opt (15%) prod aktual prod lestari Tahun prod opt (5.68%) prod opt (15%) prod akt ual prod lestari (a) (b) Gambar 30. Trajektori produksi aktual, lestari, dan optimal (100 ton) dengan nilai δ yang berbeda untuk Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b). Dari Gambar 30 terlihat bahwa pada periode tahun 1980-an hingga tahun 1994, produksi aktual masih di bawah kondisi lestari dan optimal, walaupun pada tahun 1987 terjadi keseimbangan dengan produksi lestari. Namun, mulai tahun 1995 produksi aktual meningkat tajam sehingga melampaui produksi lestari hingga akhir periode pengamatan dan bahkan mulai tahun 2003 produksi telah melampaui produksi optimal. Kalau diperhatikan bahwa trend produksi aktual akan terus meningkat menjauhi kurva produksi lestari dan memotong kurva produksi optimal. Artinya, jika pengelolaan sumber daya ikan pelagis di Pantai Timur Aceh tidak dilakukan dengan hati-hati, maka sangat mungkin akan terjadi biological and economical overfishing. Ketika itu, usaha perikanan pelagis sudah tidak mencapai keuntungan maksimum.

93 Berbeda seperti Pantai Timur, trajektori pelagis di Pantai Barat pada awal periode pengamatan produksi aktual di bawah produksi lestari, namun dua tahun kemudian (tahun 1986) produksi aktual sudah di atas produksi lestari, keadaan ini bertahan hingga 10 tahun (akhir tahun 1996). Setelah itu produksi aktual berfluktuasi, naik-turun, memotong kurva produksi lestari, hingga pada tahun 2002 produksi aktual kembali di atas produksi lestari dan sekaligus memotong kurva produksi optimal. Secara umum trend kurva produksi aktual terus meningkat dari tahun ke tahun, apalagi mulai tahun 2000-an dimana peningkatannya cukup signifikan hingga melewati produksi optimal. Artinya, melihat kepada garis trend produksi aktual yang terus naik, maka sama seperti Pantai Timur, ada kemungkinan terjadi biological and economial everfishing, jika tidak dikelola secara baik. Dilihat dari sisi input, secara umum effort di Pantai Timur lebih tinggi dari pada effort di Pantai Barat. Trajektori effort aktual dan optimal pada discount rate yang berbeda di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 31. 160 100 effort optimal dan aktual (1000 trip) 140 120 100 80 60 40 20 Effort optimal dan aktual (1000 trip) 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0 1984 1987 1990 1993 Tahun 1996 1999 2002 1984 1987 1990 1993 Tahun 1996 1999 2002 effort opt (5.68%) effort opt (15%) effort aktual effort opt (5.68%) effort opt (15%) effort aktual (a) Gambar 31. Trajektori effort aktual dan optimal (1000 trip) dengan nilai δ yang berbeda untuk Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b). (b)

94 Gambar 31 menunjukkan bahwa upaya optimal pada kondisi MDR 15% relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi RDR 5.68% baik untuk Pantai Timur maupun Pantai Barat Aceh. Namun effort optimal di Pantai Timur Aceh relatif lebih tinggi dibandingkan dengan effort di Pantai Barat Aceh dan secara umum effort optimal dari kedua pantai ini relatif masih lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat effort aktual. Berdasarkan Gambar 30 dan 31 dapat dijelaskan bahwa, untuk Pantai Timur Aceh, apabila sumber daya perikanan pelagis dikelola secara optimal, maka produksi harus mengikuti trajektori optimal yaitu sebesar 31.524,11 ton untuk MDR 15% dan 31 450.25 ton untuk RDR 5.68%. Sementara input (effort) harus mengikuti trajektori optimal pada level 138 037.8 trip/tahun untuk MDR 15% dan level 123 894.4 trip/tahun untuk RDR 5.68%. Sedangkan untuk Pantai Barat, apabila sumber daya perikanan pelagis dikelola secara optimal, maka produksi harus mengikuti trajektori optimal yaitu sebesar 28 453.36 ton untuk MDR 15% dan 28 399.48 ton untuk RDR 5.68%. Sementara input (effort) harus mengikuti trajektori optimal pada level 78.751,6 trip/tahun untuk MDR 15% dan level 71 093.36 trip/tahun untuk RDR 5.68%. Berdasarkan trajektori produksi optimal di atas, maka dapat dihitung rente optimal lestari sepanjang periode pengamatan dengan discount rate yang berbeda di daerah penelitian, yaitu seperti terlihat pada Tabel 12 dan 13.

95 Tabel 12. Rente optimal lestari di Pantai Timur Aceh (Rp Milyar) Tahun = 15% = 5.68% Rente Optimal PV Rente Optimal Rente Optimal PV Rente Optimal 1984 69.00 460.01 68.82 1 211.62 1985 75.89 505.92 75.69 1 332.56 1986 82.33 548.87 82.11 1 445.68 1987 109.22 728.16 108.94 1 917.88 1988 112.70 751.33 112.41 1 978.97 1989 145.45 969.69 145.08 2 554.17 1990 174.80 1 165.35 174.35 3 069.57 1991 158.63 1 057.56 158.22 2 785.57 1992 172.78 1 151.87 172.33 3 033.92 1993 185.49 1 236.61 185.01 3 257.20 1994 197.67 1 317.83 197.16 3 471.11 1995 223.67 1 491.11 223.09 3 927.65 1996 289.33 1 928.86 288.57 5 080.39 1997 304.31 2 028.71 303.51 5 343.51 1998 297.83 1 985.52 297.03 5 229.40 1999 284.41 1 896.06 283.60 4 993.04 2000 298.17 1 987.81 297.32 5 234.56 2001 303.29 2 021.95 302.40 5 323.93 2002 312.19 2 081.26 311.25 5 479.77 2003 316.34 2 108.91 315.35 5 552.02 2004 323.46 2 156.40 322.43 5 676.65 Tabel 13. Rente optimal lestari di Pantai Barat Aceh (Rp Milyar) Tahun = 15% = 5.68% Rente Optimal PV Rente Optimal Rente Optimal PV Rente Optimal 1984 63.94 426.24 63.81 1 123.40 1985 69.95 466.32 69.81 1 229.02 1986 75.97 506.49 75.82 1 334.88 1987 99.65 664.32 99.45 1 750.80 1988 100.90 672.64 100.69 1 772.72 1989 128.60 857.34 128.34 2 259.46 1990 151.19 1 007.91 150.87 2 656.18 1991 138.13 920.88 137.84 2 426.80 1992 145.51 970.07 145.19 2 556.23 1993 154.20 1 028.02 153.87 2 708.91 1994 169.65 1 131.03 169.29 2 980.52 1995 186.16 1 241.05 185.75 3 270.32 1996 241.51 1 610.09 240.98 4 242.59 1997 244.75 1 631.67 244.19 4 299.20 1998 247.07 1 647.11 246.51 4 339.92 1999 255.01 1 700.09 254.45 4 479.75 2000 262.53 1 750.19 261.93 4 611.51 2001 272.16 1 814.39 271.53 4 780.52 2002 275.63 1 837.51 274.97 4 841.02 2003 282.39 1 882.63 281.71 4 959.63 2004 294.48 1 963.21 293.76 5 171.89

96 350 350 300 300 Rente (Rp.milyar) 250 200 150 100 250 200 150 100 50 50 - - 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 Rente (Rp.milyar) Tahun Rente Optimal 5.68% Rente Optimal 15% Tahun Rente Optimal 5.68% Rente Optimal 15% (a) Gambar 32. Trajektori rente optimal lestari dengan nilai δ yang berbeda untuk Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b). (b) Dari Tabel 12, 13 dan Gambar 32 terlihat bahwa rente optimal lestari terus mengalami kenaikan sepanjang periode pengamatan. Pola peningkatan rente ini mempunyai pola untuk kedua pantai yang sama di awal periode pengamatan. Namun pada akhir periode pengamatan rente optimal lestari di Pantai Timur lebih tinggi dari Pantai Barat. Rata-rata rente optimal lestari untuk Pantai Timur Rp 210.70 milyar pada RDR 5.68% dan Rp 211.28 milyar pada MDR 15%. Sedangkan rata-rata rente optimum lestari untuk Pantai Barat Rp 183.37 milyar pada RDR 5.68% dan Rp 183.78 milyar pada MDR 15%. Rata-rata rente optimal lestari dari ikan pelagis di Pantai Timur lebih besar dari rata-rata rente di Pantai Barat. Perbandingan rente ekonomi yang diperoleh antara annual sustainable rent dan rente dalam kondisi pengelolaan optimal dapat dilihat pada Tabel 14 dan 15. Dari kedua tabel tersebut terlihat bahwa nilai present value optimal rent (PVOR) RDR 5.68% relatif lebih tinggi dibandingkan dengan present value optimal rent pada MDR 15%.

97 Tahun Tabel 14. Perbedaan present value rente optimal dan lestari di Pantai Timur Aceh (Rp Milyar) PV Rente Lestari 15% PV Rente Optimal 15% PV Rente Lestari 5.68% PV Rente Optimal 5.68% ΔPV rente 15% ΔPV rente 5.68% (1) (2) (3) (4) (5) (3 2) (5 4) 1984 234.73 460.01 619.87 1 211.62 225.28 591.75 1985 257.34 505.92 679.59 1 332.56 248.59 652.97 1986 279.03 548.87 736.87 1 445.68 269.84 708.81 1987 385.67 728.16 1 018.48 1 917.88 342.50 899.40 1988 358.51 751.33 946.78 1 978.97 392.81 1 032.19 1989 449.36 969.69 1 186.69 2 554.17 520.33 1 367.48 1990 514.46 1 165.35 1 358.61 3 069.57 650.89 1 710.96 1991 509.48 1 057.56 1 345.47 2 785.57 548.08 1 440.10 1992 576.74 1 151.87 1 523.09 3 033.92 575.12 1 510.83 1993 582.68 1 236.61 1 538.76 3 257.20 653.93 1 718.44 1994 630.14 1 317.83 1 664.11 3 471.11 687.68 1 807.00 1995 653.00 1 491.11 1 724.48 3 927.65 838.11 2 203.17 1996 1 001.61 1 928.86 2 645.09 5 080.39 927.25 2 435.30 1997 987.46 2 028.71 2 607.74 5 343.51 1 041.24 2 735.77 1998 1 131.61 1 985.52 2 988.41 5 229.40 853.91 2 240.99 1999 1 346.60 1 896.06 3 556.17 4 993.04 549.46 1 436.87 2000 1 438.98 1 987.81 3 800.12 5 234.56 548.84 1 434.45 2001 1 597.97 2 021.95 4 219.99 5 323.93 423.98 1 103.94 2002 1 713.08 2 081.26 4 523.97 5 479.77 368.18 955.80 2003 1 836.06 2 108.91 4 848.75 5 552.02 272.85 703.27 2004 1 934.42 2 156.40 5 108.50 5 676.65 221.98 568.16 Tahun Tabel 15. Perbedaan present value rente optimal dan lestari di Pantai Barat Aceh (Rp Milyar) PV Rente Lestari 15% PV Rente Optimal 15% PV Rente Lestari 5.68% PV Rente Optimal 5.68% ΔPV rente 15% ΔPV rente 5.68% (1) (2) (3) (4) (5) (3 2) (5 4) 1984 159.21 426.24 420.44 1 123.40 267.03 702.96 1985 188.20 466.32 497.02 1 229.02 278.11 732.00 1986 200.55 506.49 529.61 1 334.88 305.94 805.27 1987 332.54 664.32 878.19 1 750.80 331.78 872.61 1988 347.54 672.64 917.81 1 772.72 325.10 854.91 1989 480.47 857.34 1268.84 2 259.46 376.87 990.62 1990 638.83 1 007.91 1687.06 2 656.18 369.08 969.13 1991 602.05 920.88 1589.91 2 426.80 318.83 836.89 1992 767.93 970.07 2027.99 2 556.23 202.14 528.24 1993 826.53 1 028.02 2182.75 2 708.91 201.49 526.16 1994 799.24 1 131.03 2110.67 2 980.52 331.79 869.85 1995 958.93 1 241.05 2532.39 3 270.32 282.12 737.92 1996 1 339.09 1 610.09 3536.32 4 242.59 271.00 706.27 1997 1 456.85 1 631.67 3847.31 4 299.20 174.82 451.88 1998 1 455.09 1 647.11 3842.66 4 339.92 192.02 497.26 1999 1 409.60 1 700.09 3722.54 4 479.75 290.49 757.21 2000 1 549.32 1 750.19 4091.51 4 611.51 200.87 520.00 2001 1 655.78 1 814.39 4372.66 4 780.52 158.61 407.86 2002 1 766.47 1 837.51 4664.96 4 841.02 71.04 176.06 2003 1 846.19 1 882.63 4875.50 4 959.63 36.44 84.14 2004 1 928.19 1 963.21 5092.04 5 171.89 35.03 79.85

98 Dari Tabel 15 dan 16 terlihat bahwa apabila sumber daya ikan pelagis dikelola secara optimal, maka rente ekonomi yang diperoleh lebih besar dibandingkan dengan rente lestari, yang terlihat dari tingginya perbedaan kedua rente tersebut. Hal ini terjadi baik di Pantai Timur maupun Pantai Barat Aceh. Bagaimana, trajektori perbedaan antara rente optimal dan rente lestari di daerah penelitian dengan jelas dapat dilihat pada Gambar 33. 3000 1200 2500 1000 Rente (Rp.milyar) 2000 1500 1000 Rente (Rp.milyar) 800 600 400 500 200 0 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 Tahun Perbedaan rente (15%) Perbedaan rente (5,68) 0 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 Tahun Perbedaan rente (15%) Perbedaan rente (5,68) (a) Gambar 33. Trajektori perbedaan rente optimal dan lestari dengan nilai δ yang berbeda untuk Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b). (b) Dari Gambar 33 terlihat bahwa perbedaan rente optimal dan lestari baik di Pantai Timur maupun Barat cukup tinggi. Rata-rata perbedaan rente per tahun selama periode pengamatan untuk Pantai Timur adalah Rp 531.47 milyar (δ = 15%) dan Rp 1.39 trilyun (δ = 5.68%). Sedangkan untuk Pantai Barat, perbedaan rente adalah Rp 239.09 milyar (δ = 15%) dan Rp 624.15 (δ = 5.68%). Untuk Pantai Timur, perbedaan rente meningkat dari awal periode pengamatan hingga tahun 1997, setelah itu menurun drastis. Sedangkan untuk Pantai Barat polanya terus menurun setelah tahun 1998. Melihat trend perbedaan rente yang terus menurun, maka ada kemungkinan perbedaan rente ini akan nol atau bahkan negatif (memotong sumbu x pada Gambar 33) jika penangkapan sumber daya

ikan pelagis ini tidak dikelola dengan baik melalui penyesuaian input. Secara umum perbedaan rente pada RDR 5.68% relatif lebih tinggi dibandingkan dengan MDR 15%. Perbedaan effort optimal dan aktual serta rente optimal dan lestari di Pantai Timur dan Barat Aceh dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Perbandingan effort optimal dan aktual serta rente optimal dan lestari (δ=15%) Perbedaan (%) Tahun Pantai Timur Pantai Barat Effort Rente Effort Rente 1984 279.42 95.46 483.78 167.20 1985 280.95 96.08 432.46 147.28 1986 281.22 96.19 444.77 152.05 1987 261.71 88.31 308.13 99.37 1988 312.84 109.02 291.85 93.15 1989 328.10 115.23 252.15 78.07 1990 354.32 125.93 197.07 57.44 1991 307.95 107.03 184.05 52.64 1992 288.64 99.20 109.41 26.05 1993 319.37 111.68 103.66 24.11 1994 311.77 108.59 152.65 41.21 1995 358.79 127.76 118.44 29.14 1996 271.03 92.07 91.17 19.97 1997 302.72 104.91 64.76 11.75 1998 228.55 74.99 68.78 12.94 1999 140.42 40.40 92.30 20.34 2000 133.43 37.75 68.01 12.71 2001 102.24 26.16 56.33 9.33 2002 88.16 21.13 34.31 3.77 2003 68.77 14.50 23.93 1.73 2004 58.25 11.12 23.00 1.57 Rata-rata 241.84 81.12 171.48 50.56 Dari Tabel 16 terlihat bahwa perbedaan antara effort optimal dan aktual, baik di Pantai Timur maupun Pantai Barat Aceh, masih positif. Artinya effort aktual masih lebih rendah dari effort optimal. Namun, terlihat perbedaan effort tersebut selama periode pengamatan, semakin lama semakin kecil (menurun drastis) seperti terlihat pada Gambar 34. Artinya effort aktual sudah semakin dekat dengan effort optimal. Memang dari hasil perhitungan, masih ada ruang 99

100 untuk meningkatkan effort, namun melihat kepada trend perbedaan effort yang semakin menurun, maka ada kemungkinan suatu saat effort aktual akan melebihi effort optimal. Oleh karena itu, ke depan perlu pengendalian input, agar keuntungan ekonomi dapat ditingkatkan dan tidak terjadi economical over fishing. 400 600 Perbedaan Effort (%) 350 300 250 200 150 100 50 Perbedaan Effort (%) 500 400 300 200 100 0 0 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 Tahun Tahun (a) (b) Gambar 34. Trajektori perbedaan effort optimal dan aktual di Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b) Perbedaan Rente (%) 140 120 100 80 60 40 20 0 Perbedaan Rente (%) 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 Tahun Tahun (a) (b) Gambar 35. Trajektori perbedaan rente optimal dan lestari di Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b). Seperti disebutkan di atas bahwa jika sumber daya ikan pelagis dikelola secara optimal maka rente ekonomi yang diperoleh lebih besar daripada annual

101 sustainable rent. Perbedaan rente optimal dan lestari di lokasi penelitian seperti pada Tabel 16 dan Gambar 35. Secara keseluruhan, nilai perbedaan rente baik di Pantai Timur maupun Barat Aceh bersifat positif, artinya rente masih dapat ditingkatkan, namun perlu hati-hati karena terlihat bahwa trend perbedaan rente tersebut berpola semakin menurun. Oleh karena itu, ke depan perlu pengendalian input dengan baik, supaya nilai ekonomi dari sumber daya pelagis di daerah penelitian dapat ditingkatkan. 4.9. Analisis Instrumen Kebijakan (Efisiensi) Instrumen kebijakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis efisiensi, yang dilakukan dengan menggunakan teknik Data Envelopment Analysis (DEA) non konvensional dengan pendekatan DEA dari Haynes dan Dinc (1999), diacu dalam Anna (2003). Teknik ini memungkinkan dilakukan analisis efisiensi secara intertemporal. Model yang digunakan adalah seperti yang telah dijelaskan pada Bab 3, yaitu dengan menggunakan persamaan (3.65). Analisis unit fisik dan moneter diacu pada Fauzi dan Anna (2002), yang menjadi input adalah unit effort dan yang menjadi output adalah produksi aktual dan lestari serta yang menjadi DMU (Decision Unit Making) adalah tahun dan lokasi penelitian (Pantai Timur dan Pantai Barat). Hasil analisis yang dilakukan dengan menggunakan software DEA-Solver disajikan pada Tabel 17 dan Gambar 36 dan 37.

102 Tabel 17. Skor efisiensi unit fisik DEA Pantai Timur dan Barat Aceh. DMU Skor DEA Pantai Timur Pantai Barat 1984 0.954 1.000 1985 0.955 0.987 1986 0.955 1.000 1987 0.941 0.992 1988 0.975 1.000 1989 0.984 0.958 1990 0.998 0.887 1991 0.972 0.841 1992 0.960 0.736 1993 0.979 0.725 1994 0.975 0.809 1995 1.000 0.744 1996 0.949 0.695 1997 1.000 0.644 1998 0.933 0.653 1999 0.824 0.698 2000 0.812 0.646 2001 0.752 0.618 2002 0.725 0.558 2003 0.682 0.537 2004 0.660 0.570 DMU 2004 2002 2000 1998 1996 DMU 1985 1992 1994 1993 1990 1995 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 Efficiency Gambar 36. Skor efisiensi Decision Making Unit untuk Pantai Timur Aceh.

103 DMU 2003 2004 1997 1998 1999 DMU 1992 1994 1990 1985 1988 1984 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 Efficiency Gambar 37. Skor efisiensi Decision Making Unit untuk Pantai Barat Aceh. Dari Tabel 17 dan Gambar 36 terlihat bahwa untuk Pantai Timur, efisiensi tertinggi terjadi pada tahun 1995 dan 1997 yaitu mencapai 100% dan efisiensi terendah terjadi pada tahun 2004 yaitu 66%. Namun, dari awal periode pengamatan (tahun 1984) hingga tahun 1998 mempunyai nilai efisiensi cukup tinggi yaitu di atas 90%, setelah itu tingkat efisiensi menurun tajam (Gambar 36). Hal ini sesuai dengan analisis sebelumnya, baik dengan analisis sustainable yield effort dengan copes eye ball method atau analisis laju degradasi. Semakin tinggi laju degradasi, maka semakin tidak efisien pengelolaan sumber daya perikanan. Untuk Pantai Barat, tingkat efisiensi tertinggi terjadi pada tahun 1984, 1986, dan 1988 yaitu mencapai 100% dan terendah terjadi pada tahun 2003, yaitu 53,7%. Namun mulai awal periode pengamatan, tahun 1984, hingga tahun 1989 tingkat efisiensi relatif tinggi, yaitu lebih dari 90%. Setelah tahun 1989, tingkat efisiensi mulai menurun hingga mencapai 57% pada tahun 2004 (Gambar 37). Secara umum, jika tahun pengamatan sebagai DMU, terlihat bahwa tingkat efisiensi lebih tinggi terjadi di Pantai Timur Aceh dibandingkan dengan efisiensi di Pantai Barat. Hal ini sejalan dengan laju degradasi dan depresiasi yang lebih tinggi terjadi di Pantai Barat Aceh. Perbandingan skor efisiensi pada Pantai Timur dan Pantai Barat Aceh dapat dilihat pada Gambar 38.

104 1.0 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 Skor Efisiensi DEA Tahun Pantai Timur Pantai Barat Gambar 38. Trajektori skor efisiensi DEA Pantai Timur dan Barat Aceh. Dari Gambar 38. terlihat bahwa tingkat efisiensi pengelolaan perikanan pelagis di Pantai Timur relatif stabil mulai dari awal tahun pengamatan hingga tahun 1998, setelah itu mulai menurun, sedangkan di Pantai Barat, tingkat efisiensi relatif tidak stabil, kecuali beberapa tahun dari awal periode pengamatan hingga tahun 1989, setelah itu menurun tajam. Secara umum, dapat dikatakan bahwa telah terjadi pola yang semakin tidak efisien pada pengelolaan perikanan baik di Pantai Timur maupun Barat. Hal ini disebabkan telah terjadi peningkatan jumlah kapal/armada (fleet beroperasi) yang cukup tinggi selama periode pengamatan. Walaupun peningkatan input diikuti oleh peningkatan output, namun penambahan output ini masih di bawah proporsi penambahan input, sehingga tingkat efisiensinya rendah. Oleh karena itu, ke depan perlu dilakukan penyesuaian (adjust) effort agar inefficiency tidak semakin tinggi. Untuk mengetahui potensi perbaikan efisien dapat dilihat pada Tabel 18.

105 Tabel 18. Potensi perbaikan efisiensi dari Decision Making Unit (DMU). DMU Perbedaan Effort Perbedaan Produksi Perbedaan Produksi Aktual Lestari Pantai Timur Pantai Barat Pantai Timur Pantai Barat Pantai Timur Pantai Barat 1984-0.046 0.000 37.71% 0.00% 0.00% 0.00% 1985-0.045-0.013 31.76% 0.00% 0.00% 0.00% 1986-0.045 0.000 18.79% 0.00% 0.00% 0.00% 1987-0.059-0.008 12.11% 0.00% 0.00% 0.00% 1988-0.025 0.000 9.40% 0.00% 0.00% 0.00% 1989-0.016-0.042 28.47% 0.00% 0.00% 0.00% 1990-0.002-0.113 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 1991-0.028-0.159 9.40% 0.00% 0.00% 0.00% 1992-0.040-0.264 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 1993-0.021-0.275 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 1994-0.025-0.191 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 1995 0.000-0.256 0.00% 1.20% 0.00% 0.00% 1996-0.051-0.305 0.00% 9.56% 0.00% 0.00% 1997 0.000-0.356 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 1998-0.067-0.347 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 1999-0.176-0.302 0.00% 4.70% 0.00% 0.00% 2000-0.188-0.355 0.00% 9.33% 0.00% 0.00% 2001-0.248-0.382 1.86% 0.00% 0.00% 0.00% 2002-0.275-0.442 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 2003-0.318-0.463 26.13% 0.00% 0.00% 0.00% 2004-0.340-0.430 0.00% 0.00% 0.00% 1.47% Tabel 18 menunjukkan bahwa untuk perbaikan efisiensi, tidak ada peluang lagi untuk menambah effort, justru yang perlu dilakukan adalah mengurangi effort rata-rata 22.34% untuk Pantai Timur dan 9.59% untuk Pantai Barat. Dari Tabel 18 juga terlihat bahwa pengurangan effort semakin akhir periode pengamatan, semakin tinggi. Disisi lain, untuk meningkatkan efisiensi output di Pantai Timur maka dapat dilakukan penambahan produksi aktual pada beberapa tahun selama periode pengamatan dengan kisaran sebesar 1.86% - 37.71%. Penambahan produksi aktual ini sebagian besar hanya dapat dilakukan diawal periode pengamatan, yaitu tahun 1984 1989, sedangkan akhir periode pengamatan tidak ada peluang untuk menambah output, kecuali tahun 2001 dan 2003. Sedangkan untuk Pantai Barat, hanya empat tahun (1995, 1996, 1999, dan 2000) yang boleh dilakukan penambahan produksi dengan kisaran 1.20% - 9.56%. Penambahan output ini relatif sangat kecil dibandingkan dengan output di Pantai Timur. Untuk produksi lestari, baik di Pantai Timur maupun Barat, tidak ada peluang lagi untuk

106 menambah produksi (zero growth). Secara grafik efisiensi effort dan produksi di Pantai Timur dan Barat Aceh dapat dilihat pada Gambar 39. Tahun 0.00% 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004-5.00% Potensi Perbaikan Effort -10.00% -15.00% -20.00% -25.00% -30.00% -35.00% -40.00% -45.00% -50.00% Pantai Timur Pantai Barat (a) 40.00% Potensi Perbaikan Produksi Aktual 35.00% 30.00% 25.00% 20.00% 15.00% 10.00% 5.00% 0.00% 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 Tahun Pantai Timur Pantai Barat (b) Gambar 39. Potensi perbaikan effort (a) produksi aktual (b) di Pantai Timur dan Barat Aceh.

107 Jika yang dijadikan DMU adalah lokasi penelitian, yaitu Pantai Timur dan Barat Aceh, maka untuk mencapai efisiensi di Pantai Timur perlu dikurangi effort 25.46% dan sebaliknya dapat ditingkatkan produksi 0.52%. Sedangkan di Pantai Barat tidak ada ruang untuk menambah baik output maupun input. Jika dihitung lebih jauh, pengurangan effort 25.46% dari 45 219.47 trip di Pantai Timur adalah 11 512.88 trip. Kalau angka 11 512.88 trip dikali dengan biaya operasional per trip Rp 748 327.99, maka menghasilkan opportunity cost Rp 8.62 milyar atau 2.94% dari sektor-sektor PDRB sektor kelautan dan perikanan Provinsi NAD. Dengan diketahui skor (nilai) efisiensi tahunan melalui perhitungan DEA, maka dapat dihitung kapasitas perikanan di Provinsi NAD, seperti terlihat pada Tabel 19, Lampiran 40 dan 41. Tahun Tabel 19. Kapasitas perikanan tangkap di Pantai Timur dan Pantai Barat Provinsi NAD (Rp juta) Effort Aktual Effort Efisien Pantai Timur Over Kapasitas Opp cost (Rp Juta) Effort Aktual Effort Efisien Pantai Barat Over Kapasitas Opp cost (Rp Juta) 1984 36 381.38 34 708.94 1 672.44 387.87 13 489.98 13 489.98 0.00 0.00 1985 36 235.03 34 607.17 1 627.86 415.01 14 790.14 14 595.00 195.13 50.31 1986 36 209.48 34 589.37 1 620.11 448.06 14 456.01 14 456.01 0.00 0.00 1987 38 162.97 35 926.84 2 236.13 825.85 19 295.64 19 137.70 157.94 58.99 1988 33 436.07 32 609.32 826.76 310.10 20 097.41 20 097.41 0.00 0.00 1989 32 243.98 31 728.25 515.73 248.67 22 362.90 21 423.38 939.52 458.11 1990 30 383.10 30 383.10 0.00 0.00 26 509.15 23 512.92 2 996.23 1 744.97 1991 33 836.81 32 901.41 935.40 494.50 27 724.70 23 310.01 4 414.69 2 360.11 1992 35 518.32 34 104.93 1 413.39 818.41 37 606.88 27 674.62 9 932.26 5 815.90 1993 32 915.69 32 226.95 688.74 424.45 38 668.53 28 035.49 10 633.04 6 626.51 1994 33 522.88 32 672.76 850.12 559.44 31 170.26 25 232.15 5 938.11 3 951.66 1995 30 087.56 30 087.56 0.00 0.00 36 052.27 26 820.06 9 232.21 6 873.06 1996 37 204.42 35 306.59 1 897.83 1 850.67 41 194.26 28 647.36 12 546.90 12 372.74 1997 34 276.03 34 276.03 0.00 0.00 47 797.65 30 790.70 17 006.95 17 466.63 1998 42 014.51 39 188.00 2 826.51 2 883.99 46 658.77 30 484.43 16 174.33 16 688.91 1999 57 415.98 47 287.33 10 128.65 10 418.74 40 951.73 28 569.40 12 382.32 12 880.24 2000 59 134.66 48 042.58 11 092.08 12 036.71 46 873.19 30 257.69 16 615.50 18 233.35 2001 68 253.02 51 308.34 16 944.68 19 345.48 50 375.21 31 140.82 19 234.39 22 206.63 2002 73 360.11 53 215.71 20 144.40 24 137.15 58 633.40 32 728.05 25 905.35 31 389.12 2003 81 790.86 55 812.15 25 978.71 32 596.23 63 546.33 34 151.33 29 395.00 37 297.62 2004 87 226.06 57 575.46 29 650.59 38 879.34 64 024.20 36 521.55 27 502.65 36 468.52 Rata-rata 45 219.47 38 978.99 6 240.48 7 003.84 36 298.98 25 765.53 10 533.45 11 092.54 Tabel 19 menunjukkan bahwa telah terjadi kelebihan kapasitas selama periode pengamatan di Provinsi NAD, kecuali tahun 1990, 1995, dan 1997 untuk

108 Pantai Timur dan tahun 1984, 1986, dan 1998 untuk Pantai Barat dimana kelebihan kapasitas sama dengan nol. Kelebihan kapasitas tersebut semakin tinggi pada akhir-akhir periode pengamatan. Hal ini menggambarkan bahwa tingkat eksploitasi sumber daya ikan di Provinsi NAD semakin intensif. Tingginya tingkat eksploitasi ini disebabkan (1) perikanan tangkap merupakan alternatif pekerjaan akhir bagi masyarakat di Provinsi NAD, (2) untuk bekerja di sektor ini relatif mudah dan bisa kapan saja (mudah keluar masuk pasar) karena sifatnya yang open access, (3) banyaknya shifting tenaga kerja dari perikanan budidaya (tambak) ke perikanan tangkap mulai pertengahan tahun 90-an karena ketika itu budidaya tambak di Provinsi NAD kurang diminati akibat wabah virus, seperti MBV dan WSV (White Spot Virus), produksi tambak menurun drastis bahkan di beberapa tempat mengalami gagal panen, (4) faktor keamanan di lahan atas yang tidak kondusif karena konflik antar GAM dan RI menyebabkan masyarakat lebih aman mencari nafkah di laut sebagai nelayan penuh atau sambilan. Akibat kelebihan kapasitas, maka telah terjadi opportunity cost yang cukup tinggi, khususnya pada akhir-akhir periode pengamatan di Provinsi NAD. Rata-rata nilai opportunity cost tersebut, berkisar antara Rp 7 milyar - Rp 11 milyar selama periode pengamatan, seharusnya bisa digunakan untuk kegiatan produktif lainnya yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan. Jika dikonversi kelebihan kapasitas tersebut kedalam unit penangkapan ikan (armada), maka dapat diperoleh jumlah unit armada yang efisien seperti terlihat pada Tabel 20.

109 Tabel 20. Efisiensi armada di Provinsi NAD Tahun Aktual Armada Efisien Armada Kelebihan Kapal 1984 8 755 8 554 201 1985 9 008 8 746 262 1986 9 248 9 041 207 1987 11 337 10 958 379 1988 12 099 11 949 150 1989 14 590 14 167 423 1990 14 095 13 298 797 1991 13 704 12 424 1 280 1992 16 516 14 006 2 510 1993 16 994 14 480 2 514 1994 18 025 16 080 1 945 1995 14 723 12 838 1 885 1996 17 303 14 227 3 076 1997 13 687 11 252 2 435 1998 14 179 11 244 2 935 1999 14 581 11 091 3 490 2000 11 908 8 681 3 227 2001 11 288 7 732 3 556 2002 11 288 7 245 4 043 2003 17 413 10 620 6 793 2004 15 576 9 583 5 993 Dari Tabel 20 terlihat bahwa telah terjadi kelebihan armada selama periode pengamatan di Provinsi NAD, dan tingkat kelebihan armada tersebut menunjukkan pola (trend) yang terus meningkat dari tahun ke tahun, hal ini berkaitan dengan banyaknya shifting tenaga kerja dan investasi dari bidang tambak dan pertanian upland ke bidang perikanan tangkap karena berbagai alasan, antara lain usaha tambak sudah tidak ekonomis karena wabah virus udang dan juga faktor keamanan yang tidak kondusif akibat konflik GAM dan RI. Perbedaan jumlah armada aktual dan efisien tersebut semakin nyata setelah pertengahan tahun 90-an, karena ketika itu sedang mewabah virus udang di Aceh. Perbedaan tertinggi terjadi pada tahun 2003 dan terendah tahun 1998, sedangkan tahun 2004 kelebihan armada mencapai 5 993 unit. Secara grafik trend perbedaan armada aktual dan efisien di Provinsi NAD dapat dilihat pada Gambar 40.

110 20000 18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 Armada (unit) Tahun Aktual Armada Efisien Armada Gambar 40. Trajektori jumlah aktual armada dan efisiensi armada di Provinsi NAD. Jumlah armada di Provinsi NAD sebelum tsunami (Tahun 2004) adalah 15 576 unit (DKP 2006). Jumlah kapal/boat yang rusak dan hilang akibat tsunami adalah 11 124 unit yang terdiri dari 2 156 unit rusak dan 8 968 unit hilang (FAO 2005a). Menurut The WorldFish (2005) jumlah kapal/boat yang hilang akibat tsunami di Provinsi NAD adalah 9 636 unit (Tabel 21). Banyak unit kapal yang telah diberikan kepada nelayan ternyata belum mampu meningkatkan produksi perikanan tangkap di Provinsi NAD. Gambar 41 menunjukkan bahwa jumlah armada setelah tsunami (Tahun 2005) adalah 15 703 unit sudah lebih tinggi dari jumlah armada sebelum tsunami (Tahun 2004) sebanyak 15 576 unit. Namun produksi Tahun 2005 (81 162.70 ton) jauh lebih rendah dibandingkan dengan produksi Tahun 2004, yaitu 102 721.40 ton.

111 Tabel 21. Performance armada di Provinsi NAD. Kondisi Armada Jumlah Armada (unit) Kode Sumber Data Jumlah armada sebelum tsunami 15 576 a DKP (2005); DKP (2006) Kapal hilang/rusak FAO 11 124 b FAO (2005a) The WorldFish 9 639 c The WorldFish (2005) Blue Print Aceh 9 563 d Medrilzam, et al. (2005) Sisa armada setelah tsunami FAO 4 452 e = a b The WorldFish 5 937 f = a c Blue Print Aceh 6 013 g = a d Jumlah armada yang efisien 9 583 h Hasil analisis Jumlah armada yang perlu digantikan FAO 5 131 = h e The WorldFish 3 646 = h f Blue Print Aceh 3 570 = h g Target BRR 7 000 BRR (2006) Realisasi 4 Juni 2006 6 160 BRR (2006) Jumlah kapal tahun 2005 15 703 DKP (2006) Jlh armada (ribu unit) 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 11.908 11.288 11.288 17.413 15.576 15.703 160 140 120 100 80 60 40 20 0 Produksi (ribu ton) 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun Jumlah armada Produksi Gambar 41. Perkembangan jumlah armada dan produksi perikanan tangkap periode tahun 2000 2005 di Provinsi NAD. Hasil perhitungan (Tabel 21) menunjukkan bahwa dalam konteks efisiensi dan kelestarian sumber daya perikanan, jumlah armada baru untuk menggantikan armada yang rusak/hilang karena tsunami di Provinsi NAD adalah antara 3 570 5 131 unit. Namun BRR merencanakan akan menggantikan armada baru

112 sebanyak 7 000 unit dan hingga 4 Juni 2006 telah didistribusikan sebanyak 6 160 unit (BRR 2006). Jumlah tersebut dinilai sudah berlebihan, hal ini terbukti (dari hasil survey) di beberapa lokasi telah terjadi kelebihan armada (over funded) dibandingkan dengan jumlah nelayan dan bahkan ada nelayan yang mendapat armada baru lebih dari satu unit. Data statistik menunjukkan bahwa jumlah armada di Provinsi NAD Tahun 2005 saja (15 703 unit) sudah melebihi jumlah armada sebelum tsunami yang berjumlah 15 576 unit (Gambar 41). Diperkirakan Tahun 2006 dan 2007, jumlah armada tersebut terus meningkat karena hingga kini masih terus disupply oleh berbagai lembaga (NGOs). Namun harus diakui bahwa bantuan armada baru tersebut belum terdistribusi dengan baik. Pernyataan di atas, telah disinyalir oleh Mangkusubroto (2006) bahwa komitmen dana sebesar US$ 4.6 milyar hendaknya tidak membuat banyak kalangan segera berbesar hati. Penelusuran lebih jauh dari detail proyek kegiatan yang diajukan menunjukkan masih besarnya disparitas diantara beberapa sektor pembangunan. Akibatnya, terdapat sejumlah sektor yang bisa dikategorikan telah memperoleh surplus pendanaan alias over-funded, sementara yang lainnya malah kurang. Untuk mengatasi kesenjangan inilah BRR NAD-Nias menyusun serangkaian strategi implementasi pelaksanaan kegiatan. Di antaranya mencakup tindakan realokasi anggaran hingga upaya koordinasi dengan LSM, negara donor, dan pemangku kepentingan lainnya. Ikhtiar ini perlu terus bergulir agar komitmen pendanaan efektif yang telah diraih dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan kebutuhan warga Aceh dan Nias. Bagi nelayan, kemungkinan terburuk dari upaya membangun kembali sektor perikanan adalah mungkin akan menyebabkan masyarakat pada arah penurunan kondisi perekonomian mereka secara nyata. Alasan pesimisme ini didasarkan pada kenyataan bahwa hampir sumber daya perikanan pantai di Indonesia telah mengalami over-fishing dan atau stok ikan telah menipis. Kendati biomas sumber daya pelagis di Aceh masih cukup tinggi, namun pada beberapa tahun selama periode pengamatan telah terjadi degradasi sekitar 26% - 27%. Dengan memperhatikan kemungkinan kondisi telah merosotnya stok ikan di wilayah yang terkena tsunami, hal yang pasti adalah bahwa kondisi-kondisi ini tidak bisa dipulihkan sama seperti kondisi kapasitas penangkapan sebelum

113 tsunami. Namun resiko yang akan terjadi sangat nyata bila upaya rehabilitasi dikembangkan tanpa mempertimbangkan kompleksitas permasalahan yang ada dan didominasi oleh pilihan-pilihan yang mudah dan tidak bijaksana dengan hanya menggantikan perahu dan alat tangkap yang hilang. Hal itu merupakan suatu penyederhanaan yang berbahaya. Hal-hal berikut sangat mungkin terjadi jika rehabilitasi tidak ditangani dengan baik, yaitu : 1. Jumlah kapal/boat/perahu dan alat tangkap baru sangat mungkin akan lebih tinggi dibanding dengan yang digantikannya, jika bantuan yang diberikan tidak terkoordinasi dengan baik; 2. Ketika pilihan sumber mata pencaharian lain tidak tersedia, pendatang baru pada sektor perikanan diperkirakan akan masuk. Masuknya pendatang baru dapat difasilitasi dengan penyediaan perahu dan alat tangkap baru atau yang sejenisnya yang boleh jadi mengarah pada penerusan praktek penangkapan ikan yang bersifat merusak; 3. Meluasnya kerusakan pada habitat pantai seperti bakau (mangroves) dan membiarkan penebangan hutan dengan dalih rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh akan berpengaruh terhadap kelestarian sumber daya perikanan; 4. Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa kelanjutan dari tipe pengelolaan perikanan bersifat open-access bagi masyarakat pantai, akan mendorong ke arah suatu kemunduran kualitas sumber daya dan sulit dipulihkan. Untuk mengatasi hal-hal di atas, koordinasi dan prioritas penggunaan dana dari donor harus dikaji kembali dan dengan jelas ditargetkan untuk menjamin masa depan jangka panjang masyarakat. Satu hal yang harus diperhatikan adalah, visi jangka panjang harus menjadi acuan bagi upaya rehabilitasi jangka pendek. Pemberian boat/kapal dalam jumlah besar kepada nelayan tidak menjamin kehidupan yang lebih baik bagi mereka, malah dalam jangka panjang dapat menimbulkan efek negatif terhadap income para nelayan dan kelestarian sumber daya. The WorldFish (2005) menyatakan bahwa membangun perahu tidak sama dengan membangun mata pencaharian. Ada beberapa alasan kenapa peningkatan armada setelah tsunami belum mampu meningkatkan produksi perikanan tangkap, antara lain adalah :

114 a. Sebagian besar kapal/boat yang telah didistribusikan kepada nelayan berukuran kecil, panjang 5 7 meter dan < 5 GT. Kapal-kapal tersebut hanya menangkap ikan di sekitar perairan pesisir, yang diduga telah mengalami penurunan (depletion) sumber daya ikan. b. Banyaknya nelayan murni yang meninggal/hilang akibat tsunami. Sedangkan nelayan yang ada sekarang, sebagian merupakan nelayan sambilan dan nelayan baru yang sebelumnya bekerja sebagai pembudidaya tambak, petani atau profesi lainnya. Para nelayan baru ini belum mempunyai keahlian yang memadai untuk menangkap ikan. Penyebab utama dari banyaknya nelayan baru di pesisir Aceh karena banyaknya bantuan (kapal dan alat tangkap) di sektor perikanan, sehingga sektor ini menjadi serbuan para pencari kerja yang telah hilang pekerjaan akibat tsunami. Menurut The WorldFish (2006), di beberapa daerah pesisir di Pantai Barat Aceh telah terjadi peningkatan jumlah nelayan hingga 30 persen. c. Terjadinya lag pada sumber daya perikanan, artinya peningkatan effort pada tahun tertentu tidak langsung meningkatkan produksi pada tahun tersebut, namun peningkatan produksi akan terlihat pada tahun berikutnya. 4.10. Kondisi Perikanan Tangkap Setelah Tsunami 4.10.1 Kerusakan Fisik dan Sumber daya Manusia Dalam hitungan menit, tsunami 26 Desember 2004 lalu telah menyapu 800 km garis pantai (coastline) Aceh, setara dengan panjang pantai Barat Selatan Inggris, lebih dari 169 000 orang meninggal/hilang, 600 000 orang kehilangan tempat tinggal dan lebih dari 30 000 keluarga kehilangan lahan mereka (Oxfam 2006). Baik secara fisik maupun ekonomi, sektor perikanan merupakan sektor yang paling besar dampaknya. Ribuan nelayan hilang, begitu juga ribuan rumah, tambak, dan kapal nelayan berikut alat tangkapnya hilang dan rusak. Akibatnya, perekonomian nelayan lumpuh total dan baru beberapa bulan setelah tsunami, setelah mendapat bantuan kapal dan peralatan dari berbagai pihak terutama NGOs luar, baru aktivitas melaut mulai berdeyut kembali. Namun,

115 dampak tsunami tersebut berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Secara umum, kerusakan di Pantai Barat lebih tinggi dibandingkan dengan Pantai Timur. Menurut Satgas PASU - DKP, Biro Perencanaan dan KLN, dan YLLI sampai dengan tanggal 17 Maret 2005, jumlah nelayan yang meninggal adalah 17 552 orang atau 22.8% dari total jumlah nelayan di Aceh, yaitu 76 970 orang (baik nelayan tetap maupun sambilan). Disamping nelayan, sektor perikanan juga telah kehilangan lembaga atau stakeholder yang memegang peran penting dalam aktivitas sektor ini, seperti Toke Bangku (lembaga pemasaran atau brokers) dan para Panglima Laot, namun hingga saat ini jumlah mereka belum terdata. Jumlah kapal yang hilang dan rusak akibat tsunami Tahun 2004 lalu dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Jumlah kapal yang hilang dan rusak di Pantai Barat dan Timur Aceh akibat tsunami 26 Desember 2004. Jenis Kapal Pantai Barat Pantai Timur Jumlah Hilang Rusak Hilang Rusak Kapal Motor (In boat) 1 408 628 1 436 446 3 918 Motor Tempel (Out boat) 794 209 844 461 2 308 Tanpa Motor (Without Engine) 3 436 412 1 050 0 4 898 Jumlah 5 638 1 249 3 330 907 11 124 Sumber : Damage and need assessment, FAO (2005a) Menurut FOA (2005a), jumlah kapal yang ada di Aceh sebelum tsunami (Tahun 2003) adalah 20 504 unit, yang terdiri dari 8 185 unit kapal motor, 3 841 unit motor tempel, dan 8 478 unit perahu tanpa motor. Berdasarkan Tabel 22, jumlah kapal yang hilang dari kedua pantai (Barat dan Timur) adalah 8 968 unit atau 43.74% dan yang rusak sebanyak 2 156 unit atau 10.52% dari total kapal di Aceh. Jika keduanya disatukan, maka jumlah kapal yang hilang dan rusak di Aceh adalah 11 124 unit atau 54.25% dari total kapal yang ada di Aceh sebelum tsunami. Disamping itu, telah terjadi kerusakan 38 unit Pusat Pendaratan Ikan (PPI) yang terdiri dari 22 unit terletak di Pantai Barat dan 16 di Pantai Timur (Medrilzam et. al. 2005). Menurut The WorldFish (2005), jumlah nelayan dan

116 kapal/boat yang hilang dan karena tsunami dapat dilihat pada Tabel 23 dan Lampiran 39. Tabel 23. Dampak tsunami terhadap nelayan dan kapal/boat di Provinsi NAD. Sumber daya Pantai Timur Pantai Barat Jumlah Nelayan yang 7 998 1 085 9 083 hilang Kapal/boat yang hilang 7 065 2 571 9 636 Sumber : The WorldFish 2005, http://www.worldfishcenter.org/pdf/consrn1- indonesian.pdf, dikunjungi pada 26/9/2006. 4.10.2 Perkembangan Produksi Seperti diketahui bahwa gempa bumi dan gelombang tsunami pada 26 Desember 2004 lalu telah merusak sebagian besar sarana dan parasarana perikanan di Provinsi NAD. Diperkirakan jumlah kapal yang hilang sebanyak 8 968 unit (43.74%) dan yang rusak 2 156 unit atau 10.52% dari total kapal di Aceh (FAO 2005a), jumlah Pusat Pendaratan Ikan (PPI) yang rusak 38 unit (Medrilzam et. al. 2005). Jumlah nelayan yang tewas diperkirakan sebanyak 17 552 orang atau 22.8% dari total jumlah nelayan di Aceh, yaitu 76 970 orang. Disamping itu, bencana tsunami tersebut juga telah menewaskan ribuan orang Toke Bangku (lembaga pemasaran atau brokers) dan Panglima Laot (DKP 2005). Akibatnya, aktivitas perikanan tangkap di hampir seluruh Aceh, kecuali sebagian Aceh Timur, Aceh Tamiang, Sabang, dan Aceh Selatan, dalam 6 bulan setelah tsunami nyaris terhenti. Hal ini terbukti dari rendahnya produksi ikan pada kwartal I dan II Tahun 2005, yaitu hanya 16.4% dan 64.8% dari jumlah produksi pada kwartal yang sama pada sebelum tsunami, Tahun 2004 (DKP 2006). Secara umum, dampak tsunami pada 26 Desember 2004 lalu, telah terjadi penurunan effort perikanan tangkap di Provinsi NAD sebesar 33.8% dari rata-rata effort aktual selama periode pengamatan atau 64.2% dari effort aktual setahun setelah tsunami (Tahun 2004). Sebagai konsekuensi dari penurunan effort ini, maka telah terjadi penurunan produksi 41.2% dari rata-rata produksi aktual selama periode pengamatan atau 63.4% dari produksi aktual setahun sebelum tsunami

117 (Tahun 2004). Penurunan effort dan produksi perikanan tangkap ini disebabkan karena banyaknya kapal/boat, alat tangkap, dan sarana lainnya yang rusak dan hilang serta banyaknya nelayan yang tewas atau hilang akibat hempasan gelombang tsunami. Perbandingan produksi perikanan tangkap Provinsi NAD sebelum dan setelah tsunami seperti terlihat pada Gambar 42. 160000 140000 134076.4 Produksi (ton) 120000 100000 80000 60000 102721.4 81162.7 40000 20000 0 2003 2004 2005 Tahun Sumber : DKP Provinsi NAD (2006) Gambar 42. Perbandingan produksi perikanan tangkap sebelum dan setelah tsunami di Provinsi NAD. Turunnya produksi perikanan tangkap setelah tsunami, yang ditandai dengan anjloknya produksi pada kwartal I dan II Tahun 2005, mulai teratasi setelah para nelayan mendapatkan bantuan kapal/boat, alat tangkap, dan sarana/prasarana lainnya baik dari pemerintah maupun para NGOs dan lembaga donor lainnya, baik lokal, nasional, maupun internasional yang berdatangan ke Aceh sejak masa darurat kemanusiaan ( 0 6 bulan setelah tsunami). Dari 8 968 unit kapal yang hilang dan 2 156 unit kapal yang rusak di Provinsi NAD, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh Nias merencanakan untuk mengganti kapal baru sebanyak 7 000 unit. Dari jumlah tersebut, hingga April 2006 baru terealisasi sebanyak 6 160 unit (BRR 2006). Untuk memenuhi target 7 000 unit kapal, maka ke depan BRR akan masih meng-supply ratusan unit kapal/boat lagi.

118 Banyak jumlah kapal/boat yang telah didistribusi sejak beberapa bulan setelah tsunami, telah menggerakkan kembali perekonomian nelayan Aceh. Hal ini terbukti dari mulai stabilnya kembali tingkat produksi ikan sejak kwartal III tahun 2005 dan diperkirakan Tahun 2006, tingkat produksi ikan di Provinsi NAD telah kembali normal. Dari Gambar 42 terlihat bahwa penurunan produksi dari Tahun 2003 (sebelum tsunami) ke Tahun 2004 mencapai -31 355 ton atau 23.4%. Hal ini disebabkan sebagian produksi pada kwartal IV tidak ada. Sedangkan jika dibandingkan dengan produksi Tahun 2005 (setelah tsunami), maka produksi menurun drastis mencapai -52.913,7 ton atau 39.47%. Penurunan produksi ini karena pada kwartal I Tahun 2005 nyaris tidak ada produksi ikan, kecuali beberapa kabupaten/kota yang tidak terkena gelombang tsunami, seperti sebagian Aceh Selatan, sebagian Kota Sabang, Aceh Timur dan Aceh Tamiang dengan produksi masing-masing 2 405.6 ton, 496.7 ton, 402.0 ton, dan 1 453.7 ton. Kemudian, produksi pada kwartal II (18 738.7 ton) juga masih relatif rendah atau baru mencapai 65% dari produksi pada kwartal berikutnya (kwartal III, yaitu 28 891.9 ton) atau 75% dari kwartal yang sama Tahun 2004 (25 095.2 ton). Menurut para nelayan, akibat tsunami Tahun 2004 lalu telah menyebabkan turunnya produksi perikanan mencapai 70 % dari produksi sebelumnya. Kondisi ini berlangsung hampir satu tahun setelah tsunami. Beberapa produksi jenis krustasea, seperti udang, kepiting dan rajungan menurun drastis setelah tsunami. Demikian juga dengan produksi beberapa kelompok moluska, seperti cumi-cumi, sotong, tiram, dan kerang darah (Tabel 24). Menurut pengakuan masyarakat, penurunan populasi ikan dewasa ini ditandai oleh waktu yang dibutuhkan untuk alat tangkap bagan sekarang lebih lama dibandingkan pada beberapa tahun lalu. Dahulu lebih mudah dan cepat mendapatkan ikan dengan alat tangkap ini dibandingkan sekarang.

119 Tabel 24. Perkembangan produksi beberapa jenis krustacea dan moluska di Provinsi NAD. Tahun Udang Kepiting Rajungan Cumicumi Tiram Kerang Darah 2003 5 713.70 717.80 284.80 469.10 52.10 14.30 2004 7 347.80 1 494.30 370.40 315.00 61.70 2.40 2005 1 443.30 325.00 48.50 293.40 22.50 - Sumber : Statistik Perikanan Tangkap, DKP (2006) Menurut pengakuan masyarakat (nelayan), ada satu hal yang menarik adalah sebenarnya populasi udang setelah tsunami bertambah banyak karena semakin luasnya genangan air akibat bergesernya garis pantai dan banyaknya tumpahan udang karena rusak dan hancurnya tambak-tambak di pesisir. Namun, udang-udang tersebut sulit ditangkap karena terhalang akar mangrove yang telah mati, akibatnya produksi penangkapan menjadi rendah. Hal yang sama terjadi pada kepiting lumpur, akibat pembusukan daun dan akar mangrove serta meningkatnya salinitas air karena tsunami, maka kepiting lumpur naik ke atas permukaan. Namun dalam jangka panjang, masyarakat khawatir populasi ikanikan tersebut akan berkurang drastis karena : (1) Tidak adanya hutan mangrove sebagai tempat bertelur, mencari makan, tempat hidup, dan pembesaran beberapa biota seperti kelompok krustacea dan moluska tersebut. Hal ini telah mulai dirasakan oleh masyarakat (nelayan) dengan semakin sulitnya mendapatkan jenis kerang darah, padahal harga komoditas ini cukup ekonomis, (2) Semakin intensifnya eksploitasi di sekitar pesisir, karena sebagian nelayan belum mendapatkan kapal untuk menangkap ikan lebih jauh ke laut, (3) Semakin meningkatkan jumlah nelayan karena sektor ini menjadi lirikan para petani (termasuk pembudidaya ikan) yang sudah kehilangan lahan usaha mereka akibat hantaman gelombang tsunami. Kekhawatiran ini terbukti dari semakin meningkatnya Rumah Tangga Perikanan (RTP) tangkap di Aceh, dimana pada Tahun 2003

120 berjumlah 17 200 RTP dan Tahun 2004, karena gelombang tsunami, turun menjadi 16 400 RTP, namun Tahun 2005 meningkat lagi 17 740 RTP (DKP 2006). (4) Sektor ini semakin diminati masyarakat karena banyaknya bantuan yang tercurah kesini terutama dari para NGOs internasional, disamping dari pemerintah. Sebagai contoh, di Pulau Balai, Pesisir Barat Aceh, tercatat telah terjadi kenaikan jumlah nelayan hingga 30% (The WorldFish 2006). Hasil survei menunjukkan bahwa kerang darah merupakan lauk pilihan bagi masyarakat kelas bawah, karena mereka dapat setiap saat mengambil kerang tersebut tanpa harus mengeluarkan uang. Salah satu penyebab menurunnya produksi kerang darah adalah salinitas air yang tinggi masuk ke kawasan mangrove. Oleh karena itu, ke depan perlu adanya manajemen yang baik dan mengurangi pengambilan yang berlebihan serta mengatur kembali habitat yang sesuai bagi kerang darah. 4.10.3 Rehabilitasi Perikanan Banyak bantuan telah diberikan untuk sektor perikanan, akan tetapi sebagian diantaranya dinilai tidak tepat dan kesenjangan tetap ada. Sebagian besar kapal nelayan kecil telah diganti, akan tetapi diperkirakan banyak yang tidak akan bertahan selama 12 sampai 18 bulan karena buruknya rancangan dan penggunaan bahan-bahan yang tidak memenuhi standar (BRR dan Mitra Internasional 2005). Umumnya, bantuan boat/kapal baru yang telah didistribusikan kepada para nelayan berukuran kecil dengan panjang 5 7 meter dengan kapasitas 5 GT (Tabel 27 dan 28). Padahal untuk pesisir Aceh selain boat/kapal kecil juga sangat diperlukan kapal berukuran besar agar dapat menangkap ikan lebih ke laut lepas. Karena, diperkirakan sebelum tsunami saja telah ada keragu-raguan tentang kesinambungan penangkapan ikan di pesisir Aceh, sementara dilaporkan terdapat banyak cadangan ikan di lautan yang lebih dalam (laut lepas) (BRR dan Mitra Internasional 2005). Untuk menangkap potensi ikan tersebut diperlukan kapal dengan ukuran besar.

121 Database BRR menunjukkan bahwa aktivitas rehabilitasi sektor perikanan sudah dimulai sejak Tahun 2004. Untuk perikanan tangkap, program rehabilitasi termasuk menyediakan kapal/boat, alat tangkap, sarana dan prasarana penunjang lainnya, seperti cold storage, tempat pendaratan ikan (TPI), dan lain-lain. Hingga saat ini, tidak ada data konkrit tentang jumlah kapal yang sudah direhab/diperbaiki atau diganti baru di Provinsi NAD, karena masih banyak lembaga dan NGOs yang bekerja secara partial dan tidak berkoordinasi dengan pemerintah (dalam hal ini BRR). Menurut database BRR, ditargetkan akan dibuat boat/kapal baru dan didistribusikannya kepada nelayan di seluruh Aceh sebanyak 7.000 unit. Namun hingga bulan April 2006, jumlah boat/kapal baru yang telah didistribusikan kepada nelayan sebanyak 6 160 unit (88%) dan pelabuhan laut yang telah direhabilitasi 2 unit, seperti terlihat pada Tabel 25. Tabel 25. Rehabilitasi sektor perikanan di Provinsi NAD. Objek Kebutuhan Realisasi Realisasi (Oktober 2005) (April 2006) Kapal nelayan 7 000 unit 4 379 unit 6 160 unit Tambak 20 000 ha 19 299 ha dibersihkan Pelabuhan laut 14 pelabuhan 5 (proses rehabilitasi) 9 258 ha (rehab) 2 (selesai dan diresmikan), 3 dalam proses Sumber : http://www.e-aceh-nias.org/media_center/fact_sheet.aspx (dikunjungi tanggal : 19/9/06) Berdasarkan database BRR 2004 2006, diacu dalam The WorldFish (2006), distribusi boat/kapal yang telah didistribusikan di Pantai Barat Aceh seperti terlihat pada Tabel 26. Satu hal yang terlihat dari distribusi boat/kapal adalah bahwa pada awal periode, tahun 2004, semua target tercapai (target sama dengan realisasi). Namun, pada tahun-tahun berikutnya jumlah boat realisasi tidak sesuai dengan target yang direncanakan. Pada Tahun 2005, hanya 45% dari target yang terealisasi, begitu juga Tahun 2006 hanya 66% dari target yang teralisasi. Ada 3 alasan kenapa tidak konsisten antara target dan realisasi, pertama: terjadi konflik dalam pendistribusian boat, kedua : keputusan pelaksana proyek (NGO atau pemerintah) untuk mempertimbangkan kembali distribusi boat

122 tersebut setelah dilakukan evaluasi, ketiga: proses pembuatan boat terkesan lambat karena masalah teknis, seperti penyediaan kayu yang berkualitas dan sedikitnya para teknisi pembuat boat. Tabel 26. Distribusi boat di Pantai Barat dan Provinsi NAD (2004-2006). Kabupaten/kota 2004 2005 2006 Target Realisasi Target Realisasi Target Realisasi Aceh Barat 65 65 326 251 397 328 Aceh Barat Daya 25 25 25 25 25 25 Aceh Jaya 135 135 348 150 175 151 Aceh Selatan - - - - - - Aceh Singkil 40 40 40 40 40 40 Nagan Raya 10 10 10 10 10 10 Simeulue - - 40 40 - - Total 275 275 789 516 647 554 Total Aceh 336 336 4284 1940 1335 882 Sumber: The WorldFish (2006) yang di download dari BRR data base pada 30 August 2006. Mempertimbangkan kembali target distribusi penting dilakukan karena terjadi konflik kepentingan yang semakin tinggi dalam masyarakat tentang tata cara pembagian boat. Hasil observasi lapangan menunjukkan bahwa beberapa staf NGOs atau para kepala desa yang bertanggungjawab untuk mempersiapkan daftar nama-nama yang berhak menerima boat melakukan praktek KKN dan mengambil untuk dirinya sendiri secara tidak wajar. Karena itu, masyarakat mengadu ke pelaksana proyek dan proyek pun dihentikan. Kendala lain yang cukup penting adalah kekhawatiran para donor jika diberikan boat dalam jumlah banyak akan menciptakan masalah perikanan dalam jangka panjang, sebab sumber daya perikanan yang menjadi target dari boat-boat baru tersebut sudah hampir tangkap lebih (over-exploited). Sebenarnya, kekhawatiran para donor dapat diminimalisasi dengan catatan bahwa boat atau kapal yang diberikan (didistribusikan) adalah boat/kapal dengan ukuran/kapasitas/gross Ton (GT) besar. Sehingga para nelayan dapat beroperasi (mencari ikan) lebih ke laut lepas dan tidak hanya berputar di sekitar pesisir. Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar boat/kapal yang diberikan/didistribusikan baik oleh NGOs maupun pemerintah adalah boat/kapal dengan ukuran kecil, yaitu berkisar antara 5 11 meter dengan tonnage di bawah

123 5 GT. Tabel 27 dan 28 merupakan contoh dari ukuran boat/kapal yang telah dan akan didistribusikan kepada nelayan Aceh pada Tahun 2005. Dari Tabel 27 terlihat bahwa 49,37% boat yang telah didistribusikan berukuran 5 6,5 m, 45,76% boat dengan ukuran 7 11m, 4,82% boat dengan ukuran 12 16 m, dan hanya 1 boat (0,06%) boat dengan ukuran di atas 16 m, yang tergolong dalam jenis mini purse seine ( labi-labi ). Disamping yang sudah didistribusikan, ada boat/kapal yang sedang dalam proses pembuatan dan ada juga masih dalam janji (kontrak) untuk diberikan dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27. Jumlah boat/kapal yang sudah didistribusikan di Provinsi NAD (22 September 2005) Kabupaten/ Bahan Baku Ukuran *) Kota Total W A F A W B F B W C F C W D F D Aceh Besar 46 17 310 21 5-1 - 400 Banda Aceh - 2 80 6 - - - - 88 Aceh Jaya 32 8 7 33 74 - - - 54 Aceh Barat 98 6 7 - - - - - 111 Nagan Raya 30 4 25 - - - - - 59 Simeulue - 5 - - - - - - 5 Aceh Barat Daya - 3 - - - - - - 3 Aceh Selatan - 8 - - - - - - 8 Aceh Singkil 29 7 38 - - - - - 74 Pidie 421 10 138-1 - - - 570 Aceh Utara 57 5 15 - - - - - 77 Lhokseumawe 4 3 - - - - - - 7 Bireun - 5-11 - - - - 16 Aceh timur - 8-27 - - - - 35 Langsa - 2 - - - - - - 2 Aceh Tamiang - 2-20 - - - - 22 Sabang - 8 22 - - - - - 30 Total 717 103 642 118 80-1 - 1,661 Sumber : Angkouw (2005) Keterangan : W = wood; F = fiber; A = 5 6,5m; B = 7 11 m; C = 12 16m dan D > 16m. Banyak boat/kapal yang berukuran kecil, yang dibagikan/didistribusikan oleh NGOs dan pemerintah, oleh nelayan dijadikan: (1) boat thep-thep 1 dengan alat tangkap : pancing tonda (trawl line), Danish seine, rawai (long line), jaring insang hanyut (drift gillnet), jaring insang tetap (set gillnet), pancing (hook and 1 Disebut boat thep-thep karena suara mesinnya thep..thep. Boat ini berukuran 7 9 m, 2 3 GT, 16-24 HP, menggunakan mesin merek Dompeng, Changhai, dan merek lainnya made in China.

124 line), dan dogol (demersal Danish seine), dan (2) robin 2 dengan alat tangkap : rawai (long line), jaring insang hanyut (drift gillnet), jaring insang tetap (set gillnet), jaring klitik (shrimp gillnet), pancing (hook and line), dogol (demersal Danish seine), dan pancing tonda (trawl line). Tabel 28. Jumlah boat/kapal yang sedang dibuat (Under construction) dan tahap janji (Pledged) untuk didistribusikan di Provinsi NAD (Data pada 22 September 2005). Kabupaten/ Sedang dibuat (Under Kota construction) Masih pada tahap janji (Pledged) W A W B F B W C W A F A W B W C W D Aceh Besar 11 99 - - 19-46 - - Banda Aceh - - - - - - - - - Aceh Jaya 60 10-56 135 100 20 35 35 Aceh Barat 7 - - 97 - - - 9 9 Nagan Raya 43 28 - - 20 - - - - Simeulue - 35 - - - - - - - Aceh Barat Daya 25 - - - 25 - - - - Aceh Selatan - - - - - - - - - Aceh Singkil 60 100-56 60-140 - - Pidie - - - 15 - - - - - Aceh Utara - 27 - - - - - - - Lhokseumawe - 80 - - - - - - - Bireun 15 133 - - - - - 2 2 Aceh timur 150 - - - - - - - - Langsa - - - - - - - - - Aceh Tamiang - - - - - - - - - Sabang - 20 - - - - - - - Provinsi NAD - - 146 - - Total 371 532 146 224 259 100 206 451 46 Sumber : Angkouw (2005) Keterangan : W = wood; F = fiber; A = 5 6,5m; B = 7 11 m; C = 12 16m dan D > 16m. Berdasarkan observasi lapangan, pengadaan atau pembuatan sejumlah boat terkesan lamban dan sebagian kualitasnya pun relatif jelek. Banyak boat-boat yang terbengkalai baik di tempat pembuatan boat maupun di pantai-pantai sepanjang pesisir Barat dan Timur Aceh. Disamping itu, bantuan boat tersebut tidak terdistribusi dengan baik ke seluruh wilayah Aceh. Ironisnya, ada nelayan di suatu daerah yang dapat lebih dari satu boat, namun ada para nelayan di daerah 2 Disebut boat robin karena menggunakan mesin merek robin, made in Jepang.

125 lain belum dapat satu boat pun. Hal semacam ini dinyakini akan memacu konflik baik antar nelayan maupun dengan pengelola proyek. Ada desa-desa saat ini telah memiliki boat lebih banyak dibandingkan ketika sebelum tsunami, misalnya Pulau Balai dan Pulau Baguk di Pantai Barat Aceh, namun ada desa-desa lain disekitarnya masih kekurangan boat (The WorldFish 2006). Satu hal yang positif dengan adanya bantuan boat adalah bahwa hampir 90% nelayan yang dulunya miskin, sekarang punya boat dan alat tangkap. Dulu asset di perikanan dimiliki oleh pemodal luar, seperti toke (pemilik boat) dan Toke Bangku serta beberapa elite pengusaha. Sekarang dengan banyaknya bantuan boat, hampir setiap nelayan mempunyai boat. Dengan demikian, para nelayan diharapkan dapat meningkatkan penghasilan mereka, karena share yang dulunya harus diberikan kepada pemilik boat dan Toke Bangku, sekarang mereka nikmati sendiri. Artinya, di beberapa daerah dengan banyaknya bantuan boat ini telah merubah pola bagi hasil yang menguntungkan nelayan. 4.11. Analisis Perikanan Budidaya Yang dimaksud dengan perikanan budidaya (culture fishery) adalah usaha pemeliharaan ikan atau udang atau keduanya di lahan tambak. Budidaya tambak adalah kegiatan pemeliharaan dan pembesaran biota perairan dalam suatu perairan tambak dalam waktu tertentu untuk mendapatkan hasil dengan cara memanennya (Ditjen Perikanan Budidaya 2002, diacu dalam Indra et al. 2006). Biota perairan yang dibudidayakan di tambak di Provinsi NAD adalah: udang windu (Penaeus monodon), udang putih (Penaeus merguensis), dan ikan bandeng (Chanos chanos). Tambak merupakan sumber mata pencaharian utama lebih dari 50% rumah tangga di sepanjang pesisir timur dan sebagian pantai barat Aceh (Indra et al. 2006). Hampir seluruh tambak di lokasi studi termasuk dalam pola tradisional dan tradisional plus, hanya sedikit yang menerapkan teknologi semi intensif apalagi intensif. Menurut masyarakat, hal ini dilakukan karena (1) mereka kekurangan modal untuk menerapkan teknologi intensif, (2) mengurangi resiko kerugian yang cukup besar bila terjadi gagal panen karena maraknya penyakit udang (virus).

126 Menurut pengakuan masyarakat, dahulu pada periode 80-an sampai dengan 1995, ketika harga udang di pasaran ekspor cukup tinggi dan belum mewabah penyakit virus, banyak tambak udang semi intensif dan bahkan intensif di Aceh. Namun, setelah tahun 1995, setelah mewabahnya virus udang dan waktu itu banyak tambak yang gagal panen, sangat jarang dijumpai tambak intensif di Aceh. 4.11.1 Keragaan Tambak Sebelum Tsunami Perkembangan Luas Tambak Luas lahan tambak di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terus meningkat dari tahun ke tahun, namun peningkatan yang cukup drastis terjadi antara tahun 1977 1995. Ketika itu, harga udang di pasaran luar negeri cukup tinggi, sehingga memotivasi petambak dan investor untuk membuka tambak baru secara besar-besaran. Namun, setelah mewabahnya virus udang, tahun 1995, maka perkembangan tambak relatif stabil. Pembukaan tambak dilakukan dengan mengkonversi lahan hutan mangrove, rawa, kebun, dan sawah terjadi di seluruh daerah studi. Persentase tanah sawah dan tanah kebun yang dijadikan tambak sekitar 22%, tanah sawah 19% dan tanah kebun 3% dari luas tambak di lokasi studi. Sedangkan bagian terbesar berasal dari tanah rawa dan hutan mangrove (78%) (Indra et al. 2006). Pada tahun 2003, luas kotor tambak di Provinsi NAD adalah 36 615 ha, sedangkan luas air 31 995.9 ha. Sebagian besar, 34 524.7 ha (94.3%), dari tambak tersebut terletak di Pantai Timur dan sisanya 2 090.3 ha (5.7%) terletak di Pantai Barat. Luasan tambak yang paling dominan di sepanjang Pantai Barat adalah di Kabupaten Aceh Besar 1 006 ha (48.13%) dan di Kota Banda Aceh 724.3 ha (34.65%), keduanya kalau digabung menjadi 82.87%. Data statistik 2004 menunjukkan bahwa jumlah Rumah Tangga (RT) yang bermatapencaharian di sektor tambak di Pantai Timur 13 344 RT dan di Pantai Barat 1 515 RT (DKP 2004a). Perbandingan luas tambak dan jumlah rumah tangga perikanan tambak (brackishwater ponds) di Pantai Timur dan Pantai Barat Aceh seperti terlihat pada Gambar 43.

127 40000 35000 13344 14859 16000 14000 30000 12000 luas tambak (ha) 25000 20000 15000 10000 10000 8000 6000 4000 Jumlah RT 5000 0 1515 Timur Barat Total 2000 0 luas tambak Jumlah RT Gambar 43. Luas tambak dan rumah tangga perikanan budidaya (RT) di Pantai Timur dan Barat Aceh, tahun 2003. Pola Penguasaan dan Pengelolaan Lahan Tambak Sebagian besar (70%) tambak di lokasi studi merupakan hak milik penduduk setempat dan 30 % milik bukan penduduk setempat atau masyarakat luar. Mereka mendapatkan status kepemilikan atas tambak-tambak tersebut melalui secara turun temurun dari orang tua mereka. Atas dasar prilaku para petambak, maka ada beberapa pola pengelolaan tambak di daerah studi, yaitu : 1. Pembudidaya sebagai pemilik mengelola lahan tambak sendiri dan dengan modal sendiri pula (pemilik = pemodal = pengelola), 2. Pembudidaya sebagai pemilik yang mengelola sendiri lahan tambak mereka, tetapi sebagian atau seluruh modal berhutang pada toke, sebagai pemodal dan lembaga pemasaran, (pemilik = pengelola) pemodal. Toke adalah lembaga yang memberikan modal kerja sekaligus sebagai lembaga pemasaran. 3. Pembudidaya sebagai pemilik yang tidak mengelola lahan tambak sendiri, akan tetapi me-mawahkan 3 kepada orang lain dengan sistem bagi hasil (pemilik (pengelola = pemodal). 3 Memberikan lahan tambak untuk digarap oleh orang lain dengan sistem bagi hasil.

128 4. Pembudidaya sebagai pemilik yang memiliki modal, namun dia tidak mengelola sendiri lahan tambaknya akan tetapi dia memakai tenaga kerja orang lain (buruh tambak) (pemilik = pemodal) pekerja. Dari kelima pola pengelolaan tambak di atas, yang paling banyak terjadi adalah pola 2, yaitu (pemilik = pengelola) pemodal, yang mencapai 76%, selanjutnya diikuti oleh pola 3 yaitu 15 %, pola 4 yaitu 5%, dan pola 1 hanya 4%. Fakta ini memberikan indikasi bahwa peranan toke dalam pengelolaan tambak di Provinsi Aceh cukup besar; tidak hanya dalam pembiayaan modal kerja, akan tetapi juga dalam pemasaran hasil. Pola pengelolaan tambak di daerah studi memiliki dimensi sosial. Keberadaan toke (yang oleh sementara pihak sering dipandang negatif) dan lembaga mawah memberikan peluang bagi pihak yang tidak memiliki lahan tambak bisa melakukan budidaya tambak. Kasus di Desa Tibang misalnya, dari 130 ha tambak yang ada di desa ini hanya 45% yang dimiliki oleh masyarakat setempat, selebihnya 55% dimiliki oleh orang lain yang tinggal di luar desa. Namun demikian lebih dari 85% masyarakat di Desa Tibang menggantungkan hidupnya pada tambak, baik sebagai pekerja maupun sebagai pengelola tambak dengan sistem mawah. Implikasinya adalah bahwa, ketika hempasan gelombang tsunami menerjang tambak-tambak di desa ini, kerugian tidak hanya menimpa delapan pemilik tambak di desa ini. Akan tetapi 85% penduduk Desa Tibang (1424 jiwa sebelum tsunami dan tinggal 858 setelah musibah) yang hidupnya bergantung pada budidaya tambak ikut menderita. Manfaat Tambak Bagi Masyarakat Ada dua manfaat langsung dari sumber daya tambak yang dirasakan oleh masyarakat pesisir, yaitu: (1) tambak sebagai mata pencaharian, memberikan income bagi masyarakat, (2) tambak dapat menampung dan menciptakan lapangan kerja. Seberapa besar nilai manfaat di atas dianalisis pada bagian berikut : (1) Analisis Budidaya Tambak Rata-rata produksi dan nilai hasil produksi beberapa komoditas hasil tambak tradisional plus di daerah studi dapat dilihat pada Tabel 29.

129 Tabel 29. Rata-rata produksi (n=169) dan nilai hasil produksi per hektar per tahun dari usaha tambak tradisional plus di daerah studi. No Jenis Komoditas Produksi (kg) 1. Udang windu Ukuran 40 ekor/kg 306.25 Ukuran 30 ekor/kg 326.67 Ukuran 20 ekor/kg 122.50 Harga Jual (Rp) 50 000 60 000 75 000 Nilai Hasil Produksi (Rp) 15 312 500 19 600 000 9 187 500 2. Bandeng 933.33 12 000 11 200 000 3. Udang putih 80.00 20 000 1 600 000 Total 56 900 000 Dengan total biaya produksi (total cost) Rp 42 226 083 per hektar/tahun, maka diperoleh keuntungan sebesar Rp 14 673 917 per tahun atau sekitar Rp 1 223 000 per bulan, dengan R/C = 1.35. Tingkat pendapatan dari budidaya tambak ini relatif tinggi jika dibandingkan dengan penghasilan dari nelayan dan usahatani padi sawah. Perbandingan tingkat pendapatan antara budidaya tambak, perikanan tangkap (nelayan) dan usahatani padi sawah dapat dilihat pada Tabel 30. (2) Kesempatan Kerja Budidaya tambak relatif lebih banyak menyerap tenaga kerja dibandingkan dengan kesempatan kerja pada usahatani padi sawah. Kebutuhan tenaga kerja budidaya tambak bervariasi antara 395 HOK 705 HOK/ha/tahun, bergantung pada jenis teknologi yaitu tambak tradisional, tradisional plus, semi intensif dan intensif. Sedangkan kebutuhan tenaga kerja pada usahatani padi sawah tadah hujan sekitar 179.4 HOK/ha/tahun dan sawah irigasi 238.3 HOK/ha/tahun. Jika dalam satu desa terdapat 100 ha lahan tambak saja, maka jumlah tenaga kerja yang dapat diserap dari budidaya tambak berkisar antara 39 500 HOK 70 500 HOK/tahun. Jika hari kerja efektif dalam setahun 259 hari, maka sektor tambak bisa menampung tenaga kerja atau memberikan pekerjaan untuk 153 272 orang masyarakat.

130 Tabel 30. Tingkat pendapatan budidaya tambak, perikanan tangkap (nelayan) dan usahatani padi sawah di daerah studi. Bidang Usaha Pendapatan (Rp) Per Tahun Per Bulan 1. Usaha Tambak per ha. 14 673 917 1 222 826 2. Perikanan Tangkap (Rp) a. Pukat Darat Pemilik Boat Pawang ABK Awak Penarik b. Boat Thep-thep Pemilik Boat Pawang ABK Aneuk Itek Toke Bangku c. Labi-labi (mini purse seine) Pemilik Boat Pawang ABK ABK+ Penjaga Kapal Toke Bangku 3. Usahatani Padi Sawah per ha. a. Irigasi b. Tadah Hujan Sumber : Data Primer (2005) dan Indra et al. (2006) 13 935 429 12 108 250 9 311 050 809 375 10 985 428 13 374 231 8 705 331 7 931 875 8 158 500 34 199 083 84 376 385 17 713 664 25 137 899 36 260 000 6 035 287 1 039 553 1 045 012 1 028 500 790 900 68 750 942 249 1 137 029 740 096 673 750 693 000 2 975 333 5 329 238 585 701 1 216 331 3 080 000 502 941 86 629 Permodalan Besar kecilnya biaya produksi pada budidaya tambak, selain ditentukan oleh tingkat teknologi juga sangat tergantung pada kemampuan pembudidaya dalam pengadaan input produksi, baik secara kualitas maupun kuantitas. Yang umum terjadi adalah para pembudidaya tidak mengelola tambak mereka secara optimal sesuai anjuran karena alasan tidak ada atau kurang modal. Sehingga hasil yang didapat dari usaha tambak tidak optimum atau tidak seperti yang diharapkan. Sumber modal pembudidaya di daerah studi adalah (1) modal sendiri, dan (2) pinjaman dari toke (pemodal dan pedagang perantara). Jumlah pembudidaya yang memanfaatkan sumber modal dari toke sangat dominan, lebih dari 90 %.

131 Pemasaran Hasil Pemasaran adalah proses perpindahan barang dari produsen ke konsumen akhir. Secara garis besar ada 2 macam saluran atau rantai pemasaran, yaitu saluran langsung (direct channel) dan saluran tidak langsung (indirect channel). Pada saluran yang pertama, pembudidaya langsung menjual produksinya kepada konsumen akhir (pembudidaya merangkap sebagai pedagang), sedang saluran yang tidak langsung, melibatkan berbagai lembaga pemasaran, seperti middleman, agents, exporters, dan lain-lain. Skema dalam Gambar 44 merupakan gambaran secara umum rantai pemasaran udang di Aceh. Terdapat tiga kemungkinan rantai pemasaran yang bisa dipilih oleh pembudidaya tambak, yaitu: 1. Pembudidaya Pedagang Desa Pedagang Kecamatan Pedagang Kabupaten Medan 2. Pembudidaya Pedagang Kabupaten Medan 3. Pembudidaya Pedagang Pengecer Konsumen Lokal Dari ketiga rantai pemasaran di atas, yang paling umum terjadi di semua kabupaten/kota, kecuali Kota Banda Aceh, adalah saluran 1, Untuk Kota Banda Aceh, yang umum terjadi adalah saluran 2, hal ini disebabkan letak usaha tambak yang sangat dekat pusat Kota Banda Aceh, para pembudidaya tambak langsung berhubungan dengan pedagang kabupaten. Sedangkan rantai 3, khusus terjadi pada komoditas udang dengan kualitas rendah dan udang putih untuk seluruh kabupaten/kota.

132 3 Petani Udang 1 Pedagang Desa Pedagang Kecamatan (pengumpul) 2 Pedagang Pengecer Pedagang. Kabupaten (Agen Besar) Konsumen Lokal Eksportir (Medan) Jarang sekali terjadi Konsumen Luar Negeri Gambar 44. Rantai pemasaran udang di Provinsi NAD. Profit margin atau share keuntungan udang windu (dihitung per kg) diantara pembudidaya dan lembaga pemasaran yang terlibat di daerah studi adalah seperti terlihat pada Tabel 31. Dari tabel tersebut terlihat bahwa profit margin terbesar diterima oleh pembudidaya tambak yaitu 27.90% (Rp 25 114) dari harga jual ke konsumen akhir ($ 10 = Rp 90 000) per kg udang. Pedagang eksportir Medan memperoleh profit margin sebesar 13.33% (Rp 12 000) per kg udang. Sedangkan pedagang desa, kecamatan, dan kabupaten masing-masing memperoleh profit margin atau keuntungan sebesar Rp 723 (0.08%), Rp 650 (0.72%), dan Rp 1 600 (1.78%).

133 Uraian Tabel 31. Margin pemasaran udang windu di lokasi studi. Nilai (Rp) Nilai (Rp) Persentase (%) 1. Harga jual pembudidaya (udang 30 ekor/kg) 60 000 66.67% a. Biaya produksi udang per kg 34 886 38.76% Profit margin pembudidaya (keuntungan) (1-a) 25 114 27.90% 2. Harga beli pedagang pengumpul desa 60 000 66.67% a. Biaya keranjang (penyusutan) 2.5 0.00% b. Biaya peti (penyusutan) 50 0.06% c. Biaya angkut (transport) 200 0.22% d. Lain-lain 25 0.03% e. Harga jual pedagang desa 61 000 67.78% Profit margin ped. pengumpul desa (e-2-a-b-c-d) 723 0.80% 3. Harga beli pedagang pengumpul kecamatan 61 000 67.78% a. Biaya keranjang (penyusutan) 0 0.00% b. Biaya peti (penyusutan) 50 0.06% c. Biaya angkut (transport) 250 0.28% d. Lain-lain 50 0.06% e. Harga jual pedagang kecamatan 62 000 68.89% Profit margin ped. pengumpul kec. (e-3-a-b-c-d) 650 0.72% 4. Harga beli pedagang Kabupaten (Agen) 62 000 68.89% a. Biaya keranjang (penyusutan) 0 0.00% b. Biaya peti (penyusutan) 100 0.11% c. Biaya angkut (transport) 1 000 1.11% d. Lain-lain 300 0.33% e. Harga jual pedagang Kab (agen) 65 000 0.00% Profit margin ped kabupaten (e-4-a-b-c-d) 1 600 1.78% 5. Harga beli eksportir Medan 65 000 72.22% a. Biaya keranjang (penyusutan) 0 0.00% b. Biaya peti (penyusutan) 1 000 1.11% c. Biaya angkut (transport) 10 000 11.11% d. Lain-lain 2 000 2.22% e. Harga jual eksportir Medan, asumsi exchange rate (1$ = Rp 9000) $ 10 90 000 100.00% Profit margin eksportir Medan (e-5-a-b-c-d) 12 000 13.33% Aspek legal lahan tambak Lahan yang digunakan untuk kegiatan budidaya tambak di lokasi studi terdiri atas: tanah hak milik adat (80%), tanah negara (16%), tanah wakaf milik Meunasah (1%), dan tanah umum milik desa (3%). Dari 80% tanah hak milik

134 adat, 5% diantara telah memiliki atas hak dalam bentuk sertifikat, sedangkan sisanya (95%) belum memiliki sertifikat, namun ada diantara mereka yang sudah memiliki bukti hak menurut hukum adat. 4.11.2. Dampak Tsunami Terhadap Tambak Kerusakan dan Kerugian Fisik Gempa bumi dan gelombang tsunami 26 Desember 2004 lalu telah merusak ribuan hektar tambak di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tingkat kerusakan tambak di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dapat dilihat pada Tabel 32. Daerah yang sangat parah tingkat kerusakannya, mencapai 100 %, adalah Kabupaten Aceh Besar dan Kota Banda Aceh. Sedangkan untuk pantai timur, yang dimulai dari Sigli, Bireuen, Aceh Utara, Lhokseumawe, Aceh Timur, Langsa, dan Tamiang mengalami tingkat kerusakan yang bervariasi. Secara umum, semakin ke arah timur letak suatu wilayah, maka semakin ringan tingkat kerusakannya. Total nilai kerugian mencapai Rp 331.69 milyar, tiap kabupaten/kota mengalami kerugian berkisar antara Rp 21.73 Rp 126.24 milyar (DKP 2005a). NAD 2) Tabel 32. Estimasi tingkat kerusakan tambak (dalam ha) pasca tsunami di Provinsi NAD dan daerah studi. No. Uraian NAD 1) Daerah Daerah Studi 1) Studi 2) 1. Luas tambak sebelum 47 621.00 23 562.80 36 597.00 22 453.00 tsunami 2. Tingkat kerusakan Rusak ringan Rusak sedang Rusak berat Hilang 5 859.00 5 127.00 7 270.00 1 022.00 5 168.34 3 657.70 5 555.75 704.85 Tidak ada informasi Tidak ada informasi 3. Total kerusakan 20 429.00 15 086.64 14 532.00 11 039.30 4. Tidak rusak 27 191.00 8 476.24 22 074.00 11 413.70 5. Persentase kerusakan 42.90% 64.03% 39.71% 49.17% Keterangan : 1) sumber FAO, Maret 2005 2) sumber DKP, Jakarta, 2005 Yang termasuk kategori rusak berat adalah hilang bentuk tambak dan infrastukturnya seperti pintu air, gubuk, dan saluran air serta hilang working capital. Rusak sedang adalah hilang bagian dari tambak dan infrastrukturnya

135 lebih dari 50% dan hilang working capital, sedangkan rusak ringan adalah hilang bagian tambak sekitar 25% dan infrastruktur (gubuk dan pintu air) dengan sedikit perbaikan masih dapat digunakan serta juga hilang working capital. Kerugian Modal Kerugian atau kehilangan modal akibat tsunami pada budidaya tambak sangat dirasakan oleh para pembudidaya. Jumlah kerugian dari budidaya tambak mencapai lebih dari Rp 1 trilyun (Tabel 33). Dari jumlah tersebut Rp 561.3 milyar merupakan kerugian dari kehilangan modal usaha, dan Rp 500.4 milyar merupakan kerugian karena gagal panen. Nilai kerugian modal dan kehilangan produksi ini cukup besar, dua kali rata-rata kontribusi sektor perikanan terhadap PDRB Aceh, periode 1998 2001, yaitu Rp 526.72 milyar. Tabel 33. Prediksi kerugian produksi perikanan budidaya (tambak) di Provinsi NAD (dalam Rp 000) No. Uraian NAD Daerah Studi 1. Nilai kerugian dari modal 914 925 000.00 561 325 000.00 2. Kerugian kehilangan produksi 727 396 342.00 500 415 792.00 Total kerugian 1 642 321 342.00 1 061 740 792.00 Sumber : DKP, Jakarta. 2005a 4.11.3. Upaya Rehabilitasi Tambak Hingga penelitian ini dilakukan, upaya rehabilitasi telah mulai dilakukan baik oleh NGOs, pribadi, dan pemerintah, hanya saja upaya tersebut dinilai belum optimal, karena belum terkoordinasi dengan baik. Lemahnya koordinasi ini, maka para donor dan pelaksana proyek (NGOs) bekerja masing-masing secara parsial, akibatnya bantuan tidak terdistribusi dengan baik dan bahkan tidak jarang ditemukan overlapping bantuan dan perebutan lokasi sasaran oleh para NGOs. Beberapa NGOs yang concern pada perikanan budidaya (tambak) dan hutan mangrove di daerah studi antara lain adalah Yayasan Serasih, Alice, Mercy Corp, Oxfam, Terre des Hommes, World Wildlife Fund (WWF), World Aquaculture Society, Islamic Relief, France Red Cross, Indonesia Rescue Network, Yayasan Bina Aneuk Nanggroe, dan lain-lain. Sedangkan donor antara lain UNDP, ADB, ACIAR, Japan, France, Netherlands, NACA, FAO, Pemerintah Indonesia (DKP),

136 dan lain-lain. DKP akan melakukan berbagai program rehabilitasi dan rekonstruksi tambak di Aceh pada 2005 2009 dengan total anggaran sebesar Rp 952 milyar (DKP 2005). Biaya Rehabilitasi Tambak dan Operasional Walaupun telah banyak NGO dan Instansi (termasuk BRR) yang melakukan rehabilitasi tambak, namun hingga studi ini dilakukan belum ditemui secara rinci kebutuhan biaya untuk merehabilitasi tambak-tambak tersebut. Perhitungan ini penting dilakukan untuk memberikan informasi kepada berbagai pihak dalam rangka merehabilitasi tambak di Aceh, agar proses rehabilitasi tersebut berjalan lancar. Estimasi kebutuhan biaya dimaksud dapat dilihat pada Tabel 34. Tabel 34 menunjukkan bahwa kebutuhan biaya untuk merehabilitasi tambak di daerah studi berkisar antara 5.9 juta 32.8 juta, dimana besar kecilnya biaya tersebut sangat tergantung pada tingkat kerusakan tambak. Tambak-tambak dengan tingkat kerusakan berat (severely damages) harus diperbaiki dengan menggunakan mesin (back hoe) dan tidak mungkin diperbaiki dengan manual (tenaga manusia). Kasus-kasus seperti ini ditemukan pada hampir semua tambaktambak yang berlokasi Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Sedangkan tambak-tambak yang rusak sedang dan ringan bisa diperbaiki dengan mesin (back hoe) atau tenaga manusia, namun sebagian dari tambak-tambak tersebut terpaksa menggunakan mesin karena banyaknya sampah tsunami (beton, seng, dan lainlain) yang terbenam di dasar tambak. Disamping kebutuhan biaya rehabilitasi, biaya operasional (working capital required ) per hektar tambak berdasarkan jenis teknologi yang digunakan juga penting untuk diketahui. Hal ini bermanfaat dalam rangka menjalankan kembali aktivitas ekonomi (livelihood) masyarakat pesisir yang sebagian dari mereka memperoleh income dari aktivitas tambak. Jenis teknologi yang dimaksudkan adalah tambak dengan teknologi tradisional, tradisional plus, dan semi intensif. Sedangkan tambak dengan teknologi intensif, dengan alasan

137 tertentu, tidak dimasukkan dalam perhitungan ini dan akan dibahas secara khusus pada bagian lain. Komponen Biaya Tabel 34. Estimasi kebutuhan biaya rehabilitasi tambak berdasarkan tingkat kerusakan. Rusak Berat Biaya (Rp/ha) Rusak Sedang Capital Labor Intensive intensive Capital Intensive Rusak Ringan Labor intensive 1. Material dan Mesin - Sewa Back Hoe dan service 18 600 000 10 050 000 0 5 775 000 0 - Minyak - Oli 3 986 910 2 154 218 0 1 237 871 0 - Material : balok (20 x 12 x 300) 1 500 000 1 500 000 1 500 000 600 000 600 000 papan (20 x 2 x 300) 1 050 000 1 050 000 1 050 000 525 000 525 000 paku 16 000 16 000 16 000 16 000 16 000 plastik 90 000 90 000 90 000 90 000 90 000 - Material Gubuk (4 x 4)m 2 balok (10 x 5 x 300) 600 000 600 000 600 000 300 000 300 000 balok (20 x 12 x 300) 400 000 400 000 400 000 400 000 400 000 papan 700 000 700 000 700 000 350 000 350 000 atap 800 000 800 000 800 000 400 000 400 000 Sub total (1) 27 742 910 17 360 218 5 156 000 9 693 871 2 681 000 2. Tenaga Kerja - Kontruksi pematang (3 orang, 6 hari) 1 050 000 900 000 900 000 750 000 750 000 - Pembuatan gubuk (3 orang, 6 hari) 1 050 000 900 000 900 000 750 000 750 000 - Finishing rekontruksi tambak (2 orang, 6 hari) 1 050 000 700 000 600 000 600 000 600 000 - Operator Back hoe (7 jam/hari) 885 714 478 571 760 000 275 000 380 000 - Pembantu Operator Back hoe (7 jam/hari) 442 857 239 286 3 800 000 137 500 475 000 - Petugas jaga malam back hoe 542 857 339 286 250 000 166 250 250 000 Sub total (2) 5 021 428 3 557 143 7 210 000 2 678 750 3 205 000 Total Biaya 32 764 339 20 917 360 12 366 000 12 372 621 5 886 000 Sumber : data primer (diolah), tahun 2005 Besarnya biaya operasional berdasarkan tingkat teknologi yang digunakan pada budidaya tambak dapat dilihat pada Gambar 45. Dari grafik tersebut terlihat bahwa estimasi kebutuhan working capital pada budidaya tambak ditentukan oleh tingkat penggunaan teknologi dalam pengelolaan tambak. Untuk tambak tradisional kebutuhan working capital adalah Rp 12.62 juta per hektar per musim tanam, tradisional plus Rp.17.95 juta per hektar per musim tanam, dan semi

138 intensif Rp.26.77 juta per hektar per musim tanam. Nilai working capital ini juga menunjukkan tingkat kehilangan modal pembudidaya tambak. 30.00 (dalam juta rupiah) 26.77 25.00 20.00 17.95 15.00 12.62 10.00 5.00 0.00 Traditional Traditional Plus Semi-intensive Gambar 45. Kebutuhan biaya operasional budidaya tambak berdasarkan tingkat teknologi di daerah studi. Kebutuhan Tenaga Kerja Seperti telah disinggung di atas, kebutuhan tenaga kerja pada budidaya tambak relatif besar. Jika kebutuhan tenaga kerja tersebut tidak terpenuhi oleh angkatan kerja desa setempat, maka akan terjadi 2 hal sebagai konsekwensinya : (1) akan masuk tenaga kerja dari luar untuk memenuhi permintaan tenaga kerja yang tinggi, (2) karena permintaan tinggi dan ketersediaan (supply) tenaga kerja sedikit, maka tidak bisa dihindari akan terjadi peningkatan upah tenaga kerja. Namun, hingga laporan ini disusun, belum diketahui angka angkatan kerja di wilayah tersebut, karena banyak yang sudah meninggal/hilang ketika tsunami. Rincian kebutuhan tenaga kerja pada budidaya tambak di daerah studi dapat dilihat pada Tabel 35.

139 Tabel 35. Kebutuhan tenaga kerja (hok) untuk rehabilitasi dan operasional pada budidaya tambak menurut teknologi dan tingkat kerusakan tambak. Tingkat kerusakan Kebutuhan Teknologi Tenaga Rusak sedang Rusak ringan Tambak Kerja Rusak Berat Capital Labor Capital Labor intensive Intensive intensive Intensive Traditional Rehabilitasi 85 66 144 52 64 Operational 395 395 395 395 395 Traditional Plus Rehabilitasi 85 66 144 52 64 Operational 488 488 488 488 488 Semiintensive Rehabilitasi 85 66 144 52 64 Operational 705 705 705 705 705 Sumber : Data primer (diolah 2005) Tabel 35 terlihat bahwa tingkat kebutuhan tenaga kerja untuk rehabilitasi tambak bergantung kepada tingkat kerusakan tambak. Untuk tambak yang rusak berat membutuhkan 85 HOK, rusak sedang (capital intensive) 66 HOK, rusak sedang (labor intensive) 144 HOK, rusak ringan (capital intensif) 52 HOK, dan rusak ringan (labor intensive) 64 HOK. Sedangkan kebutuhan tenaga kerja operasional bergantung pada teknologi tambak. Untuk tambak tradisional membutuhkan 395 HOK, tradisional plus 489 HOK, dan semi intensif 705 HOK. Kebutuhan tenaga kerja skill semakin meningkat seiring dengan meningkatnya teknologi pengelolaan tambak. Setelah mengetahui kebutuhan tenaga kerja, hal lain yang sangat penting untuk diketahui adalah return to labor. Tambak semi intensif menghasilkan return to labor yang paling tinggi dibandingkan dengan kedua teknologi lainnya, dengan tingkat return to labor berkisar antara Rp 60 721 Rp 70 512. Sedangkan return to labor untuk tambak tradisional berkisar antara Rp 36 449 Rp 44 308 dan tambak tradisional plus Rp 48 780 Rp 58 953 (Tabel 36).

140 Tabel 36. Nilai return to labor (Rp/hok) budidaya tambak menurut jenis teknologi tambak dan tingkat kerusakan di daerah studi. Tingkat Kerusakan Tradisional Tradisional Semi Plus Intensif Rusak berat (capital intensif) 36 449 48 780 60 721 Rusak sedang (capital intensive) 41 302 53 242 64 994 Rusak sedang (labor intensive) 44 487 55 635 66 868 Rusak ringan (capital intensive) 44 948 56 597 63 611 Rusak ringan (labor intensive) 44 308 58 953 70 512 Nilai return to labor tersebut jauh lebih besar bila dibandingkan return to labor dari usahatani padi sawah tadah hujan Rp 5 795 dan padi sawah irigasi Rp 25 326 dan juga lebih besar dari rata-rata nilai upah kerja per hari (HOK) sektor pertanian di daerah studi, yaitu sebesar Rp 30 000 per HOK. Artinya, budidaya tambak dengan berbagai teknologi cukup menguntungkan atau memberikan balas jasa yang cukup tinggi terhadap korbanan tenaga kerja. Jika return to labor ini lebih kecil dari rata-rata upah kerja per HOK, maka budidaya tersebut tidak layak dan pembudidaya lebih baik bekerja sebagai buruh tani (cash for work) dengan tingkat upah yang lebih tinggi. Perbedaan return to labor budidaya tambak dengan berbagai teknologi dan tingkat kerusakan dapat dilihat pada Gambar 46. 80,000 70,000 60,000 50,000 40,000 30,000 Tradisional Tradisional Plus Semi Intensif 20,000 10,000 0 Severely damage Medium damage_cap intensive Medium damage_lab intensive Minor damage_cap intensive Minor damage_lab intensive Gambar 46. Nilai return to labor dari budidaya tambak pada berbagai tingkat penggunaan teknologi dan tingkat kerusakan tambak di daerah studi

141 4.11.4. Opsi Teknologi Walaupun budidaya tambak telah cukup lama dilakukan oleh masyarakat Aceh, namun tingkat teknologi yang digunakan masih belum berkembang secara signifikan. Dengan kata lain, dari dahulu hingga kini pengelolaan budidaya tambak udang di Aceh umumnya masih bersifat tradisional dan tradisional plus, jarang sekali ada tambak udang yang sudah diterapkan teknologi intensif atau semi intensif. Akibatnya, produktivitas lahan tambak dan keuntungan usaha di sektor tambak relatif rendah. Padahal, luasan kepemilikan tambak di daerah ini cukup luas, yaitu berkisar antara 0.25 ha 20 ha. Hasil survey menunjukkan bahwa luas kepemilikan tambak yang tinggi belum menjamin memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pendapatan atau penghasilan rumah tangga pembudidaya tambak. Kenyataan ini sangat berbeda dengan penghasilan yang didapat oleh pembudidaya tambak di luar negeri, seperti Thailand, Cina, Jepang, dan Malaysia dimana pada pembudidaya sudah menerapkan teknologi intensif. Penyebab utama rendahnya produktivitas lahan, returns to land dan penghasilan pembudidaya tambak adalah terkait dengan penguasaan dan penerapan teknologi budidaya. Oleh karena itu, kajian teknologi pada budidaya tambak dalam laporan ini disajikan dengan maksud memberikan informasi kepada pembudidaya, investor, dan pemerintah sebagai policy maker dalam rangka rehabilitasi tambak di Aceh, karena pemilihan (opsi) teknologi yang tepat sesuai dengan kemampuan yang ada diharapkan akan memberikan optimal output baik kepada pengelola maupun masyarakat pesisir secara keseluruhan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat teknologi yang digunakan pada budidaya tambak akan berpengaruh secara linier terhadap output yang dihasilkan. Analisis opsi teknologi pada budidaya tambak dalam laporan ini dilakukan dengan pendekatan analisis finansial atau sering juga disebut dengan pendekatan kriteria investasi (investment criteria). Analisis ini diperlukan karena usaha pembesaran udang merupakan usaha yang memerlukan modal yang besar dengan resiko yang besar pula. Oleh karena itu diperlukan suatu analisis kelayakan usaha yang dimaksudkan untuk mengevaluasi apakah usaha tersebut layak untuk diusahakan atau tidak.

142 Analisis finansial ini dilakukan pada 3 (tiga) opsi teknologi, yaitu teknologi tradisional, tradisional plus, dan semi intensif pada kondisi tambak dengan berbagai tingkat kerusakan, yaitu rusak berat, sedang, dan ringan. Untuk tambak yang rusak berat hanya dapat diperbaiki hanya dengan menggunakan mesin back hoe (capital intensive), sedangkan yang rusak sedang dan ringan dibedakan tambak yang diperbaiki dengan mesin back hoe (capital intensive) atau dengan tenaga manusia (labor intensive). Tabel 37 berikut ini menunjukkan nilai NPV, NBCR, dan IRR pada berbagai teknologi dengan berbagai tingkat kerusakan dan cara rehabilitasi. Teknologi Tambak Tradisional Tradisional Plus Semi Intensif Tabel 37. Parameter finansial budidaya tambak pada discount rate = 15%. Parameter Finansial Rusak berat Tingkat Kerusakan Rusak sedang Capital Intensive Labor intensive Capital Intensive Rusak ringan Labor intensive NPV 3 011 198 13 008 570 20 444 536 20 319 291 19 133 250 IRR 17.7% 32.0% 58.7% 58.5% 103.7% NBCR 1.11 1.71 2.88 2.87 4.66 NPV 32 428 429 42 425 801 49 861 767 49 794 053 55 496 549 IRR 41.0% 65.9% 114.4% 113.6% 244.6% NBCR 2.15 3.32 5.59 5.56 11.63 NPV 62 739 594 72 736 966 80 172 932 68 756 660 85 807 714 IRR 58.0% 86.0% 132.2% 116.5% 219.9% NBCR 2.97 4.34 6.59 5.79 10.86 Sumber : Data Primer (diolah), 2005 Pada tingkat discount rate 15%, untuk semua jenis (teknologi) tambak pada berbagai tingkat kerusakan nilai NPV > 0, NBCR > 1 dan IRR > interest rate yang berlaku, maka usaha tambak udang di daerah studi layak dilaksanakan/ dikembangkan. Artinya budidaya tambak di daerah ini cukup menguntungkan ditinjau dari aspek finansial. Perhitungan parameter-parameter ekonomi di atas tanpa memasukkan nilai lahan tambak, baik nilai sewa atau nilai beli. Oleh karena itu, perhitungan ini lebih kepada pengembangan tambak yang sudah ada (kondisi existing) dan bukan merupakan pembukaan atau pembuatan tambak baru, karena berdasarkan kondisi daerah studi sudah tidak direkomendasikan untuk membuka tambak baru. Malahan di beberapa lokasi studi perlu ada pengurangan lahan tambak, karena di lahan tersebut merupakan peruntukan untuk hutan lindung

143 mangrove atau lahan pantai yang terlalu dekat dengan batas air pasang yang seharusnya tidak boleh dan secara teknis tidak layak untuk dijadikan tambak. Tabel 37 juga menunjukkan bahwa tingkat teknologi berkorelasi positif dengan kebutuhan working capital dan nilai parameter ekonomi NPV, IRR, NBCR dan return to labor. Artinya, semakin tinggi tingkat teknologi maka nilai parameter ekonomi di atas akan semakin besar pula. Beberapa pakar ekonomi menyatakan bahwa dari 3 alat ukur analisis kelayakan finansial yang sering digunakan yaitu NPV, NBCR, dan IRR, maka yang paling realistis adalah nilai NPV, karena nilai ini secara langsung menggambarkan nilai nominal dari proyek. 100.00 (dalam juta rupiah) 90.00 80.00 70.00 60.00 Tradisional 50.00 Tradisional Plus 40.00 Semi Intensif 30.00 20.00 10.00 0.00 Severely damage Medium damage_cap intensive Medium damage_lab intensive Minor damage_cap intensive Minor damage_lab intensive Gambar 47. Nilai NPV budidaya tambak pada berbagai tingkat penggunaan teknologi dan tingkat kerusakan tambak di daerah studi. Gambar 47 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai NPV yang sangat signifikan antar tambak dengan satu teknologi dan teknologi lainnya. Nilai NPV tambak semi intensif hampir 2 kali nilai NPV tambak tradisional plus dan lebih dari 4 kali nilai NPV tambak tradisional. Demikian juga nilai NPV tambak tradisional plus lebih dari 2 kali nilai NPV tambak tradisional. Pola yang sama akan terjadi pada variabel IRR dan NBCR, dimana nilai IRR dan NBCR pada tambak semi intensif akan lebih besar dari kedua nilai dari tambak tradisional dan tradisional plus. Artinya, secara financial tambak dengan teknologi semi intensif

144 akan lebih unggul dan menguntungkan dari pada tambak tradisional dan tradisional plus. Namun perlu diingat seperti telah disebutkan di atas, bahwa semakin tinggi tingkat teknologi yang digunakan, maka akan semakin tinggi pula modal (working capital) yang dibutuhkan dan semakin besar pula faktor resiko (risk) yang dihadapi. Oleh karena itu, pemilihan (opsi) teknologi yang akan diterapkan pada budidaya tambak di daerah studi akan sangat ditentukan oleh ketersediaan modal pembudidaya tambak dan tingkat keberaniannya dalam mengambil resiko. Faktor resiko dominan yang mengganggu keputusan pembudidaya tambak di daerah studi adalah penyakit virus udang. Disamping itu, faktor kerusakan pematang tambak karena hempasan gelombang dan pasang tinggi yang mengganggu kelangsungan pemeliharaan udang dan ikan di tambak. Faktor kedua tersebut biasanya terjadi pada lokasi tambak yang bersentuhan langsung dengan laut, dimana tekstur tanah cenderung berpasir. 4.11.5. Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat apa yang akan terjadi dengan hasil analisis kriteria investasi apabila terjadi perubahan baik dari biaya maupun benefit. Analisis ini pada dasarnya hanya mensimulasi perubahan terhadap nilai NPV, NBCR, dan IRR jika terjadi perubahan baik input, harga, dan output. Dalam studi ini dilakukan beberapa skenario perubahan baik input, harga maupun output dan pengaruhnya terhadap kelayakan proyek, skenario tersebut adalah: Skenario-1 Jika harga input terutama benur meningkat dari Rp 20/ekor menjadi Rp 100/ekor dan harga pakan meningkat 20 %. Meningkatnya harga input ini dapat disebabkan karena naiknya harga barang dengan berbagai alasan. Hasil perhitungannya seperti terlihat pada Tabel 38.

Teknologi Tambak Tradisional Tradisional Plus Semi Intensif 145 Tabel 38. Parameter finansial (discount rate = 15%) budidaya tambak jika harga benur Rp 100/ekor dan harga pakan meningkat 20 % (skenario-1). Parameter Finansial Rusak berat Tingkat Kerusakan Rusak sedang Capital Intensive Labor intensive Capital Intensive Rusak ringan Labor intensive NPV (13 918 722) (3 921 350) 3 514 616 3 389 371 838 014 IRR 0.7% 9.1% 23.4% 23.1% 19.8% NBCR 0.51 0.79 1.32 1.31 1.16 NPV 9 900 713 19 898 085 27 334 050 27 266 336 32 968 833 IRR 23.5% 40.3% 72.1% 71.6% 158.7% NBCR 1.35 2.09 3.52 3.50 7.31 NPV 2 119 557 12 116 930 19 552 895 8 136 624 25 187 678 IRR 16.7% 28.7% 47.2% 29.4% 82.0% NBCR 1.07 1.56 2.36 1.57 3.89 Sumber : Data Primer (diolah), 2005 Hasil analisis dari skenario-1 menunjukkan bahwa pengelolaan budidaya tambak tradisional dengan tingkat kerusakan berat dan sedang yang direhabilitasi secara capital intensive, keduanya sudah tidak layak (not feasible). Sedangkan yang lainnya masih layak, kendatipun nilai NPV, NBCR, dan IRR relatif kecil (Tabel 38) dibandingkan dengan nilai awal (Tabel 37). Skenario-2 Jika tingkat survival rate turun 20%. Menurunnya tingkat survival rate atau kuantitas produksi udang ini dapat dikarenakan terserang penyakit virus, kualitas air dan benur yang kurang baik, dan lain-lain. Hasil perhitungannya seperti terlihat pada Tabel 39.

Teknologi Tambak Tradisional Tradisional Plus Semi Intensif Tabel 39. Parameter finansial (discount rate = 15%) budidaya tambak jika tingkat survival rate turun 20% (skenario-2). Parameter Finansial Rusak berat Tingkat Kerusakan Rusak sedang Capital Intensive Labor intensive Capital Intensive Rusak ringan 146 Labor intensive NPV (26 770 898) (16 773 526) (9 337 560) (9 462 805) (10 648 846) IRR -22.5% -19.5% -15.6% -16.2% -64.7% NBCR 0.05 0.08 0.14 0.13-1.04 NPV (17 906 226) (7 908 854) (472 888) (540 602) 5 161 894 IRR -4.6% 2.4% 13.8% 13.6% 42.4% NBCR 0.37 0.57 0.96 0.95 1.99 NPV 19 424 939 29 422 312 36 858 277 25 442 006 42 493 060 IRR 29.6% 45.9% 72.2% 55.9% 122.3% NBCR 1.61 2.35 3.57 2.77 5.88 Sumber : Data Primer (diolah), 2005 Hasil analisis dari skenario-2, menunjukkan bahwa pengelolaan budidaya tambak tradisional dan tradisional plus sudah tidak layak, kecuali tambak tradisional plus yang rusak ringan yang direhabilitasi secara labor intensive (Tabel 39). Sedangkan budidaya tambak semi intensive masih cukup layak untuk dilaksanakan. Dibandingkan dengan hasil analisis awal (Tabel 37), dengan menurunnya volume produksi telah menyebabkan menurunnya nilai NPV, NBCR, dan IRR, namun proyek tersebut masih tetap layak. Skenario-3 Jika harga jual udang menurun 20 % yang disebabkan oleh berbagai alasan, misalnya permintaan pasar menurun seiring menurunnya income dan daya beli masyarakat, turunnya mutu udang, dan persaingan harga di pasar internasional.

Teknologi Tambak Tradisional Tradisional Plus Semi Intensif Tabel 40. Parameter finansial (discount rate = 15%) budidaya tambak jika harga jual output turun 20% (skenario-3). Parameter Finansial Rusak berat Tingkat Kerusakan Rusak sedang Capital Intensive Labor intensive Capital Intensive Rusak ringan 147 Labor intensive NPV (28 227 235) (18 229 863) (10 793 897) (10 919 142) (12 105 183) IRR -27.7% -25.6% -23.3% -23.9% -81.9% NBCR 0.00 0.00 0.01-0.01-1.32 NPV (19 362 563) (9 365 191) (1 929 225) (1 996 940) 3 705 557 IRR -6.7% -0.3% 10.0% 9.8% 35.2% NBCR 0.32 0.49 0.82 0.82 1.71 NPV (18 795 379) (8 798 007) (1 362 041) (12 778 312) 4 272 741 IRR -4.1% 2.7% 12.3% -8.7% 28.6% NBCR 0.41 0.60 0.90 0.11 1.49 Sumber : Data Primer (diolah), 2005 Hasil analisis dari skenario-3, menunjukkan bahwa jika harga jual output (udang dan bandeng) turun 20%, maka budidaya tambak baik yang tradisional, tradisional plus maupun semi intensif sudah tidak layak dilaksanakan, kecuali tambak tradisional dan tradisional plus yang direhabilitasi secara labor intensive (Tabel 40). Namun jika harga jual output turun 10% saja, maka hanya tambak tradisional yang rusak berat dan rusak sedang (capital intensive) saja yang tidak layak dilaksanakan. Dari analisis rentabilitas di atas menggambarkan bahwa variabel harga jual output dan tingkat survival rate sangat elastis terhadap keuntungan dan kelayakan budidaya tambak udang di daerah studi. Artinya untuk menjaga kelangsungan budidaya tambak, maka kedua variabel tersebut harus menjadi perhatian semua stakeholder yang terlibat, baik pembudidaya tambak sendiri, investor, maupun pemerintah sebagai pembuat kebijakan (policy maker). Fakta menunjukkan bahwa di era 95-an hampir semua pembudidaya, investor tambak di Aceh mengalami kerugian yang disebabkan matinya udang karena terserang virus. Sejak saat itu, produksi udang di Aceh mengalami penurunan. Untuk mengurangi resiko, sebagian para pembudidaya tambak kembali kepada teknologi tradisional dan bahwa beralih komoditas ke bandeng.

148 4.11.6 Permasalahan Pengelolaan Tambak di NAD Ada beberapa masalah atau kendala dalam pengusahaan tambak di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) ketika sebelum tsunami adalah sebagai berikut: 1. Pembudidaya tambak dan sistem supply input-output sangat tidak terorganisir. 2. Kurangnya perencanaan yang tepat dan pendekatan sistematis (systematic approach) dalam pengelolaan tambak. 3. Penyakit-penyakit epidemi dan kehilangan hasil yang besar. 4. Kurangnya informasi ilmiah (scientific information) yang diterima para pembudidaya tambak. 5. Tidak adanya pengawasan (controlling) yang memadai dalam pengadaan input, khususnya bibit (benur). 6. Masalah kualitas produk, yang mengandung residu bahan kimia sehingga ditolak di pasar internasional. 7. Turunnya harga pasar produk dan rendahnya profit margin pembudidaya. 8. Ketergantungan yang terlalu besar dari para pembudidaya terhadap pedagang perantara untuk bantuan teknis, keuangan, pasokan (input) kebutuhan lahan dan pemasaran. 9. Masalah-masalah lingkungan, pengrusakan mangrove di beberapa daerah. 10. Rantai pemasaran diantara para pembudidaya dan penyalur sangat tidak teroganisir dengan baik. Sedangkan permasalahan pengelolaan tambak pasca tsunami adalah lebih ke permasalahan batas lahan, status dan kepemilikan lahan, kehilangan modal usaha dan biaya operasional, dan rusaknya sistem produksi dan pemasaran. Masalah status lahan merupakan faktor utama yang memperlambat mengalirnya bantuan rehabilitasi tambak baik oleh NGOs maupun pemerintah. Para NGOs dan donor tidak bersedia membangun atau merehabilitasi tambak yang tidak jelas status kepemilikannya, apalagi jika tambak tersebut berada di atas tanah negara. Masalah status kepemilikan atas lahan ini telah mendapat perhatian pemerintah (BPN) sejak tahun 2005, namun hingga kini masih belum tuntas.

149 Kegiatan membangun kembali atau memperbaiki tambak di Aceh oleh NGOs dan pemerintah telah dilakukan mulai pertengahan tahun 2005. Namun, dalam proses rehabilitasi tersebut, di lapangan, banyak ditemukan kendala dan masalah baik teknis maupun sosial. Oleh karena itu, untuk mencapai keberhasilan dalam rehabilitasi lahan tambak di Aceh, berikut hal-hal penting yang harus diperhatikan, yaitu (FAO 2005b): 1. Penilaian yang tepat terhadap kerusakan oleh tsunami dan masalah sebelum tsunami pada level pembudidaya tambak. 2. Keikutsertaan stakeholder dalam perencanaan dan pelaksanaan pekerjaan rehabilitasi. 3. Memobilisasi para pembudidaya untuk merasa memiliki pekerjaan rehabilitasi dan pengelolaan bersama. 4. Memberikan pendidikan dan motivasi para pembudidaya untuk mengimplementasikan praktek pengelolaan tambak yang lebih baik. 5. Rehabilitasi hatchery dan nursery untuk penyediaan benih/bibit berkualitas yang bebas dari penyakit. 6. Menyediakan layanan berkelanjutan yang tepat dan mengembangkan rasa saling percaya (trust building) diantara semua pemilik dan stakeholder. 7. Meningkatkan hasil panen dan pemeliharaan layanan pasca panen untuk kualitas dan harga yang lebih baik. 8. Menghubungkan para pembudidaya dengan pasar untuk akses yang lebih baik. 9. Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi mangrove sebagai bagian pelengkap dari rehabilitasi tambak untuk menciptakan lingkungan budidaya perikanan yang ramah lingkungan. 10. Menggunakan pedoman lingkungan dari Departemen Perikanan Budidaya/FAO/NACA. 4.11.7. Strategi Rehabilitasi Tambak Untuk budidaya tambak, komoditas yang dianjurkan adalah udang windu, udang vanamei, bandeng dan rumput laut Gracilaria (PT.Oxalis Subur 2006).

150 Khusus untuk Gracilaria, karena masih baru di Aceh, perlu dipastikan dulu calon pembelinya (pasar). Dipilihya udang windu karena nilai ekonomi cukup tinggi, udang vanamei lebih tahan terhadap penyakit, bandeng mudah dipelihara dan harga jual yang relatif stabil, sehingga dapat mengurangi resiko usaha. Strategi rehabilitasi tambak di Provinsi NAD diawali dengan penataan ulang pertambakan yang tanggul dan jaringan irigasinya sudah hancur karena tsunami. Menurut PT. Oxalis Subur (2006), penataan kembali pertambakan di NAD ditujukan untuk: Pertama, melaksanakan manajemen budidaya yang memenuhi persyaratan budidaya udang di lingkungan yang sudah tercemari penyakit viral SCHM (Shrimp Culture Health Management). Kedua, membangun jaringan irigasi yang dapat memenuhi persyaratan SCHM. Ketiga, memenuhi persyaratan kemandirian agribisnis budidaya udang NAD. Seperti diketahui, pada pertengahan tahun 90-an, tambak di Aceh mulai diserang virus, seperti MBV dan WSV (White Spot Virus), sehingga ketika itu banyak tambak yang produksinya berkurang drastis bahkan gagal panen. Maka, kedepan teknis pengelolaan tambak di Aceh harus mengikuti Manajemen Kesehatan Budidaya Udang (SCHM). Pada prinsipnya penerapan SCHM dalam rehabilitasi dan rekonstruksi tambak terletak pada jaringan irigasi sebagai berikut: 1. Saluran pemasuk (irrigation) air harus terpisah dari saluran pembuang (drainage). 2. Penggantian air tambak dilakukan seminimal mungkin, karena pergantian air yang besar dapat bermakna memasukkan lebih banyak carrier penyakit. 3. Sebagai konsekuensi dari butir ke dua adalah dimensi saluran pembawa tidak terlalu besar. Dengan kisaran pasang setinggi 1,70 m, maka dimensi saluran selebar 10 m dan kedalaman 1,5 m cukup untuk mengairi tambak seluas 150 ha. Berikut ini langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk rehabilitasi lahan budidaya perikanan (tambak) di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (FAO 2005b), seperti terlihat pada Gambar 48.

151 LANGKAH 1 Penilaian, Mobilisasi dan Perencanaan Masyarakat LANGKAH 3 Manajemen Produksi dan Keberlanjutan 1 Masuk ke Desa dan lakukan penilaian awal 9 Perencanaan & prioritas komoditi dengan manajemen yang baik 2 3 4 5 Membangun hubungan & memotivasi para petani Berpartisipasi dalam membuat detail dari keperluan penilaian Pemetaan Tambak Membuat formasi dari kelompok petani 7 8 LANGKAH 2 Rehabilitasi Perbaikan & rekonstruksi tambak/saluran Penanaman Mangrove 10 11 12 13 14 Penyediaan dari masukan untuk kualitas lahan Pelayanan yang berkelanjutan Manajemen pengelolaan sumber daya air Pemasaran produksi Monitoring dan evaluasi 6 Berpartisipasi dalam perencanaan rehabilitasi 15 Hasil balik untuk petani dan sharing pengalaman Gambar 48. Langkah-langkah Rehabilitasi dan Rekonstruksi Tambak di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Di bawah ini disajikan beberapa konsep pedoman lingkungan untuk rehabilitasi tambak di Aceh. Konsep ini, yang dibuat berdasarkan prinsip-prinsip umum (global) manajemen budidaya udang, merupakan hasil proses yang melibatkan berbagai stakeholder untuk mengembangkan konsensus internasional tentang pengelolaan pertambakan udang. Konsep yang telah disesuaikan dengan berbagai kondisi khas lingkungan dan sosial pertambakan udang di Aceh adalah sebagai berikut: 1. Tambak harus dibuat di wilayah dengan lingkungan yang sesuai untuk budidaya ikan dan udang. Pembangunan tambak tidak boleh membawa

152 dampak yang merugikan bagi keanekaragaman hayati, habitat yang secara ekologis rawan dan fungsi ekosistem. Diperlukan pula kejelasan status tanah secara hukum agar tambak tidak dibangun di wilayah sabuk hijau atau yang diperuntukkan sabuk hijau. 2. Rehabilitasi tambak dan pasokan air harus dilakukan sedemikian rupa agar tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan, termasuk di antaranya risiko pencemaran asam sulfat dan rusaknya sistem pasokan air. Tata letak (design) tambak harus diupayakan agar memadukan wilayah penyangga, misalnya habitat alam bakau, dengan kolam-kolam tambak. Demikian pula teknik dan rekayasa yang diterapkan harus dapat meminimalkan erosi, pencemaran asam sulfat dan salinitas selama proses konstruksi, rehabilitasi dan operasi. dilaksanakan. 3. Rehabilitasi sistem pasokan air harus dilaksanakan sedemikian rupa agar dapat menjamin persediaan air dan sistem penyaluran yang diperlukan. Kehati-hatian juga sangat diperlukan agar tidak terjadi perembesan air tambak ke wilayah pertanian, jika jarak keduanya berdekatan. Demikian pula dampak lokasi yang terkait dengan pembuangan limbah cair dan padat harus diminimalkan. 4. Pencarian benih dari alam dan sistem hatchery benih udang maupun bandeng harus dilakukan dengan cara yang tidak merusak. Sebaliknya perlu dilakukan praktek hatchery yang dapat meningkatkan kualitas benih udang dan bandeng. 5. Pakan dan manajemen pemberian pakan harus dilakukan sedemikian rupa agar dapat memanfaatkan sumber daya yang tersedia secara efisien. Pakan dan pupuk harus dimanfaatkan secara efisien agar dapat mempertahankan kesuburan tambak dan tidak menyebabkan degradasi kualitas air atau berdampak negatif pada kesehatan atau keamanan pakan udang atau ikan yang dibudidayakan. 6. Resiko penyakit terhadap ikan dan udang tangkap maupun budidaya harus diminimalkan melalui penebaran benih ikan dan udang yang sehat. Pengelola hatchery dan petambak harus diberi pelatihan tentang cara-cara

153 sederhana untuk mengurangi resiko serangan penyakit terhadap ikan dan udang dengan tetap berpegang pada upaya menjaga kualitas lingkungan. 7. Penggunaan bahan kimia yang cenderung menimbulkan residu atau ancaman terhadap lingkungan harus dihindari. Meskipun antibiotik tidak biasa dipergunakan di dalam pertambakan tradisional, penggunaan bahanbahan kimia untuk persiapan tambak sering dilakukan dan untuk itu harus dicarikan alternatif solusinya dan selanjutnya dimasyarakatkan. 8. Rehabilitasi dan operasi tambak harus dilakukan agar dapat memberi manfaat bagi masyarakat setempat dan pemerintah provinsi. Rehabilitasi, selain memang sangat diperlukan untuk mata pencaharian masyarakat di wilayah pesisir, juga harus dilakukan agar dapat memaksimalkan lapangan pekerjaan dan keuntungan sosial bagi masyarakat serta dapat menghindarkan terjadinya konflik sosial. Oleh karena itu, rehabilitasi memerlukan rancangan yang sensitif untuk menanggapi berbagai masalah sosial. Prinsip-prinsip ini dapat dikembangkan menjadi seperangkat pedoman untuk diterapkan secara umum dalam konteks mendukung rehabilitasi tambak di Aceh, melalui proses konsultasi dengan pemerintah, NGOs dan petambak. Jika pedoman dan prinsip lingkungan ini telah dikembangkan, selanjutnya akan dibuat materi penyuluhan dan pelatihan menurut keperluan. Kegiatan ini dapat dilaksanakan oleh pemerintah, NGOs dan lembaga-lembaga lainnya yang terlibat di dalam rehabilitasi tambak di Aceh. 4.12. Konflik Lahan Tambak dan Mangrove Tahun dimulainya usaha budidaya tambak berbeda-beda untuk masingmasing daerah di Aceh. Di desa Neuheun, Lam Nga, dan Gampong Baru Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar budidaya tambak dimulai sejak 1963 ditandai dengan dibentuknya kelompok pembudidaya tambak. Budidaya tambak di Kecamatan Bandar Baru Kabupaten Pidie mulai tahun 1950-an. Sementara di Desa Lambaro Skep Kecamatan Kuta Alam dan Desa Tibang Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh budidaya tambak dimulai tahun 1974.

154 Di Kecamatan Jeunib dan Samalanga Kabupaten Bireuen serta Kecamatan Seunedon dan Baktiya Barat Kabupaten Aceh Utara dimulai pada tahun 1947-an. Budidaya tambak secara besar-besaran di Provinsi Nanggroe Aceh terjadi antara tahun 1977-1995, seperti terlihat pada Gambar 49. Pada waktu itu harga udang di pasaran sangat tinggi sehingga memicu para pembudidaya untuk membuka lahan tambak secara besar-besaran. Bagi mereka yang tidak memiliki tanah terpaksa menebang hutan mangrove dan rawa-rawa di pesisir pantai untuk dikonversi/diubah fungsinya menjadi tambak. 45,000 40,000 35,000 30,000 25,000 20,000 15,000 10,000 5,000 0 1969 1972 1975 1978 1981 1984 1987 1990 1993 1996 1999 2002 Luas Tambak Gambar 49. Perkembangan Luas Tambak di Provinsi Nanggroe Darussalam (NAD) Tahun 1969 2003. Gambar 49 menunjukkan bahwa pembangunan tambak dimulai tahun 60- an dan mencapai puncaknya pada pertengahan tahun 90-an, setelah itu perkembangan tambak mulai menurun. Dalam kurun waktu tersebut dikonversi lahan di atas 15.000 ha hingga akhir tahun 60-an dan meningkat hampir mencapai 40.000 ha pada akhir tahun 90-an. Wilkinson et al. (2006) menyatakan bahwa penebangan jutaan hektar hutan mangrove untuk pembangunan tambak merupakan penyebab utama berkurangnya hutan mangrove di Indonesia. Yayasan Pugar mengidentifikasi beberapa penyebab berkurangnya hutan mangrove di Aceh, antar lain adalah konversi mangrove untuk lahan tambak dan

155 penebangan mangrove baik untuk rumah tangga maupun untuk tujuan komersil. Pada level rumah tangga, mangrove biasanya digunakan untuk bahan bangunan dan kayu bakar, sedangkan untuk tujuan komersial penebangan mangrove untuk bahan baku industri arang dan kayu log untuk ekspor ke Malaysia dan Singapore (Sharma 2005). Pembangunan tambak dituding sebagai penyebab utama rusak atau hilangnya hutan mangrove di kawasan pesisir. Ada konflik penggunaan lahan antara untuk tambak dan hutan mangrove, ketika tambak di bangun maka hutan mangrove harus dikorbankan. Ada interaksi negatif antara luas hutan mangrove dan luas tambak di daerah penelitian. Semakin tinggi luas tambak, maka akan semakin berkurang luasan hutan mangrove. Trajektori luas tambak, di daerah penelitian, di awal periode pengamatan terus meningkat, namun mulai tahun 1996 meskipun ada peningkatan, tetapi relatif kecil dan luasan tambak mulai agak stabil. Hal ini disebabkan, mulai tahun 1995 usaha tambak udang windu di Aceh terinfeksi penyakit virus yang cukup parah, sehingga sebagian besar tambak udang ketika itu mengalami gagal panen. Himpunan Alumni IPB (2006) menyatakan bahwa pemanfaatan hutan mangrove untuk perikanan budidaya dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu tambak terbuka, yang jika tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, dan tambak tumpangsari, yang lebih lestari terhadap lingkungan. Menurut Perum Perhutani, rasio tumpang sari tambak dan mangrove yang ideal adalah 20:80 (20% tambak ikan dan 80% hutan mangrove). Lebih jauh dikatakan bahwa dewasa ini luasan hutan mangrove semakin berkurang, sehingga iklim mikro di tambak tidak nyaman untuk pertumbuhan udang. Misalnya, ketika saing hari dimana cuaca panas terik, maka udang tidak ada tempat berteduh karena tidak ada mangrove. Kondisi ini akan berpengaruh pada menurunnya produksi dan nilai jual udang. Berdasarkan skenario pembobotan parameter ekologi dan ekonomi didapatkan bahwa rasio tambak dan mangrove 50:50 dan 60:40 merupakan nilai optimum bagi pemanfaatan hutan mangrove secara lestari, baik secara ekologi maupun ekonomi. Hal ini berarti bahwa para pembudidaya tambak diperbolehkan meningkatkan luas tambak sampai 50% atau 60% dari luas total mangrove untuk

156 meningkatkan keuntungan ekonomi mereka dengan tetap dapat mempertahankan ekosistem mangrove secara lestari. Jika luas tambak lebih dari 80% luas total mangrove, maka ekosistem mangrove tidak akan mampu mendukung sistem kehidupan secara lestari dan kerusakan lingkungan pesisir tidak dapat dihindari. Jika konsep perbandingan tambak mangrove 50 : 50 atau 60 : 40 di atas diterapkan, dan jika luas kotor tambak di Provinsi NAD pada Tahun 2003 adalah 36.615 ha, maka luas hutan mangrove ideal antara 14 646 18 307.5 hektar. Ada beberapa hal yang menarik dari perkembangan budidaya tambak di Provinsi Aceh, khususnya jika dikaitkan dengan keberadaan hutan mangrove. Pertama, alih fungsi hutan mangrove untuk budidaya tambak lebih banyak terjadi di Pantai Barat Aceh, yaitu Banda Aceh dan Aceh Besar, dibandingkan dengan tambak-tambak di Bireuen, Pidie, Aceh Utara dan Lhokseumawe merupakan, yang sebagian besar merupakan alih fungsi lahan sawah, terutama sawah-sawah yang berada di sekitar pantai dan muara sungai. Kedua, konversi kawasan hutan mangrove untuk budidaya tambak mulai marak pada awal dekade tahun 1960-an, pada saat investor dari Medan menyediakan pembiayaan bagi kelompok-kelompok pembudidaya tambak (satu kelompok terdiri dari 40 orang), dengan syarat hasil udang harus dijual kepada investor yang bersangkutan. Tawaran itu ditanggapi dengan penuh antusias oleh masyarakat, hanya dengan Surat Izin Menggarap yang dikeluarkan Keuchik (kepala desa) setiap orang bisa menggunakan lahan yang tidak terpakai (sebagian besar merupakan hutan mangrove) untuk budidaya tambak. Pembabatan hutan mangrove untuk budidaya udang semakin meluas pada pertengahan tahun 1970- an, baik oleh masyarakat setempat maupun oleh investor dari luar Aceh. Hal ini berkaitan dengan tersebarnya rekomendasi teknis dari konsultan Kantor Perikanan Provinsi Aceh, yang menyatakan bahwa pohon mangrove di sekitar tambak dapat meningkatkan keasaman air tambak melalui daun dan akar pohon mangrove, yang pada gilirannya akan menurunkan produktivitas tambak, khususnya budidaya udang. Pada tahun 1987, setelah berlangsung lebih dari sepuluh tahun, Dinas Perikanan melakukan kampanye penanaman kembali pohon mangrove, sembari membantah rekomendasi teknis sebelumnya.

157 Ketiga, perkembangan tambak di Provinsi Aceh (khususnya untuk budidaya udang) mencapai titik balik pada tahun 1995. Pada sekitar tahun 1995 muncul penyakit virus, bakteri dan jamur pada udang yang menyebabkan sebagian besar tambak gagal panen. Diduga akibat pencemaran tambak akibat eksploitasi lahan tambak yang berlebihan. Banyak budidaya udang ditinggalkan investor, dan pembudidaya tambak mengalihkan usaha dengan memelihara ikan bandeng. 4.13. Interaksi Mangrove dan Sumber daya Perikanan Beberapa teori menyatakan bahwa ada hubungan positif antara ekosistem mangrove dengan produksi perikanan tangkap. Pemikiran tersebut didasarkan pada fungsi hutan mangrove yang antara lain adalah sebagai daerah asuhan (nursery ground), mencari makan (feeding ground), pemijahan (spawning ground) berbagai biota perairan seperti ikan, udang, dan kerang (Bengen 2002). Ekosistem mangrove di Provinsi NAD adalah sebagai tempat habitat berbagai macam ikan, crustacean, mollusca, dan burung serta mendukung kehidupan reptile dan mamalia. Masyarakat percaya bahwa akar mangrove dapat berperan dalam melindungi ikan kecil dari pemangsa. Ketika ikan dewasa, mereka meninggalkan payau dan pindah ke estuaria, karang, dan laut lepas. Ikan utama yang dapat ditangkap di ekosistem mangrove sepanjang Pantai Barat Aceh adalah udang, kerapu, kakap, teri, bandeng, dan lain-lan. Untuk melihat interaksi ini digunakan data time series selama 21 tahun (1984 2004) dari produksi udang dan beberapa jenis pelagis kecil yang ditangkap dengan alat tangkap pukat pantai, payang, dan jaring klitik. Data yang digunakan untuk menganalisis bahagian ini adalah hanya data dari Kabupaten Aceh Besar. Hal ini dilakukan karena sulitnya mendapatkan data time series luasan mangrove di kabupaten/kota lainnya atau Aceh secara keseluruhan pada periode 1984 2004. Hasil perhitungan diperoleh parameter biologi sebagai berikut : Koefisien pertumbuhan (r) = 0,7158, koefisien daya tangkap (q) = 2.85E- 05 dan carrying capacity (K) = 7460,57 serta rata-rata produksi aktual adalah 1181,83 ton.

158 Model yang digunakan untuk mengetahui interaksi antara ekosistem mangrove dan sumber daya perikanan tangkap adalah model Fozal (Efrizal 2005), dengan formula (3.57). Rumus ini diturunkan dari kurva yield-effort model logistik, yaitu dengan memasukkan variabel hutan mangrove pada daya dukung lingkungan (carrying capacity). Hasil analisis menunjukkan ada interaksi positif antara keberadaan ekosistem mangrove dengan produksi perikanan tangkap, khususnya udang dan pelagis kecil. Interaksi tersebut digambarkan oleh persamaan model Fozal, yaitu : h t = 0,6883E t + 5,23623E t 2 (Lampiran 38). Perbedaan produksi perikanan baseline dan model Fozal seperti terlihat pada Tabel 41. Tahun Tabel 41. Perbedaan antara produksi sumber daya perikanan baseline dengan Model Fozal. Effort (Ribu Trip) Produksi Lestari Baseline (Ton) Mangrove (ha) Produksi Lestari dari Mangrove (Ton) Produksi (Ton) Perbedaan Persentase (%) 1984 5 475 909.89 974.30 183.01 726.87 20.11 1985 5 673 933.30 949.64 195.60 737.70 20.96 1986 5 729 939.87 909.04 198.21 741.67 21.09 1987 5 542 917.93 857.99 184.03 733.90 20.05 1988 5 627 927.96 794.10 187.47 740.48 20.20 1989 5 659 931.69 722.38 186.89 744.80 20.06 1990 5 483 910.86 632.52 172.02 738.83 18.89 1991 5 819 950.17 536.33 188.55 761.61 19.84 1992 6 560 1 030.10 456.77 232.95 797.15 22.61 1993 6 218 994.40 390.44 204.17 790.23 20.53 1994 6 913 1 064 89 337.20 245.62 819.27 23.07 1995 6 907 1 064 36 290.20 238.90 825.45 22.45 1996 8 324 1 182 97 271.00 341.68 841.28 28.88 1997 8 667 1 206 53 268.80 369.59 836.94 30.63 1998 8 967 1 225 56 263.60 394.05 831.51 32.15 1999 8 888 1 220 70 260.50 386.36 834.33 31.65 2000 9 370 1 248 72 258.10 428.37 820.35 34.30 2001 9 216 1 240 19 256.80 414.12 826.07 33.39 2002 10 169 1 286 53 253.70 502.47 784.06 39.06 2003 10 333 1 292 94 251.50 517.85 775.09 40.05 2004 11 896 1 331 34 250.00 684.56 646.79 51.42 Rerata 7 497 1 086 23 485.00 307.45 778.78 27.21 Secara grafik, trajektori produksi lestari sumber daya perikanan baseline dan produksi dari kontribusi mangrove (Model Fozal) seperti terlihat pada

159 Gambar 50. Dari Tabel 41 dan Gambar 50 menunjukkan bahwa ekosistem mangrove memberikan kontribusi sebesar 27.21% terhadap produksi sumber daya perikanan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Dengan kata lain, lebih dari 25% produksi pelagis kecil di darah penelitian dikontribusikan oleh adanya ekosistem mangrove. Artinya, peran ekosistem mangrove cukup penting dalam menentukan tinggi rendahnya produksi perikanan tangkap, khususnya ikan pelagis kecil, udang dan kerang yang bersimbiosis dengan ekosistem mangrove. Produksi (ton) 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 Tahun Lestari Baseline Lestari Mangrove Gambar 50. Trajektori sustainable yield baseline dan Model Fozal. Beberapa penelitian menunjukkan adanya keterkaitan antara ekosistem mangrove dengan eksistensi dan produksi sumber daya perikanan, antara lain : Efrizal (2005) menyatakan bahwa ekosistem mangrove memberikan kontribusi 44,18 % terhadap produksi sumber daya ikan demersal di Kabupaten Bengkalis, Riau. Paw and Chua (1989) menyatakan bahwa ada hubungan positif antara luas area mangrove dengan penangkapan udang penaeidae di Philipina. Martusobroto dan Naamin (1979) menyatakan bahwa ada hubungan positif antara hasil tangkapan udang tahunan dan luas mangrove di seluruh Indonesia. Lebih jauh dijelaskan hubungan tersebut bersifat linier dengan persamaan y = 0,06 + 0,15x, dimana y adalah hasil tangkapan udang (ton/tahun) dan x adalah luas hutan mangrove (ha).

160 Suatu penelitian yang dilakukan Ruitenbeek (1992) tentang analisis ekonomi pengelolaan ekosistem mangrove di teluk Bintuni, Irian Jaya, menunjukkan bahwa nilai net benefit tahunan mangrove sekitar US$ 235. Dari keseluruhan nilai tersebut kegiatan perikanan (fisheries) memberikan kontribusi terbesar sekitar US$ 117 (49.79 %), diikuti oleh kegiatan kehutanan (forestry) sekitar US$ 67 (28.51 %), pemanfaatan oleh masyarakat lokal (local uses) sekitar US$ 33 (14.04 %), fungsi keanekaragaman hayati (biodiversity) US$ 15 (6.38 %), dan fungsi penahan erosi US$ 3 (1.28%). Menurut Sudarmono (2005), sekitar 30 persen produksi perikanan laut tergantung pada eksistensi hutan mangrove, karena kawasan mangrove menjadi tempat perkembangbiakan berbagai biota laut, termasuk beberapa jenis ikan tertentu. Daun mangrove yang jatuh menjadi detritus yang dapat menambah kesuburan kawasan sehingga menjadikan tempat ini disukai oleh biota laut tersebut dan menjadikannya sebagai tempat bertelur, memelihara larva, dan tempat mencari makan bagi berbagai spesies akuatik, khususnya udang penaeidae dan ikan banding. Menyadari pentingnya hutan mangrove bagi pertumbuhan ikan dan berbagai biota laut lainnya, maka rehabilitasi mangrove di Provinsi NAD harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Jika tidak, ketersediaan stok ikan di perairan Aceh akan semakin memprihatinkan. Sebagai konsekuensinya, para nelayan kecil yang menangkap ikan di sekitar perairan pantai dengan menggunakan boat atau perahu kecil akan semakin sulit mendapatkan hasil yang memadai. Kondisi ini tentu akan mempengaruhi penghasilan dan kesejahteraan mereka. Belum ada data yang konkrit tentang luas hutan mangrove di Aceh. Data yang ada bervariasi dan berbeda antara satu instansi/lembaga dengan yang lainnya. Menurut Departemen Kehutanan (2004), diacu dalam Medrilzam (2005) bahwa luasan hutan mangrove Propinsi NAD diperkirakan mencapai sekitar 346 838 ha, seperti terlihat pada Tabel 42.

161 Tabel 42. Perkiraan luas hutan mangrove di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Lokasi Pantai Panjang Garis Pantai Luas Hutan Mangrove (Km) (Ha) Pantai Utara - Timur 761 296 078 Pantai Barat - Selatan 706 49 760 Pulau Simeulue 1 000 1 000 Total 2 467 346 838 Sumber : Siaran Pers Dephut No.S.32/II/PIK-1/2004 dan Data Dephut 2001 dan WIIP Menurut Wetlands International-Indonesia Program, hingga tahun 2000, hutan mangrove yang kondisinya masih baik di NAD hanya lebih kurang seluas 30 000 ha termasuk hutan mangrove yang terdapat di pesisir Pulau Simeuleu. Hutan mangrove yang rusak mencapai 25 000 ha dan hutan mangrove yang rusak sedang seluas 286 000 ha. Menurut Philips and Budhiman (2005) dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD (2004), luas hutan mangrove di Aceh seperti tercantum pada Tabel 43. Kedua sumber data pada Tabel 43 terlihat sangat bervariasi, namun secara umum dapat disimpulkan bahwa hutan mangrove di Pantai Timur jauh lebih luas dibandingkan dengan hutan mangrove di Pantai Barat. Hal ini ada hubungannya dengan type pantai dari kedua wilayah ini, dimana pantai timur lebih landai dibandingkan dengan pantai barat. Diperkirakan sekitar 85 persen dari luas hutan mangrove yang ada di Aceh berada di sepanjang pesisir Pantai Timur Aceh, sisanya 15 persen berada di Pantai Barat dan Pulau Simeulue. Jenis mangrove yang dominan di Pantai Timur Aceh adalah Avicennia, spp dan Rhizophora mucronata, sedangkan di Pantai Barat adalah Nypha fruticans dan tanaman hutan pantai lainnya dan di Pulau Simeulue adalah jenis Rhizophora apiculata (Kusmana 2005). PT Geotray Bhuana (2006) menyatakan mangrove yang dominan di kedua pantai di Aceh adalah Rhizophora apiculata dan Avicennia marina.

LOKASI 162 Tabel 43. Perkiraan luas hutan mangrove di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) tahun 2003. Perkiraan Luas Hutan Mangrove (ha) Philips and Budhiman (2005) DKP Prov. NAD 2004a PANTAI TIMUR - Sabang - 40.00 - Banda Aceh 683.20 30.20 - Aceh Besar 1 007.50 90.00 - Pidie 5 012.40 91.00 - Bireuen 5 146.90 20.00 - Lhokseumawe 1 027.50 - - Aceh Utara 9 337.00 - - Langsa 51.20 2 150.00 - Aceh Timur 12 590.00 20 430.00 - Aceh Tamiang 8 855.00 - Sub Total 43 710.70 22 851.20 PANTAI BARAT - Aceh Jaya 320.30 - - Aceh Barat 49.50 40.00 - Nagan Raya - 80.00 - Aceh Barat Daya 34.00 325.00 - Aceh Selatan 12.00 62.00 - Aceh Singkil - - - Simeulue - - Sub Total 415.80 507.00 TOTAL 44 126.50 23 358.20 Sumber : The WorldFish (2006). Menurut Wet Land Internasional (2005), berdasarkan RePPProT (1985 1989), luas hutan mangrove di Aceh semula mencapai 60 000 ha. Jumlah tersebut berkurang drastis menjadi sekitar 20 000 ha, sepertiga dari jumlah awal, pada periode 1986 1990 dan kini diperkirakan jumlah hutan mangrove sekitar 10 000 12 500 ha. Data ini berbeda jauh dengan data Dephut yang digunakan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias saat ini, luasnya mencapai 168 840 ha dengan akumulasi kerusakan sebelum dan sesudah tsunami 105 260 ha. Akibat gempa bumi dan tsunami 26 Desember 2004, hampir 100 persen hutan mangrove di Pantai Barat Aceh mengalami rusak total, terutama mangrove yang berada di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Total luas mangrove di kedua kabupaten/kota ini diperkirakan mencapai 27 000 ha.

163 Sedangkan untuk Pantai Timur Aceh, yang dimulai dari Kabupaten Pidie, Bireuen, sampai Aceh Tamiang, mengalami kerusakan yang bervariasi. Secara umum, semakin ke arah timur (arah ke Medan) tingkat kerusakan semakin ringan. Untuk Kabupaten Pidie, diperkirakan tingkat kerusakan hutan mangrove sekitar 75 persen, Bireuen, Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara mencapai 30 persen, sedangkan Aceh Timur, Kota Langsa, dan Tamiang relatif tidak rusak. Jika luas kerusakan hutan mangrove 105 260 ha, seperti yang dilaporkan DEPHUT, maka ke depan memerlukan sumber daya yang cukup besar dan kerja keras untuk mengembalikan hutan mangrove yang rusak tersebut. Bahkan Aceh dengan panjang garis pantai sekitar 2 467 km memerlukan hutan mangrove lebih dari 200 000 ha sebagai buffer zone atau greenbelt yang berfungsi untuk mencegah erosi dan abrasi serta mengurangi energi gelombang (tsunami). Untuk itu, pemerintah, NGOs, dan lembaga donor lainnya telah mulai melakukan penanaman kembali areal mangrove yang rusak karena tsunami. Luas hutan mangrove yang sudah direhabilitasi selama 2 tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 44. Table 44. Rehabilitasi mangrove di Provinsi NAD (2005-2006). Kabupaten Target rehabilitasi (Ha) Realisasi rehabilitasi (Ha) 2005 2006 2005 2006 Pantai Barat 6278 21 25 21 Aceh Barat 1,251-1 - Aceh Barat Daya - - - - Aceh Jaya 5,023 21 23 21 Aceh Selatan - - - - Aceh Singkil - - - - Nagan Raya - - - - Simeulue 4-1 - Pantai Timur 2293 149 260 85 Aceh Besar 1,763 9 13 0 Aceh Timur - - - - Bireuen - - - - Pidie 92 75 92 75 Banda Aceh 254 50 0 0 Lhokseumawe 0-0 - Sabang 184 15 155 10 Total 8571 170 285 106 Sumber : BRR database (www.e-aceh-nias.org, dikunjungi pada 5 September 2006)

164 NGO Yagasu, misalnya, pada 15 April 2005 telah menanam kembali (replanting) 10 000 batang mangrove, dan dalam 3 bulan ke depan akan menanam hingga 20 000 batang di Kota Banda Aceh. Selain melakukan replanting, NGO Mercy Corp juga melakukan pembibitan (seedling) dimana pada November 2005 telah mencapai 130 000 bibit mangrove, Pusat Pengembangan Potensi Pesisir dan Lautan (P4L) telah menanam 5 000 batang mangrove di Meureubo Aceh Barat, Dinas Perkebunan dan Kehutanan di tiap kabupaten/kota dengan proyek Gerhan (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan) telah menanam 7 150 ha mangrove yang terdiri dari 2 550 ha di Pantai Barat dan 4.600 ha di Pantai Timur Aceh. Disamping itu, masih banyak NGOs lain yang melakukan replanting mangrove, seperti : Oxfam, Forum Kumunikasi Generasi Muda Aceh Barat (GEMAB), Indonesian Department of Education and Permaculture (IDEPT), Dinas Perkebunan dan Kehutanan di Tiap Kabupaten/Kota dengan proyek, dan lain-lain. Namun, hasil pemantauan di lapangan menunjukkan bahwa survival rate penanaman mangrove sangat rendah, diperkirakan < 50 persen. Rendahnya tingkat tumbuh mangrove ini disebabkan cara penanaman mangrove yang dilakukan tidak memenuhi standar atau persyaratan teknis. Umumnya jenis mangrove yang telah ditanam kembali pasca tsunami adalah Rhizophora mucronata (yang disebut bakau) dengan jarak tanam yang sangat rapat (sekitar 20 30 cm). Bibit mangrove ditanam oleh masyarakat setempat dengan sistem upah per batang (cash for work). Mereka tidak mempunyai pengetahuan yang memadai untuk menanam dan merawat mangrove. Padahal, secara teoritis setiap jenis mangrove membutuhkan persyaratan teknis yang berbeda antara satu dan lainnya, misalnya persyaratan unsur hara, tekstur tanah, salinitas air, ketahanan terhadap gelombang, dan lain-lain. Apalagi kondisi lahan di Aceh yang dipercayai sudah mengalami banyak perubahan akibat tsunami. Akibatnya, suatu spesies mangrove yang tumbuh baik di suatu darah sebelum tsunami, maka setelah tsunami belum tentu jenis yang sama akan cocok/sesuai ditanam kembali, perlu ada analisis awal tentang kesesuian lahan. Menurut penelitian Kusmana (2005) tekstur tanah di Pantai Timur Aceh adalah berpasir (sand), liat (loam), dan liat berlumpur (silt loam), jenis mangrove yang dianjurkan adalah Avicennia marina, Avicennia lanata, Avicennia alba,

165 Rhizophora mucronata. Sedangkan di Pantai Barat tekstur tanahnya adalah berpasir (sand), liat (loam), liat berpasir (sandy loam), jenis mangrove yang dianjurkan adalah Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata, Sonneratia alba, Aegiceras floridum, dan Phemphis acidula (cantigo). Selain itu, jenis Nypha fruticans yang tumbuh lebih kearah daratan juga cocok ditanami, khususnya di Pantai Barat Aceh. Lebih jauh dikatakan bahwa lahan potensial untuk penanaman mangrove di Aceh pasca tsunami adalah 447 061 ha, yang terdiri dari 297 464 ha di lahan kahayan (KHY), 61 888 ha di lahan kajapah (KJP), dan 87 709 ha di lahan puting (PTG). Belajar dari kegagalan masa lalu dimana tingkat keberhasilan (survival rate) penanaman mangrove yang cukup rendah, maka kedepan perlu adanya penanaman dan pengelolaan mangrove yang terorganisir. Untuk itu, perlu dibentuk formulasi perencanaan manajemen mangrove (Mangrove Management Plan). Perencanaan manajemen ini termasuk penilaian secara sistematis dan komperehensif dari luas area hutan mangrove yang rusak karena gelombang tsunami dan mengidentifikasi luas area yang dibutuhkan dan cocok untuk penanaman kembali mangrove. Semua ini harus mempertimbangkan faktor-faktor biologi (lingkungan) dan sosial ekonomi yang mungkin mempengaruhi pemanfaatan mangrove ke depan dan pembangunan suatu konsep untuk menilai spesies yang paling cocok untuk ditanami kembali. Pemilihan spesies harus didasarkan pada penelitian kesesuaian lahan, keuntungan ekonomi, dan kesesuaian lingkungan dan ekonomi jangka panjang. Untuk mewujudkan tahapan di atas, diperlukan suatu pusat sumber daya rehabilitasi hutan mangrove untuk capacity building. Untuk membantu mendapatkan masyarakat yang mendukung pembangunan perencanaan manajemen, perlu dibentuk suatu network pusat capacity building di sepanjang pantai. Lembaga harus dikenal luas oleh masyarakat dan harus sukses dalam jangka panjang. Tujuan center ini termasuk : untuk meningkatkan akses informasi kepada masyarakat tentang pentingnya rehabilitasi mangrove, untuk melakukan training dalam usaha penanaman mangrove, menyediakan informasi dalam opsiopsi pemanfaatan hutan mangrove ke depan. Selain itu, juga mengadakan

166 pelatihan menyangkut pengusahaan nursery, rehabilitasi mangrove, reklamasi lahan yang terintrusi garam tinggi, dan manajemen pengelolaan sumber daya. Untuk mengetahui luasan mangrove dan tingkat effort optimal yang dapat diterapkan sebagai suatu kebijakan di Provinsi NAD digunakan model Fozin-2 (persamaan 3.58). Hasil analisis dengan menggunakan software GAMS diperoleh nilai-nilai seperti terlihat pada Tabel 45. Tabel 45. Luas Mangrove dan effort aktual dan optimal di Provinsi NAD Lokasi Mangrove Effort aktual optimal aktual optimal Pantai Timur 43 710.00*) 100 946.70 87 226.06 105 950.00 Pantai Barat 415.80*) 13 029.91 64 024.20 74 456.00 *) Philips dan Budhiman (2005 4.14. Integrasi Analisis Bio-ekonomi Perikanan di NAD Seperti dijelaskan pada sub bab terdahulu bahwa produksi aktual perikanan pelagis di Provinsi NAD menunjukkan trend yang meningkat, bahkan pada tahun-tahun tertentu selama periode pengamatan telah melebihi produksi lestari, terutama pada akhir-akhir dari periode pengamatan. Peningkatan hasil tangkapan ini dipicu (driven) oleh peningkatan input, penambahan jumlah trip atau penambahan jumlah armada (fleet), yang sangat signifikan dari tahun ke tahun. Untuk Pantai Timur, peningkatan effort cukup tajam setelah periode pertengahan 90-an atau setelah tahun 1995. Penyebabnya adalah banyaknya sifting tenaga kerja dan investasi dari perikanan budidaya ke perikanan tangkap, akibat wabah virus yang melanda pertambakan di Provinsi NAD. Sedangkan di Pantai Barat, tingkat effort terus meningkat dari awal periode pengamatan. Peningkatan input yang tidak terkendali akan mengarah kepada overfishing, terutama economic overfishing, seperti yang dikemukakan oleh Gordon (1954), diacu dalam Fauzi (2004) bahwa pada perikanan open access akan terjadi economic overfishing dimana upaya penangkapan ikan secara berlebihan melalui investasi armada penangkapan secara besar-besaran, namun hasil tangkapan ikan yang diperoleh secara agregat hanya pada tingkat sub

167 optimum (lebih rendah dari tingkat maksimum yang dapat dihasilkan). Keseimbangan akan terjadi pada saat Total Revenue (TR) sama dengan Total Cost (TC) dan ketika itu pelaku perikanan sudah tidak mendapatkan rente ekonomi dari usahanya. Sementara rente ekonomi maksimum terjadi ketika selisih antara TR dan TC terbesar dan hal itu terjadi pada effort yang jauh lebih kecil daripada effort open access. Kelebihan input ini merupakan opportunity cost yang seharusnya dapat diinvestasi pada kegiatan produktif lainnya yang memberikan rente ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan pelaku perikanan. Model Gordon-Schaefer (GS) melihat bahwa menurunnya rente ekonomi (П), jumlah tangkapan (h), dan biomas (x) terbatas karena kelebihan (excess) effort, padahal menurunnya variabel-variabel ini juga dapat disebabkan oleh degradasi dan depresiasi sumber daya ikan di Provinsi NAD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tahun-tahun tertentu selama periode pengamatan telah terjadi degradasi dan depresiasi sumber daya ikan. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan ke di Provinsi NAD ke depan harus dilakukan dengan hatihati melalui rasionalisasi terhadap input. Jika tidak, maka peluang overfishing akan terbuka lebar seperti yang terjadi pada perikanan di Pantura Jawa Barat (Sofyan 2006). Model bio-ekonomi GS dilakukan pada kondisi perikanan dalam equilibrium dengan kurva yield-effortnya adalah : q h = qke( 1 E) r Namun kenyataannya kondisi perikanan tidak selalu equilibrium. Terjadinya shock, seperti tsunami di Provinsi NAD, menyebabkan kondisi sumber daya menjadi disequilibrium. Kurva yield-effort dengan tsunami dihitung dengan menggunakan model Fozin-1, persamaan (3.16), dengan menggunakan Software Maple 9.5 adalah sebagai berikut :

168 TS TS DS DS (a) Keterangan: TS = Tanpa Tsunami DS = Dengan Tsunami (b) Gambar 51. Yield-effort curves tanpa dan dengan tsunami di Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b). Dari Gambar 51 terlihat bahwa setelah tsunami telah terjadi penurunan effort (E) sebesar 32% 36%, sehingga telah menyusutkan (shrinking) kurva yield-effort, namun tingkat MSY tetap tidak berubah yaitu 214.32 ribu ton untuk Pantai Timur dan 193.45 ribu ton untuk Pantai Barat. Penurunan effort tersebut disebabkan oleh hilang/rusaknya sebagian armada karena tsunami yang diperkirakan mencapai 11 124 unit armada atau 54.24% dari total armada sebelum tsunami di Provinsi NAD (FAO 2005a). Jika dilihat dalam bentuk moneter, dampak tsunami juga telah menyusutkan (shrinking) kurva total penerimaan (TR) dan total biaya (TC) ke kiri seperti terlihat pada Model GS Gambar 52. Berdasarkan Gambar 52 dapat dijelaskan sebagai berikut : Akibat tsunami telah menyusutkan (shrinking) kurva total penerimaan (TR) ke kiri karena penurunan tingkat effort, baik untuk Pantai Timur maupun Pantai Barat. Sebaliknya telah terjadi peningkatan total biaya (TC) dari TCt ke TCd dengan tingkat kenaikan hampir 100 persen. Pada pengelolaan open access, untuk Pantai Timur (Gambar 52a), telah terjadi penurunan produksi ikan dari 59.48 ribu ton sebelum tsunami menjadi 58.74 ribu ton setelah tsunami. Penurunan produksi disebabkan oleh penurunan effort setelah tsunami sebesar 32.0%. Namun dari sisi penerimaan (revenue)

169 telah terjadi kenaikan TR dari adalah Rp. 77.33 milyar tanpa tsunami menjadi Rp.105.19 milyar dengan tsunami. Kenaikan penerimaan setelah tsunami ini dipicu oleh kenaikan harga output (ikan) yang mencapai 38.5%, bukan karena kenaikan hasil tangkapan. Sama seperti Pantai Timur, Untuk Pantai Barat (Gambar 52b) juga terjadi penurunan produksi dari 36.71 ribu ton sebelum tsunami menjadi 35.23 ribu ton setelah tsunami, yang disebabkan (driven) oleh penurunan effort hingga 33.6%, yaitu dari 68.18 ribu trip sebelum tsunami menjadi 45.29 ribu trip setelah tsunami. Dari sisi penerimaan (revenue) juga telah terjadi kenaikan TR dari Rp. 47.73 milyar sebelum tsunami menjadi 63.41 milyar setelah tsunami. Kenaikan penerimaan ini juga disebabkan oleh naiknya harga output pasca tsunami. TRds TRds TRts TCds TRts TCts TCds TCts (a) (b) Keterangan : TRts = total penerimaan tanpa tsunami TRds = total penerimaan dengan tsunami TCts = total biaya tanpa tsunami TCds = total biaya dengan tsunami Gambar 52. Model Gordon-Schaefer (GS) tanpa dan dengan tsunami di Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b). Meskipun terjadi kenaikan revenue dengan tsunami, namun rente ekonomi pada pengelolaan sumber daya yang open access ini mendekati nol (driven to zerro) dimana keseimbangan terjadi ketika TR = TC yang oleh Gordon (1954) disebut sebagai Bioeconomic Equilibrium of Open access Fishery atau keseimbangan bionomik dalam kondisi akses terbuka (Fauzi 2004). Tingkat

170 effort atau input pada rezim open access ini cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena selama masih ada rente ekonomi atau TR>TC, maka pelaku perikanan akan terus masuk dalam industri ini dan penambahan input akan berhenti ketika TR = TC, dimana pelaku perikanan sudah tidak memperoleh rente ekonomi dari usaha mereka. Pada pengelolaan Maximum Sustainable Yield (MSY) terjadi penurunan effort yang sama yaitu 35.9% baik di Pantai Timur maupun Barat, namun penurunan effort ini tidak dibarengi dengan turunnya produksi sustainable sebelum dan setelah tsunami, yang tetap sebesar 214.32 ribu ton di Pantai Timur dan 193.45 ribu ton di Pantai Barat. Dari sisi penerimaan, terjadi kenaikan rente ekonomi dari Rp. 232.23 milyar menjadi Rp. 326.31 milyar untuk Pantai Timur dan 224.78 milyar menjadi Rp. 313.98 milyar untuk Pantai Barat. Pada pengelolaan Maximum Economic Yield (MEY) atau disebut juga sole owner, dampak tsunami terhadap perikanan tangkap adalah terjadi penurunan effort 32.8% di Pantai Timur dan 34.0% di Pantai Barat Provinsi NAD. Penurunan effort ini dibarengi dengan penurunan produksi ikan dari 212.84 ribu ton sebelum tsunami menjadi 182.77 ribu ton setelah tsunami di Pantai Timur dan 192.91 ribu ton sebelum tsunami menjadi 166.28 ribu ton setelah tsunami di Pantai Barat. Namun, sebaliknya terjadi kenaikan rente ekonomi dari Rp. 234.17 milyar sebelum tsunami menjadi Rp. 271.82 milyar setelah tsunami di Pantai Timur dan Rp. 225.50 milyar sebelum tsunami menjadi Rp. 265.93 milyar setelah tsunami di Pantai Barat. Meningkatnya rente ekonomi perikanan tangkap lebih disebabkan karena kenaikan harga output dan penurunan effort pasca tsunami. Meningkatnya rente ekonomi setelah tsunami ini tidak berarti memberikan dampak positif kepada nelayan, karena kenaikan ini dipicu oleh kenaikan harga input dan tingginya harga barang kebutuhan sehari-hari lainnya pasca tsunami di Provinsi NAD. Pasca tsunami telah terjadi peningkatan biomas 28% 56% yang disebabkan karena penurunan effort yang cukup tinggi, mencapai 32% 36%, akibat

171 dampak tsunami yang menewaskan ribuan nelayan dan merusak ribuan armada. Hal ini menunjukkan bahwa pengurangan input (effort) 1% telah mampu meningkatkan biomas sekitar 1.24% di Provinsi NAD dengan asumsi faktor tsunami tidak mempengaruhi stok biomas dan faktor lainnya yang mempengaruhi stok biomas dianggap tetap. Hubungan antara tingkat effort dan biomas dapat dilihat pada cerminan model GS dalam effort dan model GS dalam biomas pada Gambar 53. Rp TC TR, TC TC TR TR Effort (E) O E Emsy Eo x xmsy xo Biomas (x) Gambar 53. Korelasi antara effort dan biomas dari model GS Dari Gambar 53 terlihat bahwa pada kondisi open access, keseimbangan terjadi pada tingkat effort E dimana TR = TC. Ketika itu tingkat biomas paling sedikit yaitu sebesar OX. Hal ini menunjukkan konsistensi teori Gordon bahwa keseimbangan open access dicirikan oleh terlalu banyak input dengan sedikit biomas, yang dikenal dengan istilah too many boats chasing too few fish. Hal ini terjadi karena sifat akses terbuka, menjadikan stok sumber daya (x) akan diekstraksi sampai titik terlalu banyak, namun keseimbangan biomas diperoleh pada tingkat yang lebih tinggi (Fauzi 2004). Sebaliknya pada kondisi MEY, tingkat effort paling sedikit yaitu sebesar Ox, namun tingkat biomas paling tinggi yaitu sebesar Oxo. Secara rinci hasil perhitungan model bio-ekonomi tanpa dan dengan tsunami dengan menggunakan model GS dan Fozin-1 di Provinsi NAD dapat dilihat pada Tabel 46.

Tolok ukur Tabel 46. Hasil perhitungan bio-ekonomi perikanan di Provinsi NAD Tanpa tsunami Pantai Timur Dengan tsunami Persentase (%) Tanpa tsunami Pantai Barat Dengan tsunami 172 Persentase (%) Open access E (ribu trip) 110.47 75.13-32.0% 68.18 45.29-33.6% h (ribu ton) 59.48 58.74-1.8% 36.71 35.23-4.0% x (ribu ton) 16.87 24.31 30.8% 71.79 103.70 30.8% Rente (Rp.milyar) 0.00 0.00 0.0% 0.00 0.00 0.0% rente 0.00 0.0% 0.00 0.0% MSY E (ribu trip) 66.27 42.48-35.9% 38.14 24.45-35.9% h (ribu ton) 214.32 214.32 0.0% 193.45 193.45 0.0% x (ribu ton) 1010.72 1576.73 35.9% 676.28 1054.98 35.9% Rente (Rp.milyar) 232.24 326.31 28.8% 224.79 313.98 28.4% rente -94.08-89.19 MEY E (ribu trip) 60.75 40.84-32.8% 36.12 23.85-34.0% h (ribu ton) 212.84 182.77-14.1% 192.90 166.29-13.8% x (ribu ton) 1094.86 1398.52 21.7% 712.17 929.67 23.4% Rente (Rp.milyar) 234.17 271.82 13.9% 225.50 265.93 15.2% rente -37.65-40.43 Rezim pengelolaan sumber daya perikanan akan berpengaruh pada ketersediaan biomas (x), jumlah effort (E), hasil tangkapan/panen/produksi (h), dan rente ekonomi. Ada tiga rezim pengelolaan yang di maksud dalam penelitian ini, yaitu : rezim pengelolaan sumber daya perikanan pada kondisi Maximum Economic Yield (MEY), Maximum Sustainable Yield (MSY) dan Open access (OA). Untuk menduga tingkat biomas dari ketiga rezim tersebut digunakan persamaan (3.43), (3.47), (3.51) dengan bantuan software maple 9.5. Perbedaan biomas dari ketiga rezim OA, MSY dan MEY secara jelas dapat dilihat pada Gambar 54.

173 Biomas (ribu ton) 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 OA MSY MEY Rezim pengelolaan Biomas (ribu ton) 120 100 80 60 40 20 0 OA MSY MEY Rezim Pengelolaan X tanpa tsunami X dengan tsunami X tanpa tsunami X dengan tsunami (a) (b) Gambar 54. Rezim pengelolaan biomas di Pantai Timur (a) dan Pantai Barat (b). Dari Gambar 54 terlihat bahwa tingkat biomas paling tinggi terjadi pada rezim MEY, kemudian MSY dan OA. Artinya, pada rezim pengelolaan MEY relatif lebih conservative dibandingkan dengan yang lainnya, karena pada rezim ini tidak menguras sumber daya ikan secara besar-besaran, namun yang dituju dari rezim ini adalah tingkat panen (tangkap) yang optimum sehingga menghasilkan keuntungan yang maksimum. Namun, pada kondisi disequilibrium setelah tsunami tingkat biomas yang paling tinggi terjadi pada rezim MSY, kemudian MEY dan OA. Hal ini sesuai dengan model keseimbangan Gordon-Schaefer (GS) yang melihat dari sisi hubungan penerimaan dan biaya dengan biomas (x), seperti terlihat pada Gambar 55 (Fauzi 2004). Gambar tersebut menunjukkan bahwa tingkat biomas pada kondisi MEY lebih tinggi dari MSY dan OA atau X o > X msy > X oa.

174 Rp TC Biaya, Penerimaan TR 0 X Xmsy Xo K Biomas (x) Gambar 57. Kurva Gordon-Schaefer dalam Biomas Dari Gambar 56 menunjukkan bahwa, untuk Pantai Timur, input (effort) pada kondisi Maximum Economic Yield (MEY) adalah 60.75 ribu trip, jauh lebih rendah dari effort pada rezim open access (110.47 ribu trip) serta maximum sustainable yield (MSY) (66.27 ribu trip). Namun sebaliknya, rente ekonomi pada kondisi MEY, Rp 234.166 milyar, adalah lebih tinggi dibandingkan rente ekonomi pada kondisi MSY, yaitu Rp 232.236 milyar, sedangkan pada kondisi open access nilai rentenya hampir mendekati nol. Hal yang sama terjadi di Pantai Barat, input pada kondisi MEY, 36.12 ribu trip jauh lebih rendah dari effort pada kondisi open access (68.18 ribu trip) dan MSY (38.14 ribu trip). Sedangkan rente ekonomi pada kondisi MEY yaitu Rp 225.495 milyar lebih tinggi dari rente ekonomi pada kondisi MEY yaitu Rp 224.786 milyar dan open access dengan rente ekonomi mendekati nol.

175 120 250 80 350 Produksi (ribu ton) 100 80 60 40 20 0 MEY MSY OA 200 150 100 50 0 Rente ekonomi (Rp.juta) Produksi (ribu ton) 70 60 50 40 30 20 10 0 MEY MSY OA 300 250 200 150 100 50 0 Rente ekonomi (Rp juta) Rezim pegelolaan Rezim pengelolaan effort produksi (ribu ton) rente ekonomi effort produksi (ribu ton) rente ekonomi (a) (b) produksi (ribu ton) 80 70 60 50 40 30 20 10 0 MEY MSY OA Rezim pengelolaan 250 200 150 100 50 0 Rente ekonomi (Rp.juta) Produksi (Ribu ton) 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 MEY MSY OA Rezim pengelolaan 350 300 250 200 150 100 50 0 Rente ekonomi (Rp.juta) effort produksi (ribu ton) rente ekonomi effort produksi (ribu ton) rente ekonomi (c) Gambar 56. Perbedaan effort, produksi, dan rente berdasarkan rezim pengelolaan di Pantai Timur tanpa tsunami (a), dengan tsunami (b) dan Pantai Barat tanpa tsunami (c) dan dengan tsunami (d). (d) Model GS dibangun dengan asumsi keseimbangan jangka panjang (long run equilibrium). Perhitungan efek kesejahteraan (welfare affect) dalam penelitian dilakukan dengan pendekatan surplus produsen (persamaan 3.62), dimana produksi lestarinya dihitung dengan model GS tanpa ada shock, dan berada dalam keseimbangan (equilibrium) dan dengan shock, yaitu tsunami dan berada dalam disequilibrium. Hasil perhitungan efek kesejahteraan pada kedua kondisi tersebut dapat dilihat pada Gambar 56.

176 450 416.18 Surplus produsen (Rp.juta) 400 350 300 250 200 150 100 50 197.21 100.44 220.72 0 P.Timur P.Barat Rezim pengelolaan SP-tanpa "shock" SP-dengan "shock" Gambar 57. Surplus Produsen tanpa shock dan dengan shock Dari Gambar 57 terlihat bahwa nilai surplus produsen di Pantai Timur lebih tinggi dari surplus produsen di Pantai Barat. Satu hal yang menarik adalah bahwa nilai surplus produsen dengan shock lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa shock. Hal ini sejalan dengan pembahasan di atas bahwa nilai rente ekonomi pasca tsunami (dengan shock) lebih tinggi dibandingkan dengan rente ekonomi tanpa tsunami (tanpa shock). Hal ini berkaitan dengan tingkat penggunaan setelah tsunami relatif kecil, turun 32 36 persen dibanding dengan penggunaan input sebelum tsunami, yang sudah mendekati keseimbangan TR = TC, dimana rente ekonomi mendekati nol (driven to zero). Ketika tingkat input dikurangi, maka akan mengarah kepada kapasitas optimal, biaya opportunitas dan inefisiensi dapat dikurangi, sehingga pada gilirannya akan dapat meningkatkan rente ekonomi sumber daya. Kondisi seperti inilah sebenarnya yang diinginkan dapat berlaku di Provinsi NAD, yaitu mengurangi input menuju kapasitas optimal. Rehabilitasi armada yang rusak/hilang karena tsunami seharusnya berpedoman pada konsep kapasitas perikanan, bukan kepada hal-hal lain. Melihat kepada nilai surplus produsen yang cukup tinggi seharusnya mencerminkan tingkat kesejahteraan nelayan. Namun, ironisnya kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan di lokasi penelitian sepertinya tidak menjadi lebih baik dari tahun ke tahun, penyebabnya adalah : (1) para nelayan (pandega) hanya

177 pekerja yang menerima bagi hasil seadanya. Sebaliknya yang diuntungkan adalah pemilik modal (pemilik kapal), Toke Bangku (lembaga pemasaran) dan Pawang, (2) nilai surplus produsen di atas merupakan potensial surplus produsen, artinya nilai tersebut dapat dinikmati oleh nelayan apabila rezim pengelolaan perikanan tangkap dapat dikelola dengan benar. Sebagai gambaran perbandingan pendapatan dari alat tangkap pukat cincin dan pancing tonda di Kabupaten Aceh Besar dan Kota Banda Aceh dapat dilihat pada Tabel 47. Tabel 47. Rata-rata share pendapatan bersih dari alat tangkap pukat cincin dan pancing tonda di lokasi penelitian, Tahun 2004. Alat Tangkap Pukat Cincin **) Pancing Tonda *) Share Pendapatan Per Trip (Rp) Per Bulan (Rp) Per Tahun (Rp) Pemilik Kapal 374 047 4 114 517 49 374 204 Pawang 538 931 5 928 241 71 138 892 Pandega (ABK) 80 473 885 203 10 622 436 ABK + Penjaga Kapal 137 803 1 515 833 18 189 996 Toke Bangku 280 000 3 080 000 36 960 000 Pemilik Kapal 42 830 942 249 10 985 428 Pawang 51 683 1 137 029 13 374 231 Pandega (ABK) 33 641 740 096 8 705 331 Aneuk Itek 30 625 673 750 7 931 875 Toke Bangku 31 500 693 000 8 158 500 *) one day fishing, **) trip adalah 2 hari, jumlah hari melaut 22 hari/bulan, dan 259 hari/tahun Sumber : Indra et al. (2006) Dari Tabel 47 terlihat bahwa share pendapatan terbesar, pada alat tangkap pukat cincin, adalah untuk pawang dan terkecil adalah pandega (ABK). Dari total penghasilan per trip, pawang memperoleh 38.19%, pemilik kapal 26.50%, toke bangku 19.84%, pandega merangkap penjaga/perawat kapal 9.76%, pandega (ABK) 5.70%. Pada alat tangkap pancing tonda, pandega (ABK) mendapatkan 17.16% dari total penghasilan per trip, pawang memperoleh 27.16%, pemilik kapal 22.51%, toke bangku (lembaga pemasaran) 16.55%, dan aneuk itek (penjaga dan pembersih kapal) 16.09%. Seperti disebutkan di atas, sampai April 2006 pemerintah (BRR) dan NGOs telah mendistribusikan 6.160 unit kapal baru kepada nelayan Aceh. Hal positif yang terjadi akibat banyaknya bantuan kapal/boat adalah telah terjadi

178 perubahan sistem bagi hasil. Sebelum tsunami, sistem bagi hasil yang berlaku adalah ½ - ¾ bagian hasil tangkapan harus dibagikan kepada pemilik, pemodal, dan toke bangku, namun sekarang dengan memiliki kapal/boat sendiri para nelayan tidak perlu membagikan hasil tangkapan mereka. Artinya, hasil tangkapan nelayan hari itu, mutlak menjadi milik mereka tanpa harus dibagikan kepada orang lain, nelayan mengelola kapal/boatnya sendiri. Dalam jangka pendek, hal di atas dapat terjadi, namun dalam jangka panjang dikhawatirkan akan terjadi pemiskinan struktural nelayan. Nelayan yang biasanya hanya sebagai pekerja/buruh kini harus mengelola sendiri kapal mereka, mulai dari mempersiapkan kapal sebelum melaut, mempersiapkan biaya operasional, memasarkan ikan, mengatur keuangan usaha dan rumah tangga, dan lain-lain. Pekerjaan tersebut bukan suatu pekerjaan yang mudah dan diduga tidak semua nelayan mampu melakukannya. Oleh karena itu, dalam jangka panjang, diperkirakan para nelayan yang tidak mampu mengelola, akan menjual kapal mereka kepada pengusaha atau toke dan kemudian mereka bekerja pada pengusaha tersebut atau bekerja pada kapal sendiri.

179 5. SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan Trajektori produksi aktual, baik di Pantai Timur maupun Barat, menunjukkan pola yang terus meningkat, dalam beberapa tahun terakhir tingkat produksi aktual sudah melebihi produksi lestari dan produksi optimal. Telah terjadi degradasi dan depresiasi sumber daya ikan di NAD juga dengan pola yang meningkat. Hasil perhitungan dengan model GS dan Fozin-1 menunjukkan bahwa dampak tsunami, secara fisik telah menurunkan effort (E) 32.0% - 35.9%, produksi (h) 1.8% 14.1% dan meningkatkan biomas (x) 21.7% 35.9%. Sebaliknya, dari segi moneter telah meningkatkan total revenue (TR) 18.9% 38.5%, rente ekonomi naik 13.9% 28.8%. Dalam jangka pendek, dampak tsunami telah meningkatkan surplus produsen naik 111% di Pantai Timur dan 120% di Pantai Barat. Pengelolaan perikanan di NAD semakin akhir periode pengamatan semakin tidak efisien. Untuk mencapai efisiensi, tidak ada lagi peluang baik untuk Pantai Timur maupun Barat untuk menambah input (menambah trip atau menambah jumlah kapal yang beroperasi), justru yang perlu dilakukan adalah mengurangi effort 0 34.0% di Pantai Timur dan 0 46.3 % di Pantai Barat Telah terjadi over kapasitas perikanan tangkap selama periode pengamatan di Pantai Timur antara 0 29 650.59 trip dengan opportunity cost 0 Rp. 38.9 milyar dan di Pantai Barat antara 0 29 395 trip dengan opportunity cost 0 Rp. 37.3 milyar. Jumlah armada baru yang optimal untuk menggantikan armada yang rusak/hilang karena tsunami berkisar antara 3 570 5 131 unit, jauh lebih sedikit dibanding target BRR 7 000 unit. Ada interaksi positif antara hutan mangrove dengan tingkat produksi perikanan tangkap di daerah penelitian, dimana ekosistem hutan mangrove memberikan kontribusi 27,21 persen terhadap total produksi perikanan. Estimasi luas mangrove optimal di Pantai Timur 100 946.70 ha dan Pantai

180 Barat 13 029.91 ha, sedangkan estimasi jumlah effort optimal di Pantai Timur 105 950.00 trip dan Pantai Barat 74 456 trip. Biaya yang dibutuhkan untuk rehab tambak Rp. 5.9 juta 32.8 juta tergantung tingkat kerusakan dan cara perbaikannya (labor intensive atau capital intensive). Modal kerja tambak tradisional Rp. 12.6 juta, tradisional plus Rp. 17.95 juta dan semi intensif Rp. 26.77 juta. Secara financial budidaya tambak di NAD layak diusahakan Ada 15 langkah yang perlu dilakukan untuk rehabilitasi lahan budidaya perikanan (tambak) di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu : (1) Masuk ke desa dan lakukan penilaian awal, (2) Membangun hubungan dan memotivasi para petani (3) Berpartisipasi dalam membuat detail dari keperluan penilaian, (4) Pemetaan tambak, (5) Membuat formasi dari kelompok petani, (6) Berpartisipasi dalam perencanaan rehabilitasi, (7) Perbaikan dan rekonstruksi tambak/saluran, (8) Penanaman mangrove, (9) Perencanaan dan prioritas komoditi dengan manajemen yang baik, (10) Penyediaan dari masukan untuk kualitas lahan, (11) Pelayanan yang berkelanjutan, (12) Manajemen pengelolaan sumber daya air, (13) Pemasaran produksi, (14) Monitoring dan evaluasi, dan (15) Hasil balik untuk petani dan sharing pengalaman 5.2. Saran-saran Ke depan perlu adanya upaya pengendalian input dan output di NAD. Kebijakan dalam distribusi armada baru untuk menggantikan armada yang rusak/hilang karena tsunami harus memperhatikan kapasitas optimal. Distribusi bantuan perikanan seperti armada baru dan alat tangkap harus merata di seluruh wilayah perikanan untuk mencegah konflik antar nelayan dan pelaksana rehabilitasi. Untuk mengantisipasi tekanan yang semakin tinggi terhadap perikanan di sekitar pesisir, maka kepada NGOs, pemerintah, dan lembaga donor lainnya untuk memprioritas pendistribusian armada yang berukuran besar, agar para nelayan dapat mencari ikan lebih ke laut bebas.

181 Perlu pengaturan sistem bagi hasil perikanan tangkap yang lebih baik, melalui peran lembaga Panglima Laot, sehingga nilai surplus produsen yang cukup tinggi dapat dinikmati oleh para nelayan (pandega) sehingga akan meningkatkan kesejahteraan mereka Rehabilitasi dan operasional tambak harus mengacu pada pedoman prinsipprinsip umum (global) manajemen pertambakan udang, yang menekankan pada prinsip lingkungan. Perlu adanya perencanaan manajemen mangrove (Mangrove Management Plan) secara kelembagaan dan berbasis masyarakat. Perlu adanya pembangunan sistem database yang terintergrasi. Perlu dipikirkan alternatif livelihood untuk mengurangi tekanan terhadap sumber daya yang telah direhabilitasi, khususnya integrasi perikanan tangkap dan budidaya. Misalnya perlu diperkenalkan kepada masyarakat teknik tumpang sari mangrove dan tambak (silviculture), agro-aqua farms, dan sistem rumpon. Perlu diteliti lebih lanjut bio-ekonomi interaksi antara perikanan tangkap dan budidaya

182 DAFTAR PUSTAKA Abidin, S.Z., 2004. Sebuah Catatan tentang: Kondisi Perekonomian Aceh dan Upaya Penyelamatan. Makalah disampaikan pada Seminar Membangun Visi Aceh Tahun 2010, Ulang Tahun ke 45 Fakultas Ekonomi Unsyiah. Amman, H.M. and A.K. Duraiappah, 2001. Land Tenure and Conflict Resolution: a Game Theoretic Approach in The Narok District in Kenya. Working Paper No. 37. International Institute for Environ. and Develop. London and Institut for Environ. Studies Amsterdam. Anna S. 2003. Model Embedded Dinamik Ekonomi Interaksi Perikanan- Pencemaran. Disertasi, Tidak Dipublikasikan. Sekolah Pasca Sarjana, IPB. Bogor. Angkouw, S., 2005. Counting The Hope, A Brief Report of Rebuilding Boats Census in Nanggroe Aceh Darussalam Post Tsunami. Yayasan Laut Lestari Indonesia/Panglima Laot NAD. [BPS] Badan Pusat Statistik. 1984. Indeks Harga Konsumen di Ibukota Propinsi Indonesia 1983-1984. Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 1986. Indeks Harga Konsumen di Ibukota Propinsi Indonesia 1985-1986. Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 1988. Indeks Harga Konsumen di Ibukota Propinsi Indonesia 1987-1988. Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 1990. Indeks Harga Konsumen di Ibukota Propinsi Indonesia 1989-1990. Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 1991. Indeks Harga Konsumen di Ibukota Propinsi Indonesia. Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 1992. Indeks Harga Konsumen di Ibukota Propinsi Indonesia. Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 1993. Indeks Harga Konsumen di Ibukota Propinsi Indonesia. Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 1994. Indeks Harga Konsumen di Ibukota Propinsi Indonesia. Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 1995. Indeks Harga Konsumen di Ibukota Propinsi Indonesia Jakarta.

183 [BPS] Badan Pusat Statistik. 1996. Indeks Harga Konsumen di Ibukota Propinsi di Indonesia. Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 1997. Indeks Harga Konsumen di Ibukota Propinsi Indonesia. Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 1998. Indeks Harga Konsumen di Ibukota Propinsi Indonesia. Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 1999. Indeks Harga Konsumen di 44 Kota di Indonesia. Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2000. Indeks Harga Konsumen di 43 Kota di Indonesia. Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2001. Indeks Harga Konsumen di 43 Kota di Indonesia. Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2002. Indeks Harga Konsumen di 43 Kota di Indonesia. Jakarta. [BRR] Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias dan Mitra Internasional. 2005. Aceh dan Nias Satu Setelah Tahun Tsunami : Upaya pemulihan dan Kegiatan yang Akan Datang. http://www.e-aceh-nias.org/upload/ 03082006024814.pdf, dikunjungi pada 19 Desember 2006. [BRR] Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias. 2006. Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias Dalam Angka. http://www.e-aceh-nias.org/ media_center/fact_sheet.aspx, dikunjungi pada 19 September 2006. Banker, R.D., A. Charnes, and W.W. Cooper, 1984. Some Models for Estimating Technical and Scale Inefficiencies in Data Development Analysis. Management Science 30: 1078-1092. Beasley, J.E., 2000. Data Envelopment Analysis, OR-Notes. http://www. mscmga.ms.ic.ac.uk/jeb.14pp. Bengen, D.G. 2002. Lecture Note: Analisis Ekosistem Pesisir dan Laut. Program Pascasarjana S-3. Program Studi Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Lautan, IPB. Bogor. Boulding, K.E., 1991. What Do We Want to Sustain?: Environmentalism and Human Evaluation In Ecological Economics: The Science and Management of Sustainability (Ed, Costanza, R.) Columbia University Press, New York, pp. 22-31. Buchary EA. 1999. Evaluating the effect of the 1980 trawl ban in the java sea, Indonesia: an Ecosystem-based approach [thesis]. Vancouver. University of British Columbia.

184 Burt, O.R. and R.G. Cummings, 1977. Natural Resources Management, the Steady State, and Approximately Optimal Decision Rules, Land Economics, 57, 1-22. Charnes, A., W.W. Cooper, and E. Rhodes, 1978. Measuring the Efficiency of Decision Making Unit. European Journal of Operation Research 2. pp: 429-444. Chiang, A.C., 1992. Elements of Dynamic Optimization. New York. McGraw- Hill. Clark C, Dan G. Munro, 1975. The Economics of Fishing and Modern Capital Theory: A Simplified Approach. Journal of Environmental Economics and Management 2:92-106. Clark, C.W., 1985. Bio-economics Modeling and Fisheries Management. New York. J Wiley. Clark, C.W., 1989. Natural Resources Economics, Notes and Problem, Cambridge University Press, New York. Clark, C.W., 1990. Mathematical Bio-economic The Optimal Management of Renewable Resources. New York. J Wiley. Clarke, R.P., S.S. Yoshimoto, S.G. Pooley, 1992. A Bio-economic Analysis of The North Western Hawaiian Island Lobster Fishery. Marine Resource Economics 7(2):115-140. Conrad, J.M., 1999. Cambridge Resource Economics, Cambridge University Press, Copes P. 1972. Factor rents, sole-ownership and the optimum level of fisheries exploitation. Manchester School Econ. Soc. Studies 40(2):145-163. Cuningham,S., M.R.Dunn, D.Whitmarsh, 1985. Fisheries Economics, an Introduction. London. Mansell Publishing. Dahuri, R. 2002. Lecture Note: Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu. Program Pascasarjana S-3. Program Studi Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Lautan, IPB. Bogor. Dahuri, R., J. Rais, S.P.Ginting, M.J.Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumber daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT.Pradnya Pratama. Jakarta. Daly, H.E., 1991. Elements of Environmental Macroeconomics In Ecological Economics: The Science and Management of Sustainability Columbia University Press, New York, pp. 32-46.

185 Dickey, D.A., D.W.Jensen, and D.I. Thomson, 1994. A Primer on Co-integration with an Application to Money and Income. In B.B Rao (Ed) Cointegration for The Applied Economists, pp: 9-45. St. Martin s Press, Inc. New York. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD, 1985. Statistik Perikanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 1984. Banda Aceh. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD, 1986. Statistik Perikanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 1985. Banda Aceh. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD, 1987. Statistik Perikanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 1986. Banda Aceh. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD, 1988. Statistik Perikanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 1987. Banda Aceh. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD, 1989. Statistik Perikanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 1988. Banda Aceh. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD, 1990. Statistik Perikanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 1989. Banda Aceh. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD, 1991. Statistik Perikanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 1990. Banda Aceh. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD, 1992. Statistik Perikanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 1991. Banda Aceh. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD, 1993. Statistik Perikanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 1992. Banda Aceh. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD, 1994. Statistik Perikanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 1993. Banda Aceh. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD, 1995. Statistik Perikanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 1994. Banda Aceh. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD, 1996. Statistik Perikanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 1995. Banda Aceh. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD, 1997. Statistik Perikanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 1996. Banda Aceh. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD, 1998. Statistik Perikanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 1997. Banda Aceh. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD, 1999. Statistik Perikanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 1998. Banda Aceh.

186 [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD, 2000. Statistik Perikanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 1999. Banda Aceh. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD, 2001. Statistik Perikanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2000. Banda Aceh. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD, 2002. Perikanan Dalam Angka Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2001. Banda Aceh. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD, 2002. Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2001. Banda Aceh. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD, 2003. Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2002. Banda Aceh. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD, 2004a. Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003. Banda Aceh. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD, 2004b. Statistik Perikanan Budidaya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003. Banda Aceh. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD, 2004c. Perikanan Dalam Angka Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003. Banda Aceh. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD, 2005a. Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2004. Banda Aceh. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta, 2005b. Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Provinsi NAD dan Sumatera Utara Pasca Tsunami, Sektor Kelautan dan Perikanan. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD, 2006a. Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2005. Banda Aceh. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD, 2006b. Statistik Perikanan Budidaya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2005. Banda Aceh. Efrizal, T., 2005. Analisis Pengelolaan Sumber daya Ikan Demersal di Pulau- Pulau Kecil : Melalui Converging Dual Track Model (CD TRAM) Disertasi, Tidak Dipublikasikan. Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor. [FP Unsyiah] Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala. 2000. Laporan Akhir Studi Potensi Pesisir Pantai Guna Pengembangan Tambak Udang di Kabupaten Aceh Timur. Kerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan Provinsi Aceh. Banda Aceh. FAO, 1998. Assessing Excess Fishing Capacity at World Wide Level. Rome: Food and Agriculture Organization of The United Nation.

187 FAO, 2005. An assessment of the impacts of the 26th December 2004 earthquake and tsunami on aquaculture in the Provinces of Aceh and North Sumatra, Indonesia. FOA, 2005a. Damage and need assessment. Tidak diplublikasikan. FAO, 2005b. 15 Steps for Agriculture Rehabilitation. http://library.enaca.org/ Shrimp/Publications/15_steps_for_aquaculture_rehabilitation_FAO.pdf. Dikunjungi pada 26 September 2006. Fauzi, A., 1998. The Management of Competing Multi Species Fisheries: a Case of a Small Pelagic Fishery on The North Coast of Central Java [thesis]. Vancouver, Canada. Simon Fraser University. Department of Economics. Fauzi, A., 2000a. Teori Ekonomi Perikanan. Working Paper, Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan, IPB. Bogor. Fauzi, A., 2000b. Persepsi Terhadap Nilai Ekonomi Sumber daya. Makalah Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. PKSPL IPB. Bogor. Fauzi, A., 2001. Prinsip-prinsip Penelitian Sosial Ekonomi: Panduan Singkat. Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan, IPB. Bogor. Fauzi, A., 2002. Lecture Note: Analisis Sistem Dinamik. Program Pascasarjana S- 3, Program Studi Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Lautan, IPB. Bogor. Fauzi, A., 2003. Paradoks Kemiskinan Nelayan. Working Paper, Jurusan Ekonomi Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Fauzi, A., 2004. Ekonomi Sumber daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Fauzi, A., dan S. Anna, 2002. Penilaian Depresiasi Sumber daya Perikanan sebagai Bahan Pertimbangan Penentuan Kebijakan Pembangunan Perikanan. Jurnal Pesisir dan Lautan Vol. 4(2): 36 49. Fauzi, A., dan S.Anna, 2005. Pemodelan Sumber daya Perikanan dan Kelautan. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. Fox, W.W. Jr. 1970. An Exponential Surplus-Yield Model for Optimizing Exploited Fish Population. Transactions of the American Fisheries Society (99):80-88. Geotrav Bhuana PT, 2006. Kajian Pengembangan Sumber daya Pesisir dan Laut Pantai Timur dan Pantai Barat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Pasca Tsunami): BUKU I. Laporan dipersiapkan untuk BRR Banda Aceh. Tidak Diplukasikan.

188 Hanesson, R., 1987. The Effect of Discount rate on The Optimal Exploitation of Renewable Resources. Marine Resource Economic 3:319-329. Hardin G. 1968. The tragedy of the commons. Science 162:1243-1248. Hidayati, D. 2000. Isu Kemiskinan dan Degradasi Sumber daya Laut. PPT LIPI. Jakarta. Hilborn R, Walters CJ. 1992. Quantitative Fisheries Stock Assessment: Choice, Dynamics and Uncertainty. London. Chapman & Hall Inc. Himpunan Alumni IPB (HA IPB), 2006. Pemanfaatan Ekosistem Hutan Mangrove Secara Lestari untuk Tambak Tumpangsari di Kabupaten Indramayu. Holling CS. 1973. Resilience and stability of ecological system. Ann. Rev. Ecol. Syst. 4:1-23. ICLARM. 1992. ICLARM s Strategy for International Research on Living Aquatic Resources management. Manila. Kadariah. 2001. Evaluasi Proyek, Analisis Ekonomis. FE-UI, Jakarta. King M. 1995. Fisheries Biology, Assessment and Management. Great Britain. Fishing News Book. Indra, Budidarsono S., Y. Rinaldi, Miftachuddin, 2006. Survey Sosial Ekonomi pada Usaha Tambak di Aceh (Draft Final Report). ICRAF, Bogor. Kula E. 1984. Derivation of Social Time Preference Rates for The United States and Canada. Quarterly J. Econ. 99:873-882. Kusmana, C.,2005. Directive for Mangrove and Coastal Forest Rehabilitation in Earthquake and Tsunami Disaster Area In The Province of Nanggroe Aceh Darussalam an Sumatera Utara (Nias Island), Indonesia. Makalah di Presentasi di ICRAF Bogor, pada 23 Desember 2005. Mangkusubroto, K., 2006. Membangun Tanah Harapan: Laporan Kegiatan Satu Tahun Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias, April 2006. http://www.e-acehnias.org/upload/03082006030226.pdf. dikunjungi pada 19 September 2006. Medrilzam, P, Nizhar M, Erik A, Joko S, Afwandi, Indra D, Vivi Y, Herry S, Nono R, Anwar S, Halim I. 2005. Rancangan Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat Aceh dan Nias, Sumatera Utara, Buku II: Rencana Bidang Sumber daya Alam dan Lingkungan Hidup. Tidak Dipublikasikan.

189 Naamin N. 1990. Penggunaan lahan mangrove untuk budidaya tambak: keuntungan dan kerugiannya. Prosiding Seminar IV Ekosistem Mangrove; Bandar Lampung; 7 9 Agustus 1990. Panitia Nasional Program MAB- LIPI. Nazamudin, 2004. Konflik Aceh dari Perspektif Ekonomi. Makalah Disampaikan pada Workshop I Universitas Sains Malaysia, Penang. Nazir, M., 1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Newell R., W. Pizer, 2001. Discounting The Distant Future: How Much Do Uncertain Rates Increase Valuation? Resources for The Future. Washington D.C. Nikijuluw, V.P.H. 2002. Rezim Pengelolaan Sumber daya Perikanan. Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Regional (P3R). Jakarta. Oldeman, L.R. 1992. The Global Extent of Soil Degradation in Greenland. Soil Resilience and Sustainable Land Use. CAB International Oxfam 2006. Two Years On Oxfam Internasional in Aceh & Nias. http://www.tsunamispecialenvoy.org/pdf/report_3.pdf, dikunjungi pada 19 Desember 2006. PT. Oxalis Subur, 2006. Masterplan Pengembangan Kelautan dan Perikanan di Provinsi NAD 2006 2010. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Pattanayak, S.K, and R.A. Kramer, 1999. Worth of Watersheds: A Producer Surplus Approach for Valuing Drought Mitigation in Eastern Indonesia. North Carolina, USA. Center for Economics Research, Research Triangle Institute, Research Triangle Park. Paw JN, Chua TE. 1989. An assessment of the ecological and economical impacts of mangrove conversion in Southeast Asia. Marine Pollution Bull. 20(7): 335-343. Perman, R., Y., McGilvray. 1996. Natural Resources and Environmental Economics. Longman, London. Pezzey, J., 1992. Sustainable Development Concepts: An Economic Analysis, the World Bank Publication, Washington D.C. Phillips, M and A. Budhiman. 2005. An assessment of the impacts of the 26th December 2004 earthquake and tsunami on aquaculture in the province of Aceh and North Sumatera, Indonesia. FAO, 143 p.

190 Rais, J. 2002. Lecture Note: Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu. Program Pascasarjana S-3. Program Studi Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Lautan, IPB. Bogor. Reksosudarmo B. 1995. The Construction of a Bio-economic Model of Indonesia Flying Fishery. Marine Resource Economic 10:357-372. Ruitenbeek HJ. 1992. Mangrove Management: an Economic Analysis of Management Options with a Focus on Bintuni Bay, Irian Jaya. Jakarta and Halifax; Environmental Management Development in Indonesia Project (EMDI) Environ. Reports 8. Sadoulet, E., A. de Janvary. 1995. Quantitative Development Policy Analysis. The Jonh Hopkins University Press. Baltimore and London. Schaefer M. 1954. Some aspects of dynamics of population important to the management of commercial marine fisheries. Bull. Inter-Am. Trop. Tuna. Comm. 1:27-56. Seiford, L.M., and Thrall, R.M. 1990. Recent Development in DEA: The Mathematical Programming Approach to Frontier Analysis. Journal of Econometrics N.46 (1&2) pp.7-38. Sharma, D. (2005). Tsunami, Mangroves and Market Economy. ZNet: Daily Commentaries. http://www.zmag.org/sustainers/content/ 2005-01/ 10sharma.cfm, dikunjungi pada 2 September 2006. Simkin, C. 1998. About Economics Inequality. Working paper. University of Sidney. Department of Economics. Sjafi i, B.I.E. 2000. Analisis pemanfaatan ruang kawasan pesisir Teluk Manado, Sulawesi Utara. Tesis Magister, Institut Pertanian Bogor. Bogor Sofyan, 2006. Pemodelan Keragaan Sektor Perikanan untuk Pengembangan Ekonomi Sumber daya dan Regional Pesisir: Suatu Analisis Model Hybrid. Disertasi, Tidak Dipublikasikan. Sekolah Pasca Sarjana, IPB. Bogor. Sudarmono. 2005. Tsunami dan Penghijauan Kawasan Pantai Rawan Tsunami. Inovasi Online Vol 3/XVII/Maret 2005. Sugiarto, T.Herlambang, Brastoro, R.Sudjana, S.Kelana. Ekonomi Mikro. Sebuah Kajian Komprehensif. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Sydsaeter K, Hammond PJ. 1995. Mathematics for Economics Analysis. New Jersey. Prentice Hall Englewood Cliffs.

191 Tai, Shzee Yew, Kusairi Mohd, and Nik Mustapha Raja Abdullah, 2000. Valuating Fisheries Depreciation in Natural Resources Accounting. Environmental and Resource Economics 15: 227-241. Tinungki, G.M., 2005. Evaluasi Model Produksi Surplus dalam Menduga Hasil Tangkapan Maksimum Lestari untuk Menunjang Kebijakan Pengelolaan Perikanan Lemuru di Selat Bali. Disertasi, Tidak Dipublikasikan. Sekolah Pasca Sarjana, IPB. Bogor. Wilkinson, C., A. Caillaud, L. DeVantier and R. South, 2006. Strategies to reverse the decline in valuable and diverse coral reefs, mangroves and fisheries: The bottom of the J-Curve in Southeast Asia? In Ocean and Coastal Management, 49, 764-78 p. The WorldFish 2005. Membangun perahu tidak sama dengan membangun mata pencaharian. http://www.worldfishcenter.org/pdf/consrn1-indonesian.pdf, dikunjungi pada 26 September 2006. The WorldFish, 2006. Integrated Natural Resources Management and Livelihood Paradigms in Recovery from the Tsunami in Aceh (Appraisal on coastal and marine resources of West Coast Aceh). Tidak Dipublikasikan. Wilen, J.E., 1976. Common Property Resources and The Dynamics of Overexploitation: The Case of The North Pacific Fur Seal. Department of Economics Research Paper No. 3. University of British Columbia. Vancouver. World Bank (2006). Aceh Duduki Peringkat Kedua Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia. Media Indonesia 12 September 2006.

192 Lampiran 1. Disagregasi Produksi Perikanan Pelagik di Pantai Timur Aceh Tahun Produksi Share Pukat Cincin Produksi Share Pancing Tonda Tongkol Cakalang Tongkol Cakalang Total Tongkol Cakalang Produksi Total Grand Total 1984 11,387.26 6,919.99 6,912.49 2,928.21 9,840.71 2,066.48 2,343.55 4,410.03 14,250.74 1985 12,187.49 6,879.57 7,398.26 2,911.11 10,309.37 2,211.70 2,329.86 4,541.56 14,850.93 1986 14,182.26 6,932.89 8,609.16 2,933.67 11,542.83 2,573.70 2,347.92 4,921.62 16,464.45 1987 14,733.95 8,534.21 8,944.06 3,611.28 12,555.33 2,673.81 2,890.23 5,564.04 18,119.38 1988 14,263.53 7,359.88 8,658.50 3,114.35 11,772.85 2,588.45 2,492.53 5,080.97 16,853.82 1989 11,461.10 6,467.30 6,957.32 2,736.66 9,693.97 2,079.88 2,190.24 4,270.12 13,964.09 1990 13,099.50 5,605.20 7,951.89 2,371.86 10,323.74 2,377.21 1,898.28 4,275.48 14,599.23 1991 12,291.60 6,638.00 7,461.46 2,808.89 10,270.35 2,230.59 2,248.05 4,478.64 14,748.99 1992 13,140.00 6,505.20 7,976.47 2,752.69 10,729.16 2,384.56 2,203.08 4,587.63 15,316.80 1993 11,146.80 6,871.60 6,766.52 2,907.74 9,674.26 2,022.84 2,327.16 4,350.01 14,024.27 1994 10,128.00 8,645.60 6,148.07 3,658.41 9,806.48 1,837.96 2,927.95 4,765.91 14,572.40 1995 14,451.64 7,372.75 8,772.68 3,119.80 11,892.48 2,622.58 2,496.88 5,119.47 17,011.95 1996 16,933.20 8,742.80 10,279.08 3,699.54 13,978.63 3,072.92 2,960.87 6,033.79 20,012.41 1997 16,048.80 11,104.20 9,742.22 4,698.77 14,440.99 2,912.42 3,760.59 6,673.02 21,114.01 1998 17,523.90 12,579.75 10,637.66 5,323.16 15,960.82 3,180.12 4,260.31 7,440.42 23,401.24 1999 19,615.95 15,832.35 11,907.61 6,699.50 18,607.12 3,559.77 5,361.84 8,921.61 27,528.73 2000 19,111.95 16,849.35 11,601.67 7,129.85 18,731.52 3,468.30 5,706.27 9,174.57 27,906.09 2001 22,202.40 14,404.80 13,477.69 6,095.43 19,573.12 4,029.14 4,878.39 8,907.52 28,480.64 2002 25,174.00 13,729.60 15,281.56 5,809.72 21,091.28 4,568.40 4,649.72 9,218.12 30,309.40 2003 26,434.34 14,592.72 16,046.63 6,174.95 22,221.58 4,797.12 4,942.03 9,739.15 31,960.73 2004 27,767.60 15,449.20 16,855.97 6,537.37 23,393.34 5,039.07 5,232.09 10,271.16 33,664.50

193 Lampiran 2. Disagregasi Produksi Perikanan Pelagik di Pantai Barat Aceh Tahun Produksi Share Pukat Cincin Produksi Share Pancing Tonda Tongkol Cakalang Tongkol Cakalang Total Tongkol Cakalang Produksi Total Grand Total 1984 8,143.80 5,697.60 4,943.59 2,410.96 7,354.55 1,477.88 1,929.57 3,407.45 10,762.00 1985 7,819.80 7,745.40 4,746.91 3,277.49 8,024.40 1,419.08 2,623.09 4,042.17 12,066.57 1986 7,899.30 8,804.10 4,795.17 3,725.48 8,520.65 1,433.51 2,981.63 4,415.14 12,935.79 1987 16,098.00 6,709.20 9,772.09 2,839.02 12,611.10 2,921.35 2,272.16 5,193.52 17,804.62 1988 15,815.10 8,480.10 9,600.36 3,588.38 13,188.73 2,870.01 2,871.90 5,741.92 18,930.65 1989 17,584.80 8,058.30 10,674.63 3,409.89 14,084.52 3,191.17 2,729.05 5,920.22 20,004.74 1990 20,217.30 7,455.00 12,272.66 3,154.60 15,427.26 3,668.90 2,524.74 6,193.63 21,620.89 1991 18,886.50 7,842.60 11,464.81 3,318.62 14,783.43 3,427.39 2,656.01 6,083.40 20,866.82 1992 19,492.20 11,463.30 11,832.49 4,850.73 16,683.22 3,537.31 3,882.21 7,419.51 24,102.74 1993 20,078.40 10,998.00 12,188.34 4,653.83 16,842.17 3,643.69 3,724.63 7,368.31 24,210.49 1994 18,312.90 10,853.40 11,116.61 4,592.65 15,709.26 3,323.30 3,675.65 6,998.95 22,708.21 1995 18,240.02 8,875.20 11,072.37 3,755.57 14,827.94 3,310.07 3,005.71 6,315.78 21,143.72 1996 20,387.40 6,279.60 12,375.91 2,657.23 15,033.14 3,699.76 2,126.67 5,826.44 20,859.58 1997 23,761.80 10,767.30 14,424.30 4,556.21 18,980.51 4,312.13 3,646.50 7,958.62 26,939.13 1998 22,668.30 11,298.90 13,760.50 4,781.16 18,541.67 4,113.69 3,826.53 7,940.21 26,481.88 1999 17,522.40 10,437.60 10,636.75 4,416.70 15,053.45 3,179.84 3,534.84 6,714.68 21,768.13 2000 17,866.50 10,490.40 10,845.63 4,439.04 15,284.67 3,242.29 3,552.72 6,795.01 22,079.68 2001 20,018.10 12,719.70 12,151.73 5,382.38 17,534.11 3,632.75 4,307.70 7,940.45 25,474.56 2002 24,954.90 11,351.10 15,148.56 4,803.25 19,951.81 4,528.64 3,844.21 8,372.85 28,324.66 2003 24,374.40 15,549.90 14,796.17 6,579.98 21,376.15 4,423.30 5,266.19 9,689.49 31,065.64 2004 25,223.10 19,050.00 15,311.36 8,061.06 23,372.42 4,577.31 6,451.55 11,028.86 34,401.28

194 Lampiran 3. Standarisasi Unit Effort (Trip) Perikanan Pelagik di Pantai Timur Aceh Tahun Effort (Trip) Produksi CPUE Indeks Std effort Pk.Cincin Pc.Tonda Pk.Cincin Pc.Tonda Pk.Cincin Pc.Tonda Pk.Cincin Pc.Tonda Total Std Effort 1984 25,122.80 47,879.64 9,840.71 4,410.03 0.391704 0.092107 0.235143 25,122.80 11,258.58 36,381.38 1985 25,154.00 53,081.26 10,309.37 4,541.56 0.409850 0.085559 0.208756 25,154.00 11,081.03 36,235.03 1986 25,385.60 50,413.41 11,542.83 4,921.62 0.454700 0.097625 0.214702 25,385.60 10,823.88 36,209.48 1987 26,444.00 51,730.14 12,555.33 5,564.04 0.474789 0.107559 0.226540 26,444.00 11,718.97 38,162.97 1988 23,356.00 33,894.01 11,772.85 5,080.97 0.504061 0.149908 0.297400 23,356.00 10,080.07 33,436.07 1989 22,384.00 40,402.39 9,693.97 4,270.12 0.433076 0.105690 0.244045 22,384.00 9,859.98 32,243.98 1990 21,485.20 45,672.20 10,323.74 4,275.48 0.480505 0.093612 0.194821 21,485.20 8,897.90 30,383.10 1991 23,562.00 52,566.41 10,270.35 4,478.64 0.435886 0.085200 0.195463 23,562.00 10,274.81 33,836.81 1992 24,880.00 71,828.86 10,729.16 4,587.63 0.431237 0.063869 0.148106 24,880.00 10,638.32 35,518.32 1993 22,706.00 47,405.71 9,674.26 4,350.01 0.426066 0.091761 0.215368 22,706.00 10,209.69 32,915.69 1994 22,559.20 67,956.13 9,806.48 4,765.91 0.434700 0.070132 0.161335 22,559.20 10,963.68 33,522.88 1995 21,033.20 52,345.75 11,892.48 5,119.47 0.565415 0.097801 0.172972 21,033.20 9,054.36 30,087.56 1996 25,987.20 50,326.03 13,978.63 6,033.79 0.537904 0.119894 0.222891 25,987.20 11,217.22 37,204.42 1997 23,443.20 50,535.45 14,440.99 6,673.02 0.615999 0.132046 0.214361 23,443.20 10,832.83 34,276.03 1998 28,656.00 43,891.33 15,960.82 7,440.42 0.556980 0.169519 0.304354 28,656.00 13,358.51 42,014.51 1999 38,808.40 37,880.11 18,607.12 8,921.61 0.479461 0.235522 0.491223 38,808.40 18,607.58 57,415.98 2000 39,693.20 54,574.39 18,731.52 9,174.57 0.471907 0.168111 0.356238 39,693.20 19,441.46 59,134.66 2001 46,906.40 70,743.86 19,573.12 8,907.52 0.417280 0.125912 0.301745 46,906.40 21,346.62 68,253.02 2002 51,048.80 79,460.41 21,091.28 9,218.12 0.413159 0.116009 0.280785 51,048.80 22,311.31 73,360.11 2003 56,867.36 119,073.93 22,221.58 9,739.15 0.390762 0.081791 0.209311 56,867.36 24,923.50 81,790.86 2004 60,613.08 97,444.80 23,393.34 10,271.16 0.385945 0.105405 0.273108 60,613.08 26,612.98 87,226.06

195 Lampiran 4. Standarisasi Unit Effort (Trip) Perikanan Pelagik di Pantai Barat Aceh Tahun Effort (Trip) Produksi CPUE Indeks Std effort Pk.Cincin Pc.Tonda Pk.Cincin Pc.Tonda Pk.Cincin Pc.Tonda Pk.Cincin Pc.Tonda Total Std Effort 1984 9,218.80 52,161.05 7,354.55 3,407.45 0.797777 0.065326 0.081885 9,218.80 4,271.18 13,489.98 1985 9,835.60 60,911.89 8,024.40 4,042.17 0.815852 0.066361 0.081339 9,835.60 4,954.54 14,790.14 1986 9,522.00 54,113.18 8,520.65 4,415.14 0.894838 0.081591 0.091179 9,522.00 4,934.01 14,456.01 1987 13,667.20 78,421.30 12,611.10 5,193.52 0.922728 0.066226 0.071772 13,667.20 5,628.44 19,295.64 1988 14,001.60 59,111.84 13,188.73 5,741.92 0.941945 0.097137 0.103123 14,001.60 6,095.81 20,097.41 1989 15,744.80 46,086.78 14,084.52 5,920.22 0.894551 0.128458 0.143601 15,744.80 6,618.10 22,362.90 1990 18,915.20 51,719.19 15,427.26 6,193.63 0.815601 0.119755 0.146830 18,915.20 7,593.95 26,509.15 1991 19,642.00 55,918.20 14,783.43 6,083.40 0.752644 0.108791 0.144545 19,642.00 8,082.70 27,724.70 1992 26,030.40 70,522.65 16,683.22 7,419.51 0.640913 0.105208 0.164153 26,030.40 11,576.48 37,606.88 1993 26,900.00 67,577.87 16,842.17 7,368.31 0.626103 0.109034 0.174148 26,900.00 11,768.53 38,668.53 1994 21,563.20 80,901.00 15,709.26 6,998.95 0.728522 0.086513 0.118751 21,563.20 9,607.06 31,170.26 1995 25,283.20 68,113.19 14,827.94 6,315.78 0.586474 0.092725 0.158106 25,283.20 10,769.07 36,052.27 1996 29,688.00 76,403.92 15,033.14 5,826.44 0.506371 0.076258 0.150598 29,688.00 11,506.26 41,194.26 1997 33,676.80 102,921.88 18,980.51 7,958.62 0.563608 0.077327 0.137200 33,676.80 14,120.85 47,797.65 1998 32,668.80 72,170.07 18,541.67 7,940.21 0.567565 0.110021 0.193847 32,668.80 13,989.97 46,658.77 1999 28,319.60 93,762.92 15,053.45 6,714.68 0.531556 0.071613 0.134724 28,319.60 12,632.13 40,951.73 2000 32,448.00 85,002.68 15,284.67 6,795.01 0.471051 0.079939 0.169703 32,448.00 14,425.19 46,873.19 2001 34,673.20 70,005.59 17,534.11 7,940.45 0.505696 0.113426 0.224296 34,673.20 15,702.01 50,375.21 2002 41,301.20 103,894.07 19,951.81 8,372.85 0.483081 0.080590 0.166826 41,301.20 17,332.20 58,633.40 2003 43,726.00 68,589.88 21,376.15 9,689.49 0.488866 0.141267 0.288969 43,726.00 19,820.33 63,546.33 2004 43,498.40 102,757.08 23,372.42 11,028.86 0.537317 0.107329 0.199751 43,498.40 20,525.80 64,024.20

196 Lampiran 5. Print Out Analisis CYP Pantai Timur Aceh _print lnu1 lnu e2 1.410600 1.365300 72.61640 1.514500 1.410600 72.44450 1.557700 1.514500 74.37240 1.617500 1.557700 71.59900 1.465700 1.617500 65.68010 1.569700 1.465700 62.62710 1.472200 1.569700 64.21990 1.461500 1.472200 69.35510 1.449400 1.461500 68.43400 1.469500 1.449400 66.43860 1.732400 1.469500 63.61040 1.682500 1.732400 67.29200 1.818100 1.682500 71.48050 1.717400 1.818100 76.29050 1.567500 1.717400 99.43050 1.551600 1.567500 116.5506 1.428600 1.551600 127.3877 1.418700 1.428600 141.6131 1.362900 1.418700 155.1510 1.350500 1.362900 169.0169 TOTAL NUMBER OF OBSERVATIONS = 20 VARIABLE : LNU1 DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS = 4 NO.OBS = 15 NULL TEST ASY. CRITICAL HYPOTHESIS STATISTIC VALUE 10% --------------------------------------------------------------------------- CONSTANT, NO TREND A(1)=0 T-TEST -1.9250-2.57 A(0)=A(1)=0 1.8533 3.78 AIC = -4.616 SC = -4.332 --------------------------------------------------------------------------- CONSTANT, TREND A(1)=0 T-TEST -1.1123-3.13 A(0)=A(1)=A(2)=0 1.3040 4.03 A(1)=A(2)=0 1.9556 5.34 AIC = -4.535 SC = -4.205 -------------------------------------------------------------------------- VARIABLE : LNU DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS = 0 NO.OBS = 19 NULL TEST ASY. CRITICAL HYPOTHESIS STATISTIC VALUE 10% --------------------------------------------------------------------------- CONSTANT, NO TREND A(1)=0 Z-TEST -9.0568-11.2 A(1)=0 T-TEST -2.6469-2.57 A(0)=A(1)=0 3.5853 3.78 AIC = -4.965 SC = -4.865 ---------------------------------------------------------------------------

CONSTANT, TREND A(1)=0 Z-TEST -8.5594-18.2 A(1)=0 T-TEST -2.3558-3.13 A(0)=A(1)=A(2)=0 2.3718 4.03 A(1)=A(2)=0 3.4792 5.34 AIC = -4.875 SC = -4.726 --------------------------------------------------------------------------- VARIABLE : E2 DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS = 1 NO.OBS = 18 NULL TEST ASY. CRITICAL HYPOTHESIS STATISTIC VALUE 10% --------------------------------------------------------------------------- CONSTANT, NO TREND A(1)=0 T-TEST -0.25439-2.57 A(0)=A(1)=0 0.58505 3.78 AIC = 3.887 SC = 4.036 --------------------------------------------------------------------------- CONSTANT, TREND A(1)=0 T-TEST -1.4198-3.13 A(0)=A(1)=A(2)=0 1.9625 4.03 A(1)=A(2)=0 2.2640 5.34 AIC = 3.722 SC = 3.920 --------------------------------------------------------------------------- R-SQUARE = 0.5821 R-SQUARE ADJUSTED = 0.5329 VARIANCE OF THE ESTIMATE-SIGMA**2 = 0.77146E-02 STANDARD ERROR OF THE ESTIMATE-SIGMA = 0.87833E-01 SUM OF SQUARED ERRORS-SSE= 0.13115 MEAN OF DEPENDENT VARIABLE = 1.5309 LOG OF THE LIKELIHOOD FUNCTION = 21.8743 197 VARIABLE ESTIMATED STANDARD T-RATIO PARTIAL STANDARDIZED ELASTICITY NAME COEFFICIENT ERROR 17 DF P-VALUE CORR. COEFFICIENT AT MEANS LNU 0.65088 0.1476 4.411 0.000 0.731 0.6455 0.6512 E2-0.13082E-02 0.5391E-03-2.427 0.027-0.507-0.3440-0.0759 CONSTANT 0.65013 0.2449 2.655 0.017 0.541 0.0000 0.4247 DURBIN-WATSON = 1.8776 VON NEUMANN RATIO = 1.9764 RHO = 0.05333 RESIDUAL SUM = -0.63281E-02 RESIDUAL VARIANCE = 0.77170E-02 SUM OF ABSOLUTE ERRORS= 1.2283 R-SQUARE BETWEEN OBSERVED AND PREDICTED = 0.5820 RUNS TEST: 12 RUNS, 11 POS, 0 ZERO, 9 NEG NORMAL STATISTIC = 0.5108 DURBIN H STATISTIC (ASYMPTOTIC NORMAL) = 1.2503 MODIFIED FOR AUTO ORDER=1 _stop

198 Lampiran 6. Print Out Analisis CYP Pantai Barat Aceh _print lnu1 lnu e2 2.099100 2.076700 28.28010 2.191500 2.099100 29.24610 2.222200 2.191500 33.75160 2.242800 2.222200 39.39310 2.191200 2.242800 42.46030 2.098800 2.191200 48.87200 2.018400 2.098800 54.23390 1.857700 2.018400 65.33160 1.834300 1.857700 76.27540 1.985800 1.834300 69.83880 1.769000 1.985800 67.22250 1.622100 1.769000 77.24650 1.729200 1.622100 88.99190 1.736200 1.729200 94.45640 1.670600 1.736200 87.61050 1.549800 1.670600 87.82490 1.620800 1.549800 97.24840 1.575000 1.620800 109.0086 1.586900 1.575000 122.1797 1.681400 1.586900 127.5705 TOTAL NUMBER OF OBSERVATIONS = 20 VARIABLE : LNU1 DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS = 0 NO.OBS = 19 NULL TEST ASY. CRITICAL HYPOTHESIS STATISTIC VALUE 10% --------------------------------------------------------------------------- CONSTANT, NO TREND A(1)=0 Z-TEST -1.7912-11.2 A(1)=0 T-TEST -0.97593-2.57 A(0)=A(1)=0 0.92684 3.78 AIC = -4.487 SC = -4.388 --------------------------------------------------------------------------- CONSTANT, TREND A(1)=0 Z-TEST -11.561-18.2 A(1)=0 T-TEST -2.4446-3.13 A(0)=A(1)=A(2)=0 2.3799 4.03 A(1)=A(2)=0 3.0167 5.34 AIC = -4.647 SC = -4.498 --------------------------------------------------------------------------- VARIABLE : LNU DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS = 0 NO.OBS = 19 NULL TEST ASY. CRITICAL HYPOTHESIS STATISTIC VALUE 10% --------------------------------------------------------------------------- CONSTANT, NO TREND A(1)=0 Z-TEST -10.133-11.2 A(1)=0 T-TEST -2.7276-2.57 A(0)=A(1)=0 3.7693 3.78 AIC = -4.992 SC = -4.893 ---------------------------------------------------------------------------

CONSTANT, TREND A(1)=0 Z-TEST -9.9549-18.2 A(1)=0 T-TEST -2.6529-3.13 A(0)=A(1)=A(2)=0 2.7090 4.03 A(1)=A(2)=0 4.0149 5.34 AIC = -4.931 SC = -4.782 --------------------------------------------------------------------------- VARIABLE : E2 DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS = 2 NO.OBS = 17 NULL TEST ASY. CRITICAL HYPOTHESIS STATISTIC VALUE 10% --------------------------------------------------------------------------- CONSTANT, NO TREND A(1)=0 T-TEST 0.36206-2.57 A(0)=A(1)=0 6.9427 3.78 AIC = 3.366 SC = 3.562 --------------------------------------------------------------------------- CONSTANT, TREND A(1)=0 T-TEST -2.3562-3.13 A(0)=A(1)=A(2)=0 8.2995 4.03 A(1)=A(2)=0 3.0108 5.34 AIC = 3.087 SC = 3.332 --------------------------------------------------------------------------- R-SQUARE = 0.8588 R-SQUARE ADJUSTED = 0.8422 VARIANCE OF THE ESTIMATE-SIGMA**2 = 0.93626E-02 STANDARD ERROR OF THE ESTIMATE-SIGMA = 0.96761E-01 SUM OF SQUARED ERRORS-SSE= 0.15916 MEAN OF DEPENDENT VARIABLE = 1.8641 LOG OF THE LIKELIHOOD FUNCTION = 19.9422 199 VARIABLE ESTIMATED STANDARD T-RATIO PARTIAL STANDARDIZED ELASTICITY NAME COEFFICIENT ERROR 17 DF P-VALUE CORR. COEFFICIENT AT MEANS LNU 0.55513 0.2527 2.197 0.042 0.470 0.5561 0.5610 E2-0.29164E-02 0.2047E-02-1.424 0.172-0.327-0.3582-0.1132 CONSTANT 1.0308 0.6142 1.678 0.112 0.377 0.0000 0.5529 DURBIN-WATSON = 1.7766 VON NEUMANN RATIO = 1.8701 RHO = 0.06119 RESIDUAL SUM = 0.34094E-03 RESIDUAL VARIANCE = 0.93626E-02 SUM OF ABSOLUTE ERRORS= 1.4280 R-SQUARE BETWEEN OBSERVED AND PREDICTED = 0.8588 RUNS TEST: 10 RUNS, 11 POS, 0 ZERO, 9 NEG NORMAL STATISTIC = -0.4179 DURBIN H STATISTIC (ASYMPTOTIC NORMAL) = 1.6206 MODIFIED FOR AUTO ORDER=1 _stop

200 Lampiran 7. Perhitungan Koefisien Degradasi (Dengan Menggunakan Produksi Lestari) di Pantai Timur Aceh Tahun Produksi Aktual (Ton) Produksi Lestari (Ton) Lestari/ Aktual ExpD 1+ExpD Koefisien Degradasi 1984 142.507 177.677 1.24679 3.47916 4.47916 0.22326 1985 148.509 177.156 1.19290 3.29661 4.29661 0.23274 1986 164.645 177.065 1.07544 2.93128 3.93128 0.25437 1987 181.194 183.912 1.01500 2.75936 3.75936 0.26600 1988 168.538 166.929 0.99045 2.69245 3.69245 0.27082 1989 139.641 162.419 1.16312 3.19989 4.19989 0.23810 1990 145.992 155.189 1.06300 2.89504 3.89504 0.25674 1991 147.490 168.424 1.14194 3.13283 4.13283 0.24196 1992 153.168 174.585 1.13983 3.12623 4.12623 0.24235 1993 140.243 164.972 1.17633 3.24245 4.24245 0.23571 1994 145.724 167.254 1.14774 3.15107 4.15107 0.24090 1995 170.119 154.020 0.90536 2.47283 3.47283 0.28795 1996 200.124 180.582 0.90235 2.46539 3.46539 0.28857 1997 211.140 170.051 0.80539 2.23758 3.23758 0.30887 1998 234.012 196.725 0.84066 2.31790 3.31790 0.30140 1999 275.287 239.596 0.87035 2.38774 3.38774 0.29518 2000 279.061 243.617 0.87299 2.39406 3.39406 0.29463 2001 284.806 262.650 0.92221 2.51483 3.51483 0.28451 2002 303.094 271.726 0.89651 2.45103 3.45103 0.28977 2003 319.607 284.446 0.88999 2.43509 3.43509 0.29111 2004 336.645 291.267 0.86521 2.37549 3.37549 0.29625

Lampiran 8. Perhitungan Koefisien Degradasi (Dengan Menggunakan Ratarata Geometrik Produksi Aktual) di Pantai Timur Aceh 201 Tahun Prod. Rata-rata/ Prod Aktual Expl 1+Expl Koefisien Degradasi 1984 1.36673 3.92251 4.92251 0.20315 1985 1.31149 3.71172 4.71172 0.21224 1986 1.18297 3.26405 4.26405 0.23452 1987 1.07492 2.92977 3.92977 0.25447 1988 1.15564 3.17605 4.17605 0.23946 1989 1.39479 4.03411 5.03411 0.19864 1990 1.33411 3.79660 4.79660 0.20848 1991 1.32056 3.74552 4.74552 0.21073 1992 1.27161 3.56657 4.56657 0.21898 1993 1.38880 4.01004 5.01004 0.19960 1994 1.33656 3.80594 4.80594 0.20808 1995 1.14490 3.14212 4.14212 0.24142 1996 0.97324 2.64651 3.64651 0.27423 1997 0.92246 2.51548 3.51548 0.28446 1998 0.83230 2.29861 3.29861 0.30316 1999 0.70751 2.02894 3.02894 0.33015 2000 0.69795 2.00962 3.00962 0.33227 2001 0.68387 1.98152 2.98152 0.33540 2002 0.64260 1.90142 2.90142 0.34466 2003 0.60940 1.83933 2.83933 0.35220 2004 0.57856 1.78347 2.78347 0.35926

202 Lampiran 9. Perhitungan Koefisien Degradasi (Dengan Menggunakan Produksi Lestari) di Pantai Barat Aceh Tahun Produksi Aktual (Ton) Produksi Lestari (Ton) Lestari/ Aktual ExpD 1+ExpD Koefisien Degradasi 1984 107.620 114.681 1.06561 2.90262 3.90262 0.25624 1985 120.666 123.609 1.02439 2.78541 3.78541 0.26417 1986 129.358 121.347 0.93807 2.55505 3.55505 0.28129 1987 178.046 152.014 0.85379 2.34853 3.34853 0.29864 1988 189.307 156.674 0.82762 2.28787 3.28787 0.30415 1989 200.047 169.233 0.84597 2.33023 3.33023 0.30028 1990 216.209 189.996 0.87876 2.40792 3.40792 0.29343 1991 208.668 195.566 0.93721 2.55285 3.55285 0.28146 1992 241.027 233.037 0.96685 2.62964 3.62964 0.27551 1993 242.105 236.303 0.97604 2.65391 3.65391 0.27368 1994 227.082 210.159 0.92548 2.52307 3.52307 0.28384 1995 211.437 228.004 1.07835 2.93983 3.93983 0.25382 1996 208.596 243.538 1.16751 3.21398 4.21398 0.23731 1997 269.391 259.141 0.96195 2.61679 3.61679 0.27649 1998 264.819 256.772 0.96961 2.63692 3.63692 0.27496 1999 217.681 242.875 1.11574 3.05182 4.05182 0.24680 2000 220.797 257.228 1.16500 3.20591 4.20591 0.23776 2001 254.746 264.040 1.03648 2.81928 3.81928 0.26183 2002 283.247 275.787 0.97366 2.64763 3.64763 0.27415 2003 310.656 280.249 0.90212 2.46482 3.46482 0.28862 2004 344.013 280.593 0.81565 2.26064 3.26064 0.30669

Lampiran 10. Perhitungan Koefisien Degradasi (Dengan Menggunakan Rata-rata Geometrik Produksi Aktual) di Pantai Barat Aceh 203 Tahun Prod. Rata-rata/ Prod Aktual Expl 1+Expl Koefisien Degradasi 1984 1.97951 7.23917 8.23917 0.12137 1985 1.76549 5.84445 6.84445 0.14610 1986 1.64686 5.19066 6.19066 0.16153 1987 1.19651 3.30856 4.30856 0.23210 1988 1.12534 3.08127 4.08127 0.24502 1989 1.06492 2.90060 3.90060 0.25637 1990 0.98532 2.67866 3.67866 0.27184 1991 1.02092 2.77576 3.77576 0.26485 1992 0.88386 2.42022 3.42022 0.29238 1993 0.87993 2.41072 3.41072 0.29319 1994 0.93814 2.55522 3.55522 0.28128 1995 1.00755 2.73889 3.73889 0.26746 1996 1.02128 2.77674 3.77674 0.26478 1997 0.79080 2.20516 3.20516 0.31200 1998 0.80445 2.23547 3.23547 0.30907 1999 0.97865 2.66087 3.66087 0.27316 2000 0.96484 2.62438 3.62438 0.27591 2001 0.83626 2.30773 3.30773 0.30232 2002 0.75212 2.12149 3.12149 0.32036 2003 0.68576 1.98527 2.98527 0.33498 2004 0.61926 1.85756 2.85756 0.34995

204 Lampiran 11. Print Out Perhitungan Discount Rate Kula _print lnpdrb lnt 11.42200 0.0000000 11.50300 0.6930000 11.50700 1.099000 11.56400 1.386000 11.57400 1.609000 R-SQUARE = 0.9523 R-SQUARE ADJUSTED = 0.9364 VARIANCE OF THE ESTIMATE-SIGMA**2 = 0.23444E-03 STANDARD ERROR OF THE ESTIMATE-SIGMA = 0.15312E-01 SUM OF SQUARED ERRORS-SSE= 0.70333E-03 MEAN OF DEPENDENT VARIABLE = 11.514 LOG OF THE LIKELIHOOD FUNCTION = 15.0781 VARIABLE ESTIMATED STANDARD T-RATIO PARTIAL STANDARDIZED ELASTICITY NAME COEFFICIENT ERROR 3 DF P-VALUE CORR. COEFFICIENT AT MEANS LNT 0.93212E-01 0.1205E-01 7.736 0.004 0.976 0.9758 0.0078 CONSTANT 11.425 0.1341E-01 851.6 0.000 1.000 0.0000 0.9922 DURBIN-WATSON = 2.5039 VON NEUMANN RATIO = 3.1299 RHO = -0.52554 RESIDUAL SUM = -0.40455E-02 RESIDUAL VARIANCE = 0.10335E-03 SUM OF ABSOLUTE ERRORS= 0.37730E-01 R-SQUARE BETWEEN OBSERVED AND PREDICTED = 0.9801 RUNS TEST: 4 RUNS, 2 POS, 0 ZERO, 3 NEG NORMAL STATISTIC = 0.6547 DURBIN H STATISTIC (ASYMPTOTIC NORMAL) = -1.5633 MODIFIED FOR AUTO ORDER=1 _stop Discount Rate Kula r = ρ- ηg = 0.15 0.0932 = 0.568 = 5.68%

205 Lampiran 12. Maple Output untuk Biomass, Produksi, dan Effort Optimal di Pantai Timur Aceh ( = 15%) > restart; > r:=0.424124891; K:=2021.45; q:=0.00317124;p:= 2456.50; c:= 2319.18; i:=0.15; r := 0.424124891 K := 2021.45 q := 0.00317124 p := 2456.50 c := 2319.18 i := 0.15 > f(x):=r*ln(k/x)-r+(c*r*ln(k/x)/(x*(p*q*x-c)))=i; f( x ):= 0.424124891 ln 2021.45 983.6219647 ln 2021.45 + = x 0.424124891 x 0.15 x ( 7.790151060 x 2319.18) > solve(f(x),x); 523.8960278 > g(x):=ln(k/x)-1-(i/r)+(c*r)/(p*q*x)+(c*i)/(p*q*r*x)=0; g( x ):= ln 2021.45 231.5545582 1.353669410 + = 0 x x > a:=fsolve(g(x),x); > optx:=a; > h:=r*optx*ln(k/optx); > E:=h/(q*optx); a := 720.1380047 optx := 720.1380047 h := 315.2411016 E := 138.0377891 > Go(y):=q*K*y*exp((-q/r)*y); Go( y ):= 6.410503098 y e ( 0.007477137200y )

> plot(go(y),y=0..600); 206

207 Lampiran 13. Maple Output untuk Biomass, Produksi, dan Effort Optimal di Pantai Timur Aceh ( = 5.68%) > restart; > r:=0.424124891; K:=2021.45; q:=0.00317124;p:= 2456.50; c:= 2319.18; i:=0.0568; r := 0.424124891 K := 2021.45 q := 0.00317124 p := 2456.50 c := 2319.18 i := 0.0568 > f(x):=r*ln(k/x)-r+(c*r*ln(k/x)/(x*(p*q*x-c)))=i; f( x ):= 0.424124891 ln 2021.45 983.6219647 ln 2021.45 + = x 0.424124891 x 0.0568 x ( 7.790151060 x 2319.18) > solve(f(x),x); 651.3915385 > g(x):=ln(k/x)-1-(i/r)+(c*r)/(p*q*x)+(c*i)/(p*q*r*x)=0; g( x ):= ln 2021.45 166.1345297 1.133922817 + = 0 x x > a:=fsolve(g(x),x); > optx:=a; > h:=r*optx*ln(k/optx); > E:=h/(q*optx); a := 800.4664941 optx := 800.4664941 h := 314.5024723 E := 123.8944337 > Go(y):=q*K*y*exp((-q/r)*y); Go( y ):= 6.410503098 y e ( 0.007477137200y )

> plot(go(y),y=0..600); 208

209 Lampiran 14. Maple Output untuk Biomass, Produksi, dan Effort Optimal di Pantai Barat Aceh ( = 15%) > restart; > r:=0.572132233; K:=1352.56; q:=0.007501366;p:= 2358.24; c:= 2345.27; i:=0.15; r := 0.572132233 K := 1352.56 q := 0.007501366 p := 2358.24 c := 2345.27 i := 0.15 > f(x):=r*ln(k/x)-r+(c*r*ln(k/x)/(x*(p*q*x-c)))=i; f( x ):= 0.572132233 ln 1352.56 1341.804562 ln 1352.56 + = x 0.572132233 x 0.15 x ( 17.69002136 x 2345.27) > solve(f(x),x); 383.4901167 > g(x):=ln(k/x)-1-(i/r)+(c*r)/(p*q*x)+(c*i)/(p*q*r*x)=0; g( x ):= ln 1352.56 110.6092940 1.262177153 + = 0 x x > a:=fsolve(g(x),x); > optx:=a; > h:=r*optx*ln(k/optx); > E:=h/(q*optx); a := 481.6524006 optx := 481.6524006 h := 284.5335813 E := 78.75161073 > Go(y):=q*K*y*exp((-q/r)*y); Go( y ):= 10.14604760 y e ( 0.01311124521y )

> plot(go(y),y=0..300); 210

211 Lampiran 15. Maple Output untuk Biomass, Produksi, dan Effort Optimal di Pantai Barat Aceh ( = 5,68%) > restart; > r:=0.572132233; K:=1352.56; q:=0.007501366;p:= 2358.24; c:= 2345.27; i:=0.0568; r := 0.572132233 K := 1352.56 q := 0.007501366 p := 2358.24 c := 2345.27 i := 0.0568 > f(x):=r*ln(k/x)-r+(c*r*ln(k/x)/(x*(p*q*x-c)))=i; f( x ):= 0.572132233 ln 1352.56 1341.804562 ln 1352.56 + = x 0.572132233 x 0.0568 x ( 17.69002136 x 2345.27) > solve(f(x),x); 451.0104238 > g(x):=ln(k/x)-1-(i/r)+(c*r)/(p*q*x)+(c*i)/(p*q*r*x)=0; g( x ):= ln 1352.56 89.01276351 1.099277749 + = 0 x x > a:=fsolve(g(x),x); > optx:=a; > h:=r*optx*ln(k/optx); > E:=h/(q*optx); a := 532.5245665 optx := 532.5245665 h := 283.9947938 E := 71.09357857 > Go(y):=q*K*y*exp((-q/r)*y); Go( y ):= 10.14604760 y e ( 0.01311124521y )

> plot(go(y),y=0..300); 212

213 Lampiran 16. Maple Output untuk Perhitungan Surplus Produsen di Pantai Timur Aceh. > restart; > AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); c AC := 2 α + 4 β h + α 2 > A:=int(AC,h); 1 c α ln( h) A := 2 β + 1 2 c 4 β h + α 2 β c α ln ( α + 4 β h + α 2 ) β > PS:=p0*h0-A; 1 c α ln( h) c 4 β h + α 2 1 PS := p0 h0 + + 2 β β 2 1 2 c α ln ( α + 4 β h + α 2 ) β 1 2 c α ln ( 4 β h + α 2 α ) β c α ln ( 4 β h + α 2 α ) β > restart; > alpha:=6.410510811; beta:=0.047932272; p0:=1.3; c:= 0.7; h:= 21.2839 ; α := 6.410510811 β :=.047932272 p0 := 1.3 c :=.7 h := 21.2839 > AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); AC :=.1120500522 > A:=1/2*c/beta*alpha*ln(h)-c/beta*(- 4*beta*h+alpha^2)^(1/2)-1/2*c/beta*alpha*ln(alpha-sqrt(- 4*beta*h+alpha^2))+1/2*c/beta*alpha*ln(alpha+sqrt(- 4*beta*h+alpha^2)); A := 224.8783443 > PS:=abs(p0*h-A); PS := 197.2092743

> restart; > alpha:=6.410510811; beta:=0.047932272; p0:=1.8; c:= 1.4; h:=18.2774; α := 6.410510811 β :=.047932272 p0 := 1.8 c := 1.4 h := 18.2774 > AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); AC :=.2232568774 > A:=1/2*c/beta*alpha*ln(h)-c/beta*(- 4*beta*h+alpha^2)^(1/2)-1/2*c/beta*alpha*ln(alpha-sqrt(- 4*beta*h+alpha^2))+1/2*c/beta*alpha*ln(alpha+sqrt(- 4*beta*h+alpha^2)); A := 449.0842031 > PS:=abs(p0*h-A); PS := 416.1848831 214

215 Lampiran 17. Maple Output untuk Perhitungan Surplus Produsen di Pantai Barat Aceh. > restart; > AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); c AC := 2 α + 4 β h + α 2 > A:=int(AC,h); 1 c α ln( h) A := 2 β + 1 2 c 4 β h + α 2 β c α ln ( α + 4 β h + α 2 ) β > PS:=p0*h0-A; 1 c α ln( h) c 4 β h + α 2 1 PS := p0 h0 + + 2 β β 2 1 2 c α ln ( α + 4 β h + α 2 ) β 1 2 c α ln ( 4 β h + α 2 α ) β c α ln ( 4 β h + α 2 α ) β > restart; > alpha:=10.14601883; beta:=0.133026949; p0:=1.3; c:= 0.7; h:= 19.290 ; α := 10.14601883 β :=.133026949 p0 := 1.3 c :=.7 h := 19.290 > AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); AC :=.07080388662 > A:=1/2*c/beta*alpha*ln(h)-c/beta*(- 4*beta*h+alpha^2)^(1/2)-1/2*c/beta*alpha*ln(alpha-sqrt(- 4*beta*h+alpha^2))+1/2*c/beta*alpha*ln(alpha+sqrt(- 4*beta*h+alpha^2)); A := 125.5145857 > PS:=abs(p0*h-A); PS := 100.4375857

> restart; > alpha:=10.14601883; beta:=0.133026949; p0:=1.8; c:=1.4; h:=16.6286 ; α := 10.14601883 β :=.133026949 p0 := 1.8 c := 1.4 h := 16.6286 > AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); AC :=.1410849521 > A:=1/2*c/beta*alpha*ln(h)-c/beta*(- 4*beta*h+alpha^2)^(1/2)-1/2*c/beta*alpha*ln(alpha-sqrt(- 4*beta*h+alpha^2))+1/2*c/beta*alpha*ln(alpha+sqrt(- 4*beta*h+alpha^2)); A := 250.6529939 > PS:=abs(p0*h-A); PS := 220.7215139 216

217 Lampiran 18. Potensi Perbaikan Efisiensi dari DMU Pantai Timur Aceh DMU Effort Produksi Aktual Produksi Lestari Skor Data Proyeksi Perbedaan Skor Data Proyeksi Perbedaan Skor Data Proyeksi Perbedaan 1984 36381.38 34708.94-4.60% 14250.74 19624.95 37.71% 17767.70 17767.70 0.00% 1985 36235.03 34607.17-4.49% 14850.93 19567.41 31.76% 17715.61 17715.61 0.00% 1986 36209.48 34589.37-4.47% 16464.45 19557.34 18.79% 17706.49 17706.49 0.00% 1987 38162.97 35926.84-5.86% 18119.38 20313.57 12.11% 18391.15 18391.15 0.00% 1988 33436.07 32609.32-2.47% 16853.82 18437.79 9.40% 16692.89 16692.89 0.00% 1989 32243.98 31728.25-1.60% 13964.09 17939.62 28.47% 16241.87 16241.87 0.00% 1990 30383.10 30316.03-0.22% 14599.23 17141.14 0.00% 15518.95 15518.95 0.00% 1991 33836.81 32901.41-2.76% 14748.99 18602.94 9.40% 16842.42 16842.42 0.00% 1992 35518.32 34104.93-3.98% 15316.80 19283.43 0.00% 17458.51 17458.51 0.00% 1993 32915.69 32226.95-2.09% 14024.27 18221.60 0.00% 16497.16 16497.16 0.00% 1994 33522.88 32672.76-2.54% 14572.40 18473.66 0.00% 16725.37 16725.37 0.00% 1995 30087.56 30087.56 0.00% 17011.95 17011.95 0.00% 15401.99 15401.99 0.00% 1996 37204.42 35306.59-5.10% 20012.41 20012.41 0.00% 18058.18 18058.18 0.00% 1997 34276.03 34276.03 0.00% 21114.01 21114.01 0.00% 17005.10 17005.10 0.00% 1998 42014.51 39188.00-6.73% 23401.24 23401.24 0.00% 19672.48 19672.48 0.00% 1999 57415.98 47287.33-17.64% 27528.73 27528.73 0.00% 23959.61 23959.61 0.00% 2000 59134.66 48042.58-18.76% 27906.09 27906.09 0.00% 24361.72 24361.72 0.00% 2001 68253.02 51308.34-24.83% 28480.64 29010.49 1.86% 26265.03 26265.03 0.00% 2002 73360.11 53215.71-27.46% 30309.40 30309.40 0.00% 27172.64 27172.64 0.00% 2003 81790.86 55812.15-31.76% 31960.73 31960.73 26.13% 28444.59 28444.59 0.00% 2004 87226.06 57575.46-33.99% 33664.50 33664.50 0.00% 29126.71 29126.71 0.00%

218 Lampiran 19. Potensi Perbaikan Efisiensi dari DMU Pantai Barat Aceh DMU Effort Produksi Aktual Produksi Lestari Skor Data Proyeksi Perbedaan Skor Data Proyeksi Perbedaan Skor Data Proyeksi Perbedaan 1984 13489.98 13489.98 0.00% 10762.00 10762.00 0.00% 11468.15 11468.15 0.00% 1985 14790.14 14595.00-1.32% 12066.57 12066.57 0.00% 12360.92 12360.92 0.00% 1986 14456.01 14456.01 0.00% 12935.79 12935.79 0.00% 12134.71 12134.71 0.00% 1987 19295.64 19137.70-0.82% 17804.62 17804.62 0.00% 15201.37 15201.37 0.00% 1988 20097.41 20097.41 0.00% 18930.65 18930.65 0.00% 15667.45 15667.45 0.00% 1989 22362.90 21423.38-4.20% 20004.74 20004.74 0.00% 16923.34 16923.34 0.00% 1990 26509.15 23512.92-11.30% 21620.89 21620.89 0.00% 18999.61 18999.61 0.00% 1991 27724.70 23310.01-15.92% 20866.82 20866.82 0.00% 19556.64 19556.64 0.00% 1992 37606.88 27674.62-26.41% 24102.74 24102.74 0.00% 23303.66 23303.66 0.00% 1993 38668.53 28035.49-27.50% 24210.49 24210.49 0.00% 23630.30 23630.30 0.00% 1994 31170.26 25232.15-19.05% 22708.21 22708.21 0.00% 21015.91 21015.91 0.00% 1995 36052.27 26820.06-25.61% 21143.72 21396.43 1.20% 22800.35 22800.35 0.00% 1996 41194.26 28647.36-30.46% 20859.58 22854.20 9.56% 24353.78 24353.78 0.00% 1997 47797.65 30790.70-35.58% 26939.13 26939.13 0.00% 25914.07 25914.07 0.00% 1998 46658.77 30484.43-34.67% 26481.88 26481.88 0.00% 25677.18 25677.18 0.00% 1999 40951.73 28569.40-30.24% 21768.13 22792.01 4.70% 24287.51 24287.51 0.00% 2000 46873.19 30257.69-35.45% 22079.68 24138.89 9.33% 25722.76 25722.76 0.00% 2001 50375.21 31140.82-38.18% 25474.56 25474.56 0.00% 26403.95 26403.95 0.00% 2002 58633.40 32728.05-44.18% 28324.66 28324.66 0.00% 27578.70 27578.70 0.00% 2003 63546.33 34151.33-46.26% 31065.64 31065.64 0.00% 28024.92 28024.92 0.00% 2004 64024.20 36521.55-42.96% 34401.28 34401.28 0.00% 28059.31 28471.30 1.47%

219 Lampiran 20. Potensi Perbaikan Efisiensi dari DMU di Pantai Timur dan Barat Aceh DMU Perbedaan Effort Perbedaan Produksi Aktual Perbedaan Produksi Lestari Pantai Timur Pantai Barat Pantai Timur Pantai Barat Pantai Timur Pantai Barat 1984-4.60% 0.00% 37.71% 0.00% 0.00% 0.00% 1985-4.49% -1.32% 31.76% 0.00% 0.00% 0.00% 1986-4.47% 0.00% 18.79% 0.00% 0.00% 0.00% 1987-5.86% -0.82% 12.11% 0.00% 0.00% 0.00% 1988-2.47% 0.00% 9.40% 0.00% 0.00% 0.00% 1989-1.60% -4.20% 28.47% 0.00% 0.00% 0.00% 1990-0.22% -11.30% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 1991-2.76% -15.92% 9.40% 0.00% 0.00% 0.00% 1992-3.98% -26.41% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 1993-2.09% -27.50% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 1994-2.54% -19.05% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 1995 0.00% -25.61% 0.00% 1.20% 0.00% 0.00% 1996-5.10% -30.46% 0.00% 9.56% 0.00% 0.00% 1997 0.00% -35.58% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 1998-6.73% -34.67% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 1999-17.64% -30.24% 0.00% 4.70% 0.00% 0.00% 2000-18.76% -35.45% 0.00% 9.33% 0.00% 0.00% 2001-24.83% -38.18% 1.86% 0.00% 0.00% 0.00% 2002-27.46% -44.18% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 2003-31.76% -46.26% 26.13% 0.00% 0.00% 0.00% 2004-33.99% -42.96% 0.00% 0.00% 0.00% 1.47%

Lampiran 21. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional (Severely damage, Back Hoe) 220 Descriptions YEARS 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Revenues Udang windu ukuran 40 ekr/kg 0 12.000.000 12.000.000 12.000.000 12.000.000 12.000.000 12.000.000 12.000.000 12.000.000 12.000.000 12.000.000 12.000.000 ukuran 30 ekr/kg 0 11.520.000 11.520.000 11.520.000 11.520.000 11.520.000 11.520.000 11.520.000 11.520.000 11.520.000 11.520.000 11.520.000 ukuran 20 ekr/kg 0 3.600.000 3.600.000 3.600.000 3.600.000 3.600.000 3.600.000 3.600.000 3.600.000 3.600.000 3.600.000 3.600.000 Bandeng 0 5.600.000 5.600.000 5.600.000 5.600.000 5.600.000 5.600.000 5.600.000 5.600.000 5.600.000 5.600.000 5.600.000 Udang putih 0 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 Total Revenues 0 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 Costs Investment cost Tambak Rehabilitation 27.742.910 0 0 2.656.000 2.500.000 0 2.656.000 0 2.500.000 2.656.000 0 0 Tradables 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 External farms input 0 10.060.000 10.060.000 10.060.000 10.060.000 10.060.000 10.060.000 10.060.000 10.060.000 10.060.000 10.060.000 10.060.000 Tool 120.000 1.016.167 1.016.167 1.116.167 1.016.167 1.136.167 1.116.167 1.016.167 1.016.167 1.116.167 1.136.167 1.016.167 Farm machinery (cost of mh used) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Labour 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Tambak reconstruction/rehabilitation 4.671.429 0 0 1.050.000 1.050.000 0 1.050.000 0 1.050.000 1.050.000 0 0 Infrastructure maintenance 0 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 Land preparation 0 3.570.000 3.570.000 3.570.000 3.570.000 3.570.000 3.570.000 3.570.000 3.570.000 3.570.000 3.570.000 3.570.000 Shrimp and fish culture 0 9.910.000 9.910.000 9.910.000 9.910.000 9.910.000 9.910.000 9.910.000 9.910.000 9.910.000 9.910.000 9.910.000 Total costs 32.534.339 25.816.167 25.816.167 29.622.167 29.366.167 25.936.167 29.622.167 25.816.167 29.366.167 29.622.167 25.936.167 25.816.167 Cash flow (32.534.339) 8.503.833 8.503.833 4.697.833 4.953.833 8.383.833 4.697.833 8.503.833 4.953.833 4.697.833 8.383.833 8.503.833 NPV 3.011.198 NBCR 1.11 IRR 17.7% Investment for rehabilitation 32.414.339

Lampiran 22. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional (Medium damage, Back Hoe) 221 Descriptions YEARS 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Revenues Udang windu ukuran 40 ekr/kg 0 12.000.000 12.000.000 12.000.000 12.000.000 12.000.000 12.000.000 12.000.000 12.000.000 12.000.000 12.000.000 12.000.000 ukuran 30 ekr/kg 0 11.520.000 11.520.000 11.520.000 11.520.000 11.520.000 11.520.000 11.520.000 11.520.000 11.520.000 11.520.000 11.520.000 ukuran 20 ekr/kg 0 3.600.000 3.600.000 3.600.000 3.600.000 3.600.000 3.600.000 3.600.000 3.600.000 3.600.000 3.600.000 3.600.000 Bandeng 0 5.600.000 5.600.000 5.600.000 5.600.000 5.600.000 5.600.000 5.600.000 5.600.000 5.600.000 5.600.000 5.600.000 Udang putih 0 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 Total Revenues 0 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 Costs Investment cost Tambak Rehabilitation 17.360.218 0 0 2.656.000 2.500.000 0 2.656.000 0 2.500.000 2.656.000 0 0 Tradables 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 External farms input 0 10.060.000 10.060.000 10.060.000 10.060.000 10.060.000 10.060.000 10.060.000 10.060.000 10.060.000 10.060.000 10.060.000 Tool 120.000 1.016.167 1.016.167 1.116.167 1.016.167 1.136.167 1.116.167 1.016.167 1.016.167 1.116.167 1.136.167 1.016.167 Farm machinery (cost of mh used) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Labour 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Tambak reconstruction/rehabilitation 3.557.143 0 0 1.050.000 1.050.000 0 1.050.000 0 1.050.000 1.050.000 0 0 Infrastructure maintenance 0 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 Land preparation 0 3.570.000 3.570.000 3.570.000 3.570.000 3.570.000 3.570.000 3.570.000 3.570.000 3.570.000 3.570.000 3.570.000 Shrimp and fish culture 0 9.910.000 9.910.000 9.910.000 9.910.000 9.910.000 9.910.000 9.910.000 9.910.000 9.910.000 9.910.000 9.910.000 Total costs 21.037.360 25.816.167 25.816.167 29.622.167 29.366.167 25.936.167 29.622.167 25.816.167 29.366.167 29.622.167 25.936.167 25.816.167 Cash flow (21.037.360) 8.503.833 8.503.833 4.697.833 4.953.833 8.383.833 4.697.833 8.503.833 4.953.833 4.697.833 8.383.833 8.503.833 NPV 13.008.570 NBCR 1.71 IRR 32.0% Investment for rehabilitation 20.917.360

Lampiran 23. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional (Medium damage, Manual) 222 Descriptions YEARS 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Revenues Udang windu ukuran 40 ekr/kg 0 12.000.000 12.000.000 12.000.000 12.000.000 12.000.000 12.000.000 12.000.000 12.000.000 12.000.000 12.000.000 12.000.000 ukuran 30 ekr/kg 0 11.520.000 11.520.000 11.520.000 11.520.000 11.520.000 11.520.000 11.520.000 11.520.000 11.520.000 11.520.000 11.520.000 ukuran 20 ekr/kg 0 3.600.000 3.600.000 3.600.000 3.600.000 3.600.000 3.600.000 3.600.000 3.600.000 3.600.000 3.600.000 3.600.000 Bandeng 0 5.600.000 5.600.000 5.600.000 5.600.000 5.600.000 5.600.000 5.600.000 5.600.000 5.600.000 5.600.000 5.600.000 Udang putih 0 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 Total Revenues 0 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 Costs Investment cost Tambak Rehabilitation 5.156.000 0 0 2.656.000 2.500.000 0 2.656.000 0 2.500.000 2.656.000 0 0 Tradables 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 External farms input 0 10.060.000 10.060.000 10.060.000 10.060.000 10.060.000 10.060.000 10.060.000 10.060.000 10.060.000 10.060.000 10.060.000 Tool 120.000 1.016.167 1.016.167 1.116.167 1.016.167 1.136.167 1.116.167 1.016.167 1.016.167 1.116.167 1.136.167 1.016.167 Farm machinery (cost of mh used) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Labour 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Tambak reconstruction/rehabilitation 7.210.000 0 0 1.050.000 1.050.000 0 1.050.000 0 1.050.000 1.050.000 0 0 Infrastructure maintenance 0 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 Land preparation 0 3.570.000 3.570.000 3.570.000 3.570.000 3.570.000 3.570.000 3.570.000 3.570.000 3.570.000 3.570.000 3.570.000 Shrimp and fish culture 0 9.910.000 9.910.000 9.910.000 9.910.000 9.910.000 9.910.000 9.910.000 9.910.000 9.910.000 9.910.000 9.910.000 Total costs 12.486.000 25.816.167 25.816.167 29.622.167 29.366.167 25.936.167 29.622.167 25.816.167 29.366.167 29.622.167 25.936.167 25.816.167 Cash flow (12.486.000) 8.503.833 8.503.833 4.697.833 4.953.833 8.383.833 4.697.833 8.503.833 4.953.833 4.697.833 8.383.833 8.503.833 NPV 20.444.536 NBCR 2.88 IRR 58.7% Investment for rehabilitation 12.366.000

Lampiran 24. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional (Minor damage, Back Hoe) 223 Descriptions YEARS 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Revenues Udang windu ukuran 40 ekr/kg 0 12000000 12000000 12000000 12000000 12000000 12000000 12000000 12000000 12000000 12000000 12000000 ukuran 30 ekr/kg 0 11520000 11520000 11520000 11520000 11520000 11520000 11520000 11520000 11520000 11520000 11520000 ukuran 20 ekr/kg 0 3600000 3600000 3600000 3600000 3600000 3600000 3600000 3600000 3600000 3600000 3600000 Bandeng 0 5600000 5600000 5600000 5600000 5600000 5600000 5600000 5600000 5600000 5600000 5600000 Udang putih 0 1600000 1600000 1600000 1600000 1600000 1600000 1600000 1600000 1600000 1600000 1600000 Total Revenues 0 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 Costs Investment cost Tambak Rehabilitation 9693871 0 0 2656000 2500000 0 2656000 0 2500000 2656000 0 0 Tradables 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 External farms input 0 10060000 10060000 10060000 10060000 10060000 10060000 10060000 10060000 10060000 10060000 10060000 Tool 120000 1016167 1016167 1216167 1016167 1136167 1216167 1016167 1016167 1216167 1136167 1016167 Farm machinery (cost of mh used) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Labour 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Tambak reconstruction/rehabilitation 2678750 0 0 1050000 1050000 0 1050000 0 1050000 1050000 0 0 Infrastructure maintenance 0 1260000 1260000 1260000 1260000 1260000 1260000 1260000 1260000 1260000 1260000 1260000 Land preparation 0 3570000 3570000 3570000 3570000 3570000 3570000 3570000 3570000 3570000 3570000 3570000 Shrimp and fish culture 0 9910000 9910000 9910000 9910000 9910000 9910000 9910000 9910000 9910000 9910000 9910000 Total costs 12.492.621 25.816.167 25.816.167 29.722.167 29.366.167 25.936.167 29.722.167 25.816.167 29.366.167 29.722.167 25.936.167 25.816.167 Cash flow (12.492.621) 8.503.833 8.503.833 4.597.833 4.953.833 8.383.833 4.597.833 8.503.833 4.953.833 4.597.833 8.383.833 8.503.833 NPV 20.319.291 NBCR 2.87 IRR 58.5% Investment for rehabilitation 12.372.621

Lampiran 25. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional (Minor damage, Manual) 224 Descriptions YEARS 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Revenues Udang windu ukuran 40 ekr/kg 0 12000000 12000000 12000000 12000000 12000000 12000000 12000000 12000000 12000000 12000000 12000000 ukuran 30 ekr/kg 0 11520000 11520000 11520000 11520000 11520000 11520000 11520000 11520000 11520000 11520000 11520000 ukuran 20 ekr/kg 0 3600000 3600000 3600000 3600000 3600000 3600000 3600000 3600000 3600000 3600000 3600000 Bandeng 0 5600000 5600000 5600000 5600000 5600000 5600000 5600000 5600000 5600000 5600000 5600000 Udang putih 0 1600000 1600000 1600000 1600000 1600000 1600000 1600000 1600000 1600000 1600000 1600000 Total Revenues 0 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 34.320.000 Costs Investment cost Tambak Rehabilitation 2681000 0 0 2656000 2500000 0 2656000 0 2500000 2656000 0 0 Tradables 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 External farms input 0 11560000 11560000 11560000 11560000 11560000 11560000 11560000 11560000 11560000 11560000 11560000 Tool 120000 1016167 1016167 1216167 1016167 1136167 1216167 1016167 1016167 1216167 1136167 1016167 Farm machinery (cost of mh used) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Labour 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Tambak reconstruction/rehabilitation 3205000 0 0 1050000 1050000 0 1050000 0 1050000 1050000 0 0 Infrastructure maintenance 0 1260000 1260000 1260000 1260000 1260000 1260000 1260000 1260000 1260000 1260000 1260000 Land preparation 0 3570000 3570000 3570000 3570000 3570000 3570000 3570000 3570000 3570000 3570000 3570000 Shrimp and fish culture 0 9910000 9910000 9910000 9910000 9910000 9910000 9910000 9910000 9910000 9910000 9910000 Total costs 6.006.000 27.316.167 27.316.167 31.222.167 30.866.167 27.436.167 31.222.167 27.316.167 30.866.167 31.222.167 27.436.167 27.316.167 Cash flow (6.006.000) 7.003.833 7.003.833 3.097.833 3.453.833 6.883.833 3.097.833 7.003.833 3.453.833 3.097.833 6.883.833 7.003.833 NPV 19.133.250 NBCR 4.66 IRR 103.7% Investment for rehabilitation 5.886.000

Lampiran 26. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional Plus (Severely damage, Back Hoe) 225 Descriptions YEARS 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Revenues Udang windu ukuran 40 ekr/kg 0 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 ukuran 30 ekr/kg 0 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 ukuran 20 ekr/kg 0 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 Bandeng 0 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 Udang putih 0 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 Total Revenues 0 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 Costs Investment cost Tambak Rehabilitation 27.742.910 0 0 2.656.000 2.500.000 0 2.656.000 0 2.500.000 2.656.000 0 0 Tradables 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 External farms input 0 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 Tool 120.000 1.399.417 1.399.417 1.599.417 1.399.417 1.519.417 1.599.417 1.399.417 1.399.417 1.599.417 1.519.417 1.399.417 Farm machinery (cost of mh used) 0 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 Labour 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Tambak reconstruction/rehabilitation 4.671.429 0 0 1.050.000 1.050.000 0 1.050.000 0 1.050.000 1.050.000 0 0 Infrastructure maintenance 0 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 Land preparation 0 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 Shrimp and fish culture 0 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 Total costs 32.534.339 41.906.083 41.906.083 45.812.083 45.456.083 42.026.083 45.812.083 41.906.083 45.456.083 45.812.083 42.026.083 41.906.083 Cash flow (32.534.339) 14.993.917 14.993.917 11.087.917 11.443.917 14.873.917 11.087.917 14.993.917 11.443.917 11.087.917 14.873.917 14.993.917 NPV 32.428.429 NBCR 2.15 IRR 41.0% Investment for rehabilitation 32.414.339

Lampiran 27. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional Plus (Medium damage, Back Hoe) 226 Descriptions YEARS 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Revenues Udang windu ukuran 40 ekr/kg 0 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 ukuran 30 ekr/kg 0 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 ukuran 20 ekr/kg 0 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 Bandeng 0 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 Udang putih 0 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 Total Revenues 0 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 Costs Investment cost Tambak Rehabilitation 17.360.218 0 0 2.656.000 2.500.000 0 2.656.000 0 2.500.000 2.656.000 0 0 Tradables 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 External farms input 0 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 Tool 120.000 1.399.417 1.399.417 1.599.417 1.399.417 1.519.417 1.599.417 1.399.417 1.399.417 1.599.417 1.519.417 1.399.417 Farm machinery (cost of mh used) 0 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 Labour 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Tambak reconstruction/rehabilitation 3.557.143 0 0 1.050.000 1.050.000 0 1.050.000 0 1.050.000 1.050.000 0 0 Infrastructure maintenance 0 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 Land preparation 0 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 Shrimp and fish culture 0 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 Total costs 21.037.360 41.906.083 41.906.083 45.812.083 45.456.083 42.026.083 45.812.083 41.906.083 45.456.083 45.812.083 42.026.083 41.906.083 Cash flow (21.037.360) 14.993.917 14.993.917 11.087.917 11.443.917 14.873.917 11.087.917 14.993.917 11.443.917 11.087.917 14.873.917 14.993.917 NPV 42.425.801 NBCR 3.32 IRR 65.9% Investment for rehabilitation 20.917.360

Lampiran 28. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional Plus (Medium damage, Manual) 227 Descriptions YEARS 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Revenues Udang windu ukuran 40 ekr/kg 0 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 ukuran 30 ekr/kg 0 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 ukuran 20 ekr/kg 0 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 Bandeng 0 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 Udang putih 0 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 Total Revenues 0 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 Costs Investment cost Tambak Rehabilitation 5.156.000 0 0 2.656.000 2.500.000 0 2.656.000 0 2.500.000 2.656.000 0 0 Tradables 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 External farms input 0 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 Tool 120.000 1.399.417 1.399.417 1.599.417 1.399.417 1.519.417 1.599.417 1.399.417 1.399.417 1.599.417 1.519.417 1.399.417 Farm machinery (cost of mh used) 0 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 Labour 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Tambak reconstruction/rehabilitation 7.210.000 0 0 1.050.000 1.050.000 0 1.050.000 0 1.050.000 1.050.000 0 0 Infrastructure maintenance 0 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 Land preparation 0 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 Shrimp and fish culture 0 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 Total costs 12.486.000 41.906.083 41.906.083 45.812.083 45.456.083 42.026.083 45.812.083 41.906.083 45.456.083 45.812.083 42.026.083 41.906.083 Cash flow (12.486.000) 14.993.917 14.993.917 11.087.917 11.443.917 14.873.917 11.087.917 14.993.917 11.443.917 11.087.917 14.873.917 14.993.917 NPV 49.861.767 NBCR 5.59 IRR 114.4% Investment for rehabilitation 12.366.000

Lampiran 29. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional Plus (Minor damage, Back Hoe) 228 Descriptions YEARS 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Revenues Udang windu ukuran 40 ekr/kg 0 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 ukuran 30 ekr/kg 0 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 ukuran 20 ekr/kg 0 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 Bandeng 0 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 Udang putih 0 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 Total Revenues 0 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 Costs Investment cost Tambak Rehabilitation 9.693.871 0 0 2.656.000 2.500.000 0 2.656.000 0 2.500.000 2.656.000 0 0 Tradables 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 External farms input 0 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 Tool 120.000 1.399.417 1.399.417 1.599.417 1.399.417 1.519.417 1.599.417 1.399.417 1.399.417 1.599.417 1.519.417 1.399.417 Farm machinery (cost of mh used) 0 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 Labour 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Tambak reconstruction/rehabilitation 2.750.000 0 0 1.050.000 1.050.000 0 1.050.000 0 1.050.000 1.050.000 0 0 Infrastructure maintenance 0 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 Land preparation 0 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 Shrimp and fish culture 0 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 Total costs 12.563.871 41.906.083 41.906.083 45.812.083 45.456.083 42.026.083 45.812.083 41.906.083 45.456.083 45.812.083 42.026.083 41.906.083 Cash flow (12.563.871) 14.993.917 14.993.917 11.087.917 11.443.917 14.873.917 11.087.917 14.993.917 11.443.917 11.087.917 14.873.917 14.993.917 NPV 49.794.053 NBCR 5.56 IRR 114% Investment for rehabilitation 12.443.871

Lampiran 30. Arus Manfaat-Biaya Tambak Tradisional Plus (Minor damage, Manual) 229 Descriptions YEARS 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Revenues Udang windu ukuran 40 ekr/kg 0 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 15.312.500 ukuran 30 ekr/kg 0 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 19.600.000 ukuran 20 ekr/kg 0 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 9.187.500 Bandeng 0 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 11.200.000 Udang putih 0 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 Total Revenues 0 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 56.900.000 Costs Investment cost Tambak Rehabilitation 2.681.000 0 0 2.656.000 2.500.000 0 2.656.000 0 2.500.000 2.656.000 0 0 Tradables 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 External farms input 0 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 18.170.000 Tool 120.000 1.399.417 1.399.417 1.599.417 1.399.417 1.519.417 1.599.417 1.399.417 1.399.417 1.599.417 1.519.417 1.399.417 Farm machinery (cost of mh used) 0 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 5.586.667 Labour 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Tambak reconstruction/rehabilitation 3.205.000 0 0 1.050.000 1.050.000 0 1.050.000 0 1.050.000 1.050.000 0 0 Infrastructure maintenance 0 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 1.260.000 Land preparation 0 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 Shrimp and fish culture 0 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 10.660.000 Total costs 6.006.000 41.906.083 41.906.083 45.812.083 45.456.083 42.026.083 45.812.083 41.906.083 45.456.083 45.812.083 42.026.083 41.906.083 Cash flow (6.006.000) 14.993.917 14.993.917 11.087.917 11.443.917 14.873.917 11.087.917 14.993.917 11.443.917 11.087.917 14.873.917 14.993.917 NPV 55.496.549 NBCR 11.63 IRR 244.6% Investment for rehabilitation 5.886.000

Lampiran 31. Arus Manfaat-Biaya Tambak Semi Intensive (Severely Damage, Back Hoe) 230 Descriptions YEARS 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Revenues Udang windu ukuran 40 ekr/kg 0 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 ukuran 30 ekr/kg 0 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 ukuran 20 ekr/kg 0 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 Bandeng 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Udang putih 0 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 Total Revenues 0 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 Costs Tambak Rehabilitation Tradables 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 External farms input 0 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 Tool 4.120.000 0 0 0 0 2.000.000 0 0 0 0 2.000.000 0 Farm machinery (cost of mh used) 0 19.470.691 19.470.691 19.470.691 19.470.691 19.470.691 19.470.691 19.470.691 19.470.691 19.470.691 19.470.691 19.470.691 Labour 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Tambak reconstruction/rehabilitation 4.671.429 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1.950.000 Infrastructure maintenance 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Land preparation 0 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 Shrimp and fish culture 0 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 permanent staff 0 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 Total costs 8.791.429 71.870.691 71.870.691 71.870.691 71.870.691 73.870.691 71.870.691 71.870.691 71.870.691 71.870.691 73.870.691 73.820.691 Cash flow (8.791.429) 17.707.434 17.707.434 17.707.434 17.707.434 15.707.434 17.707.434 17.707.434 17.707.434 17.707.434 15.707.434 15.757.434 NPV 62.739.594 NBCR 2.97 IRR 58.0% Investment for rehabilitation 32.414.339

Lampiran 32. Arus Manfaat-Biaya Tambak Semi Intensif (Medium damage, Back Hoe) 231 Descriptions YEARS 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Revenues Udang windu ukuran 40 ekr/kg 0 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 ukuran 30 ekr/kg 0 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 ukuran 20 ekr/kg 0 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 Bandeng 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Udang putih 0 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 Total Revenues 0 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 Costs Tambak Rehabilitation Tradables 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 External farms input 0 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 Tool 4.120.000 0 0 0 0 2.000.000 0 0 0 0 2.000.000 0 Farm machinery (cost of mh used) 0 19.470.691 19.470.691 19.470.691 19.470.691 19.470.691 19.470.691 19.470.691 19.470.691 19.470.691 19.470.691 19.470.691 Labour 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Tambak reconstruction/rehabilitation 3.557.143 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1.950.000 Infrastructure maintenance 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Land preparation 0 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 Shrimp and fish culture 0 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 permanent staff 0 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 Total costs 7.677.143 71.870.691 71.870.691 71.870.691 71.870.691 73.870.691 71.870.691 71.870.691 71.870.691 71.870.691 73.870.691 73.820.691 Cash flow (7.677.143) 17.707.434 17.707.434 17.707.434 17.707.434 15.707.434 17.707.434 17.707.434 17.707.434 17.707.434 15.707.434 15.757.434 NPV 72.736.966 NBCR 4.34 IRR 86.0% Investment for rehabilitation 20.917.360

Lampiran 33. Arus Manfaat-Biaya Tambak Semi Intensif (Medium damage, Manual) 232 Descriptions YEARS 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Revenues Udang windu ukuran 40 ekr/kg 0 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 ukuran 30 ekr/kg 0 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 ukuran 20 ekr/kg 0 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 Bandeng 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Udang putih 0 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 Total Revenues 0 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 Costs Tambak Rehabilitation Tradables 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 External farms input 0 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 Tool 4.120.000 0 0 0 0 2.000.000 0 0 0 0 2.000.000 0 Farm machinery (cost of mh used) 0 19.470.691 19.470.691 19.470.691 19.470.691 19.470.691 19.470.691 19.470.691 19.470.691 19.470.691 19.470.691 19.470.691 Labour 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Tambak reconstruction/rehabilitation 7.210.000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1.950.000 Infrastructure maintenance 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Land preparation 0 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 Shrimp and fish culture 0 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 permanent staff 0 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 Total costs 11.330.000 71.870.691 71.870.691 71.870.691 71.870.691 73.870.691 71.870.691 71.870.691 71.870.691 71.870.691 73.870.691 73.820.691 Cash flow (11.330.000) 17.707.434 17.707.434 17.707.434 17.707.434 15.707.434 17.707.434 17.707.434 17.707.434 17.707.434 15.707.434 15.757.434 945.742 NPV 80.172.932 NBCR 6.59 IRR 132.2% Investment for rehabilitation 12.366.000

Lampiran 34. Arus Manfaat-Biaya Tambak Semi Intensif (Minor damage, Back Hoe) 233 Descriptions YEARS 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Revenues Udang windu ukuran 40 ekr/kg 0 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 ukuran 30 ekr/kg 0 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 ukuran 20 ekr/kg 0 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 Bandeng 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Udang putih 0 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 Total Revenues 0 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 Costs Tambak Rehabilitation Tradables 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 External farms input 0 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 Tool 4.120.000 0 0 0 0 2.000.000 0 0 0 0 2.000.000 0 Farm machinery (cost of mh used) 0 21.977.915 21.977.915 21.977.915 21.977.915 21.977.915 21.977.915 21.977.915 21.977.915 21.977.915 21.977.915 21.977.915 Labour 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Tambak reconstruction/rehabilitation 2.678.750 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1.950.000 Infrastructure maintenance 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Land preparation 0 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 Shrimp and fish culture 0 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 permanent staff 0 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 Total costs 6.798.750 74.377.915 74.377.915 74.377.915 74.377.915 76.377.915 74.377.915 74.377.915 74.377.915 74.377.915 76.377.915 76.327.915 Cash flow (6.798.750) 15.200.210 15.200.210 15.200.210 15.200.210 13.200.210 15.200.210 15.200.210 15.200.210 15.200.210 13.200.210 13.250.210-651.566 658.880 1.115.196 2.244.198 2.144.839 2.167.415 2.286.221 2.423.484 1.239.583 945.742 NPV 68.756.660 NBCR 5.79 IRR 116.5% Investment for rehabilitation 12.372.621

Lampiran 35. Arus Manfaat-Biaya Tambak Semi Intensif (Minor damage, Manual) 234 Descriptions YEARS 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Revenues Udang windu ukuran 40 ekr/kg 0 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 26.206.250 ukuran 30 ekr/kg 0 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 44.925.000 ukuran 20 ekr/kg 0 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 16.846.875 Bandeng 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Udang putih 0 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 1.600.000 Total Revenues 0 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 89.578.125 Costs Tambak Rehabilitation Tradables 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 External farms input 0 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 29.880.000 Tool 4.120.000 0 0 0 0 2.000.000 0 0 0 0 2.000.000 0 Farm machinery (cost of mh used) 0 19.470.691 19.470.691 19.470.691 19.470.691 19.470.691 19.470.691 19.470.691 19.470.691 19.470.691 19.470.691 19.470.691 Labour 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Tambak reconstruction/rehabilitation 3.205.000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1.950.000 Infrastructure maintenance 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Land preparation 0 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 4.830.000 Shrimp and fish culture 0 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 13.140.000 permanent staff 0 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 4.550.000 Total costs 7.325.000 71.870.691 71.870.691 71.870.691 71.870.691 73.870.691 71.870.691 71.870.691 71.870.691 71.870.691 73.870.691 73.820.691 Cash flow (7.325.000) 17.707.434 17.707.434 17.707.434 17.707.434 15.707.434 17.707.434 17.707.434 17.707.434 17.707.434 15.707.434 15.757.434-651.566 658.880 1.115.196 2.244.198 2.144.839 2.167.415 2.286.221 2.423.484 1.239.583 945.742 NPV 85.807.714 NBCR 10.86 IRR 219.9% Investment for rehabilitation 5.886.000

235 Lampiran 36. Analisis Interaksi Mangrove dan Sumberdaya Perikanan (Model Fozal) Data yang digunakan dalam model Fozal Tahun Effort - E (ribu trip) Produksi - h (ton) Mangrove - M (ha) h/e logm.e 1984 5.47459 891.81 974.30 162.90 16.36 1985 5.67255 877.70 949.64 154.73 16.89 1986 5.72918 913.50 909.04 159.45 16.95 1987 5.54198 972.43 857.99 175.47 16.26 1988 5.62689 1004.10 794.10 178.45 16.32 1989 5.65874 1005.30 722.38 177.65 16.18 1990 5.48266 989.60 632.52 180.50 15.36 1991 5.81881 1018.00 536.33 174.95 15.88 1992 6.56012 1123.00 456.77 171.19 17.45 1993 6.21831 1041.70 390.44 167.52 16.12 1994 6.91294 1127.50 337.20 163.10 17.48 1995 6.90741 1121.10 290.20 162.30 17.01 1996 8.32428 1279.33 271.00 153.69 20.25 1997 8.66652 1298.20 268.80 149.79 21.05 1998 8.96657 1353.33 263.60 150.93 21.71 1999 8.88758 1364.16 260.50 153.49 21.47 2000 9.36956 1394.38 258.10 148.82 22.60 2001 9.21553 1347.25 256.80 146.19 22.21 2002 10.16890 1481.52 253.70 145.69 24.45 2003 10.33257 1539.52 251.50 149.00 24.80 2004 11.89609 1675.00 250.00 140.80 28.53

236 Lampiran 37. Print Out Perhitungan Model Fozal _print Y X1 X2 175.4700 857.9900 16.26000 178.4500 794.1000 16.32000 177.6500 722.3800 16.18000 180.5000 632.5200 15.36000 174.9500 536.3300 15.88000 171.1900 456.7700 17.45000 167.5200 390.4400 16.12000 163.1000 337.2000 17.48000 162.3000 290.2000 17.01000 153.6900 271.0000 20.25000 149.7900 268.8000 21.05000 150.9300 263.6000 21.71000 153.4900 260.5000 21.47000 148.8200 258.1000 22.60000 146.1900 256.8000 22.21000 145.6900 253.7000 24.45000 149.0000 251.5000 24.80000 140.8000 250.0000 28.53000 TOTAL NUMBER OF OBSERVATIONS = 18 VARIABLE : Y DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS = 0 NO.OBS = 17 NULL TEST ASY. CRITICAL HYPOTHESIS STATISTIC VALUE 10% --------------------------------------------------------------------------- CONSTANT, NO TREND A(1)=0 Z-TEST -0.17730-11.2 A(1)=0 T-TEST -0.13575-2.57 A(0)=A(1)=0 2.3188 3.78 AIC = 2.838 SC = 2.936 --------------------------------------------------------------------------- CONSTANT, TREND A(1)=0 Z-TEST -9.2207-18.2 A(1)=0 T-TEST -2.5327-3.13 A(0)=A(1)=A(2)=0 4.4110 4.03 A(1)=A(2)=0 3.4136 5.34 AIC = 2.560 SC = 2.707 --------------------------------------------------------------------------- VARIABLE : X1 DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS = 1 NO.OBS = 16 NULL TEST ASY. CRITICAL HYPOTHESIS STATISTIC VALUE 10% --------------------------------------------------------------------------- CONSTANT, NO TREND A(1)=0 T-TEST -5.0704-2.57 A(0)=A(1)=0 13.303 3.78 AIC = 4.061 SC = 4.206 --------------------------------------------------------------------------- CONSTANT, TREND A(1)=0 T-TEST -4.5419-3.13 A(0)=A(1)=A(2)=0 9.2681 4.03 A(1)=A(2)=0 13.452 5.34 AIC = 4.101 SC = 4.295 ---------------------------------------------------------------------------

237 VARIABLE : X2 DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS = 0 NO.OBS = 17 NULL TEST ASY. CRITICAL HYPOTHESIS STATISTIC VALUE 10% --------------------------------------------------------------------------- CONSTANT, NO TREND A(1)=0 Z-TEST 1.9638-11.2 A(1)=0 T-TEST 1.0892-2.57 A(0)=A(1)=0 2.9410 3.78 AIC = 0.745 SC = 0.843 --------------------------------------------------------------------------- CONSTANT, TREND A(1)=0 Z-TEST -8.0374-18.2 A(1)=0 T-TEST -1.7548-3.13 A(0)=A(1)=A(2)=0 4.3433 4.03 A(1)=A(2)=0 3.4759 5.34 AIC = 0.535 SC = 0.682 --------------------------------------------------------------------------- R-SQUARE = 0.9635 R-SQUARE ADJUSTED = 0.9586 VARIANCE OF THE ESTIMATE-SIGMA**2 = 7.3162 STANDARD ERROR OF THE ESTIMATE-SIGMA = 2.7049 SUM OF SQUARED ERRORS-SSE= 109.74 MEAN OF DEPENDENT VARIABLE = 160.53 LOG OF THE LIKELIHOOD FUNCTION = -41.9793 VARIABLE ESTIMATED STANDARD T-RATIO PARTIAL STANDARDIZED ELASTICITY NAME COEFFICIENT ERROR 15 DF P-VALUE CORR. COEFFICIENT AT MEANS X1 0.26247E-01 0.6954E-02 3.775 0.002 0.698 0.4114 0.0668 X2-1.9952 0.3445-5.792 0.000-0.831-0.5751-0.2452 CONSTANT 189.07 9.090 20.80 0.000 0.983 0.0000 1.1778 DURBIN-WATSON = 1.7187 VON NEUMANN RATIO = 1.8198 RHO = 0.07976 RESIDUAL SUM = 1.9679 RESIDUAL VARIANCE = 7.5744 SUM OF ABSOLUTE ERRORS= 38.134 R-SQUARE BETWEEN OBSERVED AND PREDICTED = 0.9628 RUNS TEST: 6 RUNS, 10 POS, 0 ZERO, 8 NEG NORMAL STATISTIC = -1.9148 DURBIN H STATISTIC (ASYMPTOTIC NORMAL) = 0.63277 MODIFIED FOR AUTO ORDER=1 _stop

238 Lampiran 38. Persamaan Model Fozal Model ini merupakan pengembangan dari model yield-effort berikut: q h = qke( 1 E) r Mangrove dimasukkan ke dalam persamaan melalui fungsi carrying capacity : K = α log M q h = q. α log M.E ( 1 E ) r 2 q α.log M 2 h = α.q.log M.E E r 2 h q α log M = qα log M E E r h = b1 log M b 2 log M.E E h = b 2 1 log M.E b 2 log M. E Dari analisis regresi di atas diperoleh : b1 = 0.26247 b1 log M = 0,68883 b2 = -1.9952 b2 log M = -5,23623 Dengan demikian, persamaan model Fozal adalah : h t = 0, 68883E + 5, 23623E 2

239 Lampiran 39. Dampak tsunami pada nelayan dan kapal/boat di Provinsi NAD Sumber : The WorldFish Center 2005.