KEDALAMAN LAPISAN RENANG TUNA (Thunnus sp.) YANG TERTANGKAP OLEH RAWAI TUNA DI SAMUDERA HINDIA SATRIA AFNAN PRANATA

dokumen-dokumen yang mirip
PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA)

SAMBUTAN. Jakarta, Nopember Kepala Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan

SEBARAN LAJU PANCING RAWAI TUNA DI SAMUDERA HINDIA DISTRIBUTION OF THE HOOK RATE OF TUNA LONGLINE IN THE INDIAN OCEAN

PENGARUH LAMA SETTING DAN JUMLAH PANCING TERHADAP HASIL TANGKAPAN RAWAI TUNA DI LAUT BANDA

JENIS DAN DISTRIBUSI UKURAN IKAN HASIL TANGKAP SAMPINGAN (BY CATCH) RAWAI TUNA YANG DIDARATKAN DI PELABUHAN BENOA BALI

BEBERAPA JENIS IKAN BAWAL (Angel fish, BRAMIDAE) YANG TERTANGKAP DENGAN RAWAI TUNA (TUNA LONG LINE) DI SAMUDERA HINDIA DAN ASPEK PENANGKAPANNYA

HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN (BY CATCH) TUNA LONG LINE DI PERAIRAN LAUT BANDA

PERIKANAN PANCING ULUR TUNA DI KEDONGANAN, BALI

Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru Jakarta 2)

III. METODE PENELITIAN

PENGARUH PERBEDAAN UMPAN DAN WAKTU SETTING RAWAI TUNA TERHADAP HASIL TANGKAPAN TUNA DI SAMUDERA HINDIA


HASIL TANGKAP SAMPINGAN (BYCATCH) KAPAL RAWAI TUNA DI SELATAN PULAU JAWA YANG BERBASIS DI PPS CILACAP DAN PPN PALABUHANRATU DEWI KUSUMANINGRUM

Alat Tangkap Longline

PERIKANAN TUNA SKALA RAKYAT (SMALL SCALE) DI PRIGI, TRENGGALEK-JAWA TIMUR

KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN DAN LAJU PANCING RAWAI TUNA YANG BERBASIS DI PELABUHAN BENOA

KEBIASAAN MAKAN IKAN TUNA (Thunnus sp.) TERKAIT DENGAN PROSES PENANGKAPAN PADA RAWAI TUNA DI SAMUDERA HINDIA AGUS JAENUDIN

BAB I PENDAHULUAN. di udara, darat, maupun laut. Keanekaragaman hayati juga merujuk pada

PENGGUNAAN PANCING ULUR (HAND LINE) UNTUK MENANGKAP IKAN PELAGIS BESAR DI PERAIRAN BACAN, HALMAHERA SELATAN

Penangkapan Tuna dan Cakalang... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.)

BEBERAPA JENIS PANCING (HANDLINE) IKAN PELAGIS BESAR YANG DIGUNAKAN NELAYAN DI PPI HAMADI (JAYAPURA)

Alat bantu Gill net Pengertian Bagian fungsi Pengoperasian

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Produktivitas 2.2 Musim

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERIKANAN PANCING TONDA DI PERAIRAN PELABUHAN RATU *)

Sebaran Ikan Tuna Berdasarkan Suhu dan Kedalaman di Samudera Hindia

PENGARUH PENGGUNAAN MATA PANCING GANDA PADA RAWAI TEGAK TERHADAP HASIL TANGKAPAN LAYUR

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru (Anthony Cox, Matthew Stubbs and Luke Davies, 1999)

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN PELAGIS BESAR MEMAKAI ALAT TANGKAP FUNAI (MINI POLE AND LINE) DI KWANDANG, KABUPATEN GORONTALO

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

Daerah penangkapan tuna hand liners yang mendaratkan tangkapannya di Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung

MODUL MERAKIT RAWAI TUNA

KEDALAMAN RENANG DAN WAKTU MAKAN IKAN ALBAKORA (Thunnus alalunga) DI SAMUDERA HINDIA SEBELAH SELATAN JAWA

PELUANG EKSPOR TUNA SEGAR DARI PPI PUGER (TINJAUAN ASPEK KUALITAS DAN AKSESIBILITAS PASAR) AGUSTIN ROSS SKRIPSI

Identifikasi Ikan Berparuh (Billfish) di Samudera Hindia Perikanan Pelagis. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan

TEKNIK PENGOPERASIAN PANCING TENGGIRI DENGAN MENGGUNAKAN ALAT BANTU CAHAYA

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT JENDERAL MANAJEMEN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN

PENDEKATAN KARAKTERISTIK KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN DAN DATA VMS DALAM PENANGGULANGAN IUU FISHING PADA PERIKANAN RAWAI TUNA RAHMAN HAKIM PURNAMA

DRAFT KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PRODUKTIVITAS KAPAL PENANGKAP IKAN

KONSTRUKSI DAN PRODUKTIVITAS RUMPON PORTABLE DI PERAIRAN PALABUHANRATU, JAWA BARAT

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III BAHAN DAN METODE

Fishing Technology: Longline. Ledhyane Ika Harlyan

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107/KEPMEN-KP/2015 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA, CAKALANG DAN TONGKOL

5 HASIL TANGKAPAN DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU

Komposisi tangkapan tuna hand line di Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung, Sulawesi Utara

DRAFT KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PRODUKTIVITAS KAPAL PENANGKAP IKAN

SAMBUTAN. Jakarta, Nopember Kepala Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH JUMLAH LAMPU TERHADAP HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN MINI DI PERAIRAN PEMALANG DAN SEKITARNYA

ABSTRAK. Kata kunci: Jumlah tangkapan; struktur ukuran; jenis umpan; ikan demersal dan rawai dasar

Laju tangkap dan musim penangkapan madidihang (Thunnus albacares) dengan tuna hand line yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung

Perbandingan hasil tangkapan tuna hand line dengan teknik pengoperasian yang berbeda di Laut Maluku

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI

PENGOPERASIAN ALAT TANGKAP PANCING TONDA DI LAUT BANDA YANG BERBASIS DI KENDARI

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MENGIDENTIFIKASI JENIS-JENIS IKAN TUNA DI LAPANGAN. Jenis-jenis ikan tuna. dan. Jenis-jenis yang serupa tuna ( tuna-like species )

Lampiran 2. Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

Oleh : Rodo Lasniroha, Yuniarti K. Pumpun, Sri Pratiwi S. Dewi. Surat elektronik :

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Ikan Tuna

Lampiran 1 Gambar rancang bangun alat penangkap ikan tuna longline. Sumber: 30 Desember 2010

Oleh : NIA SALMA PRlYANTl. Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan llmu Kelautan C 31.

HUBUNGAN BOBOT PANJANG IKAN TUNA MADIDIHANG Thunnus albacares DARI PERAIRAN MAJENE SELAT MAKASSAR SULAWESI BARAT Wayan Kantun 1 dan Ali Yahya 2

PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA

ANALISIS KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN RAWAI (LONG LINE) PAGI DAN SIANG HARI DI PERAIRAN TELUK PAMBANG KECAMATAN BANTAN KABUPATEN BENGKALIS PROVINSI RIAU

KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN DAN IKAN TARGET PERIKANAN RAWAI TUNA BAGIAN TIMUR SAMUDERA HINDIA

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Tuna Klasifikasi ikan tuna

2 TINJAUAN PUSTAKA. Sumber: Gambar 1 Ikan tuna sirip kuning ( Thunnus albacares)

KOMPOSISI UKURAN, PERBANDINGAN JENIS KELAMIN, DAN TINGKAT KEMATANGAN GONAD IKAN TODAK BERPARUH PENDEK (Tetrapturus angustirostris) DI SAMUDERA HINDIA

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

PENDUGAAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN MELALUI PENDEKATAN KONVENSIONAL

4 KEADAAN UMUM. 4.1 Letak dan Kondisi Geografis

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

2 Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lemb

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS

I. PENDAHULUAN. dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan laut di Kabupaten Malang Jawa

2 GAMBARAN UMUM UNIT PERIKANAN TONDA DENGAN RUMPON DI PPP PONDOKDADAP

EVALUASI ASPEK SOSIAL KEGIATAN PENANGKAPAN IKAN TUNA (THUNNUS SP) OLEH NELAYAN DESA YAINUELO KABUPATEN MALUKU TENGAH

Tuna loin segar Bagian 2: Persyaratan bahan baku

SPESIES TERKAIT EKOLOGI DALAM AKTIVITAS PENANGKAPAN HIU OLEH NELAYAN ARTISANAL TANJUNG LUAR

ESTIMASI KEGIATAN ALIH MUAT PADA KAPAL RAWAI TUNA BERDASARKAN DATA VMS DAN KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN

STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO

ANALISIS PERENCANAAN PENGADAAN PERSEDIAAN TUNA PADA PT TRIDAYA ERAMINA BAHARI MUARA BARU JAKARTA

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah

6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna

PRODUKTIVITAS PANCING ULUR UNTUK PENANGKAPAN IKAN TENGGIRI (Scomberomorus commerson) DI PERAIRAN PULAU TAMBELAN KEPULAUAN RIAU

pemanfaatan potensi perikanan

3.2.1 Spesifikasi alat tangkap Bagian-bagian dari alat tangkap yaitu: 1) Tali ris atas, tali pelampung, tali selambar

1) The Student at Faculty of Fisheries and Marine Sciences, University of Riau.

4 HASIL. Gambar 8 Kapal saat meninggalkan fishing base.

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN TUNA MATA BESAR (Thunnus obesus) DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA RIA FAIZAH

Transkripsi:

KEDALAMAN LAPISAN RENANG TUNA (Thunnus sp.) YANG TERTANGKAP OLEH RAWAI TUNA DI SAMUDERA HINDIA SATRIA AFNAN PRANATA DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kedalaman Lapisan Renang Tuna (Thunnus sp.) yang Tertangkap oleh Rawai Tuna di Samudera Hindia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, September 2013 Satria Afnan Pranata NIM C44090016

ABSTRAK SATRIA AFNAN PRANATA. Kedalaman Lapisan Renang Tuna (Thunnus sp.) yang Tertangkap oleh Rawai Tuna di Samudera Hindia. Dibimbing oleh ARI PURBAYANTO dan RONNY IRAWAN WAHJU. Penelitian mengenai kedalaman lapisan renang ikan tuna dilakukan pada bulan Februari sampai dengan bulan April tahun 2013 di Samudera Hindia. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai operasi penangkapan rawai tuna, menganalisis komposisi jenis hasil tangkapan, dan menentukan kedalaman lapisan renang (swimming layer) tuna di Samudera Hindia. Penelitian ini merupakan studi kasus terhadap kegiatan penangkapan tuna di kapal rawai tuna KM. Bina Sejati dan KM. Bintang Utara. Hasil tangkapan yang diperoleh yaitu sebanyak 998 ekor dari 52 kali setting. Hasil tangkapan yang diperoleh terdiri atas hasil tangkapan utama sebanyak 83 ekor (8,23%), hasil tangkapan sampingan sebanyak (bycatch) 161 ekor (16,13%), dan hasil tangkapan sampingan yang dibuang (discard) sebanyak 754 ekor (75,55%). Hasil tangkapan utama terdiri atas tuna mata besar (Thunnus obesus) sebanyak 44 ekor (53,01%), tuna albakora (Thunnus alalunga) sebanyak 21 ekor (25,30%), tuna madidihang (Thunnus albacares) sebanyak 11 ekor (13,25%), dan tuna sirip biru selatan (Thunnus maccoyii) sebanyak 7 ekor (8,43%). Hasil tangkapan sampingan (bycatch) didominasi oleh bawal bulat (Taractichthys sp.) 19,25%, bawal hitam (Taractes rubescens) 17,39%, dan gindara (Lepidocybium sp.) 17,39%. Kedalaman lapisan renang ikan tuna yang diperoleh yaitu tuna albakora (Thunnus alalunga) pada kedalaman 64-232 m, tuna mata besar (Thunnus obesus) pada kedalaman 64-250 m, madidihang (Thunnus albacares) pada kedalaman 64-205 m, dan tuna sirip biru selatan (Thunnus maccoyii) pada kedalaman 110-205 m. Kata kunci: Kedalaman lapisan renang, tuna, rawai tuna, Samudera Hindia.

ABSTRACT SATRIA AFNAN PRANATA. Swimming Layer of Tuna (Thunnus sp.) Caught by Tuna Longline in the Indian Ocean. Supervised by ARI PURBAYANTO and RONNY IRAWAN WAHJU. The research about swimming layer of tuna conducted in February until April on Indian Ocean. The objective of research was to obtain information about processed of tuna longline operation, analyzed the composition of catches, determined the swimming layer of tuna in Indian Ocean. This research was a case study of the activities of catching tuna on KM. Bina Sejati and KM. Bintang Utara. The total catches were 998 fish from 52 setting during experiment. The member of catches consisted of target catcth were 83 (8,23%), 161 (16,13%) bycatches, and 754 (75,55%) discarded catch. The target catches consisted of bigeyes (Thunnus obesus) which was 44 (53,01%), albacores (Thunnus alalunga) 21 (25,30%), yellowfins (Thunnus albacores) 11 (13,25%), and southern bluefins (Thunnus maccoyii) 7 (8,43%). The majority of bycathes were bullet pomfret which was (Taractichthys sp.) 19,25%, black pomfret (Taractes rubescens) 17,39%, and oil fish (Lepidocybium sp.) 17,39%. The swimming layers of tuna were : albacore (Thunnus alalunga) which was at 64-232 m, bigeye (Thunnus obesus) at 64-250 m, yellowfin (Thunnus albacares) at 64-205 m, and southern bluefin (Thunnus maccoyii) at 110-205 m. Keyword : Swimming layer, tuna, tuna longline, Indian Ocean.

KEDALAMAN LAPISAN RENANG TUNA (Thunnus sp.) YANG TERTANGKAP OLEH RAWAI TUNA DI SAMUDERA HINDIA SATRIA AFNAN PRANATA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

Judul Skripsi : Kedalaman Lapisan Renang Tuna (Thunnus sp.) yang Tertangkap oleh Rawai Tuna di Samudera Hindia Nama : Satria Afnan Pranata NIM : C44090016 Program studi : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap Disetujui oleh Ib :3) Prof Dr Ir Ari Purbayanto, MSc Pembimbing I Dr Ir ROIUlY Irawan Wahju, MPhil Pembimbing II Tanggal Lulus: t,., P 2011

Judul Skripsi : Kedalaman Lapisan Renang Tuna (Thunnus sp.) yang Tertangkap oleh Rawai Tuna di Samudera Hindia Nama : Satria Afnan Pranata NIM : C44090016 Program studi : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap Disetujui oleh Prof Dr Ir Ari Purbayanto, MSc Pembimbing I Dr Ir Ronny Irawan Wahju, MPhil Pembimbing II Diketahui oleh Dr Ir Budy Wiryawan, MSc Ketua Departemen Tanggal Lulus :

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini dibuat untuk memenuhi persyaratan guna mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Kedalaman Lapisan Renang Tuna (Thunnus sp.) yang Tertangkap oleh Rawai Tuna di Samudera Hindia. Terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc. dan Dr. Ir. Ronny Irawan Wahju, M.Phil selaku komisi pembimbing atas saran dan bimbingan selama penyusunan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Budhi H. Iskandar, M.Sc. selaku komisi pendidikan Departemen PSP. 3. Dr. Ir. Diniah, M. Sc. selaku penguji tamu pada ujian sidang skripsi. 4. Budi Nugraha, S.Pi, M.Si selaku Kepala Loka Penelitian Tuna Benoa Bali yang telah memfasilitasi kami dan juga seluruh pegawai LPPT Benoa. 5. Kapten kapal KM. Bina Sejati Bapak Ramita beserta kru kapal atas bantuan dan kekeluargaan yang luar biasa selama 58 hari di Kapal. 6. Kepada keluargaku Bapak Asnanto S.AP dan Ibu Yuli Karyawati, serta saudaraku Mbak Wiwid dan Dek Kiki atas segala doa dan kasih sayangnya. 7. Mas Ashadi (jadux), Bapak Beni Pramono, Mbak Ani Rahmawati, Agus Jaenudin, dan Chitra yang telah banyak membantu dan mendukung selama penelitian dan penyusunan skripsi. 8. Seluruh dosen dan staf Departemen PSP yang telah memberikan arahan dan dukungan hingga terselesaikannya penulisan skripsi. 9. Teman-teman PSP angkatan 46, Teman-teman FDC-IPB diklat 28, dan saudara-saudaraku Asrama Sylvapinus khususnya angkatan Mark Up Sylvalestari atas dukungan dan kebersamannya selama ini. 10. Seluruh pihak terkait yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Akhir kata semoga karya ilmiah ini bisa bermanfaat. Bogor, September 2013 Satria Afnan Pranata

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL xii DAFTAR GAMBAR xii DAFTAR LAMPIRAN xii PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 METODOLOGI PENELITIAN 3 Waktu dan Tempat Penelitian 3 Alat 3 Metode Penelitian 7 HASIL DAN PEMBAHASAN 9 Pengoperasian Rawai Tuna 9 Hasil Tangkapan 10 Laju Penangkapan (Hook Rate) 15 Estimasi Kedalaman Lapisan Renang Tuna 16 KESIMPULAN DAN SARAN 18 Kesimpulan 18 Saran 19 DAFTAR PUSTAKA 19 LAMPIRAN 21 RIWAYAT HIDUP 39

DAFTAR TABEL 1 Peralatan dan spesifikasi KM. Bina Sejati dan KM. Bintang Utara 5 2 Spesifikasi alat tangkap rawai tuna 7 3 Hasil tangkapan utama berdasarkan posisi pancing 14 4 Hasil tangkapan sampingan (bycatch) berdasarkan posisi pancing 14 5 Nilai hook rate hasil tangkapan rawai tuna 15 6 Hasil perhitungan kedalaman setiap nomor pancing 16 DAFTAR GAMBAR 1 Daerah penangkapan ikan tuna (fishing ground) 4 2 Rangkaian satu unit alat tangkap rawai tuna dalam satu basket 6 3 Komposisi jumlah keseluruhan hasil tangkapan rawai tuna 11 4 Komposisi jumlah hasil tangkapan utama 11 5 Komposisi jumlah hasil tangkapan sampingan (bycatch) 12 6 Komposisi ukuran panjang hasil tangkapan utama 13 7 Ilustrasi kedalaman lapisan renang (swimming layer) ikan tuna 18 DAFTAR LAMPIRAN 1 Posisi koordinat setting KM. Bina Sejati dan KM. Bintang Utara 21 2 Alat yang digunakan selama penelitian 22 3 Kapal KM. Bina Sejati dan KM. Bintang Utara 23 4 Komponen unit penangkapan rawai tuna 23 5 Data hasil tangkapan utama dan tangkapan sampingan 24 6 Hasil tangkapan utama, hasil tangkapan sampingan (bycatch), dan hasil tangkapan sampingan yang dibuang (discard) 30 7 Contoh perhitungan hook rate 33 8 Nilai hook rate per setting pada KM. Bina Sejati dan KM. Bintang Utara 33 9 Contoh perhitungan kedalaman mata pancing 34 10 Hasil perhitungan kedalaman setiap mata pancing per setting 36 11 Dokumentasi selama penelitian di KM. Bina Sejati 38

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tuna merupakan salah satu komoditas perikanan bernilai ekonomis tinggi dan berperan penting dalam perdagangan ikan dunia (Collette dan Nauen 1983). Hal ini dikarenakan ikan tuna memiliki kualitas daging yang sangat baik dan memiliki kandungan gizi yang tinggi dan lengkap (FAO 2009). Selain itu, proses penangkapannya yang tidak mudah, juga membuat ikan tuna bernilai ekonomis tinggi. Pada tahun 2009, ISSF (International Seafood Sustainability Foundation) melaporkan produksi ikan tuna dunia mencapai 4,34 juta ton. Jumlah ini meningkat 4% dari tahun 2009, dengan rincian jenis cakalang (55%), madidihang (27%), mata besar (9%), albakora (8%) dan tuna sirip biru selatan (1%). Ikan tuna tersebut bersumber dari Samudera Pasifik sekitar 68%, Samudera Hindia sekitar 22% dan sisanya 10% dari Samudera Atlantik dan Laut Mediterania. Peningkatan tangkapan tersebut akibat meningkatnya kebutuhan penduduk dunia terhadap tuna dan perkembangan teknologi alat penangkapan tuna seperti purse seine dan tuna longline (FAO 2009). Sebanyak 80 negara terlibat dalam kegiatan penangkapan ikan tuna sehingga usaha perikanan tuna telah menjadi industri yang dapat menghasilkan sumber devisa bagi negara di tahun 2009 (ISSF 2009 dalam Hermawan 2011). Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadikan tuna sebagai komoditi perikanan utama. Pada tahun 2011, volume ekspor tuna mencapai 141.774 ton dengan nilai mencapai US$ 449 juta atau sekitar Rp 4,08 triliun sehingga menjadikan tuna sebagai komoditi ekspor perikanan kedua terbesar setelah udang (KKP 2012). Namun secara global, kinerja produksi tuna Indonesia masih rendah dibandingkan negara lainnya, padahal wilayah perairan Indonesia berdekatan dengan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik yang merupakan wilayah penghasil utama tuna. Samudera Hindia yang berada di wilayah selatan Indonesia, merupakan salah satu perairan yang potensial menghasilkan tuna. Jenis tuna yang tertangkap pada wilayah ini yaitu tuna mata besar (Thunnus obesus), albakora (Thunnus alalunga) dan madidihang (Thunnus albacares). Menurut laporan ISSF dalam Position Statement tahun 2012 kepada IOTC (Indian Ocean Tuna Commision), wilayah Samudera Hindia ini belum mengalami lebih tangkap (over fishing). Penangkapan yang terjadi masih berada di bawah ambang volume potensi sumber daya lestari (MSY), sehingga masih terdapat peluang untuk meningkatkan produksi hasil tangkapan tuna nasional. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan upaya eksplorasi tuna secara efektif yaitu tersedianya sumber daya tuna, adanya unit penangkapan yang memadai, dan sumber daya manusia (SDM) yang menguasai teknologi penangkapan tuna. Salah satu alat tangkap yang efektif untuk menangkap tuna yaitu rawai tuna atau tuna longline. Berdasarkan cara pengoperasiannya, rawai tuna diklasifikasikan ke dalam kelompok pancing (Subani dan Barus 1989). Alat tangkap rawai tuna merupakan gabungan antara beberapa tali dan pancing serta dilengkapi dengan pelampung dan pancing. Pengoperasian alat tangkap ini

2 bersifat pasif dan selektif, sehingga tidak merusak sumber daya hayati dan lingkungan. Metode pengoperasian alat tangkap rawai tuna juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses penangkapan tuna. Posisi kedalaman mata pancing mempengaruhi perolehan hasil tangkapan tuna. Hal ini dikarenakan beberapa jenis tuna dapat ditemukan di kedalaman lapisan renang (swimming layer) tertentu. Menurut Djatikusumo (1977) kedalaman lapisan renang ikan tuna dipengaruhi oleh suhu dan salinitas. Kedalaman mata pancing dapat ditentukan dengan cara mengubah jarak antara dua buah pelampung yang berdekatan. Selain itu, masih ada cara lain yaitu dengan cara mengubah panjang dari bagian rawai tuna seperti tali utama, tali-tali cabang, dan tali pelampung. Beberapa literatur menyebutkan bahwa posisi kedalaman mata pancing berkolerasi dengan jenis hasil tangkapan tuna. Hal ini berkaitan dengan kedalaman lapisan renang ikan tuna. Berdasarkan hal tersebut, maka pengetahuan tentang kedalaman lapisan renang tuna sangat dibutuhkan demi keberhasilan proses penangkapan tuna. Penelitian mengenai kedalaman lapisan renang ikan tuna telah pernah dilakukan sebelumnya, diantaranya oleh Santoso (1999) dan Nugraha dan Triharyuni (2009). Namun hal tersebut dirasa masih kurang dan perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai kedalaman lapisan renang (swimming layer) ikan tuna di wilayah Samudera Hindia. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini : 1. Mendapatkan informasi mengenai operasi penangkapan rawai tuna di Samudera Hindia; 2. Menganalisis komposisi jenis hasil tangkapan rawai tuna; dan 3. Menentukan kedalaman lapisan renang (swimming layer) ikan tuna di Samudera Hindia. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dilakukan penelitian ini yaitu : 1. Memberikan informasi tentang kedalaman lapisan renang ikan tuna di Samudera Hindia kepada para pelaku usaha perikanan tuna baik skala kecil maupun skala besar; 2. Dapat menjadi acuan pemerintah pusat atau daerah dalam rangka menentukan kebijakan pengembangan perikanan tuna di Samudera Hindia; dan 3. Dapat menjadi bahan referensi pembanding untuk menstimulasi penelitianpenelitian selanjutnya.

3 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan dari bulan Januari sampai bulan Juni 2013, yang diawali dengan penyusunan usulan penelitian dan penelusuran literatur mengenai objek penelitian sampai ke tahap penulisan laporan. Pengambilan data di lapang dilakukan selama 58 hari, dimulai pada tanggal 18 Februari sampai 15 April 2013 di Samudera Hindia. Posisi koordinat pengambilan data pada 12 o 15 o LS dan 116 o 122 o BT. Pelabuhan pendaratan kapal-kapal yang mengoperasikan rawai tuna adalah Pelabuhan Benoa, Bali. Waktu yang diperlukan untuk mencapi daerah penangkapan ikan (fishing ground) yaitu sekitar 4 hari dari Pelabuhan Benoa. Peta daerah penangkapan ikan (lokasi penelitian) secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 1 dan untuk rincian posisi koordinat saat setting rawai tuna dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan posisi koordinat dan jarak dari garis pantai terluar, fishing ground tersebut terletak di daerah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan di luar wilayah Indonesia (laut lepas). Hal ini dikarenakan jarak daerah penangkapan ikan disekitar atau lebih dari 200 mil yang diukur dari garis pantai. Sedangkan menurut klasifikasi wilayah perairan oleh Forum Koordinasi Pengelolaan Penangkapan SDI, jalur penangkapan pada proses penangkapan rawai tuna ini termasuk ke dalam jalur IV dan jalur V. Kewenangan pengelolaannya dilakukan secara nasional dan kapasitas kapal lebih dari 30 GT. Selain itu, wilayah Samudera Hindia masuk ke dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 573 (KKP 2011). Alat Alat yang digunakan selama penelitian ini yaitu alat tulis, laptop, meteran dan caliper (1,5 m), timbangan, GPS (Global Positioning System), kalkulator, kompas, lembar pencatatan data, dan pencatat waktu. Gambar mengenai alat yang digunakan selama penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2. Informasi kapal Penelitian ini mengikuti secara langsung operasi kapal penangkap tuna yaitu KM. Bina Sejati. Selain itu, diperoleh juga data dari kapal lainnya bernama KM. Bintang Utara. Gambar mengenai kedua kapal rawai tuna tersebut dapat dilihat pada Lampiran 3. Informasi tentang spesifikasi dan peralatan secara lengkap dari kedua kapal tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

4 Gambar 1 Daerah penangkapan ikan tuna (fishing ground)

5 Tabel 1 Peralatan dan spesifikasi KM. Bina Sejati dan KM. Bintang Utara Keterangan Kapal KM. Bina Sejati KM. Bintang Utara Nakoda Ramita Rambya Bendera Indonesia Indonesia Jumlah ABK 11 orang 12 orang Tanda selar GT 89 No. 1102/fp GT 87 No. 117 pd/n Dimensi Panjang 22 m 23 m Lebar 4,5 m 4,8 m Peralatan GPS Furona GP-32 (Jepang) Furona GP-32 (Jepang) Radio Beacon Direction Finder Taiyo TDA-157 (Jepang) Taiyo TDA-157 (Jepang) Radio Buoys 5 Unit 7 Unit Kompas Magnetik (Jepang) Magnetik (Jepang) Informasi alat tangkap Unit penangkapan rawai tuna adalah alat tangkap yang terdiri atas gabungan antara beberapa tali dan pancing serta dilengkapi dengan pelampung dan pancing. Alat tangkap ini dibuat dari rangkaian tali temali yang diberi pancing dan pelampung. Satu unit alat tangkap rawai tuna merupakan rangkaian dari beberapa sub-unit yang disebut basket. Satu basket terdiri atas tali utama (main line), tali cabang (branch line), pancing (hook), tali pelampung (buoy line), dan pelampung (float). Rangkaian unit penangkapan rawai tuna dapat dilihat secara lengkap pada Gambar 2. Alat tangkap rawai tuna yang digunakan saat penelitian memiliki sistem peletakan tali pancing yang menggunakan blong. Blong berbentuk silinder dengan diameter dan tinggi sekitar satu meter. Wadah ini sebagai tempat peletakan rangkaian rawai tuna. Satu blong terdiri dari 4 basket. Gambar mengenai komponen unit penangkapan rawai tuna disajikan pada Lampiran 4. Tali utama merupakan tempat bergantungnya tali cabang dan memiliki diameter 4 mm dengan bahan PA monofilament. Jumlah tali cabang yaitu 12 pancing dalam satu basket. Tali-tali cabang tersebut memiliki panjang yang sama dan berdiameter 2 mm. Selain itu, tali cabang ini memiliki panjang sesuai aturan seharusnya yaitu setengah kali (1/2 x) jarak antar dua tali cabang, sehingga kecil kemungkinan terjadi kekusutan. Dalam satu rangkaian tali cabang terdapat kili-kili yang berfungsi untuk mencegah tali kusut, membelit, dan putus ketika menarik ikan yang tertangkap.

6 Gambar 2 Rangkaian satu unit alat tangkap rawai tuna dalam satu basket Kedua kapal penangkapan KM. Bina Sejati dan KM. Bintang Utara menggunakan pancing biasa. Pancing yang digunakan terbuat dari bahan baja dan dilapisi oleh timah. Secara rinci spesifikasi alat tangkap rawai tuna yang digunakan dalam penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 2. Jenis umpan yang digunakan pada penelitian ini yaitu ikan lemuru (Sardinella longiceps) dan ikan layang (Decapterus sp.). Umpan ikan lemuru dan ikan layang berbentuk umpan beku (frozen bait) yang dikemas menggunakan kardus dengan berat 10 kg per unitnya. Setiap setting dibutuhkan rata-rata umpan sebanyak 145 kg.

7 Tabel 2 Spesifikasi alat tangkap rawai tuna Keterangan Kapal KM. Bina Sejati KM. Bintang Utara Hauler Jumlah 1 buah 1 buah Tali utama Bahan PA monofilament PA monofilament Diameter 4 mm 4 mm Umur teknis 2 tahun 2 tahun Tali cabang Bahan PA monofilament PA monofilament Diameter 2 mm 2 mm Umur teknis 2 tahun 2 tahun Pancing Nomor 3,6; T-3 3,6; T-3 Jenis Pancing biasa Pancing biasa Bahan Baja lapis timah Baja lapis timah Dimensi Panjang tali pelampung 35 m 31 m Panjang tali utama 59 m 61 m Panjang tali cabang 32,3 m 31 m Jumlah main line satu basket (n) 13 buah 13 buah Metode Penelitian Metode pengumpulan data Penelitian ini merupakan studi kasus terhadap kegiatan penangkapan tuna pada kapal rawai tuna yang berbasis di Pelabuhan Benoa Bali. Data yang dikumpulkan merupakan data primer dengan mengikuti secara langsung operasi penangkapan tuna dengan kapal rawai tuna KM. Bina Sejati dan data dari kapal rawai tuna lainnya yaitu KM. Bintang Utara. Kapal rawai tuna KM. Bina Sejati menjadi kapal objek penelitian. Selama proses di lapang diperoleh data sebanyak 52 kali setting. Rincian setting tersebut yaitu 27 setting di KM. Bina Sejati dan 25 setting di KM. Bintang Utara. Hasil tangkapan tuna yang diperoleh sebanyak 83 ekor terdiri atas 30 ekor tertangkap di KM. Bina Sejati dan 53 ekor di KM. Bintang Utara. Data yang diperoleh selama di lapang terdiri atas : 1. Komponen unit penangkapan rawai tuna Komponen-komponen unit penangkapan rawai tuna di antaranya jumlah basket yang digunakan, panjang tali utama, panjang tali cabang, panjang tali pelampung, dan jumlah mata pancing. Selanjutnya data ini digunakan untuk menghitung kedalaman mata pancing rawai tuna menggunakan rumus Yoshihara.

8 2. Hasil tangkapan Data hasil tangkapan menyajikan hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan berupa jenis spesies, jumlah, dan panjang yang berdasarkan strata kedalaman mata pancingnya. Data ini selanjutnya dianalisis dan disajikan menggunakan tabel dan grafik. 3. Operasi penangkapan Data mengenai operasi penangkapan yang dikumpulkan yaitu waktu operasi setting dan hauling, posisi kapal, kecepatan kapal, lama setting, dan kondisi perairan. Analisis Data 1. Komposisi hasil tangkapan Data mengenai komposisi hasil tangkap yang diperoleh pada penelitian ini dianalisis secara deskriptif. Analisis deskriptif memberikan gambaran umum tentang data yang diperoleh. Data disajikan dalam bentuk tabel yang berisi frekuensi, dan selanjutnya dihitung mean, median, modus, persentase, dan standar deviasi. 2. Kedalaman mata pancing Estimasi perhitungan kedalaman mata pancing dihitung dengan menggunakan metode Yoshihara. Pengukuran dilakukan dengan cara mengetahui komponen-komponen unit penangkapan rawai tuna yang telah disebutkan sebelumnya. Kedalaman mata pancing dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus Yoshihara (1951) dalam Nugraha dan Triharyuni (2009). D = fl + bl + 1 2 {ߪଶ ݐܥ+ ට(1 (ߪଶ ݐܥ+ ඥ(1 BK { ଶ )ଶ Keterangan : D = kedalaman mata pancing (m); fl = panjang tali pelampung (m); n = jumlah tali cabang dalam 1 basket + 1; s = arah garis singgung pada tali utama dan tali pelampung, yang besarnya Cotg -1 / Cos h (k tg s); BK = panjang tali utama (main line) dalam 1 basket (m); bl = panjang branch line (m); dan j = nomor posisi pancing. Nilai sudut ߪ diperoleh dengan terlebih dahulu mencari nilai koefisien kelengkungan. K = ௫ ௦ ௫ Keterangan : K = koefisien kelengkungan; Vk = Kecepatan kapal (km/jam); Ts = lama setting (jam); dan b = jumlah basket. Posisi tali utama diasumsikan melengkung sempurna (cetenary) dan fakor koreksi arus terhadap kedalaman mata pancing pada setiap tingkat dianggap sama yaitu 30-50 m (Suzuki 1977 dalam Suharto 1995). Posisi pancing 1 diasumsikan memiliki kedalaman yang sama dengan pancing 12, pancing 2 sama dengan pancing 11, dan seterusnya. 3. Laju penangkapan rawai tuna Laju penangkapan (hook rate) menunjukkan tingkat produktivitas suatu perairan terhadap hasil tangkapan ikan tuna yang ditentukan oleh jumlah ikan tuna

9 yang tertangkap untuk setiap 100 mata pancing rawai tuna. Penentuan nilai laju penangkapan dapat dilakukan berdasarkan data hasil tangkapan nyata dari kegiatan operasi penangkapan kapal rawai tuna di suatu wilayah perairan tertentu dan periode penangkapan tertentu. Rumus perhitungan laju penangkapan yaitu : LP = 100 ݔ Keterangan : LP = laju penangkapan; E = jumlah ikan tuna yang tertangkap; P = jumlah pancing yang digunakan; dan 100 = konstanta. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengoperasian Rawai Tuna Pengoperasian alat tangkap rawai tuna terdiri atas dua proses. Proses tersebut yaitu penurunan alat tangkap (setting) dan penarikan alat tangkap (hauling). 1. Penurunan alat tangkap (setting) Proses penurunan alat tangkap pada KM. Bina Sejati dan KM. Bintang Utara dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 06.00. Rata-rata lama setting sekitar 4-5 jam tergantung dari banyak dan sedikitnya jumlah basket yang diturunkan. Proses setting dilakukan di buritan kapal. Jumlah pancing yang diturunkan ratarata sebanyak 768-1056 pancing, dengan jumlah antar dua basket sebanyak 12 pancing. Proses setting ini biasanya dilakukan oleh empat orang ABK dengan perincian dua orang menurunkan tali cabang dan tali utama, satu orang mengaitkan sambungan keduanya, dan satu orang lagi sebagai pelempar pelampung (buoy). Tahapan proses setting secara lengkap sebagai berikut : 1) Proses setting diawali dengan pelemparan radio buoy pertama dan selanjutnya pelemparannya dilakukan setiap kelipatan 20 basket atau 240 tali cabang; 2) Tali cabang yang telah dipasang umpan pada mata pancingnya mulai diturunkan, sekaligus dengan penurunan tali utama; 3) Setiap penurunan 12 tali cabang diselingi dengan pelemparan pelampung kecil dan setiap 48 tali cabang diturunkan pelampung besar; dan 4) Setting diakhiri dengan penurunan radio buoy terakhir yang memiliki penanda bendera di tiangnya. Sebelum setting dimulai, terdapat beberapa persiapan yang dilakukan oleh Nakoda maupun ABK. Persiapan tersebut di antaranya : 1) Nakoda menentukan posisi awal peletakan radio buoy pertama, kecepatan kapal, arah heading kapal, dan jumlah basket yang diturunkan. Penentuan hal tersebut didasarkan pada arah arus, kecepatan angin, dan kondisi hasil tangkapan pada setting sebelumnya. Selain itu Nakoda juga berkoordinasi dengan kapal lain, agar alat tangkap tidak saling bertumpuk saat setting; dan 2) Anak buah kapal mempersiapkan rangkaian tali utama, tali cabang, pelampung (buoy), dan umpan. 2. Penarikan alat tangkap (hauling)

10 Penarikan alat tangkap rawai tuna (hauling) dilakukan pada pukul 17.00 hingga dini hari. Lama waktu hauling berbeda-beda untuk setiap setting. Perbedaan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya, banyaknya jumlah basket yang diturunkan, kondisi arus, kondisi tali utama, dan banyaknya hasil tangkapan yang tertangkap. Semakin banyak hasil tangkapan yang diperoleh, maka proses hauling akan membutuhkan waktu yang lebih lama. Proses hauling dimulai ketika radio buoy telah ditemukan oleh Nakoda dengan menggunakan alat bantu RDF (Radio Direction Finder) yang merupakan alat pendeteksi posisi radio buoy. Proses hauling juga menggunakan beberapa alat bantu yaitu line hauler dan side roller. Line hauler berfungsi sebagai penarik tali utama sedangkan side roller untuk menghindari adanya gesekan tali utama dengan badan kapal dan sebagai penekan tali utama agar tali tersebut tetap pada tempatnya dan. Tahapan proses hauling sebagai berikut : 1) Nakoda melakukan pencarian posisi radio buoy menggunakan alat bantu RDF dan kompas. Sambil menunggu pencarian radio buoy, seluruh ABK mempersiapkan peralatan yang digunakan saat hauling; 2) Setelah radio buoy ditemukan, selanjutnya diambil dan diletakkan pada side roller, lalu dilingkari ke line hauler. Proses panarikan pun telah berjalan. Posisi line hauler terletak di pinggir kapal sebelah kanan dekat dengan lambung kapal; 3) Tali utama yang telah melewati putaran line hauler, dimasukkan ke dalam blong dan disusun rapi; 4) Tali cabang yang akan melewati putaran line hauler diambil oleh nelayan dan dilepaskan ikatannya pada tali utama; 5) Apabila tali utama atau tali cabang kusut, maka segera diluruskan menggunakan tang atau tangan; 6) Tali cabang yang telah diambil tadi, selanjutnya digulung oleh nelayan yang bertugas menggulung tali. Sebelum digulung, jika masih ada sisa umpan di mata pancing maka harus dibuang terlebih dahulu; 7) Ikan hasil tangkapan yang tertangkap segera diletakkan diatas ke geladak kapal menggunakan ganco. Setelah berada di atas geladak, ikan hasil tangkapan yang masih hidup segera dimatikan menggunakan alat penusuk di bagian kepala. Apabila yang tertangkap bukan ikan ekonomis (discard), segera dibuang kembali ke laut; dan 8) Ikan tuna yang diperoleh segera dilakukan penanganan untuk dibersihkan bagian insang dan perutnya. Selanjutnya dilapisi plastik ke seluruh badannya dan dimasukkan ke dalam palka yang berisi air bersuhu di bawah 0 o C. Hasil Tangkapan Komposisi hasil tangkapan rawai tuna pada penelitian ini terdiri atas hasil tangkapan utama, hasil tangkapan sampingan (bycatch), dan hasil tangkapan sampingan yang dibuang (discard). Total jumlah keseluruhan hasil tangkapan sebanyak 998 ekor dari 52 setting. Berdasarkan Gambar 3 kategori discard merupakan jenis terbanyak yang tertangkap yaitu sebanyak 754 ekor (75,55%), bycatch sebanyak 161 (16,13%), sedangkan hasil tangkapan utama sebanyak 83

11 ekor (8,23%). Data rincian hasil tangkapan yang diperoleh, disajikan pada Lampiran 5. Tuna 83 Discard 754 Bycatch 161 0 200 400 600 800 Jumlah hasil tangkapan (ekor) Gambar 3 Komposisi jumlah keseluruhan hasil tangkapan rawai tuna Hasil tangkapan utama terdiri atas tuna albakora (Thunnus alalunga), tuna mata besar (Thunnus obesus), tuna madidihang (Thunnnus Albacares), dan tuna sirip biru selatan (Thunnns maccoyii). Jenis hasil tangkapan sampingan di antaranya marlin hitam (Makaira mazara), meka (Xiphias gladius), lamadang (Coryphaena hippurus), tenggiri (Acanthocybium solandri), bawal bulat (Taractichthys sp.), bawal hitam (Taractes rubescens), gindara (Lepidocybium sp.), marlin putih (Makaira indica), cakalang (Katsuwonus pelamis), layaran (Istiophorus platypterus), cede (Ruvettus prectiosus), dan marlin loreng (Tetrapterus audax). Jenis bycatch lainnya terdiri dari beberapa jenis yang tidak terlalu banyak jumlah tangkapannya. Jenis discard terdiri atas ikan pari (Dasyatis sp.), ikan naga (Gempylus serpens), ikan layur hitam (Trichiurus sp.). Gambar mengenai jenis hasil tangkapan rawai tuna dapat dilihat pada Lampiran 6. Madidihang 11 Sirip biru selatan 7 Mata besar 44 Albakora 21 0 10 20 30 40 50 Jumlah hasil tangkap tuna (ekor) Gambar 4 Komposisi jumlah hasil tangkapan utama

12 Berdasarkan Gambar 4, hasil tangkapan utama yang tertangkap sebanyak 83 ekor dari 52 kali setting, dengan rincian sebanyak 30 ekor tertangkap pada KM. Bina Sejati dan 53 ekor tertangkap pada Kapal KM. Bintang Utara. Jenis tangkapan utama yang paling banyak tertangkap yaitu jenis tuna mata besar (Thunnus obesus) sebanyak 44 ekor (53,01%), tuna albakora (Thunnus alalunga) sebanyak 21 ekor (25,30%), tuna madidihang (Thunnus albacares) sebanyak 11 ekor (13,25%), dan tuna sirip biru selatan (Thunnus maccoyii) sebanyak 7 ekor (8,43%). Hasil tangkapan utama yang diperoleh dari operasi penangkapan ini terdiri atas 4 jenis dari 6 jenis tuna yang biasanya tertangkap oleh alat tangkap rawai tuna di wilayah perairan Indonesia (Ayodhyoa 1981). Keempat jenis tuna tersebut sering tertangkap oleh nelayan rawai tuna di wilayah perairan Indonesia, sedangkan dua jenis lainnya yaitu bluefin tuna (Thunus thynnus) dan blackfin tuna (Thunus atlanticus) merupakan jenis tuna yang jarang tertangkap. Other Layaran Tenggiri Lamadang Meka Marlin hitam Cakalang Marlin putih Gindara Bawal hitam Bawal bulat 5 5 6 7 11 11 13 16 28 28 31 0 10 20 30 40 Jumlah hasil tangkap samping (ekor) Gambar 5 Komposisi jumlah hasil tangkapan sampingan (bycatch) Berdasarkan Gambar 5, diperoleh hasil tangkapan sampingan (bycatch) sebanyak 161 ekor (16,13%). Jenis terbanyak yaitu bawal bulat (Taractichthys sp.) 19,25%, bawal hitam (Taractes rubescens) 17,39%, dan gindara (Lepidocybium sp.) 17,39%. Jenis lainnya marlin putih (Makaira indica) 8,07%, cakalang (Katsuwonus pelamis) 6,83%, marlin hitam (Makaira mazara) 6,83%, meka (Xiphias gladius) 4,35%, lamadang (Corrphaena hippurus) 3,73%, tenggiri (Acanthocybium solandri) dan layaran (Istiophorus platypterus) 3,11%. Sebanyak 75,55% adalah jenis discard yang terdiri atas ikan pari (Dasyatis sp.), ikan naga (Gempylus serpens), ikan layur hitam (Trichiurus sp.).

13 Sirip biru selatan Madidihang Mata besar Albakora > 150 cm 100-150 cm 50-100 cm < 50 cm 0 5 10 15 20 Jumlah (ekor) Gambar 6 Komposisi ukuran panjang hasil tangkapan utama Gambar 6 menunjukkan jenis tuna yang tertangkap memiliki ukuran panjang yang berbeda-beda. Ukuran panjang tersebut dibagi ke dalam beberapa kategori, yaitu ukuran kurang dari 50 cm, 50-100 cm, 100-150 cm, dan lebih dari 150 cm. Tuna albakora (Thunnus alalunga) yang tertangkap pada ukuran 50-100 cm sebesar 95%. Tuna mata besar (Thunnus obesus) yang tertangkap paling banyak berukuran 100-150 cm sekitar 43%. Tuna sirip biru selatan yang tertangkap seluruhnya memiliki ukuran di atas 150 cm. Jenis madidihang paling banyak tertangkap pada ukuran sebesar 100-150 sebesar 64%. Hasil tangkapan utama yang paling banyak tertangkap yaitu tuna mata besar (Thunnus obesus) sebanyak 44 ekor (53,01%). Tuna mata besar yang tertangkap mayoritas berukuran lebih dari 100 cm sebanyak 59,09%. Hal ini menunjukkan lebih dari setengah total tangkapan tuna mata besar adalah laik tangkap. Tuna mata besar memiliki ukuran laik tangkap di atas ukuran 100 cm (fishbase 2013). Hal ini berdasarkan saat ikan tuna mata besar mengalami matang gonad untuk pertama kali. Tuna albakora merupakan jenis tuna kedua yang paling banyak tertangkap yaitu sebanyak 21 ekor (25,30%) dan sebanyak 95,24% merupakan laik tangkap. Hal ini dikarenakan tuna albakora yang tertangkap mayoritas berukuran lebih dari 85 cm. Pada ukuran tersebut, jenis tuna albakora telah mengalami matang gonad (fishbase 2013). Akhir-akhir ini ukuran tuna Albakora yang tertangkap berukuran lebih kecil dan tertangkap pada saat pasang tinggi. Tuna madidihang (Thunnus albacares) tertangkap sebanyak 11 ekor atau sebesar 13,25%. Jenis tuna madidihang memiliki ciri-ciri yang sangat khas yaitu siripnya berwarna kuning dan terdapat sirip tambahan di bagian punggung yang memanjang. Ikan ini memiliki standar panjang laik tangkap di atas ukuran 105 cm (fishbase 2013). Rata-rata tuna madidihang yang tertangkap, memiliki ukuran lebih dari 105 cm yaitu sebanyak 66,67%. Tuna sirip biru selatan (Thunnus maccoyii) merupakan jenis tuna yang paling sedikit tertangkap yaitu sebesar 8,43%. Namun seluruh hasil tangkapan

14 jenis ini memiliki ukuran lebih dari 150 cm yang berarti laik tangkap. Kategori laik tangkap tuna sirip biru selatan berukuran di atas 120 cm (fishbase 2013). Ikan ini mirip dengan tuna sirip biru (Thunnus thynnus) yang tertangkap di belahan bumi utara, hanya saja memiliki ukuran yang lebih kecil. Tabel 3 Hasil tangkapan utama berdasarkan posisi pancing Spesies Nama umum Pancing 1, 12 2, 11 3, 10 4, 9 5, 8 6, 7 Thunnus alaluga Albakora 10 5 2 1 3 - Thunnus obesus Mata besar 4 8 6 17 4 5 Thunnus albacores Madidihang 2 1 4 2 1 1 Thunnus macoyii Southern bluefin - 2 3 2 - Jumlah 16 16 15 22 8 6 Berdasarkan Tabel 3, jenis tuna albakora sebagian besar tertangkap pada pancing nomor 1 dan tidak tertangkap pada pancing nomor 6 dan 7. Tuna mata besar paling banyak tertangkap pada pancing tengah yaitu nomor 4,9 dan tertangkap dengan jumlah merata pada pancing lainnya. Tuna Madidihang tertangkap hampir merata di semua nomor pancing, namun mayoritas tertangkap pada pancing yang berada dekat dengan permukaan. Tuna sirip biru selatan hanya ditemukan pada pancing nomor 2, 3, 4, 9, 10, dan 11 dan tidak tertangkap pada pancing 1, 5, 6, 7, 8, dan 12. Tabel 4 Hasil tangkapan sampingan (bycatch) berdasarkan posisi pancing Spesies Nama lokal Pancing 1, 12 2, 11 3, 10 4, 9 5, 8 6,7 Makaira indica Marlin putih 2 2 1 1-3 Makaira mazara Marlin hitam 2 4 1 1 2 1 Coryphaena hippurus Lamadang 2-1 - 1 1 Pseudocarcharhias sp. Cucut - 3 - - 1 - Lepidocybium sp. Gindara - 2 6 7 2 4 Tetrapturus audax Marlin loren - - - 1 - - Ruvettus pretiosus Cede - - - - - 1 Istiophorus platypterus Layaran - 4 - - - - Katsuwonus pelamis Cakalang 4 4 1 1 3 - Xiphias gladius Meka - 4 - - 1 1 Taractes rubescens Bawal hitam 6 3 4 3 5 6 Taractichthys sp. Bawal bulat 1 2 7 2 10 8 Acanthocybium solandri Tenggiri 1 3 1 - - - Jumlah 18 31 22 16 25 25

15 Hasil tangkapan sampingan (bycatch) banyak tertangkap di pancing nomor 2 dan 11 yaitu sebanyak 22,46% dan didominasi oleh jenis marlin hitam, layaran, meka, dan ikan layaran. Pancing nomor 3, 5, 6, 7, 8, dan 10 jumlah hasil tangkapannya hampir sama. Jumlah bycatch paling sedikit tertangkap pada pancing nomor 4 dan 9 dengan jenis ikan gindara yang paling banyak tertangkap. Laju Penangkapan (Hook Rate) Data hasil tangkapan pada KM. Bina Sejati dan KM. Bintang Utara dapat digunakan untuk mengetahui tingkat produktivitas penangkapan atau hook rate (HR). Nilai hook rate diperoleh dengan membandingkan jumlah hasil tangkapan yang diperoleh dengan total jumlah pancing yang digunakan. Contoh perhitungan hook rate dapat dilihat pada Lampiran 7. Tabel 5 Nilai hook rate hasil tangkapan rawai tuna No Spesies Hook rate KM. Bina Sejati KM. Bintang Utara 1 Thunnus alalunga 0,056 0,054 2 Thunnus obesus 0,038 0,125 3 Thunnus maccoyii 0,010 0,021 4 Thunnus albacares 0,019 0,025 Hook rate tuna 0,124 0,225 5 Bycatch 0,272 0,367 Berdasarkan Tabel 5, nilai hook rate jenis tuna pada KM. Bina Sejati sebesar 0,124 sedangkan pada KM. Bintang Utara sebesar 0,225. Jenis albakora memiliki nilai hook rate tertinggi sebesar 0,056 pada KM. Bina Sejati, sedangkan hook rate tertinggi pada KM. Bintang Utara yaitu jenis tuna mata besar. Sementara itu, untuk nilai hook rate dari hasil tangkapan sampingan (bycatch) pada kedua kapal masing-masing sebesar 0,272 dan 0,367. Hasil rincian perhitungan nilai hook rate per setting pada KM. Bina Sejati dan KM. Bintang Utara dapat dilihat pada Lampiran 8. Nilai hook rate tuna yang diperoleh dari kedua kapal tersebut tergolong rendah, jika mempertimbangkan kualitas dan harga jual ikan tuna serta bycatch atau jenis tuna lainnya. Nilai hook rate tersebut masih di bawah nilai hook rate minimum yang dianggap baik untuk kondisi hook rate saat ini yaitu 0,8. Nilai hook rate tersebut berarti setiap 100 mata pancing rawai tuna berhasil menangkap sebanyak 0,8 tuna atau 8 ekor ikan tuna per 1000 mata pancing. Nilai hook rate tuna yang diperoleh pada penelitian ini tergolong rendah dibandingkan dengan nilai hook rate tuna hasil penelitian pada tahun sebelumnya. Hasil penelitian Nugraha dan Triharyuni (2009) pada periode Juli-Agustus 2005 di Samudera Hindia, diperoleh nilai hook rate sebesar 0,52 dengan 13 kali setting. Penelitian Santoso (1999) di Samudera Hindia, nilai hook rate yang diperoleh sebesar 1,24 dari 10 kali setting. Awal perkembangan alat tangkap rawai tuna (tahun 1970-an) nilai hook rate memiliki nilai kisaran 1,15-2,16. Penurunan nilai

16 hook rate ini diduga akibat peningkatan operasi penangkapan dari tahun ke tahun yang ditandai dengan peningkatan jumlah armada penangkapan, sehingga mengakibatkan persaingan dalam penangkapan. Estimasi Kedalaman Lapisan Renang Tuna Jumlah pancing yang digunakan pada kapal objek penelitian ini yaitu sebanyak 12 pancing untuk setiap basketnya. Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan metode Yoshihara, nilai kedalaman mata pancing yang dapat dicapai oleh mata pancing rawai tuna yaitu pancing nomor 1 pada kedalaman 64-84 m, pancing nomor 2: 110-130 m, pancing nomor 3: 151-171 m, pancing nomor 4: 185-205 m, pancing nomor 5: 212-232 m, dan pancing nomor 6 pada kedalaman 226-246 m. Kedalaman pancing nomor 7 sama dengan pancing nomor 6, pancing nomor 8 sama dengan pancing nomor 5, pancing nomor 9 sama dengan pancing nomor 4, pancing nomor 10 sama dengan pancing 3, pancing nomor 11 sama dengan pancing nomor 2, dan pancing nomor 12 sama dengan pancing nomor satu. Nilai kedalaman tersebut telah dikurangi dengan faktor koreksi sebesar 30-50 m. Contoh perhitungan kedalaman mata pancing menggunakan metode rumus Yoshihara (1951) dalam Nugraha dan Triharyuni (2009) dapat dilihat pada Lampiran 9. Selain itu, hasil perhitungan kedalaman mata pancing setiap mata pancing per setting disajikan pada Lampiran 10. Tabel 6 Hasil perhitungan kedalaman setiap nomor pancing Pancing Kedalaman (m) Batas Atas Batas Bawah 1,12 64 84 2,11 110 130 3,10 151 171 4,9 185 205 5,8 212 232 6,7 226 246 Berdasarkan penelitian Suharto (1995), kedalaman mata pancing yang dapat dicapai oleh mata pancing rawai tuna yaitu pancing 1 terdapat pada kedalaman 44,3-45,6 m, mata pancing 2 terdapat pada kedalaman 72-74,5 m, mata pancing 3 terdapat pada kedalaman 94,1-98 m, mata pancing 4 terdapat pada kedalaman 109,7-114,6 m, dan mata pancing 5 terdapat kedalaman 118-123,3 m. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan dari kedalaman mata pancing yang diperoleh, terhadap kedalaman mata pancing hasil penelitian Suharto (1995). Perbedaan ini diduga akibat perbedaan dimensi alat tangkap rawai tuna yang digunakan pada kedua penelitian tersebut. Penyebaran ikan tuna di laut ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi jenis (genetis), umur, ukuran, dan tingkah laku (behaviour). Genetis yang berbeda menyebabkan perbedaan dalam morfologi, respons fisiologis, dan daya adaptasi terhadap lingkungan. Faktor

eksternal merupakan faktor lingkungan, di antaranya adalah parameter oseanografis seperti suhu, salinitas, densitas, kedalaman lapisan thermoklin, arus, sirkulasi massa air, oksigen dan kelimpahan makanan. Kedalaman renang ikan tuna bervariasi tergantung dari jenisnya. Secara umum ikan tuna tertangkap di kedalaman 0-400 meter. Salinitas perairan yang disukai berkisar 32-35 ppt atau di perairan oseanik. Suhu perairan berkisar 17-31 o C (Uktolseja 1988). Hasil tangkapan tuna berdasarkan posisi pancing (Tabel 3) dan hasil perhitungan setiap nilai kedalaman nomor pancing (Tabel 4) yang diperoleh, dapat dijadikan sebagai bahan untuk pendugaan kedalaman lapisan renang dari setiap jenis tuna yang tertangkap. Tuna albakora tertangkap di pancing nomor 1, 2, 3, 4, dan 5, mayoritas tertangkap di pancing 1 dan 2 (Tabel 3) sebanyak 71,24%. Diduga swimming layer tuna albakora berada di kedalaman 64-232 m. Distribusi tuna albakora sangat dipengaruhi oleh suhu dan tuna jenis ini menyenangi suhu yang lebih rendah. Menurut Uda (1959) dalam Nugraha dan Triharyuni (2009), penyebaran ikan tuna albakora pada kisaran suhu 14 o -24 o C dengan kisaran suhu penangkapan 17 o -24 o C. Pada saat juvenile, tuna albakora memiliki habitat di wilayah sekitar equator dan lapisan renangnya di lapisan dekat permukaan. Setelah berukuran dewasa (>95 cm) mulai berpindah ke lapisan yang lebih dalam (Block dan Stevens 2001). Tuna mata besar hampir tertangkap merata di seluruh mata pancing. Kedalaman lapisan renang tuna jenis ini diperkirakan berada pada kedalaman 64-250 m, dengan mayoritas tertangkap di interval kedalaman 162-196 m (pancing 4 dan 5). Tuna mata besar sering tertangkap di pancing yang lebih dalam (pancing 4,5, dan 6), dikarenakan tuna mata besar lebih menyukai kedalaman perairan dengan suhu yang lebih dingin (Block dan Stevens 2001). Daerah renang tuna mata besar yang berukuran besar berada tepat di bawah lapisan termoklin, sehingga disarankan menggunakan jenis rawai tuna dalam (deep sea tuna longline) (Suzuki et al. 1977 dalam Santoso 1999). Tuna madidihang banyak tertangkap pada pancing nomor 1, 2, 3, dan 4 sebanyak 9 ekor (81,81 %). Lapisan kedalaman renang jenis ini diduga berada pada kedalaman 64-205 m. Madidihang sering ditemukan di nomor pancing yang dekat dengan permukaan (personal komunikasi dengan nelayan). Banyak dari jenis ini umumnya ditemui di atas lapisan kedalaman 100 m yang memiliki cukup kandungan oksigen. Di lapisan yang lebih dalam yang kadar oksigennya rendah, tuna madidihang jarang ditemukan. Saat juvenile, tuna madidihang dapat dijumpai bergerombol dengan jenis cakalang dan jenis tuna mata besar di lapisan permukaan. Saat berukuran dewasa, cenderung tetap bertahan pada lapisan kedalaman tersebut. Penyebaran jenis tuna madidihang berada pada kisaran suhu 18 o C 31 o C (Block dan Stevens 2001). Tuna sirip biru selatan tertangkap sebanyak 7 ekor dan seluruhnya tertangkap pada pancing 2, 3, dan 4 dan paling banyak ditemukan pada pancing nomor 2 sebesar 42,85%. Tuna yang memiliki ukuran tubuh yang besar ini memiliki daerah penyebaran dengan suhu antara 5 o C 20 o C dan dapat dijumpai pada kedalaman mencapai 1000 m. Tingkah laku adaptasi yang tinggi terhadap suhu ekstrim ini dikarenakan tuna sirip biru selatan dapat menaikkan suhu darahnya di atas suhu air menggunakan aktivitas ototnya (Block dan Stevens 17

18 2001). Dan tuna yang tertangkap pada penelitian ini diduga tuna yang sedang melakukan pemijahan. Gambar 7 merupakan ilustrasi lapisan kedalaman renang tuna dari hasil penelitian ini. Dari gambar tersebut dapat dilihat perbedaan kedalaman lapisan renang di antara keempat jenis tuna yang diperoleh. Perbedaan penyebaran ikan tuna secara vertikal ini diakibatkan oleh beberapa faktor, salah satunya faktor suhu (Uktolseja 1988). Menurut hasil penelitian Nugraha dan Triharyuni (2009), di wilayah Samudera Hindia ikan tuna mata besar tertangkap pada kisaran suhu 10,0-13,9 o C, madidihang 16,0-16,9 o C, dan albakora sebesar 20,0-20,9 o C. Selain itu perbedaan lokasi atau letak geografis juga ikut mempengaruhi habitat ikan tuna. Gambar 7 Ilustrasi kedalaman lapisan renang (swimming layer) ikan tuna Beberapa hasil penelitian sebelumnya juga menunjukkan perbedaan kedalaman lapisan renang dari setiap jenis tuna yang diperoleh di perairan Samudera Hindia. Menurut Suharto (1995), bahwa tuna mata besar tertangkap pada kedalaman 94,1-114,6 m dan madidihang pada kedalaman 72-74.5 m. Hasil penelitian Santoso (1999) menyebutkan tuna mata besar dapat ditemukan pada kedalaman 186-285 m, madidihang 149-185 m, dan albakora pada kedalaman 161-220 m. Dan hasil penelitian Nugraha dan Triharyuni (2009), bahwa tuna mata besar tertangkap pada kedalaman 300-399,9 m, madidihang 250,0-299,9 m, dan tuna albakora 150,0-199,9 m. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pengoperasian alat tangkap rawai tuna terdiri atas dua proses yaitu penurunan alat tangkap (setting) dan penarikan alat tangkap (hauling). Rata-rata

19 lama setting sekitar 4-5 jam tergantung banyak dan sedikitnya jumlah basket yang diturunkan. Penarikan alat tangkap rawai tuna (hauling) dilakukan pada pukul 17.00 hingga dini hari. Hasil tangkapan yang diperoleh pada penelitian ini yaitu terdiri atas hasil tangkapan utama (jenis tuna), hasil tangkapan sampingan (bycatch), dan hasil tangkapan sampingan yang dibuang (discard). Total jumlah keseluruhan hasil tangkapan sebanyak 998 ekor dari 52 setting. Hasil tangkapan utama yang tertangkap sebanyak 83 ekor (8,23%), hasil tangkapan sampingan (bycath) sebanyak 161 ekor (16,13%), dan hasil tangkapan sampingan yang dibuang sebanyak (discard) 754 ekor (75,55%). Hasil tangkapan utama terdiri atas tuna mata besar (Thunnus obesus) sebanyak 44 ekor (53,01%), tuna albakora (Thunnus alalunga) sebanyak 21 ekor (25,30%), madidihang (Thunnus albacares) sebanyak 11 ekor (13,25%), dan sirip biru selatan (Thunnus maccoyii) sebanyak 7 ekor (8,43%). Hasil tangkapan sampingan (bycatch) didominasi oleh bawal bulat (Taractichthys sp.) 19,25%, bawal hitam (Taractes rubescens) 17,39%, dan gindara (Lepidocybium sp.) 17,39%. Kedalaman lapisan renang ikan tuna yang diperoleh yaitu jenis albakora (Thunnus alalunga) pada kedalaman 64-232 m, jenis mata besar (Thunnus obesus) pada kedalaman 64-250 m, jenis madidihang (Thunnus albacares) pada kedalaman 64-205 m, dan tuna sirip biru selatan (Thunnus maccoyii) pada kedalaman 110-205 m. Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai kedalaman renang ikan tuna dengan waktu pengambilan data yang berbeda. Selain itu, dalam proses penangkapan ikan tuna agar pihak nelayan dibekali dengan peralatan penangkapan dan navigasi yang layak dan lengkap. DAFTAR PUSTAKA Ayodhyoa. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Bogor (ID) : Yayasan Dewi Sri. Block BA, Stevens ED. 2001. Tuna: Physiology, Ecology, And Evolution. California (US): Academic press. Collete BB, Nauen CE. 1983. An annotated and illustrated catalogue of tunas, mackerels, bonitos and related species known to date. FAO Fish. 137 p. Djatikusumo EW. 1977. Bioogi Ikan Ekonomis Penting. Jakarta (ID): Akademi Usaha Perikanan. [FAO] Food dan Agriculture Organization. 2009. Integration of Fisheries Into Coastal Area Management. FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries. USA: The United Nations. Fishbase. 2013. Thunnus sp. [Internet]. [Diunduh pada 2013 Juni 9]. Tersedia pada : www.fishbase.org Hermawan D. 2011. Desain Pengelolaan Perikanan Madidihang (Thunnus albacores) Di Perairan ZEEI Samudera Hindia. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

20 [ISSF] International Seafood Sustainability Foundation. 2012. Position Statement. Presented during the 16 th Session of the Indian Ocean Tuna Commission In Fremantle. Australia. [KKP] Kementerian Perikanan dan Kelautan. 2011. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER45/MEN/2011 Tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan Di Wilayah Pengelolaan Negara Republik Indonesia. Jakarta [KKP] Kementerian Kelautan Perikanan. 2012. Ekspor Tuna Terus Meningkat [artikel]. Jakarta. Menteri Kelautan dan Perikanan. 2011. Kep. 45/Men/2011 Tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan Di Wilayah Pengelolaan Negara Republik Indonesia. Jakarta Nugraha Budi, Setya Triharyuni. 2009. Pengaruh Suhu Kedalaman Mata Pancing Rawai Tuna (Tuna Longline) Terhadap Hasil Tangkapan Tuna Di Samudera Hindia. Balai Riset Perikanan Tangkap. Jakarta (ID): Balitbang-KP. Santoso H. 1999. Studi Tentang Hubungan Antara Suhu dan Kedalaman Mata Pancing Terhadap Hasil Tangkapan Tuna Longline di Perairan Selatan Pulaiau Jawa. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Subani W, Barus HR. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Jakarta (ID): Balai Penelitian Perikanan Laut. Suharto. 1995. Pengaruh Kedalaman Mata Pancing Rawai Tuna Terhadap Hasil Tangkapan (Percobaan Orientasi dengan KM. Madidihang Di Samudera Hindia Sebelah Barat Samudera). [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Uktolseja JCB. 1988. Pengaruh Kedalaman Pancing Rawai Tuna Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tuna. [Jurnal]. Jakarta (ID) : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

21 LAMPIRAN Lampiran 1 Posisi koordinat setting KM. Bina Sejati dan KM. Bintang Utara Setting Ke- Kapal Lattitude (s) Longitude (E) 1 Bina Sejati -12.49066667 117.1348333 2 Bina Sejati -12.48183333 117.4286667 3 Bina Sejati -12.88033333 117.0933333 4 Bina Sejati -13.0617 117.9688167 5 Bina Sejati -13.0435 118.1466667 6 Bina Sejati -13.16253333 118.0974167 7 Bina Sejati -12.8355 117.4571667 8 Bina Sejati -12.7805 117.1561833 9 Bina Sejati -12.98118333 117.1309667 10 Bina Sejati -12.98983333 117.0721667 11 Bina Sejati -12.85628333 117.2692833 12 Bina Sejati -12.67581667 117.5106833 13 Bina Sejati -12.72461667 117.4460333 14 Bina Sejati -12.772 117.3908333 15 Bina Sejati -13.14185 117.0852833 16 Bina Sejati -13.50916667 117.14335 17 Bina Sejati -13.57161667 117.1104667 18 Bina Sejati -12.82345 120.8843167 19 Bina Sejati -12.40051667 120.3428667 20 Bina Sejati -12.51391667 120.7516167 21 Bina Sejati -12.33731667 120.8676333 22 Bina Sejati -12.33271667 120.9236167 23 Bina Sejati -12.2257 120.8916167 24 Bina Sejati -12.3374 120.7078833 25 Bina Sejati -12.34755 120.6777167 26 Bina Sejati -12.81161667 119.26835 27 Bina Sejati -12.67546667 118.8324667 1 Bintang Utara -13.29771667 118.0188333 2 Bintang Utara -13.0241 117.9059167 3 Bintang Utara -13.97301667 117.2833333 4 Bintang Utara -13.90871667 117.3426333 5 Bintang Utara -13.40956667 117.2285333 6 Bintang Utara -11.72601667 117.0827167 7 Bintang Utara -12.40695 117.2058333 8 Bintang Utara -12.62175 117.0904333 9 Bintang Utara -12.6024 117.03645 10 Bintang Utara -13.00001648 116.9416833 11 Bintang Utara -13.09535 116.9750167 12 Bintang Utara -13.11815 117.1038

22 13 Bintang Utara -12.92396667 117.1068333 14 Bintang Utara -12.81203333 117.3387333 15 Bintang Utara -12.65983333 117.331 16 Bintang Utara -12.47466667 117.0808333 17 Bintang Utara -12.92358333 117.92105 18 Bintang Utara -12.93756667 118.20405 19 Bintang Utara -12.87951667 118.2969167 20 Bintang Utara -12.9778 118.2733833 21 Bintang Utara -13.00001007 118.2793167 22 Bintang Utara -12.73976667 118.8101 23 Bintang Utara -12.67343333 119.04725 24 Bintang Utara -12.74775 119.0856333 25 Bintang Utara -12.71358333 119.5712333 Lampiran 2 Alat yang digunakan selama penelitian GPS Laptop Kompas Kalkulator Penghitung waktu Lembar pencatat data

23 Lampiran 3 Kapal KM. Bina Sejati dan KM. Bintang Utara Lampiran 4 Komponen unit penangkapan rawai tuna Blong Wadah tali cabang Pelampung Tali pelampung Tali cabang Tali utama

24 Pancing Radio buoy Side roller Line hauler Lampiran 5 Data hasil tangkapan utama dan tangkapan sampingan Setting Ke- Kapal Posisi Pancing Kode Spesies Sex Kategori 1 Bina Sejati 8 WAH Bycatch 1 Bina Sejati 4 BET M Tuna 2 Bina Sejati 3 SKJ Bycatch 2 Bina Sejati 4 BET Tuna 3 Bina Sejati 1 TCR Bycatch 3 Bina Sejati 8 TCR Bycatch 5 Bina Sejati 11 BLZ Bycatch 5 Bina Sejati 2 SKJ Bycatch 5 Bina Sejati 8 SKJ Bycatch 5 Bina Sejati 10 WAH Bycatch 6 Bina Sejati 12 ALB Tuna 6 Bina Sejati 10 BLZ M Bycatch 6 Bina Sejati 12 LEC Bycatch 6 Bina Sejati 10 TCR Bycatch 6 Bina Sejati 8 LEC Bycatch 6 Bina Sejati 9 LEC Bycatch 7 Bina Sejati 4 BLZ M Bycatch 7 Bina Sejati 12 SKJ Bycatch 7 Bina Sejati 12 LEC Bycatch 7 Bina Sejati 4 BET M Tuna 8 Bina Sejati 5 TCR Bycatch 8 Bina Sejati 8 TCR Bycatch 9 Bina Sejati 11 SFA F Bycatch 10 Bina Sejati 7 OIL Bycatch 10 Bina Sejati 10 SBT F Tuna 11 Bina Sejati 10 LEC Bycatch 11 Bina Sejati 12 TCR Bycatch 11 Bina Sejati 3 TST Bycatch 11 Bina Sejati 9 BET M Tuna 11 Bina Sejati 9 BET M Tuna

12 Bina Sejati 9 BLM M Bycatch 12 Bina Sejati 12 BLM Bycatch 12 Bina Sejati 7 TCR Bycatch 12 Bina Sejati 6 BET M Tuna 13 Bina Sejati 12 ALB Tuna 13 Bina Sejati 1 ALB Tuna 13 Bina Sejati 2 CDF Bycatch 13 Bina Sejati 9 SFA F Bycatch 13 Bina Sejati 4 TST Bycatch 13 Bina Sejati 3 BET F Tuna 14 Bina Sejati 12 ALB Tuna 15 Bina Sejati 9 EIL Bycatch 15 Bina Sejati 7 BLM M Bycatch 15 Bina Sejati 6 BLM M Bycatch 15 Bina Sejati 7 CDF Bycatch 15 Bina Sejati 7 TST Bycatch 16 Bina Sejati 2 ALB Tuna 16 Bina Sejati 2 SWO Bycatch 16 Bina Sejati 1 TST Bycatch 16 Bina Sejati 12 TCR Bycatch 16 Bina Sejati 12 TCR Bycatch 16 Bina Sejati 10 SBT F Tuna 17 Bina Sejati 10 ALB Tuna 17 Bina Sejati 1 ALB Tuna 17 Bina Sejati 1 ALB Tuna 17 Bina Sejati 11 ALB Tuna 17 Bina Sejati 3 BET F Tuna 17 Bina Sejati 11 TCR Bycatch 17 Bina Sejati 6 LEC Bycatch 17 Bina Sejati 2 TCR Bycatch 18 Bina Sejati 10 TST Bycatch 18 Bina Sejati 12 BLM Bycatch 18 Bina Sejati 10 LEC Bycatch 18 Bina Sejati 10 BLM Bycatch 18 Bina Sejati 3 YFT F Tuna 19 Bina Sejati 2 CSK F Bycatch 19 Bina Sejati 3 TCR Bycatch 19 Bina Sejati 5 SWO Bycatch 19 Bina Sejati 6 LEC Bycatch 19 Bina Sejati 6 SWO Bycatch 19 Bina Sejati 4 YFT M Tuna 20 Bina Sejati 5 ALB Tuna 20 Bina Sejati 10 LEC Bycatch 20 Bina Sejati 9 LEC Bycatch 25

26 20 Bina Sejati 8 LEC Bycatch 20 Bina Sejati 4 LEC Bycatch 20 Bina Sejati 7 YFT M Tuna 21 Bina Sejati 12 BET M Tuna 21 Bina Sejati 2 MOX Bycatch 21 Bina Sejati 3 YFT M Tuna 22 Bina Sejati 4 BET Tuna 22 Bina Sejati 4 BET Tuna 22 Bina Sejati 2 BET M Tuna 22 Bina Sejati 10 TCR Bycatch 22 Bina Sejati 9 TCR Bycatch 22 Bina Sejati 4 YFT F Tuna 23 Bina Sejati 9 SWO Bycatch 23 Bina Sejati 6 LEC Bycatch 24 Bina Sejati 3 BET F Tuna 24 Bina Sejati 5 MON Bycatch 24 Bina Sejati 4 MON Bycatch 24 Bina Sejati 12 SFA Bycatch 25 Bina Sejati 12 CDF Bycatch 25 Bina Sejati 9 BLM Bycatch 25 Bina Sejati 3 BLM Bycatch 26 Bina Sejati 10 MON Bycatch 27 Bina Sejati 12 LEC Bycatch 27 Bina Sejati 1 SKJ Bycatch 1 Bintang Utara 2 ALB Tuna 1 Bintang Utara 2 BLZ Bycatch 1 Bintang Utara 2 BET Tuna 1 Bintang Utara 1 WAH Bycatch 2 Bintang Utara 5 ALB Tuna 2 Bintang Utara 4 BET Tuna 2 Bintang Utara 5 BET Tuna 3 Bintang Utara 7 BLM Bycatch 3 Bintang Utara 7 BET Tuna 3 Bintang Utara 5 TST Bycatch 3 Bintang Utara 5 TCR Bycatch 3 Bintang Utara 5 TST Bycatch 3 Bintang Utara 6 TST Bycatch 3 Bintang Utara 5 TST Bycatch 3 Bintang Utara 2 LEC Bycatch 3 Bintang Utara 11 SFA Bycatch 3 Bintang Utara 4 TST Bycatch 3 Bintang Utara 1 BLZ M Bycatch 3 Bintang Utara 11 SFA Bycatch 3 Bintang Utara 1 BET M Tuna

4 Bintang Utara 2 BLM M Bycatch 4 Bintang Utara 11 BLM F Bycatch 4 Bintang Utara 4 LEC Bycatch 4 Bintang Utara 4 LEC Bycatch 5 Bintang Utara 8 TST Bycatch 5 Bintang Utara 7 TST Bycatch 5 Bintang Utara 3 TST Bycatch 5 Bintang Utara 3 TST Bycatch 5 Bintang Utara 3 TCR Bycatch 5 Bintang Utara 5 TST Bycatch 5 Bintang Utara 8 MNF Bycatch 6 Bintang Utara 9 BET Tuna 6 Bintang Utara 11 BET Tuna 6 Bintang Utara 2 BET Tuna 6 Bintang Utara 6 BET Tuna 6 Bintang Utara 9 BET Tuna 6 Bintang Utara 9 BET Tuna 6 Bintang Utara 10 BET Tuna 6 Bintang Utara 2 BET Tuna 6 Bintang Utara 2 BET Tuna 6 Bintang Utara 4 BET Tuna 6 Bintang Utara 7 BET Tuna 6 Bintang Utara 11 BET Tuna 6 Bintang Utara 7 BET Tuna 6 Bintang Utara 8 BLZ Bycatch 6 Bintang Utara 5 TST Bycatch 6 Bintang Utara 8 YFT Tuna 7 Bintang Utara 12 BLZ Bycatch 8 Bintang Utara 4 ALB Tuna 8 Bintang Utara 10 BET Tuna 8 Bintang Utara 3 LEC Bycatch 8 Bintang Utara 5 TST Bycatch 8 Bintang Utara 2 YFT Tuna 8 Bintang Utara 1 YFT Tuna 9 Bintang Utara 5 BET F Tuna 9 Bintang Utara 3 TCR Bycatch 9 Bintang Utara 8 TST Bycatch 10 Bintang Utara 3 TST Bycatch 10 Bintang Utara 11 ALB Tuna 10 Bintang Utara 3 SBT M Tuna 10 Bintang Utara 12 BLM Bycatch 10 Bintang Utara 5 SKJ Bycatch 10 Bintang Utara 5 BLZ Bycatch 10 Bintang Utara 5 TST Bycatch 27

28 10 Bintang Utara 2 SBT M Tuna 11 Bintang Utara 12 BET M Tuna 11 Bintang Utara 1 BET M Tuna 11 Bintang Utara 7 TCR Bycatch 11 Bintang Utara 12 SKJ Bycatch 11 Bintang Utara 9 BET M Tuna 12 Bintang Utara 1 CDF Bycatch 12 Bintang Utara 3 TST Bycatch 12 Bintang Utara 9 SKJ Bycatch 12 Bintang Utara 3 ALB Tuna 13 Bintang Utara 8 BET M Tuna 13 Bintang Utara 2 BLZ Bycatch 13 Bintang Utara 6 TCR Bycatch 14 Bintang Utara 2 WAH Bycatch 14 Bintang Utara 9 BET Tuna 15 Bintang Utara 1 ALB Tuna 15 Bintang Utara 8 SBT Tuna 17 Bintang Utara 2 TST Bycatch 17 Bintang Utara 6 TCR Bycatch 17 Bintang Utara 5 LEC Bycatch 17 Bintang Utara 4 BET F Tuna 17 Bintang Utara 2 WAH Bycatch 17 Bintang Utara 3 YFT F Tuna 17 Bintang Utara 4 LEC Bycatch 17 Bintang Utara 11 LEC Bycatch 18 Bintang Utara 3 CDF Bycatch 18 Bintang Utara 8 ALB Tuna 18 Bintang Utara 5 LEC Bycatch 18 Bintang Utara 1 CDF Bycatch 18 Bintang Utara 2 BET F Tuna 18 Bintang Utara 7 LEC Bycatch 18 Bintang Utara 2 SWO Bycatch 19 Bintang Utara 12 BLM Bycatch 19 Bintang Utara 2 SWO Bycatch 19 Bintang Utara 5 TCR Bycatch 19 Bintang Utara 3 LEC Bycatch 19 Bintang Utara 3 BET Tuna 20 Bintang Utara 11 TCR Bycatch 20 Bintang Utara 8 TCR Bycatch 20 Bintang Utara 7 BLZ Bycatch 20 Bintang Utara 2 SWO Bycatch 20 Bintang Utara 9 TST Bycatch 20 Bintang Utara 2 ALB Tuna 20 Bintang Utara 4 MLS Bycatch

21 Bintang Utara 2 SBT Tuna 21 Bintang Utara 3 LEC Bycatch 21 Bintang Utara 2 SKJ Bycatch 21 Bintang Utara 3 LEC Bycatch 21 Bintang Utara 6 TST Bycatch 22 Bintang Utara 10 TST Bycatch 22 Bintang Utara 9 LEC Bycatch 22 Bintang Utara 7 TST Bycatch 22 Bintang Utara 6 TCR Bycatch 22 Bintang Utara 6 TST Bycatch 23 Bintang Utara 1 ALB Tuna 23 Bintang Utara 1 ALB Tuna 23 Bintang Utara 5 BET Tuna 23 Bintang Utara 9 BET Tuna 23 Bintang Utara 5 TST Bycatch 23 Bintang Utara 4 LEC Bycatch 23 Bintang Utara 2 BLZ Bycatch 23 Bintang Utara 6 TCR Bycatch 23 Bintang Utara 9 SBT Tuna 24 Bintang Utara 1 ALB Tuna 24 Bintang Utara 7 TST Bycatch 24 Bintang Utara 4 TCR Bycatch 24 Bintang Utara 3 TCR Bycatch 24 Bintang Utara 6 TST Bycatch 24 Bintang Utara 11 TST Bycatch 24 Bintang Utara 1 SKJ Bycatch 25 Bintang Utara 2 SKJ Bycatch 25 Bintang Utara 4 BET M Tuna 25 Bintang Utara 2 MON Bycatch 25 Bintang Utara 4 TCR Bycatch 25 Bintang Utara 3 YFT M Tuna 25 Bintang Utara 5 CSK M Bycatch 25 Bintang Utara 12 YFT M Tuna 25 Bintang Utara 2 CSK F Bycatch Keterangan : ALB = Albakora; YFT = Madidihang; BET = Tuna mata besar; SBF = Tuna sirip biru selatan; SKJ = Cakalang; WAH = Tenggiri; CDF = Lamadang; BLM = Marlin putih; BLZ = Marlin hitam; MLS = Marlin loreng; SWO = Meka; SFA = Layaran; DAV = Pari lumpus; OIL = Gindara duri; LEC = Gindara coklat; TST = Bawal bulat; TCR = Bawal hitam. 29

30 Lampiran 6 Hasil tangkapan utama, hasil tangkapan sampingan (bycatch), dan hasil tangkapan sampingan yang dibuang (discard). Madidihang Albakora Tuna sirip biru selatan Tuna mata besar moon fish Meka

31 Layaran Lamadang Gindara Bawal bulat Cakalang Marlin biru

32 Tenggiri Marlin hitam Cucut Naga Layur hitam

33 Lampiran 7 Contoh perhitungan hook rate Nilai hook rate pada setting ke-1 KM. Bina Sejati Dik : Jumlah total pancing (p) = 960 pancing Jumlah hasil tangkapan Tuna = 1 ekor Dit : HR? Jawab : % 100 ݔ HR = = ଵ = 0.1042 100 ݔ ଽ Lampiran 8 Nilai hook rate per setting pada KM. Bina Sejati dan KM. Bintang Utara Setting Total Kode Spesies Jumlah Kapal ke- Pacing ALB BET SBT YFT Other Tuna HR 1 B. Sejati 960 0 1 0 0 1 1 0.104 2 B. Sejati 960 0 1 0 0 1 1 0.104 3 B. Sejati 960 0 0 0 0 2 0 0.000 4 B. Sejati 912 0 0 0 0 0 0 0.000 5 B. Sejati 768 0 0 0 0 0 0 0.000 6 B. Sejati 768 1 0 0 0 5 1 0.130 7 B. Sejati 816 0 1 0 0 3 1 0.123 8 B. Sejati 720 0 0 0 0 2 0 0.000 9 B. Sejati 864 0 0 0 0 1 0 0.000 10 B. Sejati 624 0 0 1 0 1 1 0.160 11 B. Sejati 864 0 2 0 0 3 2 0.231 12 B. Sejati 864 0 1 0 0 3 1 0.116 13 B. Sejati 960 2 1 0 0 3 3 0.313 14 B. Sejati 960 1 0 0 0 0 1 0.104 15 B. Sejati 1008 0 0 0 0 5 0 0.000 16 B. Sejati 912 1 0 0 0 5 1 0.110 17 B. Sejati 912 4 1 0 0 3 5 0.548 18 B. Sejati 864 0 0 0 1 4 1 0.116 19 B. Sejati 960 0 0 0 1 5 1 0.104 20 B. Sejati 960 1 0 0 1 4 2 0.208 21 B. Sejati 960 1 0 0 1 0 2 0.208 22 B. Sejati 960 3 0 0 1 2 4 0.417 23 B. Sejati 912 0 0 0 0 2 0 0.000 24 B. Sejati 720 0 1 0 0 3 1 0.139 25 B. Sejati 864 0 0 0 0 3 0 0.000

34 26 B. Sejati 768 0 0 0 0 1 0 0.000 27 B. Sejati 768 0 0 0 0 2 0 0.000 Rata-rata hook rate KM. Bina Sejati 0.124 1 B. Utara 1152 1 1 0 0 2 2 0.174 2 B. Utara 960 1 2 0 0 0 3 0.313 3 B. Utara 1008 2 0 0 0 12 2 0.198 4 B. Utara 960 0 0 0 0 6 0 0.000 5 B. Utara 960 0 0 0 0 7 0 0.000 6 B. Utara 960 0 13 0 1 2 14 1.458 7 B. Utara 864 0 0 0 0 1 0 0.000 8 B. Utara 960 1 1 0 2 2 4 0.417 9 B. Utara 960 0 1 0 0 2 1 0.104 10 B. Utara 960 1 0 2 0 5 3 0.313 11 B. Utara 960 0 3 0 0 2 3 0.313 12 B. Utara 960 1 0 0 0 3 1 0.104 13 B. Utara 816 0 1 0 0 2 1 0.123 14 B. Utara 960 0 1 0 0 1 1 0.104 15 B. Utara 960 1 0 1 0 1 2 0.208 16 B. Utara 768 0 0 0 0 0 0 0.000 17 B. Utara 960 0 1 0 1 6 2 0.208 18 B. Utara 960 1 1 0 0 5 2 0.208 19 B. Utara 960 0 1 0 0 4 1 0.104 20 B. Utara 960 1 1 0 0 4 2 0.208 21 B. Utara 864 0 0 1 0 4 1 0.116 22 B. Utara 960 0 0 0 0 5 0 0.000 23 B. Utara 960 2 2 1 0 4 5 0.521 24 B. Utara 912 1 0 0 0 6 1 0.110 25 B. Utara 960 0 1 0 2 2 3 0.313 Rata-rata hook rate KM. Bintang Utara 0.225 Lampiran 9 Contoh perhitungan kedalaman mata pancing. Setting 1 KM. Bina Sejati Dik : ml = 59.5 cm bl = 32.3 cm fl = 34 cm Vk = 4.2 knot Tk = 5 jam Dit : D? Jawab : K = ௫ ௦ ௫ =.ସ௫ହ ସଶ

35 = ଷ ଽଶ ସଶ = 0.7134 K Φ 0,920 40º 1,2767 0,847 50 º 0,7038 0,769 56 º 0,4727 0,725 60 º 30 0,3300 0,703 65 º 0,2077 0,661 68 º 0,1630 0,540 72 º 0,1331 0,24 Φ cotg Φ 2 0,000 90 º 0,0000 K = 0.7134 = ߪଶ ݐܥ 0.2655 (Hasil Interpolasi) D 1 = fl + bl + 1 2 (ߪଶ ݐܥ+ ඥ(1 BK { ට(1 ଶ {ߪଶ ݐܥ+ )ଶ = 34 + 32.3 + 1 2 535.5 { ඥ(1 + 0.2655) ට(1 ଶ ଽ )ଶ + 0.2655} = 34 + 32.3 + 1 2 535.5 { 1.2655 0.8704} = 66.3 + (267.75) { (1.1249) (0.9329)} = 66.3 +51.419 = 117.72 m Jadi Interval kedalaman pancing 1 pada setting pertama sebesar 67.72 87,72 m

36 Lampiran 10 Hasil perhitungan kedalaman setiap mata pancing per setting Setiing Pancing 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 111.026 157.566 199.398 234.581 260.543 274.495 274.495 260.543 234.581 199.398 157.566 111.026 2 112.022 159.74 202.922 239.552 266.839 281.622 281.622 266.839 239.552 202.922 159.74 112.022 3 107.756 150.553 188.26 219.236 241.54 253.291 253.291 241.54 219.236 188.26 150.553 107.756 4 101.572 137.729 168.651 193.264 210.469 219.338 219.338 210.469 193.264 168.651 137.729 101.572 5 111.026 157.566 199.398 234.581 260.543 274.495 274.495 260.543 234.581 199.398 157.566 111.026 6 111.789 159.229 202.091 238.375 265.34 279.92 279.92 265.34 238.375 202.091 159.229 111.789 7 116.008 168.637 217.788 261.314 295.522 315.034 315.034 295.522 261.314 217.788 168.637 116.008 8 106.834 148.606 185.225 215.139 236.559 247.796 247.796 236.559 215.139 185.225 148.606 106.834 9 112.931 161.739 206.199 244.232 272.841 288.474 288.474 272.841 244.232 206.199 161.739 112.931 10 114.849 166.015 213.327 254.632 286.485 304.305 304.305 286.485 254.632 213.327 166.015 114.849 11 110.845 157.173 198.764 233.694 259.427 273.238 273.238 259.427 233.694 198.764 157.173 110.845 12 114.194 164.546 210.859 250.994 281.659 298.661 298.661 281.659 250.994 210.859 164.546 114.194 13 116.321 169.351 219.014 263.178 298.087 318.123 318.123 298.087 263.178 219.014 169.351 116.321 14 117.667 172.444 224.399 271.516 309.847 332.589 332.589 309.847 271.516 224.399 172.444 117.667 15 117.496 172.05 223.706 270.429 308.284 330.633 330.633 308.284 270.429 223.706 172.05 117.496 16 114.011 164.138 210.176 249.995 280.345 297.133 297.133 280.345 249.995 210.176 164.138 114.011 17 114.084 164.299 210.446 250.39 280.864 297.736 297.736 280.864 250.39 210.446 164.299 114.084 18 114.296 164.773 211.239 251.552 282.395 299.519 299.519 282.395 251.552 211.239 164.773 114.296 19 114.296 164.773 211.239 251.552 282.395 299.519 299.519 282.395 251.552 211.239 164.773 114.296 20 109.419 154.097 193.845 226.867 250.916 263.701 263.701 250.916 226.867 193.845 154.097 109.419

21 112.541 160.879 204.786 242.207 270.234 285.49 285.49 270.234 242.207 204.786 160.879 112.541 22 116.139 168.935 218.299 262.09 296.587 316.314 316.314 296.587 262.09 218.299 168.935 116.139 23 117.058 171.038 221.937 267.672 304.364 325.776 325.776 304.364 267.672 221.937 171.038 117.058 24 116.105 168.858 218.166 261.887 296.308 315.979 315.979 296.308 261.887 218.166 168.858 116.105 25 109.142 153.502 192.902 225.569 249.312 261.913 261.913 249.312 225.569 192.902 153.502 109.142 26 117.72 164.61 203.177 226.358 270.158 284.03 284.03 270.158 226.358 203.177 164.61 117.72 27 119.692 169.399 212.89 238.175 270.158 284.03 284.03 270.158 238.175 212.89 169.399 119.692 1 119.163 168.133 209.349 234.931 270.158 284.03 284.03 270.158 234.931 209.349 168.133 119.163 2 113.367 154.748 186.958 205.148 270.158 284.03 284.03 270.158 205.148 186.958 154.748 113.367 3 122.549 168.296 209.571 244.38 270.158 284.03 284.03 270.158 244.38 209.571 168.296 122.549 4 116.464 163.73 206.693 243.344 270.823 285.795 285.795 270.823 243.344 206.693 163.73 116.464 5 117.38 165.746 210.015 248.127 277.012 292.906 292.906 277.012 248.127 210.015 165.746 117.38 6 122.549 168.296 209.571 244.38 270.158 284.03 284.03 270.158 244.38 209.571 168.296 122.549 7 116.727 160.302 199.067 231.272 254.725 267.192 267.192 254.725 231.272 199.067 160.302 116.727 8 120.431 168.374 212.139 249.681 278.013 293.541 293.541 278.013 249.681 212.139 168.374 120.431 9 117.086 161.043 200.246 232.892 256.742 269.443 269.443 256.742 232.892 200.246 161.043 117.086 10 117.086 161.043 200.246 232.892 256.742 269.443 269.443 256.742 232.892 200.246 161.043 117.086 11 114.601 155.779 191.955 221.577 242.83 254.012 254.012 242.83 221.577 191.955 155.779 114.601 12 112.505 151.407 185.21 212.55 231.96 242.075 242.075 231.96 212.55 185.21 151.407 112.505 13 109.171 144.268 174.39 198.362 215.109 223.745 223.745 215.109 198.362 174.39 144.268 109.171 14 108.662 143.481 173.215 196.839 213.328 221.819 221.819 213.328 196.839 173.215 143.481 108.662 15 116.631 160.112 198.807 230.939 254.33 266.761 266.761 254.33 230.939 198.807 160.112 116.631 16 111.105 148.469 180.721 206.627 224.876 251.102 251.102 224.876 206.627 180.721 148.469 111.105 17 119.86 167.11 210.558 246.686 274.147 289.14 289.14 274.147 246.686 210.558 167.11 119.86 18 112.581 153.178 188.741 217.768 238.21 249.078 249.078 238.21 217.768 188.741 153.178 112.581 37

38 19 115.383 157.939 196.041 209.185 228.361 238.386 238.386 228.361 209.185 196.041 157.939 115.383 20 111.273 149.189 182.281 209.185 228.361 238.386 238.386 228.361 209.185 182.281 149.189 111.273 21 111.863 150.424 184.191 211.743 231.448 241.78 241.78 231.448 211.743 184.191 150.424 111.863 22 115.205 157.586 195.468 227.135 250.348 262.754 262.754 250.348 227.135 195.468 157.586 115.205 23 115.383 157.95 196.052 227.948 251.365 263.895 263.895 251.365 227.948 196.052 157.95 115.383 24 112.763 152.321 187.144 215.723 236.281 247.104 247.104 236.281 215.723 187.144 152.321 112.763 25 112.763 152.321 187.144 215.723 236.281 247.104 247.104 236.281 215.723 187.144 152.321 112.763 Lampiran 11 Dokumentasi selama penelitian di KM. Bina Sejati