Tabel 5 Komposisi poliblen PGA dengan PLA (b) Komposisi PGA PLA A1 A2 A3 A4 65 80 95 35 05 Pembuatan PCL/PGA/PLA Metode blending antara PCL, PGA, dan PLA didasarkan pada metode Broz et al. (03) yang disiapkan dengan komposisi berbeda, susunan komposisinya dapat dilihat pada Tabel 6. Pembuatan poliblen dilakukan dengan mencampurkan ketiga polimer dan dilarutkan dalam aseton pada suhu ruang. Campuran diaduk dengan ultrasonic bath sampai homogen, kurang lebih selama 8 jam. Campuran homogen dikeringkan dengan cara menguapkan pelarut pada suhu ruang. Tabel 6 Komposisi poliblen PCL/PGA/PLA Komposisi PCL PGA PLA A1 45 5 A2 40 10 A3 35 15 A4 30 Pembuatan film tipis yang telah dihasilkan didiamkan sampai terbebas dari gelembung-gelembung udara dan dicetak dengan menggunakan teflon. Film hasil cetakan diuapkan pelarutnya pada suhu ruang kira-kira selama 30 menit untuk mendapatkan film yang kering. Film yang telah tercetak dilepaskan dari permukaan teflon dan siap digunakan untuk pencirian lebih lanjut. Bagan alir penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1. Pencirian Uji kristalinitas dengan Difraksi Sinar X (XRD). Lembaran film dipotong dengan ukuran 2x2 cm, kemudian dipasang pada tempat sampel dan dirotasikan agar benarbenar terorientasi secara acak. Pengukuran ini menggunakan alat difraksi sinar X tipe Shimadzu XD-610 dengan sudut putaran (θ) 60 sampai 5 dan dengan laju putaran 2 /menit. Hasil uji ini berupa difraktogram yang menunjukkan hubungan antara intensitas dan 2θ. Analisis gugus fungsi dengan Spektroskopi Inframerah Transformasi Fourier (FTIR). Sampel yang berupa film, ditempatkan ke dalam sel holder, kemudian dicari spektrum yang sesuai. Hasilnya didapat berupa spektrum hubungan antara bilangan gelombang dengan persen transmittan. Spektrum FTIR dari poliblen direkam menggunakan spektrofotometer FTIR Shimadzu 8400 pada suhu ruang. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil PGA/PLA Pembuatan poliblen antara PGA dengan PLA dengan menggunakan pelarut diklorometana dilakukan dengan komposisi yang berbeda. dari dua polimer ini tidak dapat menghasilkan film tipis. Hal ini dikarenakan sifat lengket PLA menyebabkan film sulit dilepaskan dari cetakan (teflon). Selain itu, film yang dihasilkan sifatnya tetap lembek meskipun telah dikeringkan selama berhari-hari, sehingga film tidak dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut. Peneliti juga telah mencoba mengubah komposisi poliblen dari yang semula PLA lebih banyak daripada PGA menjadi PGA yang lebih banyak daripada PLA. Namun hasilnya masih tetap sama, yaitu film masih lengket dan lembek sehingga tidak dapat dilepas dari cetakan dan film tidak terbentuk. Untuk mengatasi masalah ini maka peneliti mencoba membuat komposisi baru yaitu dengan menambahkan polikaprolakton (PCL) pada komponen penyusun poliblen. PCL ini memiliki sifat kristalin sehingga dapat membantu pembentukkan film tipis. Hasil PCL/PGA/PLA Pembuatan poliblen antara PCL, PGA, dan PLA dengan menggunakan pelarut aseton dilakukan dengan komposisi yang berbeda. Menurut Rabek (1983) kompatibilitas suatu poliblen dapat dilihat salah satunya berdasarkan penampilan produk campuran. Jika film yang dihasilkan cenderung membentuk satu fase (homogen) berarti antara komponen-komponen penyusunnya telah bercampur merata sehingga tidak terdapat perbedaan antara komponen yang satu dengan yang lainnya, maka poliblen tersebut dapat dikatakan bersifat kompatibel. Berdasarkan ketiga polimer yang digunakan, yang paling cepat larut dalam aseton adalah PLA lalu PCL dan terakhir PGA. Selama proses penyimpanan film yang diperoleh sebelum dianalisis, film makin lama makin rapuh. Hal ini terjadi karena poliblen
antara PGA dan PLA sebenarnya sangat rapuh sehingga film yang didapat mudah patah dan tidak dapat dilepaskan dari cetakan. Oleh karena itulah PCL ditambahkan sebagai komponen penyusun utama dari poliblen dengan harapan bahwa PCL ini akan membantu terbentuknya film tipis. Dengan adanya PCL pada penyusun utama poliblen didapatkan film yang cukup kuat namun dalam waktu penyimpanan terjadi penurunan kekuatan film (rapuh). Film-film yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 4. (a) (b) (c) (d) Gambar 5 Film tipis poliblend PCL/PGA/PLA (a) (%:45%:5%) (b) (%:40%:10%) (c) (%:35%:15%) (d) %:30%:%) Dari keempat komposisi poliblen yang dibuat, secara visual film yang paling bagus, penampilan film homogen adalah untuk komposisi A1, yaitu PCL %, PGA 45%, dan PLA 5%. Dilihat dari tingkat kerapuhannya pun film ini mempunyai struktur yang paling kuat dibandingkan dengan yang lainnya. Hal ini terjadi karena PCL dan PGA menyumbangkan sifat kristalinitasnya yang tinggi sehingga film yang didapat pun tidak rapuh. Jadi dalam poliblen tersebut sifat kristalinitas PCL dan PGA lebih dominan dibandingkan dengan kristalinitas PLA. Lain halnya untuk komposisi A2, yaitu PCL %, PGA 30%, dan PLA %. Film yang didapat sangat rapuh. Hal ini terjadi karena komposisi PLA yang banyak, PLA disini menyumbangkan sifat amorfnya sehingga film yang didapat tidak bersifat kristalin dan cenderung rapuh. Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa tingkat kerapuhan meningkat dengan semakin banyaknya kandungan PLA dan semakin berkurangnya PGA dalam poliblen tersebut. Pencirian Polimer Uji kristalinitas dengan Difraksi Sinar X (XRD). Analisis dengan difraksi sinar X (XRD) dilakukan untuk mengetahui derajat kristalinitas suatu bahan, dengan cara menghitung perbandingan luas difraksi kristalin terhadap luas total difraksi (kristalin dan amorf) dari difraktogram yang diperoleh. Difraktogram hasil XRD poliblen PCL/PGA/PLA (%:45%:5%) dan PCL/PGA/PLA (%:30%:%) ditampilkan pada Gambar 5 dan 6. Dari Gambar terlihat bahwa difraktogram yang dihasilkan merupakan hubungan antara intensitas dan 2θ. Difraktogram menunjukkan selain terdapat puncak yang tajam juga terdapat puncak yang lebar. Hal ini menandakan bahwa poliblen yang dihasilkan bersifat semikristalin. Penambahan PLA yang bersifat amorf dapat menurunkan beberapa puncak difraktogram. Hal ini terlihat pada difraktogram yang dihasilkan oleh kedua komposisi tersebut. Difraktogram untuk komposisi PLA 5% memiliki puncak yang tajam yang lebih banyak dibandingkan dengan poliblen yang komposisi PLAnya %. Sehingga dapat disimpulkan bahwa poliblen PCL/PGA/PLA (%:45%:5%) lebih bersifat kristalin dibandingkan dengan poliblen PCL/PGA/PLA (%:30%:%). Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan semakin banyaknya PLA maka pola difraktogram yang dihasilkan akan lebih bersifat amorf, ini ditandai dengan penurunan puncak difraktogram. Difraktogram PCL, PGA, dan PLA dapat dilihat pada Lampiran 3.
400 3 300 2 0 1 100 0 22.1 24.3 26.4 28.5 30.6 32.8 34.9 37 39.1 41.3 43.4 45.5 47.6 49.8 51.9 54 56.1 58.3 60.4 62.5 64.6 66.8 68.9 71 73.1 75.3 77.4 79.5 Intensitas 2 Theta Gambar 5 Pola difraktogram poliblen PCL/PGA/PLA (%:45%:5%) 0 180 160 140 Intensitas 1 100 80 60 40 0 22.2 24.5 26.7 28.9 31.1 33.4 35.6 37.8 40 42.3 44.5 46.7 48.9 51.2 53.4 55.6 57.8 60.1 62.3 64.5 66.7 69 71.2 73.4 75.6 77.9 2 Theta Gambar 6 Pola difraktogram poliblen PCL/PGA/PLA (%:30%:%) Berdasarkan hasil pengukuran derajat kristalinitas (Lampiran 2), diperoleh nilai derajat kristalinitas rata-rata untuk film tipis poliblen PCL/PGA/PLA (%:45%:5%), yaitu sebesar 89,44%, sedangkan film tipis poliblen PCL/PGA/PLA (%:30%:%) memiliki derajat kristalinitas sebesar 73,28%. Dari hasil terlihat bahwa terjadi penurunan derajat kristalinitas dengan semakin banyaknya komposisi PLA dan semakin sedikitnya komposisi PGA dalam poliblen. Hal ini menunjukkan bahwa PLA menyumbangkan sifat amorfnya sehingga poliblen yang didapatkan kristalinitasnya berkurang. Hasil perhitungan derajat kristalinitas untuk poliblen PCL/PGA/PLA (%:45%:5%) dan PCL/PGA/PLA (%:30%:%) dapat dilihat pada Tabel 7 Tabel 7 Hasil uji kristalinitas dengan XRD Rerata luas area (cm 2 ) Derajat kristalinitas PCL/PGA/PLA Kristalin Amorf :45:5 2970,8092 349,5353 89,44 :30: 1182,7227 430,2849 73,28 Analisis Gugus Fungsi dengan FTIR. Analisis poliblen dengan FTIR bertujuan mengetahui dan membandingkan gugus fungsi komponen poliblen dengan gugus fungsi poliblen yang dihasilkan. Hasil analisis FTIR dapat juga digunakan untuk mengetahui interaksi yang terjadi pada
proses blending secara fisika dan kimia. Proses blending secara fisika ditunjukkan dari analisis FTIR yang menghasilkan gabungan gugus fungsi dari komponen-komponen penyusunnya. Sedangkan proses blending secara kimia ditandai dengan munculnya gugus fungsi yang baru (Hijrianti 05). Gambar 7 dan 8 menunjukkan spektrum FTIR dari poliblen PCL/PGA/PLA (%:45%:5%) dan PCL/PGA/PLA (%:30%:%). Pada kedua poliblen, baik poliblen PCL/PGA/PLA (%:30%:5%) (Gambar 7) dan poliblen PCL/PGA/PLA (%:45%:%) (Gambar 8), pita-pita serapannya menunjukkan ulur C-H, ulur C=O, ulur C-O ester, dan ulur OH karboksil. Karena terdapat gugus karbonil (ulur C=O) dan juga ulur C-O maka diduga gugus karbonilnya adalah karbonil ester (Sastrohamidjojo 1992). Ulur O-H tersebut merupakan hidroksil karboksilat (Sastrohamidjojo 1992). Dari Gambar 7 dan 8 juga terdapat perbedaan dari spektrum dihasilkan, yaitu terjadi penurunan transmitan spektrum. Untuk spektrum poliblen PCL/PGA/PLA (%:30%:%) transmitan serapannya lebih kecil daripada spektrum poliblen PCL/PGA/PLA (%:45%:5%). Hal ini dikarenakan karena adanya perbedaan kandungan PLA dari kedua poliblen. Untuk kandungan PLA yang lebih banyak menyebabkan transmitan serapan spektrum menjadi lebih kecil. Hal ini berarti bahwa terjadi peningkatan konsentrasi dari PLA sehingga transmitannya menurun. Hal ini juga sesuai dengan teori bahwa semakin kecil transmitan serapan dari spektrum maka konsentrasinya akan semakin besar karena transmitan berbanding terbalik dengan konsentrasi. Selain itu, perbedaan spektrum juga terlihat pada pita serapan uluran C-H. Spektrum yang dihasilkan pada poliblen PCL/PGA/PLA (%:30%:%) ternyata lebih tajam daripada spektrum poliblen PCL/PGA/PLA (%:45%:5%). Hal ini membuktikan bahwa dengan bertambahnya komposisi PLA maka akan mempertajam pita serapan uluran. Hal ini terjadi karena PLA memiliki gugus metil (CH 3 ), maka pita serapan uluran C-H poliblen PCL/PGA/PLA (%:30%:%) lebih tajam dibandingkan dengan poliblen PCL/PGA/PLA (%:45%:5%) karena poliblen PCL/PGA/PLA (%:30%:%) mengandung PLA yang lebih banyak yaitu sebanyak %. Spektrum FTIR untuk PCL, PGA, dan PLA dapat dilihat pada Lampiran 4. Pada daerah sidik jari, spektrum-spektrum yang muncul merupakan spektrum dari komponen penyusun poliblen, yaitu PCL dan PGA. Dalam daerah sidik jari ini, spektrum PLA tidak muncul karena komposisi dari PLA yang sedikit sehingga tidak terbaca pada saat pengukuran. Yang terbaca oleh alat hanya komposisi-komposisi yang dominan, yaitu PCL dan PGA. -OH C-H C=O C-O Gambar 7 Spektrum FTIR poliblen PCL/PGA/PLA (%:45%:5%).
-OH C-H C=O C-O Gambar 8 Spektrum FTIR poliblen PCL/PGA/PLA (%:30%:%). Tabel 8 Hasil analisis gugus fungsi dengan FTIR Sampel Bilangan gelombang (cm -1 ) Gugus fungsi Pustaka (Fessenden 1982) (cm -1 ) PCL 2866-2949.2 uluran C-H 2800-3000 1728.1 C=O karbonil 1640-18 PGA 2993.3 uluran C-H 2800-3000 1747.4 C=O karbonil 1640-18 1245.9 C-O ester 1110-1300 3425.3 O-H karboksil 3330-30 PLA 3490 O-H karboksil 3330-30 1751.2 C=O karbonil 1640-18 1269 C-O ester 1110-1300 2943.2-2993.3 Uluran C-H 2840-3000 PCL/PGA/PLA (%:45%:5%) PCL/PGA/PLA (%:30%:%) 3440.8 O-H karboksil 3330-30 2954.7 uluran C-H 2800-3000 1743.5 C=O karbonil 1640-18 3440.8 O-H karboksil 3330-30 29.9 uluran C-H 2800-3000 1728.1 C=O karbonil 1640-18 Berdasarkan Tabel 8 terlihat bahwa gugus fungsi poliblen merupakan gabungan dari gugus fungsi spesifik yang terdapat pada komponen-komponen penyusunnya. Gugus fungsi tersebut muncul kembali pada spektrum poliblen dengan intensitas yang hampir sama dan tidak ditemukannya gugus fungsi yang baru. Hal ini membuktikan bahwa poliblen yang dihasilkan merupakan proses blending secara fisika. Polimer yang dapat terdegradasi umumnya memiliki salah satu gugus fungsi antara lain hidroksida (OH), karbonil (CO), dan ester (COO-) (Stuart 03). Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa komponen poliblen dan poliblen yang dihasilkan memiliki gugus fungsi tersebut sehingga dapat disimpulkan bahwa poliblen tersebut diharapkan mudah untuk terdegradasi.