BAB 2. TARGET LUARAN BAB 3. METODE PELAKSANAAN

dokumen-dokumen yang mirip
LAPORAN AKHIR PENGABDIAN MASYARAKAT DANA DPP/SPP

Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali di Sentra Pembibitan Desa Sobangan, Mengwi, Badung

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar

PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH PARASITOLOGI

Panduan Praktikum Manajemen Kesehatan Ternak

I. PENDAHULUAN. Pendapatan nasional per kapita tahun 2012 yakni ,07 sedangkan tahun 2013

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 2 triliun/tahun. (Anonim. 2014). sebagai berikut : adanya parasite, adanya sumber parasit untuk

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, karena hanya. Kabupaten Blora sedangkan pemeriksaan laboratorium

PEMERIKSAAN FESES PADA MANUSIA

PENDAHULUAN. Latar Belakang. baik, diantaranya dalam hal pemeliharaan. Masalah kesehatan kurang

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pemeriksaan cacing parasit

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga ABSTRAK

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Desa Kertosari Kecamatan Tanjungsari pada bulan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada Desember 2014 Januari 2015 di Kecamatan

BAB I PENDAHULUAN. terkait meningkatnya konsumsi masyarakat akan daging babi. Khusus di Bali, ternak

BAB III METODE PENELITIAN. variabel pada satu saat tertentu (Sastroasmoro, 2011). Cara pengumpulan

Gambar 12 Kondisi tinja unta punuk satu memperlihatkan bentuk dan dan tekstur yang normal atau tidak diare.

BAB I PENDAHULUAN. Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pemeriksaan cacing parasit

SATUAN ACARA PERKULIHAN (SAP)

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi adalah ternak ruminansia yang memiliki nilai ekonomi tinggi dalam

METODA UJI APUNG SEBAGAI TEKNIK PEMERIKSAAN TELUR CACING NEMATODA DALAM TINJA HEWAN RUMINANSIA KECIL

INFESTASI PARASIT CACING NEOASCARIS VITULORUM PADA TERNAK SAPI PESISIR DI KECAMATAN LUBUK KILANGAN KOTA PADANG SKRIPSI. Oleh :

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat observasional analitik dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

Etiologi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis panelitian yang digunakan adalah analitik, karena akan membahas

I. PENDAHULUAN. yang dapat menyebabkan kematian, yang disebut sebagai salmonellosis. Habitat

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

DASAR KOMPETENSI KEJURUAN DAN KOMPETENSI KEJURUAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. laktasi atau mendekati kering kandang (Ramelan, 2001). Produksi susu sapi perah

I. PENDAHULUAN. Kejadian kecacingan STH di Indonesia masih relatif tinggi pada tahun 2006,

RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER (RPS) Program Studi Kedokteran Hewan

I. PENDAHULUAN. dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi

bio.unsoed.ac.id la l b T'b ', */'i I. PENDAHULUAN zt=r- (ttrt u1 II. JENIS PENYAKIT CACINGA}I '"/ *

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan

BAB III METODE PENELITIAN. berupa kecepatan pemusingan berbeda yang diberikan pada sampel dalam. pemeriksaan metode pengendapan dengan sentrifugasi.

IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian bersifat analitik karena akan membandingkan jumlah

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

Konsumsi air per hari ad lib (liter/1000 ekor)

Prevalensi dan Intensitas Telur Cacing Parasit pada Feses Sapi (Bos Sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimantan Barat

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah :

Dasar-dasar Diagnosa Penyakit

Prevalensi Infeksi Cacing Nematoda Saluran Pencernaan pada Sapi Bali di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung Denpasar

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

BAB I PENDAHULUAN. media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim

BAB III METODE PENELITIAN. cross sectional (potong lintang), dimana pengukuran variabel hanya dilakukan

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. 1. Sampel Feses Sapi Potong segar dan sludge (100 gram/sampel) 2. Batu bara jenis Subbitumminus dan Bituminus

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup cacing parasitik yang ditunjang oleh pola hidup kesehatan

1. Penyakit Tetelo (ND=Newcastle Disease) Penyebab : Virus dari golongan paramyxoviru.

tudi Epidemiologi Penyakit Tuberculosis pada Populasi Sapi di Peternakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah cacing yang berbentuk panjang, silindris (gilig) tidak

bio.unsoed.ac.id I. PENDAHULUAN 2. JENIS PENYAKIT CACINGAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi adalah salah satu ruminansia yang paling banyak di ternakkan di

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

EVALUATION OF SLAUGHTERED FRIESIAN HOLSTEIN CROSSBREED DIARY COWS IN PRODUCTIVE AGE AT KARANGPLOSO SUB DISTRICT MALANG

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP) PENYAKIT CACINGAN

TINGKAT INFESTASI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA SAPI BALI DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING

BAB I PENDAHULUAN. menyerang hewan jenis unggas. Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang

BAB I PENDAHULUAN. makanan dan minuman yang cukup, kehidupan manusia akan terganggu sehingga

ISOLASI, PEMURNIAN DAN STERILISASI Oosista Eimeria tenella DENGAN Sodium hypochlorite 13%

BAB III METODE PENELITIAN. hubungan antara keberadaan Soil Transmitted Helminths pada tanah halaman. Karangawen, Kabupaten Demak. Sampel diperiksa di

GAMBARAN KLINIS SAPI BALI YANG TERINFEKSI. CACING Fasciola spp SKRIPSI

DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

BAB III METODE PENELITIAN

Prevalensi Parasit Gastrointestinal Ternak Sapi Berdasarkan Pola Pemeliharaan Di Kecamatan Indrapuri Kabupaten Aceh Besar

UPAYA MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS SAPI BALI MELALUI PENGENDALIAN PENYAKIT PARASIT DI SEKITAR SENTRA PEMBIBITAN SAPI BALI DI DESA SOBANGAN ABSTRAK

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifat deskriptif dengan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 1992 TENTANG OBAT HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Efektifitas Dosis Tunggal Berulang Mebendazol500 mg Terhadap Trikuriasis pada Anak-Anak Sekolah Dasar Cigadung dan Cicadas, Bandung Timur

BAB I PENDAHULUAN. Ambing merupakan alat penghasil susu pada sapi yang dilengkapi suatu

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan menggunakan. hygiene dan status gizi (Notoatmodjo, 2010).

bio.unsoed.ac.id I. PENDAHULUAN 2. JEMS PENYAKIT CACINGAN

Kisi-Kisi Uji Kompetensi Awal Program Studi Keahlian Agribisnis Produksi Ternak

Identifikasi Ookista Isospora Spp. pada Feses Kucing di Denpasar

DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN KABUPATEN GROBOGAN MEMILIH DAGING ASUH ( AMAN, SEHAT, UTUH, HALAL )

PENUNTUN PRAKTIKUM PARASITOLOGI

PARASIT GASTROINTESTINAL PADA SAPI DI DAERAH ALIRAN SUNGAI PROGO YOGYAKARTA. The Gastrointestinal Parasites Cows on Progo Watershed in Yogyakarta

MATERI DAN METODE. Prosedur

TINJAUAN PUSTAKA. A. Sapi perah (Peranakan Friesian Holstein)

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional (potong lintang) untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Saanen adalah salah satu ternak dwiguna yang cukup potensial

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru

BAB III. METODE PENELITIAN. Desa Pesanggrahan, Kota Batu.Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan

MATERI DAN METODE. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September-Oktober 2013.

KERANGKA ACUAN PROGRAM PEMBERANTASAN PENYAKIT DIARE

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai

Transkripsi:

BAB 1. PENDAHULUAN Kebutuhan protein hewani asal ternak yang semakin terasa untuk negara berkembang, khususnya Indonesia, harus terus ditangani karena kebutuhan itu semakin bertambah disebabkan oleh pertambahan penduduk yang pesat dan daya beli rakyat semakin tinggi. Hal ini membuat peternak dituntut untuk semakin meningkatkan produktivitas ternaknya untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Banyak kendala yang dihadapi para peternak di dalam mengembangkan usaha peternakannya. Umumnya faktor-faktor kendala yang dihadapi berkisar pada problem pakan, tatalaksana / manajemen pemeliharaan, dan masalah penyakit. Infestasi parasit pada hewan ternak merupakan permasalahan yang sering terjadi dan merugikan peternak karena dapat menimbulkan penurunan produksi hewan ternak. Dipandang dari segi ekonomi, kerugian yang ditimbulkan oleh penyakit parasit cukup besar, yaitu dapat menurunkan berat badan ternak, produksi susu, kualitas daging/ kulit/ jeroan, produktivitas ternak sebagai tenaga kerja di sawah serta bahaya penularan terhadap manusia/ zoonosis. Koperasi Unit Desa (KUD) Karangploso merupakan koperasi penghasil susu terbesar kedua di Kabupaten Malang setelah Koperasi Pujon. Pada bulan Desember 2015, dilaporkan terdapat sejumlah sapi perah yang mengalami diare di wilayah KUD Karangploso. Diare terus menerus yang dialami oleh sapi perah tersebut dapat menimbulkan penurunan produksi susu. Beberapa anak sapi (pedet) yang berumur kurang dari 3 minggu di wilayah KUD Karangploso juga dilaporkan mengalami gejala diare yang terus menerus. Pemeriksaan feses sapi perah yang menderita diare kemudian dilakukan untuk mengetahui penyebab terjadinya diare, dan didapatkan hasil adanya beberapa telur Strongyloides pada pemeriksaan feses tersebut. Strongyloidosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit cacing Strongyloides. Cacing ini termasuk dalam kelas nematoda dan merupakan jenis cacing saluran pencernaan. Anak sapi perah yang berumur kurang dari 6 bulan lebih rentan terserang Strongyloides. gejala klinis utama dari infestasi Strongyloides adalah gangguan pencernaan seperti diare, yang kemudiaan diikuti oleh penurunan nafsu makan dan penurunan produktivitas sapi. Selain itu, organ paru-paru akan mengalami kerusakan akibat migrasi larva Strongyloides., yang kemudian akan memicu timbulnya infeksi sekunder oleh bakteri. Gejala klinis yang timbul dari 1

migrasi larva Strongyloides. adalah gejala pernapasan berupa batuk dan kesulitan bernapas (Junquera, 2014). Menurut Junquera (2014) penanggulangan yang efektif terhadap penyakit yang disebabkan oleh Strongyloides adalah dengan memberikan terapi pada ternak terinfeksi dan melakukan upaya pencegahan serta kontrol penyakit. Terapi Strongyloidosis adalah dengan pemberian anthelmintika golongan Benzimidazole kepada ternak yang terinfeksi Strongyloides. dan pemberian anthelmintik kepada ternak yang berada dalam lingkungan sekitarnya sebagai upaya pencegahan. Anthelmintika golongan benzimidazole merupakan anthelmintik yang efektif untuk membasmi cacing dewasa maupun stadium larva Strongyloides. Upaya pencegahan dan kontrol lainnya dilakukan dengan melindungi ternak produktif terutama sapi perah laktasi dan sapi yang sedang bunting agar tidak terinfeksi Strongyloides, sehingga anak sapi terhindar dari penularan Strongyloides secara traansmammae. Peralatan, pakan, dan kondisi kandang yang kering juga merupakan upaya pencegahan yang efektif, karena larva Strongyloides memerlukan kelembapan untuk bertahan di lingkungan sebelum menembus kulit sapi untuk menginfeksi (infeksi perkutan). BAB 2. TARGET LUARAN Target luaran dari kegiatan ini adalah sapi perah di wilayah KUD KarangPloso yang bebas dari infestasi Strongyloides. Hal ini dapat diketahui dengan pemeriksaan sampel feses dengan hasil negatif telur Strongyloides. BAB 3. METODE PELAKSANAAN Parasit yang berada dalam tubuh hewan terkadang tidak diikuti dengan gejala klinis (subklinis), tetapi justru hal inilah yang membuat diagnosa penyakit parasit menjadi lebih kompleks. Pada umumnya, hewan yang demikian dalam jangka panjang akan kurang mampu bertumbuh baik, hingga menyebabkan kerugian ekonomi peternak (Subronto, 2004). Selain itu, kerugian ekonomi juga dapat terjadi akibat kerusakan organ karena migrasi stadium larva 2

maupun daerah predileksi dari parasit tersebut. Menurunnya kualitas karkas dan produksi susu, penurunan fertilitas, dan prediosisi penyakit metabolik, yang disebabkan oleh menurunnya nafsu makan, perubahan distribusi air, elektrolit dan protein darah merupakan gangguan yang dialami oleh tubuh ternak yang menderita Strongyloidosis. Diagnosa penyakit helminthiasis atau infestasi parasit dapat dilakukan dengan melihat gejala klinis yang tampak pada hewan seperti diare, rambut kusam dan berdiri, serta penurunan nafsu makan (anoreksia) (Subronto, 2004). Gejala tersebut tidak menjamin diagnosa helminthiasis dilakukan secara tepat dan akurat, karena sebagian besar hewan yang terkena penyakit parasit tidak menunjukkan gejala klinis (subklinis). Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah-langkah yang dapat menunjukkan adanya infestasi parasit pada hewan, terutama untuk hewan yang tampak sehat dan tidak menunjukkan gejala klinis. Hal ini penting untuk mendeteksi positif atau tidaknya hewan terhadap infestasi parasit guna mencegah penyebaran penyakit parasit. Pemeriksaan feses merupakan langkah yang tepat untuk mendiagnosa adanya infestasi parasit pada hewan (Hendrix, 2014). Metode ini tergolong mudah dan ekonomis untuk meneguhkan diagnosa helminthiasis maupun untuk mendeteksi infestasi parasit pada hewan yang tidak menunjukkan gejala klinis. Peneguhan diagnosa Strongyloidosis pada sapi perah dan anak sapi yang menderita diare dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan feses. Pemeriksaan feses untuk memeriksa telur cacing, terutama telur Strongyloides, yang akan dilakukan sebagai langkah solusi adalah dengan metode natif (langsung) dan metode apung. Kedua metode pemeriksaan feses ini memiliki cara kerja dan tujuan pemeriksaan yang berbeda tetapi saling mendukung. 3

Gambar 1. Ukuran Relatif Telur Parasit pada Feses Sapi (Foreyt, 2001). Metode natif (langsung) dilakukan untuk mendiagnosa ada tidaknya telur cacing atau oosista protozoa dalam feses secara cepat. Metode ini sangat sederhana, dilakukan dengan mencampur feses dengan aquades sampai homogen dan diletakkan di atas object glass, ditutup degan cover glass, lalu diamati dengan mikroskop. Metode pemeriksaan feses apung berfungsi untuk mengamati telur cacing dalam feses dengan lebih jelas, karena debris atau kotoran-kotoran feses akan sangat berkurang dengan metode ini akibat perbedaan berat jenis (Gambar 2), sehingga bentuk telurnya akan terlihat lebih jelas. Pemeriksaan feses metode apung dilakukan dengan melarutkan 2 gram (0,5 sendok teh) feses ke dalam 30 ml air sampai merata, lalu masukkan ke dalam tabung reaksi. Tambahkan larutan NaCl jenuh sampai membentuk cembung pada permukaan tabung, lalu letakkan coverglass dan tunggu selama 20 menit. Coverglass diambil dan diletakkan di atas obyek glass lalu diperiksa dengan mikroskop (Hendrix, 2014). 4

Gambar 2. Pemisahan molekul berdasarkan berat jenis pada metode apung (Zajac, 2006). Sapi yang menunjukkan gejala klinis helminthiasis akan diambil esimen fesesnya dan diberikan terapi pemberian anthelmintika secara peroral dengan preparat golongan Benzimidazole. Pemberian terapi anthelmintika golongan Benzimidazole dapat membasmi stadium larva maupun dewasa dari Strongyloides. Edukasi tentang manajemen pemeliharaan sapi perah yang baik dan kontrol serta pencegahan Strongyloidosis terhadap peternak juga perlu dilakukan untuk memberantas Strongyloidosis secara tuntas. Metode pelaksanaan pengabdian masyarakat secara ringkas dapat dirangkum sebagai berikut : 1. Dilakukan pengambilan feses melalui rektum (per rektal) dari sapi yang menunjukkan gejala klinis secukupnya dan dikemas dalam plastik yang telah diberi kode esimen. Spesimen kemudian dimasukkan ke dalam wadah khusus lalu dikirim ke laboratorium parasitologi FKH UB untuk dilakukan pemeriksaan laboratorik. 2. Pemeriksaan esimen feses secara laboratorik dilakukan dengan metode natif dan uji apung sebagai langkah untuk meneguhkan diagnosa Strongyloidosis. 3. Pemberian terapi anthelmintika pada sapi 5

4. Edukasi terhadap peternak sapi tentang manajemen pemeliharaan sapi yang baik dan kontrol serta pencegahan Strongyloidosis terhadap peternak juga perlu dilakukan untuk memberantas Strongyloidosis secara tuntas BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan pengabdian masyarakat dilakukan dengan mempersiapkan obat-obatan dan bahan habis pakai lainnya. Bahan aktif anthelmintik yang digunakan adalah Fenbendazole, dengan pertimbangan pemilihan obat adalah jenis parasit yang sering ditemukan di wilayah Karangploso. Fenbendazole merupakan anthelmintika ektrum luas yang dapat digunakan pada stadium larva maupun dewasa dari banyak jenis helminth, termasuk Strongyloides. Pengabdian masyarakat dilakukan pada hari Kamis tanggal 4 Agustus 2016, di Kelompok Ternak Langeng Mulyo Dusun Babakan Karangploso. Beberapa ternak dilaporkan mengalami diare dan anoreksia. Ternak sapi yang mengalami diare dan anoreksia kemudian diperiksa kondisinya dan diambil esimen fesesnya. Spesimen feses diambil dengan menggunakan gloves secara per rektal untuk mencegah kontaminasi dari lingkungan. Spesimen feses kemudian diletakkan pada plastik yang telah diberi kode esimen yang disesuaikan dengan catatan data pemilik maupun keterangan lainnya yang diperlukan pada setiap esimen. Sebanyak 24 esimen feses diambil dari sapi yang menunjukkan gejala klinis dan kemudian disimpan dalam wadah khusus untuk dibawa menuju laboratorium FKH UB Dieng untuk diperiksa. Hasil pemeriksaan feses pre-deworming dengan metode natif dan apung menunjukkaan bahwa sebanyak 45,8% feses positif terdapat telur Strongyloides, 25% feses positif terdapat telur Toxocara, 8,3% feses positif terdapat telur Schistosoma, 4,2% feses positif terdapat telur Moniezia, dan sebanyak 4,2% feses positif terdapat telur Trichuris, sedangkan 12,5% lainnya negatif telur helminth berdasarkan pemeriksaan natif dan apung. Pemberian anthelmintik dilakukan pada sebagian besar ternak yang terdapat pada kelompok ternak, tidak hanya diberikan pada ternak sapi yang menunjukkan gejala klinis. Hal ini dilakukan karena beberapa penyakit parasit tidak menimbulkan gejala klinis atau subklinis, oleh karena itu dalam pemberantasan penyakit parasit, semua populasi ternak yang tinggal dalam 6

suatu kawasan tertentu sebaiknya diberikan terapi anthelmintik, baik sebagai terapi maupun sebagai pencegahan. Anthelmintik yang digunakan adalah Fenbendazole dalam bentuk bolus yang merupakan turunan dari golongan Benzimidazole. Pemberian anthelmintik diberikan sesuai dengan dosis yang diatur oleh produsen anthelmintik (1 bolus untuk seekor sapi) secara peroral. Ternak yang sedang bunting tidak diberikan terapi anthelmintik untuk mencegah terjadinya efek samping. Pada saat pemberian anthelmintik di dalam kandang dilakukan juga edukasi terhadap peternak tentang manajemen pemeliharaaan ternak yang baik sehingga dapat mencegah penyakit. Kegiatan berikutnya adalah pengambilan feses ternak yang telah diberi anthelmintik yang dilakukan sekitar 2 minggu setelah program deworming. Hasil pemeriksaan feses postdeworming menunjukkan bahwa sebanyak 91,7% sampel feses menunjukkan hasil negatif telur helminth, sedangkan 8,3% lainnya masih menunjukkan hasil positif. Kedua sampel feses yang menunjukkan hasil positif menunjukkan adanya telur helminth Toxocara. Hal ini dapat disebabkan karena infestasi Toxocara sudah tergolong menengah maupun berat, sehingga diperlukan adanya terapi anthelmintika ulangan pada ternak tersebut untuk mendapatkan hasil pemeriksaan feses metode natif dan apung yang negatif telur helminth. 7

BAB 5. KESIMPULAN 1. Kegiatan pengabdian masyarakat di kelompok ternak telaah dilakukan dengan melakukan pengambilan esimen feses pre deworming, pemberian anthelmintik untuk terapi dan pencegahan, serta pemeriksaan esimen feses post deworming. 2. Pemeriksaan Spesimen feses pre deworming dengan metode natif dan apung menunjukkan sebagian besar esimen (87,5%) positif mengandung telur helminth, dan sejumlah 45,8% diantaranya positif mengandung telur Strongyloides. 3. Pemberian terapi anthelmintik Fenbendazole diberikan secara peroral kepada seluruh ternak yang berada dalam satu kandang dengan ternak yang menunjukkan gejala klinis. 4. Pemeriksaan Spesimen feses post deworming dengan metode natif dan apung menunjukkan sebagian besar esimen (91,7%) feses negatif mengandung telur helminth BAB 6. SARAN Perlu diadakan program deworming lanjutan kepada ternak di kawasan KUD Karangploso untuk menjamin bahwa pemberantasan penyakit parasit terutama helminth dapat berhasil. 8

DAFTAR PUSTAKA Hendrix, Charles M and Ed Robinson, 2014, Diagnostic Parasitology for Veterinary Technicians 4 th Edition, Elsevier Mosby, Missouri. Junquera, P. 2014. Veterinary Parasitology. Blackwell Publishing, London, Meirhaeghe, P.V., 1997, Lompatan Maju Pengobatan Cacing, Bisnis Petemakan Ayam Telur XXVII no: 126. Subronto dan Ida Tjahajati, 2004, Ilmu Penyakit Ternak (Mamalia) II, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Urquhart, G.M., Duncan, J.L., Dunn, A.M., and Jennings, F.W., 2001. Veterinary Parasitology, ELBS Logman Group, Inggris. Zajac AM and Conboy GA, 2006, Veterinary Clinical Parasitology 7th edition, Blackwell Publishing, Ames Iowa.. 9

LAMPIRAN I Dokumentasi Pengabdian Masyarakat 10

11

LAMPIRAN II Dokumentasi Pemeriksaan Feses 1 2 3 4 5 6 7-8 12

9 10 11 13 14 15 16 13

17 18 19-20 21 22 23 24 14

NO PEMILIK JENIS SAPI KETERANGAN NATIF APUNG 1 Pak PFH 178 Feses pasta, -Schistosoma bovis - Supriadi warna normal, kaheksia 2 Pak Supriadi PFH 346 Feses pasta -Toxocara vitulorum Sampel tidak memenuhi 3 Pak PFH pedet Feses pasta - Strongyloides -Strongyloides Supriadi 178 4 Pak Jauhari PFH pedet Kotoran menempel di area rektum 5 Pak Slamet PFH Bulu jekrik, kusam 6 Pak Edi Sapi potong limousin 7 Pak Edi Sapi limousin 8 Pak PFH Pedet Supriadi 346 Bulu berdiri, kotoran menempel di area rektum dan sekitarnya Kotoran di bagian caudal Kotoran di bagian caudal, bsc tidak sesuai dengan sapi umur 3 bulan 9 Pak Laji PFH Pedet Bulu berdiri, sangat kotor, feses menmpel di daerah caudal, lembek 10 Pak Laji Potong Limousin 11 Pak Laji Potong Limousin 1 kandang dengan PFH pedet di atas Pertumbuhan badan tidak sesuai dengan umur 12 Arifin PFH Feses lembek, berair, lingkungan kotor, bagian caudal kotor 15 13 Arifin PFH Feses lembek, berair, -Eimeria -Strongyloides - Strongyloides - Toxocara vitulorum - Strongyloides - -Eimeria - -Eimeria -Toxocara vitulorum -Toxocara vitulorum -Eimeria - Strongyloides - Strongyloides -Toxocara vitulorum Sampel tidak memenuhi -Toxocara vitulorum - Strongyloides - Strongyloides - negatif - negatif -Toxocara vitulorum - Sampel tidak memenuhi

lingkungan kotor, bagian caudal kotor 14 Arifin PFH Feses lembek, berair, lingkungan kotor, bagian caudal kotor 15 Arifin PFH Feses lembek, berair, lingkungan kotor, bagian caudal kotor 16 Arifin PFH Pedet Feses lembek, berair, lingkungan kotor, bagian caudal kotor -Cacing Taenia saginata -Cacing Strongyloides Ditemukan cacing - Strongyloides - Strongyloides -Toxocara vitulorum 17 Pak Slamet PFH - Moniezia. - Sampel tidak memenuhi 18 Pak Slamet PFH Bunting -Toxocara vitulorum -Toxocara vitulorum 19 Pak Slamet PFH Pedet Anak dari no 5 - Strongyloides - Strongyloides 20 Pak Yoyon Sapi Potong Bulu kusam, bulu berdiri, kotoran menempel di daerah rektum 21 Pak Yoyon Sapi Potong Bulu kusam, kurus 22 Pak Yoyon Sapi Potong 1 kandang dengan no. 20 dan 21 23 Pak Yoyon Sapi Potong Kurus, Bulu 24 Pak Yoyon Sapi Potong Pedet kusam Pertumbuhan badan tidak sesuai dengan umur - Strongyloides - Strongyloides - Strongyloides - Strongyloides - Strongyloides - Strongyloides - Schistosoma - Schistosoma -Trichuris p. - negatif 16